Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 88)
Pembahasan seorang Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr atau ditetapkan oleh Nabi (saw) mengikuti perang Badr) yaitu Hadhrat Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 02 Oktober 2020 (Ikha 1399 Hijriyah Syamsiyah/ Shafar 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr yang akan saya uraikan adalah Hadhrat Abu Ubaidah bin al-Jarrah (أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ). Nama Hadhrat Abu Ubaidah bin al-Jarrah adalah Amir bin Abdullah (عَامِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْجَرَّاحِ) dan nama ayahnya adalah Abdullah bin Jarrah. Hadhrat Abu Ubaidah lebih terkenal karena nama panggilannya sementara garis keturunannya dihubungkan dengan kakeknya, al-Jarrah. Nama ibunya adalah Umaimah binti Ghanam (أُمَيْمَةُ بِنْتُ غَنْمِ) dan dia berasal dari keluarga Banu Harits bin Fihr (الْحَارِثِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ) dari suku Quraisy.
Hadhrat Abu Ubaidah digambarkan sebagai orang yang tinggi dan tampan, tinggi, ramping, kurus dan memiliki sedikit daging di wajahnya. Kedua gigi depannya patah pada saat pertempuran Uhud karena beliau gunakan untuk mencabut rantai pada helm besi Nabi (saw) yang menusuk di pipi beliau (saw). Janggutnya tidak terlalu tebal dan dia biasa menggunakan khazab atau celupan pewarna.
Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah melakukan beberapa pernikahan tetapi memiliki keturunan hanya dari dua istri. Beliau (ra) memiliki dua anak laki-laki, yang satu bernama Yazid (يَزِيدُ) dan yang lainnya Umair (عُمَيْرٌ).[1]
Hadhrat Abu Ubaidah adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang Nabi (saw) yang selama hidupnya diberikan kabar gembira surga. Hadhrat Abu Ubaidah dianggap di antara orang-orang Quraisy yang mulia dan berbudi luhur. Hadhrat Abu Ubaidah masuk Islam melalui dakwah Hadhrat Abu Bakr. Saat itu umat Islam belum mengungsi di Darul Arqam. Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah adalah orang kesembilan yang masuk Islam.
Hadhrat Anas (ra) meriwayatkan bahwa Nabi (saw) bersabda: لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ، وَأَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ “Setiap umat memiliki orang terpercaya dan orang terpercaya umat saya adalah Abu Ubaidah ibn Jarrah.”[2]
Menurut Hadits Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, orang-orang Najran, dan menurut Shahih Muslim, orang-orang Yaman, datang menghadap Nabi (saw) dan berkata, ابْعَثْ مَعَنَا رَجُلاً يُعَلِّمْنَا السُّنَّةَ وَالإِسْلاَمَ “Utuslah seseorang bersama kami untuk mengajari kami agama.”[3]
Di sebuah riwayat mereka mengatakan, إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا، وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلاً أَمِينًا، وَلاَ تَبْعَثْ مَعَنَا إِلاَّ أَمِينًا “Kami meminta Anda untuk mengirim orang yang dapat dipercaya bersama kami.”[4]
Nabi (saw) bersabda, لأَبْعَثَنَّ إِلَيْكُمْ رَجُلاً أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ حَقَّ أَمِينٍ “Saya pasti akan mengirim bersama Anda sekalian orang yang dapat dipercaya yang akan menunaikan tanggung jawabnya.”[5] فَأَخَذَ بِيَدِ أَبِي عُبَيْدَةَ فَقَالَ Nabi (saw) memegang tangan Abu Ubaydah ibn al-Jarrah dan bersabda, هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ “Ini adalah Amiin (orang terpercaya) bangsa ini. Dia adalah Amiin umat ini.”[6]
(عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :) Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) bersabda, نِعْمَ الرَّجُلُ أَبُو بَكْرٍ ، نِعْمَ الرَّجُلُ عُمَرُ ، نِعْمَ الرَّجُلُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ ، نِعْمَ الرَّجُلُ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ ، نِعْمَ الرَّجُلُ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ ، نِعْمَ الرَّجُلُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ ، نِعْمَ الرَّجُلُ مُعَاذُ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْجَمُوحِ “Betapa baiknya orang-orang seperti Abu Bakr, Umar, Abu Ubaidah bin Jarrah, Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais bin Syamasy, Mu’adz bin Jabal dan Mu’adz bin ‘Amru bin Jamuh.”[7] Maksudnya, Nabi (saw) memuji beliau-beliau.
Suatu ketika beliau (saw) menyebutkan dalam pertemuan mengenai orang-orang yang mana Hadhrat Abu Hurairah memberikan contoh.
Pada suatu kesempatan Hadhrat Aisyah pernah ditanya, مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُسْتَخْلِفًا لَوِ اسْتَخْلَفَهُ “jika Rasulullah harus menetapkan penerus setelah beliau, siapakah yang akan beliau pilih?”
Atas hal ini, Aisyah berkata, أَبُو بَكْرٍ “Hadhrat Abu Bakr.”
Orang-orang bertanya, ثُمَّ مَنْ بَعْدَ أَبِي بَكْرٍ “Dan setelah Hadhrat Abu Bakr siapa?”
Hadhrat Aisyah berkata, عُمَرُ “Hadhrat Umar.”
Orang-orang bertanya, مَنْ بَعْدَ عُمَرَ “Siapa setelah Hadhrat Umar?”
Hadhrat Aisyah berkata, أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ “Hadhrat Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
Ini adalah riwayat Sahih Muslim. [8]
Dalam riwayat lain (عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ), Abdullah bin Shaqiq bertanya kepada Aisyah, أَىُّ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ؟ “Siapa yang paling dicintai Nabi (saw) di antara para sahabatnya?”
Hadhrat Aisyah berkata, أَبُو بَكْرٍ “Hadhrat Abu Bakr.”
Dia bertanya, ثم مَن؟ “Siapa lagi setelah Abu Bakr?”
Hadhrat Ayesha berkata, ثم عُمَرُ “Hadhrat Umar.”
Dia bertanya, ثم مَن؟ “Siapa lagi setelah Hadhrat Umar?”
Hadhrat Aisyah berkata, ثُمَّ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ “Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah.”
Lalu dia bertanya, ثم مَن؟ “Siapa selanjutnya?”
Narator (perawi) berkata, فسكَتَتْ “Ia (Hadhrat Aisyah) tetap diam.”[9]
Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib menulis dalam Sirat Khatam-un-Nabiyyin, “Di mata Hadhrat Aisyah, Abu Ubaidah memiliki status yang tinggi sehingga beliau sering mengatakan bahwa jika Abu Ubaidah masih hidup setelah kewafatan Hadhrat Umar, maka ia akan menjadi khalifah selanjutnya.
Menurut sebuah riwayat, Hadhrat Umar berkata pada saat menjelang kewafatannya, لَوْ كَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ حَيًّا اسْتَخْلَفْتُهُ، فَإِنْ سَأَلَنِي رَبِّي قُلْتُ: سَمِعْتُ نَبِيَّكَ يَقُولُ: إِنَّهُ أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةُ، ‘Jika Hadhrat Abu Ubaidah masih hidup hari ini, saya akan mengangkatnya sebagai Khalifah selanjutnya dan jika Tuhanku bertanya kepadaku mengapa dia yang diangkat, saya akan menjawab, “Wahai Tuhan, saya telah mendengar dari Nabi Engkau (saw) bahwa Abu Ubaidah adalah orang terpercaya di kalangan umat ini sehingga saya telah menjadikannya sebagai pengganti saya.”’[10]
Ketika Hadhrat Abu Ubaidah beriman, ayahnya menyebabkan banyak kesulitan baginya. Beliau (ra) juga bermigrasi ke Abyssinia. Ketika Hadhrat Abu Ubaidah hijrah ke Madinah, beliau melihat wajah Nabi (saw) dan tampak bersemangat. Hadhrat Umar (ra) maju dan memeluk beliau (ra). Beliau (ra) kemudian tinggal di rumah Hadhrat Kultsum bin Hidm. Bukan Ummu Kultsum tapi tinggal di rumah Hadhrat Kultsum bin Hidm.
Ada berbagai riwayat tentang penjalinan persaudaraan dengan Hadhrat Abu Ubaidah. Menurut beberapa riwayat, Nabi (saw) mempersaudarakan Hadhrat Abu Ubaidah dengan Hadhrat Salim maula Abu Hudzaifah (budak yang telah dibebaskan oleh Hadhrat Abu Hudzaifah). Menurut beberapa orang lainnya, Nabi (saw) mempersaudarakan beliau dengan Hadhrat Muhammad ibn Maslamah dan menurut beberapa riwayat lain, dengan Hadhrat Sa’d ibn Mu’adz.
Hadhrat Abu Ubaidah ibn Jarrah berpartisipasi dalam pertempuran Badr, Uhud dan semua pertempuran lainnya bersama dengan Nabi. Pada saat Pertempuran Badar, Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah berusia 41 tahun. Pada hari Pertempuran Badar, Hadhrat Abu Ubaidah ibn Jarrah datang ke medan perang di pihak umat Muslim dan ayahnya Abdullah datang ke medan perang di pihak orang-orang kafir. Ayah dan anak bertatap muka. Sang ayah ingin mengincar putranya selama perang, tetapi Hadhrat Abu Ubaidah terus mengalah dan terus menghindar ke satu sisi, tetapi sang ayah tidak menyerah dan berusaha untuk membunuh putranya itu.
