Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 92)
Pembahasan lanjutan Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr atau ditetapkan oleh Nabi (saw) mengikuti perang Badr) yaitu Hadhrat Mu’adz bin Jabal radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Pembahasan baru Hadhrat ‘Abdullah bin Amru bin Haram radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, ayah Sahabat terkenal dari kalangan Anshar Madinah, Hadhrat Jabir bin ‘Abdullah radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 30 Oktober 2020 (Ikha 1399 Hijriyah Syamsiyah/13 Rabi’ul Awwal 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Pada khotbah yang lalu telah saya sampaikan tentang Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra). Hari ini masih melanjutkan tentang beliau (ra).
Hadhrat Mu’adz (ra) orang yang sangat dermawan dan sangat royal (berlebihan dalam memberi) sehingga sering beliau terpaksa harus berhutang. Ketika pemberi hutang sangat mengganggu beliau maka beliau duduk berdiam diri di rumah selama beberapa hari. Maka orang-orang itu datang pada Rasulullah (saw) dan memohon Rasulullah (saw) untuk meminta Hadhrat Mu’adz (ra) membayar hutangnya. Hadhrat Rasulullah (saw) mengirim orang untuk memanggil Hadhrat Mu’adz. Ketika hutangnya melebihi harta benda yang beliau miliki maka Rasulullah (saw) bersabda, رَحِمَ اللَّهُ مَنْ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ “Siapa yang tidak mengambil hutangnya maka Allah akan merahiminya.”
Dengan demikian beberapa orang memaafkan hutangnya. Namun tetap saja ada beberapa orang yang terus menuntut bayar hutangnya. Karena itu, Rasulullah (saw) membagikan seluruh harta beliau (ra) pada mereka. Namun tetap saja tidak seluruh hutang terbayarkan. Bahkan setiap pemberi hutang memang dapat beberapa bagian dari harta itu tapi mereka masih menuntut sisanya supaya dibayarkan. Kemudian Rasulullah (saw) bersabda, خَلُّوا عَلَيْهِ فَلَيْسَ لَكُمْ عَلَيْهِ سَبِيلٌ “Sudahlah, sekarang tidak ada yang kalian bisa dapatkan lagi, bawalah yang kalian dapatkan.”
Ketika Hadhrat Mu’adz sudah tidak punya apa-apa lagi maka Rasulullah (saw) mengirim beliau ke Yaman seraya bersabda, لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَجْبُرَكَ وَيُؤَدِّيَ عَنْكَ دَيْنَكَ “Sudah dekat waktunya Allah Ta’ala akan mengganti kerugianmu dan membayar hutangmu.”[1]
Pada kesempatan itu Rasulullah (saw) juga bersabda pada Hadhrat Mu’adz, إِنِّي قَدْ عَرَفْتُ بَلاءَكَ فِي الدِّينِ ، وَالَّذِي نَالَكَ وَذَهَبَ مِنْ مَالِكَ ، وَرَكِبَكَ مِنَ الدَّيْنِ ، وَقَدْ طَيَّبْتُ لَكَ الْهَدِيَّةَ ، فَإِنْ أُهْدِيَ شَيْءٌ فَاقْبَلْ “Wahai Mu’adz! Hutang Anda sangat banyak. Jika ada yang membawa hadiah maka terimalah, saya mengizinkan Anda.” Beliau bersabda, “Anda diizinkan menerima hadiah.”[2]
Diriwayatkan oleh Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra) bahwa ketika Rasulullah (saw) mengirim beliau ke Yaman, Rasulullah (saw) bersabda bahwa tidak ada masalah menerima hadiah. Hadiah itu menambah kecintaan. Kita hendaknya saling menghadiahi satu sama lain.
Tetapi, karena Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra) dikirim ke Yaman sebagai utusan maka dari itu Rasulullah (saw) secara khusus bersabda, “Jika orang-orang memberi Anda hadiah dalam kapasitas Anda sebagai utusan (perwakilan) dari saya maka Anda berwenang (boleh memilih) untuk menggunakan hadiah itu demi keperluan pribadi Anda. Sebab pada umumnya hadiah seperti itu dimaksudkan untuk diberikan ke Baitul Mal atau dipersembahkan untuk Rasulullah (saw).”
Diriwayatkan oleh Hadhrat Mu’adz bin Jabal, لَمَّا بَعَثَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْيَمَنِ خَرَجَ مَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوصِيهِ وَمُعَاذٌ رَاكِبٌ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي تَحْتَ رَاحِلَتِهِ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ “Ketika Rasulullah (saw) mengirim beliau ke Yaman maka Rasulullah (saw) keluar bersama beliau sembari memberi nasehat. Hadhrat Mu’adz duduk di tunggangannya dan Rasulullah (saw) berjalan kaki bersama tunggangan beliau ra. Ketika Rasulullah (saw) telah menyelesaikan kata-katanya maka beliau (saw) bersabda, يَا مُعَاذُ إِنَّكَ عَسَى أَنْ لَا تَلْقَانِي بَعْدَ عَامِي هَذَا أَوْ لَعَلَّكَ أَنْ تَمُرَّ بِمَسْجِدِي هَذَا أَوْ قَبْرِي ‘Wahai Mu’adz! Mungkin saja tahun depan Anda tidak lagi berjumpa dengan saya. Mungkin juga Anda akan lewat di depan mesjid saya ini dan kuburan saya.’ فَبَكَى مُعَاذٌ جَشَعًا لِفِرَاقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ الْتَفَتَ فَأَقْبَلَ بِوَجْهِهِ نَحْوَ الْمَدِينَةِ فَقَالَ Perpisahan dengan Rasulullah (saw) membuat Hadhrat Mu’adz menangis tersedu sedan. Kemudian Rasulullah (saw) merubah arahnya dan menghadap ke Madinah yang diberkahi seraya bersabda; إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُونَ مَنْ كَانُوا وَحَيْثُ كَانُوا ‘inna aulan naasi biy al-muttaquuna man kaanuu wa haitsu kaanu.’ – ‘Orang-orang yang terdekat dengan saya adalah yang bertakwa, siapapun mereka itu dan di manapun mereka berada.[3]
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa pada saat itu Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Mu’adz, إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ “Sudah dekat waktunya Anda akan pergi ke tempat orang-orang Ahli Kitab. Ketika Anda sampai pada mereka, ajaklah mereka untuk bersyahadat bahwa tiada sembahan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya. Jika mereka menaatinya, sampaikan pada mereka bahwa Allah Ta’ala menetapkan lima waktu shalat untuk mereka dalam sehari semalam. Jika mereka menaatinya maka sampaikan pada mereka bahwa Allah Ta’ala menetapkan untuk mereka sedekah yang diambil dari kalangan orang mampu dan diberikan kepada mereka yang faqir (membutuhkan). Kemudian jika mereka menaatinya, maka ingat, janganlah mengambil harta terbaik mereka sebagai sedekah, melainkan ambillah yang menengah dan waspadalah dari rintihan doa-doa orang yang dizalimi (diperlakukan aniaya), sebab tiada jarak antara Allah dan doa orang yang dizalimi.”[4] Rasulullah (saw) secara khusus menasehatkan untuk selamat dari rintihan doa orang yang dizalimi sebab tiada jarak antara rintihannya dan Allah Ta’ala.
Rasulullah (saw) mengirim Hadhrat Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai Qadhi (Hakim). Beliau ra mengajarkan orang-orang Quran dan agama. Memberi keputusan diantara mereka. Amilin Zakat di Yaman yang mengumpulkan zakat mengirimnya pada Hadhrat Mu’adz. Rasulullah (saw) membagi pengaturan Yaman pada lima orang sahabat yaitu Hadhrat Khalid bin Said bin al-‘Ash (خالد بن سعيد بن العاص), Hadhrat Muhajir bin Abu Umayyah (المهاجر بن أبي أمية المخزومي), Hadhrat Ziyad bin Labid (زياد بن لبيد الأنصاري), Hadhrat Mu’adz bin Jabal dan Hadhrat Abu Musa bin Asyari (أبو موسى الأشعري) radhiyallahu ‘anhum.[5] Itu artinya, menurut salah satu riwayat, pemerintahan di sana dibagi pada lima orang ini.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْيَمَنِ فَأَمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ مِنْ الْبَقَرِ تَبِيعًا أَوْ تَبِيعَةً وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً وَمِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا أَوْ عِدْلَهُ مَعَافِرَ Hadhrat Mu’adz bin Jabal meriwayatkan, “Ketika Rasulullah (saw) mengirim saya ke Yaman, beliau (saw) bersabda, ‘Dalam 30 ekor sapi ambillah satu ekor sapi usia satu tahun sebagai zakat dan dalam 40 sapi zakatnya satu ekor sapi usia dua tahun.’” Maksudnya, beliau (saw) menjelaskan syarh (uraian rinci) mengenai zakat dan nishab zakat. “Dari setiap orang yang sudah baligh ambillah sebesar satu dinar atau seharga sebuah Mu’aafir yakni sebuah kain Yaman.” [6]
Mu’aafir adalah nama suatu kabilah yang membuat kain itu. Nama Mu’aafir diambil dari situ. Ini riwayat musnad Ahmad bin Hambal.[7]
Alamah Ibnu Ishaq (ابن إسحاق) meriwayatkan, لَمَّا بُعِثَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ مُعَلِّمًا وَكَانَ رَجُلا أَعْرَجَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ فِي الْيَمَنِ فَبَسَطَ رِجْلَهُ فَبَسَطَ الْقَوْمُ أَرْجُلَهُمْ. فَلَمَّا صَلَّى قَالَ: “Kaki Hadhrat Mu’adz Bin Jabal pincang. Ketika beliau pergi ke Yaman beliau mengimami shalat dan beliau melebarkan kakinya.” (Mungkin kaki di kedepankan atau dilebarkan ke kanan – apapun itu bentuknya.) Maka orang-orang juga melakukan hal yang sama yakni melebarkan kakinya seperti yang dilakukan beliau. Ketika Hadhrat Mu’adz selesai mengimami shalat, maka beliau berkata, قَدْ أَحْسَنْتُمْ وَلَكِنْ لا تَعُودُوا فَإِنِّي إِنَّمَا بَسَطْتُ رِجْلَيَّ فِي الصَّلاةِ لأَنِّي اشْتَكَيْتُهَا. “Kalian melakukan hal yang baik – kalian melakukan seperti yang saya lakukan. Namun, kedepannya jangan pernah lakukan lagi karena (kaki) saya ini sakit maka saya melebarkan kaki saya dalam shalat.”[8]
Maksudnya, “Kalian taat setelah melihat apa yang saya lakukan. Itu adalah sesuatu yang patut dipuji. Memang seperti itulah seharusnya taat, yakni mengikuti imam sepenuhnya. Namun ini keterpaksaan saya. Ini bukan sunnah. Siapa yang tidak terpaksa dia seharusnya shalat dengan benar sebagaimana yang diperintahkan dalam sunnah – sebagaimana amalan Rasulullah (saw) yang ada di hadapan kita.”
Di Yaman Hadhrat Mu’adz menggunakan uang baitul mal untuk berdagang dan keuntungannya digunakan untuk membayar hutang. Beliau adalah orang pertama yang menggunakan harta Allah Ta’ala untuk berdagang. Beliau juga terus menerima hadiah atas izin Rasulullah (saw) sampai-sampai beliau memiliki 30 ekor hewan ternak (kambing dan domba).[9]
Izin yang diberikan oleh Rasulullah (saw) untuk menggunakan uang itu betul-betul beliau gunakan hanya sebatas untuk bayar hutang dan berdagang pun juga sebatas untungnya yang digunakan untuk membayar hutang. Atau kalau pun beliau tidak mengambil untungnya maka mungkin saja berapa pun keuntungan dari perdagangan itu, dari situ beliau mengambilnya sebagai upah kerja beliau, “Saya menggunakannya seperti ini; yakni ini adalah upah dari sumbangsih pemikiran dan kerja keras saya dan untuk itu sudah diizinkan oleh Rasulullah (saw).” Beliau mengambilnya supaya hutang bisa dibayar; dan hal ini bisa diterima bahwa beliau mengambil upah dari bagian keuntungan atau sampai batas tertentu mengambil keuntungan. Bagaimanapun juga ini semua atas izin Rasulullah (saw).
Setelah kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw), ketika Hadhrat Mu’adz berangkat haji beliau bertemu dengan Hadhrat Umar ra yang ditunjuk oleh Hadhrat Abu Bakr ra sebagai Amil Haji. Hadhrat Umar dan Hadhrat Mu’adz bertemu pada hari tarwiyah. Mereka berdua berpelukan dan keduanya saling menyampaikan taziyah Rasulullah (saw). Keduanya duduk di atas tanah dan mulai berbincang.[10]
Dalam Al-Isti’ab – yang merupakan salah satu kitab tarikh juga – tertulis, كَانَ مُعَاذٌ رَجُلا شَابًّا جَمِيلا مِنْ أَفْضَلِ سَادَاتِ قَوْمِهِ، سَمْحًا لا يُمْسِكُ، فَلَمْ يَزَلْ يُدَانُ حَتَّى أُغْلِقَ مَالُهُ كُلُّهُ مِنَ الدَّيْنِ، فَأَتَى لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَطَلَبَ إِلَيْهِ أَنْ يَسْأَلَ غُرَمَاءَهُ أَنْ يَضَعُوا لَهُ، فَأَبَوْا، وَلَوْ تَرَكُوا لأَحَدٍ مِنْ أَجْلِ أَحَدٍ لَتَرَكُوا لِمُعَاذٍ مِنْ أَجْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَاعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَالَهُ كُلَّهُ فِي دَيْنِهِ، حَتَّى قَامَ مُعَاذٌ بِغَيْرِ شَيْءٍ “Hadhrat Mu’adz adalah orang yang sangat dermawan sehingga disebabkan kedermawanan dan ringan tangan itu sampai-sampai seluruh harta beliau habis membayar hutang. Beliau datang pada Rasulullah (saw) dan memohon pada beliau supaya beliau (saw) menyampaikan pada para pemberi hutang untuk memaafkan hutangnya.”
