Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 01 April 2022 (Syahadat 1401 Hijriyah Syamsiyah/ Sya’ban 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]
(آمين)
Kekacauan pada masa Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu tengah dibahas. Berkenaan dengan hal ini Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam bersabda dalam buku Sirrul Khilafah (سر الخلافة), وقال أيضا: ارتدت العرب عامّة وخاصة، واجتمع على طليحة عوامُّ طيءٍ وأسد، وارتدت غطفانُ، وتوقفت هوازن فأمسكوا الصدقة، وارتد خواص مِن بني سليم، وكذا سائر الناس بكل مكان. (صفحة65) “Dia – yaitu Ibnu Khaldun – menulis, ‘Orang-orang Arab dari kalangan umum dan khusus telah murtad. Orang-orang umum kalangan Thayy dan Banu Asad bersatu di bawah kepemimpinan Tulaihah. Banu Ghathfan murtad dan Banu Hawazin murtad. Mereka berhenti membayar zakat. Para pemimpin Banu Sulaim juga murtad. Begitu juga keadaannya sama di berbagai tempat.’ [1]
قال ابن الأثير في تاريخه : … وَارْتَدَّتِ الْعَرَبُ إِمَّا عَامَّةً أَوْ خَاصَّةً مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ، وَظَهَرَ النِّفَاقُ، وَاشْرَأَبَّتْ يَهُودُ وَالنَّصْرَانِيَّةُ، وَبَقِيَ الْمُسْلِمُونَ كَالْغَنَمِ فِي اللَّيْلَةِ الْمَطِيرَةِ؛ لِفَقْدِ نَبِيِّهِمْ، وَقِلَّتِهِمْ وَكَثْرَةِ عَدُوِّهِمْ. فَقَالَ النَّاسُ لِأَبِي بَكْرٍ: إِنَّ هَؤُلَاءِ – يَعْنُونَ جَيْشَ أُسَامَةَ – جُنْدُ الْمُسْلِمِينَ، وَالْعَرَبُ عَلَى مَا تَرَى قَدِ انْتَقَضَتْ بِكَ، فَلَا يَنْبَغِي أَنْ تُفَرِّقَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ عَنْكَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ ظَنَنْتُ أَنَّ السِّبَاعَ تَخْتَطِفُنِي لَأَنْفَذْتُ جَيْشَ أُسَامَةَ كَمَا أَمَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، ولا أردّ قضاءً قضى به رسول الله “Ibnu al-Atsir menulis di dalam Kitab Tarikhnya (buku sejarah karyanya), ‘Bangsa Arab sudah murtad, kemunafikan orang-orang dari kalangan umum dan khusus telah terlihat. Orang-orang Yahudi dan Kristen mulai mengangkat kepala mereka dan menyaksikannya (menonton pemandangan ini dengan penuh antusias). Keadaan umat Islam sedemikian rupa laksana kawanan kambing dan domba di malam penuh hujan (maksudnya, dalam keadaan mencekam dan mencari perlindungan) disebabkan oleh kewafatan Nabi mereka, jumlah mereka yang tinggal sedikit dan banyaknya jumlah musuh mereka.
Atas hal ini, orang-orang berkata kepada Abu Bakr, “Yang dianggap sebagai laskar oleh orang-orang hanyalah pasukan yang dipimpin oleh Usamah dan Anda pun menyaksikan orang-orang Arab telah memberontak kepada Anda. Jadi, tidaklah tepat jika anda memberangkatkan pasukan Muslim ini.”
Hadhrat Abu Bakr bersabda, “Saya bersumpah demi Dzat yang jiwa saya ada di dalam genggaman-Nya, sekalipun saya yakin sebagai akibatnya binatang buas akan mencabik-cabik saya, tetap saya akan mengirim pasukan Usamah sesuai dengan perintah Rasulullah (saw). Saya tidak dapat mengubah sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasulullah (saw).”’”[2]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, وقال عبد الله بن مسعود: لَقَدْ قُمْنَا بَعْدَ النبي مَقَامًا كِدْنَا أَنْ نهلك لو لا أن مَنَّ الله عَلَيْنَا بِأَبِي بَكْرٍ ، أَجْمَعْنَا عَلَى أَنْ نُقَاتِلَ عَلَى ابْنَةِ مَخَاضٍ وَابْنَةِ لَبُونٍ، وَأَنْ نَأْكُلَ قُرًى عَرَبِيَّةً، وَنَعْبُدَ اللَّهَ حَتَّى يَأْتِيَنَا الْيَقِينُ. (أيضا صفحة 142) “Abdullah Bin Mas’ud mengatakan, ‘Paska kewafatan Rasulullah (saw) kami berdiri pada satu tempat dimana jika Allah Ta’ala tidak berbuat ihsan (kebaikan) kepada kami dengan perantaraan Hadhrat Abu Bakr, hampir saja kami akan binasa. Beliau (ra) mengumpulkan kami agar berperang untuk mengumpulkan zakat Bintu Makhadh – unta betina yang berusia satu tahun – dan Bintu Labun – unta betina berusia 2 tahun- menghadapi kampung-kampung Arab dan terus beribadah kepada Allah hingga ajal menjemput.’”[3]
Berkenaan dengan yang tengah dibahas ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat diajukan pertanyaan bahwa Apakah di dalam Islam ditetapkan hukuman mati untuk orang yang murtad? Berkenaan dengan hal ini, saya akan jelaskan secara singkat.
Setelah kewafatan Nabi yang mulia (saw), lebih kurang seluruh Arab memilih untuk murtad, sebagian orang meninggalkan Islam secara terang-terangan dan sebagian lagi menolak untuk membayar zakat. Atas hal itu, Hadhrat Abu Bakr memerangi mereka semua. Dalam kitab sejarah dan Tarikh digunakan istilah Murtadin (مرتدون) untuk semua orang itu.
Hal ini menyebabkan para penulis Sirah (Biografi) dan ulama Tarikh (Sejarah) di kemudian hari mnjadi salah faham atau menjadi penyebab menyebarnya ajaran keliru yakni seolah-olah hukuman bagi orang yang murtad adalah hukuman mati karena Hadhrat Abu Bakr menyerukan jihad untuk menghadapi seluruh orang-orang murtad itu dan memerintahkan untuk membunuh mereka semua kecuali mereka baiat kembali masuk Islam. Dengan demikian, para ahli sejarah dan penulis Sirat menetapkan Hadhrat Abu Bakr sebagai pelindung Khatam Nubuwwat dan pahlawannya. Padahal pada hakikatnya pada masa Khilafat Rasyidin tidak ada pemikiran atau pandangan untuk melindungi akidah Khatamun Nubuwwat seperti itu dan tidak juga pedang diangkat untuk menghadapi mereka dikarenakan Khatam Nubuwwat dalam keadaan terancam dan tidak juga mereka (para pemberontak) dibunuh dikarenakan hukuman untuk orang-orang murtad adalah hukuman mati.
Rinciannya akan dijelaskan berikutnya. Kenapa diserukan perang untuk menghadapi mereka, akan dijelaskan lebih lanjut. Sebelum itu, perlu juga dijelaskan bahwa apakah Al Quran Karim dan Rasulullah (saw) menetapkan hukuman mati bagi orang yang murtad? Atau ada hukuman lain yang ditetapkan? Dalam terminologi Islami definisi murtad adalah orang yang berpaling dari Islam dan memilih kekufuran setelah masuk Islam. Jika kita membaca Al Quran, kita akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala dibanyak tempat memang menyebutkan perihal orang-orang yang murtad namun tidak menyebutkan adanya hukuman mati atau jenis hukuman duniawi tertentu. Berikut akan disampaikan beberapa ayat sebagai contoh: Ayat pertama, وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ “Dan barangsiapa di antara kamu berpaling dari agamanya lalu ia mati sedang ia masih dalam keadaan kafir, maka mereka itulah yang amalannya sia-sia di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni Api, mereka tinggal lama di dalamnya.” (Al-Baqarah, 2:218)[4] Dalam ayat ini dijelaskan bahwa barangsiapa yang murtad dari antara kamu dan pada akhirnya mati dalam keadaan kufur. Dari ini jelaslah bahwa hukuman bagi orang murtad bukanlah hukuman mati, karena jika memang hukumannya adalah hukuman mati, maka tidak akan disebutkan orang yang murtad yang pada akhirnya mati dalam keadaan kufur.
Selanjutnya difirmankan pada tempat lain, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman! Barangsiapa diantara kamu murtad dari agamanya maka Allah segera akan mendatangkan suatu kaum, Dia akan mencintai mereka dan mereka pun akan mencintai-Nya, mereka akan bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang beriman dan keras terhadap orang-orang kafir. Mereka akan berjihad di jalan Allah dan tidak takut akan celaan seorang pencela. Itulah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah Mahaluas karuniaNya, Maha Mengetahui.” (Al-Maidah, 5:55)
Dalam ayat ini pun dalam menyebutkan perihal orang orang yang murtad, diberikan kabar suka bagi orang-orang beriman bahwa sebagai balasan bagi orang-orang seperti itu, Allah Ta’ala akan menggantuinya dengan kaum lain. Namun tidak disebutkan bahwa hukuman bagi orang yang murtad adalah hukuman mati atau suatu hukuman lainnya.
