Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (Manusia-manusia Istimewa, seri 63)

hazrat mirza masroor ahmad

Pembahasan mengenai seorang Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr). Lanjutan mengenai Hadhrat Sa’d bin Ubadah radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 17 Januari 2020 (Sulh 1399 Hijriyah Syamsiyah/ 24 Rajab 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Beberapa khutbah terakhir ini masih membahas mengenai Hadhrat Sa’d bin Ubadah radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Pada hari ini pun saya akan menyampaikan bagian akhir tentang beliau. Setelah kewafatan Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam kaum Anshar mencalonkan nama Hadhrat Sa’d bin Ubadah secara khusus pada pemilihan khalifah.

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad juga dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin menulis bahwa Anshar memiliki antusias tinggi untuk mencalonkan Hadhrat Sa’d bin Ubadah sebagai Khalifah. Beliau adalah pemimpin kaum. Ketika Hadhrat Abu Bakr terpilih sebagai Khalifah, beliau tetap mengalami keraguan tentang hal ini atau goyah bahkan setelah itu karena sebelumnya kaum Anshar bersikeras menghendaki beliau yang terpilih sebagai Khalifah.

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan secara jelas perihal keutamaan maqam (kedudukan) Khilafat dengan merujuk pada peristiwa tersbut. Karena itu, saya menganggap perlu untuk menyampaikan hal tersebut. Untuk itu diperlukan waktu yang banyak. Sebelumnya saya akan sampaikan hadits dan rujukan sejarah berkaitan dengan hal tersebut.

Humaid Bin Abdurrahman mengatakan (عَنْ حُمَيْدِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ:): تُوُفِّي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبُو بَكْرٍ في طَائِفَةٍ مِنَ الْمَدِينَةِ، قَالَ: فَجَاءَ فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ، فَقَبَّلَهُ، وَقَالَ: “Pada saat kewafatan Rasulullah (saw), Hadhrat Abu Bakr tengah berada di sekitar Madinah Munawwarah. Ketika beliau ra tiba, beliau menyingkapkan kain penutup wajah jenazah Rasulullah (saw) lalu mencium wajah penuh berkat beliau dan bersabda, فِدَاكَأَبِيوَأُمِّي،مَاأَطْيَبَكَحَيًّاوَمَيِّتًا،مَاتَمُحَمَّدٌصلىاللهعليهوسلموَرَبِّالْكَعْبَةِ ‘Ayah dan Ibuku rela berkorban demi engkau! Betapa sucinya keadaan engkau ketika masih hidup dan setelah kewafatan. Demi Tuhannya Ka’bah, Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.’1

Setelah itu Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Umar lekas berangkat ke Saqifah Banu Saidah. Sesampainya di sana Hadhrat Abu Bakr mulai berdialog. Tidak ada ayat Alquran yang luput dari penyampaiaan beliau berkaitan dengan Anshar dan juga menjelaskan segala keistimewaan Anshar yang pernah disampaikan oleh Rasulullah (saw).

Beliau berkata, لقدعَلِمْتُمْأَنَّرَسُولَاللَّهِقَالَ: لَوْسَلَكَالنَّاسُوَادِيًاوَسَلَكَتِالأَنْصَارُوَادِيًاسَلَكْتُوَادِيَالأَنْصَارِ “Kalian juga mengetahui bahwa Rasulullah (saw) pernah bersabda: ‘Jika sebagian orang berjalan di suatu lembah sedangkan Anshar berjalan pada lembah yang lainnya, maka saya akan berjalan di lembah yang terdapat Anshar.’”

Hadhrat Abu Bakr berbicara kepada Hadhrat Sa’d bin Ubadah: وَلَقَدْعَلِمْتَيَاسَعْدُأَنَّرَسُولَاللَّهِقَالَوَأَنْتَقَاعِدٌ: قُرَيْشٌوُلاةُهَذَاالأَمْرِ،فَبَرُّالنَّاسِتَبَعٌلِبَرِّهِمْ،وَفَاجِرُهُمْتَبَعٌلِفَاجِرِهِمْ ‘Wahai Sa’d! Engkau mengetahui ketika engkau tengah duduk Rasulullah (saw) pernah bersabda, ‘Yang berhak untuk menjadi Khalifah adalah dari kalangan Quraisy. Siapa saja yang baik diantara orang-orang maka mereka akan mengikuti orang-orang baik di kalangan Quraisy. Sedangkan para pendosa akan menjadi pengikut bagi para pendosa dari kalangan Quraisy.’

Hadhrat Sa’d berkata: صَدَقْتَ،فَنَحْنُالْوُزَرَاءُوَأَنْتُمُالأُمَرَاءُ ‘Benar apa yang Anda katakan. Kami adalah menteri dan Anda semua adalah pemimpin.’” Dikutip dari hadits Musnad Ahmad Bin Hanbal.2

Berkenaan dengan hal ini dalam kitab ath-Thabaqat al-Kubra tertulis: أَنَّأَبَابَكْرٍبَعَثَإِلَىسَعْدِبْنِعُبَادَةَأَنْأَقْبِلْفَبَايِعْفَقَدْبَايَعَالنَّاسُوَبَايَعَقَوْمُكَ. فَقَالَ:“Setelah kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw), Hadhrat Abu Bakr mengirimkan pesan kepada Hadhrat Sa’d bin Ubadah untuk baiat karena orang-orang telah baiat begitu juga dengan kaumnya Sa’d.

Atas hal itu Sa’d berkata: لاوَاللَّهِلاأُبَايِعُحَتَّىأُرَامِيَكُمْبِمَافِيكِنَانَتِيوَأُقَاتِلَكُمْبِمَنْتَبِعَنِيمِنْقَوْمِيوَعَشِيرَتِي. ‘Demi Tuhan, saya tidak akan baiat sebelum saya lontarkan seluruh anak panah yang terdapat di dalam wadahnya kepada orang-orang dari antara kalian.’”3

Maksudnya, Hadhrat Sa’d menolak untuk baiat (menurut rujukan ini) dan berkata, “…sehingga saya berperang melawan kalian bersama dengan pengikut dari antara kaum dan kabilah saya.”

فَلَمَّاجَاءَالْخَبَرُإِلَىأَبِيبَكْرٍقَالَبَشِيرُبْنُسَعْدٍ: “Ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) mendapatkan kabar tersebut, Basyir Bin Sa’d (ra) berkata: يَاخَلِيفَةَرَسُولِاللَّهِإِنَّهُقَدْأَبَىوَلَّجَوَلَيْسَبِمُبَايِعِكُمْأويقتلولنيقتلولنيقتلالْخَزْرَجُحَتَّىتُقْتَلَالأَوْسُ. فَلاتُحَرِّكُوهُفَقَدِاسْتَقَامَلَكُمُالأَمْرُفَإِنَّهُلَيْسَبِضَارِّكُمْإِنَّمَاهُوَرَجُلٌوَحْدَهُمَاتُرِكَ. فَقَبِلَأَبُوبَكْرٍنَصِيحَةَبَشِيرٍ. فَتَرَكَسَعْدًا ‘Wahai Khalifah Rasulullah (saw)! Ia telah menolak dan bersikeras untuk itu. Ia tidak akan baiat sekalipun dibunuh dan sekali-kali ia tidak akan dapat dibunuh sebelum anak-anak dan kabilahnya dibunuh bersamanya. Mereka tidak akan dapat dibunuh sebelum kabilah Khazraj dibunuh. Kaum Khazraj sekali-kali tidak akan dapat dibunuh sebelum kabilah Aus dibunuh. Maka dari itu, Anda tidak perlu menindak mereka karena bagi Anda urusan sudah jelas bahwa ia tidak akan dapat menimpakan kerugian kepada anda.’”

Maknanya, “Sebagian besar kaum Sa’d telah baiat. Jika dia ingkar, tidaklah mengapa karena ia hanya sebatang kara (seorang diri) dan sudah ditinggalkan.’

Hadhrat Abu Bakr menerima nasihat Hadhrat Umar Bashir untuk meninggalkan Sa’d bin Ubadah.

Pada masa kekhalifahan Hadhrat Umar, suatu ketika Hadhrat berjumpa dengan Hadhrat Sa’d di suatu jalan Madinah, Hadhrat Umar bersabda, إيهياسعدإيهيَاسَعْدُ!

‘Katakanlah wahai Sa’d!’

Sa’d menjawab, إِيهِيَاعُمَرُ! ‘Katakanlah wahai Umar!’

Terjadilah perbincangan antara keduanya. Hadhrat Umar bersabda, أنتصاحبماأنتعليه؟Apakah kamu masih seperti dulu?

Sa’d menjawab, نعمأناذلك. وقدأفضىاللهإليكهذاالأمر. وكانواليهصَاحِبُكَأَحَبَّإِلَيْنَامِنْكَوَقَدْوَاللَّهِأَصْبَحْتُكارهًالجوارك Ya saya masih seperti dulu, Anda telah mendapatkan khilafat dan banyak orang yang baiat, namun sampai sekarang saya masih belum baiat. Demi Tuhan, kawan Anda yakni Hadhrat Abu Bakr Ra lebih kami cintai daripada anda, demi Tuhan, saya tidak suka bertetangga dengan anda.