Hal ini juga sudah disampaikan di atas. Ini dari sumber yang berbeda atau masih sama juga. Beliau (saw) menyampaikan pada para pemberi hutang untuk memaafkan hutangnya. Namun mereka menolak untuk memaafkan hutangnya. Kemudian tertulis, “Kalaupun ada yang mau memaafkan hutang demi seseorang maka itu hanya akan mereka lakukan demi Rasulullah (saw), yakni mereka hanya akan memaafkan hutang Hadhrat Mu’adz bin Jabal demi Rasulullah (saw) karena maqam Rasulullah (saw) yang paling tinggi. Hanya demi beliau saja seseorang sanggup memaafkan hutang atau berkurban. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, sebagian orang tidak memaafkan dan berkata, ya Rasulullah (saw)! Kami akan meminta bayaran hutang kami. Bagaimanapun juga Rasulullah (saw) menjualkan seluruh harta Hadhrat Mu’adz bin Jabal untuk membayar hutang itu dan Hadhrat Mu’adz bin Jabal tidak punya apa-apa lagi.
حَتَّى إِذَا كَانَ عَامُ فَتْحِ مَكَّةَ بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ لِيُجْبِرَهُ، فَمَكَثَ مُعَاذٌ بِالْيَمَنِ أَمِيرًا، وَكَانَ أَوَّلُ مَنِ اتَّجَرَ فِي مَالِ اللَّهِ هُوَ. فَمَكَثَ حَتَّى أَصَابَ، وَحَتَّى قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ عُمَرُ لأَبِي بَكْرٍ: Kemudian pada tahun Fath Makkah (penaklukan Makkah), Rasulullah (saw) mengirim Hadhrat Mu’adz ke Yaman sebagai seorang Amir di salah satu bagian Yaman. Di sini menjadi lebih jelas bahwa beliau dikirim sebagai Amir. Itulah sebabnya hadiah dan sebagainya yang diperoleh itu dianggap sebagai milik Baitul Mal. Beliau adalah orang pertama yang menggunakan harta Allah yakni harta baitul mal untuk berdagang. Beliau tinggal di sana bahkan sampai Rasulullah (saw) wafat dan beliau sudah sejahtera. Dalam rentang waktu itu beliau terus mendapat keuntungan dalam berdagang dan beliau terus mengambil bagian beliau sehingga beliau sejahtera. Kemudian ketika beliau kembali maka Hadhrat Umar berkata pada Hadhrat Abu Bakr, أَرْسِلْ إِلَى هَذَا الرَّجُلِ فَدَعْ لَهُ مَا يُعِيشُهُ، وَخُذْ سَائِرَهُ مِنْهُ ‘Panggillah orang itu yakni Hadhrat Mu’adz. Ambillah seluruh hartanya kecuali barang-barang kebutuhannya. Rasulullah (saw) memberi izin untuk membayar hutang. Sekarang hutang sudah lunas dan barang-barang yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya hendaknya dibiarkan, tapi kesejahteraan ini hendaknya tidak dibiarkan.’” Ini menurut Hadhrat Umar. Inilah sebabnya selain kebutuhan itu hendaknya ditarik.
Sekarang masalah ini sampai pada Hadhrat Abu Bakr. Hadhrat Abu Bakr yang mencintai Rasululah (saw) tidak sanggup memberikan keputusan yang bertentangan dengan sesuatu yang diizinkan oleh Rasulullah (saw). Bagaimanapun juga Hadhrat Abu Bakr bersabda, إنما بعثه النبيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَسْتُ بِآخِذٍ مِنْهُ شَيْئًا إِلا أَنْ يُعْطِيَنِي “Dia dikirim oleh Rasulullah (saw) dan saya tidak akan mengambil apa-apa darinya dan beliau diutus dengan diperintahkan boleh berdagang dan mengambil bagian dari keuntungannya. Sampai beliau sendiri yang memberikannya pada saya, saya tidak akan memintanya. Beliau pergi atas perintah dari Rasulullah (saw) dan hadiah yang beliau terima dengan seizin Rasulullah (saw) serta barang-barang lainnya juga, saya tidak akan memintanya kecuali beliau sendiri memberikannya.”
Hadhrat Umar (ra) lalu pergi kepada Hadhrat Mu’adz (ra). Hadhrat Umar (ra) adalah seseorang yang sangat kokoh dalam memegang prinsip, beliau pergi kepada Hadhrat Mu’adz (ra) dan menyampaikan pandangannya kepada Hadhrat Mu’adz (ra). Hadhrat Mu’adz (ra) berkata, إِنَّمَا أَرْسَلَنِي إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُجْبِرَنِي، وَلَسْتُ بِفَاعِلٍ “Rasulullah (saw) yang telah mengirim saya ke sana dengan tujuan supaya kebutuhan-kebutuhan saya terpenuhi dan saya tidak akan memberikan apa pun.” Dan hal ini juga terbukti dari riwayat-riwayat dan dari seluruh sirat kehidupan beliau bahwa jika pun ada kemakmuran pada diri beliau maka itu hanya untuk beberapa hari saja, karena sebagian besar beliau bagi-bagikan kepada orang-orang. Nanti akan disampaikan beberapa riwayat yang darinya diketahui bagaimana beliau membagi-bagikannya.
Kemudian setelah itu Hadhrat Mu’adz (ra) pergi kepada Hadhrat Umar (ra) dan mengatakan, “Saya akan menuruti perkataan anda”. Sebelumnya beliau mengatakan kepada Hadhrat Umar (ra) bahwa beliau tidak akan memberikan apa pun dan setelah beberapa lama beliau pergi kepada Hadhrat Umar (ra) dan mengatakan, قَدْ أَطَعْتُكَ وَأَنَا فَاعِلٌ مَا أَمَرْتَنِي بِهِ، فَإِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ أَنِّي فِي حَوْمَةِ مَاءٍ قَدْ خَشِيتُ الْغَرَقَ، فَخَلَّصْتَنِي مِنْهُ يَا عُمَرُ “Baiklah! Saya akan menuruti perkataan anda dan saya akan lakukan sebagaimana yang anda katakan, karena di dalam mimpi saya melihat”, – kemungkinan beliau pergi kepada Hadhrat Umar (ra) setelah selang waktu beberapa lama, karena di sini disebutkan mengenai mimpi. Beliau mengatakan, “Saya melihat mimpi bahwa saya tenggelam ke dalam air dan anda (yakni Hadhrat Umar r.a.) menyelamatkan saya.”
Setelah itu beliau datang ke hadapan Hadhrat Abu Bakr dan menceritakan semuanya serta bersumpah, “Saya tidak akan menyembunyikan suatu apa pun dari Anda. Dari siapa dan bagaimana saya menerima uang semuanya telah saya beritahukan.”
Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, لا آخُذُ مِنْكَ شَيْئًا، قَدْ وَهَبْتُهُ لَكَ “Saya tidak akan menerima apa pun dari Anda. Baiklah! Anda telah memberitahukan semua data perhitungannya kepada saya, namun saya tidak akan mengambil suatu apa pun. Saya telah memberikan semua itu sebagai hadiah kepada anda.”
Hadhrat Umar (ra) berkata, هَذَا خَيْرٌ حَلَّ وَطَابَ “Ini adalah solusi yang terbaik.”[11]
Hadhrat Umar (ra) turut serta pada saat itu. Ketika beliau mengetahui hal ini bahwa karena sekarang Khalifah-e-waqt telah memutuskan untuk memberikan semuanya kepada Hadhrat Mu’adz (ra) maka Hadhrat Umar (ra) menerima keputusan ini dengan penuh ketaatan. Bukanlah maksud dari Hadhrat Umar (ra) untuk mempermasalahkan mengapa Hadhrat Mu’adz (ra) terus mengambilnya, maksud beliau adalah bahwa setelah kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw) sekarang seharusnya menjadi keputusan Khalifa-e-waqt apakah Hadhrat Mu’adz (ra) bisa membelanjakannya ataukah tidak, atau apakah beliau bisa menyimpan harta itu untuk dirinya atau kah tidak. Awalnya Hadhrat Umar (ra) bersikeras supaya hendaknya harta itu diambil, namun ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) telah memutuskan untuk tidak mengambilnya dan memberikannya sebagai hadiah, maka kemudian Hadhrat Umar (ra) tidak mempunyai suatu helah apa pun. Dengan tenang beliau mengatakan, “Baiklah! Keputusan ini adalah solusi terbaik dari semua perkara ini.”
Dalam hal ini terdapat penjelasan lebih lanjut bahwa Allah Ta’ala pun tidak mengarahkan perhatian Hadhrat Mu’adz (ra) terhadap hal ini selama keperluan-keperluan beliau belum terpenuhi dan ketika Hadhrat Rasulullah (saw) telah wafat, kebutuhan-kebutuhan beliau pun telah terpenuhi, telah tercipta kelapangan dan hutang-hutang pun telah terlunasi, maka Allah Ta’ala sendiri yang melalui mimpi menarik perhatian Hadhrat Mu’adz (ra) terhadap hal ini bahwa sekarang penuhilah kebutuhan dengan hartamu sendiri. Sekarang engkau tidak bisa lagi menerima hadiah sebagai Amir, tidak pula engkau bisa memenuhi kebutuhan dari Baitul Maal”, dan setelah itu beliau pun tidak lama tinggal di sana. Ini lah penjelasannya secara singkat.
Diriwayatkan dari Hadhrat Mu’adz (ra) bahwa ketika Hadhrat Rasulullah (saw) mengirim beliau ke Yaman, beliau (saw) bersabda, أَرَأَيْتَ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ كَيْفَ تَقْضِي “Ketika kamu dihadapkan pada suatu permasalahan, bagaimana kamu akan memutuskan?”
Hadhrat Mu’adz (ra) menjawab, أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ “Saya akan memutuskan dengan merujuk pada kitab Allah.”
Beliau (saw) bertanya lagi, فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ “Bagaimana jika dalam kitab Allah tidak ditemukan jawabannya?”
Hadhrat Mu’adz (ra) menjawab, فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Saya akan memutuskan berdasarkan sunnah Rasul Allah (saw).”
Rasulullah (saw) bertanya lagi, فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ “Bagaimana andaikan di dalam sunnah Rasul-Nya pun tidak didapati hukumnya?”
Hadhrat Mu’ad (ra) menjawab, أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو “Maka saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri dan saya tidak akan melakukan kelalaian.”
Hadhrat Mu’adz (ra) meriwayatkan bahwa kemudian setelah mendengar jawaban ini, Rasulullah (saw) menepuk dadanya dan bersabda, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan dari Rasul Allah untuk suatu hal yang membuat Rasul Allah senang.”[12]
Diriwayatkan dari Hadhrat Mu’adz (ra), أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ بِهِ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ : “Ketika Rasulullah (saw) mengutus beliau ke Yaman, beliau (saw) bersabda, إِيَّاكَ وَالتَّنَعُّمَ ؛ فَإِنَّ عِبَادَ اللَّهِ لَيْسُوا بِالْمُتَنَعِّمِينَ ‘Hindarilah kehidupan yang mewah, karena para hamba Allah tidak menjalani kehidupan yang mewah.’”[13] Riwayat ini menjelaskan lebih lanjut bahwa hadiah dan harta dari hasil perdagangan tersebut adalah untuk pembayaran hutang dan Hadhrat Rasulullah (saw) mengetahui bahwa tangan beliau terbuka, beliau biasa menolong orang-orang miskin, beliau akan membelanjakannya untuk hal tersebut, namun Hadhrat Rasulullah (saw) tetap memberikan nasihat bahwa semua izin ini beliau berikan kepada Hadhrat Mu’adz (ra) bukanlah untuk menjalani kehidupan mewah, melainkan untuk tujuan memenuhi keperluan-keperluan beliau. Rasulullah (saw) menekankan untuk menghindarinya.
Hadhrat Mu’adz (ra) meriwayatkan, كَانَ آخِرُ مَا أَوْصَانِي بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حِينَ جَعَلْتُ رِجْلِي فِي الْغَرْزِ أَنْ أَحْسِنْ خُلُقَكَ مَعَ النَّاسِ. “Ketika saya memijakkan kaki saya pada tunggangan untuk berangkat menuju Yaman, Rasulullah (saw) memberikan nasihat terakhir kepada saya bahwa perlihatkanlah akhlak yang baik terhadap orang-orang. Perlihatkanlah akhlak yang baik terhadap orang-orang.”[14]
Lihatlah kondisi umat Islam saat ini, apakah mereka menunjukkan hal ini dan merayakan Siratun Nabi dengan cara seperti ini. Tujuan sebenarnya dari merayakan Miilaadun Nabi adalah mengamalkan teladan dan nasihat-nasihat beliau (saw).
Ketika Hadhrat Rasulullah (saw) mengutus dan menjadikan Hadhrat Mu’adz (ra) gubernur Yaman, beliau (saw) menjelaskan kedudukan Hadhrat Mu’adz (ra) sebagai berikut, إِنِّي قَدْ بَعَثْتُ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرِ أَهْلِي Artinya, “Saya mengutus yang terbaik dari antara orang-orang saya kepada kalian.”[15]
Ibnu Abu Najih meriwayatkan, كَتَبَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم – إلى أَهْلِ الْيَمَنِ وَبَعَثَ إِلَيْهِمْ مُعَاذًا: “Rasulullah (saw) menjadikan Hadhrat Mu’adz (ra) sebagai gubernur dan mengutusnya kepada para penduduk Yaman dan bersabda kepada para penduduk Yaman, إِنِّي قَدْ بَعَثْتُ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرِ أَهْلِي وَالِيَ عِلْمِهِمْ وَالِيَ دِينِهِمْ. ‘Sesungguhnya saya menjadikan seseorang yang terbaik dari antara umat saya yang berilmu dan menguasai ilmu agama sebagai gubernur bagi kalian.’”[16]
Terdapat sebuah hadits riwayat dari Musnad Ahmad bin Hambal bahwa Hadhrat Mu’adz (ra) meriwayatkan, أَوْصَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَشْرِ كَلِمَاتٍ قَالَ “Hadhrat Rasulullah (saw) mewasiyatkan sepuluh perkara kepadaku. لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ شَيْئًا وَإِنْ قُتِلْتَ وَحُرِّقْتُ وَلَا تَعُقَّنَّ وَالِدَيْكَ وَإِنْ أَمَرَاكَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ وَلَا تَتْرُكَنَّ صَلَاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا فَإِنَّ مَنْ تَرَكَ صَلَاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ Yang pertama adalah, janganlah menyekutukan Allah dengan siapapun, meskipun kamu dibunuh atau dibakar. Yang kedua, janganlah durhaka kepada kedua orang tua, walaupun mereka menyuruhmu berpisah dengan seluruh keluaga dan hartamu. Janganlah mendurhakai orang tua apa pun yang terjadi. Kemudian yang ketiga, janganlah meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, karena barangsiapa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, maka ia terlepas dari tanggung jawab dan perlindungan Allah Ta’ala.”
