Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Pertempuran Parit
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 13 September 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
Dalam khotbah sebelumnya mengenai Perang Ahzab, telah disebutkan bagaimana pelanggaran perjanjian dan kebencian orang-orang Yahudi Khaibar menyebabkan terbentuknya sebuah pasukan kafir untuk menyerang dan menghancurkan umat Islam. Detail lebih lanjut mengenainya dapat ditemukan dalam sejarah adalah sebagai berikut:
Rasulullah saw. mengirim Sulait dan Sufyan bin Auf Al-Aslami untuk mencari informasi tentang pasukan musuh. Ketika mereka tiba di daerah Baida – sebuah dataran antara Mekah dan Madinah, yang terletak setelah Dzul-Hulaifah (sekitar enam atau tujuh mil dari Madinah) – pasukan berkuda Abu Sufyan melihat mereka, maka mereka berdua syahid dalam pertempuran. Jenazah mereka dibawa kepada Rasulullah saw. dan dimakamkan dalam satu makam.
Disebutkan bahwa ketika keputusan untuk menggali parit telah dibuat, Rasulullah saw. menunggang kudanya bersama beberapa Muhajirin dan Anshar untuk mencari lokasi yang cocok untuk perkemahan pasukan. Tempat yang paling sesuai adalah dengan menjadikan Gunung Sala’ sebagai perlindungan di belakang, dan menggali parit dari Mazad ke Zubab dan Ratij. Mazad adalah sebuah tempat dekat Gunung Sala’ di Madinah, Zubab adalah nama sebuah gunung dekat Madinah, dan Ratij adalah salah satu benteng Yahudi di Madinah; ada juga yang mengatakan bahwa ini adalah bukit kecil di sebelah timur Zubab.
Pada hari itu, penggalian parit dimulai. Umat Islam meminjam banyak alat penggalian seperti cangkul, kapak besar, dan sekop dari Bani Quraizah. Rasulullah saw. membagi pekerjaan penggalian di setiap sisi parit kepada kelompok-kelompok tertentu. Beliau membagi para sahabat menjadi kelompok-kelompok yang terdiri dari sepuluh orang, dan setiap kelompok bertanggung jawab atas sekitar empat puluh hasta panjang parit.
Rasulullah saw. sendiri juga ikut menggali dan memikul tanah di punggungnya hingga punggung dan perut beliau berdebu. Orang-orang Islam yang telah selesai dengan bagian mereka lalu membantu yang lain hingga parit selesai digali. (Mereka tidak lantas duduk setelah selesai mengerjakan bagiannya, melainkan membantu kawannya) Tidak ada seorang Muslim pun yang tertinggal dalam pekerjaan ini. Bahkan, ketika Hz. Abu Bakar r.a. dan Hz. Umar r.a. tidak menemukan keranjang, mereka segera mengangkut tanah dengan pakaian mereka. Mereka menggunakan kainnya untuk mengangkut pasir.
Detail lebih lanjut tentang penggalian parit ini juga dijelaskan oleh Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a.. Beliau r.a. menuturkan:
Menyembunyikan pergerakan pasukan sebesar itu sulit bagi kaum kafir, dan sistem intelijen Rasulullah saw. juga sangat kuat. Bahkan sebelum pasukan Quraisy meninggalkan Mekah, Rasulullah saw. telah menerima berita tentang mereka. Atas hal ini, beliau mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, Salman Al-Farisi r.a., seorang sahabat mukhlis dari Persia, juga hadir. Karena Salman Al-Farisi r.a. mengenal taktik perang non-Arab, beliau mengusulkan untuk menggali parit yang panjang dan dalam di bagian Madinah yang tidak terlindungi untuk melindungi diri. Ide parit ini sama sekali baru bagi orang Arab, tetapi setelah mengetahui bahwa taktik ini umum dan berhasil digunakan di negeri non-Arab, Rasulullah saw. menyetujui usulan tersebut. Dalam khotbah sebelumnya juga disebutkan bahwa Allah Taala telah memberitahu beliau saw. bahwa cara ini tepat.
