Lanjutan pembahasan Hadhrat Khubaib bin ‘Adiyy (ra); misi dua Sahabat Nabi (saw) untuk menyelamatkan jenazah Hadhrat Khubaib dan untuk melakukan pembalasan kepada Abu Sufyan yang telah mengirim pembunuh bayaran dari Makkah ke Madinah. Riwayat kedua, Hadhrat Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul (ra).
Kewafatan dan dzikr khair atas Mukaram Khawajah Rasyiduddin Qomar Sahib, yang merupakan putera dari Almarhum Maulana Qomaruddin Sahib. Setelah sakit beberapa lama, pada tanggal 10 Oktober beliau wafat pada usia 86 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau lahir di Qadian pada tahun 1933.
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 18 Oktober 2019 (20 Ikha 1398 Hijriyah Syamsiyah/Shafar 1441 Hijriyah Qamariyah) di Jerman
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Pada hari ini saya akan lanjutkan mata rantai riwayat hidup para sahabat Badr setelah sempat terputus karena adanya lawatan-lawatan dan jalsah-jalsah. Khotbah terakhir berkenaan dengan dengan sahabat Badr disampaikan pada tanggal 20 September berkenaan dengan Hadhrat Khubaib bin ‘Adiyy dan kisah beliau terpotong sehingga masih tersisa. Dijelaskan bahwa ketika disyahidkan beliau memohon kepada Allah Taala untuk menyampaikan salam beliau kepada RasuluLlah (saw). Mereka adalah wujud-wujud yang memiliki kedudukan tinggi dalam pandangan Allah Ta’ala dan meraih Qurb-Nya. Kita pun dapat mengetahui bagaimana perlakuan Allah Ta’ala kepada beliau, ketika beliau memohon kepada Allah Ta’ala untuk menyampaikan salam kepada RasuluLlah (saw), karena tidak ada siapa siapa lagi pada saat itu, lalau Allah Ta’ala menyampaikan pesannya kepada RasuluLlah (saw). RasuluLlah (saw) menjawab salam beliau ditengah tengah suatu perkumpulan sahabat dan menceritakannya juga kepada para sahabat bahwa Hadhrat Khubaib telah disyahidkan.
Setelah itu Hadhrat RasuluLlah (saw) memerintahkan Hadhrat Amru Bin Umayyah agar pergi ke Makkah untuk membunuh Abu Sufyan yang telah melakukan kezaliman. Ini merupakan hukuman baginya. RasuluLlah (saw) juga mengirimkan Hadhrat Jabbar Bin Sakhr Anshari untuk menyertainya. Dalam perjalanan, keduanya mengikatkan unta mereka di suatu lembah yang bernama Yajuj yang berjarak sekitar 8 mil dari Makkah lalu memasuki Makkah pada malam hari.
Hadhrat Jabbar berkata kepada Hadhrat Amru, “Seandainya kita dapat bertawaf di Kabah dan mendirikan dua rakaat shalat di sana.” Hadhrat Amru berkata, “Orang Quraisy biasa duduk duduk di teras setelah makan di malam hari, jangan sampai kita tertangkap oleh mereka.”
Hadhrat Jabbar berkata, “Insya Allah tidak akan sampai terjadi.”
Hadhrat Amru meriwayatkan, “Kami tawaf di Kabah lalu shalat nafal dua rakaat kemudian kami berangkat untuk mencari Abu Sufyan. Demi Tuhan ketika kami tengah berjalan, seorang pria dari antara penduduk Makkah melihat kami dan mengenali saya dan berkata, ‘Ini kan Amru Bin Umayyah, pasti dia datang kemari dengan membawa rencana jahat.’
Saya berkata kepada kawan saya, ‘Hati hati, ayo kita pergi.’
Kami meninggalkan tempat itu dengan cepat sehingga kami menaiki bukit. Mereka pun pergi untuk mencari kami. Setelah kami sampai di puncak bukit, mereka putus asa lalu kembali. Lalu kami turun dan masuk ke gua di bukit tersebut, kami kumpulkan batu-batu lalu meletakkannya di bagian atas dan bawah dan kami bermalam disana.
Pada pagi harinya dijumpai seorang Quraisy yang tengah mengendarai kuda lalu kami bersembunyi di gua. Saya berkata, ‘Jika saja ia melihat kita, maka ia akan memberitahukan kepada orang-orang Quraisy. Lebih baik kita tangkap dan bunuh dia.’”
Hadhrat Amru meriwayatkan, “Saya membawa sebuah pisau yang telah saya siapkan untuk mengeksekusi Abu Sufyan lalu saya hujamkan pisau itu ke dada orang tersebut sehingga membuatnya berteriak keras dan membuat penduduk Makkah mendengarnya. Saya lalu bersembunyi kembali di tempat semula, ketika orang-orang sampai di tempat tersebut dengan cepatnya, orang itu tengah menghembuskan nafas terakhir.
Orang-orang bertanya: ‘Siapa yang telah menyerang kamu?’
Ia menjawab, ‘Amru Bin Umayyah.’
Orang itu meninggal, namun orang-orang itu tidak berhasil menemukan tempat persembunyian kami.”
Pada zaman itu, jika musuh mengetahui tempat persembunyian, disebabkan penentangan kerasnya lalu membunuhnya. Begitu pun saat itu dicurigai orang itu telah mengetahui keberadaan dan dikhawatirkan akan mengabarkan kepada kawannya lalu mengejar dan membunuh kita. Maka sebagai pencegahan, sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi, mereka para sahabat melakukan demikian.
Lalu diangkatlah mayatnya dan dibawa. Pada sore hari saya berkata kepada kawan saya bahwa kita telah aman. Pada malam hari dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah, kami melewati sebuah kumpulan orang yang tengah menjaga jenazah Hadhrat Khubaib Bin Adi. Salah seorang dari antara yang menjaga melihat Hadhrat Amru dan berkata: Demi Tuhan, begitu miripnya gerak gerik orang ini dengan Amru Bin Umayyah, sehingga tidak pernah saya melihat orang yang mirip dengannya seperti orang ini. Jika orang ini bukan sedang di Madinah, maka aku akan katakan bahwa orang ini adalah Amru Bin Umayyah. Bagaimana Allah Ta’ala mengaburkan pandangannya.
Diriwayatkan, ketika Hadhrat Jabbar sampai di dekat kayu yang digunakan untuk memantek Hadhrat Khubaib, beliau segera membawa jenazah Hadhrat Khubaib. Lalu para penjaga mengejar beliau.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa para penjaga tengah mabuk setelah minum minuman keras, ada yang terjaga dan ada juga yang tertidur atau ngantuk, sehingga mereka tidak mengetahui apa yang terjadi lalu Hadhrat Jabbar beraksi dengan sigap lalu pergi. Namun pada akhirnya mereka sadar lalu mengejarnya. Ketika Hadhrat Jabbar sampai di dekat sungai gunung Yajuj, beliau membuang kayunya ke dalamnya. Orang-orang yang mengejar pun sampai namun Allah Ta’ala membuat mereka tidak dapat melihat dan tidak berhasil menemukannya.
Hadhrat Amru meriwayatkan, saya berkata kepada Hadhrat Jabbar, kamu pergilah dari sini dengan mengendarai unta, biarkan saya yang akan menahan mereka. Lalu saya berjalan sampai di bukit Yajnan (terletak 25 mil dari Makkah). Saya berlindung di sebuah gua. Lalu saya berangkat sampai di daerah Araj – yang berjarak 78 mil dari Madinah – lalu berjalan lagi.