Kemudian beliau (saw) bersabda, وَلَا تَشْرَبَنَّ خَمْرًا فَإِنَّهُ رَأَسَ كُلِّ فَاحِشَةٍ “Janganlah minum khamr (minuman keras) karena khamr adalah pangkal segala kekejian.”
Kemudian beliau (saw) bersabda, وَإِيَّاكَ وَالْمَعْصِيَةَ فَإِنَّ بالمعصية حل سخط الله عز وَجل “Jauhilah dosa dan kemaksiatan, karena dosa menyebabkan turunnya kemurkaan Allah.”
Kemudian beliau (saw) bersabda, وَإِيَّاكَ وَالْفِرَارَ مِنَ الزَّحْفِ وَإِنْ هَلَكَ النَّاسُ “Janganlah melarikan diri dari medan perang. Ketika berhadapan dengan musuh janganlah melarikan diri karena takut, meskipun teman-temanmu telah gugur.”
Kemudian beliau (saw) bersabda, وَإِذا أصَاب النَّاس موتان وَأَنت فيهم فَاثْبتْ “Jika orang-orang terkena wabah thaun sedangkan kamu berada di antara mereka, maka tetaplah berada di tempat tinggalmu. Jika tersebar penyakit thaun, atau wabah apa pun tengah tersebar luas, jika kamu berada di daerah yang terjangkit tersebut, maka tetaplah tinggal di sana.”
Kemudian beliau (saw) bersabda, وَأنْفق عَلَى عِيَالِكَ مِنْ طَوْلِكَ وَلَا تَرْفَعْ عَنْهُمْ عَصَاكَ أَدَبًا وَأَخِفْهُمْ فِي اللَّهِ. “Berikanlah nafkah kepada keluargamu sesuai dengan kemampuanmu. Penuhilah hak mereka dan janganlah lalai dalam tarbiyat mereka. Kemudian tarbiyatilah mereka dengan cara yang baik, jika terkadang perlu sedikit keras maka lakukanlah itu supaya mereka mendapatkan tarbiyat yang baik, dan jadikanlah mereka takut kepada Allah.” [17] Ini lah sepuluh perkara yang Hadhrat Rasulullah (saw) wasiyatkan kepada Hadhrat Mu’adz (ra).
Diriwayatkan dari Hadhrat Ibnu Umar (ra) bahwa Yang Mulia Nabi (saw) bersabda kepada Hadhrat Mu’adz (ra), يَا مُعَاذُ ، أُوصِيكَ وَصِيَّةَ الْأَخِ الشَّقِيقِ ، أُوصِيكَ بِتَقْوَى اللَّهِ “Wahai Mu’adz (ra)! Saya memberikan nasihat kepadamu seperti halnya kepada saudara tercinta. Saya menasihatkan kepadamu bahwa bertakwalah kepada Allah.”
Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda sebagai berikut dan ini riwayat dari Ibnu Umar (ra), يَا مُعَاذُ ، أُوصِيكَ وَصِيَّةَ الْأَخِ الشَّقِيقِ ، أُوصِيكَ بِتَقْوَى اللَّهِ ، فَذَكَرَ نَحْوَهُ وَزَادَ : وَعُدِ الْمَرِيضَ ، وَأَسْرِعْ فِي حَوَائِجِ الْأَرَامِلِ وَالضُّعَفَاءِ ، وَجَالِسِ الْفُقَرَاءَ وَالْمَسَاكِينَ ، وَأَنْصِفِ النَّاسَ مِنْ نَفْسِكَ ، وَقُلِ الْحَقَّ وَلَا تَأْخُذْكَ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ “Saya menasihatkan kepadamu, bertakwalah kepada Allah. Saya menasihatkan kepadamu supaya bertakwa kepada Allah, menjenguk orang yang sakit, memenuhi keperluan para janda dan orang-orang yang lemah, duduk bersama dengan orang-orang miskin dan membutuhkan, berlaku adil kepada orang-orang, mengatakan yang hak (benar) dan janganlah ada celaan para pencela yang menghalangimu dalam hal urusan Allah Ta’ala. Saya menasihatkan hal ini kepadamu.”[18]
Suatu kali Hadhrat Umar (ra) berkata kepada teman-temannya, تَمَنَّوْا “Inginkanlah sesuatu hal!” Ada seseorang mengatakan, أتمنى أن يكون ملء هذا البيت ذهبا فأنفقها في سبيل الله “Saya berkeinginan supaya rumah ini dipenuhi emas dan saya akan membelanjakannya di jalan Allah dan menyedekahkannya.”
Ada seseorang lain yang berkata, أتمنى أن يكون ملء هذا البيت جوهرا أو نحوه فأنفقه في سبيل الله “Saya ingin supaya rumah ini dipenuhi dengan permata dan perhiasan lain sejenisnya dan saya akan belanjakan di jalan Allah dan menyedekahkannya.”
Keinginan-keinginan yang begitu agung dan menakjubkan dari para sahabat. Kemudian Hadhrat Umar (ra) berkata, تَمَنَّوْا “Inginkanlah sesuatu lagi!”
Mereka mengatakan, ما تمنينا بعد هذا “Wahai Amiirul Mu’miniin! Kami tidak mengerti apa yang harus kami inginkan.”
Hadhrat Umar (ra) berkata, لكني أتمنى أن يكون ملء هذا البيت رِجَالَاً مِثْلَ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ، وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، وَسَالِمٍ مَوْلَى أَبِي حُــذَيْفَةَ، وَحُـذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ ـ فَأَسْتَعْمِلَهُمْ في طَاعَةِ اللهِ “Keinginan saya adalah supaya rumah ini dipenuhi oleh orang-orang berikut ini, yakni Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah (ra), Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra), Hadhrat Salim maula Abu Hudzaifah (ra) dan Hadhrat Hudzaifah bin Yaman (ra).”[19]
Pada kesempatan yang lalu pun riwayat ini pernah disampaikan. Kali ini disampaikan dalam pembahasan mengenai Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra). Hadhrat Mu’adz tinggal selama dua tahun di Yaman, yakni dari tahun 9 Hijriah hingga 11 Hijriah.[20]
Suatu kali Hadhrat Umar bin Khatab (ra) memasukkan 400 dinar ke dalam sebuah kantung dan memerintahkan kepada pelayan, اذْهَبْ بِهَا إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ ، ثُمَّ تَلَّهَ سَاعَةً فِي الْبَيْتِ حَتَّى تَنْظُرَ مَا يَصْنَعُ “Bawalah kepada Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarah (ra)..” – riwayat ini telah disampaikan juga dalam pembahasan Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah (ra), namun rinciannya belum tersampaikan, oleh karena itu sekarang akan saya sampaikan rincian keseluruhannya – dan tinggallah sebentar di rumahnya bersamanya. Lihatlah apa yang beliau lakukan dengan uang tersebut.”
Pelayan tersebut lalu membawa kantung itu kepada Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah (ra) dan mengatakan, يَقُولُ لَكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ : اجْعَلْ هَذِهِ فِي بَعْضِ حَوَائِجِك “Amiirul Mu’miniin berpesan kepada anda, gunakanlah harta ini untuk keperluan-keperluan anda.” Beliau berkata, وَصَلَهُ اللَّهُ وَرَحِمَهُ “Semoga Allah mengasihi beliau.” kemudian beliau memanggil pelayan wanita beliau dan mengatakan, تَعَالَيْ يَا جَارِيَةُ ، اذْهَبِي بِهَذِهِ السَّبْعَةِ إِلَى فُلَانٍ ، وَبِهَذِهِ الْخَمْسَةِ إِلَى فُلَانٍ ، حَتَّى أَنْفَدَهَا ”Bawalah 7 dinar kepada si fulan dan 5 dinar kepada si fulan dan 5 dinar ini untuk si fulan,” hingga semuanya habis. Hadhrat Abu Ubaidah (ra) memanggil pelayan wanita beliau dan mengutusnya ke rumah-rumah orang miskin untuk membagikan uang tersebut.
Kemudian pelayan tadi kembali kepada Hadhrat Umar (ra) dan menceritakan semuanya. Hadhrat Umar (ra) lalu menyiapkan untuk Hadhrat Mu’adz (ra) kantung kedua yang berisi uang dalam jumlah yang sama seperti yang dikirimkan kepada Hadhrat Abu Ubaidah (ra). Beliau memerintahkan kepada pelayannya, اذْهَبْ بِهَا إِلَى مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ ، ثُمَّ تَلَّهَ فِي الْبَيْتِ سَاعَةً ؛ حَتَّى تَنْظُرَ إِلَى مَا يَصْنَعُ “Bawalah ini kepada Hadhrat Mu’adz (ra) dan tinggallah sebentar di rumahnya dan lihatlah apa yang beliau lakukan dengan uang tersebut.” Kemudian pelayan tadi membawa kantung tersebut kepada Hadhrat Mu’adz (ra) dan mengatakan kepada beliau (ra), يَقُولُ لَكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ: اجْعَلْ هَذَا فِي حَاجَتِكَ “Amiirul Mu’miniin memerintahkan supaya anda menggunakannya untuk keperluan-keperluan anda.”
Hadhrat Mu’adz (ra) berkata, رَحِمَهُ اللَّهُ وَوَصَلَهُ “Semoga Allah Ta’ala mengasihi beliau.” Kemudian beliau memanggil pelayan wanita dan mengatakan, يَا جَارِيَةُ ، اذْهَبِي إِلَى فُلَانٍ بِكَذَا ، وَإِلَى بَيْتِ فُلَانٍ بِكَذَا ، وَإِلَى بَيْتِ فُلَانٍ بِكَذَ “Bawalah sekian dinar ke rumah si fulan, dan sekian dinar ke rumah si fulan”, tidak berapa lama datang juga istri Hadhrat Mu’adz (ra) dan mengatakan, وَنَحْنُ وَاللَّهِ مَسَاكِينُ ، فَأَعْطِنَا ، فَلَمْ يَبْقَ فِي الْخِرْقَةِ إِلَّا دِينَارَانِ ، فَدَحَا بِهِمَا “Demi Tuhan! Kita pun orang miskin, yakni di rumah tidak ada apa-apa, simpanlah sedikit untuk di rumah.”
Dengan riwayat ini masalah yang sebelumnya berkenaan dengan hasil keuntungan dan juga menerima hadiah menjadi semakin jelas. Di sini menjadi jelas. “Di rumah kita tidak ada apa pun, kita pun termasuk orang-orang miskin, sisakan juga untuk kita.” Waktu itu dalam kantung hanya tersisa dua dinar. Semuanya telah beliau bagikan. Hadhrat Mu’adz (ra) memberikan dua dinar tersebut kepada istri beliau dan pelayan tadi datang kepada Hadhrat Umar (ra) dan menceritakan kepada beliau semuanya. Hadhrat Umar merasa sangat senang atas hal ini dan bersabda, إِنَّهُمْ إِخْوَةٌ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ “Sungguh keduanya yakni Hadhrat Abu Ubaidah (ra) dan Hadhrat Mu’adz (ra) satu sama lain saling bersaudara, demikian juga dalam hal membelanjakan harta, mereka memiliki sifat yang sama.”[21]
Diriwayatkan, عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ وَرَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ وَغَيْرِهِمَا قَالُوا dari Syuraih bin Ubaid dan Rasyid bin Sa’d serta yang lainnya, لَمَّا بَلَغَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَرَغَ حُدِّثَ أَنَّ بِالشَّامِ وَبَاءً شَدِيدًا “Ketika Hadhrat Umar bin Khatab (ra) sampai ke Sarag, ini adalah nama satu kampung di lembah Tabuk. Diberitahukan kepada beliau bahwa di Syam berjangkit wabah yang sangat parah. Hadhrat Umar (ra) bersabda, بَلَغَنِي أَنَّ شِدَّةَ الْوَبَاءِ فِي الشَّامِ فَقُلْتُ إِنْ أَدْرَكَنِي أَجَلِي وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ حَيٌّ اسْتَخْلَفْتُهُ فَإِنْ سَأَلَنِي اللَّهُ لِمَ اسْتَخْلَفْتَهُ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ أَمِينًا وَأَمِينِي أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ ‘Saya mendapatkan berita bahwa di Syam berjangkit wabah yang sangat parah. Menurut pandangan saya, jika waktu kewafatan saya tiba dan Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarah (ra) masih hidup maka saya akan menetapkan beliau sebagai Khalifah dan jika Allah Ta’ala menanyakan mengenai hal ini kepada saya, “Mengapa engkau menetapkannya sebagai Khalifah atas umat Muhammad?” Saya akan menjawab, “Telah saya dengar Rasul Engkau bersabda, ‘Setiap Nabi mempunyai seorang penjaga amanah dan penjaga amanahku adalah Abu Ubaidah bin Jarrah (ra).’”’” Sebelumnya pun ini pernah saya sampaikan.
فَأَنْكَرَ الْقَوْمُ ذَلِكَ وَقَالُوا مَا بَالُ عُلْيَا قُرَيْشٍ يَعْنُونَ بَنِي فِهْرٍ “Orang-orang tidak menyukai perkataan Khalifah Umar ini. Mereka mengatakan, ‘Akan seperti apa jadinya para pembesar Quraisy yakni Bani Fihr?’”[22]
Kemudian Hadhrat Umar (ra) bersabda, فَإِنْ أَدْرَكَنِي أَجَلِي وَقَدْ تُوُفِّيَ أَبُو عُبَيْدَةَ اسْتَخْلَفْتُ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ فَإِنْ سَأَلَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ لِمَ اسْتَخْلَفْتَهُ قُلْتُ سَمِعْتُ رَسُولَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّهُ يُحْشَرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بَيْنَ يَدَيْ الْعُلَمَاءِ نَبْذَةً “Jika waktu kewafatan saya tiba dan Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah (ra) pun telah wafat maka saya akan menetapkan Hadhrat Mu’adz bin Jabal sebagai Khalifah dan jika Tuhan saya bertanya kepada saya, ‘Mengapa kamu menetapkannya sebagai Khalifah?’ Saya akan mengatakan, ‘Saya telah mendengar Rasul Engkau bersabda, “Pada hari kiamat beliau (Mu’adz bin Jabal) akan berjalan di depan para Ulama.”’”[23] Kedudukan beliau sangatlah tinggi dalam hal keilmuan.
Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra) dan Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah (ra) pada kesempatan perang Yarmuk tahun 15 Hijriah ditetapkan sebagai komandan dari pasukan sayap kanan. Serangan orang-orang Kristen begitu dahsyat sehingga pasukan sayap kanan kaum Muslimin menjadi terpecah, terpisah dari pasukan dan tercerai-berai. Ketika melihat kondisi ini, Hadhrat Mu’adz (ra) membuktikkan keberanian dan keteguhan langkah beliau dan turun dari kudanya dan berkata, “Sekarang saya akan berperang dengan berjalan kaki. Jika ada seorang pemberani yang bisa menggunakan kuda ini, maka kuda ini siap untuknya.” Putra beliau pun ada di medan perang, beliau mengatakan, “Saya yang akan menggunakannya karena saya bisa berperang dengan baik sambil berkuda.” Alhasil, ayah dan anak ini menerobos pasukan Romawi dan berperang dengan gagah berani sehingga pasukan Muslim yang telah tercerai-berai itu menjadi stabil kembali dan mereka mengalahkan kondisi yang menakutkan itu dan membawa kemenangan bagi kaum Muslimin.[24]
(عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلانِيِّ) Abu Idris al-Khaulani meriwayatkan, دَخَلْتُ مَسْجِدَ دِمَشْقَ فَإِذَا فَتًى بَرَّاقُ الثَّنَايَا وَإِذَا نَاسٌ مَعَهُ إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْءٍ أَسْنَدُوهُ إِلَيْهِ وَصَدَرُوا عَنْ رَأْيِهِ. فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَقَالُوا: هَذَا مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ. “Saya masuk ke Masjid Damaskus di Syam. Di sana ada seorang pemuda yang bergigi putih bersih dan di sekelilingnya berkumpul orang-orang. Ketika orang-orang berselisih mengenai suatu perkara, permasalahan tersebut dibawa kepadanya dan mereka mengutamakan pendapatnya. Saya menanyakan mengenai pemuda tersebut yang mereka jelaskan bahwa ini adalah Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra).
فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ هَجَّرْتُ فَوَجَدْتُهُ قَدْ سَبَقَنِي بِالتَّهْجِيرِ فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي. قَالَ فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى قَضَى صَلاتَهُ ثُمَّ جِئْتُهُ مِنْ قِبَلِ وَجْهِهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ وَقُلْتُ لَهُ: وَاللَّهِ إِنِّي لأُحِبُّكَ لِلَّهِ. Keesokan harinya saya (Abu Idris al-Khaulani) datang pada pertengahan hari dan melihat bahwa sebelum saya telah ada beberapa orang di sana. Saya melihat beliau sedang melakukan shalat, saya menunggu beliau. Setelah selesai shalat, saya berjalan ke depannya lalu menyalaminya. Saya katakan padanya (kepada Hadhrat Mu’adz), ‘Wallahi inni la-uhibbuka liLlaah – Demi Allah! Saya mencintai Anda karena Allah.’
فَقَالَ: أَللَّهِ؟ فَقُلْتُ: أَللَّهِ. فَقَالَ: أَللَّهِ؟ فَقُلْتُ: أَللَّهِ. فَأَخَذَ بِحُبْوَةِ رِدَائِي فَجَبَذَنِي إِلَيْهِ وَقَالَ: Beliau (Hadhrat Mu’adz) berkata, ‘Demi Tuhan?’ Saya menjawab, ‘Demi Tuhan.’ Hadhrat Mu’adz berkata lagi, ‘Demi Tuhan?’ Saya jawab, ‘Ya demi Tuhan.’ Beliau (ra) lalu memegang ujung kain cadar saya lalu menarik saya ke arahnya. Beliau (ra) lalu bersabda: أبشِرْ فإنِّي سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقولُ : ‘Berbahagialah, karena saya pernah mendengar Rasulullah (saw) bersabda: قال اللهُ تبارك وتعالَى : “Allah Ta’ala berfirman, وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَالْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ wajabat mahabbati lil mutahaabbiina fiyya wal mutajaalisiina fiyya wal mutazaawiriina fiyya wal mutabaadziliina fiyya’- ‘Telah wajib untuk mendapatkan kecintaan-Ku bagi mereka yang saling mencintai demi Aku, mereka yang duduk-duduk demi Aku, mereka yang saling mengunjungi (bertemu) demi Aku dan mereka yang membelanjakan satu sama lain demi Aku.’”’[25] Yakni kecintaan Allah Ta’ala telah diwajibkan atas mereka.
Dalam satu riwayat dikatakan, كانت تحت معاذ بن جبل امرأتان ، فإذا كان عند إحداهما لم يشرب من بيت الأخرى الماء “Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra) memiliki dua istri. Ketika beliau berada di rumah salah satunya sesuai dengan giliran, maka ketika di rumah istri yang lainnya beliau tidak melakukan apa-apa walau hanya meminum air.”[26] Sedemikian adilnya beliau.
Dalam riwayat lain dikatakan, أن معاذ بن جبل رضي الله تعالى عنه كانت له امرأتان ، فإذا كان يوم إحداهما لم يتوضأ من بيت الأخرى ثم توفيتا في السقم الذي أصابهما بالشام والناس في شغل ، فدفنتا في حفرة ، فأسهم بينهما أيتهما تقدم في القبر “Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra) memiliki dua istri. Ketika tiba giliran di rumah salah satunya, beliau tidak melakukan apa-apa di rumah yang lainnya walau hanya untuk wudhu. Kedua istri beliau tersebut wafat di negeri Syria disebabkan wabah penyakit. Keduanya dikuburkan dalam satu kuburan. Ketika pemakaman, Hadhrat Mu’adz mengundi, istri yang mana yang pertama dikuburkan.”[27] Demikianlah sikap adil beliau.
Dalam riwayat “Siyarus sahabah” dikatakan bahwa beliau memiliki dua istri. Keduanya wafat disebabkan oleh thaun Amwas yang sedang merebak pada masa itu.[28] Seorang putra beliau diketahui bernama Abdurrahman, yang ikut serta dalam perang Yarmuk bersama Hadhrat Mu’adz. Putra beliau pun wafat disebabkan oleh Thaun Amwas. Ketika Hadhrat Abu Ubaidah wafat disebabkan oleh thaun amwas, kemudian Hadhrat Umar menetapkan Hadhrat Mu’adz sebagai ‘Amil untuk Syam. Amwas adalah nama sebuah kampung yang sebelumnya pernah saya jelaskan berjarak 7 mil dari Ramalah ke arah Baitul Muqaddas. Hadhrat Mu’adz juga wafat pada tahun tersebut disebabkan oleh thaun.[29]
Katsir Bin Murrah meriwayatkan, قَالَ لَنَا مُعَاذٌ فِي مَرَضِهِ: قَدْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا كُنْتُ أَكْتُمُكُمُوهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “Ketika sakit Hadhrat Mu’adz bersabda kepada kami, ‘Saya pernah mendengar sabda Rasulullah (saw) yang saya rahasiakan dari kalian, saya mendengar beliau (saw) bersabda: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ “Siapa yang menjelang kematiannya mengucapkan ‘Laa ilaaha illallaah’ maka surga akan diwajibkan bagi orang tersebut.”’”[30]
Dalam Riwayat lain, Hadhrat Mu’adz bersabda: “Yang membuat saya enggan untuk menyampaikan hadits ini kepada kalian adalah supaya kalian jangan hanya bergantung pada hal ini saja lalu meninggalkan amal yang lainnya.”[31]
Ketika thaun mewabah di Syam, Hadhrat Mu’adz pun terjangkit penyakit tersebut dan mengakibatkan beliau pingsan. Ketika sadarkan diri beliau berkata: اللَّهُمَّ، غُمَّنِي غَمَّكَ ، فَوَعِزَّتِكَ إِنَّكَ لَتَعْلَمُ أَنِّي أُحِبُّكَ ‘Allahumma ghummanii ghammaka fawa’izzatika innaka la-ta’lamu anni uhibbuka’ – “Ya Tuhan! Jadikanlah kepedihan dari Engkau ini mengambil alih diriku, demi kemuliaan-Mu, Engkau Maha Mengetahui bahwa hamba mencintai-Mu.” Beliau lalu pingsan lagi. Ketika telah sadarkan diri lagi, beliau mengucapkan kalimat itu lagi.[32]
عَنْ مُعَاذٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَمَّا أَنْ حَضَرَهُ الْمَوْتُ قَالَ : انْظُرُوا أَصْبَحْنَا ؟ فَأُتِيَ فَقِيلَ : لَمْ تُصْبِحْ ، قَالَ : انْظُرُوا أَصْبَحْنَا ، فَأُتِيَ فَقِيلَ : لَمْ تُصْبِحْ حَتَّى أُتِيَ فِي بَعْضِ ذَلِكَ ، فَقِيلَ لَهُ : قَدْ أَصْبَحْتَ ، قَالَ : Ketika waktu kewafatan Hadhrat Mu’adz semakin dekat, beliau bersabda: Coba lihat, waktu sudah pagi, ada yang berkata bahwa saat ini belum pagi. Ketika tiba saatnya pagi, ada yang berkata bahwa waktu sudah pagi. Hadhrat Mu’adz berkata, أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ لَيْلَةٍ صَبَاحُهَا إِلَى النَّارِ ، مَرْحَبًا بِالْمَوْتِ ، مَرْحَبًا زَائِرًا مُغَيَّبًا حَبِيبًا ، جَاءَ عَلَى فَاقَةٍ ، اللَّهُمَّ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَخَافُكَ ، فَأَنَا الْيَوْمَ أَرْجُوكَ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أُحِبُّ الدُّنْيَا وَطُولَ الْبَقَاءِ فِيهَا لِكَرْيِ الْأَنْهَارِ وَلَا لِغَرْسِ الشَّجَرِ ، وَلَكِنْ لِظَمَأِ الْهَوَاجِرِ وَمُكَابَدَةِ السَّاعَاتِ وَمُزَاحَمَةِ الْعُلَمَاءِ بِالرُّكَبِ عِنْدَ حِلَقِ الذِّكْرِ “Aku berlindung kepada Tuhan dari malam yang paginya membawa ke neraka. Selamat datang kematian. Selamat datang kematian yang akan datang setelah sekian lama [dalam alam ghaib] dan kekasih yang tiba dalam rupa menawan. Ya Tuhan! Engkau benar-benar Maha Mengetahui bahwa aku takut pada-Mu. Namun, pada hari ini aku menaruh harapan penuh. Engkau benar-benar Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah mencintai dunia dan tidak ingin hidup selamanya di dunia untuk menggali aliran sungai-sungai dan menanam pepohonan. Melainkan supaya aku dapat bertahan dari rasa haus di siang hari [puasa] dan segala penderitaan serta supaya duduk bersama halaqah (kumpulan) para ulama yang di dalamnya nama Engkau diingat.”[33]
Dalam Riwayat lain dikatakan, لما حضر معاذا الموت جعل يبكي، فقيل له: “Ketika waktu kewafatan Hadhrat Mu’adz sudah dekat, beliau menangis. Dikatakan kepada beliau, أتبكي وأنت صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنت، وأنت؟ ‘Kenapa Anda menangis? Anda adalah sahabat Rasulullah (saw).’
Beliau menjawab, ما أبكي جزعا من الموت إن حل بي، ولا دنيا تركتها بعدي، ولكن إنما هي القبضتان، فلا أدري من أي القبضتين أنا. ‘Saya menangis bukanlah karena sedih akan kematian, bukan juga karena sedih meninggalkan dunia ini, melainkan ada dua golongan manusia, dan saya tidak tahu akan dimasukkan kedalam kelompok yang mana diriku ini.’” [34] Maksudnya, “Grup pertama adalah penghuni surga sedangkan yang kedua adalah penghuni neraka. Saya menangis karena semata-mata takut kepada Allah Ta’ala.”
Terdapat Riwayat dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal, Hadhrat Mu’adz berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah (saw) bersabda, سَتُهَاجِرُونَ إِلَى الشَّامِ فَيُفْتَحُ لَكُمْ وَيَكُونُ فِيكُمْ دَاءٌ كَالدُّمَّلِ أَوْ كَالْحَرَّةِ يَأْخُذُ بِمَرَاقِ الرَّجُلِ يَسْتَشْهِدُ اللَّهُ بِهِ أَنْفُسَهُمْ وَيُزَكِّي بِهَا أَعْمَالَهُمْ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطِهِ هُوَ وَأَهْلَ بَيْتِهِ الْحَظَّ الْأَوْفَرَ مِنْهُ ‘Tidak lama lagi Anda sekalian akan hijrah ke Syam dan Syam akan ditaklukan dengan tangan kalian. Namun, di sana kalian akan terjangkit penyakit sejenis bisul yang akan menyerang (mencengkeram) manusia dari bawah kaki tangga.’” [Bagian ini sudah diralat oleh Hudhur pada khotbah Jumat tanggal 13-11-2020 sehingga menjadi, ‘… akan ada penyakit diantara kalian yang akan seperti bisul atau sesuatu yang menggigit dengan keras. Itu akan muncul di bagian bawah pusar manusia.’ Editor] Dengan perantaraannya Allah Ta’ala akan menganugerahkan Syahadah (mati syahid) padamu dan menyucikan amalanmu. Ya Tuhan! Jika Engkau mengetahui bahwa Mu’adz Bin Jabal mendengar hadits ini dari Rasulullah (saw), maka anugerahkanlah padanya dan keluarganya banyak bagian daripada itu.’”