Kemudian satu ayat lain yang dapat menjawab berbagai jenis keraguan dan pertanyaan, yaitu pada ayat berikut, surat An Nisa, difirmankan: إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلًا “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian kafir, kemudian beriman lagi, kemudian kafir, kemudian semakin bertambah dalam kekafiran, Allah tidak akan pernah mengampuni mereka dan tidak pula akan menunjuki mereka jalan lurus.” (An-Nisa, 4:138)
Disini dibantah dengan sangat jelas bahwa hukuman bagi orang yang murtad bukan hukuman mati dan ini jugalah yang dijelaskan didalam literatur-literatur kita dan para ahli tafsir pun menjelaskan hal itu. Hadhrat Khalifatul Masih Ar Rabi menjelaskan secara singkat dalam tarjamah Al Quran beliau, bersabda, “Ayat ini memberikan bantahan atas anggapan bahwa hukuman bagi orang murtad adalah hukuman mati. Karena itu difirmankan, ‘Jika ada yang murtad lalu beriman lagi lalu murtad lagi dan kemudian beriman lagi maka putusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala.’ Jika mati dalam keadaan kufur maka sudah lazim ia akan menjadi penghuni neraka Jahannam. Jika hukuman murtad adalah hukuman mati maka tidak akan dinyatakan berkali-kali perihal beriman dan kufur.”[5]
Selain itu, terdapat beberapa ayat lain dalam Al Quran Karim yang pada prinsipnya membantah anggapan hukuman mati bagi orang yang murtad. Sebagaimana difirmankan, وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا “Dan katakanlah, ‘Inilah kebenaran dari Tuhan-mu; maka barangsiapa menghendaki, maka berimanlah, dan barangsiapa menghendaki, maka ingkarlah.’ Sesungguhnya Kami telah menyediakan bagi orang-orang yang aniaya itu api dengan langitlangitnya mengepung mereka. Dan jika mereka berteriak minta tolong, mereka akan ditolong dengan air laksana leburan timah, yang akan menghanguskan wajah mereka. Alangkah buruknya minuman itu. Dan alangkah buruk tempat tinggal itu!” (Al-Kahfi, 18:30)
Dalam memberikan penolakan atas pemaksaan jenis apapun dalam beragama, Allah Ta’ala berfirman, لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan, karena itu barangsiapa ingkar kepada Tāghūt dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada suatu pegangan yang sangat kuat lagi tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.“ (Al-Baqarah, 2:257)
Beberapa ayat Al-Quran telah disampaikan sebagai contoh yang membantah adanya suatu jenis kekerasan, paksaan dan hukuman atas nama agama dan ketika menyebutkan perihal orang-orang murtad tidak menyebutkan jenis hukuman apapun, membimbing kita bahwa bagi orang-orang yang murtad, syariat Islam tidak menetapkan hukuman duniawi atau jasmani. Dalam mendukung ajaran Al Quran dan pandangan tersebut lebih lanjut dikatakan bahwa di dalam Al Quran Karim disebutkan perihal orang-orang Munafiq di berbagai tempat dan keburukan orang-orang munafik diterangkan sedemikian rupa banyaknya padahal keburukan orang-orang kafir pun tidak sebanyak itu. Mereka disebut juga fasiq, disebut juga kafir, berkenaan dengan mereka disebutkan bahwa mereka memilih kufur setelah masuk Islam. Namun bagi orang-orang munafiq tidak disebutkan suatu hukuman tertentu dan sejarah Islam menjadi saksi bahwa tidak ada seorang munafik yang diberikan hukuman disebabkan oleh kemunafikannya. Al-Qur’an menjelaskan perihal orang-orang munafik, قُلْ أَنْفِقُوا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا لَنْ يُتَقَبَّلَ مِنْكُمْ إِنَّكُمْ كُنْتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ * وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ “Katakanlah, ‘Belanjakanlah dengan rela atau pun dengan terpaksa, ini sama sekali tidak akan pernah diterima darimu. Sesungguhnya kamu adalah kaum yang durhaka. Dan tidak ada yang menghalangi diterimanya sumbangan dari mereka, kecuali karena sesungguhnya mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak mendirikan shalat kecuali dengan malas, dan mereka tidak membelanjakan harta di jalan Allah kecuali dengan enggan.’” (At Taubah, 9:53-54) Dalam ayat tersebut orang-orang munafik disebut fasiq dan disebutkan juga orang yang kufur terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya berkenaan dengan kerasnya kekufuran mereka dijelaskan lebih lanjut pada ayat berikut: يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ “Mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengatakan sesuatu, padahal sebenarnya mereka telah mengatakan perkataan ingkar dan mereka telah ingkar sesudah memeluk Islam. Dan mereka sangat menginginkan sesuatu seperti ini yang tidak dapat mereka capai. Dan mereka itu tidaklah menaruh dendam kepada orang-orang yang beriman kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan mereka kaya dengan karunia-Nya. Maka, jika mereka bertobat, itu lebih baik bagi mereka, tetapi jika mereka berpaling, Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia maupun di akhirat, dan tidak akan ada bagi mereka di bumi ini seorang sahabat dan tidak pula penolong.” (At Taubah, 9:74)
Demikian pula dalam surat At Taubah ayat 66 difirmankan bahwa setelah beriman kamu menjadi kafir, لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ “Janganlah kamu mengemukakan dalih, sungguh kamu ingkar setelah kamu beriman.” (At Taubah, 9 : 66)
Begitu pula berkenaan dengan orang-orang munafik telah turun satu surat, yakni surat Al Munafiqun yang di dalamnya difirmankan: اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ * ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ “Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka perisai; maka mereka menghalangi orang-orang dari jalan Allah. Sesungguhnya sangat buruk apa yang senantiasa mereka kerjakan Yang demikian itu disebabkan mereka beriman, kemudian mereka ingkar, lalu dibubuhkan cap atas hati mereka, karena itu mereka tidak mengerti.” (Al Munafiqun, 63:3-4)
Di dalam hal ini pun dijelaskan perihal status mereka yang kufur setelah beriman, namun tidak ditetapkan suatu jenis hukuman tertentu dan tidak juga dihukum.
Alhasil, banyak sekali ayat senada yang didalamnya disebutkan orang-orang yang beriman kemudian mereka memilih untuk kufur baik itu secara terang terangan ataupun secara amal perbuatan.
Orang-orang tersebut telah dikatakan sebagai fasiq, kafir, atau murtad. Tetapi tidak ada hukuman mati atau sejenisnya yang ditetapkan untuk mereka. Apakah sabda Rasulullah (saw) tentang orang yang murtad?
Setelah firman di dalam Al-Quranul Karim, kini kita pun melihat bagaimana sabda yang telah disampaikan oleh wujud penuh berkat yang kepadanya Al-Quran Karim diturunkan dan menjadi pemenuhan sebuah ungkapan كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ – akhlak beliau adalah al-Qur’an – dan wujud yang telah berupaya menerapkan perintah-perintah Al-Quran Karim dengan memperlihatkan amalan, contoh, dan keteladanan beliau.[6]
Peristiwa yang tertera di dalam Sahih Bukhari berikut ini menyimpulkan tidak ada hukuman syariat yang ditetapkan bagi mereka yang murtad. Hadits yang dimaksud adalah: عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ السَّلَمِيِّ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا، بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى الإِسْلاَمِ، فَأَصَابَ الأَعْرَابِيَّ وَعْكٌ بِالْمَدِينَةِ، فَجَاءَ الأَعْرَابِيُّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقِلْنِي بَيْعَتِي. فَأَبَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ جَاءَهُ فَقَالَ أَقِلْنِي بَيْعَتِي. فَأَبَى ثُمَّ جَاءَهُ فَقَالَ أَقِلْنِي بَيْعَتِي. فَأَبَى فَخَرَجَ الأَعْرَابِيُّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” إِنَّمَا الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ، تَنْفِي خَبَثَهَا، وَيَنْصَعُ طِيبُهَا “Hadhrat Jabir Bin Abdullah menyampaikan bahwa ada seorang Badui (Arab gurun) yang menghadap Nabi (saw) lalu memeluk Islam dan berbaiat kepada beliau. Keesokan hari, orang itu sakit demam di Madinah. Ia datang menemui Rasulullah (saw) dan berkata, ‘Saya ingin menarik kembali baiat saya.’ Kemudian ia datang untuk kedua kalinya dan berkata, ‘Saya ingin menarik kembali baiat saya.’
