روحانی حامل
(Ruuhaanii Hamil)
Kehamilan secara ruhani
Sebagaian Ulama keberatan menerima ungkapan tersebut sebagai wahyu dari Allah swt, karena tidak mungkin seorang laki-laki dapat hamil.
Guna memahami makna hamil secara rohani dan hamil secara haqiqi, hendaknya pembaca memperhatikan rujukan-rujukan dibawah ini:
Seorang Sufi termasyhur Hadhrat Sahl rohmatulloh ‘alaih berkata:
اَلْخَوْفُ ذَكَرٌ وَالرِّجَاءُ أُنْثَى مِنْهُمَا يَتَوَلَّدُ حَقَائِقُ اْلإِيمَانِ
Takut itu mudzakkar (laki-laki), sedangkan pengharapan adalah muannats (perempuan), dari keduanya akan melahirkan hakikat-hakikat keimanan.” (Syarah At-Ta’arruf, hal. 57)
Demikian pula Imam Ath-Thoifah Syeh Mawardi rohmatulloh ‘alaih berkata:
يَسِيرُ الْمُرِيدُ جُزْءَ الشَّيخِ كَمَا أَنَّ الْوَلَدَ جُزْءُ الْوَالِدِ فِى الْوِلاَدَةِ الطَّبْعِيَّةِ وَ تَصِيرُ هذِهِ الْوِلاَدَةُ آنِفًا وِلاَدَةً مَعْنَوِيَّةً
Seorang berjalan sesuai dengan langkah seorang guru, sebagaimana seorang anak merupakan bagian ayah dalam kelahiran secara alami dan kelahiran ini akan menjadi kelahiran secara maknawi di masa kini (Awariful-Ma’arif, Jilid I, hal. 45)
Lafazh Haamil dalam Al-Quran juga dipergunakan berkaitan dengan Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu:
وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ
Dan sebagian orang yang Kami bawa bersama Nuh (Maryam, 19:59).
Kemudian kata Haml juga dipergunakan berkaitan dengan orang-orang beriman, yaitu:
لاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan beban kepada kami seperti telah Engkau pikulkan kepada orang-orang sebelum kami.” (Al-Baqarah, 2:287).
Di sini lafazh haml mengandung arti membawa. Maka tidak diperkenankan memperolok-olokkan lafazh haml.
Penjelasan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menulis dengan jelas:
“Telah dipergunakan lafazh haml pada diriku dalam makna istiaroh atau qiasan (Kisyti Nuh, hal. 47). Dan lafazh haml tidak dipergunakan dalam arti haqiqi dan umum, melainkan dipergunakan dalam pengertian haml dalam sifat Isa as. “Sifat-sifat Maryam berpindah kepada sifat-sifat Isa as. (Kisyti Nuh, hal. 45)
Dengan demikian memperolok-olok tanpa alasan merupan ucapan yang jauh dari sifat terpuji, bahkan sangat tercela karena itu mencerminkan kebodohan yang seharusnya orang-orang beriman menghindarinya. Allah swt berfirman dalam Al-Quran:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Wahai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mencemoh kaum lain, mungkin mereka itu lebih baik daripada mereka; dan janganlah wanita mencemooh wanita lain, mungkin mereka itu lebih baik daripada mereka; dan janganlah kamu mencela orang-orang di antara kamu sendiri; begitu pula janganlah saling memanggil dengan nama ejekan. Seburuk-buruk nama adalah fasik sesudah beriman, dan siapa saja tidak bertobat, mereka itulah orang-orang aniaya.” (Al-Hujurot, 49:12)
Rasulullah saw melarang kaum muslimin mengejek atau mencaci-maki sesama muslim, teristimewa terhadap para pemimpin, sebagaimana sabda beliau berikut ini:
لاَ تَسُبُّوْا السُّلْطَانَ فَإِنَّهُ ظِلُّ اللهِ فِى أَرْضِهِ
Janganlah kamu mencaci Sultan, karena sesungguhnya dia itu bayangan Alloh di bumi-Nya (Kanzul-Ummal, Juz VI/14868)
لاَ تَسُبُّوْا السُّلْطَانَ فَإِنَّهُ فَيْئُ اللهِ فِى أَرْضِهِ
Janganlah kamu mencaci Sultan, karena sesungguhnya dia bayang-bayang Alloh (Kanzul-Ummal, Juz VI/14586)
لاَ تَسُبُّوْا اْلأَئِمَّةَ وَادْعُوْا لَهُمْ بِالصَّلاَحِ، فَإِنَّ صَلاَحَهُمْ لَكُمْ صَلاَحٌ
Janganlah kamu mencaci-maki Sultan, tetapi doakanlah kebaikan untuk mereka, karena sesungguhnya kebaikan mereka itu bermanfaat bagimu (Kanzul-Ummal, Juz VI/14587)