Pada 28 Oktober 2016, Pemimpin Dunia Jamaah Muslim Ahmadiyah, Khalifah V, Hazrat Mirza Masroor Ahmad menyampaikan pidato bersejarah di York University, Toronto di hadapan lebih dari 180 tamu, yang terdiri dari akademisi, politisi, media dan para cendikiawan. Acara yang bertajuk “Keadilan dalam Dunia yang Tidak adil (Justice in an Unjust World),” diselenggarakan oleh Jamaah Muslim Ahmadiyah Kanada bekerjasama dengan York University. Disini kami ketengahkan transkrip pidato utama yang disampaikan oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad.
Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V, Pemimpin Dunia Jamaah Muslim Ahmadiyah, mengatakan:
Bismillahirrahmanirrahiim.
Para tamu yang terhormat,
Assalamualaikum warohmatullahi wa barokaatuhu.
Dewasa ini dunia di sekitar kita terus berkembang dan bergerak maju. Tidak diragukan lagi, dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah mengalami kemajuan sangat pesat dalam hal pengembangan teknologi. Setiap hari beragam teknologi modern serta kemajuan sains yang baru terus dikembangkan. Kemajuan-kemajuan tengah dihasilkan di banyak segi kehidupan kita. Misalnya, berbagai bentuk teknologi komunikasi dan elektronik terus berkembang sedemikian cepatnya. Riset dan pengembangan yang tengah dilakukan, menciptakan kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan kita sehari-hari.
Hal ini membuktikan bahwa manusia telah berhasil menggunakan kecerdasan dan pikiran mereka untuk terus maju dan meningkatkan produktivitas, efisiensi dan kenyamanan seseorang. Namun, sungguh sangat disayangkan, pada saat kemanusiaan maju sangat pesat, saat itu juga ia menciptakan jarak yang semakin jauh dan menjadi semakin terpecah belah. Kedamaian dan stabilitas dunia terganggu serta terancam hari demi harinya. Di beberapa negara, para pemimpin dan pemerintah telah gagal memenuhi hak-hak rakyatnya dan secara nyata telah bertindak dengan sangat kejam dan berlaku tidak adil terhadap mereka. Sebagai balasannya, anggota masyarakat bangkit melakukan penentangan sehingga lahirlah kelompok-kelompok pemberontak.
Selanjutnya, wilayah konflik ini menjadi lahan subur bagi berkembangnya kelompok-kelompok teroris dan ekstremis sehingga kelompok-kelompok semacam itu tumbuh berkembang di berbagai negara. Dalam beberapa kasus, dimana tengah terjadi kerusuhan sipil, pemerintah asing ada memihak kepada para pemimpin negara, sementara yang lainnya mendukung kelompok pemberontak. Jadi, kedua belah pihak memperoleh dukungan eksternal baik secara terbuka maupun secara tersembunyi dan hasilnya — dapat dilihat oleh semua orang — pertumpahan darah, tindak kekerasan serta pembantaian secara keji terhadap orang yang tidak bersalah.
Dimana teknologi modern, yang telah menjadi pendorong bagi kebaikan, ia juga telah digunakan sebagai suatu kekuatan untuk tujuan kejahatan dan kehancuran. Teknologi semacam ini telah dikembangkan sehingga memiliki kemampuan memusnahkan sama sekali keberadaan bangsa-bangsa dari peta dunia dengan hanya menekan sebuah tombol. Benar sekali, yang saya maksudkan adalah pengembangan senjata pemusnah massal yang mampu menimbulkan kengerian yang tak terperikan, kerusakan dan kebinasaan. Senjata-senjata semacam itu sedang diproduksi yang kemampuannya bukan hanya dapat menghancurkan peradaban saat ini, bahkan juga mewariskan penderitaan bagi generasi demi generasi yang akan datang.
Sekarang ini, di dunia kita menyaksikan berbagai standar ganda dan kemunafikan di berbagai tingkatan masyarakat, dan hasilnya, yakni lenyapnya kedamaian merupakan penyebab keprihatinan dan kesedihan bagi orang-orang yang tulus merasakan derita kemanusiaan. Sebagai pemimpin komunitas Muslim di seluruh dunia, masalah inilah yang memprihatinkan serta mengkhawatirkan saya lebih dari yang dirasakan oleh orang lain.
