Peran Ahmadiyah dalam Kemerdekaan Indonesia dari Belanda

Ata-ul-Haye Nasir, Al Hakam

Ada sekitar 50 negara Muslim di dunia, dan Indonesia merupakan negara Muslim terbesar dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa, yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau.

Pada tahun 1923, empat pemuda dari Sumatera – Maulwi Abu Bakar Ayub Sahib, Maulwi Ahmad Nuruddin Sahib, Maulwi Zaini Dahlan Sahib dan Haji Mahmud Sahib – datang ke India dalam rangka belajar ilmu agama. Pada bulan Agustus 1923, takdir Allah membawa mereka ke Qadian setelah mereka berkunjung ke Kalkuta, Lucknow dan Lahore.

Para pemuda ini bertemu dengan, Hazrat Muslih Mau’ud ra, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (Khalifah Ahmadiyah kedua) dan meminta beliau supaya mengatur pendidikan dan pelajaran agama untuk mereka. Huzur pun menerima permintaan itu.

peran ahmadiyah
Para pemuda Ahmadiya dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia) bersama Hazrat Khalifatul Masih II ra, Qadian

Selama menuntut ilmu agama, kebenaran Hazrat Masih Mau’ud as juga meresap dalam hati mereka dan akhirnya mereka masuk Ahmadiyah. Setelah bai’at di Qadian, para pemuda itu menulis surat untuk berdakwah kepada kerabat di Indonesia, sehingga terbukalah jalan bagi dakwah Ahmadiyah di Indonesia.

Sekembalinya Hazrat Muslih Mau’ud ra dari tur Eropa pada tahun 1924, beberapa acara diadakan untuk menyambut beliau. Para pemuda Indonesia juga mengadakan tea party pada 29 November 1924, di mana mereka menyampaikan pidato bahasa Arab, dan Huzur menanggapinya dengan pidato bahasa Arab juga. (Al Fazl, 4 Desember 1924, hal. 2)

Dalam acara ini, para mahasiswa Indonesia berbincang dengan Hazrat Muslih Mau’ud (ra) tentang membuka dakwah Ahmadiyah di Indonesia.

Atas hal itu, Huzur mengirim Maulwi Rahmat Ali (ra) ke Indonesia untuk mendirikan misi Ahmadiyah di sana. Beliau berangkat ke Indonesia pada 17 Agustus 1925 dan pada bulan September beliau sampai di Tapak Tuan, sebuah kota kecil di Sumatera.

Beliau mendirikan Jemaat atau cabang pertama Ahmadiyah di Indonesia dalam beberapa bulan, 8 orang baiat dan masjid pertama Ahmadiyah dibangun pada tahun 1937.

Hazrat Maulvi Rahmat Ali Sahib ra, Ratopoti Dumang Sahib, Abu Bakr Bugendo Maharajo Sahib, dan Maulvi Abu Bakr Ayub Sahib bersama Hazrat Khalifatul Masih II ra

Sejak kedatangannya, Ahmadiyah mendapat tentangan keras di Indonesia, meski Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pengabdian kepada negara dengan penuh semangat. Ahmadiyah juga berperan besar dalam kemerdekaan negara Indonesia.

Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda sejak abad ke-17 hingga tahun 1942, saat Jepang datang menyerbu selama Perang Dunia II.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, ketika Jepang menyerah kepada pasukan sekutu, Terauchi Hisaichi, komandan pasukan ekspedisi Jepang di Asia Tenggara berjanji kepada Dr.Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta – pemimpin nasionalis Indonesia – untuk segera menyerahkan kedaulatan Indonesia.

Pada 17 Agustus 1945, Dr. Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Belanda tidak mengakui berdirinya pemerintahan ini. Mereka berupaya mendapatkan kembali kendali atas Indonesia sehingga menimbulkan konflik besar. Babak baru perjuangan kedaulatan Indonesia dimulai. (www.britannica.com/place/Indonesia/Toward-independence)

Pada saat pengumuman kemerdekaan ini, Maulana Muhammad Sadiq Sahib yang menjabat sebagai Mubaligh Ahmadiyah di Sumatera, menulis surat kepada Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) untuk meminta petunjuk beliau terkait kondisi di Indonesia.

Mln. Muhammad Sadiq mengatakan bahwa meskipun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya dan mendirikan pemerintahan, pasukan sekutu tidak mengakui pemerintahan itu. Beliau bertanya, berdasarkan ajaran Islam, boleh atau tidak patuh terhadap pemerintah seperti itu atau apakah itu termasuk pemerintah yang memberontak?

