Pandangan Para Ulama tentang Khataman Nabiyyin

Tafsir ayat Khatamun Nabiyyin

Beberapa ghair Ahmadi menuduh orang-orang Ahmadi menolak ayat Khataman Nabiyyin, ada pula yang menuduh bahwa kami memiliki penafsiran sesat terhadap ayat tersebut. Jelas kedua pernyataan tersebut sepenuhnya salah. Di dalam artikel ini,

  1. Kami akan tunjukan bagaimana para ulama mereka memahami ayat Khataman Nabiyyin sama persis seperti yang kami pahami.
  2. Kami juga akan tunjukan bagaimana para ulama mereka percaya bahwa La Nabiyya Ba’di mengandung arti tidak datang seorang nabi yang akan membatalkan syari’at Islam.
  3. Terakhir, kami akan buktikan jika Khataman Nabiyyin merupakan gelar keagungan Nabi Muhammadsaw dan bukan hanya sebatas nabi terakhir semata.  

1. Imam Ibn Qutaibah (Wafat 267 H)

وليس هذا من قولها ناقضا لقول النبي – صلى الله عليه وسلم – لا نبي بعدي لأنه أراد لا نبي بعدي ، ينسخ ما جئت به

“Pernyataan beliau (Aisyahra) [1] ini tidak bertentangan dengan sabda Nabisaw, Tidak ada nabi setelah aku, karena maksud beliausaw adalah tidak ada nabi setelahku yang membatalkan syariat yang aku bawa.” (Ta’wilul Mukhtalifil Hadits, hal. 236).

2. Hakim At-Tarmidzi (Wafat 318 H)

Beliau bernama Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Al-Hasan Al-Hakim At-Tirmidzi, sosok yang berbeda dengan penyusun kitab Hadits Jamiah Tarmidzi, yaitu Abu Isa Muhammad At-Tarmidzi.

فإن الذي عَمِيَ عن خبر هذا، يظن ان “خاتم النبيين” تأويله انه آخرهم مبعثاً. فأي منقبة في هذا؟ وأي علم في هذا؟ تأويل البله، الجهلة![2]

“Menurut kami, ‘Khataman Nabiyyin‘ itu berarti bahwa kenabian telah terwujud secara penuh dan lengkap dalam diri Rasulullahsaw. Hati beliausaw menjadi wadah bagi utuhnya kenabian yang tersegel sempurna. Jadi bagaimana mungkin kemuliaan dan keunggulan Rasulullahsaw akan  dapat terwujud jika kita mengklaim bahwa beliau adalah orang terakhir yang hadir ke dunia. Tidak diragukan lagi, ini adalah interpretasi dari orang-orang yang dungu dan bodoh.” (Khatamul Auliya, hal. 31)

3. Abdul Karim Al-Qusyairi (Wafat 464 H)

Al-Qusyairi sepakat bahwa ketaatan kepada Rasulullahsaw dapat menuntun seseorang meraih pangkat kenabian.

“Inilah karunia dari Allah dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui.” (Surah An-Nisa 4: 70) [3]

“Dia menjadikan ketaatan kepada Rasulullahsaw sebagai kunci untuk meraih derajat nabi, Siddiq, dan syuhada. Dimana tingkatannya sesuai dengan pencapain umat, dan tingkatan yang paling tinggi adalah derajat [nabi].” (Lataiful Isyarah, hal. 416).[4]

4. Muhyiddin Ibn Arabi (Wafat 637 H)

Ibn Arabi juga menjelaskan bahwa tidak ada nabi setelah Muhammadsaw yang datang untuk menghapus syariat beliau, karena syariat beliau sudah sempurna dan terakhir.   

(١).  فإن النبوة التي انقطعت بوجود رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما هي نبوة التشريع، لا مقامها. فلا شرع يكون ناسخا لشرعه صلى الله عليه وسلم، ولا يزيد في حكمه شرعا آخر. وهذا معنى قوله صلى الله عليه وسلم:إن الرسالة والنبوة قد انقطعت فلا رسول بعدي ولا نبي، أي لا نبي بعدي يكون على شرع يخالف شرعي، بل إذا كان يكون تحت حكم شريعتي، ولا رسول أي لا رسول بعدي إلى أحد من خلق الله بشرع يدعوهم إليه. فهذا هو الذي انقطع وسد بابه، لا مقام النبوة.

“Sesusungguhnya kenabian yang berakhir dengan kedatangan Rasulullahsaw adalah kenabian syariat yang sudah tidak ada lagi maqam-nya. Oleh karena itu, tidak ada satupun syariat yang bisa menghapus syariat beliausaw, apalagi menambahkan hukum baru di dalamnya. Inilah makna dari sabda beliausaw: إن الرسالة والنبوة قد انقطعت فلا رسول بعدي ولا نبي (Sesungguhnya kenabian dan kerasulan sudah berakhir. Jadi tidak ada lagi nabi dan rasul setelahku). Maksudnya bahwa tidak ada lagi nabi setelahku yang datang membawa syariat lain guna menentang syariatku. Sekalipun datang ia akan berada di bawah hukum syariatku. Demikian pula, tidak tidak ada lagi rasul setelahku yang diutus kepada umat manusia guna menyeru mereka dengan syariat lain. Jadi yang berakhir dan tertutup adalah syariatnya bukan maqam kenabiannya.” (Al-Futuhatul Makiyah, vol. 3, hal. 6)