Beliau juga berkesempatan untuk membunuh sang ayah, tetapi beliau terus berusaha menghindari sang ayah, beliau tidak membunuhnya dan beliau sendiri terus menghindar. Ketika Hadhrat Abu Ubaidah melihat bahwa sang ayah tidak mau melepaskannya, maka gejolak semangat tauhid beliau dominan sehingga beliau sudah tidak memperdulikan kekerabatan lagi. Ketika Hadhrat Abu Ubaidah melihat bahwa ayah beliau benar-benar berkeinginan kuat untuk membunuhnya dengan itu didasari semata-mata karena beliau telah beriman pada tauhid, kemudian akhirnya Abdullah ayahnya Abu Ubaidah terbunuh di tangan Abu Ubaidah yakni beliau terpaksa membunuh sang ayah.
Pada hari pertempuran Uhud, ‘Abdullah ibn Qami-ah (عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَمِئَةَ) dari pihak Quraisy melemparkan batu dengan keras ke arah Nabi (saw) yang melukai wajah beliau (saw) dan membuat dua gigi beliau (saw) syahid (patah). ‘Abdullah ibn Qami-ah berteriak, خُذْهَا وَأَنَا ابْنُ قَمِئَةُ “Lihat aku, aku ibn Qami-ah.”
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ مِنْ وَجْهِهِ Rasulullah (saw) menyeka darah dari wajah beliau yang diberkahi dan berkata, مَا لَكَ أَقْمَأَكَ اللَّهُ ؟ “Semoga Allah mempermalukanmu.”
Perawi mengatakan, فَسَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِ تَيْسَ جَبَلٍ لا تَيْسَ ، فَلَمْ يَزَلْ يَنْطِحُهُ حَتَّى قَطَّعَهُ قِطْعَةً قِطْعَةً “Kemudian terjadi bahwa Allah menguasakan kepadanya seekor kambing gunung yang memukulinya dengan tanduknya terus-menerus sampai membuatnya tercabik-cabik.”[11]
Menurut riwayat Hadhrat Aisyah, Hadhrat Abu Bakr meriwayatkan, لَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ وَرُمِيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم فِي وَجْهِهِ حَتَّى دَخَلَتْ فِي أُجْنَتَيْهِ حَلَقَتَانِ مِنَ الْمِغْفَرِ فَأَقْبَلْتُ أَسْعَى إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم وَإِنْسَانٌ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ يَطِيرُ طَيَرَانًا ، فَقُلْتُ : اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ طَاعَةً ، حَتَّى تَوَافَيْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم ، فَإِذَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ قَدْ بَدَرَنِي فَقَالَ : “Pada hari pertempuran Uhud, ketika sebuah batu dilemparkan ke wajah Nabi (saw), saya merasa lemparan itu begitu keras sehingga dua rantai helm beliau (saw) sendiri terputus. Segera saya berlari menuju Rasulullah saw dan saya melihat seorang pria bergegas lari ke arahnya. Orang itu bergerak ke arah Rasulullah (saw) seolah-olah sedang terbang. Karena itu, saya berdoa untuknya, ‘Ya Allah, jadikan orang ini sebagai sarana penyebab kebahagiaan’ (Artinya, apa yang dia lakukan harus menjadi penyebab kebahagiaan bagi Nabi (saw) dan juga bagi kita) Ketika kami mencapai Rasulullah (saw), saya melihat Abu Ubaydah ibn Jarrah itulah yang mendahului saya. Dia berkata kepada saya, أَسْأَلُكَ بِاللَّهِ يَا أَبَا بَكْرٍ إِلاَّ تَرَكْتَنِي فَأَنْزِعَهُ مِنْ وَجْنَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم ‘Wahai Abu Bakr, saya memohon kepadamu, demi Allah, biarlah saya yang mengeluarkan rantai ini dari wajah Rasulullah yang diberkahi (saw).’ Jadi, beliau menggigit rantai untuk dikeluarkan dari rahang Rasulullah (saw).”
Hadhrat Abu Bakr bersabda, فَتَرَكْتُهُ “Saya mengizinkannya untuk melakukannya. فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ بِثَنِيَّةِ إِحْدَى حَلْقَتَيِ الْمِغْفَرِ فَنَزَعَهَا وَسَقَطَ عَلَى ظَهْرِهِ وَسَقَطَتْ حدثنيَّةُ أَبِي عُبَيْدَةَ ، ثُمَّ أَخَذَ الْحَلْقَةَ الأُخْرَى بِثَنِيَّتِهِ الأُخْرَى فَسَقَطَتْ ، فَكَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ فِي النَّاسِ أَثْرَمَ Jadi, Hadhrat Abu Ubaidah ibn Jarrah meraih salah satu dari dua rantai tersebut dengan giginya dan mencabutnya begitu keras sehingga beliau terjatuh di tanah dengan punggungnya. Beliau melakukannya sangat kuat sehingga salah satu gigi depan beliau patah. Kemudian beliau gigit rantai satu lagi dengan giginya dan mencabutnya dengan sangat keras sehingga gigi depan beliau yang lain juga patah.”[12]
Pada saat pertempuran Uhud, Hadhrat Abu Ubaidah ibn Jarrah adalah salah satu dari orang-orang yang tetap teguh dengan Nabi (saw) ketika orang-orang bubar.
Ketika sebuah perjanjian ditulis pada kesempatan perjanjian damai Hudaybiyyah di bulan Dzul-Qaidah tahun ke-6 Hijriyyah, dua salinan perjanjian itu disiapkan dan ditandatangani oleh beberapa pejabat dari kedua belah pihak [yaitu pihak Muslim dan pihak Quraisy Makkah] sebagai saksi. Di antara penandatangan di pihak umat Muslim adalah Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Umar, Hadhrat Utsman, Hadhrat Abdul Rahman bin Auf, Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash dan Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah.
Rasulullah (saw) mengirim Abu Ubaidah ibn Jarrah ke banyak Sariyah (ekspedisi). Bentuk jamak dari Sariyah ialah Saraya yang artinya Nabi (saw) telah mengutus beliau dalam sebuah ekspedisi (rombongan perjalanan).
Sariyah menuju Dzul Qishshah. Hadhrat Sahibzada Mirza Bashir Ahmad Sahib MA menulis dalam bukunya Sirah Khatam-un-Nabiyyin, “Sariyah ini dikirim dalam bulan Rabi-ul-Akhir tahun ke-7 Hijriyah. Di bulan Rabiul Akhir, Nabi (saw) mengirim Muhammad ibn Maslamah al-Ansari [sebagai pimpinan Sariyah] ke Dzul Qishshah, yang jaraknya dua puluh empat mil dari Madinah, tempat Banu Tsa’labah tinggal pada masa itu.
Ketika Hadhrat Muhammad bin Maslamah dan sepuluh temannya sampai di sana pada malam hari, mereka melihat seratus pemuda suku ini telah siap berperang. Kelompok ini sepuluh kali lebih banyak dari pada rombongan Sahabat. Hadhrat Muhammad ibn Maslamah segera berbaris di depan pasukan ini.
Jika mereka pergi dengan niat perang, jumlah mereka tentu tidak akan sedikit lalu terjadi saling memanah diantara kedua belah pihak di kegelapan malam. Setelah itu, para kafir menyerang segelintir Sahabat itu dan karena jumlah mereka (penyerang) sangat banyak sehingga sepuluh orang Sahabat ini syahid dalam satu gerakan penyerangan.
Semua kawan Hadhrat Muhammad ibn Maslamah menjadi syahid tetapi Hadhrat Muhammad ibn Maslamah sendiri selamat. Karena menganggap beliau sudah syahid seperti yang lainnya pasukan kufar membiarkan beliau dan mengambil pakaian beliau. Bisa saja Hadhrat Muhammad Bin Maslamah syahid tergeletak di situ namun kebetulan seorang Muslim lewat dan dia mengenali beliau lalu mengangkat beliau dan membawa beliau ke Madinah.
Ketika Rasulullah (saw) mengetahui kejadian ini, beliau (saw) mengirim Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarah ra – yang berasal dari kabilah Quraisy dan salah seorang sahabat besar – ke Dzul Qishshah untuk menuntut balas apa yang terjadi pada Hadhrat Muhammad bin Maslamah ra. Dikarenakan saat itu Rasulullah (saw) juga mendapatkan kabar bahwa orang-orang Banu Tsalabah ingin menyerang kampung-kampung di sekitar Madinah, maka dari itu Rasul mengirim pasukan 40 sahabat yang kuat yang dipimpin oleh Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah ra.
Beliau (saw) memerintahkan mereka berangkat malam itu juga supaya sampai di sana pagi harinya. Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarah ra melaksanakan perintah tersebut dan tepat pada waktu shalat subuh beliau menyerang mereka dengan tiba-tiba sehingga dengan serangan tiba-tiba seperti itu mereka ketakutan dan setelah sedikit perlawanan, mereka pun kabur dan menghilang dalam bukit-bukit dekat situ. Hadhrat Abu Ubaidah menguasai harta ghanimah dan kembali ke Madinah. Serangan ini dilancarkan untuk membalas kezaliman dan memberi hukuman.”
