Berikut tafsir ayat Khatamun Nabiyyin yang terdapat dalam Surah Al-Ahzab ayat 41 (bismillah dihitung satu ayat). Kutipan ini berasal dari Kitab Suci Al-Qur’an dengan Terjemah dan Tafsir Singkat, Neratja Press, 2023 dan Tafsir Sagheer karya Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad.
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
“Muhammad bukan bapak salah seorang laki-laki di antaramu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khaataman Nabiyyin, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzab [33]:41)
Tafsir Singkat Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Khātam berasal dari kata khatama yang berarti: ia mematerai, mencap, mensahkan atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun. Khātam berarti juga sebentuk cincin stempel; sebuah segel, atau materai dan sebuah tanda; ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda. Kata itu pun berarti hiasan atau perhiasan, terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khātim, khatm dan khātam hampir sama artinya (Lane, Mufradāt, Fath, dan Zurqāni). Maka kata Khātam an-Nabiyyīn akan berarti meterai para nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi terakhir.
Di Makkah pada waktu semua putra Hz. Rasulullah saw, telah meninggal dunia semasa masih kanak-kanak, musuh-musuh beliau mengejek beliau seorang abtar (tidak berketurunan karena tidak mempunyai anak laki-laki -pen.), yang berarti karena ketidakadaan ahli waris lelaki untuk menggantikan beliau, jamaah beliau cepat atau lambat akan menemui kesudahan (Muhit). Sebagai jawaban terhadap ejekan orang-orang kafir, secara tegas dinyatakan dalam surah Al-Kautsar, bahwa bukan Hz. Rasulullah saw. melainkan musuh- musuh beliaulah yang tidak akan berketurunan.
Sesudah surah Al-Kautsar diturunkan, tentu saja terdapat anggapan di kalangan kaum Muslimin di zaman permulaan bahwa Hz. Rasulullah saw. akan dianugerahi anak-anak lelaki yang akan hidup sampai dewasa. Ayat yang sedang dibahas ini menghilangkan salah paham itu, sebab ayat ini menyatakan bahwa Hz. Rasulullah saw., baik sekarang maupun dahulu ataupun di masa yang akan datang bukan atau tidak pernah akan menjadi bapak seorang orang lelaki dewasa (rijal berarti pemuda-pemuda dewasa).
Dalam pada itu ayat ini nampaknya bertentangan dengan surah Al-Kautsar, yang di dalamnya bukan Hz. Rasulullah saw., melainkan musuh-musuh beliau yang diancam dengan tidak akan berketurunan, tetapi sebenarnya berusaha menghilangkan keragu-raguan dan prasangka-prasangka terhadap timbulnya arti yang kelihatannya bertentangan itu. Ayat ini mengatakan bahwa Baginda Nabi Besar Muhammad saw. adalah rasul Allah, yang mengandung arti bahwa beliau adalah bapak rohani seluruh umat manusia dan beliau juga Khataman Nabiyyin, yang maksudnya bahwa beliau adalah bapak rohani seluruh nabi. Maka bila beliau bapak rohani semua orang mukmin dan semua nabi, betapa beliau dapat disebut abtar atau tidak berketurunan.
Bila ungkapan ini diambil dalam arti bahwa beliau itu nabi yang terakhir. dan bahwa tidak ada nabi akan datang sesudah beliau, maka ayat ini akan nampak sumbang bunyinya dan tidak mempunyai pertautan dengan konteks ayat, dan daripada menyanggah ejekan orang-orang kafir bahwa Hz. Rasulullah saw. tidak berketurunan, malahan mendukung dan menguatkannya. Pendek kata, menurut arti yang tersimpul dalam kata khātam seperti dikatakan di atas, maka ungkapan Khatam an-Nabiyyin dapat mempunyai kemungkinan empat macam arti:
(1) Hz. Rasulullah saw, adalah meterai para nabi, yakni, tidak ada nabi dapat dianggap benar, kalau kenabiannya tidak bermeteraikan Hz. Rasulullah. Kenabian semua nabi yang sudah lampau harus dikuatkan dan disahkan oleh Hz. Rasulullah saw. dan juga tidak ada seorang dapat mencapai tingkat kenabian sesudah beliau, kecuali dengan menjadi pengikut beliau.
