اِعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَكَ
(I’mal maa syi’ta fainnii qad ghafartu laka)
“Berbuatlah sekehendakmu, sesungguhnya Aku telah mengampunimu.”
Sebagian Ulama keberatan mengakui ungkapan tersebut sebagai wahyu Allah swt yang diturunkan kepada Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, karena tidak mungkin Allah swt menghalalkan bagi Pendiri Ahmadiyah untuk melakukan perbuatan yang dilarang dalam Islam.
Jawaban: Cobalah perhatikan Hadits Rosulullah saw dan penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah berikut:
Yang mulia Rasulullah shollAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَلَّ اللهُ اِطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ وَقَالَ اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ الْجَنَّةُ أَوْ قَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Alloh subhanahu wa ta’ala telah menampakkan pertolongan kepada Ahli Badar seraya berfirman: ‘Kerjakan apa yang engkau inginkan, sekarang Surga telah ditetapkan untukmu atau Aku telah memaafkanmu.” (Al-Bukhori, Kitabul-Maghozi, bab Fadhlu Man Syahida Badron, jilid III, hal. 5, Mathba’ Ilahiyah, Mesir dan Muslim, bab Fadhoil Ahli Badr, Jilid II, hal. 259 dan Misykat, Majtaba’i, hal. 577).
Fakta membuktikan bahwa telah datang suatu keadaan atas orang-orang yang diterima Allah subhanahu wa ta’ala ketika mereka telah dijauhkan dari keburukan dan dosa. Dan telah dimasukkan ke dalam fithroh mereka kebencian yang sangat terhadap dosa itu. Dengan demikian tidak ada keberatan tentang hal itu.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri telah menafsirkan wahyu tersebut dalam Barahin Ahmadiyah, Jilid IV, hal. 561, catatan atas catatan jilid IV, juga pidato Hadhrat beliau dalam Al-Hakam, Jilid VII, No. 31, hal. 4 sebagai berikut:
‘Kalimat ini tidak bermaksud telah dihalalkan atasku apa-apa yang telah dilarang oleh Syariat. Bahkan, maksudnya adalah telah ditanamkan dalam pandanganku kebencian terhadap apa-apa yang dilarang dan dimasukkan ke dalam fithrahku kecintaan untuk beramal saleh seolah-olah kemauan Tuhan sudah menjadi kemauanku sebagai seorang hamba-Nya. Segala aspek keimanan dan kecintaan telah ditanamkan ke dalam pandangannya sebagai tuntutan fithrahnya sebagaimana dilukiskan dalam firman Allah swt berikut:
وَذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُعْطِيهِ مَنْ يَشَآءُ
“Dan itulah karunia Alloh yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki.” (Al-Maidah, 5:55)
Jadi, apa apa yang dikehendaki dan yang dilakukan Pendiri Jemaat Ahmadiyah ini merupakan manifestasi dari Iradah Allah Ta ‘ala sebagaimana firman-Nya berikut:
صِبغَةَ اللَّهِ ۖ وَمَن أَحسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبغَةً ۖ وَنَحنُ لَهُ عابِدونَ
“Katakanlah, kami menganut Agama Allah; dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam mengajarkan agama; dan kepada-Nya kami menyembah.” (Al-Baqarah, 2:139)
Sebagai seorang hamba yang tulus pasti berbuat persis dengan apa yang dikehendaki oleh tuannya, seperti itu pula maksud wahyu tersebut diturunkan kepada pendiri Jemaat Ahmadiyah, seakan-akan beliau datang Tuhan yang dating ke dunia ini. Hal demikian ini dalam bahasan tashawwuf sudah sangat dimaklumi, sampai-sampai ada seorang sufi yang menyatakan dengan ungkapan:
أَنَا أَحْمَدُ بِلاَ مِيمٍ وَأَنَا الْعَرَبُ بِلاَ عَيْنٍ
“Aku adalah Ahmad tanpa mim dan aku adalah Arab tanpa ‘ain”
Kata Ahmad kalau tanpa mim berarti Ahad, yaitu sifat Allah yang artinya Maha Esa, dan Arab kalau tanpa ‘ain berarti Rabb, yaitu sifat Allah yang artinya Tuhan Yang Maha Pemelihara semua makhluk.
Pendek kata seorang hamba Allah yang sempurna adalah orang yang berhasil membakar keinginan hawa nafsunya dan tuhan-tuhan palsunya dalam hatinya dengan menghidupkan kehendak Allah Ta‘ala dalam hatinya yang dimanifestasikan semua anggota badannya dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga apa yang diperbuat anggota badannya hanyalah semata-mata melaksakan apa yang dikehendaki Allah Ta‘ala sampai ia dapat mencapai kondisi “Wihdatusy-syuhuud” sebagaimana peristiwa yang dilukiskan Hadits Qudsi berikut ini:
وَمَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ عَيْنَهُ الَّتِي يُبْصِرُ بِهَا وَأُذُنَهُ الَّتِي يَسْمَعُ بِهَا وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَفُؤَادَهُ الَّذِي يَعْقِلُ بِهِ وَلِسَانَهُ الَّذِي يَتَكَلَّمُ بِهِ إِنْ دَعَانِي أَجَبْتُهُ وَإِنْ سَأَلْتَنِي أَعْطَيْتُهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْئٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ وَفَاتِهِ وَذَالِكَ ِلأَنَّهُ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَائَتَهُ
Seorang hamba-Ku yang senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan ibadah nafal sehingga Aku mencintainya, apabila Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan; Aku akan menjadi hatinya yang dengannya ia berpikir; Aku menjadi lidahnya yang dengannya ia berbicara; jika ia memanggil-Ku Aku menjawabnya; jika ia meminta kepada-Ku Aku memberinya; Aku tiada ragu melakukan sesuatu selain mencabut nyawanya; Karena yang demikian itu karena ia benci kepada kematian itu dan Aku membenci keburukannya.” (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Abu Ya’la dalam Musnadnya, Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, Abu Nu’aim dalam Ath-Thib, Al-Bukhari, Muslim dalam Az-Zuhd, Ibnu Asakir dari Aisyah radhiyAllohu ‘anha dan Kanzul-Ummal, Juz I/1157)