Demikianlah, beliau sekeluarga terjangkit penyakit thaun dan tidak ada satupun yang selamat darinya. Ketika di jari telunjuk Hadhrat Mu’adz muncul benjolan thaun, beliau bersabda: مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي بِهَا حُمْرَ النَّعَمِ Sekalipun saya diberikan unta merah sebagai ganti dari benjolan ini, saya tetap tidak lebih menyukainya. Saya lebih bahagia atas benjolan ini.[35]
Dalam Tarikh ath-Tabari diriwayatkan bahwa keluar bisul di telapak tangan beliau, ketika mengetahuinya beliau mencium bagian bawah telapak tangan tersebut dan berkata: مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِمَا فِيكِ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا “Saya tidak menyukai jika (bisul) ini diganti sekalipun dengan mendapatkan benda duniawi.”[36]
Hadhrat Mu’adz Bin Jabal wafat pada 18 Hijri. Berkenaan dengan usia beliau saat itu terdapat selisih pendapat, ada yang mengatakan 33 tahun, ada yang mengatakan 34 tahun dan ada juga yang mengatakan 38 tahun.[37]
Jumlah Riwayat hadits yang diriwayatkan oleh Hadhrat Mu’adz sebanyak 157 buah yang diantaranya ada dua hadits disepakati (muttafaq ‘alaihi) oleh Bukhari dan Muslim. Terdapat dalam keduanya.[38]
Sahabat berikutnya adalah Hadhrat Abdullah Bin Amru (عَبْد اللَّه بْن عَمْرو بْن حرام بْن ثعلبة بْن حرام بْن كعب بْن غنم بْن سَلَمة بْن سعد بْن عليّ بْن أسد بْن ساردة بْن تزيد بْن جشم بْن الخزرج الْأَنْصَارِيّ الخزرجي السلمي) radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Beliau berasal dari Anshar Kabilah Khazraj ranting Banu Salamah. Ayahanda beliau bernama Amru Bin Haram. Ibunda beliau bernama Rabab Binti Qais (الرباب بِنْت قَيْس بْن القريم بْن أمية بْن سِنَان بْن كعب بْن غنم بْن كعب بْن سَلَمَة).[39]
Hadhrat Abdullah Bin Amru lahir sekitar 40 tahun sebelum Hijrah Nabi. Artinya, ketika terjadi peristiwa Hijrah, beliau berusia sekitar 40 tahun.[40] Beliau adalah ayah sahabat terkenal bernama Hadhrat Jabir Bin Abdillah.[41]
Hadhrat Abdullah Bin Amru adalah saudara ipar Hadhrat Amru Bin Jamuh.[42]
Beliau ikut serta pada Baiat Aqabah Tsaniyah dan termasuk salah satu diantara 12 Naqib (para ketua dan pendamping umat) yang ditetapkan oleh Rasulullah (saw). Beliau ikut serta pada perang Badr dan syahid pada perang Uhud. Sebagian berpendapat bahwa beliau adalah yang pertama syahid dari pihak muslim ketika perang Uhud.[43]
Berkenaan dengan baiatnya Hadhrat Abdullah Bin Amru dijelaskan sebagai berikut, Hadhrat Ka’b Bin Malik meriwayatkan, ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الْحَجِّ وَوَاعَدْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَقَبَةَ مِنْ أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ “Kami berjanji untuk bertemu dengan Rasulullah (saw) di Aqabah pada pertengahan hari Tasyriq.” (Hari Tasyriq yakni tiga hari terakhir hari Haji dari tanggal 11 sampai 13 bulan Dzul Hijjah. Aqabah terletak di antara Makkah dan Mina, sebelumnya pun pernah saya sampaikan.)
فَلَمَّا فَرَغْنَا مِنَ الْحَجِّ وَكَانَتْ لَيْلَةُ الَّتِي وَاعَدْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَقَبَةَ مِنْ أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَمَعَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَرَامٍ أَبُو جَابِرٍ سَيِّدٌ مِنْ سَادَاتِنَا , وَكُلُّنَا يَكْتُمُ مَنْ مَعَنَا مِنْ قَوْمِنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ أَمَرَنَا فَكَلَّمْنَاهُ وَقُلْنَا : يَا أَبَا جَابِرٍ إِنَّكَ سَيِّدٌ مِنْ سَادَاتِنَا وَشَرِيفٌ مِنْ أَشْرَافِنَا وَإِنَّا نَرْغَبُ بِكَ عَمَّا أَنْتَ عَلَيْهِ أَنْ تَكُونَ حَطَبًا لِلنَّارِ غَدًا Ketika kami selesai ibadah haji dan tiba malam yang mana kami berjanji untuk berjumpa dengan Rasulullah (saw), bersama kami ada juga Abdullah Bin Amru yang merupakan salah satu diantara pemimpin kami dan di antara orang-orang yang kami hormati. Kami mengajak beliau. Kami merahasiakan urusan kami dari orang-orang musyrik. Kami katakan kepada beliau, ‘Wahai Abu Jabir (Bapaknya Jabir)! Tuan adalah salah satu dari antara pemimpin kami dan juga orang terhormat kami dan kami tidak ingin Anda menjadi bahan bakar Jahannam.’[44]
ثُمَّ دَعَوْنَاهُ إلَى الْإِسْلَامِ وَأَخْبَرْنَاهُ بِمِيعَادِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وعَلَى آلِهِ وصَحْبِهِ وسَلَّمَ إيَّانَا الْعَقَبَةَ. قَالَ: فَأَسْلَمَ وَشَهِدَ مَعَنَا الْعَقَبَةَ، وَكَانَ نَقِيبَاً. Alhasil, kami menyeru beliau kepada Islam dan mengabarkan untuk pergi kepada Rasulullah (saw) di daerah Aqabah. Beliau menerima Islam dan ikut serta dalam baiat Aqabah dan ditetapkan sebagai Naqib.”[45]
Hadhrat Jabir Bin Abdillah meriwayatkan, “أَنَا وَأَبِي وَخَالايَ مِنْ أَصْحَابِ الْعَقَبَةِ“ “Saya dan ayah saya serta kedua paman saya jalur ibu termasuk sahabat Aqabah.”[46] (قَالَ ابنُ عُيَيْنَةَ، أحَدُهُما البَرَاءُ بنُ مَعْرُورٍ) Perawi yaitu Ibnu Uyainah meriwayatkan, “Salah satu diantara keduanya adalah Hadhrat Bara Bin Marur.”[47]
Berkenaan dengan Aqabah Tsaniyah, pernah saya sampaikan dari buku Sirat Khataman Nabiyyin secara detil terkait tema seorang sahabat, bahkan dalam kisah dua sahabat. Saya sampaikan sebagiannya saat ini. Berkenaan dengan baiat Aqabah akan saya sampaikan yang kaitannya dengan Hadhrat Abdullah Bin Amru sebagai berikut: “Pada kesempatan haji di tahun ke-13 Nabawi (kenabian) di bulan Dzul Hijjah, beberapa ratus orang dari Aus dan Khazraj (Madinah) datang ke Makkah. Di dalamnya termasuk juga 70 orang atau yang sudah masuk Islam atau yang ingin masuk Islam, mereka datang ke Makkah untuk menjumpai Rasulullah (saw). Dikarenakan pada saat itu diperlukan suatu pertemuan bersama dan secara rahasia – hendaknya ada pertemuan terpisah – sehingga setelah selesai prosesi haji, ditetapkanlah pada tanggal pertengahan di bulan Dzulhijah, di hari itu menjelang tengah malam semua orang hendaknya datang ke lembah yang sama seperti tahun lalu untuk menemui Rasulullah (saw) supaya dapat berbincang dengan tenang dan leluasa. Beliau(saw) menekankan kepada para Anshar supaya tidak datang bergerombol melainkan datang satu-satu atau dua-dua orang. Sebab, bisa terlihat oleh musuh. Mereka hendaknya datang ke lembah pada waktu yang telah ditetapkan. Jika ada yang tertidur, tidak usah dibangunkan. Tidak juga menunggu orang yang tidak hadir.
Sebagaimana pada tanggal yang telah ditetapkan, pada malam hari saat berlalu sepertiga malam, Rasulullah (saw) keluar dari rumah sendiri. Di jalan beliau mengajak paman beliau, Abbas yang saat itu belum baiat, namun mencintai Rasulullah (saw). Abbas adalah juga seorang pemimpin keluarga Hasyim.[48]
Beliau berdua sampai di lembah tersebut. Tidak lama kemudian, para Anshar datang silih berganti sebanyak dua orang-dua orang. Mereka berjumlah 70 orang yang berasal dari kabilah Aus dan Khazraj.
Abbas yang paling pertama memulai perbincangan, يَا مَعْشَرَ الْخَزْرَجِ : إِنَّ مُحَمَّدًا مِنَّا حَيْثُ قَدْ عَلِمْتُمْ، وَقَدْ مَنَعْنَاهُ مِنْ قَوْمِنَا مِمَّنْ هُوَ عَلَى مِثْلِ رَأْيِنَا فِيهِ، فَهُوَ فِي عِزٍّ مِنْ قَوْمِهِ وَمَنَعَةٍ فِي بَلَدِهِ، وَأَنَّهُ قَدْ أَبَى إِلَّا الانْحِيَازَ إِلَيْكُمْ وَاللُّحُوقَ بِكُمْ، فَإِنْ كُنْتُمْ تَرَوْنَ أَنَّكُمْ وَافُونَ لَهُ بِمَا دَعَوْتُمُوهُ إِلَيْهِ وَمَانِعُوهُ مِمَّنْ خَالَفَهُ فَأَنْتُمْ وَمَا تَحَمَّلْتُمْ مِنْ ذَلِكَ، وَإِنْ كُنْتُمْ تَرَوْنَ أَنَّكُمْ مُسَلِّمُوهُ وَخَاذِلُوهُ بَعْدَ الْخُرُوجِ بِهِ إِلَيْكُمْ فَمِنَ الآنِ فَدَعُوهُ، فَإِنَّهُ فِي عِزٍّ وَمَنَعَةٍ مِنْ قَوْمِهِ وَبَلَدِهِ ‘Wahai orang-orang Khazraj! Muhammad adalah seorang terhormat dan dicintai di dalam keluarga besarnya. Sampai saat ini keluarganya menjamin keselamatannya dan siap berkorban untuknya dalam keadaan genting. Namun, saat ini Muhammad berniat meninggalkan negerinya dan pergi ke tempat kalian. Jika kalian berkeinginan untuk membawanya beserta kalian, kalian harus melindunginya dalam berbagai keadaan dan kalian harus menjaganya dari bahaya musuh. Jika kalian sanggup untuk itu maka itu lebih baik. Jika memang kalian tidak sanggup, sampaikan saja terus terang saat ini juga, karena cara demikian adalah baik.’[49]
Bara bin Ma’rur, seorang senior dan berpengaruh di kalangan Anshar mengatakan, قَدْ سَمِعْنَا مَا قَلَتَ، فَتَكَلَّمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَخُذْ لِنَفْسِكَ وَلِرَبِّكَ مَا أَحْبَبْتَ ‘Wahai Abbas! Kami telah mendengar apa yang Anda sampaikan, namun kami ingin Rasulullah (saw) sendiri yang menyampaikan secara langsung apa saja tanggung jawab yang ingin beliau berikan pada kami.’
Rasulullah (saw) menilawatkan beberapa ayat Al-Qur’an lalu menyampaikan ajaran Islam dalam ceramah singkatnya dan menjelaskan perihal Huququllah dan Huququl Ibad, kemudian bersabda, أُبَايِعُكُمْ عَلَى أَنْ تَمْنَعُونِي مِمَّا تَمْنَعُونَ مِنْهُ نِسَاءَكُمْ وَأَبْنَاءَكُمْ ‘Yang saya harapkan untuk diri saya hanyalah sebagaimana kalian menjaga kerabat dan orang-orang yang kalian cintai, seperti itu juga perlakuan kalian terhadap saya.’
Setelah selesai menyampaikan ceramahnya, sesuai dengan tradisi Arab, Bara bin Ma’rur memegang tangan Rasulullah (saw) dan berkata, نعم، فوالذى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لِنَمْنَعَنَّكَ مِمَّا نَمْنَعُ مِنْهُ أُزُرَنَا، فَبَايِعْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَنَحْنُ وَاللَّهِ أَبْنَاءُ الحروب وَرِثْنَاهَا كَابِرًا عَنْ كَابِرٍ ‘Wahai Rasul Allah! Demi Allah yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, kami akan melindungi Anda seperti melindungi jiwa kami sendiri.’ [50]
Seseorang berkeberatan dengan ucapan al-Bara bin Ma’rur dan mengatakan, يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَهَلْ عَسَيْتَ إِنْ فَعَلْنَا ذَلِكَ ثُمَّ أَظْهَرَكَ اللَّهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى قَوْمِكَ وَتَدَعَنَا؟ ‘Wahai Rasul Allah! Janganlah sampai ketika Allah memberikan kemenangan kepada Anda nanti lantas Anda akan meninggalkan kami dan Anda kembali ke negeri Anda sendiri sehingga Anda mengabaikan kami?’
فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ Rasulullah (saw) tersenyum mendengarnya lalu bersabda, بَلِ الدَّمُ الدَّمُ، وَالْهَدْمُ الْهَدْمُ، أَنَا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مِنِّي، أُحَارِبُ مَنْ حَارَبْتُمْ، وَأُسَالِمُ مَنْ سَالَمْتُمْ ‘Tidak! tidak! Tidak akan terjadi demikian. Darah kalian akan menjadi darah saya. Kawan kalian akan menjadi kawan saya. Saya perangi siapa yang memerangi kalian. Saya berdamai dengan siapa pun yang berdamai dengan kalian.’
Setelah melihat ke arah kawan-kawannya, seseorang bernama Abbas bin Ubadah al-Anshari berkata, يَا مَعْشَرَ الْخَزْرَجِ هَلْ تَدْرُونَ عَلَامَ تُبَايِعُونَ هَذَا الرَّجُلَ؟ ‘Wahai orang-orang! Pahamkah kalian apa maksud perjanjian ini? يَا مَعْشَرَ الْخَزْرَجِ إِنَّكُمْ تُبَايِعُونَهُ عَلَى حَرْبِ الأَحْمَرِ وَالأَسْوَدِ مِنَ النَّاسِ، فَذَكَرَ نَحْوَ مَا تَقَدَّمَ Maksudnya adalah kalian harus siap untuk menghadapi setiap orang berkulit putih dan hitam. Kalian harus selalu siap untuk menghadapi setiap orang yang memusuhi Rasulullah (saw) dan bersedia untuk menghadapi segala pengorbanan.’
Orang-orang mengatakan, ‘Ya! Kami paham, namun sebagai balasannya, apa yang akan kami dapatkan?’
Orang-orang bertanya kepada Rasulullah (saw), فَإِنَّا نَأْخُذُهُ عَلَى مُصِيبَةِ الْأَمْوَالِ وَقَتْلِ الْأَشْرَافِ، فَمَا لَنَا بِذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ نَحْنُ وَفَيْنَا؟ ‘Kami akan siap melakukan segalanya tapi apa yang akan kami dapatkan?’
Rasulullah (saw) bersabda, الْجَنَّةُ ‘Kalian akan mendapatkan surga Allah Ta’ala yang merupakan nikmat terbesar dari semua kenikmatan.’