Ketika saya turun di daerah Naqi – yang berjarak sekitar 60 mil dari Madinah – , kami melihat dua orang Quraisy yang diutus oleh orang-orang musyrik Quraisy untuk memata-matai di Madinah. Saya berkata padanya: ‘Masukkan senjata kalian dan jadilah tawanan kami! Karena sudah diketahui bahwa kalian datang untuk memata-matai.’
Namun mereka berdua tidak mengaku. Mulailah saya bertarung dengan salah satunya akhirnya saya berhasil membunuhnya dengan memanahnya dan yang satunya lagi kami tawan lalu dibawa ke Madinah.”[1]
Berdasarkan riwayat lainnya, Hadhrat Amru Bin Umayyah Dhamri meriwayatkan جِئْتُ إِلَى خَشَبَةِ خُبَيْبٍ وَأَنَا أَتَخَوَّفُ الْعُيُونَ فَرَقِيتُ فِيهَا فَحَلَلْتُ خُبَيْبًا فَوَقَعَ إِلَى الْأَرْضِ فَانْتَبَذْتُ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ الْتَفَتُّ فَلَمْ أَرَ خُبَيْبًا وَلَكَأَنَّمَا s الْأَرْضُ فَلَمْ يُرَ لِخُبَيْبٍ أَثَرٌ حَتَّى السَّاعَةِ “Saya mendatangi batang kayu (tempat Khubaib digantung) dengan penuh khawatir jika diketahui mata-mata Quraisy. Kemudian saya menaiki batang kayu itu dan melepaskan Khubaib hingga tubuh Khubaib jatuh ke tanah. Kemudian saya menyingkir tidak jauh dari tempat itu, saat menoleh saya tidak mendapati Khubaib berada di tempatnya lagi, seakan-akan ia ditelan oleh bumi dan bekasnya pun tidak terlihat lagi.”[2] Maksudnya, jenazah Hadhrat Khubaib ghaib atau tidak terlihat lagi. Sejak saat itu sampai sekarang tidak dijelaskan perihal tulang-tulang Khubaib.
Berdasarkan riwayat lainnya lagi, Hadhrat Amru Bin Umayyah Dhamri meriwayatkan bahwa RasuluLlah (saw) telah mengutusnya untuk menurunkan jenazah Hadhrat Khubaib dari pantek kayu secara diam-diam. Pada malam hari ia tiba di dekat tiang kayu tersebut, بعثني رسولُ الله صَلَّى الله عليه وسلم إلى خُبيب بن عديّ لأُنْزلَه من الخشبة، فصعَدْتُ خشبته ليلًا، فقطعْتُ عنه وألقيته، فسمعْتُ وَجْبَة خلفي، فالتفتُّ فلم أرَ شيئًا. “Ketika saya melepaskan ikatan tali Hazrat Khubaib dan merebahkan jenazahnya, saya mendengar suara dari arah belakang. Ketika saya arahkan pandangan tidak tampak apa apa, setelah itu jenazah Hazrat Khubaib ghaib.”[3]
Dari antara tiga riwayat tersebut, yang pertama lah yang tampak lebih sahih, yakni ketika dikejar musuh, beliau membuang kayunya ke sungai lalu hilang terbawa arus. Beragam riwayat yang meriwayatkan. Yang terkenal mengenai beliau bahwa jenazah beliau hilang di bumi sehingga pihak kuffar yang ingin bersikap lancang terhadap jenazah beliau, tidak dapat menemukannya karena Allah Ta’ala melindunginya.
Berkenaan dengan kisah penahanan Hadhrat Khubaib terdapat riwayat sebagai berikut: dari Mawiyah adalah bekas budak wanita Hujair Bin Abu Ihab (عَنْ مَاوِيَّةَ، مَوْلَاةِ حُجَيْرِ بْنِ أَبِي إهَابٍ). Hadhrat Khubaib dikurung di rumah beliau yang setelah berakhirnya bulan Haram akan dieksekusi mati. Mawiyah baiat masuk Islam di kemudian hari dan terbukti menjadi Muslimah yang baik. Mawiyah menuturkan kisahnya di kemudian hari: ما رَأَيْتُ أسِيرًا قَطُّ خَيْرًا مِن خُبَيْبٍ، لقَدْ رَأَيْتُهُ يَأْكُلُ مِن قِطْفِ عِنَبٍ وما بمَكَّةَ يَومَئذٍ ثَمَرَةٌ، وإنَّه لَمُوثَقٌ في الحَدِيدِ، وما كانَ إلَّا رِزْقٌ رَزَقَهُ اللَّهُ “Demi Tuhan! Saya tidak pernah melihat orang yang lebih baik dari Hadhrat Khubaib. Saya biasa melihat beliau dari balik pintu, kondisi beliau selalu terikat dengan rantai dan sepengetahuan saya di daerah tersebut tidak ada buah anggur namun di tangan Hadhrat Khubaib selalu terdapat ikatan buah anggur yang besarnya sama dengan kepala manusia yang selalu ia makan. Tidak ada yang lain selain rezeki dari Allah Ta’ala.”[4]
وَكَانَ خُبَيْبٌ يَتَهَجّدُ بِالْقُرْآنِ Hadhrat Khubaib biasa melantunkan ayat Al Quran ketika Tahajjud. وَكَانَ يَسْمَعُهُ النّسَاءُ فَيَبْكِينَ وَيُرَقّقْنَ عَلَيْهِ Hal ini membuat menangis para wanita yang mendengarnya dan itu membuat mereka merasa iba kepada Hadhrat Khubaib. Suatu hari saya bertanya kepada Hadhrat Khubaib, يَا خُبَيْبُ هَلْ لَك مِنْ حَاجَةٍ؟ ‘Khubaib! Apakah kamu memerlukan sesuatu?’
Beliau menjawab, لَا، إلّا أَنْ تَسْقِيَنِي الْعَذْبَ وَلَا تُطْعِمِينِي مَا ذُبِحَ عَلَى النّصُبِ. وَتُخْبِرِينِي إذَا أَرَادُوا قَتْلِي. ‘Tidak! Namun ada satu hal, berikan saya air minum yang dingin dan janganlah berikan padaku daging yang disembelih dengan menyebut nama berhala. Ketiga, ketika orang-orang berniat membunuh saya, beritahu saya. Yaitu ketika bulan haram telah berlalu dan orang-orang bersepakat untuk membunuh saya.’
Saya datang kepadanya untuk mengabarkannya, namun demi Tuhan beliau sama sekali tidak peduli akan pembunuhan beliau.
Beliau berkata kepada saya, tolong berikan saya alat pemotong rambut, supaya saya dapat memperbaiki kondisi diri. Lalu saya kirim seseorang bernama Musa beserta anak saya Abu Husein untuk memberikan pemotong rambut kepada beliau.
(Diriwayatkan bahwa anak ini bukanlah anak kandung beliau, melainkan anak angkat.)
Ketika anak itu pergi, timbul pikiran di benak saya, demi Tuhan Khubaib mendapatkan kesempatan untuk balas dendam dengan membunuh anak saya dengan pemotong rambut lalu akan mengatakan pria dibalas pria.”
Anak tersebut pergi padanya sambil bermain. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa anak itu sudah cukup dewasa dan layak untuk diminta mengirimkan sesuatu lalu dikirimkannya.
“Ketika anak saya sampai di tempat Khubaib dengan membawa benda tajam, lalu sambil bergurau berkata pada anak itu, ‘Kamu sungguh berani. Apakah ibumu tidak takut jika aku berkhianat? Ia telah mengirimkan pisau padaku di kala orang-orang tengah beriradah untuk membunuhku.’”