Sebagai seorang pemimpin Muslim, secara pribadi saya merasa sangat sedih, karena kekacauan yang terjadi saat ini, berkisar di sekitar mereka yang menyebut diri umat Islam serta dikait-kaitkan dengan agama Islam. Di satu sisi, sebagian besar peperangan yang dikobarkan dan menelan banyak nyawa, terjadi di dunia Muslim, sementara di sisi lain, mereka yang menyebut diri Muslim sekarang telah memperluas jaringan teror mereka lebih luas lagi dan di sini, di dunia Barat yang menjadi target justru orang-orang yang tidak berdosa. Ini adalah tragedi yang sungguh sangat berat dimana orang-orang tersebut secara keliru berupaya melakukan pembenaran atas kebencian serta tindak-tindak kejahatan mereka atas nama Islam. Alih-alih membela Islam, semua yang mereka lakukan justru mencemarkan nama baik agama Islam.
Sebenarnya, makna kata ‘Islam’ yang sesungguhnya adalah ‘kedamaian, keamanan dan cinta kasih’. Berdasarkan hal ini, kita harus menerima bahwa perbuatan keji para teroris dan ekstremis ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam, atau sebaliknya, bahwa meskipun maknanya adalah ‘damai’, tetapi Islam pada kenyataannya adalah sebuah agama yang menganjurkan ekstremisme dan kekerasan. Untuk mengetahui mana yang benar dari dua pernyataan yang saling bertolak belakang ini, kita harus mempelajari apa ajaran Islam yang sesungguhnya; kita harus merujuk ke sumber utama Islam, yaitu kitab suci Al-Qur’an dan selanjutnya kepada tindakan serta suri teladan pendiri Islam, Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu, dalam batas waktu yang tersedia ini, saya akan menyampaikan kepada kalian ajaran Islam yang sejati dan setelah itu mudah-mudahan kalian semua dapat mengambil kesimpulan apakah perpecahan dan konflik yang ada di dunia saat ini merupakan buah dari mengikuti ajaran Islam atau sebuah konsekuensi akibat mengabaikan ajaran Islam.
Pada masa hidupnya, pendiri Islam, Nabi Muhammad saw telah meletakkan – dalam kalimat yang singkat – landasan bagi kedamaian dunia dan semua orang. Nabi Muhammad saw bersabda bahwa seseorang harus menginginkan bagi orang lain apa yang ia dambakan untuk dirinya sendiri. Saya percaya bahwa prinsip abadi ini benar adanya untuk saat ini sebagaimana ia benar di masa yang lalu. Tentu saja setiap orang menginginkan kedamaian untuk diri mereka sendiri, serta ingin bebas dari segala kecemasan dan kekhawatiran; setiap orang mendambakan sarana hidup yang nyaman dan tanpa kesulitan; setiap orang ingin supaya mereka memiliki kesehatan yang baik sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang bebas dari kesengsaraan atau kesukaran; setiap orang ingin memiliki reputasi yang baik dalam masyarakat dan penghargaan dari orang lain; begitu juga, setiap pemerintahan dan setiap bangsa juga mengupayakan kamakmuran semacam itu. Namun, seberapa banyakkah orang atau bangsa yang benar-benar menginginkan kedamaian, kemakmuran dan kesuksesan bagi orang lain?
Secara verbal, sangat mudah mengatakan bahwa ‘Ya kami menginginkan yang terbaik bagi orang lain”, namun dalam prakteknya jauh lebih sulit dan penuh tantangan. Dimana terjadi konflik kepentingan, kebanyakan orang cenderung mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan mereka sendiri dibanding memperjuangkan hak orang lain — hal ini terjadi, baik pada tingkat perorangan maupun pada tingkat kolektif dan nasional. Hari ini, bukannya mengabaikan kepentingan sendiri, kita justru menyaksikan tindak mementingkan diri sendiri; kebanyakan orang atau bangsa mendahulukan hak-hak mereka sendiri dan selalu cenderung merampas dan mengabaikan hak orang lain guna memenuhi maksud dan ambisi mereka sendiri.
Dalam kaitannya dengan umat Islam, karena para pemimpin dan masyarakat telah mengabaikan ajaran agama yang sejati, sekarang mereka rentan terpecah belah dalam perseteruan dan kerusuhan. Sederhananya, para pemimpin telah gagal dalam tugasnya menciptakan rasa aman bagi masyarakat mereka dan melindungi hak-hak mereka, dan pada gilirannya, elemen-elemen pemberontak juga telah berpaling dari kebenaran dan keadilan.