Beliau (saw) menghindar hingga tiga kali dan tidak memberi jawaban. Orang Arab gurun itu pergi dari Madinah. Atas hal ini Rasulullah (saw) bersabda, “Madinah layaknya periuk api [yang membersihkan]. Ia membuat keluar yang tidak bersih sembari membersihkan dan membuat cemerlang sesuatu yang sudah baik.”[7]
Hadhrat Maulana Syer Ali Shahib dalam buku karya beliau, ‘Qatl-e-Murtad aur Islam’ (buku ini beliau susun di bawah pengawasan Hadhrat Khalifatul Masih Tsani), di dalamnya tertera hadits ini, dan setelahnya beliau (Maulana Syer Ali) menulis, “Kedatangan orang tersebut secara berkali-kali kepada Rasulullah (saw) pun memperlihatkan bahwa hukuman bagi yang murtad bukanlah dibunuh. Karena jika dibunuh, ia sama sekali tidak akan datang ke hadapan Rasulullah (saw); bahkan, ia akan keluar dengan sembunyi-sembunyi tanpa memberitahukannya pada siapapun bahwa ia ingin menjadi murtad.”
Maulana Syer Ali kemudian menulis, “Ada yang berpendapat bahwa ditetapkannya hukuman mati untuk yang murtad di dalam syariat Islam adalah untuk mencegah kemurtadan; dan tujuannya adalah untuk memaksa orang-orang agar tetap berada di dalam Islam. Jika hal ini memang benar, maka mengapa Rasulullah (saw) tidak memperingatkan orang yang datang berkali-kali tersebut? Mengapa tidak dikatakan kepadanya, ‘Ingatlah bahwa hukuman bagi yang murtad di dalam Islam adalah mati. Jika Anda murtad maka Anda akan dibunuh?’
Lantas, tatkala (kaum Muslim) mengetahui bahwa ia telah berkali-kali menzahirkan kemurtadannya dan khawatir bahwa setelahnya ia akan melarikan diri, maka mengapa kaum Muslim saat itu tidak mengatur penjagaan supaya ia dapat ditangkap saat ingin melarikan diri, dan supaya hukuman syariat padanya dapat diterapkan? Mengapa para sahabat tidak berkata kepadanya, ‘Jika Anda cemas akan jiwa Anda, janganlah murtad, karena yang berlaku di kota ini adalah jika ada seorang yang masuk Islam lalu murtad maka ia akan segera dibunuh’?
Pendek kata, kemurtadan yang berkali-kali diperlihatkan orang Arab gurun ini, kedatangannya berulangkali ke hadapan Rasulullah (saw), perlakuan beliau (saw) yang tidak memperingatinya (menegurnya yang akan keluar Islam) (seperti disebutkan), para sahabat yang tidak memberi putusan hukuman mati untuknya dan keluarnya orang itu dari kota Madinah tanpa adanya keberatan dari siapapun, seluruh hal ini menjadi saksi jelas bahwa Islam tidak menetapkan hukuman syariat apapun bagi orang yang murtad.
Kemudian, sejenis pernyataan kebahagiaan dari Rasulullah (saw) akan keluarnya orang tersebut dari Madinah dan bersabda, ‘Madinah layaknya suatu periuk api [yang membersihkan atau memisahkan noda dari permata yang murni’ – maka hal ini dengan jelas menyatakan Rasulullah (saw) menolak prinsip menekankan seseorang di dalam Islam secara paksa atau mencegah kemurtadan dengan menempuh cara-cara paksa melainkan hal yang sebaliknya dari itu ialah jika ada seorang tidak suci (tercela) keluar dari Jemaat umat Islam maka Rasulullah (saw) tidak juga bersedih dan beliau tidak berupaya untuk melawan keinginan orang itu lalu memaksanya tetap di dalam Islam. Bahkan, kepergian orang seperti itu bagi beliau (saw) adalah seperti pembenaran sebuah pepatah [Urdu], خَس کَم جَہاں پاک ‘Tiap kali rumput liar berkurang, semakin bersihlah dunia.’[8]
Seandainya ini adalah ajaran Rasulullah (saw) – yaitu seorang yang satu kali telah masuk Islam lalu dipaksa tetap di dalam Islam walau dengan cara bagaimanapun juga dan jika ia tetap bersikeras ingin keluar Islam lalu dibunuh – maka contoh seperti itu pastinya akan menjadi ‘pelajaran’ bagi yang lain. Seharusnya Rasulullah (saw) marah dengan kepergian orang Arab gurun itu lalu menegur para sahabat dengan bersabda, ‘Mengapa kalian membiarkannya pergi dan mengapa tidak memperingatkannya akan hukuman mati?’
Seharusnya Rasulullah (saw) memerintahkan para sahabat untuk mengejarnya dan membawa orang itu kepada beliau untuk dijatuhi hukuman mati. Sebaliknya, Rasulullah (saw) justru bersabda dengan nada lain, ‘Baguslah kalau ia pergi, karena ia tidaklah layak tinggal diantara kaum Muslim. Allah Ta’ala dengan tangan-Nya sendiri telah menyingkirkannya dari kita.’ Jadi, contoh seorang Arab gurun itu merupakan satu dalil yang jelas dan pasti bahwa tidak ada suatu hukuman syariat yang ditetapkan bagi orang yang murtad dan di kalangan kaum Muslimin secara pasti tidak terdapat cara yang dijalankan bahwa hanya karena seseorang itu murtad lalu ia dihukum mati.”[9]
Dari syarat kedua tampak jelas bahwa tidak ada hukuman secara syariat yang ditetapkan untuk mereka yang murtad. Terdapat syarat-syarat perdamaian yang terjadi di Hudaibiyah antara Rasulullah (saw) dengan kaum musyrik Makkah yang di dalam Hadits tentang perdamaian Hudaibiyah tertera: عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ ـ رضى الله عنهما ـ قَالَ صَالَحَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْمُشْرِكِينَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ عَلَى ثَلاَثَةِ أَشْيَاءَ عَلَى أَنَّ مَنْ أَتَاهُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ رَدَّهُ إِلَيْهِمْ، وَمَنْ أَتَاهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لَمْ يَرُدُّوهُ ‘Diriwayatkan dari Bara bin ‘Azib bahwa Nabi (saw) melakukan perdamaian dengan kaum musyrik di Hudaibiyah dalam tiga perkara. Syarat pertama adalah, jika ada diantara kaum musyrik yang menjadi Muslim lalu pergi kepada Rasulullah (saw), maka beliau akan memulangkannya. Syarat kedua, jika diantara kaum Muslim ada yang murtad dan pergi ke kaum musyrik, maka kaum musyrik tidak akan memulangkannya kepada beliau.’[10]
Dari syarat kedua perjanjian ini tampak jelas tidak ada hukuman syariat yang ditetapkan untuk mereka yang murtad. Sebab, jika di dalam syariat Islam telah ditetapkan hukuman untuknya, yaitu mereka harus dibunuh, Rasulullah (saw) pasti tidak akan menerima pernyataan kaum musyrik karena ada hukuman syariat tersebut. Selain itu, ada juga peristiwa-peristiwa lain yang darinya dengan jelas tampak bahwa di masa Nabi Akram (saw) yang penuh berkat, ada beberapa orang yang memilih murtad dari Islam. Meski demikian, tidak ada keberatan atas kemurtadan mereka, tidak seperti saat ini dimana mereka memeranginya dan menganggapnya sebagai satu tindak pemberontakan.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) lebih jauh menjelaskan permasalahan ini dengan satu ayat lain Al-Quran Majid [Surat Al-‘Ankabut Ayat 18 (29:19) dan Surat An-Nuur ayat 54 (24:54)], yaitu, وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ (Hudhur bersabda) “Ayat ini mengisyaratkan upaya dengan jalan tabligh adalah prinsip yang lebih baik daripada menggunakan pedang dan Hadhrat Ibrahim (as) pun telah menempuh jalan ini. Ini jugalah petunjuk dari Allah Ta’ala kepada umat beliau di zaman itu, ‘Pekerjaan Rasul Kami itu hanyalah menyampaikan pesan, bukan memaksa orang dengan pedang. Inilah yang merupakan intisari Al-Quran; yaitu, meyakinkan orang lain dengan dalil adalah tugas dari insan-insan agamawi. Memaksa orang lain agar menerima bukanlah tugas insan agamawi. Tetapi sangat disayangkan, dunia tidak memahami masalah ini karena bahkan kaum Muslim sendiri menganggap membunuh orang yang murtad adalah diperbolehkan.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Kenyataannya, siapapun pemeluk suatu akidah, apakah ia memeluk akidah yang benar atau salah, ia tetap akan menganggapnya benar, seperti halnya seorang Muslim yang menganggap agamanya benar. Memang agama Kristen adalah salah, tetapi apa yang dipahami oleh kebanyakan umat Nasrani (Kristen) tentang akidah Kristen mereka? Mereka pasti meyakininya benar. Agama Hindu adalah salah; tetapi persoalannya adalah, apa yang diyakini oleh sebagian besar umat Hindu di dunia terkait agama Hindu mereka? Pasti mereka meyakininya benar. Agama Yahudi saat ini memang tidaklah benar, namun persoalannya adalah apakah yang diyakini oleh kebanyakan umat Yahudi terkait agama Yahudi mereka? Mereka pasti meyakininya benar.