Hadhrat Umar bersabda: إنمنكرهجارًاجاورهتَحَوَّلَعَنْهُ Barangsiapa tidak menyukai persahabatan dengan tetangganya, silahkan pindah dari tempatnya.

Hadhrat Sa’d berkata: أَمَاأَنِّيغَيْرُمستسربِذَلِكَوَأَنَامُتَحَوِّلٌإِلَىجِوَارِمَنْهُوَخيرمنجوارك Saya tidak akan pernah lupa, saya akan melakukannya, saya akan akan pindah ke pertetanggaan yang lebih baik dari anda.’

فَلَمْيَلْبَثْإِلاقَلِيلاحَتَّىخَرَجَمُهَاجِرًاإِلَىالشَّامِفِيأَوَّلِخِلافَةِعُمَرَ. رحمهاللَّهُ Tidak berselang waktu lama lalu Hadhrat Sa’d pindah ke negeri Syam pada masa awal kekhalifahan Hadhrat Umar (Tabaqatul Kubra).4

Berkenaan dengan Hadhrat Sa’d (ra) diriwayatkan juga bahwa beliau baiat kepada Hadhrat Abu Bakr sebagaimana tertulis dalam Tarikh ath-Thabari: وتتابعالقومعلىالبيعةوبايعسعد ‘Seluruh kaum baiat kepada Hadhrat Abu Bakr secara bergiliran begitu pun Hadhrat Sa’d.’5

Seperti yang telah saya sampaikan bahwa di dalam keterangan yang disampaikan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) mencakup banyak sisi diantaranya, kenapa baiat kepada Khilafat itu penting dan bagaimana kedudukan Khilafat dan apa yang dilakukan oleh Hadhrat Sa’d, bagaimana statusnya.

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda pada satu khotbah beliau, “Qatala pun dapat dimaknai memutuskan hubungan. Setelah kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw), timbul selisih pendapat diantara para sahabat. Kaum Anshar beranggapan, ‘Khilafat adalah hak kami dan kami adalah pewarisnya. Sekurang-kurangnya jika ada satu Khalifah dari antara Muhajirin, begitupun seharusnya satu Khalifah juga dari kalangan Anshar yakni dari keduanya ada.’

Banu Hasyim beranggapan, ‘Khilafat adalah hak kami, Rasulullah (saw) berasal dari keluarga kami.’6

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Hadhrat Umar (ra) berkata di peristiwa Saqifah, اقْتُلُواسَعْدًاقَتَلَهاللَّهُ ‘Bunuhlah Sa’d, niscaya Allah membunuhnya!’ أَياجْعَلُوهُكَمَنْقُتِلواحْسِبوه[احْسُبوه] فِيعِدادمَنْمَاتَوَهَلَكَ،وَلَاتَعْتَدُّوابمَشْهَدهوَلَاتُعَرِّجواعَلَىقَوْلِهِ. Maknanya ialah jadikanlah ia seperti orang mati atau anggaplah ia sebagai termasuk orang yang telah mati atau binasa. Janganlah menganggap kehadirannya.7

Meskipun Muhajirin menginginkan supaya Khalifah dipilih dari kalangan bangsa Quraisy karena orang-orang Arab hanya mau mendengar ucapan bangsa Quraisy saja, namun Quraisy tidak mencalonkan seseorang secara khusus melainkan menyerahkan sepenuhnya penetapan khilafat tersebut pada pemilihan.”

Artinya, siapapun yang dipilih oleh umat Islam, dialah yang akan dianggap sebagai pilihan Allah Ta’ala.

Ketika mereka menyampaikan anggapan tersebut maka orang-orang Anshar dan Banu Hasyim sepakat, namun hal tersebut tidak dapat dipahami oleh seorang sahabat. Dia adalah sahabat Anshar yang pernah dicalonkan oleh kalangan Anshar untuk menjadi Khalifah. Mungkin saja beliau menganggap hal tersebut mencoreng kehormatannya atau hal itu tidak dipahami olehnya. Apapun alasannya, beliau telah mengatakan tidak siap untuk baiat kepada Abu Bakr.

Ucapan Hadhrat Umar pada kesempatan itu kita jumpai dalam berbagai rujukan sejarah yaitu, ‘Uqtuluu Sa’dan’ artinya, “Bunuhlah Sa’d!”.8 Namun Hadhrat Umar sendiri tidak membunuhnya. Tidak juga sahabat yang lainnya membunuhnya. Sebagian pakar Bahasa menulis bahwa yang dimaksud oleh Hadhrat Umar hanyalah memutuskan hubungan dengan Sa’d.

Pada beberapa rujukan sejarah tertulis, فكانسعدلايصليبصلاتهم،ولايجمعبجمعتهم،ولايفيضبإفاضتهم،ولويجدعليهمأعوانالصالبهم،ولوبايعهأحدعلىقتالهملقاتلهم،فلميزلكذلكحتىتوفيأبوبكررحمهالله،ووليعمربنالخطاب،فخرجإلىالشام،فماتبها،ولميبايعلأحد،رحمهالله. ‘Hadhrat Sa’d setelah itu rutin datang ke masjid dan biasa melakukan shalat sendiri di masjid lalu pulang. Tidak ada sahabat yang berbicara padanya…’9 Alhasil, maksud dari qatala di sini adalah memutuskan hubungan atau terpisah dari kaum.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan lebih lanjut perihal Hadhrat Sa’d bin Ubadah. Kutipan yang saya bacakan sebelumnya, berkaitan dengan khutbah tersebut Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Pada khotbah sebelumnya saya pernah menyebutkan perihal seorang sahabat Anshar bahwa setelah kewafatan Rasulullah (saw) para Sahabat kalangan Anshar mengusulkan supaya yang dipilih untuk menjadi Khalifah hendaknya dari kalangan Anshar. Akan tetapi, para Muhajirin – khususnya Hadhrat Abu Bakr – menyampaikan kepada para sahabat bahwa pemilihan seperti itu akan tidak memberikan manfaat bagi umat Muslim karena mereka tidak akan pernah setuju dengan pemilihan seperti itu (yaitu dengan memilih Khalifah dari kalangan Anshar). Kaum Anshar dan Muhajirin pun berkumpul dan bersepakat untuk baiat di tangan seorang dari kalangan Muhajirin. Pada akhirnya mereka semua sepakat untuk baiat di tangan Hadhrat Abu Bakr.”

Tidak mungkin bagi tiap orang untuk menyetujui siapa pun dari kalangan Anshar dan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan begitu juga para Sahabat lainnya menjelaskan bahwa keputusan seperti itu tidak akan bermanfaat. Maka dari itu, dilakukanlah keputusan bahwa Khalifah hendaknya dipilih dari kalangan Muhajirin dan hal ini disetujui bersama bahwa Khalifah tersebut ialah Hadhrat Abu Bakr (ra).

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Pernah saya katakan bahwa ketika Sa’d menolak untuk baiat, Hadhrat Umar (ra) bersabda: Uqtuluu Sa’d artinya bunuhlah Sa’d. Namun beliau Ra tidak membunuh Sa’d. Tidak juga ada sahabat yang membunuhnya. Kenyataannya, Hadhrat Sa’d terus hidup sampai pada masa kekhalifahan Hadhrat Umar.”

Sebagaimana telah saya sebutkan, Hadhrat Sa’d bin Ubadah (ra) terus hidup sampai pada masa kekhalifahan Hadhrat Umar dan wafat di negeri Syam (Syria) pada masa kekhalifahan Hadhrat Umar. Beliau telah bermigrasi ke Syria dan wafat di sana.

“Para aimmah Salaf (cendekiawan di masa lalu) beristidlal bahwa yang dimaksud qatala dalam hal kalimat ini bukanlah pembunuhan secara jasmani melainkan pemutusan hubungan. Dalam Bahasa Arab Qatala memiliki banyak arti konotatif. Dalam Bahasa Urdu memang kata qatal hanya diartikan membunuh secara jasmani namun dalam Bahasa Arab jika digunakan kata qatala maka itu memiliki banyak arti yang mana salah satu artinya adalah pemutusan hubungan dengan seseorang.

Para ahli lughat beristidlal (berargumen) bahwa kata qatala yang dinyatakan oleh Hadhrat Umar bukanlah maksudnya membunuhnya melainkan memutuskan hubungan, yaitu menjaga jarak darinya atau tidak bercakap-cakap dengannya.

Jika kata qatala tersebut diartikan secara lahiriah, lantas Hadhrat Umar Ra yang notabene seorang pemberani, kenapa tidak beliau sendiri yang membunuhnya? Atau, kenapa tidak ada seorang pun sahabat yang membunuhnya? Hadhrat Umar tidak hanya tidak membunuhnya pada saat itu bahkan pada masa kekhalifahannya pun beliau tidak membunuhnya. Malahan ada yang berpendapat Hadhrat Sa’d masih tetap hidup paska wafatnya Hadhrat Umar dan tidak ada sseorang sahabat pun yang membunuhnya.

