Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 20 Agustus 2021 (Zhuhur 1400 Hijriyah Syamsiyah/11 Muharram 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Saya masih melanjutkan pembahasan mengenai berbagai peperangan yang terjadi pada zaman Hadhrat ‘Umar (ra). Salah satunya adalah perang Jundaisabur [sering juga ditulis Jundisapur). Setelah Hadhrat Abu Sabrah Bin Abi Ruhm (أَبُو سَبْرَةَ بْنُ أَبِي رُهْمٍ) selesai menaklukan negeri Sus, beliau terus bergerak menuju Jundaisabur (جُنْدَيْسَابُورَ). Jundaisabur adalah sebuah kota di Khuzistan (خوزستان). Alhasil berlangsung peperangan menghadapi musuh pagi dan petang. Namun mereka (umat Muslim) tetap bertahan di tempatnya (tidak ada kemajuan) hingga dari pihak Muslim ada yang mengajukan tawaran damai. Adapun pihak musuh yang berada di balik benteng dan akan menyerang ketika mendapatkan kesempatan. Ketika mendapatkan tawaran damai dari seorang Muslim biasa (bukan komandan), seketika itu juga pihak musuh langsung membuka gerbang benteng. Hewan-hewan mereka langsung berkeliaran, pasar dibuka dan orang-orang mulai tampak bertebaran.
Pihak Muslim bertanya, “Apa yang terjadi dengan kalian?”
Musuh menjawab, “Kalian kan telah menawarkan damai dan kami telah menerimanya. Kami akan membayar tebusan dan kalian akan melindungi kami.”
Pihak Muslim mengatakan, “Kami tidak pernah melakukan hal itu.”
Musuh berkata, “Kami tidak mengada-ada.”
Kemudian pasukan Muslim saling bertanya satu sama lain. Ternyata diketahui ada seorang hamba sahaya Muslim bernama Miqnaf yang melakukan itu.
Ketika kejadian tersebut dikabarkan kepada Hadhrat Umar, Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Allah Ta’ala memberikan keutamaan besar pada kesetiaan. Kalian tidak akan dapat bersikap setia sebelum memenuhi janji yang telah disampaikan. Sekalipun yang membuat perjanjian itu adalah seorang hamba sahaya, kalian harus memenuhinya. Selama kalian berada dalam keraguan, berikanlah mereka tenggang dan bersikaplah setia kepada mereka.”
Setelah itu pasukan Muslim mensahkan perjanjian tersebut lalu kembali pulang.[1] Perang tersebut merupakan akhir penaklukan Khuzestan.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan kejadian serupa, “Pada zaman Hadhrat ‘Umar (ra) ada seorang hamba sahaya kulit hitam yang membuat perjanjian dengan suatu kaum yang isinya akan memberikan keringanan ini dan itu. Ketika pasukan Muslim berangkat menuju kaum tersebut, mereka mengatakan, ‘Kalian telah membuat perjanjian dengan kami.’
Panglima tertinggi pasukan Muslim tidak membenarkan adanya perjanjian tersebut. Disampaikanlah hal tersebut kepada Hadhrat Umar. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Dalam ucapan seorang Muslim janganlah ada kedustaan, sekalipun yang mengucapkan itu adalah seorang hamba sahaya.’”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Pada zaman Hadhrat ‘Umar (ra) pasukan musuh terkepung. Mereka beranggapan, ‘Sekarang kita tidak akan selamat lagi.’ (Ini merupakan penjelasan lebih lanjutan dari Riwayat tadi) Pihak musuh menuturkan, ‘Komandan pasukan Islam tengah mengepung benteng kami. Jika ia unggul, maka kita akan diperlakukan layaknya bangsa jajahan.’
Setiap Muslim memiliki pemahaman berbeda antara status bangsa yang ditaklukan dan berdamai. Untuk bangsa yang berhasil ditaklukan, diterapkan aturan Islam seperti pada umumnya. Sedangkan dalam perjanjian damai, apapun syarat yang diberikan atau sebanyak apapun hak lebih yang ditetapkan, maka bisa mendapatkannya.
Pihak musuh berfikir bagaimana supaya dapat menempuh jalan damai dengan persyaratan yang seringan mungkin. Sebagaimana suatu hari, pihak musuh menghampiri seorang hamba sahaya Muslim yang tengah mengambil air lalu berkata, ‘Jika kita berdamai, apakah itu lebih baik daripada peperangan ataukah tidak?’
Hamba sahaya itu berkata, ‘Ya, itu lebih baik.’ Hamba sahaya tersebut adalah orang yang tidak berpendidikan.
Pihak musuh berkata, ‘Kenapa kami tidak berdamai saja dengan syarat, kami dapat hidup dengan bebas di negeri kami dan tidak akan diusik dan juga harta kami tetap ada pada kami begitupun harta kalian.’
Hamba sahaya berkata, ‘Benar sekali.’
Kemudian pihak musuh membuka gerbang benteng. Ketika datang lasykar Islam dan mempertanyakan apa yang terjadi, pihak musuh berkata, ‘Kami telah membuat perjanjian dengan kalian.’
Pihak Muslim berkata, ‘Dimana perjanjian itu dibuat? Komandan yang mana yang membuat perjanjian itu?’
Musuh menjawab, ‘Kami tidak mengenalnya, bagaimana kami bisa tahu, siapa komandan kalian dan siapa yang bukan. Saat itu ada seorang pria yang tengah mengambil air, lalu kami telah mengatakan hal ini kepadanya begitu pun ia setuju.’
Pihak Muslim berkata, ‘Ada seorang hamba sahaya, tanyakan kepadanya, apa yang terjadi?’
Lalu ditanyakan kepada hamba sahaya itu dan memang ia membenarkan hal itu. Pihak Muslim berkata, ‘Ia ‘kan seorang hamba sahaya, siapa yang telah memberikan wewenang kepada hamba sahaya itu untuk memberikan keputusan?’
Pihak musuh berkata, ‘Kami tidak mengenal bahwa ia komandan kalian atau bukan. Kami adalah orang asing sehingga kami beranggapan orang ini adalah komandan kalian.’ (Pihak musuh memperlihatkan kecerdikannya)
Komandan Muslim berkata, ‘Saya tidak dapat mengakui hal ini, namun saya akan melaporkan hal ini kepada Hadhrat ‘Umar.’
Setelah mengirimkan surat kepada Khalifah ‘Umar dan beliau membaca suratnya, beliau (ra) bersabda, ‘Untuk masa yang akan datang umumkanlah bahwa tidak ada yang dapat membuat perjanjian selain dari komandan, namun tidak bisa juga saya mendustakan apa-apa yang telah diucapkan oleh seorang Muslim. Karena itu, kalian terpaksa harus mengesahkan perjanjian yang telah dibuat oleh hamba sahaya Muslim itu. Untuk yang akan datang, umumkanlah bahwa selain komandan, tidak ada yang bisa membuat perjanjian.’”
Berkenaan dengan penaklukan Iran pada zaman Hadhrat Umar, apa saja penyebabnya dan apa keterpaksaan di dalamnya, dijelaskan bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) memiliki hasrat hati yakni akan lebih baik jika peperangan berdarah di medan perang Iraq dan Ahwaz diakhiri. Tidak ada manfaatnya peperangan. Pertama, musuh melancarkan serangan lalu pihak Muslim menghadapinya dan berhasil melumpuhkan kekuatannya, sekarang hendaknya berakhir hingga di sana. Dalam hal ini, Hadhrat ‘Umar (ra) berkali-kali menyatakan keinginan itu, “Semoga saja timbul penghalang diantara kami dan bangsa Iran sehingga mereka tidak bisa datang kepada kami dan begitu juga kita tidak dapat datang kepada mereka.” Namun serangan yang dilancarkan terus-menerus oleh pemerintah Iran tidak membuat keinginan Hadhrat ‘Umar (ra) tadi terpenuhi.
Pada 17 Hijriah (السابع عشر الهجري), beberapa perwakilan tokoh Muslim datang dari medan perang menemui Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat ‘Umar (ra) menyampaikan pertanyaan kepada mereka, “Kenapa lagi-lagi terjadi pelanggaran perjanjian dan pemberontakan di daerah-daerah taklukan?” Hadhrat ‘Umar (ra) menyatakan kecurigaannya, “Jangan-jangan umat Muslim menimbulkan kesusahan bagi penduduk yang tinggal di daerah taklukan.”
Perwakilan Muslim membantah hal tersebut dan menyampaikan bahwa pihak Muslim melakukan pengaturan yang baik di daerah mereka disertai dengan kesetiaan.
Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya, “Lantas apa penyebab kekacauan ini?”
Perwakilan tokoh Muslim tadi tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, namun Ahnaf Bin Qais (الأحنف بن قيس) berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Saya akan sampaikan kepada Anda hakikat dari peristiwa ini. Masalahnya adalah, Anda melarang kami untuk melakukan agresi militer lebih lanjut yakni Anda memberikan petunjuk agar kami tidak melanjutkan peperangan dan tetap berada di daerah-daerah yang telah ditaklukan. Namun Raja Iran saat ini masih hidup dan selama ia masih hidup, bangsa Iran akan terus-menerus melancarkan serangan kepada kita karena tidaklah mungkin dalam suatu negara terdapat dua pemerintah. Akhirnya yang satu akan berusaha mengusir yang lainnya. Kalau tidak bangsa Iran atau kita yang tetap ada.”
Ahnaf melanjutkan, “Sebagaimana Anda ketahui, kita tidak pernah menaklukan suatu daerah dengan sekehendak kita sendiri, melainkan kita menaklukan daerah-daerah tersebut disebabkan mereka melancarkan serangan terlebih dulu. Itu jugalah yang Anda perintahkan. Jika musuh menyerang maka kita secara terpaksa menghadapi mereka dan sebagai hasilnya kita dapat menaklukan daerah mereka.”
Alhasil, hal ini menjadi jelas bagi sebagian kalangan Muslim yang melegalkan peperangan tanpa sebab yang jelas. Begitu juga ini merupakan jawaban bagi mereka yang melontarkan keberatan kepada Islam bahwa umat Muslim tidak pernah melakukan peperangan dengan didasari niat untuk menguasai suatu teritorial atau untuk menguasai suatu negeri. Peperangan yang dilakukan oleh pihak Muslim semata-mata karena mereka terlebih dulu diserang dan dilakukan demi untuk menegakkan kedamaian. Namun, dalam proses tersebut pasukan Muslim serta-merta dapat menaklukan daerah-daerah musuh.