(٢).  فما ارتفعت النبوة بالكلية و لهذا قلنا إنما ارتفعت نبوة التشريع فهذا معنى لا نبي بعده و كذلك من حفظ القرآن فقد أدرجت النبوة بين جنبيه فقد قامت به النبوة بلا شك فعلمنا إن قوله لا نبي بعده أي لا مشرع خاصة لا أنه لا يكون بعده نبي فهذا مثل قوله إذا هلك كسرى فلا كسرى بعده و إذا هلك قيصر فلا قيصر بعده

“Bahwa kenabian itu belum sepenuhnya berakhir. Dan hanya kenabian pembawa syariat saja yang berakhir. Inilah maksud dari لا نبي بعده (tidak ada lagi nabi setelahnya). Sebagaimana, beliausaw bersabdabarangsiapa yang menghafal Al-Quran maka ia telah mencapai derajat kenabian yang sudah ditetapkan baginya.[5] Dari sini, kita bisa pahami maksud dari sabda beliausaw لا نبي بعده (tidak ada lagi nabi setelahnya) yang artinya tidak ada seorang pun nabi yang secara khas datang membawa syariat, karena nabi seperti itu tidak akan datang lagi setelah beliausaw. Hal ini sama persis dengan sabda beliausaw bahwa setelah seorang Kisrah meninggal maka tidak akan ada lagi Kisrah setelahnya, dan setelah seorang Kaisar meninggal maka tidak akan ada lagi Kaisar setelahnya.” [6] (Al-Futuhatul Makiyah, vol. 3, hal. 88)

(٣). فَالنُّبُوَّةُ سَارِيَةٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فِي الْخَلْقِ وَإِنْ كَانَ التَّشْرِيعُ قَدِ انْقَطَعَ فَالتَّشْرِيعُ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَاءِ النُّبُوَّةِ

“Kenabian akan tetap berlaku di tengah-tengah manusia sampai hari kiamat. Meski kenabian pembawa syariat itu sudah berakhir. Tapi kenabian syariat hanyalah salah satu bagian dari sekian banyak bagian kenabian.” (Al-Futuhatul Makiyah, vol. 3, hal. 135)

5. Jalaluddin Ar-Rumi (Wafat 671 H)

(a). “Beliausaw dijuluki Khatam karena tidak ada seorang nabipun sebelum dan sesudah beliau yang sebanding beliau. Ketika karya seni seorang seniman mengungguli seniman lain, janganlah ia berkata, seni telah berakhir bersamamu.” (Miftahul Ulum, Vol. 15, hal.56-57) [7]

محسن خدمت کی راہ میں تدبیر کرو تا کہ تم امتی ہو کر نبوت کے کمالات پاؤ۔ کیونکہ اے مرید اوہ مر شد کامل) اپنے عہد کا نبی ہے۔ اس لئے کہ وہ صاف طور پر نبی کا نور ہے۔

(b). “Berkhidmatlah sekuat tenaga di jalan kebajikan agar kalian dianugerahi derajat kenabian selagi kalian masih menjadi ummatnya yang kamil.” (Miftahul Ulum, Vol. 15, hal.56-57)

6. Ibnu Taimiyyah (Wafat 728 H)

Ibn Taimiyyah juga menjelaskan bahwa makna Khatamul Rusul yaitu tidak ada nabi setelah Muhammadsaw yang akan menghapus syariat beliausaw, karena syariat beliau sudah lengkap dan terakhir.

كما نصر الله محمدا على أعدائه، وقال فى كل الدهور سلطانه كامل ليس له فداء، وهذا صفة خاتم الرسل الذى لا يأتي بعده نبي ينسخ شرعه وسلطانه بالحجة واليد كامل لا يحتاج فيه إلى الاستعانة بشرع آخر، وشرعه ثابت باق إلى آخر الدهر

“Seperti halnya Allah Ta’ala telah memberikan pertolongan kepada Muhammadsaw dari musuh-musuhnya, dan berfirman bahwa: ‘Kekuasaannya sempurna di segala zaman dan tanpa ada bandingannya.’ Demikian pula ciri dari sang Khatamul Rasul bahwa setelah beliau tidak ada lagi nabi yang datang untuk membatalkan syariat beliau, serta tidak diperlukan lagi hujjah dan syariat lain. Karena syariat beliau berlaku hingga akhir zaman.” (Al-Jawabus Shahih Liman Baddal Dinul Masih, hal. 500)

Terkait:   Ahmadiyah Percaya pada Khatamun Nubuwah

7. Abdul Karim Al-Jili (Wafat 831 H)

Al-Jili merupakan keturunan langsung dari Ulama Tasawuf ternama, Syekh Abdul Qadir Jaelani, pendiri Tariqah Sufi Qadariyyah.

فَانْقَطَعَ حُكْمُ النُّبُوَّةِ التَّشْرِيْعِ بَعْدَهُ وَكَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاتَمَ النبيين

“Perintah Syariat yang mengandung Kenabian berakhir pada masa beliausaw. Inilah alasannya kenapa Muhammadsaw disebut Khataman Nabiyyin.” (Insanul Kamil, hal. 120)

8. Muhammad Ibn Yusuf As-Sanusi (Wafat 890 H)

قوله: (خاتم النبيين) ، بكسر التاء وفتحها، أي آخرهم بحيث لا نبي بعده، ويلزم منه أن لا رسول بعده؛ لأن النبي أعم من الرسول ونفي الأعم يستلزم نفي الأخص، ولا يعترض بنزول عِيسَى عليه السلام آخر الزمان؛ لأنه إنما ينزل على أنه ناصر تشرع سيدنا ومولانا محمد

