Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 72)
Pembahasan lanjutan mengenai seorang Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr atau dianggap oleh Nabi (saw) mengikuti perang Badr), Hadhrat Mu’adz bin al-Harits radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 17 April 2020 (Syahadat 1399 Hijriyah Syamsiyah/23 Sya’ban 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Kisah Sahabat Badr yang akan saya sampaikan pada hari ini adalah Hadhrat Mu’adz bin al-Harits (مُعَاذ بْن الْحَارِث بْن رفاعة بن الحارث بن سواد بن مالك بن غنم) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Beliau berasal dari kalangan Anshar kabilah Khazraj, ranting Banu Malik bin Najjar (مالك بن النجار). Ayahanda beliau bernama al-Harits bin Rafaah. Ibunda beliau bernama Afra binti Ubaid (عفراء بِنْت عُبَيْد بْن ثَعْلَبَة بن عبيد بن ثعلبة بن غنم بن مالك بن النجار). Hadhrat Mu’awwidz dan Hadhrat Auf adalah saudara beliau. Selain ayah, mereka bertiga dalam panggilan dihubungkan kepada ibunya dan ketiganya disebut dengan Banu Afra.
Hadhrat Mu’adz dan dua saudaranya yakni Hadhrat Auf dan Hadhrat Mu’awwidz ikut serta pada perang Badr. Kedua yang terakhir syahid pada perang Badr. Namun Hadhrat Mu’adz ikut serta pada peperangan-peperangan setelahnya bersama Rasulullah.
Berdasarkan satu riwayat, يروى أن معاذ بن الحارث ورافع بن مالك الزرقي أول من أسلم من الأنصار بمكة ويجعل معاذ هذا في النفر الثمانية الذين أسلموا أول من أسلم من الأنصار بمكة Hadhrat Mu’adz bin al-Harits dan Hadhrat Rafi bin Malik az-Zurqi termasuk kalangan Anshar yang awal beriman kepada Rasulullah di Makkah. Sedangkan Hadhrat Mu’adz termasuk delapan Anshar yang beriman kepada Rasulullah pada kesempatan Baiat Aqabah pertama.[1] Beliau juga hadir pada baiat Aqabah kedua. Ketika Hadhrat Ma’mar bin Harits (مَعْمَرِ بنِ الحَارِثِ الجُمَحِيِّ) hijrah dari Makkah ke Madinah, Rasul menjalinkan persaudaraan antara beliau dengan Hadhrat Mu’adz bin al-Harits.[2]
Meskipun pada khotbah yang lalu telah diterangkan sampai batas tertentu berkenaan dengan pembunuhan Abu Jahl, namun pada kesempatan ini perlu juga saya sampaikan karena berkaitan dengan Hadhrat Mu’adz. Saya merujuk dari riwayat Bukhari. Dalam hal ini tidak dapat disampaikan secara singkat, perlu disampaikan seutuhnya.
Shalih bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan dari kakeknya Hadhrat Abdurrahman bin Auf, mengatakan, بَيْنَا أَنَا وَاقِفٌ، فِي الصَّفِّ يَوْمَ بَدْرٍ فَنَظَرْتُ عَنْ يَمِينِي، وَشِمَالِي، فَإِذَا أَنَا بِغُلاَمَيْنِ، مِنَ الأَنْصَارِ حَدِيثَةٍ أَسْنَانُهُمَا، تَمَنَّيْتُ أَنْ أَكُونَ بَيْنَ أَضْلَعَ مِنْهُمَا، فَغَمَزَنِي أَحَدُهُمَا “Saya tengah berdiri di barisan dalam perang Badr, mengarahkan pandangan ke kanan dan kiri, ternyata ada remaja lelaki Anshar. Saya pun berkeinginan andai saya berada diantara orang-orang yang lebih perkasa dari mereka berdua.
Tidak lama kemudian, salah seorang dari anak itu memegang tangan saya dan bertanya, يَا عَمِّ، هَلْ تَعْرِفُ أَبَا جَهْلٍ ‘Paman, apakah paman mengenal yang mana Abu Jahl?’
Saya jawab, نَعَمْ، مَا حَاجَتُكَ إِلَيْهِ ‘Ya, apa urusanmu dengannya?
Anak itu menjawab, يَا ابْنَ أَخِي قَالَ أُخْبِرْتُ أَنَّهُ يَسُبُّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَئِنْ رَأَيْتُهُ لاَ يُفَارِقُ سَوَادِي سَوَادَهُ حَتَّى يَمُوتَ الأَعْجَلُ مِنَّا. ‘Saya dengar Abu Jahl sering menghina Rasulullah (saw). Demi Dzat yang jiwa saya berada di tangan-Nya, jika saya bisa melihatnya, mata saya dan matanya tidak akan berpisah sebelum salah satu dari kami ditakdirkan mati terlebih dulu.’
فَتَعَجَّبْتُ لِذَلِكَ، فَغَمَزَنِي الآخَرُ فَقَالَ لِي مِثْلَهَا، فَلَمْ أَنْشَبْ أَنْ نَظَرْتُ إِلَى أَبِي جَهْلٍ يَجُولُ فِي النَّاسِ، قُلْتُ أَلاَ إِنَّ هَذَا صَاحِبُكُمَا الَّذِي سَأَلْتُمَانِي. Saya heran dibuatnya. Anak remaja yang kedua memegang tangan saya dan menanyakan pertanyaan yang sama. Tidak lama kemudian, saya melihat Abu Jahl tengah berkeliling diantara pasukan, saya berkata, ‘Itulah orang yang kamu tanyakan.’
Seketika mendengar itu, kedua anak itu langsung melesat ke arah Abu Jahl dengan mengangkat pedang lalu menyerang Abu Jahl dan berhasil menumbangkannya. فَابْتَدَرَاهُ بِسَيْفَيْهِمَا فَضَرَبَاهُ حَتَّى قَتَلاَهُ، ثُمَّ انْصَرَفَا إِلَى رَسُولِ اللَّهُ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَاهُ Setelah itu kedua anak itu kembali menjumpai Rasul dan mengabarkan kepada beliau. Rasul bertanya, أَيُّكُمَا قَتَلَهُ ‘Siapa diantara kamu berdua yang membunuh Abu Jahl?’
قَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنَا قَتَلْتُهُ Keduanya sama-sama mengatakan, ‘Saya telah membunuhnya.’
Rasul bertanya, هَلْ مَسَحْتُمَا سَيْفَيْكُمَا ‘Apakah kalian sudah menyeka dan membersihkan pedang kalian?’
Mereka menjawab, ‘Belum.’
Setelah melihat kedua pedang mereka, Rasul bersabda, كِلاَكُمَا قَتَلَهُ ‘Kalian berdualah yang telah membunuh Abu Jahl.’
سَلَبُهُ لِمُعَاذِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْجَمُوحِ. وَكَانَا مُعَاذَ ابْنَ عَفْرَاءَ وَمُعَاذَ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْجَمُوحِ Walau bagaimanapun Nabi s.a.w. memutuskan Mu’adz bin Amru bin Jamuh mendapat salab (bagian) harta ghanimahnya. Dua orang anak muda yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah Mu’adz bin Afra dan Mu’adz bin Amru bin Jamuh.” (Sahih Bukhari)[3]
Diriwayatkan oleh Hadhrat Anas bahwa ketika berakhirnya perang Badr, Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, مَنْ يَنْظُرُ مَا صَنَعَ أَبُو جَهْلٍ “Apakah ada yang dapat memberikan kabar yang benar mengenai Abu Jahl?”