Terkait:   Sejarah Ahmadiyah di Jakarta

Huzur menjelaskan bahwa pemerintahan seperti itulah yang disebut pemerintah yang sah, yaitu yang mendapat dukungan dari mayoritas rakyatnya, dan jika mayoritas rakyatnya membentuk pemerintahan yang independen, maka menurut syariat, pemerintahan itu tidak disebut sebagai pemberontak. Huzur menambahkan bahwa dalam pandangannya, pemerintah Barat tidak akan mengizinkan pemerintahan yang berdaulat penuh, yang lebih menguntungkan adalah melakukan kompromi.

Pertanyaan kedua adalah apakah Ahmadiyah Indonesia dapat ikut ambil bagian dalam gerakan kemerdekaan?

Huzur menjawab bahwa jika pemerintah Indonesia memegang dukungan mayoritas, maka itu adalah pemerintah yang sah, sehingga sesuai syariat Ahmadiyah harus mengikuti segala rencana pemerintah.

Pertanyaan ketiga adalah jika Belanda menyerang dan Indonesia mencoba membalas, apa yang harus dilakukan para Ahmadi?

Huzur menjawab bahwa pilihan terbaik adalah mendapatkan hak sepenuhnya dan melakukan perdamaian. Jika pemerintah mendapat dukungan mayoritas, maka Ahmadiyah harus mendukungnya, tetapi karena Belanda akan mendapat dukungan dari kekuatan Barat, tidak bijak bagi orang Indonesia untuk tidak melakukan rekonsilisasi dengan mereka. (Tarikh-e-Ahmadiyyat, Jilid 9, hlm. 588-589)

Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) ingin rakyat Indonesia mendapatkan hak-hak mereka melalui rekonsiliasi, yang pada akhirnya mendapatkan kedaulatan mereka daripada bertindak terlalu agresif.

Pada 16 Agustus 1946, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) meminta perhatian dunia Islam untuk mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia.

Huzur mengatakan bahwa ada sekitar 70 juta Muslim di Indonesia, yang berasal dari satu bangsa, berbicara bahasa yang sama dan memiliki tekad yang sama untuk bersatu.

Beliau mengatakan:

“Umat Islam Indonesia telah menunjukkan contoh yang bagus dalam hal persatuan dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka. Contoh seperti itu bahkan tidak dijumpai di negara-negara Arab […] Pulau-pulau di Indonesia telah menunjukkan keunggulan yang tinggi di saat dunia Islam lainnya telah terampas. Mereka memiliki suara persatuan […] Selama beberapa bulan terakhir, Belanda berupaya keras memecah belah mereka, tetapi tidak berhasil. Sayangnya negara-negara Islam lainnya tidak merasakan indahnya persatuan […]

“Singapura adalah kunci negara-negara Asia, dan ia tidak dapat dipisahkan dari kepulauan [Indonesia] karena ia adalah bagian dari [kepulauan] itu sehubungan dengan ras dan bahasa. Dan jika Singapura jatuh dalam cengkeraman suatu bangsa, maka negara-negara lain akan terdorong akan berdamai dengannya.” (Al Fazl, 27 Agustus 1946, hal. 3)

Huzur melanjutkan:

“Jika pulau-pulau ini merdeka, mereka bisa menjadi kekuatan yang sangat besar untuk menyebarkan ajaran Islam dan keagungan Islam. Namun sayangnya, negara-negara Islam lainnya tidak banyak bersuara mendukung pulau-pulau ini, dan memiliki sedikit simpati kepada mereka. Ini adalah wilayah dimana umat Islam adalah mayoritas […] Umat Islam harus mengerahkan segala upaya untuk membantu wilayah ini, dan mendesak Belanda untuk memberi kemerdekaan mereka. […]

“Hal yang mendesak adalah umat Islam harus menyuarakan dukungan mereka untuk saudara-saudara mereka [Indonesia], di berbagai surat kabar, majalah, pertemuan-pertemuan dan memperjuangkan kemerdekaan mereka. Jika saat ini mereka tidak dibantu dan didukung, maka saya khawatir Belanda akan benar-benar membungkam suara [rakyat Indonesia].” (Ibid)

Huzur menegaskan bahwa masa depan politik umat Islam di Asia terkait erat dengan masa depan umat Islam di Jawa dan Sumatera, karena tidak ada negara lain yang umat Islamnya bersatu dalam jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan Indonesia. Apalagi pulau-pulau ini sangat berguna untuk menjalin hubungan baik dengan negara-negara lain melalui jalur laut.