Hadhrat Mawiyah meriwayatkan, “Saya mendengar perkataan Khubaib itu lalu saya berkata, يَا خُبَيْبُ إنّمَا أَمّنْتُك بِأَمَانِ اللّهِ وَأَعْطَيْتُك بِإِلَهِك، وَلَمْ أُعْطِك لِتَقْتُلَ ابْنِي ‘Wahai Khubaib! Aku tidak takut padamu disebabkan perlindungan Allah Ta’ala, aku yakin terhadap Sesembahanmu sehingga kukirimkan pisau itu dengan perantaraan anakku. Aku tidaklah kirimkan itu supaya kamu membunuh anakku.’
Hadhrat Khubaib berkata: خُبَيْبٌ مَا كُنْت لِأَقْتُلَهُ وَمَا نَسْتَحِلّ فِي دِينِنَا الْغَدْرَ ‘Aku tidaklah seperti itu, agama kami tidak meperbolehkan pengkhianatan.’
Saya lalu mengabarkan pada Khubaib, ‘Besok pagi orang-orang akan mengeluarkanmu dan membunuhmu.’
Keesokan harinya orang-orang menggiring beliau dalam keadaan dirantai meninggalkan Makkah ke suatu tempat bernama Tan’im (yakni arah ke Madinah yang berjarak 3 mil). Untuk menonton eksekusi Khubaib, anak-anak, wanita, hamba sahaya dan banyak sekali penduduk Makkah tiba di tempat itu sehingga menurut riwayat, tidak tersisa lagi orang di Makkah.
Diantara orang-orang itu ada yang ingin membalaskan dendam kematian orang tua mereka yang terbunuh dalam peperangan dan juga mereka yang tidak ingin balas dendam namun menentang Islam dan umat Muslim datang untuk memperlihatkan penentangan mereka dan untuk merayakan kebahagiaan bagaimana beliau dieksekusi di sana. Ketika Khubaib dan Zaid Bin Dasnah sampai di sana, lalu atas perintah orang-orang Musyrik, digalilah lubang untuk ditancapkan kayu panjang. Lalu ketika Khubaib dibawa ke dekat kayu itu untuk disalib diatas kayu itu, Khubaib berkata: ‘Bolehkah saya terlebih dahulu melaksanakan dua rakaat shalat?’ Beliau diizinkan untuk itu. Hadhrat Khubaib mendirikan dua rakaat shalat nafal dengan singkat.”[5]
Ini menurut riwayat wanita yang bernama Mawiyah (ماوية), bekas budak Hujair bin Abi Ihab (حجير بن أبي إهاب) sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d. Hadhrat Khubaib dipenjara di rumah wanita itu.
Menurut ‘Allamah Ibnu Abdul Bar, Hadhrat Khubaib dipenjara di rumah Uqbah. Istri Uqbah biasa memberikan beliau makan dan pada waktu makan istri beliau biasa membukakan ikatan rantainya. ‘Allamah Ibnu Atsir al-Jaziri (العلامة ابن الأثير الجزري) menulis, Hadhrat Khubaib adalah sahabat pertama yang disalib yaitu pertama, sebatang kayu ditancapkan di tanah lalu beliau disyahidkan dengan disalib diatasnya.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis mengenai peristiwa pembunuhan itu, “Diantara penduduk yang menyaksikan eksekusi itu adaah Abu Sufyan pemuka Makkah. Ia melihat kepada Zaid dan bertanya: نَشَدْتُكَ بِاللَّهِ يَا زَيْدُ ، أَتُحِبُّ أَنَّ مُحَمَّدًا عِنْدَنَا الآنَ بِمَكَانِكَ ، يُضْرَبُ عُنُقُهُ ، وَأَنَّكَ فِي أَهْلِكَ ؟ ‘NasyadtukaLlah yaa Zaid! A tuhibbu an Muhammadan ‘indanaa al-aan makaanaka fa nadhribu ‘unuqahu wa annaka fi ahlika?’ – ‘Wahai Zaid! Aku bersumpah kepada Allah untukmu, apakah hal ini tidak akan menyenangkanmu bahwa Muhammad saw didatangkan di tempatmu ini untuk dibunuh menggantikan dirimu sementara dirimu dikembalikan kepada keluargamu untuk bersantai di rumah?’
Dengan marah Zaid menjawab: ‘Abu Sufyan! Apa yang kamu katakan ini, وَاللهِ مَا أُحِبُّ أَنَّ مُحَمَّدًا اْلآنَ فِيْ مَكَانِهِ اَّلذِيْ هُوَ فِيْهِ تُصِيْبُهُ شَوْكَةٌ وَأَنَا جَالِسٌ فِيْ أَهْلِيْ ‘Wallahi! Maa uhibbu an Muhammadan al-aan fii makaanihi lladzii huwa fiihi tushiibu syaukatun tu-dziihi wa annii jaalisun fii ahlii.’ – ‘Demi Tuhan! Kematian lebih baik bagiku daripada menyaksikan kaki RasuluLlah (saw) tertusuk duri ketika berjalan di jalan-jalan Madinah.’ Abu Sufyan sangat terkesan dengan kecintaan Zaid yang dalam kepada RasuluLlah (saw). Dengan heran ia melihat ke arah Zaid lalu segera berkata dengan suara tertahan, مَا رَأَيْتُ مِنَ النَّاسِ أَحَدًا يُحِبُّ أَحَدًا كَحُبِّ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ مُحَمَّدًا ‘Maa ra-aitu ahadan minan naasi yuhibbu ahadan ka–hubbi ash-haabi Muhammadin Muhammadan.’ ‘Tuhan menjadi saksi, Belum pernah saya melihat kecintaan di kalangan manusia seperti kecintaan para sahabat Muhammad dalam mencintai Muhammad.’[6]
Demikianlah kecintaan para sahabat kepada RasuluLlah (saw) Saw, jalinan kesetiaan dan standar mengorbankan jiwa demi beliau. Bagaimana perlakuan Allah Ta’ala kepada mereka, itu pun tampak jelas. Sebelum dieksekusi mati beliau mengatakan: “Kearah manapun aku terjatuh nantinya, tidak ada bedanya bagiku, apakah ke kanan, kiri, depan ataupun belakang, karena aku tengah mengorbankan nyawa demi Allah Ta’ala.”
Satu harapan yang beliau sampaikan sebelum dieksekusi adalah beliau ingin melaksanakan shalat nafal dua rakaat, beliau juga berhasrat untuk menyampaikan salam kepada RasuluLlah (saw) dan Allah Ta’ala memenuhi keinginan beliau dengan menyampaikan salamnya. Betapa dalamnya kecintaan mereka kepada RasuluLlah (saw) sehingga beliau tidak rela sekalipun kaki Rasul tertusuk duri sebagai ganti dari nyawanya. Begitu pentingnya penderitaan RasuluLlah (saw) walaupun hanya sedikit saja dan tidak memperdulikan nyawanya melayang, karena itu mereka meraih keridhaan Allah ta’ala.
Sahabat berikutnya adalah Hadhrat Abdullah bin Abdullah Bin Ubay Bin Salul (عبد الله بن عبد الله بن أُبي بن سلول). Beliau berasal dari Anshar kabilah Khazraj, ranting Banu Auf. Beliau adalah putra dari pemimpin orang Munafik, Abdullah Bin Ubay bin Salul. Beliau adalah sahabat RasuluLlah (saw) yang sangat mukhlis dan setia. Ibunda beliau bernama Khaulah Binti Mundzir (خولة بنْت المنذر). Pada masa jahiliyah nama beliau adalah al-Hubab. Lalu RasuluLlah (saw) mengganti nama beliau dengan Abdullah dan bersabda, إِنَّ الْحُبَابَ اسْمُ الشَّيْطَانِ “Hubab adalah nama syaitan.”[7]
Salul adalah nenek Abdullah Bin Ubay Bin Salul, berasal dari kabilah Khuza’ah. Ubay dikenal dari ibunya sehingga Abdullah disebut Abdullah Bin Ubay Bin Salul.