Hadhrat Abdullah bin Mas’ud lalu pergi dan mendapati Abu Jahl tengah terluka parah dan sekarat di medan perang. Dua pemuda – Mu’adz dan Mu’awwidz – kedua putra Afra (ابْنَا عَفْرَاءَ) yang telah membuatnya seperti itu. Hadhrat Abdullah bin Mas’ud sambil memegang janggutnya, berkata, آنْتَ أَبُو جَهْلٍ “Apakah kamu yang bernama Abu Jahl?”
Abu Jahl menjawab, وَهَلْ فَوْقَ رَجُلٍ قَتَلْتُمُوهُ أَوْ قَالَ قَتَلَهُ قَوْمُهُ “Apakah kamu pernah membunuh seorang pemimpin yang lebih hebat dariku?” Atau mengatakan, “Apakah ada orang yang lebih hebat dariku yang telah dibunuh oleh kaumnya sendiri?”
Ahmad bin yunus berkata dalam riwayatnya, Hadhrat Abdullah bin Mas’ud mengucapkan, kamukah Abu Jahl? (Hadits Bukhari)[4]
Hadhrat Sayyid Zainal Abidin Waliyullah Syah memberikan syarh hadits pada riwayat Bukhari tersebt, “Di dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa kedua anak Afra, yakni Mu’awwidz dan Mu’adz-lah yang telah membuat Abu Jahl sekarat, setelah itu Hadhrat Abdullah bin Mas’ud memenggal kepala Abu Jahl. Imam Ibnu Hajar mengemukakan hipotesa (kemungkinan) bahwa setelah Mu’adz bin Amru bin al-Jamuh dan Mu’adz bin Afra, Mu’awwidz bin Afra pun ikut menyerangnya juga.”[5]
Pada saat perang Badr siapa saja yang ikut andil dalam pembunuhan Abu Jahl? Berkenaan dengan ini didapatkan keterangan lengkap sebagai berikut, وَذكر ابْن هِشَام عَن زِيَاد عَن ابْن إِسْحَاق: أَنه الَّذِي قطع رجل أبي جهل بن هِشَام وصرعه، وَقَالَ: وَضرب ابْنه عِكْرِمَة بن أبي جهل يَد معَاذ فطرحها، ثمَّ ضربه معوذ بن عفراء حَتَّى أثْبته وَتَركه وَبِه رَمق، ثمَّ وقف عَلَيْهِ عبد الله بن مَسْعُود واحتز رَأسه حِين أمره رَسُول الله، صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، أَن يلتمسه فِي الْقَتْلَى، وَفِي (صَحِيح مُسلم) ابْن ابْني عفراء ضرباه حَتَّى برد، بِالدَّال: أَي مَاتَ. وَفِي رِوَايَة: (حَتَّى برك) ، بِالْكَاف أَي: سقط على الأَرْض، وَكَذَا فِي البُخَارِيّ فِي: بَاب قتل أبي جهل، “Sejarawan Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Allamah Ibnu Ishaq bahwa Mu’adz bin Amru bin Jamuh memotong kaki Abu Jahl sehingga membuatnya terjatuh. Ikrimah putra Abu Jahl lalu menebaskan pedangnya ke tangan Mu’adz yang mengakibatkan putus tangannya. Kemudian Mu’awwiz bin Afra menyerang Abu Jahl yang membuatnya terjatuh, namun saat itu Abu Jahl masih bernyawa. Kemudian, Abdullah bin Mas’ud memenggalnya sehingga kepalanya terpisah dari leher.
Eksekusi tersebut terjadi setelah Hadhrat Rasulullah (saw) mengutus Abdullah bin Mas’ud untuk mencari Abu Jahl diantara para korban yang terbunuh. Menurut Kitab Sahih Muslim kedua putra Afra menyerang Abu Jahl hingga mati. Begitu juga dalam Bukhari disebutkan sama pada Bab Qatl Abu Jahl.
وَادّعى الْقُرْطُبِيّ أَنه وهم، الْتبس على بعض الروَاة معَاذ بن الجموح بمعاذ بن عفراء،. Menurut Imam Qurtubi (امام قرطبی), pendapat yang menyatakan kedua putra Afra yang membunuh Abu Jahl adalah meragukan. Menurutnya, sebagian perawi yang merasa ragu berpandangan itu adalah Mu’adz bin Amru bin Jamuh. Artinya, bukan Mu’adz bin Afra. Orang yang dimaksud adalah Mu’adz bin Amru bin Jamuh sedangkan orang-orang menganggapnya Mu’adz bin Afra.
وَقَالَ ابْن الْجَوْزِيّ: ابْن الجموح لَيْسَ من ولد عفراء، ومعاذ بن عفراء مِمَّن بَاشر قتل أبي جهل، فَلَعَلَّ بعض إخْوَته حَضَره أَو أَعْمَامه، أَو يكون الحَدِيث: ابْن عفراء، فغلط الرَّاوِي فَقَالَ: ابْنا عفراء،. Allamah Ibnu al-Jauzi (علامہ ابن ابن الجوزی) mengatakan, ‘Mu’adz bin Amru bin Jamuh bukanlah keturunan Afra. Mu’adz bin Afra termasuk orang yang membunuh Abu Jahl. Mungkin saja ada saudara atau paman Mu’adz bin Afra saat itu atau dalam riwayat disebutkan seorang putra Afra lalu perawi telah keliru menyebutnya kedua putra.’
وَقَالَ أَبُو عمر: أصح من هَذَا حَدِيث أنس بن مَالك: أَن ابْن عفراء قَتله،. Alhasil, Abu Umar (ابوعمر) mengatakan berkenaan dengan riwayat tersebut, ‘Hadits yang diriwayatkan oleh Hadhrat Anas bin Malik lebih sahih yaitu Ibnu Afra (seorang putra Afra) telah membunuh Abu Jahl yang artinya hanya seorang putra Afra.’
وَقَالَ ابْن التِّين: يحْتَمل أَن يَكُونَا أَخَوَيْنِ لأم، أَو يكون بَينهمَا رضَاع،. Ibnu at-Tiin (ابْن التِّين) mengatakan, ‘Terdapat kemungkinan bahwa kedua Mu’adz yakni Mu’adz bin Amru bin Jamuh dan Mu’adz bin Afra adalah bersaudara dari garis ibu atau keduanya merupakan saudara sepesusuan.’[6] وَقَالَ الدَّاودِيّ: ابْنا عفراء: سهل وَسُهيْل، وَيُقَال: معوذ ومعاذ،. Allamah ad-Daudi menyebutkan bahwa yang dimaksud kedua putra Afra adalah Sahl dan Suhail. Sedangkan ada yang mengatakan bahwa keduanya yang dimaksud adalah Mu’adz dan Mu’awwidz.” [7]
Alhasil, terdapat riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa tiga orang yang telah membunuhnya. Sebagian berpendapat dua orang. Disebutkan juga Hadhrat Mu’adz bin Amru bin Jamuh dan Hadhrat Mu’adz bin al-Harits.
Hadhrat Sahibzada Mirza Bashir Ahmad Sahib menulis berkenaan dengan keadaan perang Badr yang didalamnya berkaitan dengan kisah pembunuhan Abu Jahl, tertulis sebagai berikut: “Saat itu keadaan sedang berkecamuk di medan perang. Pasukan muslim berhadapan dengan pasukan yang jumlahnya tiga kali lipat lebih besar dan dilengkapi berbagai senjata. Mereka berderap menuju medan perang disertai dengan tekad untuk menghapuskan nama Islam. Sedangkan jumlah pasukan Muslim sedikit, senjata alakadarnya, sederhana dan masih diliputi kesedihan paska pengusiran dari negerinya sehingga dari sisi perlengkapan, akan dapat dikalahkan dalam beberapa menit saja.