Terkait:   Tatanan Dunia Baru (New World Order) oleh Ahmadiyah

Huzur melanjutkan:

“Para mubaligh kami yang ada di berbagai negara harus mengangkat suara mereka [untuk kemerdekaan Indonesia] dan menulis artikel di berbagai majalah dan surat kabar yang mendukung Indonesia. Dan surat kabar dan majalah kita pun harus mendengungkan ini sebanyak mungkin, sehingga mereka yang membacanya mulai mendukung kemerdekaan Indonesia […]

“Para mubaligh kami tersebar di lima negara Eropa. Para mubaligh kami ada di Amerika Utara dan Selatan. Jika para anggota Jemaat memahami tugas mereka, saya pikir mereka pasti akan berhasil dalam tujuan ini, dengan rahmat Allah Ta’ala. Artikel-artikel seperti itu harus dimuat secara berkala di berbagai surat kabar dan majalah kita, yang menyatakan bahwa rakyat Jawa dan Sumatera berhak mendapatkan kemerdekaan mereka.

“[Indonesia] adalah negara maju dalam hal pendidikan dan industri, dan negara yang lebih kecil seperti Belanda tidak berhak memerintah negara sebesar itu dengan populasi yang sangat besar. Manfaat utama kehadiran negara asing seharusnya adalah melindungi negara [yang dikuasai], tetapi pemerintah Belanda tidak mampu melindungi Indonesia dari serangan negara lain.” (Ibid, hal.4)

Huzur lebih lanjut menyatakan bahwa artikel semacam itu harus diterbitkan di berbagai surat kabar dan majalah dimana orang-orang Belanda harus diberi tahu:

“Jika mereka tidak memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, maka akan ada bahaya komunis yang menyebar di sana yang dapat membahayakan bagi pemerintah-pemerintah lain juga […] Tindakan Anda memberikan kemerdekaan kepada Jawa dan Sumatera tidak akan melemahkan Anda; sebaliknya hal itu akan menjadi sumber kekuatan […] Jika Anda memberi mereka kebebasan dengan penuh cinta dan kedamaian, maka hal itu akan menanamkan perasaan cinta di hati mereka kepada Anda. Tetapi jika Anda menindas mereka, hal itu akan menciptakan dendam yang mendalam di hati mereka terhadap Anda begitu mereka mendapatkan kemerdekaan dari Anda.” (Ibid, hal. 5)

Huzur melanjutkan:

“Kami tidak tertarik pada masalah politik, melainkan yang kami pedulikan adalah dakwah. Tetapi kami akan mengerahkan segala upaya setiap kali masa depan Islam terganggu […] dan sesuai tuntutan kami akan terus memperluas upaya kami […] Jika simpati khusus kami kepada [dunia] Arab adalah karena kami belajar Islam dari orang-orang Arab, maka simpati khusus kami kepada bangsa Indonesia adalah karena setelah India, di wilayah inilah yang paling depan dalam menerima Ahmadiyah. Oleh karena itu, tugas kami adalah mengerahkan segala upaya untuk kemerdekaan negara ini.” (Ibid)

Kemudian dalam Khotbah Jumat pada tanggal 30 Agustus 1946, Hazrat Muslih Mau’ud ra menyampaikan:

“Kondisi yang dihadapi umat Islam saat ini sangat suram. Identitas umat Islam di tempat-tempat seperti India, Palestina, Mesir, Indonesia berada dalam bahaya besar […] Pemerintah Belanda melakukan segala upaya untuk memperbudak umat Islam di Indonesia […] Jadi semua anggota [Ahmadiyah] harus berdoa khusus pada hari ini. Umat Islam lainnya juga harus diajak untuk berdoa, karena tidak ada obat lain bagi umat Islam. Sebelum umat Islam melepaskan hal-hal duniawi dan mengejar kemewahan dan bersatu dalam memberikan segala jenis pengorbanan […] kesuksesan akan mustahil dicapai.” (Al Fazl, 10 September 1946, hal. 2)

Dalam Khotbah Jumat tanggal 18 Oktober 1946, Huzur menyampaikan:

“Pada awalnya Jepang menduduki Sumatera dan Jawa, kemudian berdirilah pemerintah Indonesia yang berdaulat. Kemudian Inggris mencoba membawa Belanda ke sana [lagi], dan sekarang pemerintah republik berdiri di sana. Terdapat banyak cobaan terhadap Jemaat kita juga, dan selama masa pendudukan Jepang, Ahmadiyah diperlakukan dengan kejam […] Ketika mereka bermaksud melawan Jemaat Ahmadiyah, tiba-tiba Allah Ta’ala menghancurkan pemerintahan mereka, dan pemerintah republik berdiri di Indonesia […]