Dengan demikian, jika atas dasar hal ini] seseorang diperbolehkan membunuh orang lain bahwa karena ia menganggap agamanya benar dan yang lain adalah salah (hanya atas dasar hal ini), mengapa seorang Kristen tidak memiliki hak untuk membunuh Muslim mana pun sesukanya? Mengapa seorang Hindu tidak memiliki hak untuk memaksa orang lain menjadi Hindu dan jika tidak ia akan membunuhnya? Mengapa pemeluk Konghucu di Tiongkok tidak memiliki hak untuk memaksa orang lain memeluk agamanya? Saat ini di Filipina, dimana masih terdapat 15 hingga 20 ribu kaum Muslim di sana – yaitu di masa Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda. Kini pasti lebih dari ini – mengapa kaum Kristen di sana tidak memiliki hak untuk menjadikan mereka (umat Islam) menjadi Kristen secara paksa? Mengapa kaum Muslim di Amerika tidak memiliki hak untuk menjadikan secara paksa kaum Muslim yang tinggal di sana untuk memeluk Kristen? Mengapa negara Rusia tidak memiliki hak menjadikan secara paksa semua warganya untuk memeluk Kristen, atau menjadikan mereka orang komunis secara paksa?
Jika kaum Muslim boleh mengubah akidah (kepercayaan) orang lain secara paksa, secara akal sehat kaum lain pun harus diizinkan melakukannya. Tetapi, apakah dengan mengizinkan hak ini maka akan dapat tercipta kedamaian di dunia? Apakah dengan menerapkan hal ini, Anda pun bersedia menyatakan kepada putra Anda atau istri Anda bahwa ini adalah hal yang baik bahwa setiap Kristiani (orang Kristen) berhak menjadikan orang selainnya memeluk Kristen secara paksa? [Atau] setiap Muslim berhak menjadikan orang Kristen – non Islam – agar memeluk Islam secara paksa? [atau] setiap orang Iran [yang kebanyakan Syi’ah] berhak mengubah semua orang Ahlus Sunnah madzhab Hanafi menjadi Syiah secara paksa? [atau] semua orang Hanafi berhak mengubah semuanya menjadi Sunni (Ahlus Sunnah)?) Alhasil, ini adalah suatu hal yang bertentangan dengan akal, dan tidak ada seorang pun yang dapat menerimanya meski untuk satu menit saja.
Kaum-kaum dari para Nabi terdahulu, kapan saya mereka menolak hidayah dari Tuhan, maka Allah Ta’ala berfirman kepada mereka, أَنُلْزِمُكُمُوهَا وَأَنْتُمْ لَهَا كَارِهُونَ artinya, ‘Jika kalian tidak suka menerima petunjuk, maka Kami tidaklah dapat memberi petunjuk kepadamu secara paksa.’ (Surah Hud, 11:29) Meski demikian, sangat disayangkan dewasa ini ada saja orang Islam yang menolak asas ini dan kini kita melihat kebanyakan umat Muslim setuju hal ini. Jika dunia memahami permasalahan ini, pasti paksaan dalam perkara agama dan politik akan berakhir. Setiap orang tidak akan memasukkan secara paksa akidah mereka kepada orang lain dan suatu negara tidak akan berupaya memaksakan asas politiknya kepada negara lain secara paksa.”[11]
Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud (as) bersabda, “Saya tidak mengetahui dari mana para musuh kita mendengar Islam telah menyebar dengan pedang. Tuhan sendiri telah berfirman di dalam Al-Quran Syarif, لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ tidak ada paksaan dalam agama. Jadi, siapa yang telah memerintahkan paksaan? Dan paksaan apa yang dahulu pernah terjadi? Dan apakah orang yang dahulu [menurut mereka] menjadi Muslim karena paksaan, dapat memiliki ketulusan dan iman yang sedemikian rupa hingga mereka yang berjumah 300 pun bersedia melawan ribuan orang tanpa mendapatkan imbalan apapun? Lalu tatkala jumlah mereka mencapai ribuan orang, mereka pun sanggup mengalahkan ratusan ribu musuh, dan mereka rela berkorban layaknya hewan kurban demi melindungi agama mereka dari serangan musuh, dan mereka telah menorehkan darah mereka demi kebenaran Islam? Mereka telah sedemikian masygulnya dalam menyebarkan Tauhid Ilahi dimana mereka bersedia pergi hingga padang pasir Afrika seraya menanggung kesulitan dan menempuh kesahajaan demi menyebarkan Islam di negeri itu lalu mereka memikul segala kesusahan untuk tiba di negeri Tiongkok, bukan untuk berperang tetapi untuk menyebarkan Islam dengan cara penuh kesahajaan setibanya mereka di negeri itu, dimana hasil dakwah mereka yang penuh berkat, telah lahir berjuta-juta umat Muslim di dunia ini, lalu dengan jubah kesahajaan itu pun mereka datang ke Hindustan dan banyak sekali penduduk tanah ini yang menjadi pemeluk agama Islam, lalu mereka menyerukan semboyan لا إله إلا الله hingga perbatasan-perbatasan Eropa.
Katakanlah oleh Anda sekalian secara jujur, apakah ini semua adalah pekerjaan mereka yang mengislamkan orang secara paksa? Yaitu mereka yang berbicara mukmin namun berhati kafir?. Tidak, ini adalah pekerjaan orang-orang yang hatinya penuh dengan nur keimanan, dan hanya Tuhanlah yang ada di dalam hatinya.”[12]
Dari semua ayat Al-Quran dan petunjuk tersebut telah terbukti bahwa hukuman untuk yang murtad bukanlah kematian. Kini yang menjadi persoalan adalah, jika hukuman untuk yang murtad bukanlah kematian, mengapa Hadhrat Abu Bakr memerintahkan untuk membunuh mereka yang murtad? Hakikatnya adalah, dengan menelaah sejarah kita dapat mengetahui dengan mudah bahwa orang-orang yang murtad di masa Hadhrat Abu Bakr tidak hanya murtad saja, mereka bahkan menjadi pemberontak, yaitu pemberontak dengan keinginan bengis. Mereka tidak hanya telah berencana jahat untuk membunuh kaum Muslim dengan menyerang Madinah, mereka bahkan menangkap dan membunuh orang-orang Muslim di beberapa daerah tanpa belas kasih. Tubuh mereka dipisah-pisahkan, dan mereka dibakar hidup-hidup. Mereka yang murtad itu adalah orang-orang yang telah bertindak aniaya, melakukan pembunuhan keji, telah memberontak, merampas, dan melakukan berbagai kebiadaban, sehingga sebagai tindak perlawanan dan pembalasan, orang-orang yang menyulut peperangan itu lantas diperangi. Dan atas dasar ayat جَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا, mereka pun diberikan hukuman yang setara, yaitu mereka diperintahkan agar diperangi seperti halnya pelanggaran yang mereka lakukan. Maka dari itu, ada beberapa rincian yang diambil dari buku-buku rujukan sejarah.
Di dalam Tarikh al-Khamis tertera, و أقبل خارجة بن حصن بن حذيفة ابن بدر و كان ممن ارتدّ فى خيل من قومه الى المدينة يريد أن يخذل الناس عن الخروج أو يصيب غرّة فيغير فأغار على أبى بكر و من معه و هم غافلون “Kharijah bin Hisn yang termasuk dari orang-orang yang murtad, ia bergerak dengan membawa beberapa prajurit berkuda menuju Madinah. Ia ingin menghentikan penduduk Madinah sebelum mereka dapat keluar berperang, atau menyerang saat penduduk Madinah lalai.”[13] Jadi, mereka menyerang Hadhrat Abu Bakr dan kaum Muslim secara tiba-tiba tanpa mereka mengetahuinya.
Orang-orang murtad itu tidak hanya menyerang Madinah. Ketika Hadhrat Abu Bakr telah mengalahkan mereka, mereka pun menyerang umat Muslim yang tinggal bersama mereka yang tetap teguh dalam keimanan mereka (sebagaimana sebagian ulasan tentangnya telah saya sampaikan di khotbah yang lalu). Mereka tetap teguh di dalam Islam meskipun kaum mereka menjadi murtad.
Terkait hal ini Allamah ath-Thabari menulis, وكان أول الفتح – ووضع بها النعمان ابن مقرن في عدد، ورجع إلى المدينة فذل بها المشركون؛ فوثب بنو ذبيان وعبس على من فيهم من المسلمين؛ فقتلوهم كل قتلة؛ وفعل من وراءهم فعلهم. “Tatkala Hadhrat Abu Bakr telah mengalahkan beberapa kabilah yang menyerang, Banu Dzubyan dan ‘Abs menyerang kaum Muslim yang tinggal bersama mereka, dan membunuh mereka dengan berbagai cara yang keji lalu kabilah yang lain pun melakukan hal seperti mereka.”[14] Itu artinya, mereka membunuh siapa saja yang tetap teguh di dalam Islam.
