Menyingkap Tabir Keraguan Terhadap Ahmadiyah:
6. Tentang Jihad
Pengertian-pengertian salah yang lain mengenai Ahmadiyah diantaranya adapula, bahwa Ahmadiyah mengingkari Jihad. Hal ini sama sekali tidak benar. Hanya saja pendirian Ahmadiyah ialah, bahwa peperangan itu ada dua macam coraknya; yaitu yang pertama apa yang dinamakan Perang Jihad, dan yang kedua hanya perang yang lumrah.
Apa yang dinamakan Perang Jihad adalah peperangan yang hanya sengketanya terletak pada soal mempertahankan agama, dan musuh yang dihadapi ialah orang-orang yang bermaksud hendak membinasakan agama dengan jalan kekerasan dan hendak merubah kepercayaan dengan kekuatan senjata. Jika kejadian semacam itu timbul di salah satu bagian di dunia ini, maka wajiblah bagi tiap-tiap Muslim untuk berjihad. Akan tetapi di dalam Jihad semacam itu ada pula syaratnya itu pengumuman untuk melancarkan Perang Jihad hendaknya dinyatakan oleh seorang Imam, agar supaya dapat diketahui, siapa-siapa diantara kaum Muslimin yang harus maju ke medan Jihad itu dan siapa-siapa yang harus menunggu gilirannya. Jika tidak demikian, maka pada waktu tibanya kesempatan untuk berjihad semacam itu, orang-orang Mukmin, yamg tidak turut mengambil bagian akan berdosa. Akan tetapi jika ada Imam, maka yang berdosa itu ialah mereka (orang-orang Mukmin), yang dipanggil untuk maju ke medan laga tetapi tidak memenuhi panggilan.
Jika ada orang-orang Ahmadi yang tinggal di salah satu negeri menolak untuk melakukan Jihad, maka penolakanya ialah karena anggapan mereka, bahwa orang-orang Inggris tidak memaksakan dengan kekuatan senjata untuk menukar agama. Jika pikiran orang-orang Ahmadi ini keliru dan memang sesungguhnya orang-orang Inggris itu berusaha untuk menukar agama dengan jalan kekerasan, maka Jihad pada waktu itu pasti dinyatakan wajib. Tetapi soalnya sekarang, apakah sesudah dinyatakan wajib jihad itu tiap-tiap Muslim mengangkat senjata melawan Inggris? Jika tidak, maka orang-orang Ahmadi akan menjawab di hadapan Allah Taala, bahwa menurut hemat kami, belum tiba waktunya Jihad di saat itu. Jika kami berada dalam kedudukan yang salah, maka hal itu tidak lain disebabkan oleh karena kekeliruan ijtihad (sikap pikiran). Akan tetapi apakah yang akan dikatakan para kiyai? Apakah mereka akan berkata, bahwa: “Ya Tuhan, memang pada waktu itu sudah tiba saatnya Jihad itu, dan kami berpendapat bahwa sudah wajiblah untuk berjihad. Akan tetapi, wahai Tuhan kami, kami tidak melakukan Jihad, oleh karena hati kami takut dan begitu pula kami tidak mengirimkan orang orang yang hatinya tidak ada ketakutan ke medan jurit, sebabnya ialah jika kami berbuat demikian, kami cemas kalau-kalau orang Inggris menangkap kami.”
Saya serahkan kepada orang-orang yang berwatak adil untuk menilai kedua bentuk jawaban di atas. Manakah diantaranya yang lebih beralasan dan layak diterima oleh Allah SWT?
Apa yang sudah saya terangkan diatas itu semuanya adalah untuk menghilangkan keragu-raguan orang yang sama sekali tidak mempelajari asal-usul Ahmadiyah dan yang sekedar mendengar tentang tugas dan pelajaran Ahmadiyah dari kalangan lawan atau tanpa menyelidikinya, lalu hendak membuat-buat sendiri gagasan tentang kepercayaan dan ajaran dari Ahmadiyah.
Sekarang saya hendak mengarahkan pembicaraan saya kepada orang-orang yang telah mempelajari Ahmadiyah sampai batas tertentu dan yang mengetahui bahwa orang-orang Ahmadi pun percaya kepada ketauhidan Allah Taala, begitu juga kepada kerasulan dari Muhammad saw, mempercayai Al-Qur’an dan Hadits, melakukan sembahyang, puasa dan haji, membayar zakat, beriman kepada Hari Kebangkitan dan balasan di Hari Kemudian, tetapi mereka merasa heran bahwa apabila orang-orang Ahmadi benar-benar orang Muslim seperti orang-orang Muslim lainnya, maka apakah gunanya untuk membentuk firkah (sekte) baru? Pada pemandangan mereka, kepercayaan dari orang-orang Ahmadi tidak dapat disalahkan; akan tetapi mereka berpendapat, bahwa untuk mendirikan satu jamaah baru itu, adalah satu hal yang tidak dapat dibenarkan, sebab apabila tidak terdapat perbedaan, mengapakah harus memencilkan diri dan apabila tidak terdapat pertentangan, maka apakah maksudnya dengan mendirikan masjid-masjid baru?