Semuanya mengatakan, ‘Kami setuju dengan perdagangan ini. ابْسُطْ يَدَكَ Wahai Rasul Allah! Silahkan julurkan tangan tuan.’
Rasulullah (saw) lalu menjulurkan tangan penuh berkat beliau dan sekelompok 70 orang yang bersedia berkorban jiwa ini berbaiat di tangan beliau dengan perjanjian untuk memberikan pembelaan. Baiat tersebut disebut dengan nama Baiat Aqabah yang kedua (ببيعة العقبة الثانية).
Setelah terjadi baiat, Rasulullah (saw) bersabda kepada mereka, إِنَّ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلامُ أَخَذَ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا ، وَإِنِّي آخِذٌ مِنْكُمُ اثْنَيْ عَشَرَ ، فَلا يَجِدَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ فِي نَفْسِهِ شَيْئًا ، فَإِنَّمَا يَخْتَارُ لِي جِبْرِيلُ. فَلَمَّا سَمَّاهُمْ ، قَالَ : أَنْتُمْ كُفَلاءُ عَلَى قَوْمِكُمْ كَكَفَالَةِ الْحَوَارِيِّينَ ‘Musa ‘alaihis salaam telah memilih 12 orang Naqib dari antara kaumnya yang akan menjadi pengawas dan penjaga dari sisi Musa (as). Saya pun ingin menetapkan 12 Naqib dari antara kalian yang akan menjadi pengawas dan penjaga kalian… Bagi saya mereka akan menjadi seperti para Hawari (murid terdekat) yang akan bertanggung jawab pada saya berkenaan dengan kaumnya. Silahkan usulkan nama salah seorang yang sesuai dari antara kalian.’[51]
Selanjutnya, dipilihlah 12 nama dan disetujui oleh Rasulullah (saw). Mereka ditetapkan sebagai pengawas bagi berbagai kabilah lalu dijelaskan tanggung jawabnya. Untuk beberapa kabilah telah ditetapkan dua Naqib oleh Rasul.”[52] Alhasil, diantara ke-12 pengawas tersebut salah satunya adalah Abdullah Bin Amru bin Haram yang Rasulullah (saw) tetapkan sebagai Naqib (pengawas).
Dalam satu riwayat, pada kesempatan perang Uhud, ketika pemimpin kaum munafiqin, Abdullah Bin Ubay Bin Salul melakukan pengkhianatan, Hadhrat Abdullah Bin Amru berusaha untuk menasihati orang-orang itu.[53]
(عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ :) Hadhrat Jabir Bin Abdillah meriwayatkan, قُتِلَ أَبِي وَخَالِي يَوْمَ أُحُدٍ فَحَمَلَتْهُمَا أُمِّي عَلَى بَعِيرٍ ، فَأَتَتْ بِهِمَا الْمَدِينَةَ ، فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ : أَنْ رُدُّوا الْقَتْلَى إِلَى مَصَارِعِهِمْ “Ayah saya (Hadhrat Abdullah Bin Amru) dan paman saya disyahidkan pada perang Uhud. Ibunda saya – pada riwayat lain ialah bibi jalur ayah beliau atau saudari ayah beliau yang merupakan istri Hadhrat Amru Bin Jamuh – meletakkan kedua jenazah tersebut di atas seekor unta dan membawanya, namun seorang penyeru menyampaikan pengumuman dari Rasulullah (saw) bahwa kuburkanlah orang-orang yang terbunuh di tempat mereka wafat.” Mendengar itu kedua jenazah tersebut dibawa lagi lalu dikuburkan di tempat mereka bertarung dan terbunuh.[54]
Terdapat riwayat lain sebagai berikut: Hadhrat Anas Bin Malik meriwayatkan, لَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ ، حَاصَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ حَيْصَةً ، وَقَالُوا : قُتِلَ مُحَمَّدٌ حَتَّى ، كَثُرَتِ الصَّوَارِخُ فِي نَوَاحِي الْمَدِينَةِ ، “Pada saat perang Uhud, penduduk Madinah diliputi kekhawatiran karena telah menyebar kabar angin bahwa Rasulullah (saw) telah disyahidkan sampai-sampai terdengar suara tangisan di setiap pojok Madinah.
فَخَرَجَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَاسْتُقْبِلَتْ بِأَخَيهَا وَابْنِهَا وَزَوْجِهَا وَأَبِيهَا لا أَدْرِي بِأَيِّهِمُ اسْتُقْبِلَتْ أَوَّل Kemudian, ada seorang wanita kalangan Anshar yang keluar rumah. Di jalan ia melihat jenazah ayahnya, suami, anak dan saudaranya yang tergeletak. Entahlah siapa yang pertama kali ia lihat dari jenazah itu. فَلَمَّا مَرَّتْ عَلَى آخِرِهِمْ ، قَالَتْ : ” مَنْ هَذَا ؟ ” Namun, ketika melewati yang terakhir, wanita itu bertanya, ‘Ini siapa?’
Orang-orang menjawab, أَخُوكِ وَأَبُوكِ وَزَوْجُكِ وَابْنُكِ ‘Itu adalah jenazah saudaramu, ayahmu, suamimu dan anakmu.’
Ia bertanya lagi, مَا فَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ ‘Bagaimana kabar Rasulullah (saw)?’
فَيَقُولُونَ : أَمَامَكَ حَتَّى ذَهَبَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَتْ بِنَاحِيَةِ ثَوْبِهِ ثُمَّ جَعَلَتْ ، تَقُول Sahabat menjawab, ‘Beliau (saw) ada di tengah-tengah kita.’ Wanita itu lalu pergi menemui Rasulullah (saw) dan memegang ujung kain pakaian beliau (saw) dan berkata, بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ لا أُبَالِي إِذَا سَلِمْتَ مَنْ عَطِبَ! ‘Kedua orang tuaku rela berkorban untuk tuan, wahai Rasulullah (saw)! (Semoga keselamatan tercurah senantiasa kepada beliau). Ketika saya mengetahui Anda selamat, sudah tidak saya pedulikan lagi kematian siapapun.’”[55]
Hadhrat Khalifatul Masih Ar Rabi rh beberapa tahun sebelum menjadi Khalifah, menyampaikan pidato di jalsah Salanah berkenaan dengan Sirat Hadhrat Rasulullah (saw) dan peperangan ghazwah. Beliau juga menyinggung berkenaan dengan Hadhrat Abdullah Bin Amru yang akan saya sampaikan juga pada kesempatan ini. Beliau bersabda: “Saudari Hadhrat Abdullah Bin Amru yaitu istri Hadhrat Amru Bin Jamuh, seperti halnya saudaranya, beliau pun sangat mencintai Rasulullah (saw). Suami beliau wafat dalam perang tersebut, begitu juga putra beliau namun kebahagiaan atas selamatnya Rasulullah (saw) lebih dominan dari semua kesedihan itu.
Hadhrat Aisyah meriwayatkan, ‘Saya pergi ke medan perang untuk mengetahui keadaan, di jalan saya mendapati istri Amru Bin Jamuh tengah memegang tali unta. Saya bertanya kepadanya, “Bagaimana kabar di medan Perang?”
Wanita itu menjawab: “Alhamdulillah baik-baik saja. Hadhrat Muhammad (saw) baik-baik saja.’
Tidak lama kemudian, pandangan saya (Hadhrat ‘Aisyah ra) tertuju kepada unta yang diatasnya terdapat muatan. Saya bertanya: ‘Apa yang ada diatas unta?’
Beliau menjawab: ‘Jenazah suami saya, Amru Bin Jamuh, jenazah saudara saya Abdullah Bin Amru bin Haram, juga jenazah anak saya Khallad.’
Setelah mengatakan itu ia berangkat ke Madinah, namun unta terduduk dan tidak mau berdiri. Akhirnya, ketika berdiri, menolak untuk pergi ke Madinah. Lalu wanita itu membelokkan tali kekang ke arah medan Uhud, ia pergi dengan suka hati.
Di satu sisi berlalu pemandangan kecintaan seorang wanita kepada Rasulullah (saw). Sementara di sisi lain Rasulullah (saw) bersabda kepada sahabat: ‘Pergi dan carilah jenazah Amru Bin Jamuh dan Abdullah Bin Amru bin Haram agar dikuburkan bersama karena di dunia ini pun mereka berdua saling mencintai.’”[56]
Rasulullah (saw) juga sangat memperhatikan mereka berdua. Tertulis dalam satu Riwayat [dari Jabir bin ‘Abdullah bin ‘Amru], لَمَّا حَضَرَ قِتَالُ أُحُدٍ دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ، فَقَالَ: “Ketika Abdullah bin Amru (Ayah saya) bermaksud untuk pergi ke perang Uhud, beliau memanggil saya (putra beliau Hadhrat Jabir) dan berkata: يَا بُنَيَّ إِنِّي لَا أُرَانِي إِلَّا مَقْتُولًا فِي أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي وَاللهِ مَا أَدَعُ بَعْدِي أَحَدًا أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّ عَلَيَّ دَيْنًا فَاقْضِ عَنِّي، وَاسْتَوْصِ بِأَخَوَاتِكَ خَيْرًا Wahai anakku! Ayah melihat diri ayah ialah yang pertama di antara yang syahid. Demi Tuhan! Setelah pribadi Rasulullah (saw), selain kamu, Ayah tidak akan meninggalkan siapa pun yang lebih Ayah cintai. Ayah masih mempunyai tanggung jawab untuk harus membayar hutang. Bayarlah hutang itu atas nama Ayah. Ayah wasiyatkan padamu untuk memperlakukan baik saudari-saudarimu.’”[57]
Hadhrat Jabir meriwayatkan, فَأَصْبَحْنَا فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ، جدعوا أنفه وأذنيه “Pada esok paginya Ayah saya yang paling pertama syahid. Pihak musuh memutilasi hidung dan telinga beliau.”[58]
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا خَرَجَ لِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ قَالَ : Hadhrat Jabir Bin Abdillah meriwayatkan, “Ketika Rasulullah (saw) berangkat untuk menguburkan para syuhada Uhud, beliau bersabda: زَمِّلُوهُمْ بِجِرَاحِهِمْ ، فَإِنِّي أَنَا الشَّهِيدُ عَلَيْهِمْ ، مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَسِيلُ دَمًا ، اللَّوْنُ لَوْنُ الزَّعْفَرَانِ ، وَالرِّيحُ رِيحُ الْمِسْكِ ‘Kafanilah mereka dalam keadaan luka, karena saya menjadi saksi atas mereka bahwa tidak ada seorang pun Muslim yang dilukai di jalan Allah, kecuali pada hari kiamat akan datang dengan keadaan darah mengalir, warnanya warna za’faran dan wanginya seperti wangi misk (kesturi).’” [59]
Itu artinya, mereka adalah orang-orang yang disukai yang akan hadir ke hadapan Allah Ta’ala, mereka tidak perlu dimandikan ataupun dikafani. Pakaian mereka sendirilah yang merupakan kafan mereka.
Hadhrat Jabir berkata: وَكُفِّنَ أَبِي فِي نَمِرَةٍ وَاحِدَةٍ ، وَكَانَ يَقُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “Ayah saya diberikan kafan satu kain cadar. Rasulullah (saw) bersabda: أَيُّ هَؤُلَاءِ كَانَ أَكْثَرَ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ ؟ ‘Siapa yang paling memahami Al-Quran diantara mereka?’ Maksudnya, ketika para syuhada tengah dimakamkan. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Siapa yang paling memahami Al Quran?’ Ketika ditunjukkan kepada seseorang, beliau bersabda, قَدِّمُوهُ فِي اللَّحْدِ قَبْلَ صَاحِبِهِ ‘Turunkanlah ia kedalam kubur sebelum kawan-kawannya.’ Itu artinya, Rasulullah (saw) lebih dahulu menguburkan orang yang paling memahami Al Quran.
Dikatakan, وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَرَامٍ أَوَّلَ قَتِيلٍ قُتِلَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ أُحُدٍ. قَتَلَهُ سُفْيَانُ بْنُ عَبْدِ شَمْسٍ أَبُو أَبِي الأَعْوَرِ السُّلَمِيُّ. فَصَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قبل الهزيمة . Hadhrat Abdullah Bin Amru adalah yang paling dulu syahid dalam perang Uhud. Saat itu pun orang-orang tengah memperbincangkan bahwa beliau adalah yang paling pertama syahid. Sufyan Bin Abdu Syams [dari pihak Makkah] yang telah mensyahidkan beliau. Jadi, Rasulullah (saw) menyalatkan jenazah beliau sebelum Hazimat (penyerangan dari pihak musuh yang kedua kali). Rasulullah (saw) bersabda, ادْفِنُوا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو وَعَمْرَو بْنَ الْجَمُوحِ فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ لِمَا كَانَ بَيْنَهُمَا مِنَ الصَّفَاءِ ، وَقَالَ : ادْفِنُوا هَذَيْنِ الْمُتَحَابَّيْنِ فِي الدُّنْيَا فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ ‘Kuburkanlah Abdullah bin Amru dan Amru bin Jamuh dalam satu kuburan, karena diantara mereka terdapat keikhalasan dan rasa cinta.’ Rasul bersabda, ‘Dua orang ini yang saling mencintai di dunia, kuburkanlah mereka dalam satu kuburan.’
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو رَجُلا أَحْمَرَ أَصْلَعَ لَيْسَ بِالطَّوِيلِ. وَكَانَ عَمْرُو بْنُ الْجَمُوحِ رَجُلا طَوِيلا فَعُرِفَا فَدُفِنَا فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ. Abdullah bin Amru berkulit kemerahan. Pada bagian depan kepala beliau tidak terdapat rambut. Tubuh beliau tidak terlalu tinggi. Sedangkan Hadhrat Amru Bin Jamuh berpostur tinggi. Karena itu, keduanya dikenali dan keduanya dikuburkan dalam satu kuburan.”[60]
Selebihnya akan saya sampaikan pada waktu yang akan datang.[61]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر
[1] Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatush Shahaabah (كِتَابُ مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ), Penyebutan Keutamaan salah satu ahli Fiqh yang enam dari kalangan Sahabat, Mu’adz bin Jabal (ذِكْرُ مَنَاقِبِ أَحَدِ الْفُقَهَاءِ السِّتَّةِ مِنَ الصَّحَابَةِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ حديث رقم 5193). Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3, Muadz (ra) bin Jabal [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], 502 (ماخوذ از سیر الصحابہ جلد 3صفحہ502 معاذ بن جبلؓ مطبوعہ دارالاشاعت کراچی); Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 5, Muadz (ra) bin Jabal [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003], 188 (اسد الغابہ فی معرفۃ الصحابہ جلد 5صفحہ 188معاذ بن جبل دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان2003ء); Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Muadz (ra) bin Jabal… [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 441 (الطبقات الکبریٰ لابن سعد جزء3 صفحہ 441، 440معاذ بن جبل ومن سبداائائر بنی سَلَمَۃ۔ دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان 1990ء).