Abdullah Bin ubay Bin Salul adalah putra bibi Abu Amir ar-Rahib yakni satu diantara sekian orang selalu mengabarkan akan diutusnya RasuluLlah (saw) saw, yakni akan diutus seorang nabi dan selalu menzahirkan untuk beriman kepada nabi yang akan diutus tersebut. Beliau selalu berjanji kepada orang-orang perihal akan diutusnya RasuluLlah (saw). Abu Amir biasa mengenakan pakaian tebal dan biasa melakukan rahbaniyyat (kerahiban atau petapa). Ketika Allah ta’ala mengutus rasulNya, bukannya seperti yang selalu ia umumkan kepada orang-orang, justru malah bersikap sebaliknya, ia terjerumus dalam kedengkian, ia membangkang dan teguh dalam kekufuran. Ia berangkat bersama kaum Musyrikin untuk berperang dengan pasukan Muslim dalam perang Badr dan RasuluLlah (saw) menamainya dengan sebutan fasiq.
Diantara putra-putra Hadhrat Abdullah (ra) ialah Ubadah (عبادةُ), Julaiha (جليحة), Khaitsmah (خيثمة), Khauli (خولي) dan Umamah (أمامة). Hadhrat Abdullah baiat masuk Islam dan keIslaman beliau sangat baik. Beliau termasuk diantara sahabat agung. Beliau ikut serta pada perang Badr, Uhud dan seluruh peperangan lainnya bersama RasuluLlah (saw).
Beliau mengetahui baca tulis. Hadhrat Aisyah meriwayatkan beberapa Hadits dari Hadhrat Abdullah, beliau juga mendapatkan kehormatan sebagai penulis wahyu.
Dalam sebuah riwayat disebutkan hidung beliau terpotong di perang uhud lalu RasuluLlah (saw) memerintahkannya untuk menambalnya dengan hidung emas. Sedangkan dalam riwayat lain, pada perang uhud dua gigi beliau patah, lalu RasuluLlah (saw) memerintahkannya untuk menggantinya dengan gigi emas. Perawi mengatakan bahwa riwayat mengenai patahnya gigi beliau lebih masyhur dan sahih.[8] Terkadang ada hal yang dilebih-lebihkan oleh yang meriwayatkan atau di kemudian hari pesan tidak dapat dicerna dengan baik. Riwayat mengenai dua gigi beliau tampaknya lebih valid bahwa kedua gigi itu patah dan Nabi (saw) memerintahkannya memasang gigi emas. Memang pada zaman itu pun hal ini juga sudah biasa terjadi.
Pada perang Uhud, Abu Sufyan melontarkan tantangan kepada umat Muslim untuk berperang kembali tahun depan di medan Badr. Berkaitan dengan hal ini dikisahkan dalam buku Sirat Khataman Nabiyyin karya Hadhrat Mirza Bashir Ahmad merujuk dari berbagai sumber sejarah sebagai berikut: “Setelah perang Uhud, sekembalinya dari medan perang, Abu Sufyan melontarkan tantangan kepada umat Muslim untuk berperang di medan Badr pada tahun depan. RasuluLlah (saw) mengumumkan bahwa beliau menerima tantangan itu. Untuk itu pada tahun berikutnya, pada tahun 4 Hijriyah di hari-hari akhir bulan Syawal, RasuluLlah (saw) membawa 1.500 sahabat berangkat dari Madinah dan beliau (saw) menetapkan Abdullah Bin Abdullah Bin Ubay Bin Salul sebagai Amir Madinah dalam ketidakberadaan beliau (saw) di sana. [9]
Di sisi lain Abu Sufyan Bin Harb berangkat dari Makkah dengan membawa 2000 pasukan Quraisy. Namun, meski mendapatkan kemenangan pada perang Uhud dan disertai dengan pasukan yang banyak, hatinya ciut. Walaupun bertekad kuat untuk menghancurkan Islam, ia tidak ingin berhadapan sebelum disediakan sebuah pasukan yang sangat besar. Maka dari itu, ia mengutus seseorang bernama Naim yang berasal dari kabilah netral dan memerintahkannya untuk sebisa mungkin menakut-nakuti umat Muslim dan berdusta supaya umat Muslim mengurungkan niat berperang.
Orang tersebut lalu datang ke Madinah dan mengarang cerita dusta perihal kesiapan dan semangat bangsa Quraisy untuk berperang sehingga menciptakan kegelisahan di Madinah. Akibatnya, beberapa umat Muslim yang bermental lemah merasa ciut untuk ikut berperang. Namun ketika RasuluLlah (saw) memerintahkan untuk berangkat dan bersabda dalam pidatonya, ‘Kita telah menerima tantangan kaum kuffar dan berjanji untuk berangkat sekarang. Karena itu, kita tidak dapat melanggarnya. Jika kalian merasa gentar, sekali pun aku harus berangkat sendiri, aku akan pergi sendiri dan menghadapi musuh sendirian.’
Mendengar hal tersebut, hilanglah rasa takut yang meliputi umat Muslim dan dengan semangat dan tulus ikhlas siap untuk berangkat bersama dengan RasuluLlah (saw) Saw. [10]
Walhasil, Hadhrat RasuluLlah (saw) saw berangkat dari medinah bersama dengan 1500 sahabat. Abu Sufyan juga berangkat dari Makkah bersama dengan 2000 pasukan. Namun bagaimana kuasa Tuhan, pasukan Muslim tiba di medan Badr menepati janjinya, namun pasukan Quraisy setelah menempuh jarak sekian jauh lalu kembali lagi ke Makkah. Kisahnya senbagai berikut: Ketika Abu Sufyan mengetahui bahwa upaya naim gagal untuk menakut nakuti pasukan Muslim, Abu Sufyan menjadi ciut nyalinya dan memerintahkan pasukannya untuk kembali ke Makkah dengan alasan, ‘Tahun ini telah terjadi paceklik sehingga orang-orang menghadapi kesulitan. Maka dari itu, bertempur saat ini tidaklah tepat. Setelah kondisi lebih baik lagi nanti, kita akan menyerang Madinah dengan penuh persiapan.’ [11]
Pasukan Islam bertahan di medan Badr selama 8 hari lamanya. Sebagaimana biasa pada permulaan bulan Dzul Qadah di sana biasa diadakan keramaian di daerah tersebut. Pada saat itu para sahabat mengeruk keuntungan dari perdagangan pada keramaian tersebut. Diriwayatkan bahwa selama 8 hari itu para sahabat menghasilkan keuntungan dua kali lipat dari jumlah modal sebelumnya. Setelah keramaian berakhir dan pasukan Quraisy tak kunjung dating, RasuluLlah (saw) pergi meninggalkan medan Badr dan pulang ke Madinah. Sedangkan Quraisy setelah sampai sampai di Makkah, mulai melakukan persiapan lagi untuk melancarkan serangan ke Madinah. [12] Peristiwa ini disebut dengan Perang Badrul Mau’id.”[13]
Hadhrat Abdullah syahid pada 12 Hijri pada perang yamamah, masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakar. Pada Sahih Bukhari terdapat riwayat berkenaan dengan ayahanda beliau, dan saya sampaikan riwayat ini supaya kita mengetahui sejarah, meskipun tidak ada kaitannya secara langsung.