Ahnaf (ra) berkata, “Alhasil, pasukan pasukan yang menyerang tersebut dikirim oleh Rajanya dan ini akan terus terjadi selama Anda tidak mengizinkan kami untuk melancarkan agresi militer juga untuk menghadapi mereka dan mengeluarkan raja dari Persia. Dengan begitu harapan bagi bangsa Persia untuk mendapatkan kemenangan bisa terputus.”
Hadhrat ‘Umar (ra) membenarkan pendapat tersebut dan memahami bahwa sekarang tidak ada cara lain selain terpaksa melakukan langkah-langkah lebih lanjut di Iran, karena tanpa itu, kedamaian tidak mungkin bisa ditegakkan dan peperangan akan terus terjadi sehingga darah umat Islam akan terus mengalir.
Namun implementasi gagasan tersebut dilakukan oleh Hadhrat ‘Umar (ra) dalam jangka waktu 1,5 (satu setengah) tahun atau 2 tahun kemudian yaitu setelah peperangan Nahawand pada 21 Hijriah, pada saat pasukan Iran berangkat untuk menyerang umat Islam dengan kekuatan penuh. Untuk itu terjadi pertempuran sengit di Nahawand.
Perang Nahawand disebut dengan Fathul Futuuh (فتح الفتوح). Peperangan pasukan Muslim di Iran dan Iraq merupakan penentu yang sangat penting bagi tiga peperangan yakni perang Qadisiyah, perang Jalulah dan perang Nahawand. Dari sisi hasil, penaklukan Nahawand begitu penting sehingga dikenal dengan sebutan Fathul Futuuh yakni kemenangan yang lebih besar dari segenap kemenangan. Perang Nahawand ini merupakan upaya terakhir dari bangsa Iran setalah mengalamai dua kekalahan yang parah sebelumnya.
Penjelasan lebih lanjut dari perang tersebut adalah sebagai berikut, raja Iran, Yazdegerd yang saat itu menetap di Marw atau – berdasarkan riwayat Abu Hanifah Dinawari – menetap di Qum. Raja tersebut mulai mengumpulkan laskar dengan gencarnya untuk menghadapi pasukan Muslim. Surat-surat yang ia kirimkan [ke berbagai negeri bawahannya] telah menimbulkan pergerakan di negeri dari mulai Khurasan hingga Sindh. Sebagai hasilnya, berdatangan pasukan Iran dari berbagai tempat lalu berkumpul di Nahawand. Nahawand merupakan sebuah kota di Iran yang terletak di sebalah timur Karmansyah (كرمان شاه) dan sekitar 70 km dari ibukota provinsi Hamdan, Hamdan. Nahawand seutuhnya merupakan sebuah kota yang terletak diantara gunung-gunung.
Hadhrat Sa’d mengabarkan perihal laskar tersebut kepada Hadhrat ‘Umar (ra) di Madinah. Beberapa hari kemudian, Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) sendiri memberhentikan Hadhrat Sa’d dari jabatannya sehingga Hadhrat Sa’d mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Madinah, untuk itu Hadhrat Sa’d mengabarkan semua ini secara lisan kepada Hadhrat Umar. Setelah memberhentikan Hadhrat Sa’d, jabatan penting tersebut diberikan kepada Hadhrat Ammar Bin Yasir oleh Khilafat. Hadhrat Ammar menyampaikan setiap kabar terbaru yang diperoleh berkenaan dengan peperangan Iran ke Madinah.
Hadhrat ‘Umar (ra) mengadakan Majlis syura lalu berdiri di mimbar dan menyampaikan pidato, bersabda, يا معشر العرب، إن الله أيدكم بالإسلام، وألف بينكم بعد الفرقة، وأغناكم بعد الفاقة، وأظفركم في كل موطن لقيتم فيه عدوكم، فلم تفلوا، ولم تغلبوا، وإن الشيطان قد جمع جموعا ليطفئ نور الله، وهذا كتاب عمار ابن ياسر، يذكر أن أهل قومس وطبرستان ودنباوند وجرجان والري وأصبهان وقم وهمذان والماهين وماسبذان قد أجفلوا إلى ملكهم، ليسيروا إلى إخوانكم بالكوفة والبصرة حتى يطردوهم من أرضهم، ويغزوكم في بلادكم، فأشيروا علي “Wahai bangsa Arab! Allah Ta’ala telah menolong kalian dengan perantaraan Islam dan menyatukan kalian setelah mengalami perpecahan. Dia memberikan kecukupan kepada kalian dari keadaan kelaparan dan Dia telah memberikan kemenangan kepada kalian ketika harus terpaksa menghadapi musuh. Untuk itu kalian tidak pernah lelah dan kalah. Namun sekarang setan telah mengumpulkan laskarnya untuk memadamkan cahaya Tuhan. Telah diterima surat dari Ammar Bin Yasir yang menulis bahwa penduduk Qomas (قومس), Thabrastan (طبرستان), Danbawand (دنباوند), Jurjaan (جرجان), Rey (الري), Isfahan (أصبهان), Qum (قم), Hamdaan (همذان), Mahin (الماهين) dan Masabzaan (ماسبذان) tengah berkumpul di sekitar rajanya untuk berangkat menuju Kufah dan Basrah guna menghadapi saudara-saudara kalian, lalu mengusir saudara-saudara kalian dari negerinya kemudian menyerang kalian di negeri kalian. Wahai saudaraku! Berikanlah musyawarah, karena ini adalah perkara yang penting.”[2]
“Saya tidak mendapati Anda banyak bicara dan berselisih pendapat, berikanlah saya sedikit masukan, apakah sesuai jika saat ini saya sendiri berangkat ke Iran dan tinggal sementara di tempat yang sesuai diantara Basrah dan Kufah untuk membantu laskar kita? Jika dengan karunia Allah Ta’ala, kita mendapatkan kemenangan dalam peperangan ini, maka saya akan berangkatkan laskar untuk melakukan langkah lebih lanjut di daerah musuh.”[3]
Setelah selesai pidato Hadhrat Umar, Hadhrat Thalhah Bin Ubaidullah berdiri membaca Tasyahud lalu bersabda, يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ أَحْكَمَتْكَ الْأُمُورُ، وَعَجَمَتْكَ الْبَلَابِلُ، وَاحْتَنَكَتْكَ التَّجَارِبُ، وَأَنْتَ وَشَأْنَكَ وَرَأْيَكَ، لَا نَنْبُو فِي يَدَيْكَ وَلَا نَكِلُّ عَلَيْكَ، إِلَيْكَ هَذَا الْأَمْرُ، فَمُرْنَا نُطِعْ، وَادْعُنَا نُجِبْ وَاحْمِلْنَا نَرْكَبْ، وَقُدْنَا نَنْقَدْ، فَإِنَّكَ وَلِيُّ هَذَا الْأَمْرِ، وَقَدْ بَلَوْتَ وَجَرَّبْتَ وَاحْتَرَبْتَ فَلَمْ يَنْكَشِفْ شَيْءٌ مِنْ عَوَاقِبِ قَضَاءِ اللَّهِ لَكَ إِلَّا عَنْ خِيَارِهِمْ. ثُمَّ جَلَسَ. “Wahai Amirul Mukminin! Perkara kenegaraan telah membuat wawasan Anda semakin luas, pengalaman telah membuat Anda semakin bijak, apapun yang Anda inginkan, silahkan lakukan, apapun gagasan Anda, terapkanlah itu. Kami akan selalu menyertai Anda, perintahkan saja kami, kami akan taat kepada Anda. Panggillah kami, kami akan menyerukan labbaik pada perintah Anda. Kirimlah kami dan kami akan berangkat. Jika Anda ingin mengajak kami, kami akan menyertai Anda. Silahkan Anda sendiri putuskan hal ini, karena Anda sangat memahami dan berpengalaman.” Setelah mengatakan demikian Thalhah duduk.[4]
Akan tetapi, Hadhrat ‘Umar (ra) tetap ingin meminta masukan. Beliau bersabda, “Wahai hadirin! Berikanlah sesuatu masukan, karena kesempatan kali ini akan memberikan hasil jangka panjang.”
Hadhrat ‘Utsman (ra) berdiri dan bersabda, أَرَى يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْ تَكْتُبَ إِلَى أَهْلِ الشَّامِ فَيَسِيرُوا مِنْ شَامِهِمْ، وَإِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ فَيَسِيرُوا مِنْ يَمَنِهِمْ، ثُمَّ تَسِيرَ أَنْتَ بِأَهْلِ الْحَرَمَيْنِ إِلَى الْكُوفَةِ وَالْبَصْرَةِ فَتَلْقَى جَمْعَ الْمُشْرِكِينَ بِجَمْعِ الْمُسْلِمِينَ، فَإِنَّكَ إِذَا سِرْتَ قَلَّ عِنْدَكَ مَا قَدْ تَكَاثَرَ مِنْ عَدَدِ الْقَوْمِ، وَكُنْتَ أَعَزَّ عِزًّا وَأَكْثَرَ. يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنَّكَ لَا تَسْتَبْقِي بَعْدَ نَفْسِكَ مِنَ الْعَرَبِ بَاقِيَةً، وَلَا تَمْتَعُ مِنَ الدُّنْيَا بِعَزِيزٍ، وَلَا تَلُوذُ مِنْهَا بِحَرِيزٍ. إِنَّ هَذَا يَوْمٌ لَهُ مَا بَعْدَهُ مِنَ الْأَيَّامِ، فَاشْهَدْهُ بِرَأْيِكَ وَأَعْوَانِكَ وَلَا تَغِبْ عَنْهُ. وَجَلَسَ. “Wahai Amirul Mukminin, saya berpendapat agar Anda mengirimkan perintah ke Syam dan ke Yaman supaya para pemimpin mereka memberangkatkan pasukan Islam di sana ke Iran, serta mengirimkan perintah ke Basra untuk memberangkatkan pasukan dari sana. Anda pun berangkat dari sini ke Kufah dengan membawa pasukan dari Hijaz ini [yang terdiri dari dua kota Haram atau suci, Makkah dan Madinah]. Dengan ini, kekhawatiran Anda soal jumlah pasukan musuh yang lebih besar pun akan hilang. Ini sungguh merupakan kesempatan yang akan memberikan dampak panjang. Oleh karena itu, pendapat Anda sendiri dan keberadaan Anda diantara para sahabat dalam hal ini sangatlah penting (yakni, beliau hendaknya pergi ke garis depan).”
Pendapat Hadhrat ‘Utsman (ra) ini pun disukai oleh sebagian besar anggota majlis; dari berbagai arah, umat Muslim menerima bahwa ini adalah baik.[5]
Hadhrat ‘Umar (ra) meminta pendapat lebih lanjut (saat itu Hadhrat ‘Umar (ra) masih belum setuju). Beliau bersabda, “Tolong sampaikan pendapat lebih lanjut.”