‘Allamah Ibnu al-Atsir menulis, فوثب بنو عبس وذبيان على من فيهم من المسلمين فقتلوهم فحلف أبو بكر ليقتلن في المشركين بمن قتلوا من المسلمين وزيادة وازداد المسلمون قوة وثباتاً “Kabilah ‘Abs dan Dzubyan mulai membunuh setiap Muslim yang ada bersama mereka dengan sangat keji. Melihat mereka, kabilah yang lain pun melakukan hal serupa. Atas hal ini, Hadhrat Abu Bakr bersumpah bahwa beliau pasti akan memerangi orang-orang di setiap kabilah yang telah membunuh orang Muslim.”[15]
Seperti telah dijelaskan, kabilah-kabilah yang murtad setelah kewafatan Rasulullah (saw), kemurtadan mereka tidak terbatas hanya dalam hal keagamaan, tetapi mereka pun melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam. Mereka telah menghunus pedang di tangannya dan menyerang Madinah. Mereka telah membunuh orang-orang Muslim di kalangan kaum mereka, membakar mereka dan memotong tubuh mereka.
Seperti disebutkan dalam Tarikh ath-Thabari dalam menerangkan tentang Hadhrat Khalid bin Walid, tertera, وأقبلت بنو عامر بعد هزيمة أهل بزاخة يقولون: ندخل فيما خرجنا مِنْهُ، فبايعهم على ما بايع عَلَيْهِ أهل البزاخة من أسد وغطفان وطيئ قبلهم، وأعطوه بأيديهم على الإسلام، ولم يقبل من أحد من أسد ولا غطفان ولا هَوَازِن ولا سليم ولا طيئ إلا أن يأتوه بالذين حرقوا ومثلوا وعدوا على أهل الإسلام فِي حال ردتهم فأتوه بهم، فقبل منهم إلا قرة بْن هبيرة “Ketika kabilah Asad, Ghathfan, Hawazin, Sulaym, dan Thayy mengalami kekalahan, beliau – yaitu Khalid (ra) – tidak menerima maaf mereka kecuali mereka membawa ke hadapan beliau orang-orang yang dalam keadaan murtad telah membakar orang-orang Muslim, memotong tubuh [memutilasi] mereka (orang-orang Muslim itu) dan menganiaya mereka.”[16]
Allamah Ibnu Khaldun menulis, “Kabilah-kabilah di jazirah Arab yang murtad ini bergerak menuju ke Madinah dengan tujuan untuk memerangi Hadhrat Abu Bakr dan kaum Muslim.”[17]
Tertera di dalam Tarikh Ath-Thabari, وَكَانَ أول من صادم عبس وذبيان، عاجلوه فقاتلهم قبل رجوع أسامة “Mereka yang terlebih dulu menyerang ialah Kabilah ‘Abs dan Dzubyan. Sebelum kembalinya Hadhrat Usamah, beliau – yaitu Hadhrat Abu Bakr – terpaksa berperang melawan mereka.”[18]
Allamah Ibnu Khaldun menulis bahwa, كان أبو بكر بعث العَلاءَ بن الحَضْرَمِيّ إلى المنذر وقد كان رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولاه فلما كانت الوفاة وارتدّت ربيعة ونصبوا المنذر بن النعمان بن المنذر وكان يسمَّى المغرور فأقاموه مَلِكاً كما كان قومه بالحيرة وثبت الجارود وعبد القيس على الإسلام “…Kabilah Rabi’ah memilih murtad dan mengangkat Mundzir bin Nu’man yang namanya dielu-elukan. Mereka mengangkatnya menjadi raja.”[19]
Allamah ‘Aini, penulis Syarh (komentar atas) Shahih Bukhari menulis, وَإِنَّمَا قَاتل الصّديق، رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ، مانعي الزَّكَاة لأَنهم امْتَنعُوا بِالسَّيْفِ ونصبوا الْحَرْب للْأمة “Hadhrat Abu Bakr (ra) memerangi para pengingkar zakat hanya dikarenakan mereka menolak zakat dengan menggunakan pedang dan mengobarkan peperangan melawan umat Islam.”[20]
Allamah Syaukani menuturkan bahwa Imam Khathabi, setelah menulis berbagai perkara mengenai orang-orang yang murtad setelah kewafatan Rasulullah (saw), para pengingkar zakat dan sebagainya, beliau menulis, وهؤلاء على الحقيقة أهل البغي ، وإنما لم يدعوا بهذا الاسم في ذلك الزمان خصوصا لدخولهم في غمار أهل الردة “Sebenarnya mereka ini adalah pemberontak dan mereka dikatakan murtad hanya karena mereka telah termasuk ke dalam golongan orang-orang yang murtad.”[21]
Seorang penulis dalam bukunya berulang kali menggunakan kata pemberontakan, pemberontak dan sebagainya untuk orang-orang yang murtad. Ia mengatakan, “Ketika berita kewafatan Rasulullah (saw) tersebar ke seluruh Arab dan api pemberontakan berkobar di setiap penjuru, daerah yang terkena dampak terburuk adalah Yaman. Meskipun ‘Ansi, sosok yang mengobarkan api tersebut telah terbunuh, Musailamah di Banu Hanifah dan Tulaihah di Banu Asad mendakwakan kenabian dan mereka menghimpun ribuan orang bersama mereka dan mulai mengatakan kepada orang-orang bahwa Nabi kabilah-kabilah sekutu Asad dan Gathfan selalunya lebih dicintai dari Nabi orang Quraisy, karena Muhammad (Saw) telah wafat, sedangkan Tulaihah masih hidup. Ketika berita pemberontakan-pemberontakan tersebut sampai kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), maka beliau bersabda, ‘Kita harus menunggu hingga kita menerima laporan lengkap tentang semua kejadian tersebut dari para pejabat dan amir di daerah tersebut.’ Beberapa hari kemudian, datanglah laporan dari para Amir. Dari laporan-laporan tersebut nampak jelas bahwa bukan hanya kedamaian negeri berada dalam bahaya di tangan para para pemberontak, bahkan nyawa orang-orang yang tetap teguh dalam Islam berada dalam bahaya besar dikarenakan tidak mendukung para pemberontak berkedok kemurtadan. Dalam situasi seperti itu, bagi Hadhrat Abu Bakr Shiddiq tidak ada cara lain untuk mengendalikan situasi selain menghadapi pemberontakan itu dengan kekuatan penuh dan menaklukkan para pemberontak itu bagaimanapun juga.”[22]
Seorang penulis menulis, “Hadhrat Abu Bakr (ra) memikirkan penumpasan orang-orang murtad yang mengobarkan api pemberontakan di berbagai wilayah Arab dan di tangan mereka lentera Islam dan laron-laron yang mengitarinya berada dalam bahaya besar.”[23]
Kemudian seorang penulis menulis, “Setelah kewafatan Rasulullah (saw), banyak sekali pemimpin Arab yang murtad dan menjadi penguasa di wilayahnya masing-masing. Menurut para peneliti, kemurtadan ini sebagian besar adalah bersifat politis. Kemurtadan yang sifatnya keagamaan sangatlah sedikit. Di hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah (saw) di dunia ini, para pemimpin dari beberapa kabilah Arab mendakwakan kenabian untuk memberi kedok keagamaan pada gerakan-gerakan politik pemberontakan mereka.”[24]
Kisah ini masih akan berlanjut. Insya Allah bagiannya yang tersisa akan disampaikan pada kesempatan mendatang.
Ringkasan dari kutipan-kutipan sejarah tersebut adalah, kabilah-kabilah yang murtad telah menghalangi harta zakat, yakni mereka menghalangi pajak pemerintah secara paksa. Mereka merampas harta zakat dari beberapa tempat. Mereka merampas harta zakat, menyiapkan pasukan dan menyerang Madinah yang merupakan ibu kota pemerintahan. Mereka membunuh orang-orang Islam yang menolak untuk murtad, bahkan beberapa orang mereka bakar hidup-hidup.
Oleh karena itu, berdasarkan pada tindakan pemberontakan bersenjata melawan pemerintah, merampas harta pemerintah, membunuh orang-orang Islam dan membakar mereka hidup-hidup, orang-orang murtad seperti itu telah berhak untuk diberikan hukuman mati sebagaimana Al-Quran menyatakan, جَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal.