Kemudian yang kedua adalah Sariyyah yang disebut dengan Dzatus Salasil. Sariyyah ini disebut Dzatus Salasil karena musuh mengikat diri mereka satu sama lain dengan rantai supaya mereka perang bersama dan tidak ada yang kabur. Yakni supaya mereka bisa berperang dengan satu baris atau apapun bentuk barisannya yang penting mereka tetap bersama. Salah satu sebab penamaan ini juga adalah di tempat ini dulunya ada sebuah mata air yang bernama al-salsal (السَلسَل والسَلْسَال).
Menurut sebagian riwayat Sariyah ini terjadi pada tahun pada tahun ke- 8 Hijriyyah sedangkan menurut sebagian riwayat lain pada tahun ke-7 Hijriyyah. Rasulullah (saw) mendapat kabar bahwa orang-orang Kabilah Banu Qudha’ah (قُضَاعَةَ) berencana menyerang Madinah. Rasulullah (saw) mengirim Hadhrat Amru bin ‘As dengan 300 muhajirin dan anshar beserta 30 kuda untuk menghukum mereka. Daerah ini berjarak 10 hari perjalanan dari Madinah. Sesampainya di wilayah Banu Qudha’ah, Hadhrat Amru bin ‘As ra mengirim pesan pada Rasulullah (saw) bahwa jumlah musuh sangat banyak, oleh karena itu mohon dikirim pasukan tambahan.
Begitu menerima pesan ini Rasulullah (saw) mengirim 200 lasykar muhajirin dan anshar yang dipimpin oleh Hadhrat Abu Ubaidah untuk membantu. Rasulullah (saw) memerintahkan beliau untuk menemui Hadhrat Amru dan jangan berselisih. Artinya, apapun keputusan yang diambil harus dilaksanakan bersama. Ketika pasukan Abu Ubaidah ini bertemu dengan pasukan Hadhrat Amru, muncullah pertanyaan siapa yang akan menjadi pemimpin seluruh lasykar.
Meskipun dari sisi maqam dan kedudukan Hadhrat Abu Ubaidah lebih berhak untuk menjadi pemimpin, namun ketika Hadhrat Amru bin ‘As bersikeras untuk menjadi pemimpin lasykar, maka Hadhrat Abu Ubaidah menerimanya dengan senang hati karena juga ada perintah dari Rasulullah (saw) untuk tidak berselisih. Di bawah kepemimpinan beliau Hadhrat Abu Ubaidah ra berperang dengan gagah berani sehingga musuh pun kalah.
Setelah kemenangan ini ketika kembali ke Madinah, Rasulullah (saw) mendengar perihal ketaatan Hadhrat Abu Ubaidah. Beliau (saw) bersabda, يَرْحَمُ اللهُ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ ”Semoga Allah Taala merahmati Abu Ubaidah.”[13] Hal demikian karena beliau sudah menegakkan standar ketaatan.
Kemudian, Sariyyah Siful Bahri (سِيفِ الْبَحْرِ) atau Ekspedisi perjalanan ke tepi laut. Semua perang ini adalah Sariyyah yakni tidak diikuti oleh Rasulullah saw. Sariyyah ini dikirim pada tahun ke-8 Hijriyyah ke daerah pantai yang dihuni oleh qabilah Banu Juhainah. Sariyyah ini juga disebut dengan Jaisyul Khabath. Sebab penamaannya adalah kekurangan makanan para sahabat yang membuat mereka terpaksa makan daun pepohonan yang disebut dengan khabath. Makna lain dari khabath adalah merontokkan daun.
Tentang Sariyyah ini disebutkan dalam sahih Bukhari, Hadhrat Jabir (جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ) meriwayatkan, بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثَلاَثَمِائَةِ رَاكِبٍ أَمِيرُنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ نَرْصُدُ عِيرَ قُرَيْشٍ، فَأَقَمْنَا بِالسَّاحِلِ نِصْفَ شَهْرٍ فَأَصَابَنَا جُوعٌ شَدِيدٌ حَتَّى أَكَلْنَا الْخَبَطَ، فَسُمِّيَ ذَلِكَ الْجَيْشُ جَيْشَ الْخَبَطِ “Rasulullah (saw) mengirim kami yang terdiri dari 300 penunggang kuda. Pemimpin kami adalah Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarah ra. Kami berjaga di situ untuk mengawasi kafilah dagang Quraisy. Di sini tidak ada maksud untuk memerangi kafilah Quraisy. Kami bermukim di tepi pantai selama setengah bulan dan kami sangat kelaparan sampai-sampai kami makan dedaunan.”[14]
Terkadang lasykar yang berangkat ke Sariyyah bukan dengan niat perang melainkan ada maksud lain. Terkadang juga terpaksa berperang. Keduanya disebut Sariyyah dan ini adalah satuan tugas yang tidak diikuti Rasulullah saw.
Bagaimanapun juga diriwayatkan, أَكَلْنَا الْخَبَطَ، فَسُمِّيَ ذَلِكَ الْجَيْشُ جَيْشَ الْخَبَطِ، فَأَلْقَى لَنَا الْبَحْرُ دَابَّةً يُقَالُ لَهَا الْعَنْبَرُ “Kami juga maka dedaunan. Oleh sebab itu pasukan ini disebut jaisyul khabath. Pada saat itu laut melemparkan seekor binatang untuk kami yang disebut ‘Anbar.” Artinya, seekor binatang yang sudah mati keluar dari laut atau dikeluarkan sampai ke darat oleh laut dan mati karena tidak bisa hidup tanpa air.
Begitupun diriwayatkan, فَأَلْقَى لَنَا الْبَحْرُ دَابَّةً يُقَالُ لَهَا الْعَنْبَرُ، فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ وَادَّهَنَّا مِنْ وَدَكِهِ حَتَّى ثَابَتْ إِلَيْنَا أَجْسَامُنَا، فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ ضِلَعًا مِنْ أَضْلاَعِهِ فَنَصَبَهُ فَعَمَدَ إِلَى أَطْوَلِ رَجُلٍ مَعَهُ “Seekor binatang terdampar di pinggir pantai dan binatang itu adalah ikan. Ikan yang sangat besar. Kami makan dagingnya sampai setengah bulan dan membalurkan lemaknya ke badan sehingga badan kami kembali segar seperti semula. Hadhrat Abu Ubaidah ra mengambil salah satu tulang rusuknya lalu membuatnya berdiri dan beliau menarik seorang yang paling tinggi yang ada bersama beliau saat itu.”
Satu kali Sufyan bin Uyainah meriwayatkan, ضِلَعًا مِنْ أَعْضَائِهِ فَنَصَبَهُ وَأَخَذَ رَجُلاً وَبَعِيرًا ـ فَمَرَّ تَحْتَهُ “Beliau mengambil salah satu tulang rusuknya lalu memberdirikannya kemudian beliau memilih seseorang sekaligus dengan untanya, karena begitu tingginya tulang tersebut sehingga penunggang itu pun bisa lewat di bawahnya.”
Hadhrat Jabir juga meriwayatkan, وَكَانَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ نَحَرَ ثَلاَثَ جَزَائِرَ، ثُمَّ نَحَرَ ثَلاَثَ جَزَائِرَ، ثُمَّ نَحَرَ ثَلاَثَ جَزَائِرَ، ثُمَّ إِنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ نَهَاهُ. “Dari antara lasykar ada seseorang yang menyembelih 3 unta selama 3 hari untuk makan lasykar. Kemudian Hadhrat Abu Ubaidah melarangnya.”
وَكَانَ عَمْرٌو يَقُولُ أَخْبَرَنَا أَبُو صَالِحٍ أَنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ قَالَ لأَبِيهِ Amru bin Dinar berkata, “Abu Shalih Dzakwaan mengatakan pada kami bahwa Qais bin Sa’ad meriwayatkan dari ayahnya,
كُنْتُ فِي الْجَيْشِ فَجَاعُوا. قَالَ انْحَرْ. قَالَ نَحَرْتُ. قَالَ ثُمَّ جَاعُوا قَالَ انْحَرْ. قَالَ نَحَرْتُ. قَالَ ثُمَّ جَاعُوا قَالَ انْحَرْ. قَالَ نَحَرْتُ ثُمَّ جَاعُوا قَالَ انْحَرْ. قَالَ نُهِيتُ. ‘Saya juga ada dalam pasukan itu dan kami kelaparan. Hadhrat Abu Ubaidah berkata, “Sembelihlah unta.”
Saya pun menyembelih unta.
Kemudian, kami lapar lagi. Hadhrat Abu Ubaidah berkata, “Sembelihlah unta.”
Saya pun menyembelih unta.
Kemudian, kami lapar lagi. Hadhrat Abu Ubaidah berkata, “Sembelihlah unta!”’”
(Artinya, sekarang kondisi sudah sedemikian rupa sehingga mereka terpaksa makan dengan terlebih dahulu menyembelih unta-unta yang dibawa untuk ditunggangi dan mungkin juga membawa barang.)