Selanjutnya diceritakan bahwa karena kota Madinah sudah cukup terlindungi dari tiga sisi – berkat dinding rumah yang berderet, pepohonan yang lebat dan deretan bebatuan – hanya sisi utara yang rentan terhadap serangan mendadak dari pasukan kafir. Oleh karena itu, Rasulullah saw. memerintahkan untuk menggali parit di sisi yang tidak terlindungi tersebut. Beliau saw. sendiri mengawasi penandaan lokasi parit dan membaginya menjadi bagian-bagian sepanjang lima belas kaki, dengan setiap bagian ditugaskan kepada sepuluh sahabat. Dalam pembagian kelompok ini, terjadi perselisihan yang menyenangkan tentang di kelompok mana Salman Al-Farisi r.a. harus ditempatkan. Setiap kelompok ingin Salman bergabung dengan mereka. Apakah beliau harus dianggap sebagai Muhajirin, atau karena beliau telah berada di Madinah sebelum kedatangan Islam, beliau harus dihitung sebagai Anshar? Karena Salman adalah pencetus ide taktik perang ini dan juga merupakan orang yang kuat meskipun sudah tua, setiap kelompok ingin beliau bergabung dengan mereka. Akhirnya, perselisihan ini dibawa ke hadapan Rasulullah saw.. Beliau mendengarkan klaim kedua pihak, dan sambil tersenyum berkata, “Salman bukan dari kedua kelompok ini. Dia bukan Muhajirin, bukan pula Anshar. Sebaliknya, Salman termasuk Ahlul Bait (keluargaku).” Sejak saat itu, Salman mendapat kehormatan seolah-olah dianggap sebagai anggota keluarga Rasulullah saw..
Setelah usulan penggalian parit disetujui, sekelompok sahabat mengenakan pakaian pekerja dan turun ke area pekerjaan. Pekerjaan penggalian bukanlah tugas yang mudah, melainkan sangat sulit. Terlebih lagi, musim dingin membuat para sahabat mengalami kesulitan yang berat pada hari-hari itu. Karena pekerjaan lain telah terhenti sepenuhnya, mereka yang bergantung pada penghasilan harian untuk makan mereka – dan banyak sahabat termasuk dalam kategori ini – harus menghadapi kelaparan dan kekurangan. Karena para sahabat tidak memiliki pembantu atau budak, mereka semua harus bekerja dengan tangan mereka sendiri.
Kelompok-kelompok yang telah dibentuk yang terdiri dari sepuluh orang tersebut, mereka membagi tugas kelompok mereka dengan cara sebagai berikut: yaitu beberapa orang melakukan penggalian, sementara yang lain mengisi keranjang dengan tanah dan batu hasil galian, lalu memikul keranjang-keranjang tersebut di bahu mereka untuk dibuang ke luar. Nabi Muhammad saw. juga menghabiskan sebagian besar waktunya di dekat parit, dan sering kali beliau saw. ikut menggali dan mengangkut tanah bersama para sahabat.
Selama penggalian parit, syair-syair juga dibacakan untuk menjaga semangat. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d dan Anas bahwa ketika Rasulullah saw. mendatangi mereka, mereka sedang menggali parit dan memindahkan tanah di bahu mereka. Melihat kesulitan dan kelaparan kami, beliau saw. berdoa:
اللَّهُمَّ لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشُ الآخِرَةِ فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَهُ
“Ya Allah, tidak ada kehidupan sejati kecuali kehidupan akhirat. Maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.”
Para sahabat menjawab:
نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدًا عَلَى الْجِهَادِ مَا بَقِينَا أَبَدًا
“Kami adalah orang-orang yang telah berbaiat kepada Muhammad saw. untuk berjihad selama kami hidup.”
Bara’ bin ‘Azib meriwayatkan bahwa pada hari penggalian parit, saya melihat Rasulullah saw. mengangkat tanah hingga perut beliau yang putih tertutup debu. Saya mendengar beliau saw. membacakan syair Ibnu Rawahah:
وَاللَّهِ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا
وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا
فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا
وَثَبِّتْ الْأَقْدَامَ إِنْ لَاقَيْنَا
وَ الْمُشْرِكُونَ قَدْ بَغَوْا عَلَيْنَا
إِذَا أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا
“Wahai Pelindung kami, jika bukan karena karunia- Mu, kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak akan mampu untuk bersedekah dan beribadah kepada Engkau. Ya Tuhan! Ketika Engkau telah menyampaikan kami hingga pada tingkatan ini, maka turunkanlah ketenangan ke dalam kalbu kami dalam menghadapi musibah ini, teguhkanlah langkah kaki kami jika kami menghadapi (musuh).”