[2] Ibnu al-Qani’ dalam Mu’jamush Shahaabah. Beliau adalah ʿAbd al-Bāqī Ibn Qāniʿ b. Marzūq b. Wāthiq Abū l-Ḥusayn al-Baghdādī (265–351/879–962). Tercantum dalam karya Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Ma’rifatush Shahabah: عَنْ عُبَيْدِ بْنِ صَخْرِ بْنِ لَوْذَانَ ، وَكَانَ مِمَّنْ بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ عُمَّالِهِ إِلَى الْيَمَنِ ، قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ مُعَلِّمًا إِلَى الْيَمَنِ : . Tercantum juga dalam Mu’jamush Shahaabah karya al-Baghawi dan Siyar al-Sahabah, Vol. 5, p. 146, Dar al-Isha‘ah, Lahore (سیرالصحابہ جلد 5 صفحہ 146 دار الاشاعت لاہور)
[3] Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Mu’adz (ra) bin Jabal, Vol. 7, p. 359, Hadith 22402, Alam ul-Kutub, Beirut, 1998 (ماخوذازمسند احمد بن حنبل مسند معاذ بن جبل جلد7 صفحہ 359 حدیث 22402 عالم الکتب بیروت 1998ء)
[4] Shahih al-Bukhari, Kitab tentang Zakat (كتاب الزكاة), bab memungut zakat dari kalangan kaya dan memberikannya kepada kaum faqir (باب أَخْذِ الصَّدَقَةِ مِنَ الأَغْنِيَاءِ وَتُرَدَّ فِي الْفُقَرَاءِ حَيْثُ كَانُوا); Sahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, Bab Ba‘th Abi Musa wa Mu’adzra ila Yaman, Hadith 347 (صحیح البخاری کتاب المغازی باب بعث ابی موسیٰ و معاذ الی یمن……حدیث4347).
[5] Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 3, Mu’adz (ra) bin Jabal [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 460 (الاستیعاب جلد 3 صفحہ 460 ’معاذ بن جبل‘۔ دار الکتب العلمیۃ بیروت 2010ء) Siyaar a’lamin Nubala, al-Ishabah, Usdul Ghaabah. Tercantum juga dalam Tarikh Khalifah bin Khayyath (تاريخ خليفة بن خياط) karya Abū ‘Amr Khalifa ibn Khayyat al Laitsī al ‘Usfurī (خليفة بن خياط الليثي العصفري أبو عمر) (lahir : 160/161 H/777 M – wafat 239/240 H/854 M). Tercantum juga dalam Kitabul Fashl fil Milal wal Ahwa wan Nihal (Al Milal wan Nihal) karya Ibnu Hazm adh Dhahiri al-Andalusi. Ada beberapa wilayah keamiran/kewalian di zaman akhir kehidupan Nabi Muhammad (saw): (1) Makkah; (2) Oman; (3) Tayma yang mana Yazid bin Abu Sufyan pernah menjadi Amir di sini; (4) Najran dan Abu Sufyan bin Harb ayah Muawiyah pernah menjadi Amir di sini; (5) di Janad (wilayah Yaman) dan Mu’adz bin Jabal pernah menjadi Amir, Mu’allim, Komandan dan sekaligus Qadhi serta ‘Amil zakat; (6) di Zabid (sekarang salah satu distrik di propinsi Hudaidah, di bagian Barat Yaman) dan Aden (sebuah kota di Yaman, sekarang termasuk salah satu propinsi di Yaman). Abu Musa Al Asy’ari pernah menjadi Amir; (7) di Hadramaut (sekarang salah satu propinsi di Yaman) dan Ziyad Bin Labid pernah menjadi Amir di sini; (8) di wilayah Kindah (Yaman) yang mana Muhajir bin Abu Umayyah pernah menjadi Amir di sini; (9) di Sana’a (Yaman) dan Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash pernah menjadi Amir di sini; (10) Thaif: (11) Bahrain; (12) Amir Maqami di Madinah bila Nabi (saw) keluar kota beberapa hari.
[6] Musnad Ahmad bin Hanbal (مسند احمد بن حنبل جلد 7 صفحہ 348 مسند معاذ بن جبل حدیث 22363، عالم الکتب بیروت 1998ء); (لغات الحدیث جلد 3صفحہ 142 پیر محمد کتب خانہ آرام باغ کراچی).
[7] Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Muadz (ra) bin Jabal, Vol. 7, p. 348, Hadith 22363, Alam ul-Kutub, Beirut, 1998; Lughaat-ul-Hadith, Vol. 3, p. 142, Pir Muhammad Kutub Khana Aram Bagh, Karachi.
[8] Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Muadz (ra) bin Jabal… [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 439) (الطبقات الکبریٰ لابن سعد جلد 3 صفحہ 439 معاذ بن جبل۔ دار الکتب العلمیۃ بیروت 1990ء)
[9] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3, Muadz (ra) bin Jabal [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], 505; Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 3, Muadz (ra) bin Jabal [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 1404.
[10] Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Muadz (ra) bin Jabal… [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 441.
[11] Al-Isti’aab fi Ma’rifatil Ashhaab karya Ibnu ‘Abdil Barr, Vol. 3, Bab Harf al-Meem, Mu’adz (ra) bin Jabal [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 461.
[12] Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Mu’adz (ra) bin Jabal, Vol. 7, p. 347, Hadith 22357, Alam ul-Kutub, Beirut, 1998; Sunan Abi Daud (سنن أبي داوود), Kitab Pengadilan (كِتَاب الْأَقْضِيَةِ), bab berijtihad (بَابُ اجْتِهَادِ الرَّأْيِ فِي الْقَضَاءِ), (حديث رقم 3172); Musnad ad-Darimi https://carihadis.com/Musnad_Darimi/168
[13] Musnad Ahmad bin Hanbal (مسند الإمام أحمد), Musnad Anshar (مسند الأنصار رضي الله عنهم), Hadits Mu’adz bin Jabal (حديث معاذ بن جبل رضي الله تعالى عنه), Vol. 7, p. 375, Hadith 22456, Alam ul-Kutub, Beirut, 1998
[14] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Mu’adz (ra) bin Jabal… [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 439.
[15] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3, Mu’adz (ra) bin Jabal [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], 502.
[16] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.
[17] Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad (مسند الإمام أحمد), Musnad Anshar (مسند الأنصار رضي الله عنهم), Hadits Mu’adz bin Jabal (حديث معاذ بن جبل رضي الله تعالى عنه), Vol. 7, p. 366, Hadith 22425, Alam ul-Kutub, Beirut, 1998; Misykaatul Mashaabih 61, Kitab keimanan (كتاب الإيمان), Dosa-dosa besar dan tanda-tanda kemunafikan (باب الكبائر وعلامات النفاق – الفصل الثالث).
[18] Kanz al-Ummal, Vol. 15, Hadith 43555, Kitab al-Mawa‘idh…, Chapter 10, Mu‘assisah al-Risalah, Beirut, 1985; Hilyatul Auliya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء), Mu’adz bin Jabal (مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ).
[19] Al-Mustadrak Ala al-Sahihain, Vol. 3, p. 252, Hadith 5005, Kitab Marifat al-Sahabah, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2002; At-Tarikh ash-Shaghir karya Imam al-Bukhari (التاريخ الصغير – البخاري – ج ١ – الصفحة ٧٩).
[20] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3, Mu’adz (ra) bin Jabal [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], 505.
[21] Majma al-Zawa‘id wa Manba al-Fawa‘id, Kitab al-Zakah, Bab fi al-Infaq, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001; Ibnu al-Mubarak dalam karyanya Kitab az-Zuhd war Raqaiq (الزهد و الرقائق لابن المبارك), riwayat al-Muruzi (ما رواه المروزي), bab (بَابُ هَوَانِ الدُّنْيَا عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ); ath-Thabrani dalam karyanya al-Mu’jam al-Kabir ath-Thabrani (المعجم الكبير للطبراني), bagian (مَنِ اسْمُهُ مُعَاذٌ); Siyaarush Shahaabah oleh al-Kandahlawi (حياة الصحابة للكاندهلوى). Sirajul Muluk (سراج الملوك) karya ath-Tharthusi (الطرطوشي).
[22] Nabi Ismail ‘alaihis salaam adalah putra Siti Hajar yang bersuamikan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam. Hajar sendiri asal Mesir dari kalangan istana Fir’aun (menurut sebagian sumber literatur Yahudi, Hagar ialah putri Raja Mesir. Sebagian lain literatur Yahudi, Kristen dan umumnya penulis Muslim menyebutnya hamba sahaya atau budak dari Mesir yang menjadi pembantu Sarah, istri pertama Ibrahim). Ada dua perbedaan pendapat soal asal istri Ismail (as). Sumber Yahudi dan Kristen, menyebut istri Ismael berasal dari Mesir juga atas rekomendasi Hagar, ibunya dan menurunkan 12 Pangeran di tanah Arab. Sumber literatur Arab dan ulama Islam menyebut Nabi Ismail (as) menikah dengan dua wanita kalangan Arab Jurhum dan salah satu istrinya diceraikan. Satu istrinya lagi mempunyai 12 putra. Ke-12 putra ini berpencar di jazirah Arab. Kedar (Qaidar) bin Ismail ialah putra yang tinggal di Makkah dan sekitarnya. Kedar nantinya punya keturunan yang salah satunya bernama Ilyas bin Mudhar. Ilyas menurunkan Banu Hudzail, Banu Tamim, banu Kinanah dan lain-lain. Keturunan Kinanah inilah yang menurunkan Fihr bin Malik bin An-Nadhar bin Kinanah (فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ) dan disebut Quraisy yang lalu menurunkan keturunan termasuk Nabi Muhammad (saw).
[23] Dalam Musnad Ahmad (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad 10 yang mendapat kabar suka surga (مُسْنَدُ الْعَشْرَةِ الْمُبَشَّرِينَ بِالْجَنَّةِ ), Awal Musnad Umar (أَوَّلُ مُسْنَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ), hadits nomor 108 (حديث رقم 108). Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Khulafa al-Rashidin, Musnad Umar al-Khattab, Vol. 1, p. 109, Hadith 108, Alam al-Kutub, Beirut, 1998; Yaqut Ibn Abd Allah al-Hamawi, Mu‘jam al-Buldan, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-Arabi], 239.
[24] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3, Mu’adz (ra) bin Jabal [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], 508) (Feroz al-Lughat, p. 1332, zir Lafz Maimanah.
[25] Musnad Ahmad bin Hanbal (مسند الإمام أحمد بن حنبل) masa hidup (164 – 241هـ), (تتمة مسند الأَنصار), Musnad Mu’adz (ra) bin Jabal, Vol. 7, p. 353-354, Hadith 22380, Alam al-Kutub, Beirut, 1998.
[26] Hilyatul Aulia oleh Abu Nu’aim (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء), kalangan Muhajirin (المهاجرون من الصحابة), Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل), Keadilan beliau dalam berbagi diantara kedua istrinya (عدله في القسم بين زوجتيه) : عن يحيى بن سعيد .
[27] Hilyatul Aulia oleh Abu Nu’aim (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء), kalangan Muhajirin (المهاجرون من الصحابة), Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل), Keadilan beliau dalam berbagi diantara kedua istrinya (عدله في القسم بين زوجتيه).
[28] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3, Mu’adz (ra) bin Jabal [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], 510-511.
[29] Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 3, Mu’adz (ra) bin Jabal [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 1405; Yaqut Ibn Abd Allah al-Hamawi, Mu‘jam al-Buldan, Vol. 4 [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-Arabi], 177-178.
[30] Musnad Ahmad bin Hanbal (مسند الإمام أحمد بن حنبل) masa hidup (164 – 241هـ), (تتمة مسند الأَنصار), Hadits Mu’adz bin Jabal, 22034.
[31] Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Mu’adz (ra) bin Jabal, Vol. 7, p. 361, Hadith 22410, Alam al-Kutub, Beirut, 1998.
[32] Usdul Ghaabah. Tercantum juga dalam Syu’abul Iimaan (شعب الإيمان 1-9 للبيهقي- مع الفهارس ج7) karya al-Baihaqi (أبي بكر أحمد بن الحسين بن علي/البيهقي). Tercantum juga dalam al-Jaami’ karya Mu’ammar bin Rasyid (الجامع لمعمّر بن راشد) bab tentang Wabah dan Tha’un (بَابُ الْوَبَاءِ وَالطَّاعُونِ) menyebutkan doa beliau ialah (Rabbi ghummanii ghammaka fawa’izzatika innaka la-ta’lamu anni uhibbuka): رَبِّ غُمَّنِي غَمَّكَ، فَوَعِزَّتِكَ إِنَّكَ لَتَعْلَمُ أَنِّي أُحِبُّكَ. Abu ‘Urwah Mu’ammar atau Ma’mar bin Abu Amru Rasyid al-Azdi al-Hadani al-Bashri hidup pada tahun 96-154 Hijriyyah. Beliau hidup para periode kedua penghimpun Hadits-Hadits. Pada periode ini dominan penghimpunan dan penulisan Hadits-Hadits. Tokoh-tokoh periode ini ialah Imam Malik, az-Zuhri, Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Juraij, Abdullah bin Mubarak dan lain-lain. Periode pertama ialah zaman masih hidupnya para Shahabat Nabi (saw) dan lebih dominan penghapalan Hadits-Hadits.
[33] Kitab az-Zuhd karya Ahmad bin Hanbal (الزهد لأحمد بن حنبل), bab mengenai berita-berita tentang Mu’adz bin Jabal (أَخْبَارُ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَحِمَهُ اللَّهُ).
[34] Tercantum dalam Usdul Ghaabah fi Ma‘rifat al-Sahabah karya Ali Ibn al-Athir, Vol. 5, Mu’adz (ra) bin Jabal [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003], 189. Tercantum juga dalam Kitab Mukhtashar Tarikh Dimashq dan Kitab Tarikh Madinah Dimashq (تاريخ مدينة دمشق – ج 58 – مسعود – معافى) dari riwayat Tabi’in Hasan al-Bashri.