Di tempat lain Dia berfirman, إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَه وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيْهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (Surah al-Maaidah, 4 : 34)
“Orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya”, maksudnya adalah, orang-orang yang memerangi Rasul dan Khalifah Rasul atau pemerintahan Islam. Sebab, perang tidak bisa dilakukan seseorang terhadap Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala tidak bisa ditampar, dilempar batu, dipanah atau ditebas dengan pedang. Maka dari itu, maksud kalimat itu adalah memerangi mereka (yakni Rasul, Khalifah Rasul atau pemerintahan Islam). Dalam perkataan وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا disebutkan mengenai apa makna berperang dengan Allah dan Rasul. Rinciannya adalah, “Siapa yang berperang dengan Allah dan Rasul, yaitu berbuat kekacauan di dalam negeri, melakukan tindakan pembunuhan, perampokan, perampasan dan pemberontakan bersenjata maka hukuman untuk mereka adalah أَنْ يُقَتَّلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا Mereka harus dibunuh dengan kejam atau disalibkan.”
Alhasil, saya telah sampaikan tambahan sedikit lagi baru saja, selebihnya akan sampaikan di lain waktu.
Sekarang saya ingin menyampaikan riwayat beberapa Almarhum. Setelah shalat jumat saya akan memimpin salat jenazah mereka. Yang pertama, yang terhormat Muhammad Basyir Syad Sahib, seorang pensiunan Mubaligh. Beliau belakangan ini tinggal di Amerika. Beliau wafat di usia 91 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ayahanda beliau mendapatkan taufik untuk baiat pada 1926. Pada 1945, setelah lulus sekolah menengah beliau masuk Madrasah Ahmadiyah.
Pada tahun 1952 beliau lulus ujian Fazil bahasa Arab dengan peringkat yang bagus. Pada 1954, beliau meraih gelar Syahid dari Jami’atul Mubasysyirin Rabwah. Kemudian beliau mempelajari ketabiban selama satu tahun. Dari 1956 hingga 1957 beliau mendapatkan taufik berkhidmat di Wakalat Tabshir Rabwah. Pada 1958 beliau pergi ke Sierra Leone. Beliau dikirim ke sana sebagai mubaligh. Di sana beliau mendapatkan taufik berkhidmat di berbagai tempat. Beliau juga merilis press di sana. Kemudian dari sana beliau ditugaskan ke Nigeria. Di sana pun beliau bekerja dengan baik. Kemudian setelah tiga tahun, pada 1964 beliau dipanggil pulang dari Nigeria. Kemudian pada 1964, beliau dikirim ke Nigeria untuk kedua kalinya. Pada 1967, Almarhum melakukan perjalanan tabligh ke Benin. Di sana Allah Ta’ala memberikan taufik kepada beliau untuk bertabligh kepada orang-orang yang berkududukan tinggi dan membaiatkan mereka. Pada 1970, pada kesempatan lawatan Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (rha) ke Afrika, ketika beliau (rha) datang ke Kano, Almarhum mempersembahkan hadiah 100 mubayyi’in baru ke hadapan Hudhur. Hudhur (rha) merasa senang dan memberikan sorban penuh berkat beliau kepada Basyir Syad Sahib.
Ketika beliau pulang pada 1970, beliau mendapatkan karunia untuk umroh. Pada 1983, Almarhum ditugaskan sebagai Sekretaris Majlis Karpardaz Bahesyti Maqbarah Rabwah dan pada 1984 terjadi ordonansi [peraturan penuh larangan terhadap Ahmadiyah dari Pemerintah Pakistan] menentang Jemaat. Setelah itu, ketika Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rha) harus berhijrah, beliau mendapatkan taufik menyampaikan khotbah yang disampaikan sebelum hijrah di hadapan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rha) Beliau disebutkan dalam sejarah peristiwa tersebut dari sisi ini. Pada 1988, dikarenakan keadaan pribadi, Almarhum mengajukan pensiun kepada Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rha) yang kemudian dikabulkan dan beliau pergi ke Amerika. Di antara yang ditinggalkan adalah istri beliau, Nasrin Akhtar Syad Sahibah, seorang putra dan empat orang putri. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan rahmat-Nya dan menjaga anak keturunan beliau untuk tetap terhubung dengan Jemaat dan Khilafat dengan penuh kesetiaan.
Jenazah selanjutnya, Rana Muhammad Shiddiq Sahib putra Rana Alim Din Sahib dari Mallianwala, Distrik Sialkot (Pakistan). Beliau juga wafat pada beberapa hari yang lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ayahanda Almarhum pada 1938 pergi ke Qadian dan berbaiat. Almarhum disipilin dalam shalat dan puasa, rajin tahajud, rajin berdoa, sosok yang sangat pemberani. Beliau sangat mencintai Khilafat dan mengamalkan perintah Khalifah-e-waqt. Beliau memberikan nasihat kepada semua anak-anaknya untuk senantiasa menjalin ikatan dengan Jemaat dan mencintai serta mentaati Khilafat. Pada 1974 dan 1984, beliau menghadapi keadaan sulit dikarenakan penentangan terhadap Jemaat, namun beliau memperlihatkan keteguhan.
Beliau meninggakan 6 putra dan 1 putri. Salah satu putra beliau, Rana Muhammad Akram Mahmud Sahib adalah seorang mubaligh yang bertugas di Nigeria. Beliau tidak bisa hadir pada pengurusan dan pemakaman jenazah ayahanda beliau karena sedang di medan tugas. Sebelumnya pada 2018 pun ibunda beliau wafat, beliau juga tidak bisa hadir. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada beliau kesabaran dan ketabahan dan menganugerahkan ampunan dan kasih sayang kepada Almarhum.
Jenazah selanjutnya, yang terhormat Dokter Mahmud Ahmad Khawajah Sahib dari Islamabad. Beliau wafat beberapa hari yang lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau berusia 78 tahun. Dengan karunia Allah beliau seorang Mushi. Ahmadiyah masuk ke dalam Jemaat beliau melalui ayahanda beliau, Khawajah Muhammad Syarif. Beliau baiat pada masa Khalifah Tsani (ra) dengan berdasarkan mimpi. Beliau seorang yang sangat berfitrat suci sehingga meskipun sanak kerabat beliau yang lainnya menentang Jemaat, Allah Ta’ala memerintahkan beliau untuk baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sebanyak tiga kali di dalam mimpi. Akhirnya beliau baiat.
Dokter Mahmud Khawajah Sahib meraih pendidikan dasarnya di Peshawar. Setelah itu, pada 1966 beliau meraih gelar MSc di bidang kimia dari Universitas Peshawar. Kemudian pada 1973 beliau meraih gelar PhD dari La Trobe University, Melbourne, Australia. Beliau mengajar di berbagai Universitas, baik di Pakistan maupun di luar negeri. Beliau pernah mengajar di Universitas Cape Coast di Ghana. Saya mengenal beliau di sana dan saya melihat beliau seorang yang sangat sederhana, rendah hati dan tulus. Beliau seorang ahli riset yang sangat handal. Beliau sangat disegani baik di Pakistan maupun luar negeri sebagai ahli riset. Beliau menikah dengan Amatul Qayum Sahibah, putri Choudry Akramullah Sahib. Beliau memiliki satu putra dan satu putri.
Dokter Mahmud Khawajah Sahib mendapatkan taufik mewaqafkan diri bersama istri beliau di Sierra Leone dari tahun 1979 hingga 1984. Putra beliau, Dokter Tariq Khawajah menuturkan bahwa pada bulan Ramadhan secara khusus Almarhum biasa membaca Al-Quran dan terjemahannya dengan penuh perenungan. Beliau sedemikian rupa menekankan bahwa firman-firman Allah, sabda-sabda Rasul-Nya dan sabda-sabda para Khalifah harus disampaikan secara persis kata perkatanya, kesalahan pada kata-kata bisa menyebabkan salah pengertian.
Abdul Bari Sahib, Amir Distrik Islamabad menulis bahwa, “Saya dan Khawajah Sahib mendapatkan kesempatan berkhidmat bersama di Sierra Leone di bawah Skema Nusrat Jahan. Setelah pulang ke Pakistan, pertama beliau bekerja di kantor pemerintahan. Setelah itu beliau pindah ke Islamabad di mana beliau bergabung dengan SDPI. [25] Beliau sangat populer di institusi ini dan meskipun populer, beliau tetap bekerja dengan penuh keikhlasan. Beliau bekerja untuk menghilangkan bahan kimia berbahaya dalam produk makanan, sistem optik, produk kecantikan dan sebagainya dan mendapatkan popularitas internasional yang cukup besar dalam pekerjaan ini dan menulis beberapa buku berkenaan dengan ini.”
Bari Sahib menuturkan, “Setiap kali beliau menulis sebuah buku, beliau selalu mengirimkan satu salinan buku tersebut kepada saya. Saat ini saya memiliki cukup banyak buku karya beliau. Beliau seorang Ahmadi yang mukhlis. Beliau memiliki jalinan kecintaan dengan Khilafat. Beliau senantiasa mengidentifikasi kelemahan-kelemahan para Khudam untuk kepentingan tarbiyat mereka.”
Selain dari Pakistan, para ilmuwan, perwakilan-perwakilan kementerian, para konselor universitas, para professor, para pimpinan NGO dari Jerman, Swedia, Burkina Faso, Amerika, Azerbaijan, Swiss, Nigeria, Mesir, Bahrain dan banyak negara lainnya mengirimkan pesan-pesan belasungkawa atas kewafatan beliau. Cukup banyak pesan yang datang dari mereka. Anak-anak beliau mengirimkannya juga kepada saya. Saya akan membacakan beberapa di antaranya sebagai contoh.
Mr. Charles G. Brown Presiden Aliansi Dunia untuk Kedokteran Gigi Bebas Merkuri (World Alliance for Mercury-Free Dentistry), “Dr. Mahmood Khawaja adalah seorang intelektual yang sangat unik dan pekerja sosial yang sangat langka. Tulisan ilmiahnya yang luar biasa tentang sains modern dan zat beracun penting untuk mengembangkan pengetahuan dan memberikan dasar untuk bekerja di sektor publik dan swasta. Upaya selama puluhan tahun, bekerja melalui organisasi internasional, telah membantu menerapkan perjanjian antar negara, mempromosikan saling pengertian di antara masyarakat sipil, dan mengurangi zat beracun di Pakistan.”
Beliau menerima penghargaan PBC The Pacific Basin Consortium for Environment and Health Chairman pada tahun 2019. Prestasi Dr. Mahmoud termasuk menjadi presiden organisasi medis internasional. Beliau adalah satu-satunya dokter di antara presiden terpilih sejauh ini yang non-dokter. Beliau adalah seorang doktor PhD. Demikian pula, banyak ilmuwan memuji beliau, termasuk dokter dari Jerman dan Swiss. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan rahmat kepada Almarhum dan memberikan kesabaran kepada mereka yang ditinggalkan serta menganugerahkan taufik kepada mereka untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan Almarhum.[26]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا –
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ –
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Sirrul Khilafah dalam bahasa Arab, Ruhani Khazain jilid 8 (روحانی خزائن جلد 8) karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as), halaman 394. Rujukan Ibnu Khaldun tercantum dalam Kitab Tarikh Ibnu Khaldun (كتاب تاريخ ابن خلدون), Berita-Berita mengenai Khilafat Islamiyah di generasi ini termasuk di dalamnya mengenai kemurtadan, kemenangan-kemenangan dan yang terjadi setelah itu berupa fitnah dan perang dalam Islam (الخبر عن الخلافة الاسلامية في هذه الطبقة وما كان منها من الردة والفتوحات وما حدث بعد ذلك من الفتن والحروب في الاسلام ثم الاتفاق والجماعة).
[2] Sirrul Khilafah, Ruhani Khazain jilid 8 (روحانی خزائن جلد 8) karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) (اردو ترجمہ سرالخلافۃ صفحہ 188-189حاشیہ شائع کردہ نظارت اشاعت ربوہ). Rujukan Ibnu al-Atsir tercantum dalam al-Kamil fit Taarikh (الكامل في التاريخ – ابن الأثير – ج ٢ – الصفحة ٣٣٤), peristiwa-peristiwa pada tahun ke-11 Hijriyyah (ذِكْرُ أَحْدَاثِ سَنَةِ إِحْدَى عَشْرَةَ) bahasan pengutusan pasukan Usamah (ذِكْرُ إِنْفَاذِ جَيْشِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ).
[3] Sirrul Khilafah, Ruhani Khazain jilid 8 (روحانی خزائن جلد 8) karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) (اردو ترجمہ سرالخلافۃ صفحہ 188-189حاشیہ شائع کردہ نظارت اشاعت ربوہ). Rujukan dari Ibnu al-Atsir tercantum dalam karyanya berjudul al-Kamil fit Taarikh (الكامل في التاريخ – ابن الأثير – ج ٢ – الصفحة ٣٣٤), peristiwa-peristiwa pada tahun ke-11 Hijriyyah (ذِكْرُ أَحْدَاثِ سَنَةِ إِحْدَى عَشْرَةَ), bahasan mengenai kemurtadan (ذِكْرُ أَخْبَارِ الرِّدَّةِ). Tercantum juga dalam Futuhul Buldaan karya al-Biladzuri (فتوح البلدان – البلاذري – ج ١ – الصفحة ١١٣), Athlas Hurubir Riddah (أطلس حروب الردة: في عهد الخليفة الراشد أبي بكر الصديق) karya Sami bin ‘Abdullah al-Maghluts (سامي بن عبدالله المغلوث).
[4] Dalam metode penomoran ayat-ayat Al-Qur’an Karim, sesuai dengan standar penomoran ayat-ayat Al-Qur’an Karim yang digunakan oleh Jemaat Ahmadiyah, bismillahirrahmaanirrahiim sebagai ayat pertama terletak pada permulaan setiap Surah kecuali Surah at-Taubah.
[5] Al-Qur’an al-Karim terjemahan dalam bahasa Urdu karya Hadhrat Mirza Thahir Ahmad rahimahullahu ta’ala halaman 158, bagian catatan kaki (قرآن کریم اردو ترجمہ از حضرت مرزا طاہر احمد رحمہ اللہ تعالیٰ صفحہ 158 حاشیہ)
[6] Imam al-Bukhari dalam karyanya Al-Adab Al-Mufrad (الأدب المفرد), Kitab al-Khulq atau tentang akhlak (كتاب حسن الخلق) riwayat Yazid ibn Yabnus: عَنْ يَزِيدَ بْنِ بَابَنُوسَ قَالَ: دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْنَا: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، مَا كَانَ خُلُقُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ قَالَتْ: كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ، تَقْرَؤُونَ سُورَةَ الْمُؤْمِنِينَ؟ قَالَتِ: اقْرَأْ: {قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ}، قَالَ يَزِيدُ: فَقَرَأْتُ: {قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ} إِلَى {لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ}، قَالَتْ: هَكَذَا كَانَ خُلُقُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. . Ahmad bin Hanbal (أحمد بن حنبل) dalam karyanya Musnad Imam Ahmad (مسند أحمد بن حنبل – المجلد السادس), Kitab Baqi Musnad Sahabat Anshar (مسند الأنصار), bab Lanjutan Musnad yang lalu, Hadits ‘Aisyah (حديث السيدة عائشة رضي الله عنها), nomor 23460: عن الحسن، عن سعد بن هشام بن عامر، قال أتيت عائشة فقلت يا أم المؤمنين أخبريني بخلق رسول الله ﷺ قالت كان خلقه القرآن أما تقرأ القرآن قول الله عز وجل وإنك لعلى خلق عظيم قلت فإني أريد أن أتبتل قالت لا تفعل أما تقرأ لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة فقد تزوج رسول الله ﷺ وقد ولد له dan nomor 24629: عن الحسن، قال سئلت عائشة عن خلق، رسول الله ﷺ فقالت كان خلقه القرآن . Redaksi yang berbeda namun sama isinya ada di Shahih Muslim, Kitab Shalatnya Musafir dan Penjelasan tentang Qashar, bab shalat malam, orang yang meninggalkannya karena tidur atau sakit, yaitu: قَالَ قَتَادَةُ وَكَانَ أُصِيبَ يَوْمَ أُحُدٍ فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْبِئِينِي عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ أَلَسْتَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ قُلْتُ بَلَى قَالَتْ فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْقُرْآنَ aku bertanya; “Wahai Ummul mukminin, beritahukanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!.’ ‘Aisyah menjawab; “Bukankah engkau telah membaca Al-Qur’an?” Aku menjawab; “Benar, ” Aisyah berkata; “Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Al-Qur’an.” Tercantum juga dalam (حاشية مسند الإمام أحمد بن حنبل » تتمة مسانيد المقلين » مسند السيدة عائشة)
[7] Sahih al-Bukhari 1883, Kitab Fadhailil Madinah – Keutamaan kota Madinah bab Madinah membersihkan (صحیح البخاری کتاب فضائل المدینۃ، بَابٌ: المَدِينَةُ تَنْفِي الخَبَثَ حدیث1883); Sahih al-Bukhari 7322, Kitab I’tisham bil Kitaab was Sunnah – Berpegang pada Kitab dan Sunnah (كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة), bab apa yang Nabi (saw) sebutkan dan mendorong agar para ahli ilmu membuat kesepakatan (باب مَا ذَكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَحَضَّ عَلَى اتِّفَاقِ أَهْلِ الْعِلْمِ)
[8] Kamus Urdu pada link https://www.urduban.com/urdu_to_urdu/%D8%AE%D8%B3_%DA%A9%D9%85_%D8%AC%DB%81%D8%A7%DA%BA_%D9%BE%D8%A7%DA%A9
[9] Dikutip dari buku karya Hadhrat Maulana Syer Ali Shahib berjudul ‘Qatl-e-Murtad aur Islam’ halaman 109-111 terbitan tahun 1925 (ماخوذ از قتل مرتد اور اسلام از مولوی شیر علی صاحب صفحہ 109تا 111 مطبوعہ 1925ء)
[10] Sahih al-Bukhari 2700, Kitab tentang perjanjian damai (كتاب الصلح), bab perdamaian dengan orang Musyrik (باب الصُّلْحِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ).
