Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad memberitahukan bahwa Allah SWT telah menurunkan wahyu kepada beliau yang berbunyi sbb:
كَأَنَّ اللهَ نَزَلَ مِنَ السَّمَآءِ
(Ka’annAllaha nazala minas-samaa’i)
“Seakan-akan Allah turun dari langit.” (Haqiqatul-Wahyi, hal. 99)
Sebagian Ulama tidak mau mengakui ungkapan kalimat tersebut sebagai wahyu dari Allah SWT dengan alasan mustahil Allah SWT itu turun dari langit, karena Dia tidak membutuhkan tempat.
Jawaban Ahmadiyah:
a. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengartikan wahyu tersebut dalam bukunya berjudul Ainah Kamalati Islam dengan: “Kegagah-perkasaan Tuhan dan kebenaran telah tampak. (Ainah Kamalati Islam, hal. 95)
يَظْهَرُ بِظُهُورِهِ جَلاَلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Keperkasaan Tuhan sekalian alam menampak dengan penampakannya.” (Haqiqatul-Wahyi, hal. 95).
b. Guna mendukung kebenaran wahyu tersebut, di dalam Hadits tertera satu kesaksian sebagai berikut:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَآءِ الدُّنْيَا
“Sesungguhnya Yang Mulia Rasulullah shallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tuhan kami Yang Maha beberkat dan Maha-Tinggi turun setiap malam ke langit bumi”. (Al-Bukhori, Kitabus-Shalah, babud-Doa wash-shalah min Akhiril-lail, jilid I, hal. 133, Mathba’ Ilahiyah, Meshr dan Misykat Majtaba’i, hal. 109)
Apa yang dimaksudkan dengan “Tuhan kami turun setiap malam ke langit bumi?”. Jawabannya dapat dimengerti dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini:
Pertama, dalam Misykat Mahabbati terdapat suatu pernyataan sebagai berikut:
اَلنُّزُولُ وَالْهُبُوطُ وَالصُّعُودُ وَالْحَرَكَاةُ مِنَ الصِّفَاتِ اْلأَجْسَامِ وَاللهُ تَعَالَى مُتَعَالٍ عَنْهُ وَالْمُرَادُ نُزُولُ الرَّحْمَةِ وَقُرْبُهُ تَعَالَى
“Turun, naik dan bergerak merupakan sifat dari tubuh kasar; sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala suci dari memiliki sifat-sifat tersebut. Adapun yang dimaksud dengan “Turun” di sini yaitu turunnya rahmat dan kedekatan dengan Tuhan.” (Catatan kaki Misykat Mahabbati, hal. 109).
Kedua, Syah Waliyulloh Muhaddats Ad-Dehlwi rahmatullohi ‘alaih menjelaskan Hadits tersebut demikian:
قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى السَّمَآءِ الدُّنْيَا قَالُوا هذَا كِنَايَةٌ عَنْ تَهِيؤُ النُّفُوسِ ِلإِسْتِنْزَالِ رَحْمَةِ اللهِ … وَعِنْدِي إِنَّهُ مَعَ ذَالِكَ عِنَايَةٌ عَنْ شَيْئٍ مُتَجَدِّدٍ يَسْتَحِقُّ أَنْ يُعْتَبَرَ عَنْهُ بِالنُّزُولِ
“Yang Mulia Rasulullah shallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tuhan kami Yang Maha-beberkat dan Maha Tinggi turun ke langit dunia”, yakni ketika sepertiga bagian malam tersisa Allah berfirman: “Wahai hamba-Ku mintalah kepada-Ku Aku akan mengabulkan permohonanmu”. Mereka para Ulama mengartikan Hadits ini demikian, bahwa ini adalah qinayah dari jiwa manusia yang mampu menerima turunnya rahmat Ilahi … Menurut pendapatku dapat juga diartikan demikian: “Akan lahir sesuatu hal yang baru dalam hati yang dengan turun-Nya itu dapat mengambil pelajaran”. (Al-Hujjatul-Balighoh, hal. 37, terjemahan Urdu oleh Jemaat Islam Pers, Babun-Nawafil, catatan lembaran 37).
c. Di dalam kitab Muwaththo’ Imam Malik rahmatulloh ‘alaih, catatan halaman 44, bab Ma Ja’a Fi Dzikrilloh tertulis:
قَوْلُهُ يَنْزِلُ رَبُّنَا أَيْ نُزُولُ رَحْمَةٍ
“Bahwa yang dimaksud dengan kalimat: ”Tuhan kami turun”, yaitu turunnya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala”.
d. Dalam kitab Talkhisul-Mihtah, hal. 26 tertulis:
وَقَدْ يُطْلَقُ الْمَجَازُ … بِحَذْفِ لَفْظٍ أَوْ زِيَادَةِ لَفْظٍ كَقَوْلِهِ تَعَالَى جَآءَ رَبُّكَ … أَيْ أَمْرُ رَبِّكَ
“Ada kalanya dalam bentuk “Majaz” … ada suatu lafazh yang dibuang atau ditambah seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala: (جَاءَ رَبُّكَ ), maksudnya (جَاءَ أَمْرُرَبِّكَ). Jadi, maksud ayat tersebut adalah: “Rahmat Allah atau hukum Allah turun dari langit. Sebagaimana kata “JA’A RABBUKA” dalam ayat berikut tidak mungkin diartikan bahwa Allah, Tuhan kita datang dari satu tempat ke tempat lain:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
Dan Tuhan engkau datang dan para malaikat berbaris.” (Al-Fajr, 89:23)
Ayat tersebut dalam bentuk muhawaroh (idiom) yang artinya hukuman Tuhan akan datang untuk membinasakan dengan segera. Jadi, pada ayat tersebut ada kata “amr” yang dibuang. Hal itu dapat kita mengerti dari ayat-ayat lain yang senada dengan ayat tersebut. Perhatikanlah ketiga ayat berikut:
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ
“Hingga ketika datang perintah Kami dan memancarlah sumber mata air; Kami berkata: “Naikkanlah kedalam bahtera itu masing-masing dari jenis satu pasang.” (Hud, 11:41)
وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا هُودًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَنَجَّيْنَاهُمْ مِنْ عَذَابٍ غَلِيظٍ
“Dan ketika datang keputusan Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang telah beriman bersamanya dengan rahmat Kami. Dan, Kami selamatkan mereka dari adzab yang dahsyat.” (Hud, 11:59)
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَالِحًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَمِنْ خِزْيِ يَوْمِئِذٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ
“Maka ketika datang perintah kami, Kami selamatkan Soleh dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat Kami dan pula dari kehinaan pada hari itu. Sesungguhnya Tuhan engkau Dialah Yang Maha Kuat, Maha Perkasa.” (Hud, 11: 67).
Dengan mempertimbangkan ayat-ayat Al-Quran tersebut, maka alasan para Ulama yang berkeberatan untuk membenarkan wahyu Allah SWT yang telah diturunkan kepada Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah itu tidak dapat dibenarkan, karena jika alasan Ulama tersebut dibenarkan berarti mereka juga menolak kebenaran ayat-ayat Al-Quran tersebut sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi kita yang mulia, Muhammad Rasulullah SAW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberatan sebagian Ulama untuk mengakui ungkapan tersebut sebagai wahyu Allah karena belum membaca penjelasan penerima wahyu tersebut, atau karena kurang mendalami Al-Quran atau sengaja membuat fitnah untuk menumbuhkan kemarahan umat kepada Pendiri Ahmadiyah dan Jemaatnya.