Alhasil, jelaslah bahwa yang dimaksud qatala di sini adalah pemutusan hubungan, bukan membunuh secara jasmani. Meskipun Hadhrat Sa’d telah terpisah dari para sahabat pada umumnya, namun tidak ada seorang pun yang menyerangnya.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Saya pernah memberikan contoh, jika ada yang melihat dalam rukya (mimpi) seseorang dibunuh maka ta-bir (pengertian) dari rukya tersebut bisa saja orang itu diputuskan hubungan dengannya atau diboikot.”

Merujuk pada salah satu khotbah sebelumnya, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda lebih lanjut, “Setelah mendengarkan khotbah saya, ada seseorang yang mengatakan kepada saya bahwa meskipun Sa’d tidak baiat, namun Hadhrat Sa’d selalu diikutsertakan dalam musyawayah. Artinya, Hadhrat Abu Bakr biasa mengikutsertakan Hadhrat Sa’d dalam musyawayah.”

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (shallaLlahu ‘alaihi wa sallam) (Manusia-Manusia Istimewa seri 41)

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Apa yang dikatakan oleh orang ini perihal Hadhrat Sa’d,dapat memberikan dua makna. Pertama itu merupakan bentuk penolakan atas penjelasan yang telah saya sampaikan (mengenai makna qatala menurut lughat) atau dia berpikiran tidak baiat kepada Khilafat bukanlah merupakan dosa yang sangat besar.”

Kedua, orang itu ingin membuktikan bahwa jika Sa’d tidak baiat kepada Khilafat maka itu bukanh merupakan dosa besar karena meskipun Sa’d tidak baiat, namun selalu diikutsertakan dalam musyawarah-musyawarah.

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda: “Seorang penyair berkata [bahasa Persia]: تا مرد سخن نگفتہ باشدعیب و ہنر نہفتہ باشد Artinya: ‘Aib dan keahlian manusia tidak tampak sebelum manusia berbicara, ketika insan berbicara, ia memperlihatkan aibnya berkali kali.’ Itu artinya, ketika manusia terdiam, aibnya tidak tampak. Akan tetapi, ketika ia berbicara terkadang hal hal yang bodoh tampak darinya.’”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Pernyataan orang tersebut…” – yaitu yang menyampaikan pujian kepada Hadhrat Sa’d ini bahwa Hadhrat Sa’d selalu ikut serta dalam musyawarah atau orang yang mengomentari khutbah Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) tersebut – “dari ucapannya memberikan kesan bahwa ia ingin meremehkan baiat kepada Khilafat atau ingin memamerkan keilmuannya. Akan tetapi, kedua hal tersebut adalah keliru. Memamerkan keilmuan tidak dapat memberikan faidah karena ucapannya itu begitu keliru sehingga setiap orang berakal akan tertawa mendengarnya.

Di dalam sejarah Islam terdapat tiga buku yang sangat masyhur yang menjelaskan berkenaan dengan peri kehidupan para sahabat. Tiga buku sejarah itu ialah Tahdziibut Tahdziib, Al-Ishabah fi Tamyizish Shahaabah dan Usdul Ghaabah. Di dalam ketiga buku tersebut tertulis bahwa Sa’d memisahkan diri dari para Sahabat yang lainnya lalu hijrah ke Syam dan akhirnya wafat di sana.10 Lebih lanjut, di dalam Kitab-Kitab lughat pun dibahas mengenai kata qatala saat merujuk pada peristiwa tersebut.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda: “Diantara para sahabat terdapat 60 sampai 70 orang yang memiliki nama Sa’d. Salah satu diantaranya adalah Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash yang termasuk ke dalam ‘Asyrah Mubasyarah (10 orang yang mendapat kabar suka masuk surga) yang pernah ditetapkan sebagai komandan oleh Hadhrat Umar (ra) dan selalu ikut serta dalam berbagai musyawarah. Tampaknya orang yang melontarkan keberatan itu..”, yaitu orang yang setelah mendengar nama Sa’d pada khotbah Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra), “disebabkan oleh kekurangan ilmu tidak dapat memahami bahwa Sa’d yang ini tidaklah sama dengan Sa’d yang tadi. Namun orang ini langsung saja mengomentari demikian mengenai khutbah saya. Saat ini saya tidaklah sedang membahas Sa’d Bin Abi Waqqash, sahabah Muhajirin melainkan Sa’d Anshari (orang Anshar). Selain kedua Sa’d itu masih banyak lagi Sa’d Sa’d lainnya, bahkan jumlahnya sekitar 60 sampai 70 Sa’d. Sa’d yang tengah saya bahas adalah Sa’d bin Ubadah.

Di kalangan orang Arab sebenarnya nama-nama tidaklah banyak. Pada umumnya dalam satu kampung banyak orang yang memiliki nama yang sama sehingga jika ingin menyebut nama seseorang harus menghubungkan kepada nama ayahnya. Misalnya, tidak hanya menyebut nama Sa’d melainkan Sa’d bin Ubadah atau Sa’d Bin Abi Waqqash. Jika setelah dinisbahkan kepada ayahnya masih belum dikenali maka disebutkan juga daerahnya, jika masih belum dikenali juga, disebutkan juga kabilahnya. Sebagaimana dalam sejarah telah banyak dibahas mengenai satu Sa’d karena namanya mirip dengan nama sahabat lainnya sehingga para sejarawan menulis bahwa misalnya yang dimaksud adalah Sa’d tersebut atau Sa’d Khazraji (orang dari keluarga Khazraj, Anshar).

Dari hal ini jelas bahwa orang yang melontarkan keberatan ini tidak memahami perbedaan nama-nama tersebut sehingga langsung saja melontarkan keberatan yang seperti itu. Akan tetapi, perbuatan demikian tidaklah dapat meningkatkan wawasan orang lain malahan membuka tabir kebodohan.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) lebih lanjut bersabda: “Khilafat merupakan sesuatu status yang jika ditinggalkan seseorang tidak dapat meraih kehormatan. Mesjid dimana saya tengah menyampaikan khotbah ini.” – Tampaknya masjid Aqsa – “Di masjid ini juga saya pernah mendengar Hadhrat Khalifatul Masih Awwal (ra) bersabda, ‘Apakah kamu tahu, siapakah musuh dari Khalifah sebelumnya?’

Beliau menjawab sendiri pertanyaan tersebut, ‘ Bacalah Al-Quran, darinya kamu akan tahu bahwa musuhnya adalah iblis. Allah Taala menjadikan Adam sebagai Khalifah dan musuhnya adalah iblis. Saya pun adalah seorang Khalifah dan yang memusuhiku juga adalah manifestasi iblis.’”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Tidak diragukan lagi bahwa seorang Khalifah bukanlah Ma-mur (utusan), meskipun bukan suatu keharusan bahwa seorang Khalifah bukan Ma-mur. Hadhrat Adam adalah Ma-mur juga dan di sisi lain seorang Khalifah juga. Begitu juga Hadhrat Daud ialah seorang Ma-mur dan seorang Khalifah. Demikian pula Hadhrat Masih Mau’ud (as) ialah seorang Ma-mur dan seorang Khalifah. Segenap para Nabi pun merupakan Ma-mur dan Khalifah yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala.

Sebagaimana manusia di satu sisi merupakan seorang Khalifah, demikian pula para Nabi adalah juga Khalifah-Khalifah. Akan tetapi, ada juga jenis Khalifah yang bukanlah Ma-mur.

Meskipun demikian, dari sisi ketaatan tidak dibedakan diantara keduanya., sebagaimana diwajibkan untuk taat kepada Nabi begitu juga kepada khalifah. Ya, dalam menunjukkan ketaatan kepada keduanya terdapat satu perbedaan. Yaitu taat kepada seorang Nabi dilakukan sebab Nabi merupakan titik kumpul wahyu Ilahi dan kesucian.” (Para Nabi merupakan pusat turunnya wahyu Ilahi dan kesucian) “Namun ketaatan kepada Khalifah tidaklah dilakukan karena Khalifah merupakan markas wahyu Ilahi dan kesucian [dalam derajat yang sama] melainkan ditaati karena Khalifah merupakan seorang yang ditunjuk untuk melakukan pengenalan luas dan penyiaran wahyu Ilahi yang telah dibawa oleh para Nabi.”