Diriwayatkan, “Saya pun menyembelih unta. Kemudian, kami lapar lagi. Hadhrat Abu Ubaidah yang tadinya memerintahkan untuk menyembelih unta, sekarang beliau melarang untuk menyembelih unta.”[15]
Dalam riwayat lain diriwayatkan, عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو، أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا ـ رضى الله عنه ـ يَقُولُ Hadhrat Jabir bin Abdullah meriwayatkan, غَزَوْنَا جَيْشَ الْخَبَطِ وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا فَأَلْقَى الْبَحْرُ حُوتًا مَيِّتًا لَمْ يُرَ مِثْلُهُ يُقَالُ لَهُ الْعَنْبَرُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ فَمَرَّ الرَّاكِبُ تَحْتَهُ. “Kami ikut berangkat dengan lasykar Jaisyul Khabath dan Amir kami adalah Hadhrat Abu Ubaidah. Kami sangat kelaparan dan laut melemparkan seekor ikan ke pantai. Ikan itu sudah mati. Kami belum pernah melihat ikan semacam itu. Ikan yang sangat besar. Mungkin ikan paus. Seperti itulah ciri-ciri yang diriwayatkan. Ikan itu disebut dengan ‘ambar. Kami makan dagingnya selama setengah bulan. Kemudian Hadhrat Abu Ubaidah mengambil salah satu tulang ikan dan saking tingginya sehingga penunggang kuda dapat lewat di bawahnya.”
Ibnu Juraij berkata, فَأَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا يَقُولُ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ كُلُوا. “Abu Zubair mengatakan pada saya bahwa beliau mendengar Hadhrat Jabir mengatakan bahwa Hadhrat Abu Ubaidah berkata, ‘Makanlah ikan ini.’” (Meskipun sudah mati, tidak apa-apa makanlah.) فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ “Ketika kami sampai di Madinah kami memberitahu tentang ini pada Rasulullah (saw).” Yaitu ada seekor ikan yang sudah mati dan mereka memakannya karena darurat.
“Beliau (saw) bersabda, كُلُوا رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ، أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ ‘Makanlah rezki yang datang dari Allah Taala. Allah Taala mengirimnya setelah melihat kondisi kalian. Tidak masalah kalian memakannya. Dan kalau masih ada sisanya berikan juga kepada saya. Jika ada kalian bawa.’
فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ {بِعُضْوٍ} فَأَكَلَهُ. Salah seorang dari mereka memberikan sepotong daging ikan itu pada Rasulullah (saw) dan beliau pun menyantapnya.”[16]
Jadi, ketika pulang ke Madinah mereka juga bawa sisa daging ikan itu yang kemudian juga disantap oleh Rasulullah
Hadhrat Sayyid Zainal Abidin Waliyullah rh menulis berkaitan dengan Sariyyah Saiful Bahar ini dalam syarahnya. Saiful bahar yang disebut juga dengan khabath yang sudah disampaikan di atas yakni salah satu Ghazwah yang tidak bertujuan untuk perang. Melainkan lasykar yang ikut dalam ghazwah itu dikirim untuk melindungi kafilah dagang.
Menurut Ibnu Sa’ad satuan tugas ini terdiri dari 300 muhajirin dan anshar. Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah amirnya dan ghazwa ini terkenal dengan nama ghazwa siful bahar. Lasykar dagang dari Buhairah Qalzam biasa lewat dekat tempat itu. Yang dekat jalan lasykar Buhairah Qalzam didirikanlah posko keamanan. Jadi dekat jalan yang biasa dilewati lasykar dagang Buhairah Qalzam didirikan sebuah posko keamanan. Itulah sebabnya disebut dengan ghazwa siful bahar.
Tujuan dikirimnya lasykar ini adalah mendirikan sebuah posko di sana yang bertujuan untuk menjaga keamanan. Nanti akan tahu siapa yang harus dijaga keamanannya. Saif artinya tepi pantai. Ibnu Saad menulis secara ringkas tentang sariyya ini dengan judul sariyatul khabath. Khabath berarti daun pohon. Para mujahid terpaksa makan daun karena kehabisan bekal makanan.
Ibnu Saad menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi pada Rajab 8 Hijri dan ini adalah masa Hadnah yakni masa perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah (saw) melakukan antisipasi jangka panjang dan sebagai bentuk kewaspadaan beliau (saw) mengirim pasukan penjaga keamanan ke saiful bahar dan mendirikan posko keamanan di sana. Pasukan keamanan ini bertugas supaya tidak ada yang menghalangi kafilah qurasy yang datang dari Syam. Yakni kafilah dagang quraisy yang datang dari negri Syam dijaga supaya tidak ada yang mengganggu dan qurasy tidak bisa membuat-buat alasan tentang pelanggaran perjanjian. Saat itu sudah ada perjanjian hudaibiyah. Jangan sampai ada yang mengganggu mereka sehingga mereka bisa menjadikan dalih bahwa umat Muslim telah menyerang kami, maka dari itu perjanjian hudaibiyah sudah berakhir. Supaya tidak ada dalih seperti ini maka dari itu Rasulullah (saw) mengirim lasykar ini. Mendirikan posko keamanan disana untuk menjaga kafilah quraisy.”
Kemudian beliau menulis, “Menurut Ibnu Sa’d tempat yang disebutkan di atas terletak sejauh 5 hari perjalanan dari Madinah. Jadi ini bukan bertujuan untuk perang, melainkan lasykar ini dikirim untuk menjaga keamanan orang-orang kafir sebagaimana sudah saya sampaikan sebelumnya. Inilah upaya menjaga perdamaian. Ketika sudah ada perjanjian maka musuh sekalipun, dijaga keamanannya supaya tidak ada alasan bagi kufar bahwa (Islam) melanggar perjanjian. Tapi, bagaimanapun juga takdir Allah Taala melakukan tugasnya, kalaupun perjanjian ini dilanggar maka kuffarlah yang melanggarnya sehingga melahirkan fatah Makkah.”
Hadhrat Abu Hurairah ra meriwayatkan, أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى قَدِمَ مَكَّةَ فَبَعَثَ الزُّبَيْرَ عَلَى إِحْدَى الْمُجَنِّبَتَيْنِ وَبَعَثَ خَالِدًا عَلَى الْمُجَنِّبَةِ الأُخْرَى وَبَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ عَلَى الْحُسَّرِ فَأَخَذُوا بَطْنَ الْوَادِي “… pada hari Penaklukan Makkah, Rasulullah (saw) masuk ke Makkah. Beliau (saw) menunjuk Hadhrat Zubair untuk memimpin satu lasykar dan Hadhrat Khalid bin Walid memimpin lasykar lainnya. Sedangkan Hadhrat Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin lasykar yang berjalan kaki dan yang di lereng lembah.”[17]
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى الْبَحْرَيْنِ يَأْتِي بِجِزْيَتِهَا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم هُوَ صَالَحَ أَهْلَ الْبَحْرَيْنِ وَأَمَّرَ عَلَيْهِمُ الْعَلاَءَ بْنَ الْحَضْرَمِيِّ فَقَدِمَ أَبُو عُبَيْدَةَ بِمَالٍ مِنَ الْبَحْرَيْنِ فَسَمِعَتِ الأَنْصَارُ بِقُدُومِ أَبِي عُبَيْدَةَ فَوَافَوْا صَلاَةَ الْفَجْرِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْصَرَفَ فَتَعَرَّضُوا لَهُ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حِينَ رَآهُمْ ثُمَّ قَالَ Rasulullah (saw) mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang Bahrain [saat itu mayoritas non Muslim] dengan syarat mereka membayar jizyah (pajak) dan Hadhrat al-‘Alaa bin al-Hadhrami ditunjuk sebagai Amir (Gubernur) bagi mereka. Rasulullah (saw) mengirim Hadhrat Abu Ubaidah ke sana untuk menarik pajak. Setelah tugas tersebut beliau (ra) kembali dan ketika orang-orang mengetahui kedatangan beliau ra maka mereka semua shalat subuh di belakang Rasulullah (saw).
Setelah selesai shalat ketika beliau (saw) menoleh ke belakang maka beliau (saw) tersenyum dan bersabda, أَظُنُّكُمْ سَمِعْتُمْ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَدِمَ بِشَىْءٍ مِنَ الْبَحْرَيْنِ “Sepertinya kalian sudah tahu Abu Ubaidah membawa sesuatu.”
Orang-orang berkata, أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ “Ya, wahai Rasulullah.”
Rasul bersabda, فَأَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا مَا يَسُرُّكُمْ فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ . وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ “Berbahagialah dan berharaplah apa yang lebih baik bagi kalian. Saya tidak menghawatirkan keadaan kalian ketika mengalami kesempitan, melainkan yang saya khawatirkan adalah ketika kalian diluaskan dalam hal duniawi kemudian kalian berlomba-lomba untuk berbanyak-banyak. Semakin kalian larut dalam hal duniawi dan diberikan kelapangan harta lalu terjerumus dalam keserakahan sehingga akhirnya itu dapat membinasakan kalian.”[18]
Dalam kata lain, “Itulah yang saya khawatirkan. Saya tidak khawatir jika kalian kelaparan, yang saya khawatirkan adalah jika kalian menyibukkan diri dalam hal duniawi sehingga jangan sampai kalian membinasakan dirimu sendiri dengan bersikap serakah.”