Hadhrat Ali berdiri. Beliau berpidato panjang seraya bersabda, أَمَّا بَعْدُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنَّكَ إِنْ أَشْخَصْتَ أَهْلَ الشَّامِ مِنْ شَامِهِمْ سَارَتِ الرُّومُ إِلَى ذَرَارِيِّهِمْ، وَإِنْ أَشْخَصْتَ أَهْلَ الْيَمَنِ مِنْ يَمَنِهِمْ سَارَتِ الْحَبَشَةُ إِلَى ذَرَارِيِّهِمْ، وَإِنَّكَ إِنْ شَخَصْتَ مِنْ هَذِهِ الْأَرْضِ انْتَقَضَتْ عَلَيْكَ الْعَرَبُ مِنْ أَطْرَافِهَا وَأَقْطَارِهَا، حَتَّى يَكُونَ مَا تَدَعُ وَرَاءَكَ أَهَمَّ إِلَيْكَ مِمَّا بَيْنَ يَدَيْكَ مِنَ الْعَوْرَاتِ وَالْعِيَالَاتِ، أَقْرِرْ هَؤُلَاءِ فِي أَمْصَارِهِمْ “Wahai Amirul Mukminin, jika Anda memerintahkan pasukan di Syam untuk menyingkir dari sana, maka wilayah itu akan diambil alih oleh kerajaan Romawi. Jika tentara Islam disingkirkan dari Yaman, maka kerajaan Habsyah (Ethiopia) akan mengambil alih wilayah Yaman dari tangan umat Islam. Jika Anda sendiri beranjak dari sini, maka umat Muslim di segenap penjuru negeri akan ikut bergerak untuk bersama Anda dan bersama kepergian Anda untuk menghadapi kekhawatiran itu, bahaya yang lebih besar akan lahir di sini seiring dengan kekosongan di penjuru negeri. وَاكْتُبْ إِلَى أَهْلِ الْبَصْرَةِ فَلْيَتَفَرَّقُوا ثَلَاثَ فِرَقٍ: فِرْقَةٌ فِي حُرَمِهِمْ وَذَرَارِيِّهِمْ، وَفِرْقَةٌ فِي أَهْلِ عَهْدِهِمْ حَتَّى لَا يَنْتَقِضُوا، وَلْتَسِرْ فِرْقَةٌ إِلَى إِخْوَانِهِمْ بِالْكُوفَةِ مَدَدًا لَهُمْ Sampaikan petunjuk ke Bashrah (Hadhrat Ali memberi pendapat demikian) supaya membagi semua prajurit ke dalam tiga bagian. Satu bagian diperintahkan untuk menjaga penduduk Muslim dan wilayah sekitarnya. Bagian kedua dikirimkan ke daerah-daerah yang telah diduduki agar jangan sampai orang-orang di sana merusak perdamaian dan memberontak lalu bagian terakhir dikirimkan untuk kaum Muslim dalam membantu orang-orang Kufah.[6]
فأقم واكتب إلى أهل الكوفة فهم أعلام العرب ورؤساؤهم ومن لم يحفل بمن هو أجمع وأحد وأجد من هؤلاء فليأتهم الثلثان وليقم الثلث Demikian pula kepada kaum [Muslim] Kufah, hendaknya disampaikan kepada mereka agar 1/3 bagian diperuntukkan di sana dan 2/3nya dikirimkan untuk menghadapi musuh.[7] بل اكتب الى اهل الشام ان يقيم منهم بشامهم الثلثان، ويشخص الثلث، وكذلك الى عمان، وكذلك سائر الأمصار والكور Kepada prajurit di Syam pun hendaknya disampaikan kepada mereka agar 2/3 prajurit tetap tinggal di Syam dan 1/3 bagiannya agar dikirim ke Iran. Perintah seperti ini agar ditujukan juga ke Oman dan wilayah-wilayah serta kota-kota lain di seluruh negeri.[8]
ومكانك منهم مَكَانُ النِّظَامِ مِنَ الْخَرَزِ يَجْمَعُهُ ويمسكه فَإِنِ انحل تَفَرَّقَ ما فيه وَذَهَبَ ثُمَّ لَمْ يَجْتَمِعْ بِحَذَافِيرِهِ أَبَداً Kepergian Anda ke medan perang tidaklah perlu karena kedudukan Anda sekarang laksana untaian butir-butir mutiara yang terangkai jadi satu yang seandainya terlepas satu darinya, mutiara-mutiara itu akan tercerai-berai dan tidak akan dapat bersatu kembali. أن الْأَعَاجِمَ إِنْ يَنْظُرُوا إِلَيْكَ غَدًا قَالُوا: هذا أَمِيرُ الْعَرَبِ وأَصْلُ الْعَرَبِ فَكَانَ ذَلِكَ أَشَدَّ لِكَلَبِهِمْ وألبتهم على نفسك Kemudian, jika pasukan Iran mengetahui bahwa pemimpin Arab pun ikut di medan pertempuran, maka mereka akan mengeluarkan seluruh kekuatan mereka dan akan maju menggempur Anda dengan hebat.
وَأَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ مَسِيرِ الْقَوْمِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ أَكْرَهُ لِمَسِيرِهِمْ مِنْكَ، وَهُوَ أَقْدَرُ عَلَى تَغْيِيرِ مَا يَكْرَهُ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ عددهم فَإِنَّا لَمْ نَكُنْ نُقَاتِلُ فِيمَا مَضَى بِالْكَثْرَةِ ولكنا كنا نقاتل بِالنَّصْرِ Adapun tentang pergerakan-pergerakan prajurit musuh yang telah Anda sampaikan, sesungguhnya Allah Ta’ala, dibandingkan dengan pergerakan Anda, memandang pergerakan musuh dengan pandangan yang lebih penuh kebencian; dan Allah Ta’ala sangat berkuasa untuk mengubah sesuatu yang tidak Dia sukai. Apa yang Anda sampaikan terkait banyaknya jumlah musuh, semenjak dahulu sejarah membuktikan bahwa pertempuran kita tidaklah bertumpu pada banyaknya jumlah, tetapi pertempuran kita bertumpu pada [keyakinan] akan pertolongan Ilahi; dan keadaan kita yakni kemenangan atau kekalahan tidak bertumpu pada jumlah banyak atau sedikit.
و إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ لَمْ يَكُنْ نَصْرُهُ وَلَا خِذْلَانُهُ لكَثْرَةٍ وَلَا قِلَّةٍ وإنما هُوَ دِينُه الَّذِي أَظْهَرَهُ وَجُنْدُهُ الَّذِي أعز وأيده بالملائكة حَتَّى بَلَغَ مَا بَلَغَ فنَحْنُ عَلَى مَوْعُودٍ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ مُنْجِزٌ وَعْدَهُ وَنَاصِرٌ جُنْدَهُ Ini adalah agama milik Tuhan yang telah Tuhan sendiri menangkan, dan ini adalah tentara-Nya yang telah Dia tolong dan Dia dukung melalui malaikat-malaikat-Nya sehingga kini kita telah mencapai kedudukan ini. Allah Ta’ala telah berjanji kepada kita bahwa Allah pasti akan memenuhi janji-janji-Nya dan akan menolong segenap tentara-Nya.”[9]
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, أجل والله، لئن شخصت من البلدة لتنتقضن علي الأرض من أطرافها وأكنافها، ولئن نظرت إلي الأعاجم لا يفارقن العرصة، وليمدنهم من لم يمدهم، وليقولن: هذا أصل العرب، فإذا اقتطعتموه اقتطعتم أصل العرب، فأشيروا علي برجل أوله ذلك الثغر غدا. “Benar, ini adalah baik. Jika saya pun ikut pergi [dari Madinah ke tempat peperangan], maka kaum Muslim di sini akan terpukul dari segenap penjuru dan di sana orang-orang Iran pun akan keluar dengan penuh kekuatan untuk membantu kawan-kawan mereka seraya berkata, ‘Pemimpin terbesar Arab kini turun langsung ke medan pertempuran. Akan tetapi, kalau kita (Persia atau Iran) memenangi perang ini [atau membunuh Pemimpin Arab ini], kita seolah telah menghancurkan seluruh Arab.’
Oleh karena itu, kepergian saya tidak tepat. Sampaikan saran Anda sekalian, [seandainya] musuh akan berkata bahwa apabila mereka menang maka seluruh Arab akan ada di bawah kuasa mereka; atas sebab itu kepergian saya tidak tepat. Sampaikan saran Anda sekalian, siapakah yang hendaknya diangkat sebagai panglima pasukan, yaitu sosok yang telah berpengalaman ikut serta di berbagai peperangan di Irak.”
Orang-orang berkata kepada Hadhrat Umar, يا أمير المؤمنين، أنت أعلم بأهل العراق وجندك قد وفدوا عليك ورأيتهم وكلمتهم “Hudhur, Anda-lah yang paling paham mengenai para penduduk Iraq dan laskar kita di sana. Mereka pun kerap datang secara berkelompok menemui Anda. Anda sebaiknya mempertimbangkan dan berbincang dengan mereka.”[10]
Pandangan kuat Hadhrat ‘Umar (ra) telah menunjuk Hadhrat Nu’man bin Muqarrin al-Muzani (النُّعْمَانُ بْنُ مُقَرِّنٍ الْمُزَنِيُّ) yang merupakan sosok Sahabat Rasulullah (saw) terkemuka untuk memenuhi tanggung jawab ini. Tertera dalam satu riwayat bahwa ketika Hadhrat Nu’man tengah menunaikan shalat di Masjid, Hadhrat ‘Umar (ra) datang; beliau melihatnya lalu duduk di dekatnya. Setelah Nu’man menyelesaikan shalatnya, Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda kepadanya, “Saya ingin mengamanatkan satu kedudukan kepada Anda.”
Hadhrat Nu’man berkata, “Jika ada kedudukan di ketentaraan, saya senantiasa siap. Namun jika dalam pekerjaan mengumpulkan pajak, saya tidak menyukainya.”
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Tidak, ini tugas di ketentaraan.”
Namun, perkara yang lebih dekat dengan kebenaran adalah riwayat ath-Thabari berikut: Terkait pengangkatan Hadhrat Nu’man bin Muqarrin di medan Nahawand, (sebagaimana telah saya sampaikan, tertera di Thabari) Ibnu Ishaq (ابن إسحاق) menuturkan: كَانَ مِنْ حَدِيثِ نهاوند أن النعمان بْن مقرن كان عاملا على كسكر، فكتب إلى عمر رضي اللَّه عنه يخبره أن سعد ابن ابى وقاص استعمله على جبابه الخراج، وقد أحببت الجهاد ورغبت فيه. “Di peristiwa Nahawand, disebutkan bahwa Nu’man bin Muqarrin diangkat sebagai pejabat di Kaskar. Hadhrat Nu’man menulis ke hadapan Hadhrat Umar, ‘Sa’d bin Abi Waqqash telah mengangkat saya sebagai ‘Amil (pejabat pengumpul pajak), padahal saya lebih menghendaki jihad, dan sangat mengidamkannya.’