“Sabda beliausaw: (Khataman Nabiyyin), dengan tanda kasrah ataupun fatah di atas huruf ta artinya terakhir, sehingga لا نبي بعده (tidak ada lagi nabi setelahnya) mengandung makna لا رسول بعده (tidak ada lagi rasul setelahnya). Dan pangkat nabi ini sifatnya lebih umum dibandingkan pangkat rasul. Jadi mengingkari sesuatu hal yang bersifat umum berarti mengingkari sesuatu hal yang bersifat khusus. Oleh karena itu, tidak ada keberatan jika terhadap turunnya Nabi Isaas di akhir zaman, karena ia merupakan nabi yang akan menjalankan syariat junjungan kita Muhammad, Rasulullahsaw. ” (Aqidah al-wusá wa-sharuha, hal. 31)

9. Jalaluddin As-Suyuti (Wafat 910 H)

قلنا: هذا الحديث بهذا اللفظ باطل. قال الزاعم: الدليل حديث لا نبي بعدي. قلنا: يا مسكين لا دلالة على هذا الحديث بوجه من الوجوه لأن المراد : لا يحدث بعدي نبي بشرع ينسخ شرعي. كما فسره بذلك ثم يقال لهذا الزاعم : هل أنت آخذ بظاهر الحديث فإن هذا يلزمك أحد أمرين: اما نفي نزول عيسى عليه السلام ، أو نفي النبوة عنه ، وكلاهما كفر

“Kami berkata: Lafaz hadits tersebut batil.[8]

Penggugat menjawab: Dalilnya adalah hadits لا نبي بعدي.

Kami berkata: Wahai orang yang miskin ilmu, hadits tersebut tidak ada dalilnya sama sekali karena maksud dari hadits itu adalah tidak ada seorangpun nabi setelahku yang datang membawa syariat dengan membatalkan syariatku. Setelah itu kami berkata kepada para penggugat: Jangan-jangan kalian memahami hadits ini secara harfiah sehingga tidak setuju dengan penafsiran kami. Dan jika memang begitu beranikah kalian memilih salah satu dari dua pilihan ini: yaitu mengingkari turunnya Isaas atau menolak pangkat kenabiannya Isaas saat turun nanti. Karena kedua pilihan tersebut sama-sama dianggap kufur!” (Nuzul ʿIsa ibn Maryam akhiriz Zaman, hal. 53)

10. Mujadid Alf Tsani (Wafat 971 H)[9]

“إن حصول المتبعين على كمالات النبوة عن طريق الاتّباع والوراثة بعد بعثة النبيّ صلى الله عليه وسلم خاتم الرسل – عليه وعلى جميع الأنبياء والرسل الصلوات والتحيات – لا ينافي كونه خاتم النبيين، عليه وعلى آله الصلاة والسلام، فلا تكن من الممترين.”

“Setelah kedatangan Sayyidina Muhammad Mustofa Khatamul Anbiya shalallahu alahi wassalam, maka pangkat kenabian yang diraih umat beliau karena mengikuti atau mewarisi kenabian beliau sama sekali tidak bertentangan dengan status beliau sebagai Khataman Nabiyyin. Jadi janganlah termasuk orang-orang yang ragu.” (Maktubat Imam Rabbani, Book 1, Maktub no. 301, vol. 2, hal. 775)

11. Imam Abdul Wahab As-Sha’rani (Wafat 976 H)

قوله صلى الله عليه وسلم : “فلا نَبِيَّ بَعْدِي وَلَا رَسُولَ” الْمُرَادُ بِهِ لَا مُشَرَعَ بَعْدِي.

“Sabda Rasulullahsaw: tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahku, maksudnya bahwa tidak ada lagi sosok nabi atau rasul yang datang setelahku dengan membawa syariat.” (al-Yawaqit wal-Jawahir, vol. 2, hal. 35)

12. Mulla Ali Al-Qari (Wafat 1013 H)

ومع هذا لو عاش إبراهيم وصار نبيا، وكذا لو صار عمر نبيا لكانا من أتباعه عليه الصلاة والسلام كعيسى والخضر وإلياس عليهم السلام. فلا يناقض قولَه تعالى: (وخاتم النبيين) إذ المعنى أنه لا يأتي نبي بعده ينسخ ملته ولم يكن من أمته

“Jika Ibrahim hidup dan menjadi seorang nabi, dan begitu pula Umar menjadi seorang nabi, maka mereka akan menjadi nabi ummati dari Rasulullahsaw. Sama seperti Isa, Khidir, dan Ilyasams. Hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah خاتم النبيين yang berarti tidak ada lagi seorang nabi yang datang untuk membatalkan syariat beliausaw, dan tidak ada lagi seorang pun nabi yang datang selain dari umat beliausaw.” (Al-Asrar Al-Marfu’a Fil-Akhbar Al-Mawdu’a, hal. 183)

13. Muhammad Ibn Abdur-Rasul Al-Barjanzi (Wafat 1103 H)[10]

Di dalam Syarah Mishkat al-Masabih, tertulis:

ورد “لا نبي بعدي” ومعناه عند العلماء أنه لا يحدث بعده نبي بشرع ينسخ شرعه

Menurut para ulama, makna hadits لا نبي بعدي (Tidak ada nabi setelahku) adalah tidak akan ada lagi seorang nabi setelah beliausaw yang datang membawa syariat guna menghapus syariat beliausaw. (Isha’ah li-Ashrat al-Sa’ah, hal. 139)

14. Isma’il Haqqi Al-Burusawi (Wafat 1137 H)

Beliau mengutip pernyataan dari Ibn Askar (Abu Abdullah ibn Askar, wafat 606 H). 