Ini peringatan yang harus dicamkan oleh setiap orang. Sebagaimana kita saksikan pada masa ini, disebabkan karena tidak menghiraukan hal ini, mayoritas umat Muslim yang bergelimang harta diantaranya termasuk juga para pemimpin Negara-negara Islam terdepan dalam kerakusan dan sudah sedemikian rupa parah. Memang mereka menyebut nama Tuhan namun yang menjadi priorotas mereka adalah kekayaan duniawi dan kebesaran. Oleh karena itu, seharusnya senantiasa mengintrospeksi kondisi diri. Sesuai dengan nubuatan Rasulullah (saw), harta akan datang, namun disebabkan oleh harta tersebut, jangan lantas melupakan agama.
Pada saat Hajjatul Wida pada tahun 10 hijriah, Hadhrat Abu Ubaidah beribadah haji bersama dengan Rasulullah (saw).
Paska kewafatan Rasul, terjadi perdebatan di kalangan umat Islam, apakah di kuburan Rasul perlu dibuatkan lubang kuburan model lahad ataukah model bukan lahad? [19]
Hadhrat Abbas mengirim satu orang kepada Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah dan satu orang kepada Hadhrat Abu Thalhah (أَبُو طَلْحَةَ زَيْدُ بْنُ سَهْلٍ) lalu diputuskanlah, siapa yang datang lebih dulu diantara keduanya, maka akan dibuatkan kuburan sesuai dengan yang dikatakannya.
Hadhrat Abu Ubaidah biasa membuat kuburan tanpa lahad sesuai dengan cara-cara yang biasa dilakukan oleh penduduk Makkah. Sedangkan Hadhrat Abu Thalhah biasa membuat kuburan dengan lahad sesuai dengan cara-cara yang biasa dilakukan oleh penduduk Madinah. Orang yang diutus kepada Abu Talhah dapat berjumpa dengan Abu Thalhah, sedangkan orang yang diutus kepada Abu Ubaidah tidak dapat berjumpa dengan Abu Ubaidah. Kemudian datanglah Abu Talhah dan dibuatkanlah kuburan dengan lahad untuk Rasulullah saw.[20]
Seketika paska kewafatan Rasulullah, terjadi selisih pendapat diantara Anshar dan muhajirin dalam pemilihan khalifah. Berkenaan dengan ini terdapat keterangan dalam sahih Bukhari dan sebelum inipun pernah saya sampaikan pada tema seorang sahabat, namun akan lebih baik jika disampaikan lagi disini karena berkaitan dengan Hadhrat Abu Ubaidah.
Paska kewafatan Rasulullah, kaum anshar berkumpul di rumah Hadhrat Saad bin Ubadah. Mereka berkata: Hendaknya ditetapkan satu amir dari antara kita dan satu lagi dari antara kalian yakni Muhajirin. Lalu Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Umar dan Hadhrat Abu Ubaidah pergi menemui mereka. Hadhrat Umar mulai menyampaikan pidato, namun Hadhrat Abu Bakr menghentikannya.
Hadhrat Umar meriwayatkan, وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِذَلِكَ إِلَّا أَنِّي قَدْ هَيَّأْتُ كَلَامًا قَدْ أَعْجَبَنِي خَشِيتُ أَنْ لَا يَبْلُغَهُ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَتَكَلَّمَ أَبْلَغَ النَّاسِ “Saya ingin berbicara pada saat itu hanya semata-mata saya karena telah mempersiapkan satu pidato yang sangat saya sukai dan saya khawatir jangan sampai Hadhrat Abu Bakr tidak mampu mengutarakan poin tersebut. Namun ketika Hadhrat Abu Bakr berpidato, beliau menyampaikan pidato yang luar biasa dan fasih yang mana paling unggul diantara seluruh pidato.
Hadhrat Abu Bakr bersabda: نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ ‘Kami muhajirin adalah pemimpin sedangkan kalian anshar merupakan pendukung.’
Mendengar hal itu Hadhrat Hubab Bin Mundzir al-Khazraji berkata, لاَ وَاللَّهِ لاَ نَفْعَلُ، مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ ‘Sama sekali tidak, demi Tuhan! Sama sekali tidak. Demi Tuhan! Kami tidak akan berbuat demikian. minnaa Amiirun wa minkum Amiirun – Namun, jika Anda tetap bertahan pada pendapat itu, hendaknya satu Amir dari kalangan kami dan satu Amir dari kalangan kalian.’ Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda dalam pidatonya, لاَ، وَلَكِنَّا الأُمَرَاءُ وَأَنْتُمُ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا، وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا ‘Tidak! Dari kami-lah para pemimpin, sedangkan kalian adalah para waziir (menteri, pendukung). Sebab, dari segi tempat tinggal, orang-orang Quraisy berkedudukan sebagai pusat (tengah-tengah) diantara bangsa Arab. Sedangkan dari sisi garis keturunan, Quraisy adalah yang termulia diantara bangsa Arab.” Hadhrat Abu Bakr kemudian mengusulkan dua nama yakni Hadhrat Umar dan Hadhrat Abu Ubaidah Bin Jarrah. Beliau bersabda, فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ “Baiatlah kalian kepada salah seorang diantara mereka berdua, Umar atau Abu Ubaidah.” Hadhrat Umar berkata: بَلْ نُبَايِعُكَ أَنْتَ فَأَنْتَ سَيِّدُنَا وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Tidak, kamilah yang akan baiat kepada anda, karena anda adalah pemimpin kami dan anda adalah yang terbaik diantara kami dan anda adalah yang paling dicintai oleh Rasulullah (saw).”
Setelah mengatakan demikian Hadhrat Umar memegang tangan Hadhrat Abu Bakr lalu baiat ditangan Hadhrat Abu Bakr setelah itu diikuti oleh yang lainnya untuk baiat.[21]
Demikianlah kedudukan Hadhrat Abu Ubaidah dalam pandangan Hadhrat Abu Bakr yakni dicalonkan untuk menjadi khalifah. Demikian pula seperti yang telah disampaikan tadi bahwa Hadhrat Umar bersabda, “Seandainya Hadhrat Abu Ubaidah masih hidup, maka saya akan calonkan beliau untuk menjadi khalifah berikutnya karena sesuai dengan ucapan Rasulullah (saw), beliau adalah seorang Amiin (jujur).”
Maksud saya (Hudhur) bukan ucapan tetapi sabda Rasulullah (saw).
Ketika terjadi perdebatan perihal khalifah yang akan dipilih, Hadhrat Abu Ubaidah berkata kepada kaum Anshar, “Wahai kelompok Anshar! Kalian adalah orang-orang yang paling pertama memberikan bantuan, jangan sampai sekarang kalian menjadi orang yang paling pertama menciptakan perselisihan.”
Setelah Hadhrat Abu Bakr terpilih sebagai Khalifah, beliau menyerahkan tanggung jawab untuk mengelola Baitul Maal kepada Hadhrat Abu Ubaidah. Hadhrat Abu Bakr mengutus Hadhrat Abu Ubaidah sebagai Amir menuju Syam pada tahun ke-13 Hijriyyah. Setelah Hadhrat Umar terpilih sebagai Khalifah, beliau memberhentikan Hadhrat Khalid Bin Walid dari jabatan komandan lalu menggantinya dengan Hadhrat Abu Ubaidah.
Berkenaan dengan penaklukan Syam, terdapat keterangan bahwa pada tahun ke-13 Hijriyyah terjadi pertempuran dengan pasukan Romawi. Salah satu pemimpin pasukannya adalah Hadhrat Yazid Bin Abu Sufyan (يَزِيْدَ بنَ أَبِي سُفْيَانَ). Yazid juga merupakan nama salah seorang putra Abu Sufyan.[22] Ia menyerang dari sebelah timur Urdun (Yordania). Panglima kedua, Hadhrat Syarjil (Syurahbil) bin Hasanah (شُرَحْبِيْلَ بنَ حَسَنَةَ) yang menyerang dari arah Balqa. Ketiga, dipimpin oleh Hadhrat Amru Bin Ash (عَمْرَو بنَ العَاصِ) yang menyerang dari arah Palestina memasuki Syam. Keempat, dipimpin oleh Hadhrat Abu Ubaidah Bin Jarah yang menyerang ke Hims.
Hadhrat Abu Bakr bersabda, “Ketika mereka semua sudah berkumpul, maka yang bertindak sebagai komandan adalah Hadhrat Abu Ubaidah. Setiap lasykar terdiri dari 4000 pasukan. Lasykar Abu Ubaidah berjumlah 8000 pasukan.”
Ketika lasykar akan berangkat, Hadhrat Abu Bakr bersabda kepada para komandan lasykar, إذا سرت فلا تضيق على نفسك، ولا على أصحابك في مسيرك، ولا تغضب على قومك ولا على أصحابك، وشاورهم في الأمر، واستعمل العدل، وباعد عنك الظلم والجور؛ فإنه لا أفلح قوم ظلموا، ولا نُصِروا على عدوهم، وإذا لقيتم القوم {فَلا تُوَلُّوهُمُ الأَدْبَارَ * وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ} “Janganlah kalian menciptakan kesulitan pada diri sendiri dan juga kawan-kawan. Janganlah memperlihatkan kemarahan kepada kaum dan juga kawan. Mintalah musyawarah dari mereka dan bersikaplah adil. Jauhilah ketidakadilan, karena orang seperti itu tidak pernah mendapatkan kemenangan dan tidak pernah melihat wajah keberhasilan. Jika kalian telah berhadapan dengan musuh, janganlah membalikkan punggung karena Allah Ta’ala berfirman, ‘Siapa yang melarikan diri pada hari itu, maka murka Tuhan akan mengenainya dan tempat tinggalnya nanti adalah Jahannam, kecuali mereka yang merubah tempatnya untuk berperang atau ingin mempertahankan hubungan dengan kawan-kawannya.’
(Sebagaimana tertulis dalam Al Quran Karim dan surat Al Anfal ayat 16-17.)
وإذا أظفرك الله عليهم فلا تَغلُل ولا تمثل ولا تغدر ولا تجبن ولا تقتلوا ولدًا ولا شيخًا ولا امرأة ولا طفلاً، ولا تعقروا بهيمة إلا بهيمة المأكول، ولا تغدروا إذا عاهدتم ولا تنقضوا إذا صالحتم “Jika kalian mendapatkan kemenangan diatas musuh, janganlah membunuh anak-anak, wanita, orang tua, janganlah membunuh hewan, janganlah melanggar janji, janganlah melanggar perjanjian setelah membuatnya.”[23]
Pertama, Hadhrat Abu Ubaidah telah menaklukan kota Maab di Syam. Penduduknya mengajak damai dengan syarat membayar pajak.
Setelah itu beliau mengarahkan tujuan ke Jabiyah. Sesampainya di sana beliau melihat ternyata lasykar Romawi telah siap untuk berperang. Lalu Hadhrat Abu Ubaidah menyampaikan permohonan kepada Hadhrat Abu Bakr untuk mengirimkan tambahan pasukan. Hadhrat Abu Bakr bersabda kepada Hadhrat Khalid Bin Walid yang saat itu tengah melakukan misi di Iraq, “Serahkan setengah pasukan dibawah komando al-Mutsanna Bin Harits lalu berangkatlah untuk membantu Hadhrat Abu Ubaidah.”[24]
Hadhrat Abu Bakr menulis surat kepada Hadhrat Abu Ubaidah, “Saya telah menetapkan Khalid sebagai Amir diatas Anda. Saya tahu Anda adalah lebih baik dan lebih utama dari Khalid.”
Isi selengkapnya surat tersebut adalah sebagai berikut, “Surat dari hamba Allah Atiq Bin Abu Qahafah…” (Atiq adalah nama asli Hadhrat Abu Bakr dan Abu Qahafah adalah nama ayah Hadhrat Abu Bakr) “Surat dari hamba Allah, Atiq Bin Abu Qahafah untuk Abu Ubaidah bin Jarrah. Semoga keselamatan dari Allah Ta’ala tercurah kepada engkau.
أمَّا بعد: فإنِّي قد وَليتُ خَالداً قتالَ الرومِ بالشام، فلا تُخالفهُ، واسمع لهُ وأطعْ أمرهُ، فإنِّي قد وليتهُ عليكَ، وأنا أعلمُ أنَّـكَ خيرٌ منهُ، ولكن ظَننت أنَّ له فِطنة في الحَربِ ليست لكَ، أرادَ اللّٰـهُ بِنا وبكَ سُبلَ الرشاد والسلام عليكَ ورحمةُ اللّٰـهِ Saya telah menyerahkan komando pasukan di Syam kepada Khalid Bin Walid. Anda diharapkan tidak menentangnya. Dengar dan taatlah padanya. Saya telah menetapkan beliau sebagai Wali (Komandan) diatas Anda. Saya mengetahui Anda lebih baik darinya, namun menurut hemat saya, kemahiran yang dimiliki Khalid dalam hal persenjataan dan strategi perang lebih unggul dari Anda. Semoga Allah Ta’ala mengarahkan Anda dan saya kepada jalan yang benar.”[25]
Hadhrat Khalid Bin Walid menulis surat kepada Hadhrat Abu Ubaidah dari Hirah sebuah kota di Iraq, سلامٌ عليك، فإِنِّي أحمد إليك الله الَّذي لا إِله إِلا هو، أمَّا بعد: فإِنِّي أسأل الله لنا ولك الأمن يوم الخوف، والعصمة في دار الدُّنيا، فقد أتاني كتاب خليفة رسول الله يأمرني فيه بالمسير إِلى الشَّام، وبالمقام على جندها والتَّولِّي على أمرها، والله ما طلبت ذلك، ولا أردته، ولا كتبت إِليه فيه، وأنت رحمك الله! على حالك الَّذي كنت به، لا تُعصَى في أمرك، ولا يخالف رأيك، ولا يقطع أمرٌ دونك، فأنت سيِّدٌ من سادات المسلمين، لا ينكر فضلُك، ولا يستغنى عن رأيك، تمَّم الله ما بنا وبك من نعمة الإِحسان، ورحمنا وإِيَّاك من عذاب النَّار، والسَّلام عليك ورحمة الله. “Semoga keselamatan dari Allah tercurah kepada Anda… telah datang surat dari Hadhrat Abu Bakr (Khalifah Rasulullah saw) yang memerintahkan saya untuk berangkat menuju Syam. Beliau menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada saya. Demi Tuhan, saya tidak pernah meminta hal tersebut dan saya pun tidak berhasrat untuk mendapatkannya. Anda memiliki kedudukan seperti sebelumnya. Kami tidak akan bersikap tidak patuh pada Anda. Kami pun tidak akan memutuskan sesuatu dengan mengesampingkan Anda. Anda adalah pemimpin pasukan Islam. Kami tidak dapat menolak keutamaan Anda dan kami tidak dapat mengesampingkan musyawarah Anda…”[26]
Coba perhatikan, bagaimana kualitas orang mukmin, dari kedua belah pihak dizahirkan ketaatan dengan kerendah hatian.
Perang Ajnadain: Perang Ajnadain terjadi pada Jumadil Awwal, 13 Hijriah. Ajnadain merupakan nama sebuah desa dari daerah sekitar Palestina. Di tempat tersebut terjadi peperangan antara pasukan Muslim dengan 100 ribu pasukan Romawi. Dalam riwayat dikatakan, yang bertindak sebagai komandan pasukan Ajnadain adalah saudara Kaisar Romawi Heraclius yang bernama Theodore. Sekitar 35.000 Pasukan Muslim dapat mengalahkan 100.000 pasukan Romawi dan berhasil menaklukan Ajnadain. Setelah mengalahkan Ajnadain Pasukan Muslim mengepung musuh.
Selengkapnya sebagai berikut, pada bulan Muharram 14 Hijriah pasukan Muslim mengepung Damaskus, ibukota Syria dan termasuk salah satu kota yang sangat tua di dunia.
Pengepungan tersebut berlangsung sampai 6 bulan. Pihak musuh menutup gerbang benteng kota. Maka dari itu, lima komandan pasukan Muslim mengepung kota tersebut bersama pasukannya. Hadhrat Abu Ubaidah bersama dengan pasukannya di gerbang sebelah timur. Hadhrat Khalid Bin Walid berada digerbang sebelah barat. Tiga komandan lainnya ditugaskan mengepung gerbang gerbang lainnya.
Pasukan Romawi secara perlahan keluar dan melakukan perlawanan, namun setelah itu kembali lagi masuk lalu menutup gerbang. Mereka berharap kaisar Romawi akan mengirimkan bantuan, namun kesigapan pasukan Muslim telah menghapuskan harapan itu. Suatu malam terjadi keramaian, sehingga para penjaga gerbang pun dibuatnya lalai dari penjagaannya. Lalu Hadhrat Khalid Bin Walid bersama dengan pasukannya dapat menerobos benteng dan memasuki kota dan membuka gerbangnya. Melihat itu, pihak musuh mengajak damai kepada Hadhrat Abu Ubaidah yang saat itu tengah berada di gerbang kota arah lain.
Namun Hadhrat Khalid tidak mengetahui kabar tersebut sehingga terus melakukan gempuran. Pihak musuh datang menemui Hadhrat Abu Ubaidah dan memohon untuk menyelamatkan mereka dari gempuran Khalid. Akhirnya kedua komandan tersebut bertemu di tengah kota lalu dilakukanlah perdamaian dengan pihak musuh, karena Hadhrat Abu Ubaidah telah menempuh janji damai.
Perang Fihl (وَقْعَةُ فِحْلٍ): Fihl adalah satu kota di Syam (Suriah atau sekitar Suriah). Setelah menaklukan Damaskus, pasukan Muslim terus melanjutkan perjalanan. Ternyata pasukan Romawi telah berkumpul di daerah Besan tengah bersiap siap untuk menyerang pasukan Muslim. Pasukan Muslim memasang kemah di Fihl untuk menghadapi musuh.
Untuk menawarkan perdamaian, komandan lasykar Romawi mengirim dutanya kepada Hadhrat Abu Ubaidah. Ketika duta itu sampai di kawasan Muslim, ia melihat tidak adanya perbedaan dan kesenjangan antara komandan dengan pasukan biasa karena mereka duduk bersama. Akhirnya duta itu terpaksa menanyakan kepada seseorang: Yang mana komandan anda? Orang-orang mengarahkan kepada seseorang yang berpenampilan sederhana yang tengah duduk di tanah. Lalu duta itu datang menghampiri dan bertanya: Apakah anda komandan lasykar?
Hadhrat Abu Ubaidah berkata, “Ya.”
Duta tadi menyampaikan tawaran, إن شئتم أعطيناكم دينارين دينارين، وثوبا ثوبا، وأعطيناك أنت ألف دينار، ونعطى الأمير الذى فوقك يعنون عمر بن الخطاب، ألفى دينار، وتنصرفون عنا “Mohon anda bawa pulang kembali lasykar pasukan anda dan sebagai imbalannya setiap pasukan anda akan mendapatkan dua nampan emas, sedangkan komandan akan mendapatkan 1000 dinar dan khalifah kalian akan dihadiahkan 2.000 dinar.”[27]
Hadhrat Abu Ubaidah menolak tawaran tersebut. Beliau berkata, “Kami datang bukan untuk mendapatkan uang atau harta, kami datang untuk meninggikan kalimah Allah.”
Duta musuh itu pergi meninggalkan dengan melontarkan ancaman. Melihat sikapnya seperti itu, Hadhrat Abu Ubaidah memerintahkan pasukan untuk bersiap. Pada keesokan paginya kedua pasukan terlibat peperangan. Hadhrat Abu Ubaidah sendiri berada di tengah pasukan dan memimpin pasukan dengan penuh bijak sehingga meskipun jumlah yang sedikit pasukan Muslim dapat menaklukan pasukan Romawi dan akibatnya seluruh wilayah Urdun dapat ditaklukan oleh pasukan Muslim.
Setelah menaklukan Fahl, pasukan Muslim melanjutkan ke Hims (Homs), kota terkenal di Syam, tempat strategis untuk peperangan dan politik. Di perjalanan mereka melewati kota Baalbek, kota lama Libanon yang berjarak 3 malam perjalanan dari Damaskus, kota tersebut merupakan markaz besar penyembahan berhala. Penduduk disana alih alih menghadapi Hadhrat Abu Ubaidah, mereka mengajukan perdamaian dan itu disetujui dengan syarat membayar pajak. Setelah itu tidak terjadi peperangan dengan mereka dan mereka membayar pajaknya dan diberikan kebebasan untuk tetap menganut agama lamanya. Lalu Hadhrat Abu Ubaidah mengarah ku Hims dan melakukan pengepungan di sana. Hadhrat Khalid Bin Walid pun menyertai beliau.
Para penduduk kota mengharapkan bantuan pasukan dari kaisar, untuk itu mereka siap untuk menghadapi pasukan Muslim. Namun ketika mereka putus asa karena tidak mendapatkan bantuan dari kaisar, lalu mereka melakukan gencatan senjata dan mengajukan damai dan disetujui oleh pihak Muslim. Mereka diberikan perlindungan atas nyawa dan harta mereka dengan damai dan tempat ibadah dan rumah rumah mereka dilindungi. Mereka yang tetap teguh dalam agama mereka ditetapkan pajak atas mereka yakni diberikan kebebasan untuk tetap teguh dalam agamanya, namun harus membayar pajak.
Fath Ladziqiyah (Penaklukan Ladzikiyah atau Laedokia): Setelah itu lasykar Islam mengepung Ladziqiyah, sebuah kota di Syam yang terletak di tepi pantai dan terhitung sebagai daerah sekitar Homs. Dari sisi penjagaan, Ladziqiyah sangat tangguh dan penduduk kotanya memiliki stok pangan (gandum) yang banyak sehingga mereka tidak khawatir dengan pengepungan.
Hadhrat Abu Ubaidah melakukan satu upaya baru untuk menaklukan mereka. Pada malam hari beliau memerintahkan untuk menggali lobang yang banyak lalu menutupinya dengan rerumputan. Pada pagi harinya setelah mengepung benteng musuh lalu menghentikan pengepungan kemudian melakukan perjalanan seolah-olah tengah berangkat ke Homs. Padahal setelah menghentikan pengepungan, mereka pergi ke lobang-lobang di tanah yang luas dan menutupinya dengan rerumputan. Para penduduk yang menyangka telah dihentikannya pengepungan dan pasukan mereka pun merasa bahagia lalu dengan tenang mereka segera membuka gerbang kota.
Pada arah lain Hadhrat Abu Ubaidah kembali bersama dengan lasykar pada malam hari ke tempat mereka bersembunyi di lubang-lubang yang tampak seperti gua. Ketika gerbang kota dibuka pada pagi hari, pasukan Muslim melakukan serangan secara mendadak lalu menerobos kota dan dapat menaklukannya.
Riwayat selanjutnya insya Allah akan berlanjut.
Saat ini kita harus banyak banyak berdoa untuk para Ahmadi di Pakistan, semoga Allah Ta’ala melindungi mereka dari kejahatan para Maulwi dan oknum pejabat pemerintahan. Saat ini tengah berguncang lagi badai penentangan di Pakistan. Para pelaku hukum tidak hanya tidak mengenal keadilan bahkan sudah kehilangan harga dirinya, mereka mengikuti apa yang dikatakan para Maulwi. Menurut saya mereka melakukan itu mungkin untuk menyelamatkan jiwanya, karena dengan begitu mungkin mereka akan tetap dapat bertahan dalam tampuk kekuasaannya. Namun mereka tidak menyadarinya. Perlu untuk selalu diingat bahwa inilah yang akan menjadi penyebab kehancurannya.
Adapun kita telah biasa melewati masa-masa kesulitan ini sejak dulu, saat ini pun insya Allah kita akan melewatinya dengan melihat pertolongan Allah. Namun jika mereka tidak menghentikan perbuatannya ini, maka kebinasaan mereka sudah dipastikan. Saat-saat ini para Ahmadi harus banyak berdoa, semoga Allah Ta’ala menjauhkan kesulitan ini. Tingkatkanlah jalinan pribadi dengan Allah Ta’ala, khususnya para Ahmadi Pakistan, begitu juga para Ahmadi di berbagai negara yang berasal dari Pakistan, semoga pertolongan Allah Ta’ala segera datang sehingga para Ahmadi dapat terbebas dari kesulitan ini.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Saifullah Mubarak Ahmad (Qadian, Bharat/India). Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
[1] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.
[2] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab kisah penduduk Najran (باب قِصَّةُ أَهْلِ نَجْرَانَ).
[3] Sahih Muslim, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), (باب فَضَائِلِ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ رضى الله تعالى عنه).
[4] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab kisah penduduk Najran (باب قِصَّةُ أَهْلِ نَجْرَانَ).
[5] Sahih Muslim, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), (باب فَضَائِلِ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ رضى الله تعالى عنه).
[6] Sahih Muslim, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), (باب فَضَائِلِ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ رضى الله تعالى عنه).
[7] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain ( المستدرك على الصحيحين كِتَابُ مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ذِكْرُ مَنَاقِبِ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حديث رقم 5164).
[8] Shahih Muslim, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), bab keutamaan Abu Bakr (ra) (باب مِنْ فَضَائِلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضى الله عنه).
[9] Sumber : Tirmidzi; Kitab : Budi pekerti yang terpuji (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم); Bab : Biografi Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Ubbay bin Ka’b; No. Hadist : 3730; Al-Ishabah (الإصابة في تمييز الصحابة نویسنده : العسقلاني، ابن حجر جلد : 3 صفحه : 477)
[10] Tarikhul Umam wal Muluuk (تاريخ الطبري – تاريخ الرسل والملوك – الجزء الرابع) karya ath-Thabari (أبو جعفر محمد بن جرير الطبري), bahasan Syura (قِصَّةُ الشُّورَى); Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d; al-Kaamil fit Taarikh (الكامل في التاريخ), bahasan Syura (ذكر قصة الشورى). Dalam dialog antara Khalifah ‘Umar (ra) menjelang wafatnya dengan para Sahabat, beliau (ra) sempat menyebut-nyebut nama Abu Ubaidah bin al-Jarrah (ra) dan Salim Maula Abu Hudzaifah bahwa andai saat itu keduanya masih hidup, ingin sekali beliau mewasiatkan Khilafat kepada mereka.
Dalam Musnad Ahmad (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad 10 yang mendapat kabar suka surga (مُسْنَدُ الْعَشْرَةِ الْمُبَشَّرِينَ بِالْجَنَّةِ ), Awal Musnad Umar (أَوَّلُ مُسْنَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ), (حديث رقم 108) disebutkan, ketika mendapat kabar kewafatan umat Muslim – termasuk Abu Ubaidah dan Mu’adz bin Jabal – karena wabah di Syam, Hadhrat Umar menyebut andai mereka masih hidup niscaya menjadi calon pengganti beliau, yaitu Hadhrat Abu Ubaidah ibn al-Jarrah. Alasannya sebagai berikut, بَلَغَنِي أَنَّ شِدَّةَ الْوَبَاءِ فِي الشَّامِ ، فَقُلْتُ : إِنْ أَدْرَكَنِي أَجَلِي وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ حَيٌّ اسْتَخْلَفْتُهُ فَإِنْ سَأَلَنِي اللَّهُ لِمَ اسْتَخْلَفْتَهُ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قُلْتُ : إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ أَمِينًا ، وَأَمِينِي أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ . Orang-orang pun keberatan dan menanyakan tokoh dari suku Quraisy lainnya (asal Makkah). Hadhrat Umar menyebut nama kedua, Mu’adz bin Jabal dari kalangan Anshar (Madinah). Alasan beliau sebagai berikut: فَإِنْ أَدْرَكَنِي أَجَلِي ، وَقَدْ تُوُفِّيَ أَبُو عُبَيْدَةَ ، اسْتَخْلَفْتُ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ ، فَإِنْ سَأَلَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ : لِمَ اسْتَخْلَفْتَهُ ؟ قُلْتُ : سَمِعْتُ رَسُولَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِنَّهُ يُحْشَرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بَيْنَ يَدَيِ الْعُلَمَاءِ نَبْذَةً .
[11] Musnad asy-Syamiyin (مسند الشاميين للطبراني), (ثور عن الحجوري).
[12] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.
[13] Dalailun Nubuwwah karya al-Baihaqi. Dari segi senioritas (umur dan pengalaman), Hadhrat Abu Ubaidah (ra) lebih unggul dari Hadhrat Amru bin al-‘Ash. Begitu juga dari segi awal masuk Islam dan lama pengkhidmatan terhadap Islam.
[14] Shahih al-Bukhari, Kitab Maghazi (كتاب المغازى), bab ekspedisi militer ke tepi laut dan mereka memakan Quraisy atau ikan besar yang terdampar ke pantai (باب غَزْوَةُ سِيفِ الْبَحْرِ وَهُمْ يَتَلَقَّوْنَ عِيرًا لِقُرَيْشٍ وَأَمِيرُهُمْ أَبُو عُبَيْدَةَ).
[15] Shahih al-Bukhari, Kitab Maghazi (كتاب المغازى), bab ekspedisi militer ke tepi laut dan mereka memakan Quraisy atau ikan besar yang terdampar ke pantai (باب غَزْوَةُ سِيفِ الْبَحْرِ وَهُمْ يَتَلَقَّوْنَ عِيرًا لِقُرَيْشٍ وَأَمِيرُهُمْ أَبُو عُبَيْدَةَ).
[16] Shahih al-Bukhari, Kitab berburu dan menyembelih binatang untuk dimakan (كتاب الذبائح والصيد), bab firman Allah mengenai dihalalkan bagi kalian memakan binatang dari laut untuk dimakan demi manfaat bagi kalian (باب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ}).
[17] Shahih al-Bukhari, Kitab Jihad (كتاب الجهاد والسير), bab Fath Makkah (باب فَتْحِ مَكَّةَ ).
[18] Shahih Muslim, Kitab Zuhd dan kelembutan hati (كتاب الزهد والرقائق).
[19] Sunan Ibnu Maajah, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), 1625. Dari Aisyah radhiallahu anha, ia berkata, لَمَّا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ اخْتَلَفُوا فِي اللَّحْدِ وَالشَّقِّ حَتَّى تَكَلَّمُوا فِي ذَلِكَ وَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمْ . فَقَالَ عُمَرُ لاَ تَصْخَبُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ حَيًّا وَلاَ مَيِّتًا أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا . فَأَرْسَلُوا إِلَى الشَّقَّاقِ وَاللاَّحِدِ جَمِيعًا فَجَاءَ اللاَّحِدُ فَلَحَدَ لِرَسُولِ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ثُمَّ دُفِنَ ـ صلى الله عليه وسلم ـ . “Saat Rasulullah saw wafat, para sahabat berdebat tentang model kuburan beliau, antara akan dibuat model lahad atau model syaq. Para sahabat yang berdebat itu, menggunakan suara keras (nada tinggi). Hingga akhirnya Umar bin Khattab mengingatkan, ‘Janganlah teriak-teriak di dekat Nabi (saw) baik beliau masih hidup atau setelah meninggal.’ Kemudian mereka mengundang tukang membuat lahad dan tukang membuat syaq. Siapa di antara keduanya yang pertama kali datang, itulah model kuburan Nabi saw. Ternyata Allah Swt menakdirkan, tukang lahad yang pertama kali datang sehingga dipilihlah model lahad untuk makam Rasulullah saw.”.
[20] Sunan Ibnu Maajah, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), 1628.Musnad Ahmad, Musnad Abi Bakr (مُسْنَدُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ); Musnad Abi Ya’la al-Maushili (مسند أبي يعلى الموصلي), Musnad Abi Bakr (مُسْنَدُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), (حديث رقم 21); Sirah Ibnu Hisyam (سيرة ابن هشام) karya Abdul Malik bin Hisyam (عبد الملك بن هشام); Muwatha Imam Malik (موطأ مالك), Kitab tentang Jenazah (كِتَابُ الْجَنَائِزِ), bab mengenai mengubur mayat (بَابُ مَا جَاءَ فِي دَفْنِ الْمَيِّتِ), (حديث رقم 554). Dua jenis lubang kubur: 1. Lubang kubur jenis lahad: Lubang lahad ini secara sederhana hanya terdiri dari satu lubang dengan kedalaman sekitar tingginya orang dewasa ditambah dengan satu lambaian tangan ke atas. Adapun lebarnya sekiranya dapat memuat jenazah yang dikebumikan atau kurang lebih satu meter. Peletakkan jenazah pada model lahad ini adalah dengan memosisikan jenazah di sisi sebelah barat lubang, kemudian dihadapkan ke arah kiblat. Setelah itu jenazah ditutup menggunakan papan kayu dengan posisi miring yang bertujuan agar tanah yang runtuh tidak mengenai jenazah tersebut. 2. Lubang kubur jenis syaq: Sederhananya, liang kubur jenis ini terdiri dari dua lubang. Satu lubang berukuran besar, dan satu lubangnya berukuran lebih kecil yang berada di tengah-tengah bagian bawah dari lubang yang lebih besar. Lubang kecil digunakan untuk meletakkan jenazah yang kemudian ditutup dengan papan di atasnya secara horizontal (tidak miring) yang bertujuan agar tanah yang runtuh tidak mengenai jenazah. Kedua model ini sama-sama boleh digunakan sebagaimana yang dikatakan dalam kitab Ahkamul Janaiz, “Boleh membuat kuburan dengan model lahad maupun syaq, karena keduanya sudah banyak dipraktikkan di masa Nabi saw.” https://akurat.co/news/id-950954-read-perbedaan-dua-model-liang-kubur-lahad-dan-syaq
[21] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Fadhail Ash-haabin Nabiyyi (saw) (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab Qaulin Nabiyyi saw, lau kuntu muttakhidzan khalilan (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً ”), 3667.
[22] Yazid bin Abu Sufyan ialah kakak Muawiyah bin Abu Sufyan. Yazid yang ini bukan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan yang memerintahkan pensyahidan Imam Husain sekitar 50 tahun kemudian.
[23] Futuhusy Syam karya al-Waqidi.
[24] Futuhusy Syam karya al-Waqidi; Saifullah –Pedang Allah Khalid bin Walid karya Amid Rukn Shubhi (سيف الله خالد بن الوليد , دراسة عسكرية تاريخية عن معاركه وحياته , ترجمة : العميد الركن صبحي الجابي ط . 7 ,بيروت 1994 , ص 155): بسم الله الرحمن الرحيم , من عبد الله عتيق بن قحافة , إلي خالد بن الوليد , السلام عليكم , أحمد الله الذي لا إله إلا هو , وأصلي علي نبيه صلي الله عليه وسلم , سر حتى تصل جموع المسلمين في بلاد الشام , فهم في حالة كبيرة من القلق , وإنني أعينك قائدا علي جيوش المسلمين وآمرك أن تقاتل الروم , وأنت القائد علي أبي عبيدة ومن معه . وأذهب أبي سليمان , وأتمم عملك بمعونة الله جل شأنه , واقسم جيشك قسمين , ودع النصف مع المثني الذي سيخلفك في العراق . فإذا فتح الله عليكم الشام فارجع إلي عملك ولا يدخلنك عجب فتخسر وتخذل ولا تتباطأ بعمل فإن الله عز وجل له المن وهو ولي الجزاء .
[25] Athlas Khalifah (أطلس الخليفة عمر بن الخطاب رضي الله عنه: سلسلة أطلس تاريخ الخلفاء الراشدين 2) karya Sami bin Abdullah Maghlut (سامي بن عبدالله المغلوث).
[26] Fursanun Nahaar (فرسان النهار من الصحابة الأخيار – ج 2).
[27] Al-Iktifa‘ bima Tadhammanahu min Maghazi Rasulillah wa Ats-Tsalatsah Al-Khulafa’ (الاكتفاء، بما تضمنه من مغازي رسول الله والثلاثة الخلفاء) karya Abu Ar-Rabi’ Sulaiman bin Musa Al-Kala’i Al-Andalusi (لأبي الربيع سليمان بن موسى الكلاعي الأندلسي (565-634هـ)).