Itu artinya, seorang Khalifah menyiarkan wahyu yang turun kepada seorang Nabi dan juga menjadi markas dalam menjalankan Nizham yang dibangun oleh seorang Nabi. Karena itulah orang-orang yang memahami biasa mengatakan bahwa para Nabi meraih ‘Ishmat Kubra’ (penjagaan penuh) sedangkan para Khalifah mendapatkan ‘Ishmat shughra’ (penjagaan yang lebih minimal dibanding para Nabi).”11

Dalam masjid dimana Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) tengah bersabda, “Di dalam masjid ini juga saya pernah mendengar Hadhrat Khalifatul Masih pertama pernah bersabda diatas mimbar pada kesempatan ibadah jumat, ‘Kalian tidak dapat bebas keluar dari ketaatan disebabkan kalian menemukan suatu kekurangan dalam suatu amal perbuatan pribadi saya. Jika kamu menemukan suatu kekurangan amal perbuatan pribadi saya, tidaklah berarti kalian telah terkeluar dari ketaatan. Tidak mungkin terkeluar dari ketaatan yang telah Allah Ta’ala wajibkan bagi kalian karena tugas yang ada dipundak saya adalah lain dan itu merupakan kesatuan nizam. Maka dari itu, kesetiaan pada saya adalah sesuatu yang penting dan lazim.

Merupakan Sunnah Ilahi bahwa para Nabi mempunyai kelemahan manusiawi dan hal ini dilakukan untuk menunjukkan perbedaan antara Tauhid (keesaan Tuhan) dan Risalah (kenabian atau kerasulan). Dalam hal kelemahan para Rasul ini Allah Ta’ala tidak turut serta karena itu penting untuk mendidik umat. Contohnya sujud sahwi yang terjadi karena kelupaan namun tujuannya adalah untuk mengajarkan ajaran nyata kepada umat perihal hukum sahwi. Ini merupakan kekeliruan yang dapat dilakukan oleh seorang Nabi sekalipun. Pernah juga terjadi pada Rasulullah (saw) dan setelah melakukannya, Rasulullah (saw) mengamalkan sujud sahwi.

Berkenaan dengan para nabi, setiap amalannya berada dalam lindungan Allah ta’ala. Sedangkan berkenaan dengan para Khalifah, merupakan Sunnah Allah ta’ala setiap amalan yang ia lakukan untuk kemajuan Nizham Jemaatnya berada dalam lindungan Allah Ta’ala. Khalifah tidak akan melakukan kesalahan yang seperti itu dan jika melakukannya maka itu tidak akan menimbulkan kerusakan dalam jemaat dan tidak akan merubah kemenangan islam menjadi kekalahan. Amal perbuatan yang dilakukan oleh Khalifah untuk memperkuat Nizham dan untuk mengunggulkan Islam akan disertai perlindungan Ilahi. Jika pun seorang Khalifah melakukan kekeliruan maka Allah Ta’ala sendiri yang bertanggung jawab untuk melakukan ishlah (perbaikan) atasnya. Seolah-olah yang bertanggung jawab atas amalan Khalifah berkenaan dengan Nizham bukanlah Khalifah sendiri melainkan Allah Ta’ala. Maka dari itu, dikatakan Allah ta’ala sendiri yang selalu menegakkan Khilafat.

Hal ini bukanlah artinya seorang Khalifah tidak dapat melakukan kekeliruan melainkan maksudnya adalah Allah Ta’ala akan melakukan ishlah kekeliruan itu dengan perantaraan lisan ataupun amal perbuatan sang Khalifah itu sendiri. Jika Allah ta’ala tidak melakukan demikian maka Allah ta’ala akan mengubah dampak buruk kekeliruan itu yakni kemudian tidak akan berdampak buruk. Jika hikmat Allah Ta’ala menghendaki agar Khalifah tidak melakukan hal yang pada lahiriahnya akan berdampak merugikan bagi umat Muslim dan dapat menimbulkan marabahaya bagi Jemaat sehingga bukannya kemajuan, malah akan bergerak menuju kemunduran maka Allah Ta’ala akan mengubah kemungkinan dampak buruk kekeliruan itu dengan sarana-sarana yang sangat gaib sehingga bukannya menuju pada kemunduran justru Jemaat akan melangkah pada kemajuan karenanya. Hikmah tersembunyi muncul demi menutupi kelupaan dan kekeliruan di dalam hati seorang Khalifah.

Namun, para Nabi meraih kedua hal itu yakni meraih Ismat Kubra dan Ismat Sugra juga. Para Nabi merupakan pusat nizham (sistem) penyebaran pesan Tuhan dan sekaligus merupakan refleksi (cermin) sempurna wahyu Ilahi dan perwujudan sempurna kesucian (kesalehan) amal perbuatan. Tetapi, hal ini bukanlah artinya setiap Khalifah pasti bukan perwujudan sempurna kesucian (kesalehan) amal perbuatan. Mungkin saja dalam beberapa amalan tertentu yang berkaitan dengan kesucian amalan seorang Khalifah lebih kurang dibanding para Wali lainnya.

Dengan demikian, terdapat kemungkinan adanya para Khalifah yang meskipun merupakan perwujudan sempurna kesucian (kesalehan) amal perbuatan dan pusat nizham (sistem) penyebaran pesan tersebuttetapi lebih kurang dibanding orang-orang yang lainnya dalam hal kesalehan [dalam beberapa aspek tertentu kesalehan]. Namun dari sisi kemampuan mengelola dan menjalankan Nizham penyiaran pesan dakwah seorang Khalifah pasti lebih unggul dari orang-orang yang lainnya. Di segala situasi, setiap orang wajib untuk menaati seorang Khalifah dalam berbagai hal karena Nizham tersebut berkaitan dengan jamaati siyasat (siyasat/politik jemaat).”

Saat ini orang-orang langsung merasa heran mendengar istilah siyasat (politik) jemaat. Sebagian orang pasti berpikir apa maksud siyasat jemaat ini. Pada umumnya dalam Bahasa kita istilah siyasat (politik) memberikan makna buruk dan digunakan dalam corak negatif. Hal demikian karena ada sebagian politisi yang mencemarkan istilah tersebut yakni menghancurkan, merugikan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan baik.

Namun arti sebenarnya kata (siyaasah atau politik) itu yang kita dapatkan dalam lughat adalah metode yang baik untuk menjalankan nizam. Menjalankan suatu sistem dengan baik disebut dengan siyaasah. Arti lainnya ialah bekerja dengan bijak.

Arti lainnya juga adalah menegakkan Nizham untuk mencegah keburukan, artinya menjalankan suatu pekerjaan dengan akal sehat dan bijak demi memastikan sistim berjalan dengan baik dan mencegah keburukan. Arti lainnya ialah kemampuan untuk mengurusi urusan international dengan cara yang benar. Itulah siyasat atau politik yang sesungguhnya seolah-olah seluruh hal positif tersebut merupakan arti kata (politik) tersebut. Namun, seperti yang telah saya katakan, sayangnya kita melupakan makna aslinya dan mengartikannya negatif disebabkan oleh perbuatan para politisi dan ulah-ulahnya yang keliru.

Walhasil, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam banyak kesempatan menggunakan kata politik (siyaasah) dalam corak positif. Semua hal yang saya sampaikan tadi merupakan makna kata tersebut yaitu akal, kebijakan, kecerdasan dan kapasitas untuk menjalankan suatu Nizham.

Beliau (ra) bersabda, “Karena Nizham sampai batas tertentu berkaitan dengan implementasi (pengamalan) prinsip-prinsip Jemaat sehingga para Khalifah tampak sisi yang dominan mengunggulkan dan melaksanakan sisi Nizham (administrasi) yakni meletakkan sisi nizami pada posisi teratas.”

Beliau (ra) menjelaskan juga di sini, “Pada waktu yang sama tetap perlu untuk memperhatikan jaminan keberlangsungan tegaknya pelaksanaan agama dan menyiarkan pemahamannya.

Seorang Khalifah-e-waqt mempunyai tanggung jawab menjalankan Nizham Jemaat dan bersamaan dengan itu perlu juga untuk memastikan factor-faktor yang menguatkan dan mengokohkan agama diamalkan. Karena itulah ketika Allah Ta’ala berfirman ketika menyinggung perihal Khilafat dalam Al Quran: وَلَيُمَكِّنَنَّلَهُمْدِينَهُمُالَّذِيارْتَضَىٰلَهُمْوَلَيُبَدِّلَنَّهُممِّنبَعْدِخَوْفِهِمْأَمْنًاۚ()‘Walayumakkinanna lahum diinahumulladzirtadhaa lahum.’ ‘Dia (Allah Ta’ala) pasti akan mengokohkan agama-Nya dan akan mengunggulkannya diatas dunia.’ (Surah an-Nuur:56) Jadi, pola yang mana agama ditampilkan oleh para Khalifah berada dalam perlindungan Allah Ta’ala namun ini merupakan Hifazhat sughra (perlindungan kecil).”

Beliau bersabda: “Seorang Khalifah dapat melakukan kekeliruan dalam hal furu’ (cabang, kecil) dan mungkin juga terjadi perbedaan pendapat diantara para Khalifah, namun konteksnya dalam hal yang sifatnya remeh-temeh. Sebagaimana berkenaan dengan beberapa permasalahan terjadi selisih pendapat antara Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Umar, bahkan sampai saat ini di dalam umat Muhammadiyah tidak sampai satu suara dalam hal-hal tersebut. Namun demikian, perbedaan tersebut hanya bersifat furu saja sedangkan dalam hal prinsip tidak pernah terjadi selisih pendapat. Sebaliknya, terdapat persatuan di dalamnya karena mereka adalah pemberi petunjuk, bimbingan kepada dunia dan memberikan cahaya.