Namun kecintaan kepada tauhid dan kenabian telah menjadikan larut, begitu juga sesuatu yang sangat berharga dan tidak ada yang lebih kuat darinya di dunia ini yakni keimanan yang hidup telah memenuhi diri mereka dengan kekuatan yang luar biasa. Saat itu mereka tengah menampilkan teladan pengkhidmatan agama di medan perang yang tidak kita temukan bandingannya. Setiap orang berlomba lomba satu sama lain untuk berderap maju dan nampak sangat berhasrat untuk mempersembahkan jiwanya di jalan Allah. Hamzah, Ali dan Zubair telah memporak porandakan barisan saf musuh.
Gejolak ketulusan anshar sedemikian rupa, dimana Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, ‘Ketika peperangan dimulai, saya melihat ke kiri dan kanan saya, namun apa yang saya lihat? Ada dua pemuda anshar berdiri di sebelah kanan dan kiri saya. Setelah melihat mereka, semangat saya menjadi sedikit menurun.’
Sebabnya, dalam peperangan seperti itu sangat bergantung pada pertempuran kawan yang ada di sebelah kiri dan kanan. Yang dapat bertempur dengan baik adalah mereka yang sisinya terlindungi.
Namun Abdurrahman mengatakan, ‘Ketika saya berpikir seperti itu salah seorang dari keduanya bertanya kepada saya dengan suara pelan, seolah-olah mereka ingin menyembunyikannya satu sama lain, ingin supaya yang lainnya tidak mengetahui. Ia bertanya: “Wahai paman! Yang manakah Abu Jahl yang selalu menyakiti Rasul di Makkah? Saya telah berjanji kepada Tuhan untuk membunuhnya atau terbunuh dalam upaya untuk membunuhnya.”
Belum saja saya menjawabnya, dari arah yang lain anak kedua bertanya hal yang sama dengan suara pelan. Melihat keberanian mereka, saya sangat terheran dibuatnya, karena Abu Jahl adalah pemimpin lasykar, di sekelilingnya dijaga oleh pasukan yang berpengalaman. Saya lalu tunjukkan dengan tangan saya lalu berkata:Itu Abu Jahl.
Baru saja saya mengisyaratkan, kedua anak itu langsung melesat seperti burung elang yang menembus barisan musuh lalu sampailah di sana kemudian melancarkan serangan dengan hebatnya sehingga Abu Jahl dan kawan-kawannya hanya dapat menyaksikan lalu Abu Jahl tumbang ke tanah.
Ikrimah bin Abu Jahl pun tengah bersama ayahnya saat itu, ia tidak dapat menyelamatkan ayahnya, namun ia menebaskan pedangnya dari belakang kepada Mu’adz sehingga mambuat lengan kiri Mu’adz putus dan terkulai. Mu’adz mengejar Ikrimah, namun Ikrimah lolos. Karena tangan putus lunglai dapat menganggu pertarungan sehingga Mu’adz menariknya dengan keras yang membuat terpisah tangan dari tubuhnya kemudian bertempur lagi.”
Hadhrat Khalifatul Masih Kedua (ra) menjelaskan kejadian tersebut sebagai berikut, “Abu Jahl ialah orang yang pada saat kelahirannya dirayakan sedemikian rupa sampai berminggu-minggu menyembelih unta-unta dan dagingnya dibagikan kepada orang-orang. Ketika kelahirannya, suasana Makkah dipenuhi dengan suara alat musik tiup dan tetabuhan. Kelahirannya dirayakan dengan penuh kebahagiaan di seluruh Makkah. Namun demikian, ketika terbunuh pada perang Badr, dua orang pemuda Anshar yang masih berumur 15 tahun berhasil melukainya.
Hadhrat Abdullah bin Masud mengatakan, ‘Ketika orang-orang kembali pulang setelah selesainya perang, saya pergi untuk melihat orang-orang yang terluka di medan perang.’
Hadhrat Abdullah bin Masud pun dulunya adalah penduduk Makkah sehingga Abu Jahl mengenalnya dengan baik.
Hadhrat Abdullah berkata, ‘Saat itu saya tengah mengelilingi medan perang lalu apa yang saya lihat? Abu Jahl tengah merintih kesakitan karena terluka parah. Ketika saya sampai di dekatnya, Abu Jahl berkata kepada saya, “Sekarang saya tampak tidak akan selamat. Rasa sakit semakin bertambah. Kamu juga adalah orang Makkah. Saya berkeinginan supaya kamu membunuhku supaya hilang rasa sakit ini. Namun kamu tahu bahwa aku adalah pemimpin Arab, di Arab terdapat tradisi, ketika dipenggal leher para pemimpin, disisakan panjang sebagai tanda bahwa ini adalah seorang pemimpin. Saya ingin kamu memotong dengan menyisakan panjang leherku.”’
Hadhrat Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Saya sisakan sedikit saja lehernya. Keinginan terakhirmu ini tidak akan dipenuhi.’
Dari sisi akhir kehidupannya, coba perhatikan, kematian Abu Jahl dalam keadaan yang sangat terhina. Leher yang ketika hidup selalu meninggi, namun ketika mati lehernya dipenggal dengan disisakan sedikit sehingga keinginan terakhirnya tidak terpenuhi.”
Hadhrat Rubayyi putri Mu’awwidz meriwayatkan (عن الربيع بنت معوذ:), أن عمها معاذ بْن عفراء بعث معها بقناع من رطب، فوهبها النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حلية أهداها لَهُ صاحب البحرين “Paman saya Mu’adz bin Afra pernah memberikan kepada saya kurma segar. Setelah itu saya menghadiahkan kurma tersebut kepada Rasulullah (saw). Nabi (saw) lalu menghadiahi saya perhiasan yang dikirimkan oleh penguasa Bahrain kepada beliau (saw) sebagai hadiah.”
Dalam riwayat lain, binti Muawwidz meriwayatkan, أن عمها معاذا أهدى معها للنبي، فوهبها حلية جاءته من صاحب البحرين “Paman saya Hadhrat Mu’adz menyuruh saya mengirimkan hadiah ke hadapan Nabi (saw). Nabi lalu menghadiahi saya perhiasan yang beliau dapatkan dari penguasa Bahrain.”
Allamah ibnu Al-Atsir menulis, وَإِنما أهدى لَهُ صاحب البحرين وغيره من الملوك لِمَا اتسع الإسلام وكاتب الملوك، وأهدى لَهُم، فكاتبوه وأهدوا إليه، وهذا إنما كَانَ بعد بدر بعدة سنين. “Gubernur Bahrain [saat itu vassal atau bawahan Persia] dan raja-raja lainnya pernah memberikan hadiah dan lain-lain kepada Rasulullah (saw) ketika Islam semakin menyebar. Rasulullah (saw) biasa mengirimkan surat dan juga hadiah kepada mereka. Sebagai balasannya mereka pun menulis surat kepada Rasulullah dan juga hadiah-hadiah.”