والمراد بقوله عليه السلام في الحديث : «والعاقب الذي ليس بعده نبي : لا يبعث بعده نبي ينسخ شريعته

Makna hadits والعاقب الذي ليس بعده نبي (Tidak ada nabi yang datang setelahnya) yaitu tidak akan ada nabi setelah beliausaw yang diutus untuk membatalkan syariat (beliau). (Tafsir Ruh al-Bayan, vol. 8, hal. 271)

15. Shah Waliullah Ad-Dehlawi (Wafat 1175 H)

Beliau juga seorang Mujaddid abad ke-12 dan dihormati oleh hampir semua orang (Barelwis, Deobandi, Ahli Hadits, Najdisi, dan Ahmadiyah)

(1). فعلِمنا بقوله عليه الصلاة والسلام: لا نبي بعدي ولا رسول، وأن النبوة قد انقطعت والرسالة، إنما يريد بها التشريع

“Kita mengerti maksud sabda Nabisaw: (لا نبي بعدي ولا رسول) sudah tidak ada lagi nabi dan rasul setelahku.  Yakni bahwa kenabian dan kerasulan yang sudah tidak ada lagi (berakhir), hanyalah jenis kenabian dan kerasulan yang membawa syariat.” (Qurratul-‘Ainain fi Tafdilish-Shaikhain, hal. 319)

(2). وخُتم به النبييون.. أي لا يوجد من يأمره الله سبحانه بالتشريع على الناس

“Maksud Khataman Nabiyyin bagi beliausaw … adalah bahwa tidak ada seorang nabi pun setelah beliausaw yang diutus Allah Ta’ala dengan membawa syariat bagi manusia.” (Tafhimati Ilahiya, vol. 2, hal. 85)

16. Maulana Qasim Nanawtawi (Wafat 1297 H)

Di kalangan muridnya beliau dijuluki Hujatul Islam. Beliau pendiri gerakan Deobandi, yaitu sebuah gerakan politik Islam Sunni. Jamaah Tabligh merupakan cabang dari gerakan ini.

(1). سو عوام کے خیال میں تو رسول اللہ صلی اللہ علیہ وسلم کا خاتم ہونا بایں معنی ہے کہ آپ کا زمانہ انبیاء سابق کے زمانے کے بعد اور آپ سب میں آخری نبی ہیں مگر اہل فہم پر روشن ہوگا کہ تقدم و تاخر زمانی میں بالذات کچھ فضیلت نہیں۔ پھر مقام مدح میں وَلكِن رَّسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ فرمانا اس صورت میں کیوں کر صحیح ہو سکتا ہے۔

“Menurut orang awam, Rasulullahsaw itu KHATAM yang artinya beliau akan datang setelah selesainya masa kedatangan para nabi sebelumnya karena beliau adalah nabi penghabisan. Namun orang-orang yang berakal dan bijaksana tahu betul bahwa menjadi sosok yang pertama atau terakhir, secara kronologis, tidak memiliki keunggulan sama sekali. Oleh karena itu, bagaimana mungkin firman Al-Qur’an: ” وَلكِن رَّسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ” (tetapi beliau adalah rasulullah dan nabi penghabisan) merupakan bentuk pujian bagi beliau? Namun saya yakin tidak seorang pun dari kalangan umat Islam akan siap dan setuju dengan pandangan orang-orang awam tersebut.” (Tahzirun Nas, hal. 14)

(2). اگر بالفرض بعد زمانہ نبوی ﷺ بھی کوئی نبی پیدا ہو تو پھر بھی خاتمیت محمدیؐ میں کچھ فرق نہ آئے گا

“Sebaliknya, apabila diasumsikan bahwa sesudah zaman Nabisaw lalu lahir seorang Nabi lain, maka itu pun tidak akan berpengaruh pada kedudukan Khaatamiyyat-e-Muhammadi (kekhatamannya Muhammadsaw).” (Tahzirun Nas, hal. 63)

17. Maulwi Abdul Hayyi Al-Lucknowi (Wafat 1304 H)

Maulwi Abdul Hayyi Lucknowi Firangi Mahali adalah seorang ulama besar di kalangan Hanafiyah (Mazhab Hanafi) yang tinggal di India. Beliau pendukung Maulana Qasim Nanawtawi, dan pengagum karya sang Imam yaitu Tahzirun Nas. Beliau juga menulis kitab tentang topik yang sama dengan sang Imam. Para pengikut gerakan Deobandi dan Nadwi sangat menghormatinya. Beliau menulis risalah Dafi’ ul-Waswas untuk membela Atsar yang kontroversial dari Ibnu Abbasra yang berbunyi:

Terkait:   Mirza Ghulam Ahmad Sebagai Nabi Zhilli dan Buruzi

سَبْعَ أَرْضِينَ ، فِي كُلِّ أَرْضٍ نَبِيٌّ كَنَبِيِّكُمْ ، وَآدَمُ كَآدَمَ ، وَنُوحٌ كَنُوحٍ ، وَإِبْرَاهِيمُ كَإِبْرَاهِيمَ ، وَعِيسَى كَعِيسَى

“Ada tujuh bumi, dan di masing-masing bumi ada seorang nabi seperti nabinya kalian (Muhammadsaw), ada seorang Adam seperti Adam alaihis salam, seorang Nuh seperti Nuh alaihis salam, seorang Ibrahim seperti Ibrahim alaihis salam, dan seorang Isa seperti Isa alaihis salam.”[11]

Maulwi Abdul Hayyi, seperti halnya Maulana Qasim Nanawtawi (Pendiri Deoband) dengan gigih membela ucapan yang dikeluarkan Sayyidina Ibn Abbasra tersebut, meskipun para ulama hadis menganggapnya sebagai Shaadah (keganjilan dalam terminologi ilmu hadis).