Terkait:   Sejarah Ahmadiyah di Aceh

“Selama masa pemerintahan republik, bahkan sebelum itu, ketika orang-orang hanya berjuang untuk melindungi hak-hak pribadi mereka, Jemaat kami telah mendukung gerakan republik dan mengerahkan segala upaya dan kemampuan untuk kemerdekaan negara. Untuk alasan ini, ketika pemerintah republik berdiri setelah penarikan pasukan Jepang, perlakuan secara umum terhadap Jemaat kami adalah baik.” (Al Fazl, 13 November 1946, hal.1)

Dalam Khotbah 10 September 1948, ketika memaparkan masalah yang dihadapi dunia Islam, Huzur mengatakan bahwa satu-satunya solusi untuk menuntaskan masalah tersebut adalah persatuan umat Islam. (Al Fazl, 28 September 1948, hal. 4)

Melalui Perjanjian Linggar Jati tanggal 15 November 1946 yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, Belanda setuju menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada waktu yang dianggap tepat. Pada bulan Juli 1947, dalam upaya menyelesaikan masalah dengan kekerasan, Belanda memulai melakukan tindakan militer (police action) terhadap republik, dan juga pada bulan Desember 1949. Akhirnya Belanda setuju pada bulan Agustus 1949 untuk menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada bulan Desember 1949. (www.britannica.com/place/Indonesia/Toward-independence)

Presiden pertama Indonesia, Dr. IR Sukarno (kiri) bertemu dengan mubaligh Ahmadiyah di Indonesia, Syed Shah Muhammad Sahib dan Hafiz Qudratullah Sahib

Dalam Khotbah Jumat tanggal 11 February 2011, saat menyebutkan pengkhidmatan Jemaat bagi kemerdekaan Indonesia, Hazrat Khalifatul Masih V (aba) menyampaikan:

“Hazrat Muslih Mau’ud ra bersuara lantang dari anak benua India mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia, dan mendesak umat Islam lainnya untuk mendukung penuh gerakan kemerdekaan Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh Hazrat Khalifatul Masih II ra dalam Khotbah Jumatnya tanggal 16 Agustus 1946. Dalam mengikuti petunjuk ini, Ahmadiyah di seluruh dunia, termasuk pusat pers Qadian, dipanggil untuk menyuarakan dukungan mereka dalam mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Akhirnya Indonesia merdeka. […]

“Para mubaligh Ahmadiyah dan para Ahmadi [Indonesia] ambil bagian dalam gerakan kemerdekaan di bawah petunjuk Hazrat Khalifatul Masih II ra, dan para mubaligh Ahmadiyah dan anggota Jemaat [Indonesia] bekerja sama dengan pemerintah Republik.

“Syed Shah Muhammad Sahib pergi ke Yogyakarta dan bertemu dengan Dr. Soekarno dan meminta supaya beliau dapat ikut mengabdi kepada negara dengan bergabung dalam gerakan kemerdekaan. Beliau juga seorang mubaligh. Selain beberapa pekerjaan lain, Presiden Soekarno memberi beliau tugas untuk menyiarkan berita dalam bahasa Urdu di Radio. Selain itu, Maulwi Abdul Wahid Sahib dan Malik Aziz Ahmad Khan Sahib juga bekerja di radio selama sekitar dua atau tiga bulan.

“Syed Shah Muhammad Sahib dengan semangat bergabung dalam gerakan ini. Antusiasme beliau begitu tinggi sehingga seorang mantan menteri dalam negeri [Indonesia] berkata, ‘Kami menganggap Syed Shah Muhammad Sahib sebagai rakyat kami sendiri.’ […] Sebagai pengakuan atas peran Syed Shah Muhammad Sahib selama gerakan kemerdekaan Indonesia dan jasa yang diberikan olehnya, Indonesia memberi beliau piagam penghargaan pada tanggal 3 Agustus 1957 […]

“Selama gerakan kemerdekaan pada tahun 1946, beberapa anggota Ahmadiyah mengorbankan hidup mereka dan gugur. Salah satunya adalah Raden Muhyiddin Sahib, Amir Jemaat Indonesia, yang juga merupakan sekretaris Komite untuk Indonesia. Beliau tengah mempersiapkan perayaan hari kemerdekaan Indonesia pertama, saat beliau diculik oleh pasukan Belanda, dan kemudian syahid.” (Khutbat-e-Masroor, Vol. 9, hlm. 67-68)

Jemaat Ahmadiyah berperan besar dalam kemerdekaan Indonesia, dan Ahmadiyah Indonesia terus mengabdi pada negara mereka, meskipun menghadapi tentangan keras dari sesama warganya.

Sumber: Alhakam.org – Jamaat-e-Ahmadiyya’s role in Indonesia’s independence from the Dutch
Penerjemah: KA Jusmansyah

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.