“Engkau mengetahui bahwa orang-orang ini menyerang kami dalam corak kekejaman dan penindasan, dan niat mereka adalah untuk menjauhkan kami dari agama kami. Namun, wahai Tuhan kami, berkat karunia-Mu, keadaan kami adalah demikian: Ketika mereka mengambil suatu tindakan untuk menjauhkan kami dari agama, kami menolak upaya mereka dari jauh dan menolak untuk terjebak dalam fitnah mereka.” Beliau meneriakkan أَبَيْنَا أَبَيْنَا (Kami menolak, kami menolak) dengan suara lantang. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa beliau saw. mengeraskan suaranya pada bagian akhir syair tersebut.
Penggalian parit adalah pekerjaan yang melelahkan, dan Rasulullah saw. juga ikut serta seperti sahabat lainnya. Terkadang beliau saw. menggunakan cangkul, terkadang mengumpulkan tanah dengan sekop, dan terkadang mengangkat tanah dalam keranjang. Suatu hari, ketika beliau saw. sangat kelelahan, beliau saw. duduk dan bersandar pada sisi kiri batu. Ketika beliau saw.. tertidur, Hz. Abu Bakar r.a. dan Hz. Umar r.a. berdiri di dekat kepala beliau saw., mencegah orang-orang lewat agar tidak membangunkan beliau saw.. Ketika beliau saw. terbangun beberapa saat kemudian, beliau saw. segera bangkit dan bersabda: “Mengapa kalian tidak membangunkanku saat tertidur?”. Kemudian beliau saw. mengambil kapak besar dan mulai memukul tanah, melanjutkan pekerjaan.
Dengan keikutsertaan dan keberkatan doa-doa Rasulullah saw.., para sahabat seolah-olah melupakan kesedihan dan kesulitan pekerjaan mereka. Di satu sisi, dibacakan syair-syair suci, dan di sisi lain, gurauan-gurauan ringan juga terjadi. Suatu kali, Hz. Zaid bin Tsabit r.a., yang saat itu masih muda, tertidur di dalam parit saat menggali. Salah satu temannya, sebagai gurauan untuknya, mengambil alat galian miliknya. Ketika Zaid terbangun dan tidak menemukan peralatannya, dia menjadi panik, sementara teman-temannya yang lain merasa terhibur dengan kegelisahannya. Ketika Nabi suci saw.. mengetahui hal ini, beliau saw. berkata kepada Hz. Zaid r.a., “Anak muda, kamu tidur begitu nyenyak sampai tidak menyadari peralatanmu.” Menurut satu riwayat, Nabi saw.. sendiri mendatangi Hz. Zaid r.a. dan dengan tersenyum bersabda, “Wahai Abu Ruqad (bapak tidur).” Namun, beliau saw. juga memberikan koreksi bijaksana terhadap lelucon semacam ini dan berkata, “Ada yang tahu di mana peralatan Zaid?” Seseorang menjawab, “Wahai Rasulullah saw.! Ada di saya dan sayalah yang mengambilnya.” Beliau saw.. bersabda, “Seorang Muslim jangan membuat saudaranya cemas dengan mengambil senjata atau peralatannya.”
Berkat kerja keras para sahabat siang dan malam serta keberkatan doa-doa Rasulullah saw., parit tersebut akhirnya selesai. Kaum Muslimin menggali parit dan memperkuatnya. Mengenai berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan parit tersebut, ada beberapa riwayat yang menyebutkan 6 hari, 10 hari, 15 hari, 20 hari dan satu bulan. Namun, 15 hari dan satu bulan adalah yang paling banyak disepakati. Panjang parit ini sekitar 6.000 yard atau sekitar 3,5 mil (± 5,6 km), lebarnya 9 hasta (± 4 meter), dan kedalamannya tujuh hasta (± 3,1 meter). Satu hasta diperkirakan sekitar satu setengah kaki, sehingga lebarnya sekitar 13-14 kaki dan kedalamannya sekitar 10-11 sebelas kaki.
Parit yang panjang dan lebar ini terus ada hingga berabad-abad, sampai akhirnya secara perlahan hilang karena aliran air yang terus-menerus dan erosi dari Wadi Bathan. Bathan adalah salah satu dari tiga wadi terkenal di Madinah, dua lainnya adalah Wadi Aqiq dan Wadi Qanah. Sebagian parit telah diisi oleh orang-orang untuk membuat jalan, dan sisanya terisi oleh endapan dari aliran wadi. Endapan datang dari hujan yang mengalir dan membawa tanah lalu berkumpul dan mengendap.