Kaum Deobandis, khususnya dengan penuh semangat membela Atsar tersebut dan sepenuh hati meyakini isinya, sementara kelompok lain menolaknya.

Salah satu penolakan serta keberatan mereka terhadap Atsar tersebut karena hal itu bertentangan dengan pernyataan Al-Qur’an bahwa Rasulullahsaw adalah Khaataman Nabiyyin sehingga tidak mungkin ada nabi setelahnya.

(1). بعد آنحضرت کے یا زمانے میں آنحضرت کے مجرد کسی نبی کا ہونا محال نہیں بلکہ صاحب شرع جدید ہونا البتہ منع ہے۔

“Setelah kewafatan Rasulullahsaw, atau bisa jadi semasa hidup beliausaw, bukan tidak mungkin ada seseorang yang diangkat menjadi nabi. Akan tetapi, nabi yang datang membawa syariat, tentu saja diharamkan.” (Dafi’ul Waswas Fi Atsar Ibn Abbas, hal. 12)

(2). علمائے اہل سنت بھی اس امر کی تصدیق کرتے ہیں کہ آنحضرت صلعم کے عصر میں کوئی نبی صاحب شرع جدیدہ نہیں ہو سکتا اور نبوت آپ کی تمام مکلفین کو شامل ہے اور جو نبی آپ کے ہمعصر ہو گا۔ پس ہر تقدیر بعثت محمد یہ عام ہے۔

“Para ulama Ahlus Sunnah juga menegaskan bahwa tidak ada seorang nabi pun setelah Rasulullahsaw yang mampu membawa syariat baru. Dan kenabian beliausaw sangat luas cakupannya. Dan setiap nabi yang hari ini datang tentu saja harus dari umat Muhammadsaw” (Dafi’ul Waswas Fi Atsar Ibn Abbas, hal. 3)

(3). علماء اہل سنت بھی اس امر کی تصریح کرتے ہیں کہ آنحضرت صلعم کے عصر میں کوئی نبی صاحبِ شرعِ جدید نہیں ہو سکتا اور نبوت آپ کی عام ہے اور جو نبی آپ کے ہمعصر ہوگا متبع شریعت محمدیہ کا ہوگا

“Para ulama Ahlus Sunnah berpendapat bahwa tidak ada seorang nabi pun setelah Rasulullahsaw yang datang dengan syariat baru. Dan kenabian beliausaw terbuka luas. Dan setiap nabi yang datang pada masa ini tentu saja harus mengikuti syariat Muhammadsaw.” (Dafi’ul Waswas Fi Atsar Ibn Abbas, hal. 17)

Sikap Maulwi Abdul Hayyi al-Hanafi dari Farangi Mahal sama dengan keyakinan Jam’ah Ahmadiyah, yaitu: Ada kemungkinan munculnya seorang Nabi setelah Rasulullahsaw, dengan syarat Nabi tersebut mengikuti syariat Muhammadsaw, dan bukan membawa syariatnya sendiri.

Beliau juga ditanya apakah seorang nabi bisa datang dari kalangan anak benua India (Mard-e-Hindi) atau Afghanistan yang mendukung Muhammadsaw dan membantah doktrin serta ajaran (kitab-kitab) Kristen. Beliau menjawab, “Ya, bisa!” [12]

18. Nawab Siddiq Hasan Khan (Wafat 1307 H)

Nama lengkap beliau, Sayyid Muammad iddiq asan Khan Al-Qannawji, salah seorang ulama Salafi yang sangat termasyhur. 

مردودة بقوله تعالى ( وَخَاتَمَ النَّبِيِّنَ )، وبقوله : (لا نبي بعدي) وبإجماع المسلمين أنه لا نبي بعد نبينا وأن شريعته مؤبدة إلى يوم القيامة لا تنسخ وهذا استدلال فاسد لأنه ليس المراد بنزول عيسى عَلَيْهِ السَّلَامُ أنه ينزل نبيا بشرع ينسخ شرعنا،

[Mereka berkata]: “Hadits tersebut tertolak dengan Firman Allah Ta’ala yang berbunyi: وَخَاتَمَ النَّبِيِّنَ (khataman nabiyyin), serta sabda Rasulullahsaw: لا نبي بعدي (tidak ada lagi nabi sesudahku). Juga Ijma’ umat Islam yang mengatakan tidak ada lagi nabi setelah nabi kita (saw) karena syariat beliausaw abadi dan tidak akan batal hingga hari kiamat. Ini merupakan kesimpulan yang fasad (buruk) karena yang dimaksud dengan نزول عيسى عَلَيْهِ السَّلَامُ (turunnya Isa alaihis salam) bukan artinya akan turun seorang nabi dengan syariat yang membatalkan syariat nabi kita (saw).” (Al-Siraj Al-Wahhaj Fi Kashf Matalib Muslim Bin Al-Hajjaj Sharh Mukhtasar Sahih Muslim Li Al- Hafiz Al-Mundhiri, vol.2, hal. 296)

19. Nawab Nur Hasan Khan (Wafat 1335 H)

Beliau pemimpin golongan Ahlul Hadits yang sangat terkenal dan termasyhur. Beliau putra dari Sayyid Muḥammad Ṣiddiq Ḥasan Khan Al-Qannawji. Dalam kitabnya Iqtirabus Sa’ah, beliau menulis: 

الحديث “لا وحي بعد موتي” لا أصل له، غير أنه ورد “لا نبي بعدي”، ومعناه عند أهل العلم أنه لن يأتي بعدي نبي بشريعة تنسخ شريعتي.

