Tuduhan yang selalu didengungkan para penentang terhadap Ahmadiyah adalah “Kitab suci Ahmadiyah adalah Tadzkirah ”. Ini adalah satu isapan jempol dan kebohongan yang besar. Pengikut Jemaat Ahmadiyah sangat paham akan firman Allah:
ثُمََّ جَعَلْنَا كَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلاَ مْرِ فَاتَّبِعْهَا وَ لاَ تَتَّبِعُ اَهْوَاءَالذِّيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al Jatsiyah: 19)
Lawan-lawan Jemaat Ahmadiyah, yang berjumlah banyak, bahkan Ijma’ul Ulama Jamiul Majaami’, Ulama Islam sedunia secara gegabah memvonis, bahwa syari’at Ahmadiyah nau’udzubillah bukan Al-Qur’an melainkan kitab suci dan sumber pedoman-nya adalah Tadzkirah . Fatwa itu benar-benar irrational, isapan jempol dan sangat tidak masuk akal. Sejatinya bagi orang-orang Ahmadi, satu-satunya kitab suci yang mutlak di-imani dan yang dipegang kuat sebagai pedoman hidupnya selama-lamanya, tiada lain adalah Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:
وَهَذَا كِتَابٌ اَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَا تَّبِعُوْاهُ واتَّقُوْالَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Inilah Kitab (Al-Qur’an yang beberkat) mencakup segala ajaran kitab-kitab suci terdahulu, maka ikutilah dia dan bertakwalah supaya kamu dirahmati.” (QS. Al An’am: 155)
Menuduh seperti itu, nyata-nyata bertentangan dengan peringatan Allah Swt yaitu, “Janganlah kamu mengatakan sesuatu yang tidak engkau ketahui, sebab pancaindera itu akan ditanyai oleh-Nya”. Dan menyuruh orang-orang Ahmadi memilih agama lain, anjuran macam itu bertolak belakang dengan firman AllahSwt, yaitu:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلاِسْلاَ مَ دِيْناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَ هُوَ فِيْ اْلا َخِرَةِ مِنَ الْخَسِرِيْنَ
“Dan siapapun yang menghendaki agama selain Islam maka tidak akan diterima atas keinginannya itu dan pada Hari Akhirat nanti mereka akan menjadi orang yang merugi.” (QS. Al Imran: 85)
Sejatinya, sampul Tadzkirah itu sendiri telah menunjukkan alur pikir mereka yang bengkok itu, jika benar-benar mereka membaca apa yang tertera pada kulit depannya, yaitu “Tadzkirah Majmu’ah wahyu suci, ilham-ilham, kasysyaf-kasysyaf dan rukya-rukya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.”. Jadi, itu bukanlah sebuah Kitab Suci. Kitab Suci orang-orang Ahmadi tiada lain adalah Al-Qur’anul Karim, Syari’at Islam yang terakhir, berisi 30 juz.
Catatan:
Tadzkirah sendiri mulai dirangkum pada tahun 1935, yaitu di masa Khalifatul Masih II, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a yang diterbitkan oleh Ta’lif wa Tasnif Jemaat Ahmadiyah Qadian. Tadzkirah adalah catatan harian yang berisi himpunan wahyu, ilham-ilham, kasysyaf-kasysyaf, mimpi-mimpi dan rukya-rukya yang diterima oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmada.s dari AllahSwt yang dikumpulkan dari berbagai buku, karangan, tulisan-tulisan dan selebaran-selebaran yang pernah beliau tulis di masa hayatnya, yang secara serial dan bertahap disusun oleh Maulana Muhammad Ismail, H.A; Syekh Abdul Qadir, Shd. dan Maulana Abdul Rasyidr.a.
Tadzkirah edisi pertama diterbitkan 36 tahun setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmada.s wafat, secara bertahap, dengan didapatkannya temuan-temuan wahyu atau kasysyaf-kasysyaf yang belum terdata, kemudian buku itu disempurnakan berdasarkan urutan temuan yang terdahulu, kemudian dimuat di dalam edisi berikutnya.
Jadi, Tadzkirah bukanlah Kitab Suci orang Ahmadi dan bukan pula pedoman yang lebih tinggi dari Al-Qur’an.
Terkait dengan pedoman Ahmadiyah terhadap Al-Qur’an, Pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad menegaskan:
“Tidak ada yang masuk ke dalam Jemaat kami kecuali orang yang telah masuk Islam dan mengikuti kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah-sunnah junjungan kami, Muhammad saw yang merupakan sebaik-baiknya ciptaan serta telah yakin benar berkenaan dengan Allah yang Maha Mulia dan Maha Pengasih dan Rasul-nya, hari kiamat, surga dan neraka; Dan ia (setiap Ahmadi) berjanji dan berikrar tidak akan memilih agama selain agama Islam serta ia akan mati di atas agama ini, yaitu agama fitrah dengan berpegang teguh kepada kitab Allah yang Maha Tahu dan mengamalkan setiap apa yang terbukti sebagai sunnah, Al-Qur’an dan ijma sahabat yang mulia; dan siapa yang mengabaikan tigahal ini, sungguh ia telah membiarkan jiwanya dalam api neraka”. (Rukhani Khazain, 19 : 315)[1]
Zuhairi Misrawi menyatakan:
“Secara Theologis, wahyu harus mempunyai keistimewaan bila dibandingkan dengan sesuatu yang bukan wahyu. Wahyu tersebut melampaui kapasitas umatnya, baik dari segi bahasa maupun tema-tema yang diangkat, seperti Hari Kiamat, hal-hal ghaib dan yang berkaitan dengan dimensi ketuhanan.” [2]
Predikat yang diberikan AllahSwt bagi para Ulama, sebagai hamba Allah yang terdekat kepada-Nya, dikatakan:
اِنَّمَا يَخْشَي اللهَ مِنْ عِباَدَِهِ اْلعُلَمَاءُ
“Di antara para hamba Allah, para ulamalah hamba yang paling takut kepada Allah.”
Jadi, para Ulama harusnya mengadakan tinjauan kritis atas kandungan wahyu dalam Tadzkirah. Namun sayang seribu kali sayang, hal ini belum pernah dikaji secara ilmiah dan fakta-fakta mengenai sejauh mana kebenaran wahyu-wahyu dan khabar gaib tersebut dari masa ke masa, yang dengan menyaksikan kebenaran kalam samawi itu maka akan hilanglah segala syak wasangka, keraguan maupun buruk sangka terhadap kebenaran itu. Wa salaamun ‘alaa manit taba’al huda, wa billahit taufiq wal hidayah.
Yang jelas nampak kepada kita bahwa sifat-sifat Allah Swt itu adalah azali dan abadi dan sunnatullah itu tidak akan pernah berubah apa lagi terhapus, misalnya sifat Al-Mutakallim (sifat berkata-kata). Dengan sifat inilah, Allah akan terus bercakap-cakap dengan perantaraan wahyu kepada hamba yang Dia ridhai dan Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya:
وَما كانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلّا وَحيًا أَو مِن وَراءِ حِجابٍ أَو يُرسِلَ رَسولًا فَيوحِيَ بِإِذنِهِ ما يَشاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكيمٌ
“Dan tidaklah layak bagi seseorang manusia bahwa Allah berkata-kata dengannya kecuali dengan jalan wahyu (ilham atau mimpi), atau dari balik hijab (dengan mendengar suara saja), atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu utusan itu menyampaikan wahyu kepadanya dengan izin Allah sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy Syura: 51)
Jadi, Allah masih tetap berkata-kata dengan hamba-Nya melalui 3 cara:
- Melalui wahyu langsung
- Melalui tabir-rukya, kasyaf, atau
- Mengirim Malaikat suruhan / utusan untuk menyampaikan sabda-sabda-Nya.
Hadis Qudsi adalah wahyu Suci AllahSwt yang turun kepada Nabi Muhammadsaw dan itu bukanlah Al-Qur’an. Hadis Qudsi itu bukan pula Kitab Suci-nya orang-orang Islam, sebagaimana yang diyakini terhadap Al-Qur’an. Begitu pulalah Tadzkirah, oleh orang-orang Ahmadi tidak diyakini sebagai satu kitab suci, sebagaimana mulianya Al-Qur’an. Wahyu Ilahi sesuai dengan hak prerogative-Nya, tidak diragukan lagi wahyu masih tetap berlangsung, sesuai dengan kehendak-Nya, namun bukan dalam bentuk wahyu syariat; sebab wahyu Syariat Islamiyyah telah berakhir dengan turunnya Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammadsaw, sebagaimana firman-Nya:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ ديْنَكُمُ وَ اَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ الاِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini Aku sudah sempurnakan Agama-Ku bagi engkau dan Aku cukupkan nikmat-Ku atas engkau dan Aku meridhoi Islam sebagai agama-Ku bagi engkau.” (QS. Al Maidah: 4) [3]
Tadzkirah adalah Wahyu Yang Diturunkan Kepada Mirza Ghulam Ahmad di Qadian – India?
Kemudian satu keberatan lagi terkait dengan Tadzkirah ini adalah perilah wahyu itu diturunkan di Qadian. Wahyu dalam Tadzkirah, hal. 369 berbunyi sebagai berikut:
إِنَّا أَنْزَلْنَا هُ قَرِيْبًا مِنَ الْقَادِيَانِ وَبِالْحَقِّ أَنْزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ صَدَقَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَكَانَ أَمْرُاللهِ مَفْعُوْلاً
“Kami telah menurunkan dia itu di dekat Qadian dan Kami turunkan dia itu dengan benar dan dia itu turun dengan benar. Perkataan-perkataan Allah dan Rasul-Nya telah menjadi sempurna. Perintah Allah pasti harus terlaksana.”
Para penentang dengan niat buruk dan pandangan sempitnya telah mengartikan dhomir ‘hu’ atau kata ganti nama , “nya” itu dinisbahkan kepada Tadzkirah. Menurut mereka, wahyu–wahyu dalam Tadzkirah, itu diturunkan Allah di Qadian. Tetapi, “hu“ sebenarnya ditujukan kepada diri Hadhrat Ahmad. Hadhrat Ahmada.s. –sebagai penerima wahyu tersebut– menjelaskannya sendiri sebagai berikut:
“Disebutkannya Qadian dalam wahyu itu adalah suatu petunjuk bahwa kebangkitanku di Qadian sudah disebutkan lebih dulu dalam wahyu-wahyu sebelumnya. Wahyu ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Allah, Qadian itu menyerupai Damsyik/Damaskus. Tafsir wahyu ini adalah:
“Kami telah turunkan dia itu dekat Damsyik di sebelah timur dekat menara putih. Hendaklah dicatat bahwa, tempat kelahiranku adalah di tepi timur Qadian. Bagian terakhir wahyu itu mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammadsaw menyebutkan pemunculan orang ini dalam hadis beliau. Dan AllahSwt menyebutkan pula hal itu dalam Kalam Suci-Nya. Isyarat dari Nabi Muhammadsaw telah disebutkan di antara wahyu-wahyu yang dikemukakan dalam bagian III dan isyarat dari Al-Qur’an Suci adalah dalam ayat berikut ini:
هُوَ الَّذِى اَرْسَلَ رَسُوَلهُ باِلْهُدَى وَ دِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلىَ الدِّيْنِ كُلِّهِ
“Dialah Yang telah mengirimkan Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama benar supaya Dia memenangkannya atas sekalian agama.” (QS. At Taubah: 33; Al Hujurat: 29; dan As Saff: 10)
Pada hari ketika wahyu yang baru disebutkan tadi, (yang menunjuk pada Qadian) diterima, menampak padaku, saudaraku, Mirza Ghulam Qadir dalam suatu kasysyaf sedang membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring. Dalam pembacaan itu ia mengucapkan, ‘Kami telah turunkan dia itu di dekat Qadian.’ Aku menyatakan keherananku (dalam mimpi itu,pent.), bahwa nama Qadian nampak disebutkan dalam Al-Qur’an Suci yang sedang beliau baca itu. Lalu ia berkata, ‘Ini dia, engkau sendiri dapat melihatnya.’ Aku melihatnya dan menampak bahwa wahyu ini ditempatkan kira-kira di tengah halaman kanan dari Al-Qur’an Suci, lalu aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Iya ya, nama Qadian disebutkan dalam Al-Qur’an Suci ini!’ Dan aku berkata pula, ‘Tiga nama disebutkan dalam Al-Qur’an dengan kemuliaan; Makkah, Madinah dan Qadian.”
Dengan tampilnya saudaraku dalam kasysyaf-ku, itu adalah petunjuk bahwa nama beliau itu ada kaitan erat dengan tafsir kasysyaf-ku itu. Perkataan Qadir (Maha Kuasa) yang merupakan bagian dari namanya menunjukkan bahwa semua ini adalah keputusan dari Yang Maha Kuasa dan itu tidak perlu diherankan, karena dengan kekuasaan-Nya, Dia meninggikan yang lemah dan rendah dan menghempaskan yang besar dan berkedudukan tinggi itu ke tanah.” (Tadzkirah (Urdu), edisi 1969, hal. 61) [4]
[1] Syamsir Ali (2009). Madu Ahmadiyah Untuk Para Penghujat. Wisma Damai, hal. 3
[2] Alqur’an Kitab Toleransi, hal. 41
[3] H.R. Munirul Islam Yusuf (2011). Bantahan Lengkap Menjawab Keberatan Atas Beberapa Wahyu di Dalam Tadzkirah & Tabayyun (Penjelasan). Bogor: Bintang Grafika
[4] H.R. Munirul Islam Yusuf (2011). Bantahan Lengkap Menjawab Keberatan Atas Beberapa Wahyu di Dalam Tadzkirah & Tabayyun (Penjelasan). Bogor: Bintang Grafika