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ عَلَى حِمَارٍ عَلَى قَطِيفَةٍ فَدَكِيَّةٍ وَأَرْدَفَ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ وَرَاءَهُ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ ق Diriwayatkan oleh Hadhrat Usamah bin Zaid bahwa RasuluLlah (saw) tengah mengendarai keledai yang dilapisi dengan kain yang terbuat dari Fadakiyah. Beliau mendudukan Hadhrat usamah Bin Zaid di belakang. Saat itu RasuluLlah (saw) hendak menjenguk Hadhrat Saad Bin Ubadah yang tinggal di kawasan Banu Harits Bin Khazraj. Ini terjadi sebelum peristiwa Badr.
Hadhrat Usama meriwayatkan, حَتَّى مَرَّ بِمَجْلِسٍ فِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ فَإِذَا فِي الْمَجْلِسِ أَخْلَاطٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَالْيَهُودِ وَالْمُسْلِمِينَ وَفِي الْمَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَلَمَّا غَشِيَتْ الْمَجْلِسَ عَجَاجَةُ الدَّابَّةِ خَمَّرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَنْفَهُ بِرِدَائِهِ ثُمَّ قَالَ لَا تُغَبِّرُوا عَلَيْنَا “Ketika di perjalanan kami melewati satu perkumpulan yang di dalamnya terdapat Abdullah Bn Ubay Bin Salul dan saat itu Abdullah Bin Ubay masih belum menjadi Muslim. Dalam majlis tersebut terdapat beberapa orang musyrik dan Yahudi juga ada juga beberapa Muslim, kesemuanya bercampur. Dalam majlis tersebut terdapat Abdullah Bin Rawahah juga. Ketika pandangan tertuju kepada debu yang diakibatkan oleh hewan tunggangan, Abdullah Bin Ubay menutupi hidung dengan cadar dan berkata, yang tampaknya kepada RasuluLlah (saw): ‘Janganlah menghembuskan debu ke arah kami.’ RasuluLlah (saw) terhenti lalu turun dari tunggangan.
فَسَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ ثُمَّ وَقَفَ فَنَزَلَ فَدَعَاهُمْ إِلَى اللَّهِ وَقَرَأَ عَلَيْهِمْ الْقُرْآنَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ أَيُّهَا الْمَرْءُ إِنَّهُ لَا أَحْسَنَ مِمَّا تَقُولُ إِنْ كَانَ حَقًّا فَلَا تُؤْذِنَا بِهِ فِي مَجْلِسِنَا ارْجِعْ إِلَى رَحْلِكَ فَمَنْ جَاءَكَ فَاقْصُصْ عَلَيْهِ RasuluLlah (saw) mengucap salam lalu menyeru mereka kepada Tuhan dan memperdengarkan Al-Quran. Abdullah Bin Ubay Bin Salul berkata: ‘Wahai manusia! Apa yang anda katakan tidak ada yang lebih baik dari itu.’ Atau maksudnya, ‘Apakah menurutmu tidak ada lagi yang lebih baik dari ini?’ Atau ‘Tidak dapatkah mengatakan yang lebih baik dari itu?’”
Banyak arti dari ungkapan itu, bagaimana penerjemahannya, dari rujukan sebenarnya dapat diketahui.
“Ia berkata: ‘Jika memang benar tidak ada yang lebih dari ucapanmu ini, maka jangan biasakan menyusahkan majlis kami dengan itu, kembalilah ke tempat asalmu dan sampaikan itu kepada orang-orang yang datang padamu.’
فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَاغْشَنَا بِهِ فِي مَجَالِسِنَا فَإِنَّا نُحِبُّ ذَلِكَ فَاسْتَبَّ الْمُسْلِمُونَ وَالْمُشْرِكُونَ وَالْيَهُودُ حَتَّى كَادُوا يَتَثَاوَرُونَ فَلَمْ يَزَلْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّضُهُمْ حَتَّى سَكَنُوا ثُمَّ رَكِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَابَّتَهُ فَسَارَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا سَعْدُ أَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالَ أَبُو حُبَابٍ يُرِيدُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ قَالَ كَذَا وَكَذَا Mendengar ini Hadhrat Abdullah Bin Rawahah berkata: ‘Tidak demikian! Wahai RasuluLlah (saw) silahkan sampaikan ini di dalam majlis-majlis kami, kami menyukainya.’
Atas hal itu Umat Muslim, Yahudi dan Musyrik saling adu mulut, sehingga hamper-hampir terjadi perkelahian, namun RasuluLlah (saw) menahan emosi mereka dan menasihatinya. Pada akhirnya mereka berhenti.
RasuluLlah (saw) lalu pergi mengendarai tunggangan dan tibalah di rumah Hadhrat Saad Bin Ubadah. Nabi Saw berkata padanya: ‘Wahai Sa’d! Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Hubab kepada saya hari ini?’
Maksud beliau adalah Abdullah Bin Ubay. Lalu RasuluLlah (saw) menceritakan semuanya.
قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْفُ عَنْهُ وَاصْفَحْ عَنْهُ فَوَالَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ لَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْحَقِّ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ لَقَدْ اصْطَلَحَ أَهْلُ هَذِهِ الْبُحَيْرَةِ عَلَى أَنْ يُتَوِّجُوهُ فَيُعَصِّبُوهُ بِالْعِصَابَةِ فَلَمَّا أَبَى اللَّهُ ذَلِكَ بِالْحَقِّ الَّذِي أَعْطَاكَ اللَّهُ شَرِقَ بِذَلِكَ فَذَلِكَ فَعَلَ بِهِ مَا رَأَيْتَ فَعَفَا عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ يَعْفُونَ عَنْ الْمُشْرِكِينَ وَأَهْلِ الْكِتَابِ كَمَا أَمَرَهُمْ اللَّهُ وَيَصْبِرُونَ عَلَى الْأَذَى Hadhrat Sa’d Bin Ubadah berkata, ‘Wahai RasuluLlah (saw)! Maafkanlah ia. Demi Dzat yang telah menurunkan kitab kepada tuan! Sekarang Allah Ta’ala telah membawa kebenaran itu kemari yakni Dia telah mengutus tuan. Sebelumnya penduduk negeri ini telah memutuskan untuk mengenakan mahkota kepemimpinan kepada Abdullah Bin Ubay. Ketika Allah ta’ala tidak merestuinya disebabkan kebenaran yang Allah turunkan kepada tuan, ia terbakar api kedengkian, untuk itu ia mengatakan sesuatu seperti yang telah tuan dengar hari ini.’
Setelah mendengar itu RasuluLlah (saw) memaafkannya. Seperti yang Allah perintahkan, RasuluLlah (saw) dan para sahabat biasa memaafkan orang-orang Musyrik, dan Ahli Kitab. Mereka biasa bersabar menghadapi perlakuan yang menyakitkan.