“Hadits berbunyi لا وحي بعد موتي (tidak ada lagi wahyu setelah kewafatanku) tidak ada dalilnya sama sekali, kecuali yang berbunyi لا نبي بعدي (tidak ada nabi setelahku). Dan menurut para ulama, hadits itu bermakna tidak akan datang lagi setelahku sosok nabi pembawa syariat yang membatalkan syariatku.” (Iqtarabus Sa’ah, hal.162)

Sikap sebenarnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkanaan tentang Khataman Nubuwwah sejak dahulu adalah bahwa setelah Muhammadsaw, kedatangan para nabi yang membawa syariat sudah berakhir selamanya dan tidak akan mungkin ada lagi, namun kedatangan para nabi yang mematuhi dan mengikuti syariat beliausaw bukan sesuatu yang mustahil akan terjadi.

20. Mahmud Khattab As-Subki (Wafat 1352 H)[13]

مردودة بقوله تعالى ( وَخَاتَمَ النَّبِيِّنَ )، وبقوله : (لا نبي بعدي) وبإجماع المسلمين أنه لا نبي بعد نبينا وأن شريعته مؤبدة إلى يوم القيامة لا تنسخ وهذا استدلال فاسد لأنه ليس المراد بنزول عيسى عَلَيْهِ السَّلَامُ أنه ينزل نبيا بشرع ينسخ شرعنا،

“[Mereka berkata]: “Hadits tersebut tertolak dengan Firman Allah Ta’ala yang berbunyi: وَخَاتَمَ النَّبِيِّنَ (khataman nabiyyin), serta sabda Rasulullahsaw: لا نبي بعدي (tidak ada lagi nabi sesudahku). Juga Ijma’ umat Islam yang mengatakan tidak ada lagi nabi setelah nabi kita (saw) karena syariat beliausaw abadi dan tidak akan batal hingga hari kiamat. Ini merupakan kesimpulan yang fasad (buruk) karena yang dimaksud dengan نزول عيسى عَلَيْهِ السَّلَامُ (turunnya Isa alaihis salam) bukan artinya akan turun seorang nabi dengan syariat yang membatalkan syariat nabi kita (saw).” (Ad Dinul Khalish, vol. 1, hal. 95)

21. Muhammad Maftuhin At-Tamini

قال الأشقر في القيامة الصغرى: “يقول النووي في رده على المكذبين بنزول عيســى الزاعمين أن نزوله لو كان حقاً فإنّه يكون مناقضاً لقوله عليه السلام: لا نبي بعدي، وأنه يكون بذلك ناسخاً لشرع الرسول الله صلى الله عليه وسلّم. هذا الاستدلال فاسد، لأنه ليس المراد بنزول عيسى عليه السلام أنّه ينزل نبياً بشرع ينسخ

“Al-Ashqar[14] mengatakan dalam kitab Al-Qiyamatus Sughra: An-Nawawi[15] menanggapi orang-orang yang mengingkari turunnya Isaas, di mana mereka berkata bahwa jika turunnya Isaas itu benar, maka akan bertentangan dengan sabda nabisaw: لا نبي بعدي (tidak ada nabi setelahku), dan beliau akan membatalkan syariat Rasulullahsaw. Ini merupakan kesimpulan yang fasad (keliru), karena yang dimaksud dengan turunnya Isaas bukanlah artinya beliauas turun sebagai nabi pembawa syariat yang akan membatalkan syariat nabisaw.” (Ra’iul Jama’a fi Bayan Aqida al-Suwad al-A’dham min al-Ummah, vol.1 hal. 99)

22. Sayyid Husein Al-Baghajawan

مردودة بقوله تعالى ( وَخَاتَمَ النَّبِيِّنَ )، وبقوله : (لا نبي بعدي) وبإجماع المسلمين أنه لا نبي بعد نبينا وأن شريعته مؤبدة إلى يوم القيامة لا تنسخ وهذا استدلال فاسد لأنه ليس المراد بنزول عيسى عَلَيْهِ السَّلَامُ أنه ينزل نبيا بشرع ينسخ شرعنا،

“[Mereka berkata]: “Hadits tersebut tertolak dengan Firman Allah Ta’ala yang berbunyi: وَخَاتَمَ النَّبِيِّنَ (khataman nabiyyin), serta sabda Rasulullahsaw: لا نبي بعدي (tidak ada lagi nabi sesudahku). Juga Ijma’ umat Islam yang mengatakan tidak ada lagi nabi setelah nabi kita (saw) karena syariat beliausaw abadi dan tidak akan batal hingga hari kiamat. Ini merupakan kesimpulan yang fasad (buruk) karena yang dimaksud dengan نزول عيسى عَلَيْهِ السَّلَامُ (turunnya Isa alaihis salam) bukan artinya akan turun seorang nabi dengan syariat yang membatalkan syariat nabi kita (saw).” (Shaykhul Islam Ibn Kamal Basha wa ara’uhu al-i‘tiqadiyah, hal. 436)

23. Ahmad ibn Imad Aqfahsi (Wafat 808 H)[16]

 وأنكر ذلك بعض المعتزله … أن هذه الأحاديث مردودة بقوله تعالى ( وَخَاتَمَ النَّبِيِّنَ )، وبقوله : (لا نبي بعدي) وبإجماع المسلمين أنه لا بعد نبينا وأن شريعته مؤيدة إلى يوم القيامة لا تنسخ وهذا استدلال فاسد لأنه ليس المراد بنزول عيسى عليه السلام أنه ينزل نبيا بشرع ينسخ شرعنا ولا في هذه الأحاديث ولا في غيرها شيء من هذا بل صحت هذه الأحاديث هنا

