Peristiwa-Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Latar Belakang Pertempuran Hunain
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 22 Agustus 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهٗ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ١ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ٦ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ٧
Sebelumnya masih membahas sirat kehidupan Rasulullah saw terkait perang-perang atau gazwah. Dalam hal ini, saat ini saya pun akan menyampaikan tentang Gazwah Hunain. Gazwah ini terjadi pada bulan Syawal tahun ke-8 Hijriyah. Mengapa disebut Gazwah Hunain, karena Hunain adalah nama sebuah pemukiman antara Makkah dan Taif yang berjarak sekitar 26 kilometer dari Makkah. Gazwah ini terjadi di tempat tersebut sehingga disebut Gazwah Hunain. Suku besar yang terlibat di dalamnya adalah Hawazin sehingga juga disebut Gazwah Hawazin. Sebagian menyebutnya juga Gazwah Autas karena sebagian pasukan musuh melarikan diri dari Hunain ke lembah bernama Autas dan kaum Muslimin mengejar ke sana lalu mengalahkan musuh, sehingga sebagian memberikan nama tersebut, akan tetapi kebanyakan penulis sejarah menyebutkan Sariyah Autas secara terpisah. Penyebutan Gazwah Hunain dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّٰهُ فِيْ مَوَاطِنَ كَثِيْرَةٍۙ وَّيَوْمَ حُنَيْنٍۙ اِذْ اَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْـًٔا وَّضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُّدْبِرِيْنَۚ- ثُمَّ اَنْزَلَ اللّٰهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَعَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَاَنْزَلَ جُنُوْدًا لَّمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ وَذٰلِكَ جَزَاۤءُ الْكٰفِرِيْنَ- ثُمَّ يَتُوْبُ اللّٰهُ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ-
Sungguh Allah telah menolongmu di banyak medan peperangan dan khususnya pada hari Hunain, ketika banyaknya bilanganmu telah membuatmu sombong, tetapi itu tidak pernah memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi dengan keluasannya menjadi sempit bagimu, kemudian kamu berbalik mundur. Kemudian Allah menurunkan ketenteraman-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan lasykar-lasykar yang kamu tidak melihatnya, dan Dia mengazab orang-orang yang kafir. Dan itulah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian setelah itu Allah menerima tobat dari siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (At-Taubah: 26-28)
Latar belakang terjadinya adalah sebagai berikut. Ketika Makkah telah ditaklukkan dan hingga saat itu suku-suku besar Arab telah masuk Islam atau tunduk dalam ketaatan kepada Rasulullah saw., namun Bani Hawazin dan Bani Tsaqif yang tinggal dekat Makkah, yang merupakan suku-suku yang sangat durhaka dan suka berperang, mereka tidak hanya menolak untuk tunduk bahkan para pemimpin mereka berkumpul dan berkata, “Muhammad saw. telah menjadikan suku-suku Arab termasuk Makkah tunduk dan patuh kepadanya dan sekarang ia pasti akan maju ke arah kita. Oleh karena itu, akan lebih baik jika sebelum mereka maju ke arah kita, kita sendiri yang menyerang mereka.”
Jadi, mereka sendiri telah membayangkan; mereka juga berkata, “Muhammad saw. selama ini hanya berhadapan dengan orang-orang yang tidak berpengalaman, ia belum pernah berhadapan dengan kita.” Bani Hawazin bersama dengan suku Tsaqif, Nasr, dan Jusyam mengumpulkan semua pejuang mereka. Dari suku Sa’d bin Bakr dan Bani Hilal juga berkumpul sebagian orang. Dari beberapa riwayat diketahui bahwa Bani Hawazin sebenarnya telah memulai persiapan untuk menghadapi kaum Muslimin jauh sebelum itu, karena ketika mereka melihat bahwa Muhammad saw. perlahan-lahan terus menaklukkan suku-suku lain termasuk Yahudi di bawah kekuasaannya, maka mereka mulai khawatir jangan-jangan penyembahan berhala akan berakhir dan Muhammad saw. bersama para sahabatnya akan menguasai semua orang, oleh karena itu perlu untuk menghalangi jalan mereka, maka untuk itu mereka mulai mempersiapkan diri dan mengirim sebuah kelompok di bawah pimpinan Urwah bin Mas’ud ke arah kota Jarash di Yordania agar mereka membawa senjata dan peralatan perang dari sana.