(2) Hz. Rasulullah saw, adalah yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan pun yang bagi mereka (Zurqani, Syarh Mawahib al-Laduniyyah).
(3) Hz. Rasulullah saw. adalah yang terakhir di antara para nabi pembawa syariat. Penafsiran setelah diterima oleh para ulama terkemuka, orang-orang suci dan waliullah seperti Ibnu ‘Arabi, Syah Waliullah, Imam Ali Qari Mujaddid Alf Tsani dan lain-lain. Menurut ulama-ulama besar dan para waliullah itu, tidak ada nabi dapat datang sesudah Hz. Rasulullah saw. yang dapat memansukhkan (membatalkan) millah beliau, atau ada seseorang yang akan datang dari luar umat beliau (Futūḥāt, Tafhīmāt, Maktūbāt, dan Yawaqit wa al-Jawahir).
Aisyah ra. istri Hz. Rasulullah saw. yang sangat cerdas, menurut riwayat pernah mengatakan, “Katakanlah bahwa beliau (Hz. Rasulullah saw.) adalah Khātam an-Nabiyyīn, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” (Mantsūr).
(4) Hz. Rasulullah saw. adalah nabi yang terakhir (Akhirul Anbiya) hanya dalam arti kata bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sesempurna-sempurnanya dan selengkap-lengkapnya dalam diri beliau: khātam dalam arti sebutan terakhir untuk menggambarkan kebagusan dan kesempurnaan, adalah sudah lazim dipakai. Lebih-lebih Al-Qur’an dengan jelas mengatakan tentang bakal diutusnya nabi-nabi sesudah Hz. Rasulullah saw. wafat (QS.7:36). Hz. Rasulullah saw. sendiri jelas mempunyai tanggapan tentang berlanjutnya kenabian sesudah beliau. Menurut riwayat, beliau bersabda, “Sekiranya Ibrahim (putra beliau) masih hidup, niscaya ia akan menjadi nabi” (Mājah, Kitāb al-Janā’iz) dan, “Abu Bakar adalah sebaik-baik orang sesudahku, kecuali jika ada nabi” (Kanz).
Kitab Suci Al-Qur’an dengan Terjemah dan Tafsir Singkat, Neratja Press, 2023
Tafsir-e-Sagheer (Urdu)
“Yakni, tanpa pengesahan dan kesaksian dari ajaran beliau (saw), maka tidak ada seorangpun yang dapat mencapai tingkat kenabian atau walayat (kewalian). Orang lain menerjemahkannya sebagai ‘Nabi terakhir’ bukannya ‘materai/segel nabi’. Tetapi terjemahan ini tidak membawa perbedaan pada posisi kami (yaitu Ahmadiyah). Jika kita memperhatikan peristiwa mi’raj Rasulullah saw, maka silsilah para nabi seperti tercantum dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (ra) adalah sebagai berikut:
Sidratul Muntahaa: | Hazrat Muhammad, Nabi Allah (saw) |
Langit ke-7: | Hazrat Ibrahim (as) |
Langit ke-6: | Hazrat Musa (as) |
Langit ke-5: | Hazrat Harun (as) |
Langit ke-4: | Hazrat Idris (as) |
Langit ke-3: | Hazrat Yusuf (as) |
Langit ke-2: | Hazrat Isa (as) dan Hazrat Yahyah (as) |
Langit ke-1: | Hazrat Adam (as) |
Manusia di Bumi |
Jika kita lihat tabel ini dari sudut pandang manusia di bumi, mereka pertama-tama akan melihat nabi Adam (as), dan terakhir mereka akan melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pengertian ini mereka akan menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi Terakhir di antara semua Nabi. Selain itu, jika kita perhatian hadits yang menyatakan bahwa ketika Adam belum lahir, Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah Khatamun Nabiyyin, artinya Rasul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki maqam (kedudukan) paling tinggi di antara silsilah para nabi. Maka, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencapai puncak selama mi’raj, kedudukan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada hakikatnya adalah kedudukan Nabi yang terakhir. Dengan demikian, makna yang sama yang telah kami uraikan tetaplah benar, yakni, Khatamun Nubuwwah artinya adalah derajat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan yang paling agung di antara semua nabi.” (Tafseer-e-Sagheer, hal. 551).