Pada abad keenam Hijriah, sejarawan Madinah yang terkenal, Hafiz Ibnu Najjar, menulis bahwa parit tersebut masih ada pada masanya, meskipun telah berubah menjadi seperti selokan. Banyak bagian dari dindingnya yang telah runtuh dan banyak pohon kurma yang tumbuh di tempat itu. Seorang penulis dari abad ke-9 Hijriah menulis bahwa pada masanya, tidak ada yang tersisa dari parit tersebut kecuali tempatnya yang bisa dikenali dari sungai kecil yang merupakan bagian dari Wadi Bathan dan mengalir ke arahnya. Jadi ini terus ada selama sekitar 600 tahun. Ia mengatakannya di abad ke-9.
Tertulis bahwa meskipun hari-hari di Madinah penuh dengan ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan, dan orang-orang munafik membuat-buat alasan untuk kembali ke rumah mereka, namun semangat para sahabat secara umum sangatlah mengesankan. Anak-anak dan wanita juga turut mendukung, menyemangati dan membantu mereka. Istri-istri suci Rasulullah saw.. juga terlihat berdiri dengan teguh dan gagah berani di samping beliau saw. dalam saat-saat berbahaya ini. Karena parit digali di luar Madinah dan Rasulullah saw. menghabiskan sebagian besar waktu beliau di sana, sementara para wanita dan anak-anak Madinah dipindahkan ke benteng-benteng yang kuat di dalam kota, terkadang Hz. Aisyah r.a. datang dan tinggal beberapa hari dengan beliau, kemudian Hz. Ummu Salamah r.a. tinggal beberapa hari, lalu Hz. Zainab tinggal beberapa hari. Istri-istri lain beliau berada di benteng kuat Bani Haritsah, atau menurut beberapa riwayat, di benteng Nasr milik Bani Zuraiq, atau di Fari’, yang merupakan benteng milik Hz. Hassan bin Tsabit r.a. di Madinah.
Pada saat penggalian parit, beberapa mukjizat juga terjadi. Salah satunya adalah peristiwa batu yang tidak bisa dipecahkan saat penggalian. Diriwayatkan bahwa selama penggalian parit, mereka menemui tempat yang keras dan berbatu, dan para sahabat tidak mampu menggalinya meski telah berusaha keras. Akhirnya, mereka menghadap Rasulullah saw.. untuk meminta bantuan. Beliau saw. mengambil belencong (alat untuk menggali tanah dan membelah batu) dan memukul tempat tersebut, maka tanah berbatu itu pun menjadi seperti pasir yang mudah digali. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw.. meminta agar diberikan air, lalu beliau saw. memberi ludah ke dalamnya. Kemudian beliau saw. berdoa kepada Allah Taala dan setelah itu memercikkan air tersebut ke tanah berbatu. Beberapa sahabat yang hadir saat itu berkata, “Demi Zat yang telah mengutus Rasulullah saw.. dengan kebenaran, begitu air itu jatuh, tanah tersebut menjadi lunak seperti pasir.”
Kemudian ada peristiwa lain tentang diberikannya kabar gembira tentang raja-raja. Kejadian kedua ini diceritakan sebagai berikut. Kejadian pertama tadi adalah tentang dituangkan air, sedangkan yang ini adalah tentang diberikannya kabar-kabar suka kerajaan-kerajaan di masa depan yang akan diberikan kepada beliau saw.. Mengenai hal ini, tertulis bahwa di satu kesempatan lain, disebutkan bahwa Hz. Salman Al-Farisi r.a. tidak dapat memecahkan sebuah batu, maka Rasulullah saw.. mengambil belencong dari Hz. Salman r.a.. Hz. Salman Alfarisi r.a. tidak bisa memecahkannya, maka Rasulullah saw.. mengambil belencong darinya dan memberikan satu pukulan, lalu muncul suatu kilatan seperti petir. Beliau saw.. mengucapkan “Allāhu Akbar“. Para sahabat yang berdiri di dekat beliau juga mengucapkan “Allāhu Akbar“, dan sebagian dari batu itu pun pecah. Kemudian beliau saw.. melakukan pukulan yang kedua, dan kilatan muncul lagi. Beliau saw.. mengucapkan “Allāhu Akbar“, dan sebagian lagi dari batu itu pecah. Lalu Beliau saw.. melakukan pukulan yang ketiga, dan sisa batu itu pun pecah, dimana darinya pun kilatan muncul lagi. Rasulullah saw.. mengucapkan “Allāhu Akbar“. Para sahabat juga mengucapkan “Allāhu Akbar” setiap kali. Hz. Salman Al-Farisi r.a., yang berdiri di dekat tempat itu, bertanya, “Wahai Rasulullah saw.., ketika Anda memukul dengan belencong, cahaya keluar dari batu itu dan beliau saw. mengucapkan Allāhu Akbar.” Rasulullah saw.. menjawab, “Wahai Salman, apakah engkau juga melihat cahaya itu?” Salman r.a. menjawab, “Ya, Wahai Rasulullah saw.., saya juga melihatnya.” Kemudian Rasulullah saw.. bersabda, “Saat cahaya pertama muncul, istana-istana Hirah dan Kisra diperlihatkan kepadaku, dan Jibril memberitahuku, “Umatmu akan menguasainya”. Saat cahaya kedua, istana-istana merah di tanah Romawi diperlihatkan kepadaku, dan Jibril memberitahu, “Umatmu akan menguasainya”. Dan saat cahaya ketiga muncul, istana-istana San’a diperlihatkan kepadaku, dan Jibril memberitahu, “Umatmu juga akan menguasainya”. Maka dari itu bergembiralah kalian.” Semua berkata, “Alhamdulillah, ini adalah janji yang benar. Allah Taala telah berjanji kepada kita akan pertolongan setelah kesulitan.”
Rasulullah saw.. saat menjelaskan tentang tanda-tanda istana Persia kepada Hz. Salman r.a., maka hz. Salman ra. berkata, “Wahai Rasulullah! Anda telah berkata benar, ini adalah tanda-tandanya.” Maksudnya, saat Rasulullah saw.. menyampaikan tanda-tanda ini, Hz. Salman r.a. juga membenarkannya. Beliau berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah.” Kemudian Rasulullah saw.. bersabda, “Wahai Salman, Allah Taala akan memberikan kemenangan-kemenangan ini setelahku. Syam akan ditaklukkan dan Heraklius akan melarikan diri hingga ke ujung kerajaannya, dan kalian akan menguasai Syam. Tidak ada yang akan menentang atau melawan kalian. Dan wilayah timur ini akan ditaklukkan, Kisra akan terbunuh, dan setelahnya tidak akan ada Kisra lagi.”
Tertulis dalam sejarah bahwa di tengah kesulitan, ketidakberdayaan, ketakutan dan kengerian ini, kabar suka agung namun tampak mustahil ini justru meningkatkan keimanan orang-orang mukmin dan menambah kebahagiaan mereka, tetapi orang-orang munafik lantas mengejeknya. Orang-orang munafik berkata, “Muhammad saw. memberitahu kalian bahwa ia melihat istana-istana Hirah dan kota-kota Kisra dari Yasrib, dan kalian akan menaklukkannya, padahal kalian sedang menggali parit untuk pertahanan diri dan bahkan tidak punya kekuatan untuk keluar dari sini dan pergi jauh untuk buang hajat.” Pada kesempatan ini, Allah Taala mengungkapkan keadaan orang-orang munafik dalam ayat berikut, Dia berfirman:
وَاِذْ يَقُوْلُ الْمُنٰفِقُوْنَ وَالَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ مَّا وَعَدَنَا اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اِلَّا غُرُوْرًا
Artinya: Dan ketika orang-orang munafik dan mereka yang di dalam hatinya ada penyakit berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kita selain tipuan belaka.” (Al-Ahzab:13)
Namun, orang-orang kemudian menyaksikan bahwa dalam beberapa tahun saja, di masa kekhalifahan Hz. Abu Bakar r.a. dan Hz. Umar r.a., semua kota dan istana ini ditaklukkan, dan orang-orang mukmin yang lemah dan miskin inilah yang menjadi pewaris istana-istana tersebut. Hz. Salman Al-Farisi r.a. menyatakan: “Aku telah menyaksikan semua kemenangan-kemenangan ini.”
Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan pemecahan batu dan mukjizat yang terjadi ini juga telah dijelaskan oleh Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. dengan cara beliau sendiri. Beliau r.a. menulis:
Dalam keadaan kesulitan dan kesusahan, ketika sedang menggali parit, para sahabat menemukan sebuah batu yang tidak bisa dipecahkan dengan cara apa pun, dan para sahabat sudah sangat lemah karena menderita lapar selama tiga hari berturut-turut. Akhirnya, mereka menghadap Rasulullah saw.. dan menyampaikan tentang batu yang tidak bisa dipecahkan. Pada saat itu, keadaan Rasulullah saw. juga sedemikian rupa sehingga beliau saw. mengikatkan batu di perut beliau karena lapar, namun beliau saw. segera pergi ke sana dan mengambil sebuah belencong. Sambil menyebut nama Allah, beliau saw. memukul batu itu. Ketika besi menghantam batu, sebuah percikan api keluar, dan beliau mengucapkan “Allāhu Akbar” dengan keras, seraya bersabda, “Aku telah diberikan kunci-kunci kerajaan Syam. Demi Allah, saat ini aku dapat melihat istana-istana merah Syam di depan mataku.” Dengan pukulan itu, batu itu menjadi sedikit retak.
Untuk kedua kalinya, beliau saw. kembali mengayunkan cangkul sambil menyebut nama Allah, dan kembali muncul percikan api. Beliau saw.. kembali mengucapkan “Allāhu Akbar” dan bersabda, “Kali ini aku telah diberikan kunci-kunci Persia, dan aku dapat melihat istana-istana putih Madain.” Kali ini batu itu retak sedikit lebih banyak.
Untuk ketiga kalinya, beliau saw.. memukul dengan cangkul, yang menghasilkan percikan api lagi. Beliau saw. kembali mengucapkan “Allahu Akbar” dan berkata, “Sekarang aku telah diberikan kunci-kunci Yaman, dan demi Allah, saat ini aku dapat melihat gerbang-gerbang San’a.” Kali ini batu itu benar-benar pecah dan jatuh dari tempatnya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw.. mengucapkan takbir dengan suara keras pada setiap kesempatan dan kemudian, ketika para sahabat bertanya, beliau saw.. menjelaskan kasyaf-kasyaf ini. Kaum Muslimin setelah mengatasi hambatan sementara ini, mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka.
Penglihatan-penglihatan Rasulullah saw.. ini berkaitan dengan alam kasyaf (penglihatan rohani). Dengan kata lain, pada masa kesulitan ini, Allah Taala memperlihatkan kepada beliau saw. pemandangan kemenangan dan kemakmuran masa depan kaum Muslimin untuk menumbuhkan semangat harapan dan kegembiraan di antara para sahabat. Namun, secara lahiriah, keadaan saat itu begitu sulit dan menyengsarakan, sehingga orang-orang munafik di Madinah, setelah mendengar janji-janji ini, mengejek kaum Muslimin dengan mengatakan, “Mereka tidak punya kekuatan untuk melangkah keluar rumah, namun bermimpi tentang kerajaan-kerajaan Kaisar dan Kisra.” Namun, dalam pengetahuan Allah, semua karunia-karunia ini telah ditakdirkan untuk kaum Muslimin. Janji-janji ini kemudian terpenuhi pada waktunya masing-masing, sebagian pada hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah saw.. dan sebagian besar lainnya pada masa para khalifah beliau dan menjadi sarana peningkatan keimanan dan rasa syukur bagi kaum Muslimin.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga telah menulis tentang hal ini. Beliau r.a. menyatakan:
Ketika parit sedang digali, muncul dari tanah sebuah batu yang tidak bisa dipecahkan oleh orang-orang dengan cara apa pun. Para sahabat melaporkan hal ini kepada Rasulullah saw.., maka beliau saw.. sendiri pergi ke sana. Beliau saw.. menggenggam belencong di tangannya dan memukulkannya dengan kuat ke batu itu. Ketika belencong menghantam batu, cahaya keluar darinya dan beliau saw.. mengucapkan, “Allāhu Akbar.” Kemudian beliau saw.. memukul lagi untuk kedua kalinya, dan cahaya kembali keluar, lalu beliau saw..
mengucapkan, “Allāhu Akbar.” Kemudian beliau saw.. memukul untuk ketiga kalinya, dan cahaya kembali keluar dari batu itu, dan bersamaan dengan itu batu tersebut pun pecah. Pada saat itu, beliau saw.. kembali mengucapkan, “Allāhu Akbar.”
Para sahabat bertanya kepada beliau saw., “Ya Rasulullah, mengapa Anda mengucapkan ‘Allāhu Akbar‘ tiga kali?” Beliau saw.. menjawab, “Setiap kali belencong menghantam batu dan cahaya keluar, Allah Taala memperlihatkan kepadaku gambaran kemajuan Islam di masa depan. Pada cahaya pertama, istana-istana Syam dari kerajaan Kaisar diperlihatkan kepadaku, dan kunci-kuncinya diberikan kepadaku. Pada cahaya kedua, istana-istana putih Madain diperlihatkan kepadaku, dan kunci-kunci kerajaan Persia diberikan kepadaku. Pada cahaya ketiga, gerbang-gerbang San’a diperlihatkan kepadaku, dan kunci-kunci kerajaan Yaman diberikan kepadaku. Maka, percayalah pada janji-janji Allah; musuh tidak akan dapat mencelakai kalian sama sekali.”
Di antara mukjizat yang terjadi, ada juga mukjizat makanan, yang peristiwanya diceritakan sebagai berikut. Mungkin ada mukjizat makanan lainnya, tetapi salah satu peristiwa diceritakan sebagai berikut:
Hz. Jabir bin Abdullah r.a. menyiapkan makanan dan di dalam makanan itu ada keberkatan. Detailnya adalah sebagai berikut: Pada suatu hari, Hz. Jabir r.a. melihat Rasulullah saw.. mengikat batu di perutnya karena lapar, dan para sahabat sudah tiga hari tidak memakan makanan apa pun. Sudah tiga hari mereka tidak mendapatkan apa pun untuk dimakan. Jabir r.a. berkata, “Saya meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk pulang ke rumah, dan beliau saw. mengizinkan saya. Sesampainya di rumah, saya berkata kepada istri saya bahwa saya melihat tanda-tanda kelaparan yang parah pada Rasulullah saw.., yang membuat saya tidak tahan melihatnya. Apakah ada sesuatu di rumah?” Istri saya menjawab, “Di rumah ada satu sha’ (sekitar 3 kg) gandum dan seekor anak kambing.” Istri saya mengeluarkan wadah yang berisi satu sha’ gandum, dan saya menyembelih anak kambing itu. Istri saya menggiling gandum dan saya memasukkan daging ke dalam panci. Istri saya berkata, “Karena makanannya sedikit, mohon sampaikan kepada Rasulullah saw.. dengan diam-diam. Jangan sampai saya harus menghadapi rasa malu di hadapan Rasulullah saw.. dan para sahabatnya jika orang-orang terlalu banyak dan makanan tidak cukup.”
Saya pergi menghadap Rasulullah saw.. dan dengan diam-diam berkata, “Ya Rasulullah! Kami memiliki sedikit makanan. Mohon Anda dan satu atau dua orang sahabat datang ke rumah kami.” Rasulullah saw.. memasukkan jari-jarinya ke jari-jari saya dan bertanya, “Berapa banyak?” Saya memberitahu beliau saw. jumlahnya, dan beliau saw. bersabda, “Itu banyak dan baik. Pulanglah ke rumahmu dan katakan kepada istrimu untuk tidak menurunkan panci dari tungku dan jangan mulai memanggang roti sampai aku datang.”
Kemudian Rasulullah saw.. berseru, “Wahai penggali parit, Jabir telah menyiapkan makanan untuk kalian, marilah!” Rasulullah saw.. berjalan di depan orang-orang; saya merasa sangat malu, hanya Allah yang Maha Tahu akan hal ini. Dalam hati saya berkata, “Ini terlalu banyak orang. Satu sha’ gandum dan seekor anak kambing untuk sekian banyak orang, demi Allah, ini memalukan.”
Saya pulang ke rumah dan menceritakan semuanya kepada istri saya bahwa Nabi saw.. datang bersama kaum Muhajirin dan Anshar. Istri saya berkata, “Semoga Allah memberkatimu, bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk menyampaikannya dengan diam-diam?” Saya menjawab bahwa saya telah melakukannya persis seperti yang dia katakan. Istri saya bertanya, “Apakah kamu yang mengundang semua orang ini atau Rasulullah saw..?” Saya menjawab bahwa Rasulullah saw.. yang mengundang mereka. Mendengar itu, istri saya yang penuh keimanan dan keikhlasan berkata, “Kalau begitu tidak perlu khawatir. Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang.”
Hz. Jabir r.a. melanjutkan, “Kemudian Rasulullah saw.. masuk ke rumah kami dan berkata, ‘Masuklah sepuluh orang-sepuluh orang.’ Istri saya mengeluarkan tepung, dan Rasulullah saw.. meludah ke dalamnya dan berdoa untuk keberkatan. Kemudian beliau saw.. meludah ke dalam panci kami dan berdoa untuk keberkahan. Beliau memerintahkan kami untuk memanggang roti, menuangkan kuah dan menutup panci. Kami melakukannya. Kami mengambil kuah dan Rasulullah saw.. menutup panci, lalu membukanya kembali. Kami melihat bahwa isinya tidak berkurang. Kami mengambil roti dari tungku dan menutupnya kembali, dan isinya juga tidak berkurang.”