Lebih jauh lagi, bukannya meniti jalan keadilan dan integritas, kita menyaksikan dari waktu ke waktu, negara-negara besar di dunia hanya berpikir untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Baik mereka memutuskan untuk berpihak pada pemerintah Islam atau kelompok oposisi, hal itu bukan atas dasar keadilan dan kebenaran, melainkan atas pertimbangan partai mana yang lebih bermanfaat bagi kepentingan mereka sendiri. Akan tetapi menurut Islam, keinginan dan motivasi untuk meraih kepentingan kita sendiri harus seimbang dengan keinginan dan motivasi untuk memenuhi hak-hak dan kepentingan orang lain. Andai saja di amalkan, inilah prinsip emas yang akan membuka pintu kedamaian dan keamanan sejati.
Dalam rangka membangun perdamaian, Islam juga menitikberatkan pada upaya menjunjung tinggi amanah. Karena itu, Al-Qur’an: 59 menyatakan:
“Sesungguhnya, Allah memerintahkan kamu supaya menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghakimi di antara manusia hendaklah kamu memutuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah menasihatimu sebaik-baiknya dengan cara itu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Dalam ayat ini, umat Islam jelas diperintahkan untuk menunaikan amanat-amanat yang telah dipercayakan kepada mereka. Termasuk di dalamnya kepercayaan dan janji-janji yang disepakati di tingkat perseorangan dan amanat-amanat yang dilakukan secara kolektif. Dalam hal amanat perseorangan, seseorang tidak boleh mengambil alih kekayaan atau hak-hak orang lain, atau tidak memenuhi tanggung jawab yang harus ia lakukan kepada orang lain. Dalam hal amanah secara kolektif, salah satu aspek yang penting adalah kewajiban warga negara untuk memilih para wakil rakyat yang mereka anggap mampu berbuat yang terbaik bagi bangsa mereka. Berkenaan dengan pemilihan atau pencalonan, seseorang tidak boleh secara otomatis memilih rekan atau anggota partainya, melainkan mereka harus mempertimbangkan siapa yang paling memenuhi syarat dan pantas untuk menjalankan tugas yang ada di depan mata. Selanjutnya, mereka yang telah terpilih dan diserahi kunci pemerintah atau kekuasaan mestilah menjalankan tugas mereka dengan jujur, penuh integritas dan berkeadilan.
Ajaran ini adalah model demokrasi yang diusung agama Islam. Dalam setiap masyarakat ada amanat bersama serta kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab semua orang, dan supaya masyarakat berhasil melaksanakan fungsinya, sangat penting bagi warga negara biasa dan para pemimpin agar melaksanakan tanggung jawab mereka terhadap satu sama lain dengan keadilan sejati. Seandainya saja prinsip-prinsip ini telah dipatuhi oleh dunia Muslim maka kita tidak akan pernah menyaksikan adanya pertentangan serta perpecahan yang lazim terjadi di banyak Negara — saya pribadi meyakini bahwa prinsip Al-Quran ini memiliki nilai universal dan memberi faedah bagi seluruh dunia, serta tidak hanya terbatas untuk negara-negara Muslim.
Para warga di setiap negara harus berupaya memilih orang-orang untuk duduk di parlemen atau majelis-majelis mereka yang mereka yakini akan bekerja untuk kebaikan serta kemajuan bangsa mereka. Inilah yang semestinya harus menjadi prinsip utama ketika memutuskan untuk memilih seseorang atau menentukan suatu kebijakan, bukan hanya sekedar mengamini kehendak partai atau karena adanya hubungan kekeluargaan. Seandainya para pemimpin suatu negara benar-benar orang-orang yang mengupayakan kemajuan rakyatnya, alih-alih berbuat korup atau mengutamakan kepentingan-kepentingan pribadi, maka tidak akan ada alasan bagi rakyat untuk berbalik menentang pemerintah mereka atau terjadi perang saudara maupun timbulnya konflik.