Berita tentang persiapan-persiapan Bani Hawazin ini diperoleh dengan cara ketika Rasulullah saw bermaksud berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk Fatah Makkah, maka beliau saw. mengirim beberapa orang di depan pasukan Muslim sebagai pasukan pelopor. Pasukan pelopor ini menangkap seorang laki-laki dari suku Hawazin yang merupakan seorang mata-mata untuk suku itu dan tengah ke sana kemari untuk mengawasi kaum Muslimin. Ketika Rasulullah saw. bertanya kepadanya dan melakukan penyelidikan dengan saksama, maka ia memberitahu bahwa Bani Hawazin telah mengumpulkan tentara yang sangat banyak dan juga telah mengikutkan Bani Tsaqif bersama mereka serta telah mengirim kelompok ke arah Jarash dengan membawa senjata dan peralatan perang yang berat. Bani Hawazin sedang dalam persiapan-persiapan ini ketika Makkah ditaklukkan dengan mudah tanpa perlawanan khusus, dan hal ini yang menyebabkan suku Hawazin yang telah sombong akan kekuatannya memutuskan bahwa mereka sendiri akan keluar untuk menghadapi Muhammad saw. dan para sahabatnya dan mereka menduga bahwa merekalah yang dapat mengalahkan kaum Muslimin dan memusnahkan mereka.
Alhasil, semua suku tersebut menjadikan pemimpin suku Hawazin yaitu seorang pemuda berusia 30 tahun, Malik bin ‘Auf sebagai panglima perang dan pemimpin mereka dan dengan menyiapkan tentara berjumlah 20.000 mulai bergerak menuju Hunain. Panglima pasukan Bani Hawazin, Malik bin ‘Auf, mengambil langkah untuk persiapan perang ini, yang mana ini mungkin belum pernah diambil oleh siapa pun sebelumnya dalam sejarah Arab, yaitu panglima ini memerintahkan setiap orang dari setiap suku agar tidak keluar sendirian dari rumah mereka untuk berperang, melainkan membawa serta istri, anak-anak, bahkan hewan ternak mereka, dan tujuan dari hal ini adalah agar setiap prajurit dalam pasukannya bertempur dengan segenap jiwa dan secara gagah berani. Dalam pikirannya akan tertanam bahwa tidak ada jalan untuk melarikan diri baginya karena istri, anak-anak, dan hewan ternaknya semua bersamanya.
Dalam perang ini juga disebutkan tentang seorang pemimpin tua, Duraid bin Shimmah yang dicegah dari berperang; ia bersama Hawazin. Tertulis bahwa di Bani Jusyam ada seorang laki-laki bernama Duraid bin Shimmah yang berusia lebih dari seratus tahun. Ia adalah orang tua yang penglihatannya telah hilang. Ia tidak memiliki kekuatan untuk berperang, tetapi berpengalaman dan sangat menguasai keahlian perang. Pada suatu masa, ia terkenal karena keberanian dan kemahiran berkudanya. Mereka juga membawanya bersama agar dapat memanfaatkan pengalaman dan keahliannya. Ketika Malik bin ‘Auf telah sepakat dengan orang-orang untuk bergerak menuju Rasulullah saw., dan orang-orang keluar membawa harta benda mereka, istri-istri mereka, anak-anak mereka, hingga mereka sampai di lembah Autas dan berkemah di sana, Duraid bin Shimmah yang sudah tua itu turun dan menyentuh tanah dengan tangannya, lalu berkata, “Kalian berada di lembah mana?” Mereka menjawab, “Di lembah Autas.” Ia berkata, “Ini adalah tempat yang baik untuk berlalunya kuda, tidak ada masalah dari segi kekerasannya. Ini tidak terlalu lunak sehingga kaki kuda [tidak akan] terperosok di dalamnya, tetapi mengapa aku mendengar suara tangisan anak-anak, suara unta, keledai, kambing, dan sapi?” Maka orang-orang menjawab, “Atas perintah Malik bin ‘Auf, semua anak-anak, wanita, dan hewan ternak dibawa bersama”. Maka Duraid berkata kepada Malik, “Engkau adalah pemimpin kaummu, pengaruh hari ini akan berdampak pada hari-hari selanjutnya. Mengapa engkau membawa anak-anak, unta, keledai, kambing, dan sapi ini?” Ia menjawab, “Aku ingin menempatkan keluarga setiap orang agar berada di belakang mereka, supaya mereka bertempur dengan sungguh-sungguh melawan musuh.” Duraid berkata, “Ini adalah pendapat yang sangat keliru. Demi Tuhan, engkau hanya tahu menggembalakan domba,” yakni Duraid berkata kepadanya bahwa ia tidak mengerti perang, tidak tahu apa-apa tentang perang.