Allah Ta’ala berfirman: {وَلَتَسْمَعُنَّ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنْ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا} ‘Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati.’ (Surah Aali Imran, 3:187)
Allah ta’ala selanjutnya berfirman: {وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} ‘Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri. setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’ (Surah al-Baqarah, 2:110)
وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَأَوَّلُ الْعَفْوَ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ بِهِ حَتَّى أَذِنَ اللَّهُ فِيهِمْ فَلَمَّا غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدْرًا فَقَتَلَ اللَّهُ بِهِ صَنَادِيدَ كُفَّارِ قُرَيْشٍ قَالَ ابْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ هَذَا أَمْرٌ قَدْ تَوَجَّهَ فَبَايَعُوا الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْإِسْلَامِ فَأَسْلَمُوا
RasuluLlah (saw) meyakini bahwa memaafkan adalah sesuai, sebagaimana yang Allah Ta’ala perintahkan kepada beliau. Pada akhirnya Allah ta’ala mengizinkan beliau. Ketika RasuluLlah (saw) menghadapi mereka di medan Badr dan dalam pertempuran itu Allah ta’ala telah membunuh para pembesar Quraisy, maka Abdullah Bin Ubay Bin Salul dan kawan kawan yang musyrik dan penyembah berhala berkata: Sekarang jemaat ini semakin luar biasa, lalu mereka berbaiat kepada rasul untuk tetap teguh dalam Islam dan masuk Islam. Ketika mereka melihat umat Muslim berhasil pada perang Badr, mereka menjadi khawatir lalu baiat masuk Islam.”[14]
Seperti yang saya sampaikan riwayat-riwayat tersebut tidak memiliki keterkaitan langsung, namun saya sampaikan supaya kita mengetahui sejarah. Berkenaan dengan sepak terjang Abdullah Bin Ubay Bin Salul, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menulis: “Pada kesempatan perang uhud, RasuluLlah (saw) mengumpulkan umat Muslim lalu meminta pendapat mereka terkait serangan kaum Quraisy ini apakah bertempur dengan tetap berada di Madinah ataukah di luar Madinah. Abdullah Bin Ubay Bin Salul juga berada pada saat musyawarah itu, yang notabene sebenarnya munafik, namun setelah perang Badr pada lahiriahnya beliau telah masuk Islam dan itu merupakan kesempatan pertama dimana RasuluLlah (saw) mengundangnya untuk ikut serta dalam musyawarah.
Sebelum meminta musyawarah, RasuluLlah (saw) menjelaskan perihal penyerangan Quraisy dan rencana jahatnya dan bersabda, إنّي قَدْ رَأَيْت وَاَللّهِ خَيْرًا، رَأَيْتُ بَقَرًا، وَرَأَيْتُ فِي ذُبَابِ سَيْفِي ثَلْمًا، وَرَأَيْتُ أَنّي أَدْخَلْتُ يَدِي فِي دِرْعٍ حَصِينَةٍ ‘Pada malam tadi dalam mimpi saya melihat seekor sapi. Saya juga melihat ujung pedang saya patah lalu saya memasukkan tangan saya ke dalam pakaian besi yang kokoh.’[15] Di dalam riwayat lain dikatakan, رَأَيْت بَقَرًا لِي تُذْبَحُ ‘Saya melihat sapi saya tersebut disembelih.’[16] Dalam riwayat lain lagi dijelaskan, رَأَيْت فِيمَا يرى النَّائِم كَأَنِّي مردف كَبْشًا وَكَأن ظبة سَيفي انْكَسَرت فأولت أَنِّي أقت كَبْشا لقوم وأولت كسر ظبة سَيفي قتل رجل من عِتْرَتِي ‘Saya bermimpi melihat diri saya tengah berkendara di atas seekor domba jantan…’[17]
Sahabat bertanya: يَا رَسُولَ اللهِ، مَاذَا أَوَّلْتَ رُؤْيَاكَ؟ ‘Yaa RasulaLlahi! Maa dza awwalta ru-yaak?’ – ‘Wahai RasuluLlah (saw)! Apa penjelasan Anda atas mimpi Anda tersebut?’
Beliau bersabda, فَأَمّا الْبَقَرُ فَهِيَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِي يُقْتَلُونَ وَأَمّا الثّلْمُ الّذِي رَأَيْتُ فِي ذُبَابِ سَيْفِي، فَهُوَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُقْتَلُ ‘Disembelihnya sapi menurut saya maksudnya ada syahidnya sebagian sahabat saya. Sementara itu, makna patahnya ujung pedang saya maksudnya adalah tampaknya mengisyaratkan syahidnya salah satu kerabat saya.’[18] Atau, وَكَرِهْتُ مَا رَأَيْتُ بِسَيْفِيَ ‘Mungkin saya sendiri akan mengalami penderitaan pada peristiwa ini.’[19] إِنِّي رَأَيْت أَنِّي فِي درع حَصِينَة فَأَوَّلتهَا الْمَدِينَة وَإِنِّي مردف كَبْشًا فَأَوَّلْته كَبْش الكتيبة وَرَأَيْت ان سَيفي ذَا الفقار فل فَأَوَّلْته فَلَا فِيكُم وَرَأَيْت بقرًا تذبح فبقر وَالله خير Perihal saya memasukkan tangan ke dalam baju besi menurut hemat saya adalah untuk menghadapi serangan ini lebih tepat bagi kita jika tetap berada di Madinah. Mengenai mimpi mengendarai domba jantan saya takwilkan bahwa pemimpin lasykar kuffar yakni tokoh yang memegang bendera insya Allah akan mati di tangan pasukan Muslim.’[20]
Setelah itu beliau (saw) meminta pendapat dari para sahabat mengenai apa yang harus dilakukan dalam kondisi seperti itu. Beberapa sahabat terkemuka dikarenakan kondisi yang tidak menentu dan mungkin karena terkesan oleh mimpi Hadhrat RasuluLlah (saw), mereka memberikan pendapat bahwa akan lebih baik menghadapi musuh dengan tetap tinggal di Madinah. Pendapat seperti ini juga diutarakan oleh Abdullah Bin Ubay Bin Salul yang merupakan pemimpin orang-orang munafik, dan Hadhrat RasuluLlah (saw) sendiri pun menyukai pendapat ini dan bersabda, ‘Tampaknya memang lebih baik kita menghadapi musuh dengan tetap berada di Madinah.’ Namun, mayoritas sahabat dan khususnya para pemuda yang tidak ikut perang Badr serta menginginkan untuk mendapat kesempatan mengkhidmati agama dengan kesyahidan mereka dan sangat tidak sabar untuk melakukannya, mereka memohon dengan sangat supaya keluar dari kota dan menghadapi musuh di medan terbuka. Mereka sedemikian rupa memaksa dan mengutarakan pendapat mereka sehingga Hadhrat RasuluLlah (saw) setelah melihat semangat mereka menerima pendapat mereka tersebut, serta memutuskan, ‘Kita akan menghadapi musuh dengan keluar ke medan terbuka.’
Kemudian setelah shalat Jum’at beliau (saw) memberikan seruan umum kepada kaum Muslimin supaya mereka ambil bagian dalam perang ini dan meraih ganjaran. Setelah itu beliau (saw) pulang ke rumah, dengan bantuan Hadhrat Abu Bakar dan Hadhrat Umar beliau mengenakan sorban dan pakaian perang, kemudian membawa senjata, dan dengan menyebut nama Allah, beliau (saw) keluar. Namun tidak lama kemudian, dengan nasihat dari Hadhrat Sa’ad Bin Mu’adz, pemimpin Kabilah Aus serta para sahabat terkemuka lainnya, para pemuda tadi mulai menyadari kekeliruan mereka bahwa seharusnya mereka tidak memaksakan pendapat mereka untuk menentang pendapat RasuluLlah (saw) dan sebagian besar dari mereka merasa menyesal.
Ketika mereka melihat RasuluLlah (saw) keluar dengan membawa senjata, mengenakan baju zirah dan lain-lain, maka mereka semakin menyesal dan gelisah, dan kurang lebih mereka sepakat satu kata memohon, ‘Ya RasuluLlah (saw)! Kami telah keliru memaksakan pendapat kami untuk menentang pendapat engkau. Cara mana yang engkau anggap lebih baik, hendaknya lakukanlah cara itu. Insya Allah ada keberkatan di dalamnya.’