Terkait:   Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu

Jadi, jika ada orang yang mengatakan bahwa meskipun seseorang tidak baiat namun memiliki kedudukan yang sama seperti orang yang baiat, sebetulnya itu memberitahukan bahwa orang tersebut tidak paham apa itu baiat dan nizam.

Berkenaan dengan musyawarah pun hendaknya diingat bahwa seorang pakar atau ahli persenjataan sekalipun orang itu memiliki agama yang berbeda dapat dimintai musyawarah. Hadhrat Masih Mau’ud (as) pernah menggunakan seorang pengacara berkebangsaan Inggris pada satu persidangan, namun tidaklah berarti bahwa beliau meminta musyawarah darinya dalam urusan kenabian.

Ketika perang Ahzab, Rasulullah (saw) pernah meminta saran dari Hadhrat Salman Al-Farisi (ra) dan bersabda: ‘Apa yang biasa dilakukan di negerimu ketika terjadi perang?’

Hadhrat Salman menjawab, يارسولاللهإناإذكنابأرضفارسوتخوفناالخيلخندقناعلينا،فهللكيارسولاللهأننخندق؟ ‘Di negeri kami biasa menggali parit.’

Rasul bersabda: ‘Saran yang baik sekali.’

Kemudian, digalilah parit karena itu perang tersebut disebut perang Khandaq (parit).12

Meskipun demikian tidak bisa kita mengatakan Salman Farisi lebih mahir dari Rasulullah (saw) dalam persenjataan perang. Beliau tidak lebih mahir dalam urusan itu dari Rasulullah (saw). Begitu juga tidak dapat melakukan sepak terjang atau pencapaian seperti yang telah dilakukan Rasulullah (saw). Bahkan, pada masa para Khalifah pun beliau tidak pernah ditetapkan sebagai Komandan pasukan padahal beliau berumur panjang. Alhasil, seorang ahli, sekalipun berbeda agama dapat dimintai musyawarah.

Lebih lanjut bersabda: “Ketika saya sakit saya pun meminta nasihat dari para dokter berkebangsaan inggris. Namun tidaklah berarti saya pun meminta musyawarah dalam urusan khilafat dari mereka atau saya menganggap mereka berada pada maqam yang sama seperti maqam para sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as). Ketika saya meminta saran dari sahabat tidaklah berarti meminta saran dari orang lain atau dari sahabat merupakan suatu kekeliruan. Bagaimanapun kedudukan sahabat adalah luhur. Melainkan maknanya hanyalah saya meminta nasihat dalam urusan ketabiban, suatu keahlian khusus, suatu bidang yang khusus atau meminta saran perihal suatu hal yang khusus.

Anggap saja jika Sa’d bin Ubadah yang notabene seorang pakar persenjataan, dimintai musyawarah dalam urusan duniawi, tetap tidak dapat dikatakan beliau selalu ikut dalam musyawarah musyawarah. Namun tidak ditemukan riwayat sahih yang menyatakan bahwa beliau selalu ikut serta dalam musyawarah-musyawarah. Bahkan secara kebanyakan riwayat menyatakan bahwa beliau meninggalkan Madinah dan hijrah ke Syam sehingga berpengaruh pada para sahabat bahwa ia telah meninggalkan markas Islami. Karena itu, ketika Sa’d wafat, sahabat mengatakan bahwa Malaikat atau jin telah membunuh Sa’d. Dari pernyataan ini memberitahukan bahwa menurut para sahabat, kewafatan beliau dianggap tidak terjadi dalam corak yang baik. Memang setiap orang selalu dicabut nyawanya oleh Malaikat, namun berkenaan dengan kewafatan Hadhrat Sa’d secara khusus dikatakan bahwa beliau dibunuh oleh Malaikat atau jin. Hal ini memberitahukan bahwa menurut mereka kewafatan Sa’d terjadi dalam corak seolah-olah Allah Ta’ala mematikannya dengan tindakan_Nya yang khusus supaya jangan sampai Hadhrat Sa’d menyebabkan perpecahan dan kekacauan.”

Alhasil, Hadhrat Sa’d adalah sahabat Badr sehingga jangan sampai menjadi penyebab suatu jenis kemunafikan, penentangan atau hal-hal lainnya yang akan menyebabkan kedudukannya jatuh. Namun, beliau telah memisahkan diri.

Setelah menjelaskan itu beliau bersabda, “Semua riwayat ini memberitahukan bahwa rasa hormat kepada beliau sudah hilang dalam diri para sahabat dari yang seharusnya melihat status yang pernah beliau raih. Begitu juga, hal ini menunjukkan para Sahabat tidak merasa senang dengan beliau karena jika tidak demikian kenapa pula mereka mengatakan bahwa Malaikat atau jin telah membunuhnya. Bahkan, ketika Hadhrat Sa’d wafat pernah dilontarkan ucapan lainnya yang lebih kasar lagi dari itu yang tidak ingin saya ulangi pengucapannya dengan mulut saya.

Jadi, anggapan yang menyatakan bahwa tanpa baiat kepada Khalifah seorang manusia dapat menegakkan maqamnya dalam Nizham Islami hal mana sama sekali bertentangan dengan kejadian-kejadian dan ajaran Islam. Siapa yang memiliki pemikiran seperti itu di dalam hatinya, saya tidak yakin apakah orang itu paham pengertian baiat walau sedikit saja.”

تُوُفِّيَسَعْدُبْنُعُبَادَةَبِحَوْرَانَمِنْأَرْضِالشَّامِلِسَنَتَيْنِوَنِصْفٍمِنْخِلافَةِعُمَرَ Hadhrat Sa’d wafat di Hauran, negeri Syam dua setengah tahun paska terpilihnya Hadhrat Umar sebagai Khalifah.13

Allamah Ibnu Hajar Asqalani (أحمدبنعليبنحجرأبوالفضلالعسقلانيالشافعي) menulis, أنهماتببصرىوهيأولمدينةفتحتمنالشامbeliau wafat di kota Boshra, Syam. Kota itu merupakan kota pertama di Syam yang ditaklukan oleh umat Muslim.14

Terdapat riwayat perihal bagaimana kabar kawafatannya sampai ke Madinah, فَمَاعُلِمَبِمَوْتِهِبِالْمَدِينَةِحَتَّىسَمِعَغِلْمَانٌفِيبِئْرِمُنَبِّهٍأَوْبِئْرِسَكَنٍوَهُمْيَقْتَحِمُونَنِصْفَالنَّهَارِفِيحَرٍّشَدِيدٍقَائِلايَقُولُمِنَالْبِئْرِ Berita kematiannya diketahui di Madinah sehingga para pemuda melompat ke sumur Bir Manbah atau Bir Sakan pada saat tengah hari yang sangat terik lalu mereka mendengar seseorang mengatakan dari dalam sumur:قَدْقَتَلْنَاسَيِّدَالْخَزْرَجِسَعْدَبْنَعُبَادَهْ… وَرَمَيْنَاهُبِسَهْمَيْنِفَلَمْنُخْطِفُؤَادُهْqad qatalna sayyidal khazraji sa’da bna ubadah – wa ramainaahu bi-sahmaini falam nakhthi fuaa-duh.’ Artinya, ‘Kami telah membunuh pemimpin Khazraj Sa’d bin Ubadah dan kami telah menembakkan dua anak panah ke arahnya dan tembakan kami tidak melenceng ketika menyasar jantungnya.’

فَذُعِرَالْغِلْمَانُفَحَفِظُواذَلِكَالْيَوْمَفَوَجَدُوهُالْيَوْمَالَّذِيمَاتَفِيهِسَعْدٌفَإِنَّمَاجَلَسَيَبُولُفِينَفَقٍفَاقْتُتِلَفَمَاتَمِنْسَاعَتِهِ. وَوَجَدُوهُقَدِاخْضَرَّجِلْدُهُ. Para pemuda ketakutan dan orang-orang mengenang hari itu. Orang-orang mendapati hari itu sebagai kewafatan Hadhrat Sa’d. Saat itu Sa’d tengah duduk kencing lalu dibunuh dan wafat seketika itu juga.

Beliau wafat pada masa kekhalifahan Hadhrat Umar. Terdapat selisih pendapat perihal tahun kewafatan beliau. Menurut sebagian riwayat beliau wafat pada 14 Hijri dan sebagiannya lagi mengatakan 15 dan 16 Hijri.15

إنقبرهبالمنيحة،قريةمنغوطةدمشق،وهومشهوريزارإِلَىاليوم Kuburan Hadhrat Sa’d berada di suatu kampung bernama Maniha terletak dekat dari Damaskus ke arah Nashibi. (Tabaqatul Kubra)

ولما توفي النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طمع في الخلافة، وجلس في سقيفة بني ساعدة ليبايع لنفسه، فجاء إليه أَبُو بكر، وعمر، فبايع الناس أبا بكر، وعدلوا عن سعد، فلم يبايع سعد أبا بكر ولا عمر، وسار إِلَى الشام، فأقام به بحوران إِلَى أن مات سنة خمس عشرة، وقيل: سنة أربع عشرة، وقيل: مات سنة إحدى عشرة، ولم يختلفوا أَنَّهُ وجد ميتًا عَلَى مغتسله، وقد اخضر جسده، ولم يشعروا بموته بالمدينة حتى سمعوا قائلًا يقول من بئر، ولا يرون أحدًا:
قتلنا سيد الخزرج سعد بْن عبادةرميناه بسهمين فلم نخط فؤادهفلما سمع الغلمان ذلك ذعروا، فحفظ ذلك اليوم فوجوده اليوم الذي مات فيه سعد بالشام قيل: إن البئر التي سمع منها الصوت بئر منبه، وقيل: بئر سكن.
قال ابن سيرين: بينا سعد يبول قائمًا، إذ اتكأ فمات، قتلته الجن، وقال البيتين.
قيل: إن قبره بالمنيحة، قرية من غوطة دمشق، وهو مشهور يزار إِلَى اليوم.

Sekarang setelah ini saya akan menyampaikan riwayat dua almarhum yang akan saya pimpin shalat jenazah gaib mereka. Yang pertama yang terhormat Tn. Sayyid Muhammad Sarwar Shah yang merupakan anggota Sadr Anjuman Ahmadiyah Qadian. Beliau wafat pada tanggal 8 Januari di usia 85 tahun. Innaa liLlaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.

Sejak beberapa waktu yang lalu beliau menderita kangker namun beliau menghadapi penyakit beliau tersebut dengan penuh kesabaran dan hingga akhir hayatnya beliau selalu berusaha melaksanakan tugas-tugas beliau sebaik mungkin. Beliau tidak menjadikan penyakit beliau sebagai penghalang dalam bekerja. Beliau berasal dari sebuah keluarga Ahmadi ternama yang mukhlis di Sungra, Provinsi Orissa. Kakek buyut beliau, Tn. Sayyid Abdurrahim adalah sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan kakek beliau yang terhormat almarhum Tn. Maulwi Abdul ‘Alim adalah seorang ulama besar dan juga penyair. Dan pada saat kelahiran beliau ayah beliau meminta saran nama kepada mertua beliau, maka mertua beliau mengatakan, “Saya melihat dalam mimpi Tn. Sayyid Sarwar Shah datang ke rumah kita, oleh karena itu namakanlah ia Sayyid Sarwar juga.”

Setelah menempuh pendidikan awal di Cuttack, kemudian beliau lulus BA, lalu beliau menjadi kepala sekolah di Private School. Setelah itu beliau menjadi asisten di pengadilan tinggi Orissa, kemudian beliau meraih jabatan sebagai auditor dan setelah pensiun pada tahun 1995 beliau mewaqafkan diri beliau untuk mengkhidmati Jemaat. Pada tahun 1996 Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) menyerahkan beberapa tugas kepada beliau dan menjadikan beliau sebagai In Charge. Beliau juga mendapatkan taufik untuk melaksanakan umrah. Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) menetapkan beliau sebagai one-man commission di auditor pusat dan beberapa bidang lainnya, dan hingga akhir hayatnya beliau menduduki jabatan di bidang audit tersebut.

Almarhum mendapatkan taufik untuk berkhidmat sebagai Ketua Dewan Qadha selama sembilan tahun. Demikian juga beliau masih menjabat sebagai ketua dan anggota beberapa komite penting lainnya di pusat dan hingga akhir hayatnya beliau mendapatkan taufik sebagai anggota Sadr Anjuman Ahmadiyah. Kemampuan administrasi beliau sangat baik. Sebagaimana telah saya sampaikan beliau juga cukup lama mendapatkan taufik untuk berkhidmat sebagai auditor pusat.

Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) mengatakan kepada beliau dalam sepucuk surat, “Anda bekerja dengan sangat baik, jazakumullah ahsanal jaza. Saya juga sangat senang dengan sikap Anda yang tak mengenal rasa takut dalam menyampaikan akidah. Masya Allah, Anda sangat memperhatikan detail-detail yang kecil dan penting. Demikian juga Anda bekerja sesuai dengan program Anda dan tidak ada yang bisa menghentikan Anda dari hal tersebut.” Pada waktu itu Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) juga mendoakan untuk kesehatan beliau dan supaya beliau diberikan umur yang panjang.

Nazim Darul Qadha Qadian menuturkan, “Beliau memiliki hubungan yang penuh kecintaan dengan para karyawan Darul Qadha. Beliau selalu berusaha untuk memutuskan perkara-perkara yang sedang diproses di dewan Qadha secepat mungkin. Beliau meninjau permasalahan-permasalahan dengan sangat hati-hati dan berusaha sebisa mungkin memberikan keputusan yang adil. Beliau seorang yang memiliki pandangan-pandangan yang brilian dan selalu memohon petunjuk Allah Ta’ala dalam berbagai perkara.

Menantu beliau, Tn. Dokter Tariq, seorang Senior Medical Officer di Nur Hospital Qadian mengatakan, “Selain dawam melaksanakan tahajud beliau juga biasa melaksanakan shalat di Masjid Mubarak dengan tepat waktu. Ketika tangan dan kaki beliau mulai gemetar, beliau berjalan dengan tertatih-tatih. Beliau pergi ke mesjid dengan bertumpu kepada orang lain. Beliau selalu pergi shalat jumat tepat waktu dan duduk di shaf yang pertama. Dari setelah shalat maghrib hingga isya beliau duduk di masjid dan melaksanakan shalat-shalat nafal, berdoa dan berdzikir dengan khusyu.

Nazir A’la Qadian menulis, “Keistimewaan-keistimewaan beliau sangat banyak. Beliau sangat rendah hati, menghormati tamu dan seorang yang pekerja keras. Beliau mencintai orang-orang miskin dan sangat patuh dan taat kepada atasan beliau. Beliau memiliki hubungan yang kuat dengan khilafat dan selalu menasihatkan kepada orang lain untuk menjalin ikatan dengan khilafat. Dengan karunia Alah Ta’ala beliau seorang mushi dan semua putera-puteri beliau berlomba-lomba untuk ikut andil dalam pekerjaan-pekerjaan Jemaat. Putera bungsu beliau Sayid Mahmud Ahmad berkhidmat sebagai Apoteker di Nur Hospital. Kedua menantu beliau Sayid Tanwir Ahmad dan Dokter Tariq Ahmad adalah waqaf zindegi. Mereka mendapatkan taufik berkhidmat di Qadian. Demikian juga menantu beliau yang paling muda Sayyid Hasan Khan, setelah pensiun beliau juga berkhidmat sebagai sukarelawan di Jemaat.

Ketika Almarhum Sahibzada Mirza Wasim Ahmad menjabat sebagai Nazir A’la, beliau selalu melakukan audit dengan tetap memperhatikan kesopanan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan pekerjaan itu. Beliau biasa mengatakan bahwa di seluruh Qadian tidak ada orang yang begitu penuh kasih sayang seperti halnya Mia Wasim Sahib. Beliau tinggal di Darul Masih dan Hadhrat Mia Sahib sangat memperhatikan beliau. Terkadang beliau menangis ketika mengingat kecintaan dan kasih sayang Mia Wasim Sahib.

Beliau sangat menghormati para Darwesy Qadian dan beliau sendiri menjalani hidup dengan penuh kerendahan hati dan kesederhanaan. Beliau sangat berlaku kasih sayang terhadap para mahasiswa Jamiah Ahmadiyah. Beliau sangat menghormati para ulama. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat Almarhum dan memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk mengikuti jejak langkah beliau.

Jenazah kedua yang akan dishalatkan adalah yang terhormat Ny. Shokat Gohar yang merupakan istri dari Tn. Dokter Latif Ahmad Quraisyi dan puteri dari Almarhum Tn. Maulana Abdul Malik Khan. Beliau wafat pada 5 Januari di usia 77 tahun. Innaa liLlaahi wa inna ilaihi rooji’uun. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau juga seorang mushiah. Beliau lahir di Agra dan pada waktu itu ayahanda beliau Tn. Maulana Abdul Malik Khan bertugas sebagai mubaligh di sana. Kemudian beliau bersama kedua orang tua beliau tinggal di Hyderabad Dekkan. Setelah berdirinya Pakistan beliau pindah ke Karachi. Beliau meraih pendidikan dasarnya di Karachi dan beliau sangat cerdas ketika pendidikan tingkat lanjut. Beliau selalu meraih ranking yang bagus. Dari sejak kecil beliau memiliki kesenangan untuk mengkhidmati Jemaat. Beliau pernah menjadi Sekretaris Nashirat, maka beliau membawa Nashirat Karachi menjadi yang terdepan. Kemudian ketika beliau menikah dengan Tn. Dokter Latif Quraisyi pada tahun 1961 setelah itu beliau belajar di Medical College.