[35] Musnad Ahmad bin Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad Mu’adz (ra) bin Jabal, Vol. 7, p. 371, Hadith 22439, Alam al-Kutub, Beirut, 1998
[36] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), bab keluarnya Umar ke negeri Syam (خروج عمر بن الخطاب الى الشام). Musnad Ahmad bin Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ), (حَدِيثُ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ), 21609.
[37] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 5, Mu’adz (ra) bin Jabal [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003], 190.
[38] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3, Mu’adz (ra) bin Jabal [Lahore, Pakistan: Idarah Islamiyyah], 156.
[39] Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Abd-Allah bin Amr [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], 423.
[40] Sahabah al-Kiram Encyclopaedia, Dr Dhulfiqar Kazim, p. 486, Abd-Allah bin Amr, Bait al-Ulum, Purani Anarkli, Lahore.
[41] Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, Vol. 4, Abd-Allah bin Amr [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005], 162.
[42] Khuthbaat-e-Tahir (Pidato-Pidato sebelum Khilafat) pidato Jalsah Salanah 1979, h. 349. (ماخوذ از خطابات طاہر (تقاریر جلسہ سالانہ قبل از خلافت) تقریر جلسہ سالانہ 1979ء، صفحہ -349
[43] Al-Isti’aab fi Ma’rifatil Ashhaab karya Ibnu ‘Abdil Barr Vol. 3, Ab-Allah bin Amr [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 84 (الاستیعاب فی معرفۃ الاصحاب جز3 صفحہ 84، عبد اللّٰہ بن عمرو، دارالکتب العلمیۃ بیروت، 2002ء).
[44] Akhbar Makkah karya al-Fakihi (أخبار مكة للفاكهي), pembahasan mengenai Masjid (ذِكْرُ مَسْجِدِ), bab baiat di Mina (الْبَيْعَةِ مِنْ مِنًى), nomor 2470. Muhammad bin Ishaq bin Abbas al-Fakihi Abu Abdullah al-Makki (محمد بن إسحاق بن العباس الفاكهي أبو عبد الله المكي) hidup pada 217-275 Hijriyyah atau 832-888 Masehi. Beliau seorang Muarrikh warga Makkah.
[45] Sirah Ibnu Hisyam Vol. 1, Amr al-‘Aqabah al-Thaniyah [Beirut, Lebanon: Dar Ibn Hazam, 2009], 236 (سیرت ابن ہشام جز 1صفحہ 236، امر العقبۃ الثانیۃ، دار ابن حزم بیروت 2009ء); Urdu Dairah Ma’arif Islamiyah jilid 6 h. 415 terbitan Lembaga Urdu Dairah Ma’arif Islamiyah, Lahore (اردودائرہ معارف اسلامیہ جلد6صفحہ413مطبوعہ شعبہ اردودائرہ معارف لاہور). Tercantum juga dalam Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – تاريخ الرسل والملوك – الجزء الثاني) karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (أبو جعفر محمد بن جرير الطبري), bab dari Baiat ke Hijrah (من البعثة حتى الهجرة); As-Sirah an-Nabawiyah kama fi ‘Uyuunil Atsar (السيرة النبوية كما في عيون الأثر), (بيعة العقبة الثالثة), (شهرة العباس بن عبد المطلب).
[46] Irsyadus Saari li Syarh Shahih al-Bukhari (إرشاد الساري لشرح صحيح البخاري 1-15 ج8) karya Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani (شهاب الدين أبي العباس أحمد بن محمد/القسطلاني). Tercantum juga dalam Fathul Hamid fi Syahr at-Tauhid (فتح الحميد في شرح التوحيد). Tercantum juga dalam A’lamul Huffazh wal Muhadditsiin (أعلام الحفاظ والمحدثين 1 – 4 – 4).
[47] Shahih al-Bukhari, Kitab keutamaan kaum Anshar (كتاب مناقب الأنصار), bab duta kaum Anshar Madinah kepada Nabi (saw) di Makkah dan baiat Aqabah (باب وُفُودُ الأَنْصَارِ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِمَكَّةَ وَبَيْعَةُ الْعَقَبَةِ): شَهِدَ بي خَالَايَ العَقَبَةَ . Hadhrat Jabir meriwayatkan, “Kedua paman jalur ibu saya mengikuti baiat Aqabah.”
[48] Kakek Nabi Muhammad (saw) dari jalur ayah ialah Syaiba (dijuluki Abdul Muthalib) putra Hasyim, salah satu pemimpin Makkah. Ia mempunyai 6 istri, 12 putra dan 6 putri. Tidak semua putra-putri ini mengalami zaman kelahiran dan pengutusan Nabi Muhammad saw. Fathimah binti Amru dari banu Makhzum (فاطمة بنت عمرو بن عائذ بن مخزوم القرشية) ialah istri Abdul Muthalib yang melahirkan Abdu Manaf (Abu Thalib ayah Ali), Abdullah (ayah Nabi saw) dan Zubair (bukan Zubair bin Awwam) serta 5 putri (Ummu Hakim, Umaimah, Atikah, Barrah dan Arwa). Istri Abdul Muthalib yang bernama Natilah binti Janab (نتيلة بنت جناب بن كليب من بني النمر) dari Banu Nimr melahirkan Abbas. Istri Abdul Muthalib bernama Halah (هالة بنت وهيب) dari Banu Zuhrah melahirkan Hamzah. Abu Lahab (penentang Nabi), nama asli Abdul ‘Uzza, putra Abdul Muthalib dari istri bernama Lubna binti Hajar (لبنى بنت هاجر بن عبد مناف الخزاعية) dari Khuza’ah. Abbas tiga tahun lebih tua dibanding Nabi (saw) dan Hamzah seusia dengan Nabi (saw). Mereka bertiga teman sepermainan sejak kanak-kanak. Setelah kematian Abu Thalib, kepemimpinan Banu (keturunan) Hasyim umumnya jatuh ke tangan Abbas. Abbas Bin Abdul Muththalib meninggal dunia pada hari Jumat, 14 Rajab 32 H di masa kekhalifahan ‘Utsman pada usia 88 atau 89 tahun. Atas izin Hadhrat ‘Ali (ra) dan keluarga Hadhrat Abbas (ra), Khalifah ‘Utsman mengimami shalat jenazah Hadhrat Abbas (ra). Keturunan beliau ini kemudian mendirikan Dinasti Abbasiyyah. Sumber Rujukan: Sejarawan Baladzuri, Ansabul Asyraf, jld. 3, hlm. 1, 22, Sejarawan Ibn Hisyam, Ibn Sa’d, Ibn al-Atsir dan Ibn Jarir.
[49] Uyuunul Atsar (عيون الأثر في فنون المغازي والشمائل و السير ط. دار القلم), penceritaan mengenai Bara bin Ma’rur (ذكر البراء بن معرور وصلاته إلى القبلة وذكر العقبة الثالثة): وَكَانَتِ الْعَرَبُ إِنَّمَا يُسَمُّونَ هَذَا الْحَيِّ مِنَ الأَنْصَارِ الْخَزْرَجَ خَزْرَجَهَا وَأَوْسَهَا . Orang-orang Arab saat itu mempunyai kebiasaan memanggil Khazraj yang merupakan satu bagian dari penduduk Arab Madinah tapi maksudnya ialah untuk semua warga Arab Madinah, baik kalangan Khazraj maupun Aus.
[50] Lanjutan ucapan al-Bara bin Ma’rur menurut Ansabul Asyrah ialah: ‘Kami bersumpah setia wahai Rasullullah, Demi Allah, kami adalah putra-putra peperangan (dibesarkan di bawah bayangan pedang-pedang atau biasa melewati kehidupan kekerasan atau peperangan). Kami mewarisi hal itu dari kakek moyang kami.’
[51] Ansabul Asyraaf karya al-Baladzuri (أنساب الأشراف للبلاذري), nama-nama tujuh puluh yang berbaiat di Aqabah (تسمية السبعين الذين بايعوا عند العقبة), nama-nama 12 orang Naqib (أسماء النقباء الاثني عشر). Di dalam Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري ) bahasan (ذكر الخبر عما كان من أمر نبي الله صلى الله عليه وسلم) tercantum juga, أَنْتُمْ عَلَى قَوْمِكُمْ بِمَا فِيهِمْ كُفَلَاءُ كَكَفَالَةِ الْحَوَارِيِّينَ لِعِيسَى بْنِ مَرْيَمَ، وَأَنَا كَفِيلٌ عَلَى قَوْمِي.
[52] Sirat Khatamun-Nabiyyin, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra), pp. 227-232. Nama-nama para Naqib (Sembilan dari Khazraj dan tiga dari Aus) menurut Sirah Ibnu Hisyam dan Usdul Ghabah: As’ad bin Zurarah (أسعد بن زرارة بن عدس) dari Khazraj Bani Najjar (من الخزرج ثم من بني النجار), Sa’d bin Ubadah (سعد بن عبادة بن دليم) dari Khazraj Banu Sa’idah, al-Bara bin Ma’rur (البراء بن معرور بن صخر) dari Khazraj Banu Ubaid bin Adi, Abdullah bin Rawahah (عبد الله بن رواحة) dari Khazraj Bani Malik al-Harits, Ubadah bin Tsamit (عبادة بن الصامت) dari Khazraj Bani Ghanam bin Auf (بني غنم بن عوف), Sa’d bin Rabi (سعد بن الربيع) dari Khazraj Banu Harits, Rafi bin Malik (رافع بن مالك بن العجلان) dari Khazraj Bani Zuraiq, Abdullah bin Amru bin Haram (عبد الله بن عمرو بن حرام) – yang tengah dibahas saat ini, termasuk salah satu Naqib – dari kalangan Khazraj Banu Salamah (ومن بني سلمة ثم بني حرام), Mundzir bin Amru (المنذر بن عمرو بن خنيس) dari Khazraj Bani Tsa’labah, Sa’d bin Khaitsamah (سعد بن خيثمة بن الحارث) dari kalangan Aus Bani as-Silm (بني السلم بن امرئ القيس بن مالك), Usaid bin Hudhair (أسيد بن حضير بن سماك) dari kalangan Aus Bani ‘Abdul Asyhal dan Abul Haitsam Malik bin Tayyihan – ada juga yang menyebut Rifa’ah bin ‘Abdul Mundzir (رفاعة بن عبد المنذر) – dari kalangan Aus Banu Umayyah bin Zaid (ومن بني أمية بن زيد).
[53] Perang Uhud oleh ‘Allamah Muhammad Ahmad Basymeel, h. 215, Nafis Academy, Urdu Bazaar Karachi, 1989 (غزوہ اُحد از علامہ محمد احمد باشمیل صفحہ 215، نفیس اکیڈمی اردو بازار کراچی، 1989ء).
[54] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, juz 3 hlmn 423, ‘Abdullah bin ‘Amru, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2012 (الطبقات الکبریٰ جز3 صفحہ 423، عبد اللّٰہ بن عمرو، دارالکتب العلمیۃ بیروت، 2012ء). Al-Ishabah fi Tamyizish Shahaabah karya Ibn Hajar al-Asqalani jilid 2, h. 287, ‘Abdullah bin ‘Amru, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut,1995 (الاصابہ فی تمییز الصحابہ جلد2صفحہ 287 عبداللّٰہ بن عمرودارالکتب العلمیۃ بیروت 1995ء). Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Sulaiman ibn Habib al-Asadi al-Misshishi al-Baghdadi (أبو جعفر محمد بن سليمان بن حبيب بن جبير الأسدي المصيصي المعروف بـ لوين) yang dikenal dengan Luwain (wafat 245 H atau 850 M) dalam kitabnya yang dikenal dengan Juz` min Hadits Luwain al-Misshishi (جزء فيه حديث المصيصي لوين), no. 13.
[55] Majma al-Zawa‘id wa Manba al-Fawa‘id, Vol. 6, p. 120, Kitab al-Maghazi wa al-Siyar, Bab fi man astasghara Yauma Uhud, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001 (مجمع الزوائد جز6صفحہ120، کتاب المغازی والسیرباب فیمن استصغر یوم احد، دارالکتب العلمیۃ بیروت، 2001ء. Tercantum juga dalam Al-Mu’jamul Ausath (المعجم الأوسط), bab (بَابُ الْمِيمِ مَنِ اسْمُهُ أَحْمَدُ) karya Ath-Thabrani (الطبراني) Hadith no. 7499, Vol. 5, pp. 329-330, Dar-ul-Fikr, Beirut, 1999; Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Ashfiya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء) atau Perhiasan para Wali dan Tingkatan-tingkatan Orang-orang yang Suci karya Al-Imam Abu Nu’aim al-Ashfahani r.h (الأصبهاني، أبو نعيم).
[56] Khuthbaat-e-Tahir (Pidato-Pidato sebelum Khilafat) pidato Jalsah Salanah 1979, h. 350-351. (ماخوذ از خطابات طاہر (تقاریر جلسہ سالانہ قبل از خلافت) تقریر جلسہ سالانہ 1979ء، صفحہ 350-351)
[57] Ma’rifatush Shahaabah karya Abu Nu’aim al-Ashbahani.
[58] Usdul Ghaabah fi Ma’rifatish Shahaabah karya Ibnu al-Atsir, jilid 3 h. 344, ‘Abdullah bin ‘Amru, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut (اسد الغابۃ فی معرفۃ الصحابہ جلد3 صفحہ 344، عبد اللّٰہ بن عمرو، دار الکتب العلمیۃ بیروت). Tercantum juga dalam Musnad Abi Ya’la al-Maushili (مسند أبي يعلى الموصلي – ج 3) karya Ahmad bin Ali bin al-Mutsanni al-Maushili (أحمد بن علي بن المثنى التميمي).
[59] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.
[60] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, juz 3 hlmn 424, ‘Abdullah bin ‘Amru, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2012 (الطبقات الکبریٰ جزو 3 صفحہ 424، عبد اللّٰہ بن عمرو، دارالکتب العلمیۃ بیروت، 2012ء).
[61] Original Urdu transcript published in Al Fazl International, 20 November 2020, pp. 5-10 (الفضل انٹر نیشنل 20 نومبر 2020ء صفحہ 5تا10). Translated by The Review of Religions. Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Muhammad Hasyim (Indonesia) dan Mln. Saefullah Mubarak Ahmad (Qadian-India). Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.islamahmadiyya.net (bahasa Arab).