Beliau (as) bersabda dengan penuh ghairat, مَا يَنْبَغِي لِنَبِيَ إِذَا لَبِسَ لَأْمَتَهُ أَنْ يَرْجِعَ حَتَّى يَحْكُمَ اللهُ لَه ‘maa yambaghi li-Nabiyyin idza labisa la-matahu ay yarji’a hatta yahkumaLlahu lahu.’ – ‘Sekarang hal itu tidak mungkin lagi dilakukan. Jauh dari keagungan seorang Nabi Allah Ta’ala, jika ia telah mengangkat senjata, kemudian meletakkan kembali senjata tersebut sebelum Allah Ta’ala memberikan suatu keputusan. Oleh karena itu, sekarang berangkatlah dengan menyebut nama Allah. Jika kalian menjalaninya dengan sabar, yakinlah pertolongan Allah Ta’ala akan bersama kalian.’[21]
Setelah itu beliau (saw) menyiapkan tiga bendera untuk lasykar Islam. bendera Kabilah Aus diserahkan kepada Usaid Bin Hudhair dan bendera Kabilah Khazraj diserahkan ke tangan Hubab Bin Mundzir, dan bendera Muhajirin diserahkan kepada Hadhrat Ali, kemudian beliau (saw) menetapkan Abdullah Bin Ummi Maktum sebagai Imam shalat di Madinah, dan ba’da shalat ashar beliau (saw) keluar dari Madinah bersama rombongan besar para sahabat. Pemimpin Kabilah Aus dan Kabilah Khazraj, Sa’ad Bin Mu’adz dan Sa’ad Bin ‘Ubadah berlari-lari kecil di depan tunggangan beliau (saw) dan sahabat-sahabat yang lainnya berjalan di kanan-kiri dan depan-belakang beliau (saw).
Gunung Uhud terletak di sebelah utara kota Madinah berjarak kurang lebih 3 mil. Setelah menempuh setengah perjalanan, beliau (as) bermukim di suatu tempat di dekat Madinah yang dinamakan Syekhain dan memerintahkan untuk mengevaluasi lasykar Islam.
Anak-anak di bawah umur yang karena semangat jihad mereka telah ikut serta dalam rombongan, mereka dipulangkan. Oleh karena itu, Abdullah Bin Umar, Usamah Bin Zaid, Abu Sa’id Khudri dan lain-lain, semuanya dipulangkan kembali. Rafi Bin Khudaij yang seumuran dengan anak-anak yang dipulangkan tersebut, namun memiliki keahlian yang baik dalam memanah, dikarenakan kelebihannya ini ayah beliau merekomendasikan beliau ke hadapan RasuluLlah (saw) supaya diberikan izin untuk ikut serta dalam jihad. Hadhrat RasuluLlah (saw) melihat ke arah Rafi, beliau telah berdiri dengan tegap layaknya para prajurit, sehingga tampak sigap dan tinggi. Oleh karenanya beliau lulus persyaratan dan Hadhrat RasuluLlah (saw) mengizinkan beliau untuk ikut serta.
Melihat hal ini, seorang anak lainnya Samurah Bin Jundub yang telah diperintahkan untuk pulang mendatangi ayah beliau dan berkata, ‘Jika Rafi’ diizinkan maka saya juga seharusnya mendapatkan izin, karena saya lebih kuat dari Rafi’, saya menjatuhkannya ketika bergulat.’ Ayah beliau sangat senang atas keikhlasan puteranya, lalu membawanya ke hadapan RasuluLlah (saw) dan menjelaskan keinginan puteranya tersebut. Hadhrat RasuluLlah (saw) sambil tersenyum bersabda, ‘Baiklah, kalau begitu Rafi’ dan Samurah harus beradu gulat supaya diketahui siapa diantara mereka yang lebih kuat.’ Maka diadakanlah pertandingan dan memang benar Samurah dalam waktu sekejap saja bisa mengangkat dan menjatuhkan Rafi’. Oleh karenanya Hadhrat RasuluLlah (saw) pun memberikan izin kepada Samurah untuk turut serta dan anak tak berdosa ini merasa senang.[22]
Karena waktu telah petang, oleh karena itu Bilal mengumandangkan azan dan para sahabat melaksanakan shalat dengan diimami Hadhrat RasuluLlah (saw). Kemudian kaum Muslimin mendirikan kemah untuk bermalam dan Hadhrat RasuluLlah (saw) menugaskan Muhammad Bin Maslamah untuk melakukan patroli malam. Beliau bersama 50 orang sahabat sepanjang malam melakukan patroli di sekitar lasykar Islam.[23]
Pada hari kedua, yakni pada hari sabtu dini hari, tanggal 15 Syawal 3 Hijriah, bertepatan dengan 31 Maret 624 M, lasykar Islam tersebut melanjutkan kembali perjalanan dan melaksanakan shalat di jalan, tepat setelah subuh mereka tiba di kaki gunung Uhud. Pada kesempatan tersebut Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin orang-orang munafik berkhianat dan bersama dengan 300 kawannya meninggalkan lasykar kaum Muslimin pulang menuju Madinah sambil mengatakan, ‘Muhammad (saw) tidak menuruti perkataanku dan pergi keluar menuruti perkataan para pemuda tidak berpengalaman. Oleh karena itu aku tidak bisa berperang bersamanya.’
Beberapa orang menasihatinya secara pribadi bahwa pengkhianatan ini tidak baik, namun ia tidak mendengarkan satu orang pun dan mengatakan, ‘Ini bukanlah peperangan, jika ini peperangan aku juga akan ikut serta. Tetapi, ini bukan peperangan, melainkan menjerumuskan diri sendiri ke dalam mulut kematian.’
Sekarang kekuatan kaum Muslimin hanya berjumlah 700 orang yang jika dibandingkan dengan pasukan Kufar yang berjumlah 3000 orang seperempatnya pun tidak.”[24]
Singkatnya, terjadilah peperangan. Terjadi beberapa situasi, mengenai hal ini insya Allah saya akan sampaikan pada Khutbah yang akan datang.
Sekarang saya akan menyampaikan riwayat hidup almarhum yang akan saya pimpin shalat jenazahnya setelah shalat Jum’at ini. Beliau adalah Mukaram Khawajah Rasyiduddin Qomar Sahib, yang merupakan putera dari Almarhum Maulana Qomaruddin Sahib. Setelah sakit beberapa lama, pada tanggal 10 Oktober beliau wafat pada usia 86 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau lahir di Qadian pada tahun 1933 dan sebagaimana telah saya sampaikan beliau merupakan putera dari Maulwi Qomaruddin Sahib. Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menetapkan Maulwi Qomaruddin Sahib sebagai Sadr pertama Majlis Khudamul Ahmadiyah. Almarhum merupakan cucu dari Hadhrat Mia Khairuddin Sikhwani (ra) dan paman dari Amir kita, yakni Amir UK.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menulis mengenai Hadhrat Mia Khairuddin Sikhwani dan dua saudara beliau dalam buku Anjaam-e-Aatham, “Saya merasa takjub dengan kecintaan dan keikhlasan Jema’at saya. Diantara mereka ada yang kehidupan mereka sangat berkekurangan, seperti halnya Mia Jamaluddin dan Khairuddin serta Imamuddin Kasymiri yang tinggal di dekat kampung saya. Mereka adalah tiga bersaudara yang miskin yang bekerja sebagai buruh harian untuk mendapatkan 3 atau 4 ana, namun mereka berusaha keras untuk dapat turut serta membayar candah bulanan.”
Kemudian pada satu kesempatan ketika beliau (as) menghimbau gerakan candah, ketiga bersaudara tersebut memberikan candah mereka. Beliau (as) bersabda mengenai peristiwa ini, “Pembayaran candah para sahabat ini begitu menakjubkan dan patut dicemburui, mereka hanya menyimpan bagian yang sangat sedikit dari harta duniawi untuk diri mereka, seolah-olah layaknya Hadhrat Abu Bakar (ra) yang membawa semua yang ada di rumah, dan mereka mengutamakan agama di atas dunia sebagaimana yang disyaratkan dalam baiat.” Hadhrat Khawajah Sahib adalah seorang dari antara keturunan mereka.