Terkait:   Khotbah Idul Fitri: Ekspresi Syukur dan Ied Hakiki

Kemudian beliau datang ke UK. Setelah menyelesaikan pendidikannya di sini Tn. Dokter menulis kepada Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (rh), maka Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (rh) meminta beliau untuk datang ke Pakistan dan menempatkan beliau di Fazl-e-Umar Hospital. Beliau pun bersama dengan suami beliau dengan senang hati berangkat ke Rabwah dan memulai pengkhidmatan di sana dan tersedia banyak kesempatan-kesempatan lainnya untuk mengkhidmati Jemaat. Beliau di sana banyak melakukan tugas-tugas pengkhidmatan di lajnah dan saya rasa setiap orang, setiap wanita dan setiap anak perempuan yang tinggal di Rabwah pada masa itu mengetahui bagaimana pengkhidmatan beliau.

Ibunda saya, Nasirah Begum Sahibah ketika menjabat sebagai Sadr Lajnah Rabwah menetapkan beliau sebagai Sekretaris Umum di Majlis Amilah dan selama lima belas tahun beliau ditetapkan untuk tugas tersebut. Dan beliau mendapatkan training di sana. Setelah itu beliau bekerja dengan kemampuan adiministrasi yang sangat baik. Kemudian beliau juga bekerja sebagai sekretaris di Amilah pusat, kemudian saya menetapkan beliau sebagai Sekretaris Umum Markasiyah Pakistan, selama 6 tahun beliau melaksanakan pengkhidmatan ini dengan sangat baik. Dan dikarenakan sakitnya beliau terpaksa meninggalkan tugas-tugas di Lajnah, namun beliau selalu berusaha mencari kesempatan untuk berkhidmat dengan cara apa pun. Selama 50 tahun beliau melakukan pengkhidmatan terhadap Jemaat di berbagai bidang dan setiap orang yang bekerja dengan beliau, setiap wanita dan anak-anak sangat memuji beliau.

Beliau berlaku baik terhadap tetangga, memperhatikan orang-orang yang miskin dan membutuhkan, menghormati tamu, biasa membayar candah pada kesempatan pertama, ini semua adalah keistimewaan-keistimewaan beliau. Bahkan ketika diumumkan candah Waqfi Jadid tahun ini beliau langsung membayar candah beliau saat itu juga, beberapa hari sebelum wafat. Beliau wafat tanggal 5 dan pada tanggal 1 candah Waqfi Jadid diumumkan, beliau langsung membayarnya segera.

Tn. Dokter Quraisyi menulis bahwa Almarhumah selama 50 tahun kebersamaan menunaikan kewajiban beliau sebagai istri yang terbaik, ibu yang terbaik, adik yang terbaik dan puteri yang terbaik. Satu hal telah terlewatkan oleh yang menulis ini, atau Dokter Sahib tidak menyebutkannya, yaitu beliau juga menantu yang terbaik. Mungkin terlewat karena kekeliruan. Dan mertua beliau pun tinggal bersama beliau, bahkan selama mereka masih hidup beliau mengkhidmati mereka dan merawat mereka ketika sakit layaknya ibu sendiri. Singkatnya beliau meninggalkan dunia ini setelah mengarungi kehidupan yang penuh keteladanan. Beliau sakit cukup lama, meskipun demikian beliau senang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan menyelesaikannya. Pada saat sakit beliau tidak pernah mengeluh dan dengan penuh kesabaran beliau menghadapi penyakit. Beliau memiliki hubungan yang kuat dengan khilafat.

Diantara keluarga yang ditinggalkan, selain suami beliau Dokter Latif Quraisyi, juga tiga orang putera, dua orang puteri, dan dua putera dan seorang puteri belau adalah dokter. Satu orang putera lainnya seorang Insinyur. Semua putera puteri beliau terpelajar. Beliau memberikan pelajaran kepada putera-puteri beliau dalam keadaan yang sulit.

Seorang puteri beliau mengatakan kepada beliau, “Ibu tidak pernah memakai perhiasan dan tidak pernah membuat pakaian yang bagus.” Beliau menjawab, “Penghematan yang ibu lakukan ini adalah untuk membiayai pendidikan kalian, dan ibu ingin bahwa yang menjadi perhiasan dan pakaian ibu yang bagus itu adalah ketika kalian menjadi orang-orang yang terpelajar, berguna untuk Jemaat, menjadi orang-orang yang berguna dan bisa mandiri mengurusi diri kalian sendiri.

Beliau banyak melihat mimpi-mimpi yang benar. Banyak mimpi-mimpi beliau yang ditulis oleh putera-puteri beliau terpenuhi. Beliau mengatakan kepada salah seorang puteri beliau ketika hendak masuk College bahwa, “Kamu akan masuk ke Medical College itu, saya melihat ini dalam mimpi”, dan itulah yang terjadi, puteri beliau tersebut berhasil masuk ke sana. Demikian juga banyak mimpi-mimpi beliau yang lainnya. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang wanita yang salihah dan memperhatikan adik-adik beliau dan yang lainnya.

Putera beliau Abdul Malik menulis, “Beliau seorang pengkhidmat Jemaat yang tulus. Sering kali beliau berjalan kaki dari kantor Lajnah ke Darul Ulum dalam keadaan cuaca yang panas dan sekalipun tidak pernah mengeluh. Dan pada saat ied beliau selalu membuat manisan di rumah dan mengirimkannya ke tetangga-tetangga yang dekat maupun yang jauh, dan selalu mengatakan, ‘Jika kita memiliki ikatan dengan agama, maka Allah Ta’ala tidak akan pernah menyia-nyiakan kita.’”

Puteri beliau mengatakan, “Setelah menikah saya mempunyai anak yang tinggal di Amerika. Maka beliau selalu memberikan nasihat kepada saya untuk selalu menjalin hubungan yang penuh kasih sayang dan keakraban dengan putera saya untuk menyelamatkannya dari lingkungan yang buruk di Amerika dan luar negeri pada umumnya. Jadikanlah lingkungan rumah menyenangkan baginya dan alih-alih pergi keluar, ia menjadi lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah.”

Kemudian puteri beliau tersebut menuturkan, “Suatu kali di Medical College anak-anak perempuan menentang saya karena saya seorang Ahmadi dan memboikot saya. Saya menelepon ibu saya dan menangis. Maka beliau memberikan nasihat dengan cara yang sangat baik dan berkata, “Untuk apa menangisi? Ini adalah sunnah para Nabi yang sedang kamu jalani. Catatlah hal ini, jika kamu menanggung penderitaan karena status keahmadiyahan-mu, maka Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakanmu dan kamu akan lulus dalam ujian.” Demikianlah, tidak hanya saya lulus dalam ujian, bahkan semua anak-anak perempuan yang nakal tersebut gagal, tidak lulus ujian.

Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat Almarhumah dan memberikan taufik kepada putera puteri beliau untuk dapat mengikuti jejak langkah beliau. Semoga mereka menjadi putera-puteri yang baik, soleh dan pengkhidmat agama, serta selalu menjaga ikatan kesetiaan dengan khilafat.

Sebagaimana telah saya sampaikan, setelah shalat Jum’at saya akan memimpin shalat jenazah ghaib keduanya.

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ

وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –

وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ

يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Hashim;

Editor: Dildaar Ahmad Dartono.

1 Al-Maqshidul ‘Aliyy fi zawaaidi Abi Ya’la al-Maushili (الْمَقْصِدُ الْعَلِيُّ فِي زَوَائِدِ أَبِي يَعْلَى الْمَوْصِلِيِّ) karya Nuruddin al-Haitsami yang merupakan komentar atas Musnad Abi Ya’la al-Maushili (مُسْنَدَ الإِمَامِ أَبِي يَعْلَى: أَحْمَدَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ الْمُثَنَّى الْمَوْصِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه).

2 Musnad Ahmad Bin Hanbal

3 Tercantum juga di dalam Al-Imamah was Siyaasah karya Ibnu Qutaibah ad-Dainuri (الامامة والسياسة ابن قتيبة الدينوري ، تحقيق الزيني ج ١ الصفحة ١٧).

4 Ibn Sa’d (d. 845 CE) – al-Thabaqāt al-kubrā (ابن سعد الطبقات الكبرى). Tarikhul Umam Wal Muluuk (تاريخ الأمم والملوك) atau Tarikh ar-Rusul wal Muluuk (تاريخ الرسل والملوك) karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (محمد بن جرير الطبري أبو جعفر) (الجزء : 3صفحة : 203).

5 Tarikhul Umam Wal Muluuk (تاريخ الأمم والملوك) atau Tarikh ar-Rusul wal Muluuk (تاريخ الرسل والملوك) karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (محمد بن جرير الطبري أبو جعفر).

6 Tercantum juga di dalam Al-Imamah was Siyaasah (الامامة والسياسة ابن قتيبة الدينوري ، تحقيق الزيني ج ١ الصفحة ١٨) yang menyebutkan bahwa ketika dibaiatnya Hadhrat Abu Bakr (ra) di Saqifah Banu Sa’idah para Sahabat terbagi menjadi beberapa kumpulan di dalam Masjid Nabawi dengan tokoh tertentu dari keluarga besar mereka: 1. Banu Umayyah kepada Hadhrat ‘Utsman bin ‘Affan; 2. Banu Hasyim kepada Hadhrat Ali (ra) dan 3. Banu Zuhrah kepada Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash dan Hadhrat ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Setelah pembaiatan Hadhrat Abu Bakr (ra) selesai, Hadhrat ‘Umar (ra) pergi ke Masjid Nabawi dan mengabarkan bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) telah dibaiat oleh kaum Anshar. Mendengar ini langsung saja Hadhrat ‘Utsman diikuti kaumnya berdiri dan baiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra). Selanjutnya ialah Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash dan Hadhrat ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang diikuti kaumnya. Hadhrat ‘Ali (ra) dan Hadhrat ‘Abbas (ra) diikuti Banu Hasyim dan Hadhrat Zubair (ra) pulang ke rumah Hadhrat ‘Ali (ra). Setelah Hadhrat ‘Umar (ra) dan rombongan datang ke rumah Hadhrat ‘Ali (ra), Banu Hasyim beserta tokoh-tokohnya pun baiat. Di dalam Tarikh ath-Thabari disebutkan, عن حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، قَالَ: كَانَ عَلِيٌّ فِي بَيْتِهِ إِذْ أُتِيَ فَقِيلَ لَهُ: قَدْ جَلَسَ أَبُو بَكْرٍ لِلْبَيْعَةِ، فَخَرَجَ فِي قَمِيصٍ مَا عَلَيْهِ إِزَارٌ وَلا رِدَاءٌ، عَجِلا، كَرَاهِيَةَ أَنْ يُبْطِئَ عَنْهَا، حَتَّى بَايَعَهُ ثُمَّ جَلَسَ إِلَيْهِ وَبَعَثَ إِلَى ثَوْبِهِ فَأَتَاهُ فَتَجَلَّلَهُ، وَلَزِمَ مَجْلِسَهُ. “Hadhrat Ali (ra) bersegera keluar rumah untuk baiat setelah diberitahu telah dibaiatnya Hadhrat Abu Bakr (ra).

7 Lisaanul ‘Arab; An-Nihaayah fi Gharibil Hadits karya Ibnu Atsir. Sabda Umar lainnya, مَنْ دَعا إِلى إِمارة نفسِه أَو غَيْرِهِ مَنِ الْمُسْلِمِينَ فاقْتُلُوه yang maknanya ialah أَي اجْعَلُوهُ كَمَنْ قُتِلَ وَمَاتَ بأَن لَا تَقْبَلوا لَهُ قَوْلًا وَلَا تُقِيموا لَهُ دَعْوَةً،. Sabda beliau lainnya, إِذا بُويِع لخَلِيفتين فاقْتُلُوا الأَخير مِنْهُمَا yang maknanya ialah أَي أَبْطِلوا دَعْوَتَهُ وَاجْعَلُوهُ كمَنْ قَدْ مَاتَ..

8 Al-Ihtijaaj karya Ahmad bin Ali ath-Thabarsi (الإحتجاج (ج1) (لـ أحمد بن علي الطبرسي)): Sa’d berkata, قتلتموني “Kalian telah membunuhku.” Umar berkata, اقتلوا سعدا قتله الله “Bunuhlah Sa’d, niscaya Allah telah membunuhnya.”

9 Al-Imamah was Siyaasah karya Ibnu Qutaibah ad-Dainuri (الامامة والسياسة ابن قتيبة الدينوري ، تحقيق الزيني ج ١ الصفحة ١٧). Tercantum juga dalam Tarikhul Umam Wal Muluuk (تاريخ الأمم والملوك) karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (محمد بن جرير الطبري أبو جعفر): فكان سعد لا يصلي بصلاتهم ولا يجمع معهم ويحج ولا يفيض معهم بإفاضتهم فلم يزل كذلك حتى هلك أبو بكر رحمه الله. Tercantum juga dalam (نهاية الأرب في فنون الأدب 1-16 مع الفهارس ج9) karya (شهاب الدين النويري).

10 Tahdzib at-Tahdzib karya Syihab ad-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani (selanjutnya disebut Ibnu Hajar Al-Asqalani), lahir di Mesir 12 Sya’ban 773 H dan wafat tahun 852 H. (تهذيب التهذيب – ج 1 – أحمد بن إبراهيم – سعد الأنصاري):كان سعد بن عبادة يرجع كل ليلة إلى أهله بثمانين من أهل الصفة يعشيهم وقال بن عبد البر تخلف سعد عن بيعة أبي بكبر الصديق وخرج عن المدينة فمات بحوران من أرض الشام سنة 15 وقيل سنة 14 وقيل سنة 11 ولم يختلفوا أنه وجد ميتا في مغتسله وقال بن جريج عن عطاء سمعت أن الجن قتلته وقال عمرو بن علي وغيره مات سنة 16

Al-Ishaabah fi Tamyizish Shahaabah (الإصابة في تمييز الصحابة ابن حجر ) karya Ibnu Hajar Al-Asqalani: وقصته في تخلفه عن بيعة أبي بكر مشهورة وخرج إلى الشام فمات بحوران سنة خمس عشرة وقيل سنة ست عشرة

Usdul Ghaabah karya Ibnu Al-Atsir: ولما توفي النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طمع في الخلافة، وجلس في سقيفة بني ساعدة ليبايع لنفسه، فجاء إليه أَبُو بكر، وعمر، فبايع الناس أبا بكر، وعدلوا عن سعد، فلم يبايع سعد أبا بكر ولا عمر، وسار إِلَى الشام، فأقام به بحوران إِلَى أن مات سنة خمس عشرة، وقيل: سنة أربع عشرة، وقيل: مات سنة إحدى عشرة

Tahdzibul Kamaal fi Asmaair Rijaal (تهذيب الكمال في أسماء الرجال ج 10 – زيد بن أخزم سعيد بن عبيد – 2085 – 2325) karya al Hafidz Jamaluddin Abu al Hajjaj Yusuf ibn al Zaki Abd Rahman bin Yusuf bin Ali Abd al Mulk bin Ali bin Abi al Zuhr al Kalbi al Kudha’I al Mizzi. Ia dilahirkan pada 10 Rabiul Akhir 654 H di Syam. Ia wafat pada 12 Shafar 742 H.: قال أَبُو عُمَر بْن عَبد الْبَرِّ (الاستيعاب: 2 / 599) : وتخلف سَعْد بْن عبادة عَنْ بيعة أَبِي بَكْر، وخرج عَنِ الْمَدِينَة ولم ينصرف إليها إِلَى أن مات بحوران من أرض الشام لسنتين ونصف مضتا من خلافة عُمَر، وذلك سنة خمس عشرة، وقيل: سنة أربع عشرة.

11 ishmah dan ma’shum artinya memperoleh penjagaan dan pemeliharaan dari dosa.

12 Muhammad bin Umar al-Waqidi dalam al-Maghazi (مغازي الواقدي). Tercantum juga dalam Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري الطبري ج ٢ الصفحة ٢٣٤), Biharul Anwar karya al-Majlisi (بحار الأنوار العلامة المجلسي ج ٢٠ الصفحة ١٩٨) dan Mausu’ah at-Tarikh al-Islami (موسوعة التاريخ الإسلامي محمد هادي اليوسفي ج ٢ الصفحة ٤٧١).

13 Ibn Sa’d (d. 845 CE) – al-Thabaqāt al-kubrā (ابن سعد الطبقات الكبرى).

14 Al-Ishaabah fi Tamyizish Shahaabah (الإصابة في تمييز الصحابة ابن حجر ) karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Beliau terlahir di Mesir 23 sya’ban 773 H (versi lain 774 H). Nama beliau ialah Abu Al-Fadhl Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Ahmad bin Al-Asqalani Al-Misri As-Syafi’i.

Riwayat diatas disebukan juga oleh al-Hakim dalam Mustadrak dan Tarikh Madinah ad-Dimashq (الحاكم النيسابوري في المستدرك3/283، وضعفه الذهبي، وانظر الخبر في تاريخ دمشقلابن عساكر20/266، وسير أعلام النبلاء1/277، والاستيعاب1/180، وتهذيب الكمال10/277، وأسد الغابة1/434، وطبقات ابن سعد3/617.) menyebutkan hal yang sama, أول مدينة فتحت بالشام بصرى، وفيها مات سعد بن عبادة.

15 Al-Ishaabah fi Tamyizish Shahaabah (الإصابة في تمييز الصحابة ابن حجر ) karya Ibnu Hajar Al-Asqalani: وقصته في تخلفه عن بيعة أبي بكر مشهورة وخرج إلى الشام فمات بحوران سنة خمس عشرة وقيل سنة ست عشرة

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.