[11] Tafsir Kabir (تفسیر کبیر) jilid 7 (جلد ہفتم۔ سورة الشعراء، سورة النمل، سورة القصص، سورة العنکبوت), Surah al-‘Ankabut, halaman 606-607 (تفسیر کبیر جلد7صفحہ606-607) karya Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad al-Mushlih Mau’ud Khalifatul Masih ats-Tsani (ra) (حضرت مرزا بشیرالدین محمود احمد، المصلح موعود خلیفۃ المسیح الثانیؓ) terdapat pada link https://www.alislam.org/quran/view/?page=607®ion=T7
[12] Paighami Sulh atau Piagam Perdamaian, Ruhani Khazain jilid 23, 468 (پیغام صلح، روحانی خزائن جلد23صفحہ 468-469).
[13] Tarikh al-Khamis (تاريخ الخميس في أحوال أنفس النفيس), pasal kedua (الفصل الثانى فى ذكر الخلفاء الراشدين وخلفاء بنى أمية والعباسيين), bahasan kemurtadan setelah wafat Rasulullah (saw) dan pertolongan Allah untuk Khalifah Rasulullah (ذكر بدء الردّة بعد وفاة رسول اللّه و ما كان من تأييد اللّه لخليفة رسول اللّه فيها) pada terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah tahun 2009 di jilid ke-3 halaman 173 (تاریخ الخمیس جلد3صفحہ173 مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ2009ء).
[14] Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) karya Abu Ja’far ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر), juz ketiga bahasan tahun ke-11 (الجزء الثالث سنه احدى عشره), peristiwa-peristiwa di tahun ke-11 setelah kewafatan Rasulullah (حوادث السنة الحادية العشرة بعد وفاة رسول الله), berbagai peristiwa (حوادث متفرقة) pada terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah tahun 2012 di jilid ke-2 halaman 256 (تاریخ طبری جلد2 صفحہ256 دارالکتب العلمیۃ لبنان2012ء).
[15] Kitab Tarikh al-Kamil karya Ibnu al-Atsir (نام کتاب : الكامل في التاريخ – ط دار صادر و دار بیروت نویسنده : ابن الأثير، عزالدین جلد : 2 صفحه : 345). Kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (البدایہ والنھایہ لابن کثیر جلد3 جزء 6 صفحہ 310 فَصْلٌ فِي تصدِّي الصِّديق لِقِتَالِ أَهْلِ الرِّدَّةِ ، دارالکتب العلمیۃ بیروت)
[16] Kitab Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) karya Abu Ja’far ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر), juz ketiga bahasan tahun ke-11 (الجزء الثالث سنه احدى عشره), peristiwa-peristiwa di tahun ke-11 setelah kewafatan Rasulullah (حوادث السنة الحادية العشرة بعد وفاة رسول الله), berbagai peristiwa (حوادث متفرقة) pada terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah tahun 2012 di jilid ke-2 halaman 265 (تاریخ طبری جلد2 صفحہ 265، دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء).
[17] Kitab Tarikh Ibnu Khaldun (كتاب تاريخ ابن خلدون), Berita-Berita mengenai Khilafat Islamiyah di generasi ini termasuk di dalamnya mengenai kemurtadan, kemenangan-kemenangan dan yang terjadi setelah itu berupa fitnah dan perang dalam Islam (الخبر عن الخلافة الاسلامية في هذه الطبقة وما كان منها من الردة والفتوحات وما حدث بعد ذلك من الفتن والحروب في الاسلام ثم الاتفاق والجماعة), bahasan kemurtadan Hawazin, Sulaim dan Amir (ذكر ردة هوازن وسليم وعامر) pada terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah tahun 2016 di jilid ke-2 halaman 436 pada bahasan berita Bani Tamim dan Sajah (تاریخ ابن خلدون جلد 2 صفحہ 436 خبر بنی تمیم و سجاح، دارالکتب العلمیۃ بیروت 2016ء)
[18] Kitab Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) karya Abu Ja’far ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر), juz ketiga bahasan tahun ke-11 (الجزء الثالث سنه احدى عشره), peristiwa-peristiwa di tahun ke-11 setelah kewafatan Rasulullah (حوادث السنة الحادية العشرة بعد وفاة رسول الله), berbagai peristiwa (حوادث متفرقة) pada terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah tahun 2002 di jilid ke-2 halaman 254 (تاریخ الطبری لابن جریر الطبری جلد 2 صفحہ 254 باب بقیۃ الخبر عن امر الکذب العَنْسِی ، دارالفکر 2002ء).
[19] Kitab Tarikh Ibnu Khaldun (كتاب تاريخ ابن خلدون), Berita-Berita mengenai Khilafat Islamiyah di generasi ini termasuk di dalamnya mengenai kemurtadan, kemenangan-kemenangan dan yang terjadi setelah itu berupa fitnah dan perang dalam Islam (الخبر عن الخلافة الاسلامية في هذه الطبقة وما كان منها من الردة والفتوحات وما حدث بعد ذلك من الفتن والحروب في الاسلام ثم الاتفاق والجماعة), pengutusan pasukan-pasukan menghadapi kaum Murtad (بعث الجيوش للمرتدة) pada terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah tahun 2016 di jilid ke-2 halaman 439-440 pada bahasan kemurtadan al-Hatham dan al-Bahrain (تاریخ ابن خلدون جلد 2 صفحہ 439-440 باب ردة الحطم و اھل البحرین، دار الکتب العلمیۃ بیروت 2016ء). Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur Jilid 1 karya Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, bahasan Surah al-Maidah, halaman 675.
[20] ‘Umdatul Qari (عمدة القاري شرح صحيح البخاري) karya Badruddin al-‘Aini, (كتاب اسْتِتابَةِ المُرْتِّدينَ والمُعانِدينَ وقِتالِهِمْ), (بابُ قَتْلِ مَنْ أَبى قَبُولَ الفَرَائِضِ وَمَا نُسبُوا إِلَى الرِّدَّةِ) pada terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah tahun 2001 di jilid ke-24 halaman 122 (عمدۃ القاری کتاب استتابۃ المرتدین و المعاندین و قتالھم باب قتل من ابیٰ …الخ جلد 24 صفحہ 122 دارالکتب العلمیۃ 2001ء).
[21] Imam Muhammad Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (نيل الأوطار) Kitab tentang Zakat (كتاب الزكاة) bahasan dorongan atasnya (باب الحث عليها والتشديد في منعها) pada terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah tahun 2004 di halaman 724 (نیل الاوطار لعلامۃ محمد الشوکانی۔کتاب الزکاۃ، صفحہ724 دارالکتاب العربی بیروت2004ء). Tercantum juga dalam al-Minah al-Kubra wa syarh wa takhrij as-Sunan as-Sughra (المنة الكبرى شرح وتخريج السنن الصغرى – ج 3 – الجنائز – الزكاة – الصيام); ‘Umdatul Qari karya ‘Aini (عمدة القاري – العيني – ج ٨ – الصفحة ٢٤٤); Abu Zakariya Yahya bin Syarf bin Murri an-Nawawi (أبو زكريا يحيى بن شرف بن مري النووي) dalam karyanya Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim (شرح النووي على صحيح مسلم) atau al-Minhaj (المنهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاج) Kitab tentang Iman (كتاب الإيمان) bab perintah berperang hingga orang-orang berkata tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah (باب الأمر بقتال الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله محمد رسول الله) penerbit Daru Ihyait Turaatsil ‘Arabi, Beirut-Lebanon (دار إحياء التراث العربي – بيروت). Al-Khathabi (الخطابي) dalam Ma’alimus Sunan (كتاب معالم السنن) Kitab tentang Zakat (كتاب الزكاة); Mir’aatul mafaatih syarh Misykaatil Mashabih (كتاب مرعاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح) karya ‘Ubaidullah ar-Rahmani al-Mubarakfuri (عبيد الله الرحماني المباركفوري) (كتاب الزكاة) pasal ketiga (الفصل الثالث).
[22] Hadhrat Abu Bakr Shiddiq karya Muhammad Husain Haikal (ماخوذ از حضرت ابوبکر صدیق از محمد حسین ہیکل مترجم صفحہ 131 علم و عرفان پبلشرز لاہور)
[23] Sayyidina Abu Bakr karya Abu an-Nashr, terjemahan, halaman 603(ماخوذ از سیدنا ابوبکرؓ از ابوالنصر مترجم صفحہ 603)
[24] Khulafa-e-Rasyidin karya Hakim Mahmud Zhafr halaman 58, terbitan Takhliqaat Akram Academy, Lahore (ماخوذ از خلفائے راشدین از حکیم محمود ظفر صفحہ58مطبوعہ تخلیقات اکرم آرکیڈ لاہور)
[25] Sustainable Development Policy Institute (Institut Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan)
[26] Sumber referensi: Majalah Al-Fadhl (https://www.alfazl.com/2022/04/16/44898/) www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab). Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.