Almarhum setelah hijrah ke Pakistan bekerja di angkatan udara Pakistan untuk beberapa lama. Pada tahun 1958 beliau tiba di UK dan bekerja di British Airways hingga 33 tahun. Beliau juga senang mengkhidmati Jema’at, oleh karena itu di masa-masa bekerja beliau mengerjakan tugas-tugas kantornya pada malam hari, sehingga siang harinya bisa melakukan pengkhidmatan agama. Beliau melewati sepanjang hidup beliau untuk mengkhidmati Jema’at. Beliau menduduki berbagai jabatan dalam Jema’at. Beliau mendapatkan taufik menjadi Qaid Majlis Khudamul Ahmadiyah UK yang pertama hingga 7 tahun. Pada saat itu semua khudam di luar Pakistan bersatu di bawah Khudamul Ahmadiyah Markaziah, beliau adalah Qaid UK yang pertama. Disamping itu beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Sekretaris Umum, Sekretaris Maal, Sekretaris Rishta Nata, Sekretaris Umur Ammah dan Naib Officer Jalsah.
Khawajah Sahib memiliki banyak keistimewaan. Beliau sangat mencintai Khilafat, sangat menghormati para sesepuh Jema’at, para muballigh dan pengurus-pengurus Jema’at. Beliau seorang yang sangat baik, rajin tahajud, disiplin dalam shalat berjama’ah, dawam dalam membayar candah dan bersedekah, sangat supel, suka menolong orang miskin, sangat mencintai anak-anak, menghormati baik yang tua maupun yang muda, rajin berdoa. Dengan karunia Allah Ta’ala almarhum adalah seorang musi.
Selain seorang istri, beliau meninggalkan satu orang putera, dua orang puteri, seorang saudari kandung serta tiga orang saudara kandung. Cucu beliau Qasid Mu’in adalah seorang mubaligh yang mendapatkan taufik berkhidmat di MTA dan Al-Hakam. Qasid Mu’in Sahib mengatakan, “Pada hari sabtu dan minggu kami melewatinya dengan tinggal di rumah kakek kami. Setiap minggu kami mendapatkan kesempatan untuk melihat beliau dari dekat. Saat masih kanak-kanak saya sering tidur di kamar beliau, saya selalu melihat beliau melaksanakan shalat nafal sebelum tidur dan beliau melaksanakannya dengan sangat indah, khusyu dan tenang, dan di pagi harinya beliau bangun untuk tahajud secara dawam dan membangunkan kami juga untuk shalat subuh. Saya selalu melihat beliau bersikap lemah lembut, bersifat seperti malaikat, tidak pernah membentak kami. Saya ingat satu kali bentakan beliau yaitu ketika dikarenakan kepolosan di masa kanak-kanak saya bertanya kepada beliau siapa khalifah selanjutnya? Mendengar itu kakek saya membentak saya dan menasihati supaya jangan sekali-kali bertanya mengenai hal itu dan dengan pelajaran ini sejak di usia masih kanak-kanak itu lah saya dapat memperkirakan kedudukan dari Khilafat.
Beberapa hari sebelum saya melakukan lawatan ini beliau datang menemui saya. Beliau didiagnosa kangker, beliau sakit dan sedang menjalani pengobatan, namun beliau menjalaninya dengan sabar, dan dengan penuh keteguhan menceritakan semuanya. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunannya kepada beliau dan memberikan tempat kepada beliau diantara orang-orang yang Dia kasihi, dan semoga putera-puteri beliau dan keturunan beliau diberikan taufik untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah : Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Hashim; Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
[1][1] Ar-Raudh al-Anf
[2] Hadits Ahmad No.16615 | Kelengkapan Hadits ‘Amru bin Umayah Adl Dlamri Radliyallahu ta’ala ‘anhu
[3] Al-Isti’aab
[4] Shahih al-Bukhari.
[5] Muhammad bin Umar al-Waqidi dalam Kitab al-Maghazi
[6] Usdul Ghaabah fii Ma’rifatish Shahaabah, Jilid. 2, Hal. 147, “Zaid bin Datsanah”, Darul Fikir, Beirut 2003; Ma’rifatu Ash Shahabah, Abu Nuaim Al Ashbihani, jilid 8, halaman 278
[7] Al-Jaami’ Ma’mar ar Rasyid (الجامع لمعمر بن راشد – باب الأسماء والكنى ): (حديث مرفوع) عَنِ الزُّهْرِيِّ ، أَنَّ رَجُلا كَانَ اسْمُهُ الْحُبَابَ ، فَسَمَّاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْدَ اللَّهِ ، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
[8] Usdul Ghaabah.
[9] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 618, Ghazwatu Badril Ākhirah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001)
[10] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 279, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Badril-Mau‘id, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
[11] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 618, Ghazwatu BadrilĀkhirah,
Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001)
* Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, pp. 535-536, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Badril-
Mau‘id, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
* Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 279, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Banin-Naḍīr, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
[12] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 279, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Badril-Mau‘id, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
[13] Sirah Khataman Nabiyyin (Seal of the Prophets – Volume II), Ghazwah of Badrul-Mau‘id – Dhū Qa‘dah
[14] Shahih al-Bukhari, bab (بَاب {وَلَتَسْمَعُنَّ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنْ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا}).
[15] Sirah Ibn Hisyam atau as-Sirah an-Nabawiyyah (سيرة ابن هشام المسمى بـ «السيرة النبوية) bab ru-ya RasuluLlah (saw) saw (رُؤْيَا رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ).
[16] Ar-Raudh al-Anf atau Taman nan Indah mengenai penjelasan Sirah ibn Hisyam (الروض الأنف في شرح السيرة النبوية لابن هشام) karya Imam as-Suhaili (عبد الرحمن بن عبد الله بن أحمد بن أبي الحسن الخثعمي السهيلي – عبد الملك بن هشام), bahasan mengenai perang Uhud (غَزْوَةُ أُحُدٍ).
[17] Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Kitab al-Khashaish al-Kubra (الخصائص الكبرى للسيوطي), bab (بَاب مَا وَقع فِي غَزْوَة أحد من الْآيَات والمعجزات)
[18] Ar-Raudh al-Anf.
[19] Dalailun Nubuwwah (دلائل النبوة ومعرفة أحوال صاحب الشريعة) karya al-Baihaqi (أحمد بن الحسين بن علي بن موسى الخُسْرَوْجِردي الخراساني، أبو بكر البيهقي (المتوفى: 458هـ)), (جُمَّاعُ أَبْوَابِ غَزْوَةِ أُحُدٍ), (بَابُ ذِكْرِ مَا أُرِيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَنَامِهِ مِنْ شَأْنِ الْهِجْرَةِ وَأُحُدٍ، وَمَا جَاءَ اللهُ بِهِ مِنَ الْفَتْحِ بَعْدُ)
[20] Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Kitab al-Khashaish al-Kubra
[21] Tafsir Ibn Katsir.
[22] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 524, Ghazwatu Uḥud, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001); Tārīkhur-Rusuli Wal-Mulūk (Tārīkhuṭ-Ṭabarī), By Abū Ja‘far Muḥammad bin Jarīr Aṭ-Ṭabarī, Volume 3, p. 64, Thumma Dakhalatis-Sanatuth-Thālithatu Minal-Hijrah / Ghazwatu Uḥud, Dārul-Fikr, Beirut, Lebanon, Second Edition (2002)
[23] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 269, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Uḥudan, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
[24] Sirah Khataman Nabiyyin (Seal of the Prophets – Volume II), VIII – Blow of a Misfortune, Law of Inheritance, Prohibition of Alcohol, Treachery of the Disbelievers and Two Tragic Incidents