Terkait:   3 Makna Laa Nabiyya Ba'di

“Beberapa golongan Munta’zilah mengingkari hal ini…..bahwa, Hadits tersebut tertolak oleh Firman Allah Ta’ala yang berbunyi: وَخَاتَمَ النَّبِيِّنَ (khataman nabiyyin), serta sabda Rasulullahsaw: لا نبي بعدي (tidak ada lagi nabi sesudahku). Juga Ijma’ umat Islam yang mengatakan tidak ada lagi nabi setelah nabi kita (saw) karena syariat beliausaw abadi dan tidak akan batal hingga hari kiamat. Ini merupakan kesimpulan yang keliru karena yang dimaksud dengan نزول عيسى عَلَيْهِ السَّلَامُ (turunnya Isa alaihis salam) bukan artinya akan turun seorang nabi dengan syariat yang membatalkan syariat nabi kita (saw). Sama sekai tidak seperti itu, hadits ini shahih.” (Kashf al-asrār ‘ammā khafiya ‘an al-afkār, hal. 68)

24. Ulama Salafi/ Najdi[17] (Zaman Modern)

Di dalamnya termasuk para ulama terkemuka seperti Syekh Abdul-Aziz bin ‘Abdullah bin Baz; Syekh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin; dan Syekh Abdullah bin Abdur-Rahman Al-Jibrin.

“Tidak ada kontradiksi antara asal usul dan fakta bahwa nabi kita shalallahu alahi wassalam adalah nabi terakhir, karena Isaas tidak akan datang dengan membawa syariat baru, dan Ini adalah keputusan Allah dari awal hingga akhir. Dia berbuat sesuai yang dikehendaki-Nya, dan Dia memutuskan sesuai dengan kehendak-Nya. Dan ketetapan-Nya tiada tara. Dia Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.” (Fatawa Islamiyah, vol. 1, hal. 307)


[1] Imam Ibn Qutaibah mengomentari maksud dari ucapan Hadhrat Aisyahra:

 قولوا لرسول الله – صلى الله عليه وسلم –  خاتم النبيين ، ولا تقولوا : لا نبي بعده

“Kalian boleh mengatakan Rasulullahsaw adalah Khataman Nabiyyin, tapi jangan katakan Laa nabiyya Ba’dah (tidak ada nabi lagi sesudah beliau)” (Imam As-Sayuti, AdDurrul Mantsur, Juz 12, hal. 46). (Penerjemah)

[2] Artinya: “Orang yang buta terhadap khabar ini mengira bahwa “Khataman Nabiyyin” artinya orang yang dibangkitkan paling akhir. Apa keistimewaannya? Ilmu pengetahuan model apa ini? Ini adalah penafsiran orang idiot, orang bodoh!”. (Penerjemah)

[3] Ayat yang dibahas Imam Al-Qusyairi dalam kitab Lataiful Isyarah ini adalah surah An-Nisa ayat 69-70:

“Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan memperoleh derajat nabi, siddiq, syahid serta shaleh, dan mereka itulah sahabat sejati. Inilah karunia dari Allah dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui.” (Penerjemah)

[4] Kitab ini versi terjemahan Kristin Zahra Sands terbitan Royal Aalul Bayt Institute for Islamic Thought tahun 2017. Sementara versi Darul Kutubul Ilmiyah, (Beirut: 2007) ada pada halaman 214 dengan teks sbb:

جعل طاعة المصطفى- صلّى الله عليه وسلّم- مفتاح الوصول إلى مقامات النبيين والصديقين والشهداء على الوجه الذي يصحّ للأمة وكفى له عليه السّلام بذلك شرفا.

“Ia menjadikan ketaatan kepada Sang Mustafasaw sebagai kunci untuk meraih derajat nabi, Siddiq, dan syuhada bagi paraumat, dan derajat nabi adalah kedudukan terhormat.” (Penerjemah)

[5] Imam Al-Hakim dalam Mustadrak (No. 2028). Dari Abdullah bin Amr bin Al-Aashra bahwa Nabisaw bersabda:

مَنْ قرأَ القُرآنَ فَقَدْ اسْتَدْرَجَ النُّبوَّةَ بَيْنَ جَنْبَيْهِ،

“Barangsiapa yang membaca Al-Quran maka ia telah mencapai tahap kenabian diantara dua sisinya.” (Dikeluarkan juga oleh Imam Ath-ThabraniNo. 14575, dan Imam Bihaqi dalam kitab Syaibul Iman No. 2591 dengan sedikit perbedaan). (Penerjemah)

[6] Hadits tentang Kisra dan Kaisar ini diriwayatkan Abu Hurairahra :

إِذَا هَلَكَ كِسْرَى فَلَا كِسْرَى بَعْدَهُ وَإِذَا هَلَكَ قَيْصَرُ فَلَا قَيْصَرَ بَعْدَهُ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتُنْفِقُنَّ كُنُوزَهُمَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ 

“Jika Kisra (Raja Persia) binasa maka tidak akan ada lagi Kisra lain sesudahnya dan jika Kaisar (Raja Romawi) binasa maka tidak akan ada lagi Kaisar lain sesudahnya. Dan demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya kalian akan membelanjakan harta simpanan mereka berdua di jalan Allah.” (HR. Bukhari, No. 3618; HR. Muslim, No. 2918). (Penerjemah)

[7] Lihat juga kitab Matsnawi Rumi, Vol.6, hal. 6 dengan teks sbb:

بہرِایں خاتم شداست اُو کہ بجُود مثلِ اُونے بُودنے خواہند بُود

“Beliausaw dinamakan Khatam karena tidak ada seorang nabi pun sebelum dan sesudah beliau yang semartabat beliau dalam kesempurnaan dan limpahan karunia.” (Penerjemah)