Hadhrat Mu’adz bin al-Harits memiliki empat istri, nama-namanya sebagai berikut: Habibah binti Qais (حبيبة بِنْت قَيْس بْن زيد بن عامر بن سواد بن ظفر) yang terlahir seorang putra darinya bernama Ubaidullah (عُبَيْد الله). Istri kedua adalah Ummul Harits binti Sabrah (أم الْحَارِث بِنْت سبرة بْن رفاعة بن الحارث) darinya terlahir Harits (الحارث), Auf (عوف), Salma Ummu Abdillah (سلمى. وهي أم عَبْد الله) dan Ramlah (رملة). Istri yang ketiga adalah Ummu Abdillah binti Numair (أم عَبْد الله بِنْت نمير بْن عَمْرو بْن عليّ من جهينة) darinya lahir Ibrahim (إبراهيم) dan Aisyah (عائشة). Istri keempat adalah Ummu Tsabit Ramlah binti Harits (أم ثابت. وهي رملة بِنْت الْحَارِث بْن ثَعْلَبَة) darinya lahir Sarah (سارة).[8]
Allamah Ibnu Al-Atsir menulis berbagai pendapat dalam bukunya Usdul Ghaabah berkenaan dengan kewafatan Hadhrat Mu’adz, sebagai berikut: وقيل: إن معاذا بقي إِلَى زمن عثمان، وقيل: إنه جرح ببدر، وعاد إِلَى المدينة فتوفي بِهَا. وقال خليفة: عاش معاذ إِلَى زمن عَليّ. “Menurut satu pendapat, Hadhrat Mu’adz Ra terluka pada perang Badr. Sepulangnya ke Madinah beliau wafat disebabkan karena luka luka tadi. Menurut pendapat lain, beliau wafat sampai masa kekhalifahan Hadhrat Usman. Menurut pendapat lainnya, beliau terus hidup sampai masa kekhalifahan Hadhrat Ali.”[9]
وتوفي معاذ بن الحارث بعد قتل عثمان أيام حرب علي ومعاوية Beliau wafat ketika terjadi peperangan antara Hadhrat Ali dan Hadhrat Muawiyah.[10] Perang yang dimaksud ialah perang Shiffin. Perang Shiffin terjadi pada tahun 36 atau 37 Hijriyah (sekitar 656 atau 657 Masehi). Hadhrat Mu’adz berperang dengan berada di pihak Hadhrat Ali.
Mengenai kewafatannya terdapat beragam riwayat. Dari itu dapat diketahui bahwa beliau berumur panjang. Begitu juga jika dilihat dari anak-anak dan para istri beliau, maka beliaulah orangnya.
Setelah ini saya akan sampaikan dzikr–e–khair atas kewafatan Yth Rana Na’imuddin Sahib bin Mukarram (Yth.) Fairuzuddin Munshi Sahib (رانا نعیم الدین صاحب ابن مکرم فیروز دین منشی صاحب). Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Beliau sakit cukup lama dan sering masuk rumah sakit karena keluhan beragam penyakit. Dokter pun pernah mengatakan bahwa ini adalah kali terakhir, namun Allah ta’ala menurunkan karunia-Nya lalu beliau sembuh. Ketika beliau telah sembuh dan mampu berjalan, beliau biasa datang ke mesjid. Penyakit terakhirnya itu terbukti ganas dan menyebabkan kewafatan beliau.
Berdasarkan dokumen Rana sahib lahir pada tahun 1934. Berdasarkan riwayat lainnya ada yang mengatakan tahun 1930 atau 1932. Namun berdasarkan dokumen resmi beliau lahir pada tahun 1934. Menurut itu beliau tutup umur pada usia 86 tahun. Pertama kali jemaat masuk ke dalam keluarga beliau melalui ayahanda beliau Ferozuddin sahib yang baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam melalui surat.
Paska perpisahan India dan Pakistan, awalnya beliau pindah ke Lahore-Pakistan lalu pada tahun 1948 pindah ke Rabwah. Setelah itu beliau mempersembahkan diri untuk Furqan Batalyon. Setelah itu Hadhrat Khalifatul Masih kedua (ra) mengutus beliau ke dekat Mirpurkhas untuk mengurusi tanah. Beliau tinggal beberapa tahun di sana. Beliau sudah lama masuk nizam alwasiyat yakni tahun 1951. Istri beliau bernama Sarah Parwin, cucu sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as) bernama Daulat Khan Sahib.
Jejak pengkhidmatan beliau berdasarkan data yang dimiliki kantor yakni berdasarkan penugasan kantor pengamanan khusus Rana Sahib ditetapkan sebagai petugas cadangan pada tanggal 3 Agustus 1954. Sejak itu dari tahun November 1955 s/d 11 Mei 1959 sebagai bodyguard dalam pengamanan khusus. Ketika Hadhrat Khalifatul Masih kedua biasa berkunjung ke Nakhlah Jabah untuk pengerjaan tafsir dan saat itu beliau Ra biasa tinggal salama berbulan-bulan di sana, almarhum Rana Shab juga ikut serta untuk penjagaan dan mengurusi diesel generator listrik. Kawasan ini kecil, almarhum juga bertugas sebagai security (bidang keamanan) di sana.
Menurut data di kantor alwasiyat, pada tahun 1978 beliau berhenti bertugas di bagian pengamanan. Selanjutnya beliau pergi ke Harpah daerah Sahiwal. Setelah itu beliau berkhidmat sebagai khadim mesjid. Saat itu pada bulan oktober 1984 penentang menyerang Masjid Baituz Zikr Sahewal dan saat itu beliau bertugas melakukan penjagaan di sana. Ketika terjadi penyerangan di sana, almarhum menanggapi serangan. Mereka memejahijaukan 11 orang Ahmadi termasuk Rana Sahib yang karena hal itu Almarhum mendapatkan kehormatan masuk penjara dari tahun 1984 sampai 1994.
Bukannya memproses para penyerang justru polisi malah memejahijaukan ke-11 orang Ahmadi ini dan menghukumnya. Kasus tersebut dipindahkan ke pengadilan militer yakni pengadilan khusus pada masa Zia ul Haq dimana pada 16 februari 1985 dimulai sesi mendengar (hearing) dan berlangsung sampai tanggal 1 juni 1985.
Jumlah semua Ahmadi yang dikasuskan adalah 11 orang namun di kemudian hari tinggal 7 orang yang salah satunya adalah Rana Sahib yang putusannya ditunda. Yang keempat orang, dua diantaranya pindah keluar negeri, dua orang lagi dibebaskan. Sementara yang 7 orang putusannya ditunda. Kemudian, pengadilan tersebut yakni pengadilan militer khusus menetapkan hukuman mati bagi Ilyas Munir dan Rana sahib. Selebihnya yang 5 orang ditetapkan hukuman penjara 25 tahun. Alhasil, setelah dilakukan banding atas putusan tersebut pengadilah Lahore membebaskan mereka pada bulan maret 1994 dan setelah lengkapnya dokumen, tanggal 19 Maret 1994 beliau resmi bebas. Dengan demikian mereka mendapatkan kehormatan untuk bersabar di penjara selama sembilan setengah tahun.
Para penentang mengajukan banding ke supreme court (Mahkamah Agung) atas putusan pembebasan mereka di high court (Pengadilan Tinggi). Itu pun dimulai pada bulan Mei 2013. Namun tidak ada prakarsa untuk melakukan sesi mendengarkan dan mereka berdua sudah berada di luar negeri dan sampai saat ini kasus tersebut tertunda.
Selama dipenjara, beliau mendapatkan siksaan dari polisi. Secara khusus diupayakan supaya beliau memberikan keterangan karena beliau bertugas sebagai pengawal khalifah. Polisi mengatakan, “Khalifah telah mengutusmu melakukan tugas untuk memukul umat Islam.” Setelah beliau terbebas dari persidangan itu tahun 1994 beliau pindah ke London dan di sini pun beliau terus melakukan tugas pengawalan dan dari sisi umur, beliau sudah terlampaui.
Pada tahun 2010 putri sulung beliau wafat beberapa hari berikutnya istri beliau menyusul wafat. Beliau pernah bertanya kepada saya (Hudhur V atba), “Tampak sulit untuk pergi ke Pakistan saat itu.” Namun, saya katakan kepada beliau untuk berangkat dan segera kembali. Beliau pergi dan beberapa hari kemudian pulang kembali ke UK.
Keluarga yang ditinggalkan diantaranya, seorang putra dan 4 putri. Putra beliau Rana Wasim adalah Waqif Zindegi yang bertugas di kantor private sekretary UK. Keempat putri beliau menetap di UK.
Putra beliau menulis, “Ayah selalu memberikan pelajaran kepada kami untuk selalu menjalin hubungan dengan Khilafat dan segala sesuatu berhubungan dengan khilafat. Beliau adalah wujud yang taat setia kepada khilafat. Ayah menuturkan, ‘Ketika melakukan tugas dan melihat khalifah saya merasa muda lagi. Ini jugalah yang menjadi rahasia kesehatan saya yakni seusia inipun saya masih pergi bertugas, jika tidak saya sudah harus terlentang di carpaiy (tempat duduk berbentuk segi empat seperti ranjang dan bisa untuk rebahan).’
Almarhum sangat disiplin waktu, beliau selalu bersiap 2 atau 3 jam sebelum pergi melaksanakan tugas. Jika saya katakan kepada ayah, ‘Waktu masih banyak, Ayah.’
Ayah menjawab, ‘Memangnya kenapa? Duduk di rumah pun mau apa?’”
Seorang dokter bernama Hisyam, menulis, “Ketika saya membaca dokumen beliau saya merasa heran orang yang sudah seumur beliau dengan penyakit seperti itu biasanya hanya bias diam saja dirumah atau ditempatkan di panti jompo. Namun almarhum masih berjalan kesana-kemari dan almarhum selalu mengatakan, inilah yang menjadi rahasia kesehatan saya yakni saya datang untuk berada bersama khalifah dan bersahabat dengannya.”
Putra beliau menulis, “Saya sering memijat ayah. Suatu hari ketika saya tengah memijat kaki beliau dan sampai pada bagian dekat lutut beliau, beliau bersuara. Saya pun bertanya, ‘Ada apa ayah?’
Beliau menjawab, ‘Tidak apa-apa.’
Saya berkali kali meminta ayah menjelaskan penyebab rasa sakit itu, ayah menjawab, ‘Itu rasa sakit sewaktu di penjara.’
Almarhum senantiasa memperlihatkan kesabaran. Ketika beliau disiksa di penjara dengan cara yang zalim, beliau bersabar dalam menghadapinya. Begitu pun setelah keluar dari penjara standar kesabaran beliau tetap tinggi. Ketika tidak sehat, beliau tdak menceritakannya kepada orang lain, melainkan sering mengatakan, ‘Saya baik baik saja.’
Bagaimana tolok ukur ketaatan beliau kepada khilafat?
Dikatakan oleh putra beliau, “Suatu kali saya tengah duduk bersama dengan ayah dan saya sering meminta ayah untuk menceritakan kisah kisah. Suatu hari ayah bercerita, ‘Ketika Hadhrat Khalifatul Masih kedua berkunjung ke Jabah, Nakhlah untuk pengerjaan tafsir. Suatu ketika Hudhur marah kepada saya dan bersabda, “Pergi ke mesjid dan beristigfarlah di sana.”
Saya pergi ke masjid yang saat itu kecil ukurannya. Saya beristighfar di halaman mesjid sambil duduk. Tidak lama kemudian datang angin kencang disertai hujan, namun saya tetap diam di tempat dan terus beristighfar.
Setelah berlangsung cukup lama dan salah satu bagian atap masjid pun ada yang terbang, Hudhur bersabda, ‘Kemana Naim?’
Beberapa orang datang ke mesjid untuk mencari saya, berkata, ‘Hudhur memanggilmu.’ Ketika saya hadir ke hadapan Hudhur, Hudhur bersabda: ‘Saya tahu bahwa kamu pasti sedang duduk di sana, pergilah, saya sudah memaafkanmu.’”
Putra beliau mengisahkan, “Ketika Hudhur kedua mulai menulis tafsir, saat itu ayah mendapatkan kesempatan untuk mengkhidmati Hudhur. Ayah selalu menceritakan kebahagiaan akan hal itu. Kebiasaan beliau adalah menceritakan kisah-kisah yang membahagiakan namun kisah yang menyedihkan tidak diceritakannya.”
Selanjutnya menulis perihal kelebihan beliau, “Almarhum adalah seorang ayah yang pengasih dan kawan yang baik. Setelah mewakafkan hidup, almarhum mengatakan bahwa waqaf saya telah diterima.
Suatu hari almarhum mengatakan, ‘Ini merupakan tanggung jawab besar, jagalah wakaf kita dengan biasakanlah taubat dan istighfar. Jika ada yang menyakiti, diam saja jangan berdebat, serahkanlah segala sesuatu pada Allah ta’ala. Bersabarlah dan jangan pernah tinggalkan kesabaran. Allah ta’ala bersama orang-orang yang sabar.’
Almarhum biasa memberikan nasihat kepada saya layaknya teman. Istri saya yang juga merupakan menantu almarhum, selalu diperlakukan seperti teman oleh almarhum, bahkan lebih dari anak-anak perempuan beliau sendiri.
Almarhum pernah menceritakan satu kejadian kepada saya, almarhum pernah mendapatkan tugas untuk mengkhidmati Hadhrat Amma Jaan. Ketika almarhum berwasiyat, beliau pun menasihatkan kepada kerabat lainnya untuk berwasiyat. Almarhum sangat disiplin dalam candah, biasa membayar candah pada tanggal pertama setiap bulannya setelah itu baru untuk pengeluaran yang lainnya. Almarhum biasa membantu banyak orang secara diam diam, tidak pernah menceritakannya kepada orang lain. Putri-putri beliau menceritakan, jalinan ayah dengan khilafat membuat kami cemburu. Kecintaan beliau pada khilafat memenuhi seluruh nadi beliau. Ketika menceritakan perihal Khalifah, mata beliau berkaca kaca.”
Mengenai sikap hormat terhadap atasan, seorang puteri beliau menulis, “Suatu kali kami semua bersama dengan ayahanda sedang duduk di kantor Private Secretary untuk mulaqat dan menunggu dipersilahkan masuk. Tiba-tiba kami melihat ayah kami berdiri dengan sikap siaga seperti layaknya sedang bertugas. Kami merasa heran mengapa beliau tiba-tiba seperti itu. Ketika saya sedikit mendongakkan kepala maka nampak Naib Officer Hifazat datang ke kantor untuk suatu pekerjaan atau datang untuk bertugas, untuk menghormati beliau lantas ayah saya berdiri. Selama atasan beliau tersebut ada di sana, beliau tetap berdiri. Ketika atasan beliau itu keluar barulah beliau duduk kembali. Ini adalah peristiwa yang berlangsung hanya beberapa menit, namun kami telah diajarkan banyak hal. Sepanjang umur kami selalu dinasihati bahwa jika ingin mengambil faedah dari kehidupan ini maka jalinlah hubungan sedemikian rupa dengan khilafat sebagaimana besi melekat dengan magnet.”
Selanjutnya puteri beliau melanjutkan, “Ketika beberapa hari yang lalu ayahanda memberikan ‘iidii (yakni hadiah berupa sejumlah uang yang diberikan ketika ied) kepada kami empat bersaudara dan juga ipar beliau, kami mengatakan, ‘Ayah! Sekarang ini Ramadhan saja belum mulai.’ Beliau berkata, ‘Waktu tidak ada yang tahu, janganlah menunda-nunda untuk memenuhi kewajiban kita’, dan demikianlah beberapa hari sebelum kewafatannya beliau masih sempat memberikan ‘iidii kepada anak-anaknya.”
Menantu beliau mengatakan, “Beliau sangat memperhatikan saya. Beliau selalu menasihati saya seperti layaknya ayah sendiri. Ketika ayah kandung saya wafat, maka beliau mengatakan kepada putera beliau, ‘Kalian berdua pergilah ke Pakistan dan ikut sertalah dalam pemakamannya.’”
Selanjutnya menantu beliau tersebut menulis, “Di malam hari, jam berapa pun saya terbangun, saya selalu melihat beliau sedang shalat. Beliau sangat mencintai Khilafat. Setiap orang kurang lebih menuliskan hal ini. Jalinan kesetiaan beliau dengan khilafat sangat luarbiasa dan selalu mengatakan bahwa, ‘Berkat doa-doa dari Khalifah-lah saya bisa bertahan di penjara dan berkat doa-doa khalifah pula lah saya bisa di sini sekarang.’”
Beliau juga mengatakan, ‘Surat penjatuhan hukuman mati yang ditandatangani oleh pemimpin negeri ini, dikarenakan doa-doa dari Khalifah, surat itu tidak tahu entah kemana.’” Tn. Rana telah menjadi tanda yang hidup di hadapan dunia.
Puteri beliau Abidah mengatakan, “Almarhum selalu menasihati putera-puteri kami untuk selalu menjalin hubungan yang erat dengan Allah Ta’ala dan khilafat. Almarhum mengatakan bahwa dalam hal ini lah terdapat kesentosaan kalian. Almarhum selalu menasihatkan untuk membaca Al-Qur’an serta dawam dalam shalat dan tahajud.
Saya tidak pernah melihat dalam hidup saya beliau pernah meninggalkan shalat tahajud. Bagi kami beliau adalah khazanah doa-doa, sangat mengkhidmati tamu dan sangat memperhatikan kerabat yang berkekurangan. Beliau secara dawam membayarkan candah almarhum ayah, ibu dan istri beliau. Saya melihat dan mendengar beliau selalu membacakan satu syair ini berikut dengan suara yang lantang: ‘Kami ridho terhadap apa yang menjadi keridhoan Engkau.’”
Puteri beliau mengatakan, “Setelah kewafatan ibunda, beliau sangat memperhatikan kami semua dan juga memperlakukan para menantu perempuan beliau lebih daripada kepada puteri-puteri beliau sendiri. Ketika membawa barang apa pun atau ketika membagikan ‘iidii, maka pertama beliau memberikannya kepada menantu perempuan beliau, baru kemudian kepada kami semua puteri-puterinya. Beliau selalu mengatakan, ‘Ketika membawa puteri seseorang ke rumah saya, maka ia harus lebih diperhatikan. Saya harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah Ta’ala.’”
Seorang puteri Almarhum menulis, “Pada hari-hari penuh cobaan yang beliau jalani di penjara, beliau betul-betul menjalaninya dengan ridho atas ketetapan Allah Ta’ala, kecintaan terhadap agama dan kecintaan terhadap khilafat. Jangankan mengeluh, mengaduh pun kami tidak pernah mendengarnya. Beliau tidak pernah menunda-nunda shalat dan tahajud. Dalam keadaan sakit pun beliau tidak pernah kosong dalam shalat dan tahajud. Dikarenakan kerasnya kehidupan di penjara beliau menderita sakit ginjal, yang di masa-masa akhir hidup beliau menyerang dengan hebatnya. Kesulitan bernafas dan keluhan-keluhan lainnya juga menyertai, namun kami tidak pernah mendengar sepatah kata pun keluar dari mulut beliau yang menunjukkan kegelisahan. Selain kalimat alhamdulillah, kami tidak mendengar kalimat lain yang terucap dari mulut beliau.”
Kemudian seorang putri almarhum menuturkan, “Almarhum pernah mengatakan, ‘Saya telah berusia lanjut. Usia saya 77-78 tahun. Waktu tidak ada yang tahu. Ketika saya sudah tidak ada atau sudah meninggal, bawalah jenazah saya ke Pakistan.’
Almarhum juga mengatakan kepada puteri-puterinya, ‘Saya telah menyimpan uang untuk biaya tiket kalian semua, supaya ketika kalian harus membawa jenazah saya, kalian tidak meminta kepada suami kalian. Berangkatlah dengan uang ayah kalian bersama jenazahnya.’”
Dikarenakan situasi sekarang ini jenazah beliau belum bisa dibawa. Sementara ini jenazah beliau telah dikuburkan, jika telah terbuka kesempatan maka sesuai dengan keinginan almarhum akan diusahakan untuk mengirimkan jenazah beliau ke Pakistan.
Sepupu beliau Tn. Rana Bashir yang ada di Rabwah dan bekerja di Tahir Hospital mengatakan, “Saya beberapa kali berkesempatan bertemu dengan beliau ketika masa-masa beliau di penjara. Ketika kami pergi ke penjara membawa keperluan-keperluan untuk beliau, kami merasa khawatir, dan beliau sering menasihati kami bersabar dan berdoa. Beliau adalah seorang suci yang memiliki keluhuran dan sosok yang sangat penyabar.”
Demikian juga seorang keponakan beliau yang perempuan menulis, “Hingga tahun 1980 beliau tinggal di Qasr-e-Khilafat (komplek di mana Khaifah-e-waqt tinggal) dan ketika kami pergi ke Jalsah dan terkadang beberapa orang kerabat dan kawan kami yang ghair Ahmadi pun turut serta. Paman kami (yakni almarhum) mengatakan kepada istrinya, ‘Selalu perhatikanlah para tamu, jangan sampai ada kesulitan ketika makan atau tidur. Jika kekurangan tempat, maka beliau membawa anak-anak beliau pergi ke gudang atau dapur kemudian tidur di sana. Sedangkan untuk tidur para tamu beliau tempatkan di ruangan yang bagus, baik itu di kamar atau beranda. Almarhum mengatakan, ‘Mereka ini adalah para tamu Hadhrat Masih Mau’ud (as), jangan sampai mereka merasakan ketidaknyamanan.’”
Seorang keponakan beliau menuturkan, “Saya pergi ke penjara untuk menemui beliau. Saya menanyakan mengenai kabar beliau dan ingin mendengar mengenai kejadian tersebut, maka dengan penuh ghairat beliau mengatakan, ‘Dalam keadaan apa pun kalimah (tauhid) harus dijaga, tidak peduli nyawa sekalipun yang menjadi taruhannya.’”
Keponakan beliau tersebut mengatakan, “Saya merasakan kalimat ini bukanlah berasal dari seorang manusia, ini adalah suara malaikat. Beliau seorang Muslim Ahmadi yang sangat pemberani, penjaga kalimah tauhid, serta pecinta Khilafat.”
Kemudian beliau mengatakan, “Ketika saya pindah dari Belgia ke London, sesampainya di sini almarhum mengatakan kepada saya, ‘Kamu harus menjalin kedekatan dengan khilafat. Jika kamu datang ke sini karena khilafat, lantas kamu tidak menaati dan melaksanakan setiap sabda Khalifah, maka tidak ada faedahnya.’”
Almarhum juga mengatakan, ‘Laksanakanlah shalat secara dawam dan ketika menghadapi suatu masalah, bukannya merasa takut atau cemas, senantiasa bersujudlah di hadapan Allah Ta’ala.’ Beliau sangat membenci kedustaan dan kemunafikan. Beliau sangat memperhatikan tugas-tugas beliau. Terkadang ketika keadaan kesehatan beliau sedang memburuk, keluarga meminta beliau untuk beristirahat, namun beliau selalu mengatakan, ‘Tidak, saya baik-baik saja. Ini adalah hari-hari bonus yang saya dapatkan di masa tua saya. Berikan saya kesempatan untuk berkhidmat.’”
Tn. Ilyas Munir yang merupakan teman beliau ketika di penjara menulis, “Saya melewati sebagian dari hidup saya bersama Tn. Rana. Dan ketika di saat-saat perpisahan terakhir ini saya tidak bisa melihatnya, hati saya sangat gelisah. Saya melewati masa tahanan dengan Tn. Rana selama sepuluh tahun. Satu hari pun saya tidak pernah melihat beliau patah semangat. Sampai-sampai ketika tentara menyampaikan kepada beliau perintah hukuman mati yang kejam dan keji dari Diktator, maka beliau mendengarkan dan menerimanya dengan gembira. Almarhum memiliki banyak anak dan semuanya masih kecil, almarhum tidak mempunyai mata pencaharian yang istimewa, namun bertawakal kepada Allah Ta’ala. Almarhum sangat bersemangat dalam mengkhidmati agama dan memikirkan kehormatan Jemaat, dan ketika sedang merasa khawatir beliau akan mengatakan, ‘Niatan mereka sangat berbahaya, hanya Allah Ta’ala lah yang bisa melindungi kita dari mereka.’ Kemudian Allah Ta’ala pun melancarkan segala urusan beliau. Pernikahan puteri-puteri beliau pun dilaksanakan ketika beliau sedang dalam masa tahanan.”
Tn. Ilyas Munir menulis dan menjelaskan secara singkat mengenai peristiwa yang terjadi tersebut, “Ketika para penentang menyerang Masjid dan mulai melecehkan kalimat syahadat, ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits, saya tidak bisa melupakan pemandangan yang tampak pada peristiwa itu. Saya mendengar almarhum menantang dengan suara yang lantang, ‘Siapa kamu yang telah berani menghapus kalimah (syahadat)?’ beliau mengulangi perkataan ini dua kali.”
Tn. Ilyas mengatakan, “Sebelumnya saya tidak pernah mendengar beliau berbicara bahasa urdu, namun waktu itu almarhum berbicara dalam bahasa urdu dan berbicara dengan suara yang begitu lantang. Beliau sendirian memaksa 30-40 orang penyerang itu bersembunyi di sudut-sudut mesjid dan kemudian mereka melarikan diri.
Beliau tidak hanya melakukan ini dengan sangat berani, bahkan ketika polisi bertanya, ‘Siapa yang telah melakukan penembakan ini?’
Tanpa merasa ragu sedetik pun beliau maju dan berkata, ‘Saya-lah yang telah melakukannya.’
Setelah itu beliau disiksa dengan berbagai cara dan dipaksa untuk menyebutkan nama pengurus Jemaat yang memerintahkan beliau untuk melakukan itu. Namun, sosok yang pemberani ini tidak membiarkan sedikit pun bahaya menimpa pengurus Jemaat. Pada kenyataannya memang para pengurus pun tidak tahu kalau beliau memiliki pistol pribadi. Kemudian di hadapan pengadilan yang merupakan pengadilan militer pun beliau tidak terpengaruh oleh tekanan dalam bentuk apa pun. Secara lisan maupun tulisan dengan lugas dan berani beliau mengakui bahwa beliau lah yang melakukan penembakan. Dan berkat keberanian, kejujuran serta semangat untuk menjaga wibawa Jemaat ini lah Allah Ta’ala telah memberikan kehormatan dan kesuksesan kepada beliau hingga akhir hayatnya, dan hingga nafasnya yang terakhir, beliau mendapatkan taufik untuk berkhidmat dengan khilafat.”
Kemudian Tn. Ilyas Munir menulis, “Ketika dalam masa tahanan, pada masa itu khotbah Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) belum biasa disiarkan lewat MTA, melainkan dikirimkan secara rutin melalui tulisan. Ayah beliau biasa membawakan materi khotbah Hudhur. Tn. Rana kemudian mengajak saya duduk bersamanya dan meminta saya untuk membacakan khotbah. Selama kami tinggal di ruangan terpidana hukuman mati di mana kami tinggal di ruangan yang terpisah, pada masa itu ketika ruangan dibuka beberapa saat untuk mengumpulkan kami, maka jeda waktu untuk berkumpul tersebut kami gunakan secara khusus hanya untuk menyimak khotbah dan kami menyimak khotbah dengan penuh perhatian.
Tn. Ilyas Munir melanjutkan, “Shalat yang bisa dilaksanakan secara berjama’ah maka secara rutin almarhum laksanakan secara berjama’ah. Bahkan ketika di penjara almarhum juga biasa memanggil para Ahmadi lainnya untuk shalat berjama’ah. Pada bulan Mei, Juni, Juli kami menjalani hari-hari puasa Ramadhan yang sangat sulit di dalam penjara, dan yang terhormat Tn. Rana meskipun sudah berusia lanjut dan terdapat kesulitan-kesulitan dalam penjara, Almarhum tetap melaksanakan puasanya sebulan penuh. Almarhum memperlihatkan semangat dan ketabahan yang luar biasa dan beliau menghadapi setiap keadaan dengan penuh kegembiraan. Ketika disampaikan mengenai vonis hukuman mati pun beliau menjalani masa itu dengan pernuh ketabahan, dan kualitas keberanian beliau ini dirasakan juga oleh orang-orang ghair Ahmadi.
Tn. Ilyas Munir menuturkan, “Setelah mendapatkan perintah hukuman mati yang juga ditandatangani oleh Presiden, seorang sipir penjara mendatangi Tn. Rana Na’imuddin dan berkata, ‘Hei orang tua! Lihatlah betapa anehnya orang-orang Ahmadi ini, mereka sudah mendapatkan tanggal untuk eksekusi hukuman mati dan mereka telah sampai pada akhir dari hidupnya, namun tidak nampak pengaruh apa-apa pada raut wajah mereka dan tidak ada perubahan, sedikit pun tidak nampak kegelisahan.’ Sipir itu berbicara panjang lebar.
Tn. Rana mengatakan, ‘Saya mengerti bahwa sipir itu tidak menyadari siapa saya.’
Ketika sipir itu selesai berbicara, maka Tn. Rana bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu melihat ada perubahan pada ekspresi wajah saya?’
Sipir itu menjawab, ‘Tidak.’ Sipir itu kemudian tercengang menyadari bahwa Tn. Rana juga adalah seorang Ahmadi dan termasuk diantara mereka.”
Terakhir saya akan membacakan sepucuk surat dari Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rha) yang ditujukan kepada Tn. Rana Na’imuddin pada September 1986. Sebagian isinya sebagai berikut, “Surat anda yang penuh keikhlasan telah saya terima. Anda telah berdiri di atas keimanan yang kokoh. Hal ini patut dibanggakan. Para kekasih Allah Ta’ala harus melewati jalan-jalan kesulitan semacam ini sebelum meraih maqom (kedudukan) yang tinggi. Saya merasa iri dengan karunia yang anda semua dapatkan. Pohon dikenal dari buahnya. Anda semua adalah cabang-cabang hijau dan bebuahan ranum dari pohon Hadhrat Masih Mau’ud (as). Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan anda semua. Para anggota Jemaat selalu mendoakan, saya pun berdoa untuk anda. Saya berharap anda pun mendengar nazm terbaru saya yang di dalamnya terdapat salam dan pesan pengharapan bagi anda dan orang-orang yang mukhlis seperti anda. Semoga Allah Ta’ala menolong anda dengan para malaikat-Nya dan menganugerahkan keselamatan dari cengkeraman musuh. Semoga Allah Ta’ala bersama anda.” Ini lah surat yang ditulis oleh Khalifah AL-Rabi’ (rh) untuk Tn. Rana.
Tn. Mubarak Sidiqi menuturkan, “Suatu kali saya berbincang dengan beliau mengenai masa-masa tahanan dan kesulitan-kesulitan yang dialami selama di penjara, maka beliau tersenyum dan mengatakan, ‘Kehidupan kita para Ahmadi telah diwaqafkan untuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta untuk keta’atan kepada Khalifah-e-waqt. Oleh karena itu saya tidak pernah merasakan suatu kesulitan sebagai suatu kesulitan. Dalam segala keadaan saya selalu ridho dengan keridhoan Allah Ta’ala.’
Sungguh, beliau hingga akhir hayatnya ridho terhadap keridhoan Allah Ta’ala. Ketika ditanya mengenai kabar, saya pun menanyakan kabar kepada beliau, beliau selalu menjawab alhamdulillah. Ketika beliau pulang dari rumah sakit mengatakan, ‘Kabar saya sangat baik’, bahkan selain itu beliau pun mendoakan saya.”
Sebagaimana telah saya sampaikan, seorang Dokter mengatakan bahwa orang yang sakit seperti ini, yang mana kakinya bengkak, biasanya orang itu tidak bisa pergi keluar rumah. Namun beliau datang untuk bertugas dan berdiri. Dokter merasa heran akan hal ini. Dokter mungkin merasa heran, namun ia tidak tahu bahwa di dalam diri Almarhum terdapat suatu ghairat, kecintaan terhadap Khilafat, semangat untuk senantiasa dekat dengan khilafat yang membawa Almarhum datang ke mesjid. Saya melihat wajah beliau senantiasa penuh ketentraman dan nampak kecintaan terhadap khilafat. Semoga Allah Ta’ala memperlakukan beliau dengan cinta dan kasih sayang di alam akhirat dan memberikan tempat kepada Almarhum diantara hamba-hamba yang Dia kasihi.
Saya (Hudhur atba) mengenal Almarhum sejak masih masa kanak-kanak. Sebagaimana telah disampaikan ketika Almarhum di Jabah Nakhlah bersama Hadhrat Khalifatul Masih Ats-tsani (ra). Pada waktu itu ketika musim panas saya pun pergi ke sana untuk beberapa hari. Pada waktu itu pun sikap beliau terhadap saya begitu penuh kasih sayang dan setelah saya menjadi Khalifah coraknya menjadi berbeda. Sebagaimana kisah-kisah kesetiaan terhadap Khilafat yang telah kita dengar, hal tersebut nampak pada diri beliau setiap saat.
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk mengikuti jejak langkah ayah mereka dengan kesetiaan. Dikarenakan keadaan sekarang ini saya tidak bisa mengimami shalat jenazah beliau, dikarenakan adanya pembatasan-pembatasan dari pemerintah. Sangat disayangkan. Insya Allah di lain kesempatan saya akan memimpin shalat jenazah gaib beliau.
Terakhir, saya ingin menyampaikan lagi mengenai wabah yang tengah terjadi akhir-akhir ini, bahwa ada beberapa Ahmadi yang sakit, doakanlah mereka. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kesembuhan yang sempurna kepada semuanya dan memberikan taufik bagi kita untuk berjalan di atas jalan-jalan keridhoan-Nya.
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik bagi kita untuk memenuhi hak-hak ibadah dan hak-hak hamba, serta segera menjauhkan musibah ini dari kita. Semoga Allah Ta’ala juga memberikan akal dan pemahaman kepada dunia, semoga mereka menjadi orang-orang yang mengenal Tuhan, beribadah kepada Allah Ta’ala dan memahami tauhid. Semoga Allah Ta’ala mengasihi semuanya.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
[1] Al-Isti’aab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب).
[2] Al-Isti’aab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب) dan Siyaar A’lamin Nubala.
[3] Shahih al-Bukhari, Kitab kewajiban khumus (كتاب فرض الخمس), bab (بَابُ مَنْ لَمْ يُخَمِّسِ الأَسْلاَبَ) Man lam yukhammas Al-Aslaab; Shahih Muslim, Kitaabul Jihaad was sair (كتاب الجهاد والسير), bab (باب اسْتِحْقَاقِ الْقَاتِلِ سَلَبَ الْقَتِيلِ )
[4] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab kematian Abu Jahl (بَاب قَتْلِ أَبِي جَهْلٍ), 3962.
Shahih Muslim, Kitab al-Jihad was Sair (كتاب الجهاد والسير), bab kematian Abu Jahl (بَاب قَتْلِ أَبِي جَهْلٍ), no. 1800. Dalam riwayat Sahih Muslim tertulis bahwa Hadhrat Abdullah bin Mas’ud memegang janggutnya dan berkata, “Apakah kamu Abu Jahl?” Abu Jahl menjawab, “Apakah sebelum ini kamu pernah membunuh seorang pembesar sepertiku?” Perawi mengatakan bahwa Abu Jahl berkata, فَلَوْ غَيْرُ أَكَّارٍ قَتَلَنِي “Seandainya saja aku terbunuh bukan di tangan seorang petani.” Umumnya masyarakat Madinah ialah petani dan pekebun.
[5] Sahih al-Bukhari, Vol. 5, p. 491, Hashiyah (penjelasan catatan kaki dalam terjemahan bahasa Urdu), Nazarat Isha’at, Rabwah.
[6] Ibnu at-Tiin atau (أبو محمد عبد الواحد بن عمر بن عبد الواحد بن ثابت ابن التين الصفاقسي). Beliau wafat pada 611 H/1214 Masehi di Safaques, Tunisia. Beliau seorang Imam madzhab Maliki dan menulis syarh atas Kitab Shahih al-Bukhari (الخبر الفصيح الجامع لفوائد مسند البخاري الصحيح).
[7] ‘Umdatul Qari karya Badruddin Ayni (عمدة القاري – العيني – ج ٥ – الصفحة ١٠٩). ‘Umdatul Qari (عمدة القاري شرح صحيح البخاري), ialah kitab syarh (komentar atau uraian) terhadap Kitab Shahih al-Bukhari. Buku ini satu dari sekian karya Badruddin al-‘Ayni (بدر الدين أحمد العيني). Beliau lahir pada 762 AH (1360 CE) di kota ‘Ayntāb (sekarang Gaziantep di Turki). Beliau menguasai bahasa Arab dan bahasa Turki. Beliau wafat pada 855 AH (1451 CE).
[8] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d (845 CE).
[9] Usdul Ghaabah.
[10] Al-Isti’aab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب). Veteran perang Badr yang masih hidup pada zaman Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib umumnya memihak Hadhrat ‘Ali saat berperang di Shiffin menghadapi Amir Muawiyah.