Kemudian Duraid berkata, “Apakah ada sesuatu yang bisa dikembalikan kepada pasukan yang telah kalah? Dengarkan, dalam peperangan, untuk keuntunganmu, hanya ini saja yang akan berguna yakni tombak dan pedang seseorang, dan jika hasil perang tidak memihak kalian, maka kalian akan kehilangan istri, anak-anak, dan harta kalian. Wahai Malik, mengapa engkau tidak memajukan prajurit Hawazin dan pasukan berkuda ke depan? Kirimkan harta, wanita, dan anak-anak ke benteng-benteng, kemudian berperanglah bersama mereka dengan menunggang kuda, dan pasukan infanteri akan berada di antara kuda-kuda. Jika kalian berhasil, maka mereka akan datang bergabung dengan kalian— yakni semua orang ini, anak-anak, dan ternak. Dan jika kalian gagal, maka kalian pergilah kepada mereka. Dengan cara ini keluarga dan seluruh ternakmu akan selamat.”
Malik bin ‘Auf berkata, “Demi Allah, aku tidak akan melakukan hal itu dan tidak akan mengubah keputusanku. Engkau sudah tua, akalmu sudah hilang.” Duraid berkata, “Wahai suku Hawazin, demi Allah, pendapat ini keliru. Orang ini akan menghina wanita-wanita kalian dan orang ini akan menyerahkan kalian kepada musuh, kemudian ia sendiri akan pergi bersembunyi di benteng-benteng Tsaqif. Maka kalian kembalilah dan tinggalkanlah ia.” Jadi, Duraid memberikan nasihat untuk tidak berperang. Atas hal ini, Malik, yang telah diangkat sebagai pemimpin, menghunuskan pedangnya dan berkata, “Wahai kelompok Hawazin, demi Allah, kalian harus menaatiku, jika tidak aku akan melemparkan seluruh bebanku pada pedang ini dan menusukkannya menembus dadaku, yakni aku akan bunuh diri.” Bani Hawazin lantas bermusyawarah dan berkata, “Demi Allah, jika kita tidak menaati Malik, maka ia akan membunuh dirinya sendiri padahal ia masih muda, usianya sekitar 30 tahun, maka kemudian kita akan bersama Duraid dan ia sudah tua; jika bersama dengannya, kita tidak bisa berperang. Kalian bersepakatlah dengan Malik.”
Alhasil, demikianlah yang terjadi. Malik bertanya kepada Duraid, “apakah ada pendapat lain selain itu?”, maka Duraid berkata, “Ya, sembunyikan orang-orangmu di tempat-tempat persembunyian yang akan terbukti membantu kalian. Jika musuh menyerang kalian, maka mereka akan menyerang dari belakang. Kalian dapat menyerang kembali bersama rekan-rekan kalian; jika kalian menyerang, maka tidak seorang pun dari mereka akan mundur.” Pada saat itu Malik berkata kepada para sahabatnya agar mereka bersembunyi di kaki-kaki lembah dan wadi. Lakukanlah serangan pertama secara sekaligus agar kalian dapat mengalahkan pasukan Islam.”
Rasulullah saw. juga mendapat kabar tentang persiapan Bani Hawazin yang rinciannya adalah sebagai berikut. Telah dijelaskan juga sebelumnya bahwa ketika berita peristiwa-peristiwa ini sampai ke Makkah, maka Rasulullah saw. mengutus Hazrat Abdullah bin Abu Hadrad Aslami r.a. untuk meninjau keadaan pasukan suku-suku Hawazin. Mata-mata ini memberikan beberapa kabar bahwa senjata sedang dikumpulkan. Setelah persiapan ini selesai, maka untuk itu beliau saw. mengutus seorang lagi untuk mencari informasi yaitu Abdullah bin Abu Hadrad Aslami. Beliau masuk ke dalam pasukan orang-orang Hawazin tersebut dan berkeliling di antara mereka sambil mengumpulkan segala macam informasi. Beliau tinggal satu atau dua hari di antara mereka hingga beliau juga mendengar Malik berkata kepada para sahabatnya untuk membangkitkan semangat mereka, “Muhammad saw. sebelum ini belum pernah berperang melawan suatu kaum yang menguasai seni perang. Mereka hanya telah berperang melawan para pemuda dari kaum yang tidak mengetahui ilmu perang sehingga mereka dapat mengalahkannya. Maka ketika pagi tiba, kalian buatlah barisan ternak dan wanita-wanita kalian di belakang kalian kemudian seranglah sekaligus; patahkanlah sarung-sarung pedang kalian dan berperanglah dengan 20.000 pedang terhunus dan seranglah seperti halnya serangan seorang ksatria dan ketahuilah bahwa kemenangan akan diperoleh oleh siapa yang menyerang terlebih dahulu.”
Kemudian Hazrat Abdullah bin Abu Hadrad r.a. datang kepada Rasulullah saw. dan memberikan seluruh berita kepada beliau saw.. Rasulullah saw. terpaksa melakukan persiapan untuk menghadapi pertempuran. Sebelum berangkat dari Makkah untuk menghadapi Bani Hawazin, Rasulullah saw. melakukan peninjauan, dan ternyata dibandingkan dengan perang yang diperkirakan akan terjadi, pasukan Islam memiliki perlengkapan perang yang sangat sedikit. Untuk memenuhi kekurangan ini, beliau saw. meminjam beberapa senjata dari seorang tokoh kaya Makkah yaitu Safwan bin Umayyah yang pada saat itu masih musyrik. Maka Safwan bertanya kepada beliau saw., “Apakah Anda ingin meminjam harta saya atau merampasnya?” Rasulullah saw. bersabda, “Tidak, kami meminjamnya sebagai pinjaman dan ada jaminan untuk pengembaliannya.” Atas dasar ini ia bersedia memberikannya dan memberikan seratus baju zirah yang disertai dengan helm besi, perisai dan lain-lain. Menurut beberapa riwayat, untuk memindahkan senjata-senjata ini, ia juga memberikan unta-unta bersama dengannya. Setelah perang, ketika baju zirah Safwan dikumpulkan untuk dikembalikan, beberapa di antaranya ternyata kurang. Karena telah diberikan jaminan untuk mengembalikan baju zirah tersebut, maka Rasulullah saw. berbicara kepada Safwan, “Silahkan ambillah harga gantinya.” Akan tetapi Safwan yang sekarang bukanlah Safwan yang sama seperti saat ia memberikan baju zirah itu sebelumnya. Safwan telah ikut serta dalam perang Hunain meskipun ia pada saat itu masih musyrik, dan setelah peristiwa Hunain ia memeluk Islam; yaitu ia memang ikut serta dalam perang tetapi masih musyrik, namun setelah Perang Hunain ia memeluk Islam. Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw. menyatakan bahwa harga ganti baju zirah akan diberikan, Safwan berkata:
لَا يَا رَسُوْلَ اللّٰهُ، لِأَنَّ فِي قَلْبِي الْيَوْمَ مَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ
Tidak, Wahai Rasulullah saw., karena keadaan hatiku hari ini berbeda dengan keadaan pada hari itu.” Ia menolak untuk menerimanya.
Demikian pula Rasulullah saw. meminjam 3.000 tombak dari sepupu beliau saw., Naufal bin Harits dan bersabda, “Aku melihat bahwa tombak-tombakmu ini menusuk punggung musuh.” Dalam sabda beliau saw. ini terdapat kabar suka bahwa musuh akan kalah dan melarikan diri serta akan mengalami kerugian jiwa yang besar.
Demikian pula dari Ibnu Abi Rabi’ah juga dipinjam beberapa senjata. Cerminan akhlak mulia Nabi Muhammad saw. patut diperhatikan. Saat itu beliau saw. telah menaklukkan Makkah dan sekarang, mereka adalah suatu kaum yang telah ditaklukkan dan menurut aturan dan tradisi perang, penakluk biasanya menjadi pemilik harta benda kaum yang ditaklukkan. Akan tetapi, ketika diperlukan senjata-senjata untuk berperang, setiap senjata dipinjam satu per satu dan dengan janji bahwa beliau saw. akan mengembalikan senjata sebanyak yang beliau saw. ambil.
Demikian pula dari Abdullah bin Abi Rabi’ah, saudara tiri Abu Jahl, beliau saw. meminjam 30.000 hingga 40.000 dirham. Dalam riwayat disebutkan bahwa mereka masuk Islam pada hari Fatah Makkah.
Menurut sebagian riwayat, pinjaman tunai pernah diambil oleh Rasulullah saw. pada saat Fatah Makkah untuk membantu para sahabat yang membutuhkan. Uang itu kemudian beliau saw. bagikan di antara mereka, masing-masing kurang lebih 50 dirham. Menurut satu riwayat lain, pinjaman itu digunakan untuk membayar diat (uang darah) bagi korban dari Bani Juzaimah. Ada kemungkinan bahwa Rasulullah saw. mengambil pinjaman tersebut untuk beberapa keperluan sekaligus, termasuk bantuan keuangan dan pembayaran diat. Allah-lah yang lebih mengetahui. Wallāhu a‘lam. Rinciannya insyaallah akan saya jelaskan kemudian.
Setelah salat nanti, saya juga akan memimpin salat jenazah gaib untuk dua orang. Yang pertama adalah almarhum Tn. Khwaja Mukhtar Ahmad Butt, putra Tn. Khwaja Abdur Rahman dari Sialkot. Beberapa hari lalu beliau wafat dalam usia 92 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Beliau lahir di Sialkot, menempuh pendidikan hukum, lalu bergabung dengan Angkatan Udara Pakistan. Di sana beliau mendapat pelatihan di Risalpur, dan hingga tahun 1974 mengabdi dengan penuh dedikasi sebagai perwira hukum Angkatan Udara Pakistan. Namun pada tahun itu, bersama perwira-perwira Ahmadi lainnya, beliau diberhentikan dari dinas.
Pada masa yang sangat sulit bagi Jemaat Ahmadiyah, yakni kerusuhan tahun 1974, beliau berkhidmat di bawah bimbingan Khalifatul Masih III r.a. dalam Komisi Hukum Jemaat, bahkan sempat bertemu dengan Gubernur Punjab, Hanif Ramay, terkait upaya-upaya Jemaat. Beliau juga memiliki hubungan yang erat dengan Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. dan Hazrat Chaudhry Zafrullah Khan r.a., serta mendapat kesempatan membantu Chaudhry Sahib dalam penyusunan jilid pertama Essence of Islam. Pada tingkat pusat, beliau pernah bertugas sebagai Direktur Fazl Umar Foundation, dan bertahun-tahun pula berkhidmat sebagai Qadi di Darul Qadha Rabwah. Saya sendiri pernah bekerja bersama beliau di bidang Qadha. Beliau seorang yang berpandangan luas, rendah hati, dan selalu memiliki hubungan yang kuat dengan Khilafat. Hubungan pribadi saya dengan beliau pun sangat baik.
Pada tahun 2002, beliau pindah ke Kanada dan di sana berkhidmat sebagai Amir Daerah. Beliau sangat teratur dalam ibadah salat dan tilawah Al-Qur’an, giat dalam pengorbanan harta, serta seorang Ahmadi mukhlis yang penuh pengabdian. Kehidupannya merupakan teladan luhur dalam hal kesetiaan, kerendahan hati, dan keikhlasan terhadap Khilafat.
Beliau meninggalkan seorang istri, satu putri, dua putra, serta cucu-cucu.
Istrinya, Ny. Amatul Qayyum, adalah putri dari almarhum Tn. Ghulam Ahmad Akhtar, seorang pejabat tinggi perkeretaapian yang setelah pensiun pernah menjabat sebagai Nazir A‘la pada masa Hazrat Khalifatul Masih Ats-Tsani r.a., juga pernah bertugas dalam pengamanan di panggung saat Hazrat Khalifatul Masih Ats-Tsani r.a. menyampaikan pidato-pidato. Jadi, ini adalah keluarga yang penuh pengkhidmatan bagi Jemaat. Beliau juga mertua dari Tn. Dr. Zahid Khan, Ketua Qadha Board UK.
Putri beliau, Aisyah Khan, menulis, “Saya selalu melihat ayah saya taat kepada Khilafat. Beliau mendidik kami bertiga dengan prinsip yang sama, bahwa hidup ini tidak boleh punya tujuan lain selain ketaatan kepada Jemaat dan Khilafat. Meski pekerjaan beliau di Angkatan Udara terhenti mendadak pada tahun 1974, dan praktik hukum pribadinya pun tidak begitu berhasil, namun beliau tetap sabar dan tawakal kepada Allah. Beliau tidak pernah meminta-minta kepada manusia, melainkan hanya memohon kepada Allah. Sejak saya kecil, saya melihat beliau tekun beribadah, selalu ambil bagian dalam segala amal kebajikan. Beliau selalu membayar candah di awal bulan, bahkan bila ada rezeki lebih, membayarnya di muka. Beliau sangat menjaga hubungan dengan orang lain, dan terutama sekali memiliki hubungan luar biasa dengan Khilafat–(sebagaimana yang telah saya katakan). Beliau juga sangat menaati Nizam Jemaat. Saudara-saudara beliau pun memiliki hubungan keikhlasan yang luar biasa dengan Nizam Jemaat dan Khilafat, sebab mereka semua diberikan tarbiyat yang baik oleh ayah mereka. Jadi, seluruh keluarga ini, dengan karunia Allah, adalah keluarga yang penuh kesetiaan.”
Istri beliau pun, yang merupakan putri dari Tn. Akhtar, sebagaimana telah saya sampaikan, berasal dari keluarga yang setia mengkhidmati Jemaat. Karena tarbiyat pasangan suami istri ini, anak-anak mereka pun tumbuh menjadi orang-orang yang ikhlas dan penuh pengkhidmatan. Semoga Allah Taala memberi taufik kepada anak-anaknya untuk melanjutkan amal kebajikan beliau, serta melimpahkan ampunan dan rahmat-Nya kepada almarhum.
Jenazah kedua adalah almarhumah Ny. Saeeda Begum, istri dari Tn. Nazir Ahmad dari India. Beliau wafat beberapa hari lalu pada usia 75 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Dengan karunia Allah, beliau termasuk para musiah. Beliau meninggalkan seorang suami, tiga putri, dan empat putra. Beliau adalah ibu dari Tn. Thahir Ahmad Tariq, Naib Nazir Ishlah-o-Irshad Qadian. Saat wafatnya sang ibu, beliau sedang pergi ke Inggris sebagai utusan Jemaat, sehingga tidak sempat hadir di pemakaman.
Keluarga ini juga merupakan keluarga yang penuh pengkhidmatan bagi Jemaat. Salah seorang putranya, Tn. Shabbir Ahmad, adalah Mualim, sementara salah seorang putrinya adalah istri seorang Mubalig, yaitu Tn. Jabbar. Putra-putra lainnya pun aktif dalam pengkhidmatan Jemaat.
Tn. Thahir Ahmad Tariq menulis, “Beliau telah menderita sakit pernapasan selama 25 tahun terakhir, namun beliau menjalani masa sakit itu dengan kesabaran dan keteguhan, tanpa pernah mengeluh. Beliau berasal dari Char Kotoh Jori, Jammu Kashmir. Masuknya Ahmadiyah dalam keluarga ini dimulai melalui Hazrat Qadhi Muhammad Akbar Bhatti r.a., sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Sejak itu Ahmadiyah menyebar di keluarga beliau. Almarhumah sangat saleh, rajin salat dan puasa. Meski berpendidikan sederhana, namun ketika kami di usia kanak-kanak, di sore hari beliau biasa mengajarkan kepada kami doa-doa Al-Qur’an, syair-syair Hazrat Masih Mau’ud a.s., hadis, serta kisah para nabi. Beliau memiliki sifat yang sangat halus, ramah, penuh kasih sayang kepada kerabat. Kecintaan beliau kepada Khilafat dan Nizam Jemaat sangat besar. Beliau dengan penuh kerelaan mewaqafkan kami dan selalu menasihati kami untuk memenuhi waqaf kami. Setiap hari beliau mempersiapkan anak-anaknya untuk berangkat mempelajari Al-Qur’an. Demikian juga beliau memberikan perhatian pada pendidikan duniawi, hingga semua anak-anaknya berhasil menempuh pendidikan yang baik.”
Semoga Allah Taala melimpahkan ampunan dan rahmat-Nya kepada almarhumah.[1]
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ وَنُؤْمِنُ بِهٖ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ – وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَرَسُوْلُهٗ -عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْ االلهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd., dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim.