Nabi Masih Bisa Datang Dalam Islam: Tiga Ayat Al-Qur’an

nabi bisa datang setelah Rasulullah

Tiga ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa nabi masih bisa datang setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Jalees Ahmad, Al Hakam


Para Pengikut Ahmadiyah dituduh bukan Islam hanya karena mereka telah menerima Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as sebagai Al-Masih yang Dijanjikan dan Imam Mahdi. Sebagian orang mengatakan para Ahmadi telah menerima ‘nabi baru’, sehingga mereka bukan lagi Muslim dan tidak boleh menyatakan diri sebagai Muslim.

Jika meyakini akan adanya lagi nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam – dan itupun nabi pengikut (ummati) yang tidak memiliki syariat – dianggap menyimpang dari ajaran Islam, sehingga dianggap kafir, tentu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan pernah mengabarkan dengan jelas bahwa Al-Masih Akhir zaman akan menjadi ‘Nabiyullah [Nabi Allah]. (Sahih Muslim,  Kitab al-Fitan wa Ashrat al-Saa’ah, Hadits. 2937).

Lebih lanjut, jika meyakini kedatangan seorang nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan seseorang kafir, maka itu berarti mayoritas umat Islam saat ini juga di luar Islam. Mayoritas umat Islam meyakini bahwa Nabi Isa as akan turun secara fisik ke dunia ini. Oleh karena itu, menyatakan kafir kepada seseorang atau sekelompok orang atau suatu jamaah karena meyakini akan datangnya nabi yang tidak membawa syariat setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti semua orang yang menunggu-nunggu turunnya Nabi Isa as secara fisik juga kafir dan berada di luar Islam.

Pengikut Ahmadiyah meyakini setiap harakat dan huruf dalam Al-Quran – dari  ba  dalam ‘Bismillah’ hingga sin dalam Surah An-Naas. Menyimpang sedikit saja dari inti ajaran Al-Qur’an yang hakiki bukanlah cara seorang Muslim sejati. Para Ahmadi meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah KhatamunNabiyyin dan tidak ada nabi pembawa syariat yang dapat datang setelah beliau; namun, seorang nabi yang akan diangkat dari antara umat Islam sangat selaras dengan Al-Quran.

Berikut ini adalah tiga ayat dari Al-Qur’an yang membuktikan seorang nabi dari kalangan  umat Islam  (yang tidak akan membawa syariat baru, melainkan bertindak sebagai seorang yang melanjutkan) dapat datang setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ayat pertama: “Allah senantiasa memilih Rasul-rasul”

Dalam Surah Al-Hajj, Allah berfirman:

اَللّٰهُ يَصْطَفِيْ مِنَ الْمَلٰۤىِٕكَةِ رُسُلًا وَّمِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ

“Allah senantiasa memilih rasul-rasul-Nya dari para malaikat dan dari antara manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Hajj, 22: Ayat 76)

Di sini, Allah menyatakan sunnah-Nya – Dia terus memilih para utusan-Nya dari antara para malaikat dan manusia. Maka, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, setiap kali dibutuhkan seorang nabi, Allah akan mengutus dan mengangkat seorang nabi sebagaimana yang telah menjadi sunnah-Nya sejak zaman Adam as.

Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata يَصۡطَفِيۡ yang secara tata bahasa merupakan  kata kerja (fi’il) mudhari’ (bentuk tata bahasa Arab untuk masa sekarang dan masa mendatang).

Jika kenabian berakhir setelah Nabi Suci Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa Allah berfirman seperti ini? Mengapa Dia berfirman bahwa Dia ‘memilih para Rasul-Nya? Mengapa Allah memilih menggunakan bentuk waktu sekarang dan masa depan? Tentu saja jika Dia menghendaki bahwa setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada lagi nabi apa pun di muka bumi, maka Dia akan menggunakan bentuk waktu lampau. Namun di sini, Allah memilih menggunakan bentuk waktu sekarang dan masa depan.

Jika ayat ini diartikan bahwa Allah dulu memilih  para utusan-Nya, meskipun kata kerja يَصۡطَفِيۡ merupakan kata  kerja mudhari‘, dan Dia tidak lagi mengutus para nabi, atau jika diartikan bahwa يَصۡطَفِيۡ hanya mengacu pada masa sekarang dan bukan masa depan, maka penafsiran seperti itu tidak masuk akal.

Jika kita membaca ayat berikutnya, Allah berfirman:

یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَمَا خَلۡفَہُمۡ ؕ وَاِلَی اللّٰہِ تُرۡجَعُ الۡاُمُوۡرُ

“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (QS. Al-Hajj, 22: Ayat 77)

Dalam ayat ini, Allah menyatakan يَعۡلَمُ, yang lagi-lagi, berdasarkan tata bahasa Arab, adalah  kata kerja mudhari’. Jika seseorang mengatakan bahwa يَصۡطَفِيۡ berarti Allah dulu memilih para nabi dan sekarang tidak lagi melakukannya, itu sama saja dengan mengatakan bahwa يَعۡلَمُ berarti Allah  dulu  mengetahui ‘apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka’, tetapi sekarang Dia tidak lagi mengetahuinya, Na’udzubillah min dzalik.

Sebagian berpendapat bahwa ayat ini telah terpenuhi dengan datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan bahwa pintu kenabian kini telah tertutup dan terkunci selamanya. Akan tetapi, pendapat ini juga kandas karena ketika ayat ini diturunkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah diutus sebagai seorang nabi. Sebagaimana telah ditetapkan bahwa mengutus para rasul merupakan pekerjaan Allah yang terus menerus, maka tidak ada seorang pun yang dapat berbicara atas nama Allah atau mengubah sunnah-Nya. Allah berfirman:

Terkait:   Beberapa Hal tentang Muhammad Nabi Terakhir - Dalil Al-Qur'an dan Hadits

وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا

“[…] dan engkau sekali-kali tidak akan mendapatkan perubahan dalam sunnah Allah.” (QS. Al-Ahzab, 33: Ayat 63)

Seseorang mungkin mempertanyakan apakah Allah Ta’ala mengutus dan menunjuk nabi-nabi yang membawa syariat, dan apakah ayat ini juga menyiratkan bahwa Dia akan terus mengutus nabi-nabi yang membawa syariat?

Jawabannya cukup sederhana. Allah mengutus nabi yang membawa syariat hanya ketika syariat sebelumnya belum lengkap, usang, berubah, dan menyimpang atau tidak lagi memiliki petunjuk. Baru pada saat itulah Allah mengutus nabi baru yang membawa syariat. Akan tetapi, karena Allah telah berfirman bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap dan sempurna, dan ajaran-ajarannya mencakup semua hal, dan tidak akan pernah dibatalkan atau diubah, maka tidak perlu ada seorang nabi yang membawa syariat; akan tetapi, hal ini tidak menghilangkan kemungkinan munculnya seorang nabi dari kalangan umat Islam  yang  akan menghidupkan kembali syariat Islam jika umat Islam berhenti mengikuti ajarannya.

Allah Ta’ala berfirman:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا

“Hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagimu, dan telah Kulengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah, 5: Ayat 4)

Oleh karena itu, ayat dalam Surat Al-Hajj tadi menjelaskan bahwa datangnya seorang nabi non-syariat adalah sesuai dengan ajaran Al-Quran.

Ayat ke-2: Ikutilah Rasul yang akan datang

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ اِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِّنْكُمْ يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ اٰيٰتِيْۙ فَمَنِ اتَّقٰى وَاَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

“Wahai bani Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul dari antaramu yang memperdengarkan ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan memperbaiki diri, tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih.” (QS. Al-A’raf, 7: Ayat 36)

Ayat ini merupakan contoh lain tentang keberlangsungan nabi di kalangan umat Islam. Kalimat اِمَّا يَاۡتِيَنَّكُمۡ رُسُلٌ menunjukkan bahwa para rasul akan datang sebagaimana kalimat يَاۡتِيَنَّكُمۡ digunakan untuk bentuk waktu sekarang dan masa mendatang [fi’il mudhari’].

Argumen yang sering dikemukakan oleh orang-orang adalah ayat ini ditujukan kepada “anak-anak Adam” dan bukan umat Islam. Argumen ini cukup aneh. Mengapa Allah, dengan hikmah-Nya yang tak terbatas, menurunkan ayat ini jika tidak ditujukan kepada mereka?

Kalau kita perhatikan ayat-ayat sebelum ini, nampak jelas bahwa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah untuk umat Islam. Dalam ayat 27 Surat ini, Allah berfirman:

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ قَدْ اَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُّوَارِيْ سَوْءٰتِكُمْ وَرِيْشًاۗ وَلِبَاسُ التَّقْوٰى

“Wahai Bani Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan sebagai perhiasan dan pakaian takwa.” (QS. Al-A’raf, 7: Ayat 27)

Nah, jika kita berpegang teguh pada pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa ayat 36 itu tidak ditujukan kepada umat Islam, apakah artinya umat Islam dikecualikan dari ayat ini, dan hanya berlaku untuk anak cucu Adam saja? Tidak diragukan lagi ayat ini tertuju pada umat Islam karena merekalah penerima utama Al-Qur’an.

Demikian pula pada ayat berikutnya, Allah Ta’ala berfirman:

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ

“Wahai Bani Adam, janganlah kamu biarkan setan menggodamu.” (QS. Al-A’raf, 7: Ayat 28)

Sekali lagi, perintah ini ditujukan kepada umat Islam yang telah diperintahkan untuk melindungi diri mereka dari tipu daya setan.

Ayat 32 dari surah ini berbunyi:

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Wahai Bani Adam, pakailah perhiasanmu di setiap tempat ibadah.” (QS. Al-A’raf, 7: Ayat 32)

Hal ini dengan tegas menunjukkan yang dituju di sini adalah umat Islam sebagai penerima utamanya.

Imam Jalaluddin Suyuti (rh) telah mencatat berbagai riwayat yang menyinggung ayat ini. Beliau menulis bahwa pada masa jahiliyah, ada orang yang datang ke Baitullah tanpa mengenakan pakaian, dan karena alasan ini lah Allah menurunkan ayat ini kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Peristiwa ini juga telah dicatat dalam  Sahih Muslim  (Kitab al-Tafsir, Hadits 3028).

Imam Fakhruddin Razi (rh ) dalam  tafsirnya mengenai ayat ini menulis:

و إنما قال رسل و إن كان خطابا للرسول عليه الصلاة و السلام و هو خاتم الأنبياء عليه و عليهم السلام

“Dia [Allah] telah menetapkan ‘rusul’ [para Nabi], dan tentu saja itu ditujukan kepada Nabi (saw) yang merupakan Khatam-ul-Anbiya. (Tafsir al-Kabir,  Surah al-A’raf, 7: ayat 35-36)

Beliau lebih lanjut menulis:

و أما قوله يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ اٰيٰتِيْ فقيل تلك الآيات في القرآن

Terkait:   Pandangan Para Ulama tentang Khataman Nabiyyin

“Adapun firman-Nya (yang membacakan ayat-ayat-Ku kepadamu), maka ayat-ayat itu disebut sebagai Al-Quran.”

Di sini, Imam Fakhruddin Razi rh dengan jelas menyatakan bahwa yang dituju dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan umat Muslim dan bukan anak-anak Adam as yang telah datang dan berlalu. Ia menulis bahwa ‘tanda-tanda yang akan diucapkan para rasul’ itu adalah Al-Quran. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini artinya seorang nabi dari antara umat Islam  akan  dibangkitkan yang akan membacakan tanda-tanda Allah, dan itu tidak lain adalah Imam Mahdi yang dinubuatkan akan datang di Akhir Zaman oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam  Tafsir al-Baidhawi  – salah satu tafsir Al-Quran klasik Sunni yang paling populer – Imam Baidhawi rh, seorang ahli hukum Persia, teolog dan ulama Islam abad ke-13, di bawah ayat yang dikutip di atas, menulis:

إتيان الرسل أمر جائز غير واجب

“Kedatangan para rasul itu mungkin, namun tidak mutlak”. ( Tafsir al-Baidhawi, Surah al-A’raf, 7: Ayat 35)

Ini membuktikan bahwa para ulama terkemuka, bahkan sebelum kedatangan Hazrat Ahmad as, berpendapat bahwa nabi-nabi yang tidak membawa syariat tetap dapat diutus oleh Allah untuk memperbaiki  umat Islam, meskipun hal itu tidak mutlak. Akan tetapi, menyangkal mentah-mentah bahwa tidak ada nabi yang dapat datang adalah bertentangan dengan Al-Qur’an dan pandangan para ulama terdahulu sebagaimana disebutkan di atas.

Ayat ke-3: Nikmat Allah kepada umat

Dalam Surah al-Fatihah – yang dikenal sebagai ummul-Qur’an – Allah Ta’ala berfirman:

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ۔ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَلَا الضَّآلِّیۡنَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pulan jalan mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah, 1: 6-7)

Mengenai surat al-Fatihah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَلَّى صَلَاةَ لَمْ يَقْرَأُ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ هِيَ خِدَاجٌ هِيَ خِدَاجٌ

“Barangsiapa yang shalatnya tidak disertai dengan bacaan Ummul Qur’an [Al-Fatihah], maka shalatnya cacat, shalatnya cacat, shalatnya cacat.” (Sunan an-Nisai, Kitab al-Iftitah)

Lebih jauh lagi untuk menegaskan riwayat ini, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Barangsiapa yang tidak membaca Al-Fatihah dalam shalatnya, maka shalatnya tidak sah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Setelah kita mengetahui keutamaan surah ini, marilah kita lihat bagaimana surah ini membuktikan bahwa kedatangan seorang nabi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah umat Islam adalah hal yang diperbolehkan.

Dalam  surah ini, yang merupakan doa yang sempurna, Allah telah mengajarkan umat Islam untuk berdoa memohon nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada manusia dan kaum-kaum sebelumnya. Apa saja nikmat-nikmat rohani, kebaikan, dan pahala yang diajarkan kepada umat Islam untuk dimintakan kepada dari Allah? Nikmat atau berkah apa yang telah dilimpahkan Allah kepada umat-Nya dan bangsa-bangsa sebelumnya?

Dalam Surah An-Nisa, Allah telah menjelaskan secara rinci definisi nikmat tersebut:

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا

“Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni nabi-nabi, sidiq-sidiq, syahid-syahid, dan orang-orang saleh, dan mereka itulah sahabat yang sejati.” (QS. An-Nisa, 4: Ayat 70)

Jadi nikmat-nikmat yang perlu dimohonkan yang terdapat dalam surah Al-Fatihah tersebut adalah ‘Nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syuhada-syuhada, dan orang-orang saleh.”

Umat Islam diajarkan untuk berdoa kepada Allah agar membimbing mereka ke empat jalan yang telah disebutkan dalam Surah An-Nisa. Jika kedudukan rohani ini tidak mungkin dicapai, maka mengapa Allah, dengan hikmah-Nya yang tak terbatas, mengajarkan doa ini kepada umat Islam. Mengajarkan doa yang tidak mungkin dicapai bertentangan dengan kebijaksanaan Allah. Jadi, jika Allah mengajarkan doa ini, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan pentingnya doa ini, berarti pintu untuk mencapai empat tingkatan rohani yaitu, ‘Nabi-nabi, Shiddiq-shiddiq, Syuhada-syuhada, dan orang-orang yang saleh” terbuka.

Hal lain yang perlu direnungkan adalah kedudukan agung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah disebutkan dalam ayat ini. Allah telah menyatakan ‘barang siapa yang menaati Allah dan Rasul ini’, yang berarti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, akan dianugerahi dari empat tingkatan rohani sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. Maka dapat disimpulkan dari sini bahwa kenabian saat ini hanya dapat dicapai melalui ketaatan penuh kepada Allah dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, artinya jika seorang nabi diangkat, maka ini hanya akan terjadi di antara umat Islam. Tidak ada nabi lain di masa lalu yang dimahkotai dengan kualitas dan keistimewaan yang begitu unik ini.

Terkait:   Pengertian Khataman Nabiyyin

Lebih jauh, untuk menguraikan kata  nikmat  – berkah – kita baca dalam Al-Quran:

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ جَعَلَ فِيْكُمْ اَنْۢبِيَاۤءَ وَجَعَلَكُمْ مُّلُوْكًا

“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu, ketia Dia menjadikan nabi-nabi di antaramu, menjadikan kamu raja-raja […]” (QS. Al-Ma’idah, 5: Ayat 21)

Lagi pula, ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa kedatangan dan pengangkatan para nabi adalah sebuah ‘nikmat’ dari Allah. Jika Allah sendiri tidak menutup pintu nikmat yang agung ini, apakah manusia punya hak untuk menutupnya?

Mengacu pada ayat dari Surah An-Nisa di atas, sebagian berpendapat bahwa kata مَعَ yang digunakan artinya adalah ‘orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya akan ‘bersama-sama’ keempat tingkatan rohani tersebut. Mereka mengatakan bahwa umat Islam hanya akan bersama mereka dan berkumpul dengan para nabi, shiddiq-shiddiq, para syuhada, dan orang-orang yang saleh, tetapi tidak akan termasuk golongan mereka.

Pandangan yang tidak masuk akal ini tidak berdasar dan tidak dapat dianggap sebagai pemahaman yang masuk akal. Dalam ayat tersebut, Allah menjawab tuduhan yang tidak masuk akal ini dengan menggunakan kata مِنْ yang berarti ‘di antara’ atau ‘dari’.

Penafsiran kata مَعَ yang diartikan ‘bersama’ bertentangan dengan akal sehat dan tidak memiliki bobot.

Jika kita meyakini hal ini, maka itu berarti bahwa dalam umat Islam, sejak wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga saat ini, tidak ada seorang pun Muslim yang pernah mencapai derajat orang saleh, syahid, atau orang-orang shiddiq. Artinya, umat Islam hanya akan bersama-sama dengan orang-orang yang memiliki ruh kerohanian seperti itu tetapi tidak akan bisa mencapai derajat tersebut. Begitupun, para Khalifah Rasyidah dan para Sahabat (ra) tidak dapat mencapai derajat yang tinggi seperti shiddiq-shiddiq, para syuhada dan orang-orang shaleh.  Jika demikian, bagaimana mungkin umat Islam bisa disebut sebagai ‘umat terbaik yang diciptakan untuk kebaikan umat manusia’?

Penggunaan kata مَعَ dalam ayat ini artinya adalah ‘termasuk di antara’. Akan tetapi, jika seseorang masih percaya bahwa kata مَعَ artinya hanya ‘bersama-sama’, maka pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada ayat-ayat Al-Quran lainnya perlu dijawab. Misalnya, dalam Surah Ali Imran, kita membaca sebuah doa:

رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّاٰتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْاَبْرَارِ

“Wahai Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama orang-orang baik.” (QS. Ali Imran, 3: 194)

Dalam ayat ini digunakan kata مَعَ. Apakah umat Islam berdoa supaya mereka hanya bersama-sama dengan orang-orang saleh atau benar-benar termasuk orang-orang saleh itu sendiri?

Jika umat Islam berdoa hanya supaya bersama dengan orang-orang saleh, sebagaimana yang dinyatakan oleh umat Islam non-Ahmadi, maka ini merupakan kenaiayaan yang serius terhadap penafsiran Al-Quran yang merupakan kitab petunjuk yang sempurna.

Bagaimana mungkin umat Islam, bahkan dengan Al-Quran, tidak dapat mencapai salah satu dari empat derajat kerohanian? Bagaimana  mungkin umat Islam  menjadi umat terbaik, tetapi tidak dapat mencapai empat derajat rohani yang disebutkan dalam Surah An-Nisa?

Di tempat lain dalam Al-Qur’an, berkenaan dengan Iblis kita membaca:

اَبٰىٓ اَنْ يَّكُوْنَ مَعَ السّٰجِدِيْنَ

“[…] ia menolak ikut bersama-sama mereka yang tunduk.” (QS. Al-Hijr, 15: Ayat 32)

Kini, setiap Muslim, bahkan anak-anak Muslim sudah terbiasa dengan kisah tentang bagaimana Iblis tidak menaati perintah Allah dan memilih untuk tidak tunduk. Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata مَعَ dan sebagaimana ditunjukkan oleh konteksnya, Iblis berada bersama-sama orang yang tunduk tetapi tidak menjadi di antara mereka. Oleh karena itu, ayat ini memberikan bukti kuat bahwa مَعَ tidak hanya berarti “berada bersama’ tetapi juga berarti ‘termasuk’ dan menunjukkan bahwa konteksnya harus dipelajari; karena jika konteks suatu ayat tidak diperhatikan maka hakikat sebenarnya dari makna ayat tersebut akan hilang. 

Ada beberapa contoh dalam Al-Quran di mana kata مَعَ dapat berarti ‘bersama’ atau ‘termasuk’; namun penting untuk mempelajari ayat tersebut beserta konteksnya. Karena jika kita mengambil ayat Surah An-Nisa hanya dengan arti bahwa umat Islam akan bersama dengan ‘para Nabi, orang-orang yang shiddiq, para Syuhada, dan orang-orang shaleh’, itu berarti bahwa umat Islam  telah  dan akan kehilangan jiwa-jiwa yang mulia dan saleh yang telah mencapai atau akan mencapai derajat para shiddiq, para syuhada, dan orang-orang yang shaleh.

Penelaahan sederhana terhadap tiga ayat Al-Qur’an ini membuktikan dengan jelas akan keberlangsungan kenabian di kalangan umat Islam.

Sumber: Alhakam.org Prophets can still come in Islam: Three verses of the Quran
Penerjemah: Mln. Husnur Rasyidi

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.