[8] Menurut Penggugat ada hadits berbunyi: لا وحي بعدي (tidak akan turun lagi wahyu setelahnya). Dan menurut mereka hadits ini adalah tafsir dari hadits nabisaw لا نبي بعدي. (Lihat: Imam As-Suyuti, Al-Hawi Lil Fatawi, hal. 107). (Penerjemah)

[9] Beliau bernama Imam Rabbani Syekh Ahmad Al-Faruqi As-Sirhindi, seorang Mujadid danulama tasawuf ternama dari tariqah Naqsabandiyah. (Penerjemah)

[10] Sayyid Muhammad ibn Abdur-Rasul Al-Barjanzi adalah kakek buyut dari Sayyid Ja’far Al-Barjanzi (wafat 1128 H) penulis kitab Maulid Al-Barjanzi yang banyak digunakan umat Islam khususnya kalangan NU di Indonesia. (Penerjemah)

[11] Atsar ini dikeluarkan Imam Ibn Abi Hatim dalam Tafsirnya, dishahihkan Imam Al-Hakim dalam Mustadraknya (No. 3822), dan dikutip oleh Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Asmau wal Shifatu.

عن ابن عباس رضي الله عنهم أنه قال: الله الذي خلق سبع سماوات ومن الأرض مثلهن. قال: سبع أرضين في كل أرض نبي كنبيكم، وآدم كآدم، ونوح كنوح، وإبراهيم كإبراهيم، وعيسى كعيسى.

Dari Ibn Abbasra berkata, “Allah telah menciptakan tujuh langit dan tujuh bumi yang sama persis.” Lalu beliau melanjutkan, “Ada tujuh bumi, dan di masing-masing bumi ada seorang nabi seperti nabinya kalian (Muhammadsaw), ada seorang Adam seperti Adam alaihis salam, seorang Nuh seperti Nuh alaihis salam, seorang Ibrahim seperti Ibrahim alaihis salam, dan seorang Isa seperti Isa alaihis salam.” (Imam Al-Baihaqi, Al-Asmau Wal Shifatu, vol.2, hal. 370).  (Penerjemah)

[12] Dalam kitabnya Majmu’al Fatwa, Maulwi Abdul Hayyi menulis:

اگر کوئی شخص مرد ہندی ناخواندہ قوم افغان دعوی نبوت کا اس پر دے میں کرے کہ میں وکیل پیغمبر آخر الزمان کا ہوں اور واسطے تردید کتب نصاری کے پیغمبر خدا کا بھیجا ہوا آیا ہوں کہ ایک مطبع محمدی قائم کر کے کتب تردید دین نصاری تصنیف کر کے چھپوادوں تا دین نصاری باطل اور رد ہو جاوے۔ پس اس قول کو زبان مہر ہندی ناخواندہ سے باوار کرنا اور اس پر اعتقاد دلانا کہ بے شبہ یہ وکیل مختار فرستادہ نبی آخر الزمان کا ہے یا اس کی مدد خرچ کرنا بنام مطبع دینا روا ہے یا نہیں

“Jika ada seseorang dari anak benua India, atau kaum Afghan yang ummi, mendakwakan diri sebagai nabi lalu berkata ‘saya adalah pembela nabi akhir zaman (Rasulullahsaw) dan diutus Tuhan untuk membantah kitab-kitab Nasrani,’ lalu ia menyebarkan ajaran Rasulullahsaw dan menulis buku-buku sanggahan terhadap agama Kristen hingga agama Kristen menjadi batil dan tertolak. Maka kita boleh mempercayai perkataan orang ummi dari Hindia tersebut, serta meyakini bahwa ia merupakan nabi yang terpilih  di akhir zaman ini.” (Maulwi Abdul Hayyi, Majmu’al Fatwa, hal. 112). (Penerjemah)

[13] Beliau salah seorang Ulama al-Azhar yang bermazhab Maliki. Nama lengkapnya adalah Mahmud Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Khattab as-Subki al-Maliky. Beliau lahir tahun 1274 H. Karya terkenal beliau adalah kitab ad-Dinul Khalish; al-Manhal al-‘Adzb al-Maurud; syarah Sunan Abi Daud. (Penerjemah)

[14] Nama lengkap beliau Umar Ibn Sulaiman Ibn Abdullah Al-Ashqar (wafat 1433 H). Seorang ulama Sunni yang sebelumnya menjabat guru besar Fakultas Syariah Universitas Yordania. Dan salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin di Yordania. (Penerjemah)

[15] Lihat juga Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim, (Ad-Darul Kutubul ilmiah, vol. 18, hal. 61). Imam Nawawi merupakan ulama besar mazhab Syafi’i. Beliau lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada tahun 631 H. Beliau wafat di usia 45 tahun (676 H). (Penerjemah)

[16] Beliau seorang Hakim dan Ulama ahli fiqih dari mazhab Syafi’I. Nama lengkapnya adalah Syihabuddin Ahmad Ibn Imad Ibn Yusuf Ibn Abdu Nabiy Ibn Abu Abbas Al-Aqfahsi. Terkenal dengan sebutan Ibn Imad Aqfahsi. Beliau lahir tahun 750H. (Penerjemah)

[17] Najdi sebutan untuk para pengikut Muḥammad bin ʿAbdul Wahhab at-Tamīmī (wafat 1206 H). Namun kelompok ini lebih terkenal dengan julukan Wahhabi

Sumber: White Minarate
Penerjemah: Mln. Yusuf Awwab

Comments (1)

Tim Ahmadiyah.Id
25/11/2024, 16:43
Luar biasa dan mudah di pahami

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.