“Rasulullah saw. memotong-motong roti, meletakkan daging di atasnya, dan mendekatkannya kepada para sahabat, sambil berkata, ‘Makanlah.’ Ketika satu kelompok sudah kenyang, mereka pergi, dan beliau saw.. memanggil kelompok berikutnya. Begitu seterusnya hingga seribu orang telah makan dan semua pergi, sementara panci kami masih mendidih seperti semula dan tepung kami masih seperti sebelumnya. Rasulullah saw.. bersabda, ‘Makanlah ini dan bagikan kepada orang lain, karena banyak orang yang sedang kelaparan.'”
Kejadian ini juga ditulis oleh Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. dengan cara yang sama seperti yang telah diceritakan di atas bahwa seorang sahabat yang tulus, Jabir bin Abdullah r.a., meminta izin kepada Nabi Muhammad saw.. untuk pulang ke rumahnya setelah melihat tanda-tanda kelemahan dan keletihan di wajah beliau akibat kelaparan. Sesampainya di rumah, beliau berkata kepada istrinya bahwa Nabi Muhammad saw.. tampaknya sangat menderita karena kelaparan yang parah. Beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dimakan?” Istrinya menjawab, “Ya, ada sedikit tepung gandum dan seekor kambing.” Jabir r.a. berkata, “Saya lalu menyembelih kambing itu dan mengadon tepungnya. Kemudian saya meminta istri saya untuk menyiapkan makanan. Saya akan pergi mengundang Rasulullah saw.. untuk datang.” Istri beliau berkata, “Jangan mempermalukan saya. Makanannya sedikit, jangan ajak terlalu banyak orang bersama Rasulullah saw..”
Hz. Jabir r.a. melanjutkan, “Saya pergi dan dengan suara pelan berkata kepada Rasulullah saw.., ‘Wahai Rasulullah! Saya memiliki sedikit daging dan tepung gandum yang telah saya minta istri saya untuk memasaknya. Mohon datanglah bersama beberapa sahabat Anda untuk makan.’ Beliau saw.. bertanya, ‘Berapa banyak makanannya?’ Saya menyampaikan jumlahnya. Beliau saw.. bersabda, ‘Itu banyak.’ Kemudian beliau saw.. melihat sekeliling dan dengan suara lantang bersabda, ‘Wahai kaum Anshar dan Muhajirin, mari! Jabir telah mengundang kita untuk makan.'” Sekitar seribu sahabat yang kelaparan mengikuti beliau saw… Nabi saw.. bersabda, “Pergilah cepat dan katakan pada istrimu untuk tidak mengangkat panci dari tungku atau mulai memanggang roti sampai aku tiba.”
Jabir bergegas memberitahu istrinya, yang menjadi sangat cemas karena makanan hanya cukup untuk beberapa orang saja, sementara begitu banyak orang yang datang. Namun, ketika Rasulullah saw.. tiba, dengan tenang beliau saw.. mendoakan panci dan wadah tepung, lalu bersabda, “Sekarang mulailah memanggang roti.” Kemudian beliau saw.. mulai membagikan makanan perlahan-lahan.
Hz. Jabir r.a. meriwayatkan, “Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya! Semua orang makan sampai kenyang dari makanan itu dan pergi, sementara panci kami masih mendidih dan tepung masih dipanggang seperti semula.”
Insya Allah, saya akan menceritakan hal-hal lain terkait Perang Ahzab di lain waktu.
Saya selalu mengingatkan tentang pentingnya doa. Mohon perhatikan hal ini dengan saksama. Semoga Allah Taala menguatkan iman kita, melindungi setiap Ahmadi dari segala kejahatan di mana pun mereka berada, baik di Bangladesh, Pakistan maupun tempat-tempat lainnya; semoga Allah Taala menyelamatkan dunia dari api yang semakin cepat melahapnya. Semoga Allah Taala menurunkan kasih sayang-Nya. Allah Taala adalah pemilik segala kekuatan; jika orang-orang ini memberikan perhatian pada perbaikan diri, Allah Taala masih bisa mengeluarkan mereka dari musibah-musibah. Semoga Allah Taala memberi mereka akal dan pemahaman.1
1 Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. & Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim.