Salah satu keberatan terhadap Ahmadiyah adalah “Para pengikut Ahmadiyah tidak melakukan shalat (bermakmum) bersama umat Islam lain.[1]
JAWABAN:
Pada tahun 1900 masehi, 11 turun setelah berdirinya jamaah Islam Ahmadiyah orang-orang Ahmadi diperintahkan agar tidak sholat makmum di belakang orang-orang non-Ahmadi, karena selama itu para ulama non-ahmadi terus-menerus memfatwakan bahwa orang Ahmadiyah itu bukan Islam dan keluar dari Islam. Karena itu hendaknya diketahui bahwa orang-orang Islam bukan Ahmadiyah lah yang mula-mula melarang orang Ahmadiyah masuk ke dalam masjid-masjid mereka, lalu menuduh orang Ahmadiyah yang tidak mau bermakmum dengan mereka.
Cobalah bandingkan, kaum muslimin yang berbeda mazhab saja tidak mau bermakmum di belakang imam yang bukan dari mazhabnya, meskipun mereka tidak dimurtadkan dan tidak dikafirkan oleh sebagian orang dari mazhab lainnya. Bukankah lebih dari cukup kesabaran orang-orang Islam Ahmadiyah menerima caci-makian, hujatan, pemurtadan dan pengafiran dari ulama non Ahmadiyah sampai 11 tahun lamanya untuk mengambil sikap dengan melaksanakan shalat berjamaah yang diimami oleh sesama muslim Ahmadiyah, agar dapat melaksanakannya dengan khusyuk sehingga Allah berkenan menerima dan meridhoinya?
Sehubungan dengan shalat berjamaah, perhatikanlah petunjuk nabi kita Al-Musthofa Muhammad saw Berikut:
“Janganlah engkau mengimami suatu kaum, sedang mereka membenci engkau”. ( Abu Daud dari Abu Amir bin ash)
“Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: ‘Tiga orang yang Allah tidak menerima shalat mereka yaitu: Orang yang maju mengimami suatu kaum padahal mereka itu benci kepadanya; Orang yang datang shalat setelah dibar, dibar adalah yang mendatangi shalat setelah itu terlewatkan (bubar) dan seseorang yang memperbudak seseorang yang telah dimerdekakan. (Abu Daud, Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar ra dan Pedoman Sholat, TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, Hadis-Hadis Hukum, PT Al-Ma’arif, cet 2 1981, masalah 368) [2]
[1] KH. Dr. Surahman Hidayat, ketua Bayan Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera. Nomor 17/B/K/DSP-PKS/1429.
[2] Syamsir Ali (2009). Madu Ahmadiyah Untuk Para Penghujat. Wisma Damai, hal. 47-48