Lebih jauh lagi, prinsip yang sama dalam pemenuhan amanah dan perjanjian-perjanjian adalah sesuatu perkara dimana Negara-negara besar dan lembaga-lembaga internasional seperti PBB harus selalu prioritaskan. Negara-negara yang lebih lemah sering kali terpaksa bergantung pada bantuan negara-negara yang lebih kuat dan lebih kaya dan yang terakhir semestinya berupaya menunaikan kepercayaan yang diletakkan diatas pundak mereka oleh negara-negara yang secara ekonomi lebih lemah; mereka hendaknya berupaya secara tulus ikhlas membantu mereka sehingga mereka menjadi mandiri dan menyadari bahwa adalah demi keuntungan dunia, negara-negara yang lebih lemah mestilah berkembang dan makmur.
Demikian pula, di PBB tidak boleh terjadi bahwa ada negara tertentu menggunakan kekuasan dan pengaruh yang tidak semestinya, atau ada anggota tetap Dewan Keamanan yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri serta memanfaatkan hak veto mereka meskipun bertentangan dengan kepentingan mayoritas. Sebaliknya, semua anggota PBB harus bekerja sama dan melaksanakan janji-janji kesepakatan yang diatasnya lembaga tersebut didirikan – yakni untuk memelihara kedamaian dan keamanan dunia. Apabila semua bangsa dan lembaga-lembaga internasional berani mengabaikan kepentingan sepihak demi kebaikan bersama, maka konflik yang tengah menjangkiti dunia dengan sendirinya akan sirna.
Sayangnya, dunia saat ini tengah berjalan ke arah yang berlawanan, dimana pemerintahan Muslim telah membuat kecewa rakyat mereka, sementara itu memperjuangkan kepentingan sendiri telah menjadi ciri khas negara-negara adi kuasa dan anggota PBB yang berpengaruh. Jadi, negara-negara tidak menjalankan amanah yang dipercayakan kepada mereka dan tidak pula mereka bertindak secara adil dan berimbang. Baru-baru ini, mantan Asisten Sekretaris Jenderal PBB, Anthony Banbury menerbitkan artikel yang menguraikan kegagalan organisasi tempat ia pernah bekerja. Ia menulis di New York Time:
“Saya cinta PBB tetapi ia telah gagal. Birokrasinya berbelit-belit sementara hasilnya minim. Begitu banyak keputusan yang dibuat karena alasan politik, alih-alih mengikuti nilai-nilai dan tujuan dari PBB atau fakta-fakta di lapangan…
Kemudian ia mengatakan:
“Bila PBB ingin diteruskan dan meraih kesuksesan, dibutuhkan pembenahan menyeluruh dan untuk itu perlu ada sebuah panel dari pihak luar yang mengkaji sistemnya, lalu merekomendasikan perubahan-perubahan yang dibutuhkan.”
Jadi, bahkan mereka yang telah berhubungan erat dengan PBB sekalipun kini secara terbuka membenarkan adanya kelemahan-kelemahan dan fakta bahwa lembaga ini telah gagal dalam misinya menjaga kedamaian serta keamanan dunia. Dalam hal kesalahan kebijakan luar negeri Barat, contoh utama beberapa tahun terakhir adalah Perang Irak tahun 2003. Mantan Menteri Luar Negeri Inggris, David Miliband yang kini menjabat sebagai Ketua International Rescue Committe, beberapa waktu yang lalu berbicara tentang dampak jangka panjang peperangan tersebut. Berbicara tentang ketidakstabilan yang berkelanjutan dan terorisme di Irak, saat wawancara dengan The Observer, Mr. Miliband mengatakan:
“Sangatlah jelas bahwa invasi ke Irak, atau lebih penting apa yang terjadi setelahnya, merupakan sebuah faktor penting dalam memahami situasi di Irak saat ini.”
Ketika ditanya apakah Saddam Hussein akan mampu mempersatukan Irak dan melindunginya dari semacam Daesh (ISIS) ia mengakui bahwa ini adalah kemungkinan yang jelas. Ini adalah pengakuan mantan anggota parlemen Inggris yang telah memberikan suara mendukung pada saat Perang Irak. Demikian pula, seorang kolumnis koran terkenal, Paul Krugman, baru-baru ini menulis di New York Times bahwa:
“Perang Irak itu bukanlah murni sebuah kesalahan, langkah itu dilakukan atas dasar data-data intelijen yang kemudian ternyata salah. Justifikasi publik untuk melakukan invasi ini tak lain semata-mata dalih, dan dalih yang dibuat-buat untuk hal itu.”
Jadi, bahkan mereka yang awalnya mendukung Perang Irak, atau yang telah mendukung PBB, terpaksa mengakui kesalahan mereka dan konsekuensi serius dari tindakan mereka. Tidak diragukan lagi bahwa kecurangan semacam itu telah meluluhlantakkan pondasi perdamaian dunia dan telah memungkinkan tumbuh serta berkembangnya kelompok-kelompok teroris semacam Daesh. Kelompok-kelompok ini sekarang tidak hanya menjadi ancaman bagi dunia Muslim, bahkan bagi seluruh umat manusia — akan tetapi nampaknya dunia tetap saja tidak mengambil pelajaraan dari kesalahan masa lalu. Kebijakan luar negeri yang penuh kecurangan semakin menjamur serta memicu peperangan di berbagai negara yang menelan korban laki-laki, perempuan dan anak-anak yang tak berdosa; negara-negara besar tertentu terus saja memprioritaskan kepentingan bisnis mereka diatas dan melampuai segala sesuatu yang lain, begitu juga dengan penjualan senjata tercanggih ke negara-negara lain, meskipun telah ada bukti nyata bahwa artileri tersebut sedang digunakan untuk membunuh atau mencederai orang yang tidak bersalah serta menghancurkan hidup orang banyak.
Apa yang telah saya katakan bukanlah hal baru atau sebuah rahasia melainkan sudah sejak lama menjadi pembicaraan publik. Misalnya, sejumlah negara Barat terus saja menjual senjata ke Arab Saudi yang tengah digunakan untuk menyerang penduduk Yaman — tak satupun negara Muslim yang memiliki pabrik-pabrik senjata berskala besar yang dapat memproduksi senjata-senjata mematikan itu dalam jumlah besar, karena itu sumber satu-satunya adalah dunia Barat. Ada beberapa negara besar menjual senjata kepada sejumlah pemerintahan Muslim, sementara yang lainnya menjual senjata ke pihak elemen-elemen pemberontak di negara yang sama.
Jadi jelas bahwa kedua belah pihak sedang dihasut dan dipersenjati oleh pihak luar. Sederhana saja, seandainya perdagangan ini dihentikan, negara-negara Muslim tidak akan memiliki senjata untuk saling berperang satu sama lain. Bahkan para penulis dan pengamat Barat telah berbicara tentang kemunafikan dan perdagangan internasional yang tidak manusiawi tersebut, namun ketika ada yang mempersoalkan penjualan semacam itu, pemerintah mengabaikan pertanyaan itu atau berusaha mencari pembenaran terhadap apa yang nyata-nyata tak dapat dibenarkan –yang ada di dalam benak mereka hanyalah bagaimana supaya cek mereka dibayar lancar sehingga miliaran dana masuk kedalam anggaran nasional mereka sendiri. Singkatnya, masalah uang dan moralitas sudah tidak lagi menjadi persoalan. Lalu, bagaimana mungkin kedamaian dapat tercipta dalam suasana semacam itu?
Kelompok teroris juga berhasil mendapatkan persediaan persenjataan berat dan aliran dana yang tiada hentinya. Saya sering bertanya-tanya bagaimana mungkin kelompok teroris Daesh menjadi begitu kaya raya? Darimana mereka mendapatkan uang berjuta-juta? Mengapa pasokan dananya tak kunjung berhenti? Bagaimana ia bisa terus melakukan penjualan minyak dan membeli persenjataan? Negara-negara Barat dan PBB memiliki kemampuan menjatuhkan sanksi yang sangat ketat pada negara-negara kuat sekalipun, tetapi masih juga belum mampu memutus alur pendanaan untuk kelompok-kelompok semacam Daesh. Bahkan hingga sekarang, meskipun akhir-akhir ini ada upaya membatasi pendanaan Daesh, tetap saja mereka bias meraup jutaan dolar.
Baru-baru ini, Menteri Kanada untuk Keselamatan Publik, mengumumkan bahwa Pemerintah Kanada tidak akan lagi menyebut Daesh sebagai ‘negara Islam’. Dia mengatakan bahwa Daesh tidaklah Islami dan bukan pula sebuah Negara — komentarnya sangatlah baik dan membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah Barat sangat menyadari fakta bahwa terorisme semacam itu tidaklah didasarkan pada Islam. Namun pada saat yang sama, belum ada langkah-langkah efektif dilakukan untuk menghentikan pendanaan dan pertumbuhan kelompok tersebut.
Saya telah berbicara panjang lebar tentang tiadanya keadilan di dunia, jadi, sekarang saya akan menjelaskan bagaimana konsepsi Islam tentang keadilan. Karena waktu yang terbatas, saya akan mengutip dua ayat Al-Qur’an yang menggambarkan ajaran Islam yang sangat agung dalam hal keadilan dan kesetaraan.
Al-Quran Surah An-Nisa: 36 menyatakan:
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang menjadi penegak keadilan dan jadilah saksi karena Allah swt. walaupun bertentangan dengan dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabat. Baik ia orang kaya atau miskin, maka Allah swt. lebih memperhatikan kepada keduanya. Karena itu janganlah kamu menuruti hawa nafsu agar kamu dapat berlaku adil. Dan, jika kamu menyembunyikan kebenaran atau mengelakkan diri, maka sesungguhnya Allah swt. itu Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.
Dalam ayat ini, umat Islam telah diperintahkan agar siap memberikan kesaksian meskipun melawan diri mereka dan anggota keluarga mereka sendiri demi tegaknya kebenaran dan terciptanya keadilan. Loyalitas seorang Muslim terhadap kebenaran harus diletakkan diatas segalanya. Setelah itu dalam Al-Quran Surah Almaidah ayat 9 dikatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri teguh karena Allah, menjadi saksi dengan adil; dan janganlah kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlakulah adil; itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya, Allah swt. Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.”
Setelah diperintah untuk memberikan kesaksian yang benar meskipun melawan diri mereka sendiri, dalam ayat ini Al-Quran memerintahkan umat Islam agar bersikap adil kepada semua pihak, termasuk mereka yang memusuhi dan lawan-lawan mereka. Inilah standar keadilan yang agung yang dianjurkan oleh Islam dan apabila pemerintahan Muslim saat ini tidak mengamalkan ajaran ini maka itu adalah kesalahan mereka sendiri. Oleh karena itu, sangatlah tidak adil dan keliru jika mengambinghitamkan Islam atas perbuatan jahat mereka.
Selain itu, saya ulangi lagi bahwa dunia Barat bukan pula tak bersalah dan terserah mereka bila bersedia mengesampingkan kepentingan mereka sendiri dan tanpa pamrih bekerja menuju masa depan yang lebih baik dan lebih cerah bagi anak-anak kita dan generasi mendatang. Jika setiap kebijakan diambil berlandaskan pondasi keadilan dan integritas yang kuat maka secara otomatis konflik yang telah melanda dunia akan dapat terselesaikan tanpa harus menggunakan jalan-jalan kekerasan, pertumpahan darah dan tindakan-tindakan brutal — bila kita benar-benar ingin tercipta kedamaian di zaman kita ini maka kita harus bertindak secara adil, kita harus menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan.
Baik Muslim maupun non-Muslim harus mengupayakan standar keadilan universal yang diuraikan dalam Al-Quran, sebagaimana Nabi Muhammadsaw dengan begitu indah bersabda, kita harus menginginkan untuk orang lain, apa yang kita inginkan untuk diri kita sendiri. Kita harus memperjuangkan hak-hak orang lain dengan semangat dan tekad yang sama sebagaimana kita memperjuangkan hak-hak kita sendiri; kita harus memperluas cakrawala pemikiran kita dan memperjuangkan apa yang benar bagi dunia, alih-alih memperjuangkan apa-apa yang menurut kita benar. Inilah sarana-sarana menuju kedamaian dunia di zaman kita ini.
Dari dalam lubuk hati saya berdoa semoga Allah Taala menganugerahkan kesadaran kepada semua pihak, semua bangsa sehingga dengan semangat tanpa pamrih ini mereka semua dapat bekerjasama demi kemajuan umat manusia. Dengan kata-kata ini, saya mengucapkan terima kasih – terimakasih banyak”.
Penerjemah : Khaeruddin Ahmad Jusmansyah
Editor : Abdul Mukhlis Ahmad (Dewan Naskah)
Sumber : Review of Religions