Maka dari itu, Hadhrat ‘Umar (ra) menyampaikan ke Sa’ad bin Abi Waqqas yaitu, إن النعمان كتب إلي يذكر أنك استعملته على جباية الخراج، وأنه قد كره ذلك، ورغب في الجهاد، فابعث به إلى أهم وجوهك، إلى نهاوند ‘Nu’man telah menulis kepada saya bahwa Anda telah menunjuknya dalam pengumpulan pajak, sementara ia tidak menyukai pekerjaan itu dan lebih menghendaki jihad. Oleh karena itu, utuslah ia ke medan yang sangat penting di Nahawand.’ Alhasil, [tugas] kepemimpinan yang sangat penting ini diamanatkan kepada Hadhrat Nu’man bin Muqarrin, dan beliau pun pergi untuk menghadapi musuh.”
Sepertinya Hadhrat ‘Umar (ra) menyampaikan surat ini tatkala beliau tengah berada di Kufah. Surat ini pun memperkuat bahwa beliau tidak sedang ada di Madinah, tetapi di Kufah, dan surat ini ditulis saat beliau ada di sana. Awal surat adalah sebagai berikut, بسم الله الرحمن الرحيم من عبد الله عمر أمير المؤمنين إلى النعمان بن مقرن سلام عليك “Bismillahirrahmanirrahim, dari hamba Allah, ‘Umar, pemimpin orang-orang beriman, kepada Nu’man bin Muqarrin, salaamun ‘alaika.”
Kemudian, Hadhrat ‘Umar (ra) menulis, فإني أحمد إليك الله الذي لا اله الا هو أما بعد فإنه قد بلغني أن جموعا من الأعاجم كثيرة قد جمعوا لكم بمدينة نهاوند فإذا أتاك كتابي هذا فسر بأمر الله وبعون الله وبنصر الله بمن معك من المسلمين ولا توطئهم وعرا فتؤذيهم ولا تمنعهم حقهم فتكفرهم ولا تدخلنهم غيضة فإن رجلا من المسلمين أحب إلي من مائة ألف دينار والسلام عليك “Segala puji saya panjatkan kepada Allah Ta’ala yang tidak ada sembahan selain-Nya. Pertama, saya telah mengetahui di kota Nahawand telah berkumpul sepasukan bangsa A’jam (bukan Arab, maksudnya Iran) yang sangat besar yang akan memerangimu.
Ketika surat ini datang pada Anda, dengan [menjunjung] perintah Allah Ta’ala dan pertolongan-Nya, berangkatlah Anda bersama dengan pasukan Muslim sekutu anda. Namun janganlah menempatkan mereka di tempat kering, karena dengannya akan sulit berjalan, dan janganlah kurang dalam memenuhi hak-hak mereka, sebab akan menjadikan mereka tidak bersyukur; dan janganlah menempatkan mereka di daerah basah, karena satu orang Muslim lebih kucintai dari uang sejumlah 100.000 dinar. Was salaamu ‘alaika.”[11]
Dalam memenuhi perintah ini, Hadhrat Nu’man lantas berangkat untuk melawan musuh. Bersama beliau ada juga beberapa Muslim terkemuka dan pemberani seperti Hudzaifah bin Yaman (حذيفة بن اليمان), Ibnu Umar (عبد الله بن عمر بن الخطاب), Jarir bin Abdullah al-Bajali (جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيُّ), Mughirah bin Syu’bah (المغيرة بن شعبة), ‘Amru bin Ma’dikarb az-Zubaidi (عَمْرَو بْنَ مَعْدِ يكَرِبَ الزبيدي), Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi (طُلَيْحَةَ بْنَ خُوَيْلِدٍ الأسدي), dan Qais bin Maqsyuh al-Muradi (قيس بن مكشوح المرادي).
Hadhrat ‘Umar (ra) memberi petunjuk, ان قتل النعمان فولى الأمر حذيفة بن اليمان، وان قتل حذيفة فولى الأمر جرير بن عبد الله البجلي، وان قتل جرير فالأمير المغيره ابن شعبه، وان قتل المغيره فالأمير الاشعث بن قيس “Seandainya Nu’man bin Muqarrin mati syahid, yang menjadi Amir adalah Hudzaifah bin Yamman, kemudian Jarir bin Abdullah Bajali. Setelah mereka lalu Hadhrat Mughirah bin Syu’bah; kemudian setelah kesyahidannya, lalu Asy’ats bin Qais.”[12]
Tentang ‘Amru bin Ma’dikarb az-Zubaidi dan Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi, Hadhrat ‘Umar (ra) menulis kepada Nu’man, “‘Amru bin Ma’dikarb az-Zubaidi dan Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi akan bersama Anda. Mereka berdua adalah ksatria berkuda [terbaik] Arab. Galilah saran dari mereka, namun jangan jadikan mereka panglima.”[13]
Alhasil, pasukan Islam pun berangkat. Melalui mata-mata, Hadhrat Nu’man mengetahui bahwa jalan hingga ke Nahawand dimana laskar musuh berkumpul, telah diketahui dan siap dilewati. Sebelumnya diketahui dari mereka bahwa musuh yang berkumpul berjumlah sangat banyak. Para sejarawan menulis jumlah laskar mereka adalah 70.000 dan bahkan 100.000. Namun, dalam riwayat di Bukhari, jumlah mereka adalah 40.000 (artinya, jumlah 70.000 atau 100.000 adalah berlebihan). Menurut Bukhari, jumlah prajurit musuh adalah 40.000. وذكر حياة العرب الرذيلة من كل النواحي. وقال ما مفاده: لن آمر القادة الجالسين حولي ليقضوا عليكم لأني لا أريد أن تنجس سهامهم بأجسامكم النجسة، (والعياذ بالله) وإذا أردتم العودة فيمكننا أن نخلي سبيلكم وإلا ستتراءى جثثكم في ميدان الوغى. ولكن تهديدات العدو الفارغة لم تغير شيئا.
Musuh menghendaki agar ada pihak Muslim yang diutus untuk berunding dengan mereka. Hadhrat Mughirah bin Syu’bah pun datang. Para pembesar Iran menggelar majlis dengan segala kebesaran. Panglima Iran mengenakan mahkota dan duduk di atas singgasana keemasan. Para pembesar memamerkan persenjataannya hingga mata pun terpana. Penerjemah pun ada.
Panglima Iran lantas mengulang anekdot mereka dahulu. Mereka menyebut segala sisi kehidupan kaum Arab dengan penuh kehinaan dan berkata, “Aku tidak memerintahkan para panglimaku yang duduk di sekelilingku ini untuk menghabisi kalian karena aku tidak ingin panah mereka ternoda dengan tubuh kotor kalian. (na’udzubillah). Jika sekarang pun kalian beranjak pergi, kami hanya membiarkan kalian saja. Karena di medan pertempuran nanti, mayat kalianlah yang akan terlihat.”
Apalah arti cercaan musuh yang sangat menertawakan itu. Hadhrat Mughirah bersabda, “Masa sebelum kebangkitan Hadhrat Rasulullah (saw) itu sudahlah berlalu. Kedatangan Rasulullah (saw) telah mengubah segalanya”. Perundingan [mereka] mengalami kegagalan, dan kedua pasukan telah bersiap untuk merapatkan barisan.
Orang yang ditunjuk sebagai panglima di barisan terdepan (Muqaddamah, مُقَدَّمَتِهِ) pasukan Islam adalah Nu’aim bin Muqarrin (نُعَيْمُ بْنُ مُقَرِّنٍ). Panglima dua pasukan sayap (Mujannibatain, dua pasukan sayap kanan dan kiri, مُجَنِّبَتَيْهِ) masing-masing ada di tangan Hudzaifah bin Yaman (حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ) dan Suwaid bin Muqarrin (سُوَيْدَ بْنَ مُقَرِّنٍ). Panglima barisan frontline atau kavaleri depan (yang disebut mujarradah) adalah Qa’qa’ bin Amru (الْقَعْقَاعَ بْنَ عَمْرٍو). Mujarradah (الْمُجَرَّدَةِ) adalah barisan kavaleri depan. Barisan [kavaleri] belakang dipimpin oleh Mujasyi’ (مُجَاشِعَ بْنَ مَسْعُودٍ). Pertempuran pun meletus.
Meski demikian, keadaan medan pertempuran saat itu sangatlah merugikan bagi kaum Muslim, karena musuh terlindungi dengan parit-parit, benteng-benteng dan rumah-rumah mereka, sementara pasukan Muslim ada di medan terbuka. Saat tiba waktu yang tepat, musuh pun keluar dan menyerang secara tiba-tiba, kemudian kembali ke tempat berlindung mereka.
Dari segi persenjataan, keadaan musuh seperti dituturkan seorang perawi adalah, “Tatkala saya berjalan dan menatap salah satu tempat mereka, saya melihat seolah ada besi yang menggunung.”
Melihat keadaan tersebut, panglima pasukan Islam, Nu’man bin Muqarrin menggelar majlis musyawarah dengan memanggil para prajurit berpengalaman dan sosok yang piawai seraya berkata kepada mereka, قَدْ تَرَوْنَ الْمُشْرِكِينَ وَاعْتِصَامَهُمْ بِخَنَادِقِهِمْ وَمُدُنِهِمْ، وَأَنَّهُمْ لَا يَخْرُجُونَ إِلَيْنَا إِلَّا إِذَا شَاءُوا وَلَا يَقْدِرُ الْمُسْلِمُونَ عَلَى إِخْرَاجِهِمْ. وَقَدْ تَرَوْنَ الَّذِي فِيهِ الْمُسْلِمُونَ مِنَ التَّضَايُقِ، فَمَا الرَّأْيُ الَّذِي بِهِ نَسْتَخْرِجُهُمْ إِلَى الْمُنَاجَزَةِ وَتَرْكِ التَّطْوِيلِ؟ “Anda menyaksikan, bagaimana musuh berlindung di balik sejumlah benteng, parit, dan bangunan mereka. Mereka muncul keluar kapan saja sesuai dengan kehendak mereka dan pasukan Muslim tidak sanggup menghadapi mereka, selama musuh tetap menyerang dengan muncul sekehendak mereka. Selain itu pun, musuh pun terus menerima bala bantuan.”
Beliau berkata, “Betapa pasukan Muslim tengah jatuh dalam kesulitan akibat situasi ini. Kini, cara yang [sebaiknya] ditempuh adalah, tanpa mengulur waktu lagi, kita harus memaksa musuh agar bertempur di medan terbuka.”
Setelah mendengarkan pernyataan singkat Panglima, seorang di majlis tersebut yang berusia paling tua yaitu ‘Amru bin Tsunay’ (عَمْرُوبْنُ ثُنَيٍّ) dan ia berkata, التَّحَصُّنُ عَلَيْهِمْ أَشَدُّ مِنَ الْمُطَاوَلَةِ عَلَيْكُمْ فَدَعْهُمْ وَقَاتِلْ مَنْ أَتَاكَ مِنْهُمْ “Mereka yakni musuh telah terkepung di dalam benteng-benteng, dan pengepungan ini telah berjalan cukup lama. Hal ini pun telah lebih memberatkan dan menyulitkan musuh dibandingkan pasukan Islam. Maka dari itu, kini biarlah berjalan seperti demikian, dan pengepungan ini supaya terus dilanjutkan. Perangi saja yang keluar dari antara mereka.” Namun usulan ‘Amru bin Tsunay’ ini tidak disetujui oleh majelis.
Setelahnya, ‘Amru bin Ma’dikarb berkata, نَاهِدْهُمْ وَكَابِرْهُمْ وَلَا تَخَفْهُمْ “Tiada yang perlu ditakuti dan dikhawatirkan. Seranglah musuh dengan kekuatan penuh.” Namun pendapat ini pun ditolak.
Mereka yang berpengalaman menolak seraya berkata, إِنَّمَا يُنَاطِحُ بِنَا الْجُدْرَانَ وَهِيَ أَعْوَانٌ عَلَيْنَا “Seandainya kita maju menyerang, kita tidak melawan manusia, tetapi kita akan berhadapan dengan dinding-dinding bangunan. Dinding-dinding ini membantu musuh dalam menghadapi kita.” (yakni sebenarnya musuh tidaklah tertutup di benteng, tapi ada di hadapan kita).
Atas hal ini Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi berdiri dan berkata, أَرَى أَنْ نَبْعَثَ خَيْلًا لِيُنْشِبُوا الْقِتَالَ، فَإِذَا اخْتَلَطُوا بِهِمْ رَجَعُوا إِلَيْنَا اسْتِطْرَادًا، فَإِنَّا لَمْ نَسْتَطْرِدْ لَهُمْ فِي طُولِ مَا قَاتَلْنَاهُمْ، فَإِذَا رَأَوْا ذَلِكَ طَمِعُوا وَخَرَجُوا فَقَاتَلْنَاهُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ فِيهِمْ وَفِينَا مَا أَحَبَّ “Menurut saya, pendapat keduanya tidaklah tepat. Saran saya adalah, kirimkanlah satu barisan ringkas ke hadapan musuh. Setelah dekat, mereka akan menghujani anak panah untuk menyulut pertempuran. Untuk menghadapi mereka, musuh pun akan keluar dan bertempur dengan barisan kita tersebut. Saat itu, hendaknya barisan kita mulai mundur seolah-olah menerima kekalahan. Diharapkan musuh akan menyeruak keluar karena tamak akan kemenangan mereka. Tatkala mereka tiba di medan terbuka, kita akan menundukkan mereka dengan sekuat tenaga.”
Hadhrat Nu’man menyetujui saran ini dan mengamanatkan kepada Hadhrat Qa’qa’ agar melaksanakan keputusan ini. Mereka menjalankan saran Thulaihah ini, dan sungguh demikianlah yang terjadi sebagaimana gambaran Thulaihah sebelumnya. Qa’qa’ berangsur-angsur mengalami kekalahan dan terus menerus mundur, sementara itu musuh semakin menjadi-jadi melihat kemenangan mereka, hingga mereka semua pun keluar dari benteng-benteng mereka, dan hanya prajurit yang bertugas menjaga gerbanglah yang tetap berada di dalam di tempat aman mereka.
Laskar musuh keluar dari posisi-posisi tetap dan aman mereka lalu maju hingga telah sedemikian dekat dengan pasukan utama Islam, hingga panah mereka pun sampai melukai sebagian prajurit Muslim, namun Hadhrat Nu’man masih belum memberi izin untuk melakukan serangan umum.
Hadhrat Nu’man adalah pecinta Rasul, dan kebiasaan Rasulullah (saw) adalah, jika perang tidak dimulai di pagi hari, maka beliau akan maju berperang di waktu matahari telah tergelincir (menjelang sore hari) tatkala terik telah berkurang, dan udara sejuk mulai berhembus.
Beberapa prajurit Muslim telah tidak sabar untuk bertempur. Gelora mereka ini semakin bertambah tatkala menyaksikan beberapa orang Muslim yang terluka akibat hujan panah musuh. Mereka datang ke hadapan panglima pasukan untuk meminta izin, namun panglima mereka bersabda, رويدا رويدا “Tunggulah sejenak! [Perlahan-lahan atau bertahap!]”
Hadhrat Mughirah bin Syu’bah telah semakin gelisah dan berkata, لو كنت بمنزلتك باكرتهم القتال “Jika saya seperti Anda yang mempunyai wewenang memerintah, akan saya segerakan untuk maju melawan.”
Nu’man menjawab, رويدا ترى أمرك، وقد كنت تلي الأمر فتحسن، فلا يخذلنا اللَّه ولا إياك، ونحن نرجو في المكث مثل الذي ترجو في الحث “Bersabarlah sedikit lagi. Sungguh ketika Anda sebagai Amir, Anda mengerjakannya dengan sangat baik. Tatkala Anda sebagai Amir, Anda menjalankannya dengan sangat baik. Kini pun Tuhan tidak akan membiarkan kami beserta Anda terhina. Apa yang ingin Anda raih dengan cepat, kami berharap dapat meraihnya dengan bersabar.”
Ketika hari mulai sore, Hadhrat Nu’man (ra) dengan menunggang kuda mengelilingi seluruh pasukan dan berdiri di setiap bendera. Beliau menyampaikan pidato yang menggelora dan dengan kata-kata yang sangat memilukan beliau berdoa untuk kesyahidan beliau, yang dengan mendengarnya orang-orang mulai menangis.
Setelah itu beliau memberikan petunjuk, “Kumandangkanlah takbir sebanyak tiga kali dan bersamaan dengan itu kibarkanlah juga bendera. فإذا قضيت أمري فاستعدوا فإني مكبر ثلاثا، فإذا كبرت التكبيرة الأولى فليتهيأ من لم يكن تهيأ، فإذا كبرت الثانية فليشد عليه سلاحه، وليتأهب للنهوض، فإذا كبرت الثالثة، فإني حامل إن شاء اللَّه فاحملوا معا Di takbir pertama setiap orang bersiaga. Di takbir kedua, rabalah senjata, yakni siapkanlah senjata dan bersiaga penuh untuk menggempur musuh. Lalu bersamaan dengan mengumandangkan takbir ketiga dan mengibarkan bendera, saya akan berderap menuju barisan musuh. Setiap dari kalian harus menyerang barisan yang ada di hadapan barisan kalian.” Setelah itu beliau berdoa, اللَّهُمَّ أَعْزِزْ دِينَكَ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ، وَاجْعَلِ النُّعْمَانَ أَوَّلَ شَهِيدٍ الْيَوْمَ عَلَى إِعْزَازِ دِينِكَ وَنَصْرِ عِبَادِكَ “Ya Allah! Anugerahkanlah kehormatan pada agama Engkau, tolonglah hamba-hamba Engkau dan sebagai gantinya, anugerahkanlah kesyahidan yang pertama bagi Nu’man”. Panglima pasukan berdoa demikian. Hadhrat Nu’man (ra) mengumandangkan takbir ketiga sehingga kaum Muslimin menyerbu barisan-barisan musuh.
Perawi menuturkan, “Ketika itu semangat menggelora sedemikian rupa sehingga seorang pun tidak ada yang menghiraukan apakah mereka akan mati atau kembali tanpa meraih kemenangan. Hadhrat Nu’man (ra) dengan membawa bendera melesat cepat menyerbu musuh, sehingga tampak kepada orang yang melihatnya seolah itu bukanlah bendera, melainkan seekor elang yang menyambar. Singkatnya, kaum Muslimin menyerang secara serentak dengan menghunus pedang, namun barisan-barisan musuh pun berdiri dengan kokoh di hadapan gelombang serangan ini. Timbul kebisingan hebat dari suara besi yang beradu dengan besi.
Kuda-kuda pasukan Muslim tergelincir dikarenakan darah yang mengalir di tanah. Hadhrat Nu’man (ra) terluka di medan perang. Kuda beliau pun tergelincir dan beliau terjatuh ke tanah. Beliau tampak menonjol dikarenakan pakaian dan penutup kepala beliau yang berwarna putih.
Ketika melihat beliau terjatuh, saudara beliau, Hadhrat Nu’aim bin Muqarrin (ra) dengan sangat cekatan mengambil bendera sesaat sebelum terjatuh dan menutupi tubuh Hadhrat Nu’man (ra) dengan kain. Hadhrat Nu’aim (ra) lalu membawa bendera tersebut dan menghampiri Hadhrat Hudzaifah bin Yaman (ra) yang merupakan wakil Hadhrat Nu’man (ra) serta memberikannya kepadanya. Hadhrat Hudzaifah (ra) mengajak Hadhrat Nu’aim (ra) ke tempat di mana Hadhrat Nu’man (ra) berada dan di tempat itu bendera ditancapkan dan dikibarkan. Dan berdasarkan saran dari Hadhrat Mughirah (ra) kewafatan Hadhrat Nu’man (ra) dirahasiakan hingga peperangan berakhir.”[14]
Dalam Al-Akhbaar Al-Thiwaal tertulis bahwa ketika Hadhrat Nu’man bin Muqarrin (ra) terjatuh karena terluka, saudara beliau mengangkatnya dan membawanya ke tenda, lalu beliau sendiri memakai pakaian Hadhrat Nu’man (ra), kemudian membawa pedangnya dan menunggangi kudanya sehingga banyak orang menyangka bahwa beliau adalah Hadhrat Nu’man (ra).
Sejarawan Thabari menulis, “Dalam kesempatan yang sangat rawan itu, ini adalah satu contoh indah ketaatan kepada pemimpin. Hadhrat Nu’man (ra) mengumumkan bahwa jika beliau terbunuh sekalipun, janganlah ada yang meninggalkan peperangan dan mengalihkan perhatian pada jasad beliau, melainkan teruslah berperang melawan musuh.
Ma’qal menuturkan, ‘Ketika Hadhrat Nu’man (ra) terjatuh, saya menghampiri beliau, kemudian saya teringat akan perintah beliau dan kembali berperang. Singkatnya, pertempuran berlangsung dengan sengit sepanjang hari, namun ketika memasuki malam hari musuh mengalami kekalahan dan medan peperangan jatuh ke tangan kaum Muslimin, dan banyak pemimpin besar Iran yang tewas terbunuh.’
Ma’qal menuturkan, ‘Setelah meraih kemenangan saya menghampiri Hadhrat Nu’man (ra). Beliau masih bernafas. Saya mencuci wajah beliau dengan air dari kantung air saya. Beliau menanyakan nama saya dan bertanya mengenai keadaan kaum Muslimin. Saya mengatakan, ‘Ada kabar gembira kemenangan dan pertolongan dari Allah Ta’ala bagi anda.’ Beliau bersabda, ‘Alhamdulillah. Sampaikan ini kepada Hadhrat ‘Umar (ra).’
Hadhrat ‘Umar (ra) sangat menanti-nanti hasil peperangan. Pada malam di mana diperkirakan terjadi peperangan, di malam tersebut Hadhrat ‘Umar (ra) terjaga dengan sangat gelisah dan sibuk berdoa dengan rintihan yang sedemikian rupa, layaknya penderitaan seorang wanita yang tengah melahirkan. Utusan yang membawa kabar gembira kemenangan ini tiba di Madinah. Hadhrat ‘Umar (ra) mengucapkan alhamdulillah dan menanyakan kabar Hadhrat Nu’man (ra). Utusan itu menyampaikan kabar kewafatan beliau sehingga Hadhrat ‘Umar (ra) sangat sedih dan menangis sambil memegang kepala. Utusan itu menyebutkan nama para syuhada lainnya dan mengatakan, وَآخَرِينَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لا تَعْرِفُهُمْ ‘Wahai Amiirul Mu’miniin! Masih banyak lagi Muslim lainnya yang syahid yang Anda tidak mengenalnya.’
Hadhrat ‘Umar (ra) sambil menangis mengatakan, لا يَضُرُّهُمْ أَلا يَعْرِفَهُمْ عُمَرُ، وَلَكِنَّ اللَّهَ يَعْرِفُهُمْ. ‘Jika ‘Umar tidak mengenal mereka, maka tidak ada ruginya bagi mereka. Allah Ta’ala pasti mengenal mereka. Meskipun di antara orang-orang Islam itu ada yang tidak dikenal, namun Allah Ta’ala memberikan kesaksian terhadap mereka dan memberikan kehormatan pada mereka. Allah Ta’ala mengenal mereka, apa perlunya mereka dikenal ‘Umar.’”[15]
Setelah pertempuran, kaum Muslimin mengejar musuh hingga ke Hamedan. Melihat ini, Khusrau Shanum, pemimpin Iran melakukan perjanjian damai dari pihak kota Hamedan (همذان) dan Rustagi (رستغي) dengan jaminan bahwa orang-orang Islam tidak akan diserang dari kota-kota ini. Laskar Islam mengambil alih kota Nahawand. Penaklukkan Nahawand ditinjau dari sisi pengaruhnya sangatlah penting. Setelah itu orang-orang Iran tidak mendapatkan kesempatan berkumpul di satu tempat untuk melakukan perlawanan dan Kaum Muslimin mengenang kemenangan ini dengan istilah Fathul Futuuh (فتح الفتوح).
Mengenai bagaimana diusulkannya pengerahan pasukan dalam skala penuh ke Iran, tertulis bahwa meskipun dari sudut pandang akhlak dan keabsahan, Kaum Muslimin sah secara hukum untuk menghancurkan kekuatan kerajaan yang invasif karena musuh berulangkali melakukan serangan, namun hati Hadhrat ‘Umar (ra) yang penuh simpati pada setiap kesempatan selalu berusaha menghindari pertumpahan darah. Hadhrat ‘Umar (ra) tidak menyukai hal ini dan hati dari Khaadim sejati Sang Rahmatan lil ‘aalamiin (saw) ini menginginkan supaya setelah setelah mengalami kekalahan di wilayah perbatasan, kerajaan Iran akan menghentikan pengerahan pasukan lebih lanjut, dan rangkaian peperangan ini bisa berakhir. Hadhrat ‘Umar (ra) tidak hanya mengungkapkan keinginan ini berulangkali, bahkan beliau melarang sepenuhnya untuk melakukan serangan sepihak kepada pasukan Iran dan Irak.
Tetapi, disebabkan musuh melakukan aksi militer lebih lanjut dan berkali-kali memicu pemberontakan di wilayah yang ditaklukkan, keinginan beliau ini tidak dapat terwujud. Setelah berdiskusi dengan seorang utusan yang datang dari medan pertempuran, beliau sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada pilihan selain mengambil tindakan militer lebih lanjut. Ini terjadi pada 17 Hijriah. Meskipun demikian, hingga suatu jangka masa yang panjang beliau tidak mengizinkan pasukan untuk maju lebih jauh. Namun, sekarang situasi tidak lagi mengizinkan untuk terus bersabar.
Hadhrat ‘Umar (ra) melihat Yazdegerd (Kisra atau Raja Iran di wilayah yang belum dikuasai pihak Muslim) setiap tahun terus-menerus mengirimkan pasukan dan menjadi penyebab berkobarnya api peperangan. Orang-orang berulang kali memohon ke hadapan beliau bahwa, selama ia masih eksis di kerajaannya, keadaan ini tidak akan berubah, dan sekarang perang Nahawand telah semakin memperkuat pendapat ini. Terpaksa karena keadaan ini, setelah pertempuran Nahawand pada 21 Hijriah, Hadhrat ‘Umar (ra) mengizinkan pengerahan pasukan dan membuat rencana untuk penaklukkan seluruh Iran lalu berangkat menuju Kufah yang berkedudukan sebagai pangkalan untuk akitifitas pertempuran tersebut.
Hadhrat ‘Umar (ra) menetapkan komandan yang berbeda-beda untuk setiap wilayah Iran dan mengirimkan bendera untuk mereka dari Madinah. Beliau sendiri memerintahkan membuat bendera tersebut dan mengirimkannya ke wilayah peperangan. Bendera Khurasan (لِوَاءَ خُرَاسَانَ) diberikan kepada Ahnaf bin Qais (الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ), bendera Estakhar (لِوَاءَ إِصْطَخْرَ) kepada Utsman bin Abil ‘Ash ats-Tsaqafi (عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ الثَّقَفِيِّ), bendera Ardashir dan Shapur (لِوَاءَ أَرْدَشِيرَ خُرَّهْ وَسَابُورَ) kepada Mujasyi’ bin Mas’ud as-Sulami (مُجَاشِعِ بْنِ مَسْعُودٍ السُّلَمِيِّ), bendera Fasa dan Darabagerd (لِوَاءَ فَسَا وَدَارَابَجِرْدَ) kepada Sariyah bin Zanim al-Kinani (سَارِيَةَ بْنِ زُنَيْمٍ الْكِنَانِيِّ), bendera Sijistan (لِوَاءَ سِجِسْتَانَ) kepada ‘Ashim bin ‘Amru (عَاصِمِ بْنِ عَمْرٍو), bendera Mukran (لِوَاءَ مُكْرَانَ) dikirimkan kepada Hakam bin Amru (الْحَكَمِ بْنِ عُمَيْرٍ التَّغْلِبِيِّ) dan bendera Kerman (لِوَاءَ كَرْمَانَ) diberikan kepada Suhail bin ‘Adi (سُهَيْلِ بْنِ عَدِيٍّ).
Untuk penaklukkan Azerbaijan, beliau mengirimkan bendera kepada Utbah bin Farqad dan Bakir bin Abdullah dan memerintahkan supaya hendaknya menyerang Azerbaijan dari arah kanan dari Hulwan dan dari arah kiri dari Moshul. Bendera pertempuran Isfahan diserahkan kepada Abdullah bin Abdullah bin ‘Itban (عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِتْبَانَ).[16]
Tertulis mengenai penaklukkan Isfahan sebagai berikut, “Operasi militer ke Isfahan diserahkan kepada Abdullah bin Abdullah bin ‘Itban (عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِتْبَانَ). Beliau berada di Nahawand ketika datang surat dari Hadhrat ‘Umar (ra) bahwa, “Pergilah ke Isfahan dan jadikanlah Abdullah bin Waraqah ar-Raihai (عبد الله بن ورقة الريحائي) sebagai komandan pasukan pertama. Serahkan komandan pasukan sayap kepada Abdullah bin Waraqah al-Asadi (عبد الله بن ورقة الأسدي) dan Ashamah bin Abdullah (عصمة بن عبد الله).” Abdullah lalu berangkat.
Di pinggir kota terjadi perlawanan dari satu laskar Isfahan yang dipimpin oleh Komandan Iran bernama Istindar (استندار). Komandan dari pasukan pertama musuh adalah seorang lelaki tua berpengalaman yang bernama Shahrban Baraz Jazwiyah (شهر بن براز جازويه). Ia membawa pasukannya melawan kaum Muslimin. Terjadilah pertempuran yang sengit. Jazwiyah menyerukan tantangan. Abdullah bin Waraqah berhasil membunuhnya. Setelah pertempuran yang sengit musuh mengalami kekalahan dan melarikan diri dan Panglima Istindar melakukan perjanjian damai dengan Abdullah bin Abdullah bin ‘Itban (عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِتْبَانَ).
Laskar Islam menuju ke pusat kota Isfahan yang dikenal sebagai Jay (“جي“) dan mengepung kota itu. Pada suatu hari pemimpin kota ini yang bernama Fadzusfan (فاذوسفان) keluar dan mengatakan kepada Abdullah bin Abdullah bin ‘Itban (عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِتْبَانَ), Panglima laskar, “Daripada peperangan antara bala tentara kita, lebih baik jika kita berduel satu sama lain, siapa yang unggul atas lawannya maka ia akan dianggap sebagai pemenang.” Abdullah menerima usulan ini dan mengatakan, “Kamu atau saya yang akan menyerang pertama?”
Fadzusfan mendahului menyerang, Abdullah berdiri kokoh di depannya dan tebasan musuh hanya memotong pelana kuda beliau. Abdullah duduk dengan kokoh di atas punggung kuda tidak berpelana dan sebelum menyerang mengatakan kepadanya, “Sekarang diamlah.”
Fadzusfan mengatakan, “Anda adalah seorang yang ahli, cerdas dan pemberani. Saya bersedia untuk berdamai dengan Anda dan menyerahkan kota kepada anda.” Maka terjadilah perjanjian damai dan umat Islam mengambil alih kota. Dari Thabari diketahui bahwa peristiwa ini terjadi pada 21 Hijriah.
Seorang sejarawan, Baladzuri menyebut nama Abdullah bin Budail bin Warqa al-Khuza’i (عبد الله بن بديل بن ورقاء الخزاعي) sebagai pimpinan laskar Islam yang ikut serta dalam perang ini, bukan Abdullah bin Abdullah bin ‘Itban (عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِتْبَانَ). Namun sejarawan Thabari menulis bahwa sebagian orang telah mencampur-baurkan antara Abdullah bin Warqa al-Asadi (عبد الله بن ورقاء الأسدي) yang ikut serta dalam perang ini sebagai komandan pasukan sayap dengan Abdullah bin Budail bin Warqa al-Khuza’i. Padahal Abdullah bin Budail bin Warqa al-Khuza’i masih berusia belia di masa Hadhrat ‘Umar (ra) dan ketika terbunuh di perang Shiffin di zaman Khalifah ‘Ali (ra) masih berusia 24 (dua puluh empat) tahun. [17]
Mengenai pemberontakan di Hamedan dan penaklukkan yang kedua. Setelah Nahawand, umat Islam juga menaklukkan Hamedan. Meskipun demikian, orang-orang Hamedan melanggar perjanjian damai dan setelah mendapatkan bantuan pasukan dari Azerbaijan, mereka menyiapkan pasukan. Hadhrat ‘Umar (ra) memerintahkan Hadhrat Nu’aim bin Muqarrin (نعيم بن مقرن) (ra) untuk pergi ke sana beserta 12 ribu pasukan. Setelah pertempuran yang sengit umat Islam berhasil menaklukkan kota tersebut.
Hadhrat ‘Umar (ra) sangat mengkhawatirkan hasil dari pertempuran ini. Seorang utusan datang membawa kabar gembira kemenangan. Melaluinya, Hadhrat ‘Umar (ra) mengirimkan perintah kepada Nu’aim bin Muqarrin (ra), “Tetapkanlah seseorang sebagai wakil Anda di Hamedan, pergilah ke Ray [sering ditulis Rey juga] dan kalahkanlah pasukan yang ada di sana dan tinggallah di Ray, karena kota ini memiliki kedudukan sebagai pusat dari semua wilayah.”
Bagaimanapun, riwayat ini beserta pertempuran-pertempuran dan penaklukkan-penaklukkan lainnya yang terjadi di masa Hadhrat ‘Umar (ra) masih akan terus berlanjut. Insya Allah akan disampaikan pada kesempatan mendatang.
Sekarang saya akan sampaikan riwayat beberapa Almarhum dan saya juga akan memimpin shalat jenazah mereka setelah shalat Jumat. Yang pertama adalah Muhammad Diantono Sahib, dari Indonesia yang wafat pada 15 Juli 2021 di usia 46 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Istri beliau menulis, “Almarhum terlahir di keluarga non-Ahmadi, namun dari sejak kecil Almarhum gemar pergi ke masjid dan terlihat berbeda dengan anak-anak lainnya. Beliau menyukai berlama-lama di masjid, menimba ilmu agama dan berdzikr ilahi.”
Istri Almarhum menuturkan, “Bagi beliau, ini semua adalah kenikmatan yang hakiki untuk meraih kedekatan dengan Allah Ta’ala. Di kampung ada seorang kawan beliau yang Ahmadi. Ketika mereka belajar di SMA, beliau mengetahui tentang Jema’at dari kawan tersebut. Beliau baiat di Jemaat Ciledug, Cirebon. Ketika ayah beliau mengetahui beliau telah baiat, ia sangat marah kepada beliau dan mengusirnya dari rumah, karena beranggapan bahwa anaknya telah sesat. Pintu rumah pun tidak dibukakan untuk beliau. Beliau terpaksa tidur di luar. Ini berlangsung hingga beberapa lama. Kemudian keluarga memaafkan dan beliau mulai diperbolehkan masuk ke rumah lagi. Singkatnya, pada 1997 pengurus Jemaat lokal mengusulkan beliau untuk masuk Jamiah karena menurut mereka beliau layak menjadi mubaligh. Sejak muda beliau gemar bertabligh.
Singkatnya, beliau lalu masuk Jamiah dan pada 2002 beliau lulus dari Jamiah. Penugasan pertama beliau adalah di Jema’at Jeneponto. Karena beliau gemar bertabligh, beliau biasa pergi ke kampung-kampung bersama para Da’i. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau mendapatkan taufik untuk membaiatkan ratusan orang di satu kampung dan ketika dimulai pembangunan masjid, maka beliau sendiri ikut mengerjakan. Pada saat itu di cabang tersebut belum ada rumah misi.”
Istri beliau menuturkan, “Saya ingat, kami tingal di satu rumah yang sangat sederhana. Begitu sederhana dan di rumah tidak ada perabotan. Hanya ada satu selimut, satu bantal dan sehelai tikar untuk tidur. Dan panci untuk memasak makanan, dengan itu lah semuanya dilakukan, memasak makanan, air dsb. Suatu hari, Raisuttabligh Sayuti Aziz Sahib dan Mubaligh Daerah Saiful Uyun Sahib datang ke rumah kami. Mereka terheran-heran melihat keadaan rumah kami. Singkatnya, setelah itu Jemaat Jeneponto mengajukan permohonan ke pusat untuk pembangunan rumah misi dan dibangunlah rumah misi. Setelah itu dibangun juga masjid di sana.
Sebelumnya para Ahmadi biasa shalat di masjid Jami’ di sana bersama orang-orang, kemudian dikarenakan terjadi penentangan, mereka tidak diperbolehkan lagi shalat di sana. Lalu mereka melaksanakan shalat di satu rumah dan begitu banyak rintangan untuk membangun masjid. Mereka berencana untuk membangun masjid. Para tukang bangunan menolak untuk bekerja. Ketua kampung mengancam bahwa ia tidak akan membiarkan masjid itu dibangun.
Bagaimana pun, meskipun adanya rintangan-rintangan tersebut, mereka tidak berputus asa dan dengan tekad yang kuat mereka terus melanjutkan pembangunan masjid, dan jika tidak ada buruh/tukang maka dilaksanakan wiqari amal dengan para khudam dan athfal, bahkan anak-anak ghair Ahmadi yang memiliki hubungan yang baik pun ikut serta dalam wiqari amal. Akhirnya masjid selesai dibangun.”
Istri beliau menuturkan, “Ketika bertugas di Jakarta, terjadi banyak penentangan juga di sana. Namun suatu kali terjadi banjir di sana, maka para ghair Ahmadi yang biasa menentang itu datang ke masjid untuk berlindung dan selama dua tahun berturut-turut terjadi banjir dan orang-orang ini biasa mengungsi ke masjid kami. Di satu sisi mereka menentang, di sisi lain mereka datang untuk berlindung. Kemudian penentangan mereda.
Di antara jasa beliau yang menonjol adalah beliau membuat pengaturan penyampaian pesan Jema’at dan siaran langsung terjemah khutbah Khalifah-e-waqt melalui radio internet. Pada masa itu belum ada terjemah langsung Khutbah melalui YouTube.”
Singkatnya, beliau banyak melakukan pengkhidmatan semasa hidupnya dan beliau seorang mubaligh teladan. Selain istri, beliau meninggalkan 5 orang anak. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau dan meninggikan derajat beliau. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik kepada keturunan beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.
Jenazah kedua, Sahibzadah Farhan Latif Sahib, dari Chicago Amerika yang wafat beberapa waktu yang lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Almarhum adalah cicit dari Almarhum Hadhrat Sahibzada Abdul Latif Sahib Syahid. Almarhum seorang anggota aktif di Jema’at Chicago. Beliau setiap saat selalu siap untuk membantu dan berkhidmat. Selalu tersenyum dan mendahului salam adalah sifat istimewa beliau. Jika di masjid ada pekerjaan, baik itu kecil maupun besar, beliau senantiasa mengatakan labaik untuk itu dan selalu berada di barisan terdepan dalam pengkhidmatan. Beliau melaksanakan tanggung jawab sebagai auditor di Jemaat Chicago dengan sangat baik. Almarhum seorang mushi. Beliau meninggalkan 3 anak yang masih kecil dan kedua orang tua yang sudah sepuh. Beliau wafat di usia 45 tahun. Semoga Allah memberikan maghfiroh dan rahmat-Nya dan senantiasa menjaga anak-anak beliau tetap menjalin ikatan dengan Jemaat.
Jenazah selanjutnya, Malik Mubashir Ahmad Sahib dari Lahore yang wafat telah cukup lama, yaitu pada 21 November, namun belum dilaksanakan shalat jenazahnya. Putra beliau menulis supaya dipimpin shalat jenazah beliau. Beliau adalah putra dari Hadhrat Maulana Ghulam Farid Sahib (ra), seorang sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan seorang ahli tafsir. Selain sebagai Ketua Jema’at di Daud Khel, Distrik Mianwali, beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat di berbagai jabatan dalam Jema’at di Haidarabad. Beliau juga mendapatkan kesempatan berkhidmat dalam penyempurnaan kamus Al-Qur’an yang beliau susun bersama adik beliau atas petunjuk dari Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) setelah kewafatan Malik Ghulam Farid Sahib. Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan rahmat-Nya kepada beliau.
Saya akan melaksanakan shalat jenazah mereka semua setelah shalat Jum’at.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq.
Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Tarikh al-Kaamil bahasan perdamaian Jundisapur (ذكر مُصَالَحَةِ جُنْدَيْسَابُورَ) menyebutkan nama hamba sahaya itu ialah Maktsaf (مَكْثَفً): وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ سَارَ الْمُسْلِمُونَ عَنِ السُّوسِ فَنَزَلُوا بِجُنْدَيْسَابُورَ، وَزِرُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ مُحَاصِرُهُمْ، فَأَقَامُوا عَلَيْهَا يُقَاتِلُونَهُمْ، فَرُمِيَ إِلَى مَنْ بِهَا مِنْ عَسْكَرِ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَمَانِ، فَلَمْ يَفْجَأِ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا وَقَدْ فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَأَخْرَجُوا أَسْوَاقَهُمْ وَخَرَجَ أَهْلُهَا، فَسَأَلَهُمُ الْمُسْلِمُونَ، فَقَالُوا: رَمَيْتُمْ بِالْأَمَانِ فَقَبِلْنَاهُ وَأَقْرَرْنَا بِالْجِزْيَةِ. فَقَالُوا: مَا فَعَلْنَا! وَسَأَلَ الْمُسْلِمُونَ فَإِذَا عَبْدٌ يُدْعَى مَكْثَفًا كَانَ أَصْلُهُ مِنْهَا فَعَلَ هَذَا، فَقَالُوا: هُوَ عَبْدٌ. فَقَالَ أَهْلُهَا: لَا نَعْرِفُ الْعَبْدَ مِنَ الْحُرِّ، وَقَدْ قَبِلْنَا الْجِزْيَةَ وَمَا بَدَّلْنَا، فَإِنْ شِئْتُمْ فَاغْدِرُوا. فَكَتَبُوا إِلَى عُمَرَ فَأَجَازَ أَمَانَهُمْ، فَآمَنُوهُمْ وَانْصَرَفُوا عَنْهُمْ. .
[2] Al-Akhbar ath-Thiwal (الأخبار الطوال – الدينوري – الصفحة ١٣٤)
[3] al-Kaamil fit Taarikh (الكامل في التاريخ).
[4] al-Kaamil fit Taarikh (الكامل في التاريخ)
[5] Al-Akhbar ath-Thiwal dan al-Kaamil fit Taarikh.
[6] al-Kaamil fit Taarikh.
[7] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), tahun ke-21 Hijriyah atau 642 M (إحدى وعشرين), (مذكر الخبر عن وقعة المسلمين والفرس بنهاوند).
[8] Al-Akhbar ath-Thiwal.
[9] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), tahun ke-21 Hijriyah atau 642 M (إحدى وعشرين), (مذكر الخبر عن وقعة المسلمين والفرس بنهاوند), al-Kaamil fit Taarikh dan Al-Akhbar ath-Thiwal. Tercantum juga dalam Kitab pegangan kaum Syi’ah, Nahjul Balaghah (الكامل في التاريخ والأخبار الطوال ونهج البلاغة), bab perkataan beliau (‘Ali) kepada ‘Umar bin Khaththab tatkala bermaksud hendak memimpin sendiri perang ke Persia (ومن كلام له عليه السلام وقد استشاره عمر بن الخطاب في الشخوص لقتال الفرس بنفسه). NAHJUL BALAGHAH (Arabic-English), author: Allamah Sharif Razi, Publisher: www.al-islam.org: إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ لَمْ يَكُنْ نَصْرُهُ وَلَا خِذْلَانُهُ بِكَثْرَةٍ وَلَا بِقِلَّةٍ وَهُوَ دِينُ اللَّهِ الَّذِي أَظْهَرَهُ وَجُنْدُهُ الَّذِي أَعَدَّهُ وَأَمَدَّهُ حَتَّى بَلَغَ مَا بَلَغَ وَطَلَعَ حَيْثُ طَلَعَ وَنَحْنُ عَلَى مَوْعُودٍ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ مُنْجِزٌ وَعْدَهُ وَنَاصِرٌ جُنْدَهُ وَمَكَانُ الْقَيِّمِ بِالْأَمْرِ مَكَانُ النِّظَامِ مِنَ الْخَرَزِ يَجْمَعُهُ وَيَضُمُّهُ فَإِنِ انْقَطَعَ النِّظَامُ تَفَرَّقَ الْخَرَزُ وَذَهَبَ ثُمَّ لَمْ يَجْتَمِعْ بِحَذَافِيرِهِ أَبَداً وَالْعَرَبُ الْيَوْمَ وَإِنْ كَانُوا قَلِيلًا فَهُمْ كَثِيرُونَ بِالْإِسْلَامِ عَزِيزُونَ بِالِاجْتِمَاعِ فَكُنْ قُطْباً وَاسْتَدِرِ الرَّحَى بِالْعَرَبِ وَأَصْلِهِمْ دُونَكَ نَارَ الْحَرْبِ فَإِنَّكَ إِنْ شَخَصْتَ مِنْ هَذِهِ الْأَرْضِ انْتَقَضَتْ عَلَيْكَ الْعَرَبُ مِنْ أَطْرَافِهَا وَأَقْطَارِهَا حَتَّى يَكُونَ مَا تَدَعُ وَرَاءَكَ مِنَ الْعَوْرَاتِ أَهَمَّ إِلَيْكَ مِمَّا بَيْنَ يَدَيْكَ إِنَّ الْأَعَاجِمَ إِنْ يَنْظُرُوا إِلَيْكَ غَداً يَقُولُوا هَذَا أَصْلُ الْعَرَبِ فَإِذَا اقْتَطَعْتُمُوهُ اسْتَرَحْتُمْ فَيَكُونُ ذَلِكَ أَشَدَّ لِكَلَبِهِمْ عَلَيْكَ وَطَمَعِهِمْ فِيكَ فَأَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ مَسِيرِ الْقَوْمِ إِلَى قِتَالِ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ هُوَ أَكْرَهُ لِمَسِيرِهِمْ مِنْكَ وَهُوَ أَقْدَرُ عَلَى تَغْيِيرِ مَا يَكْرَهُ وَأَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ عَدَدِهِمْ فَإِنَّا لَمْ نَكُنْ نُقَاتِلُ فِيمَا مَضَى بِالْكَثْرَةِ وَإِنَّمَا كُنَّا نُقَاتِلُ بِالنَّصْرِ وَالْمَعُونَةِ . Nahjul Balāghah adalah sebuah kitab yang meliputi pidato-pidato, surat-surat dan kalimat-kalimat pendek yang dianggap penyusunnya dari Hadhrat Ali (ra). Kompilator atau pengumpulnya ialah Muhammad bin Abi Ahmad Hasani (l. 359 H/970 – w. 406 H/1015) yang bergelar Syarif Radhi (الشريف الرضي) dan terkenal dengan sebutan Sayid Radhi merupakan salah satu ulama besar Syiah dan seorang penyair terkemuka pada zamannya.
[10] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), tahun ke-21 Hijriyah atau 642 M (إحدى وعشرين), peristiwa di Nahawand (مذكر الخبر عن وقعة المسلمين والفرس بنهاوند).
[11] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٣ – الصفحة ٢٠٣).
[12] Al-Akhbar ath-Thiwal.
[13] Ibn al-Athīr (d. 1233 CE) – Usd al-ghāba fī maʿrifat al-ṣaḥāba (ابن الأثير – أسد الغابة): أن استعن في حربك بطليحة، وعمرو بْن معديكرب، واستشرهما في الحرب، ولا تولهما من الأمر شيئًا، فإن كل صانع أعلم بصناعته. Tercantum juga dalam karya Ibn ʿAbd al-Barr (d. 1071 CE) – al-Istīʿāb fī maʿrifat al-ṣaḥāba (ابن عبد البر – الاستيعاب في معرفة الصحابة) bahasan tentang Thulaihah (طليحة بن خويلد الأسدي): استشر واستعن في حربك بطليحة، وعمرو بن معديكرب، ولا تولهما من الأمر شيئا، فإن كل صانع أعلم بصناعته. Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi adalah pemuka Banu Asad dan terkenal penentang keras Islam. Dia masuk Islam di akhir hidup Nabi (saw). Di masa Khalifah Abu Bakr (ra) ia termasuk salah seorang pemimpin kaum murtad (menyatakan keluar dari Islam). Bahkan, mengaku Nabi. Setelah dikalahkan, ia melarikan diri ke Syam. Di zaman Khalifah ‘Umar (ra) ia masuk Islam kembali. Menurut buku “Kelengkapan Tarich Nabi Muhammad saw” karya Moenawar Cholil, Thulaihah syahid di perang Nahawand ini. ‘Amru bin Ma’dikarb az-Zubaidi dan Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi dalam riwayat lain disebut oleh Khalifah ‘Umar setara dengan 1.000 orang dalam hal kemiliteran. Kedua orang ini syahid di Nahawand ini. Asy’ats bin Qais termasuk yang murtad di zaman Khalifah Abu Bakr (ra). Namun, ia masuk Islam kembali dan menikah dengan putri Hadhrat Abu Bakr (ra). Tercantum juga dalam Syarh Nahjul Balaghah karya Ibnu Abil Hadid (شرح نهج البلاغة – ابن أبي الحديد – ج ٩ – الصفحة ١٠١): وكان النعمان يومئذ بالبصرة، فكتب إليه عمر، فولاه أمر الجيش قال أبو جعفر: كتب إليه عمر: سر إلى نهاوند، فقد وليتك حرب الفيروزان – وكان المقدم على جيوش كسرى – فإن حدث بك حدث فعلى الناس حذيفة بن اليمان، فإن حدث به حدث، فعلى الناس نعيم بن مقرن، فإن فتح الله عليكم فاقسم على الناس ما أفاء الله عليهم، ولا ترفع إلى منه شيئا، وإن نكث القوم فلا تراني ولا أراك، وقد جعلت معك طليحة بن خويلد، وعمرو بن معد يكرب، لعلمهما بالحرب، فاستشرهما ولا تولهما شيئا . Ada banyak terjemahan dan syarh (komentar dan penjelasan) atas buku Nahjul Balāghah. Salah satunya ialah Syarh Nahjul Balaghah karya Ibnu Abil Hadid.
[14] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), tahun ke-21 Hijriyah atau 642 M (إحدى وعشرين), peristiwa di Nahawand (مذكر الخبر عن وقعة المسلمين والفرس بنهاوند).
[15] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), tahun ke-21 Hijriyah atau 642 M (إحدى وعشرين), (مذكر الخبر عن وقعة المسلمين والفرس بنهاوند).
[16] Usdul Ghaabah fi Ma’rifatish Shahaabah menyebutkan bahwa Abdullah bin Abdullah bin ‘Itban adalah seorang Sahabat Nabi (saw). Ia salah seorang komandan pasukan Muslim di Iran yang melakukan perjanjian tertulis antara kaum Muslimin dengan penduduk Jay: روى الحافظ أبو موسى بإسناده عن أبي الشيخ الحافظ قال: قال أهل التاريخ: عبد الله بن عبد الله بن عتبان، كان من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، وهو الذي كتب الصلح بين المسلمين وبين أهل جي .
[17] Warqa yang satu berasal dari kabilah Khuza’ah dan Warqa yang satu lagi dari Banu Asad. Perang Shiffin di jaman Khalifah ‘Ali (ra) terjadi pada tahun 37 H. Jadi, pada tahun 21 H, Abdullah bin Budail bin Warqa al-Khuza’i berusia 8 tahunan sehingga dalam narasi ini yang benar ialah sejarawan ath-Thabari yang menyebut nama pimpinan ialah Abdullah bin Abdullah bin ‘Itban. Baladzuri menyebut nama Abdullah bin Budail bin Warqa al-Khuza’i (عبد الله بن بديل بن ورقاء الخزاعي) sebagai pimpinan laskar Islam yang ikut serta dalam perang ini, bukan Abdullah bin Abdullah bin ‘Itban (عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِتْبَانَ).