Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Perang Khandaq
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 20 September 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
Sebelumnya masih membahas tentang sejarah kehidupan Rasulullah saw. di saat Perang Ahzab. Dalam khotbah sebelumnya, saya telah menerangkan tentang mukjizat keberkatan dalam makanan. Demikian pula, ada peristiwa mukjizat keberkatan dalam kurma. Diriwayatkan bahwa ada sejumlah kecil kurma yang dimakan oleh semua orang yang menggali parit. Rinciannya dijelaskan sebagai berikut:
Ada sebuah riwayat dari masa Perang Khandaq. Putri Hz. Basyir bin Sa’d r.a. menuturkan:
“Ibuku, Amrah binti Rawahah, memberiku sedikit kurma dalam pakaianku dan berkata, ‘Nak, berikan ini kepada ayahmu dan pamanmu, dan katakanlah: Ini adalah sarapan untuk ayah dan paman.’ Saya membawa kurma itu dan saat mencari ayah dan paman, saya melewati Rasulullah saw.. Beliau saw.. bertanya, ‘Wahai gadis kecil, apa yang kamu bawa?’ Saya menjawab, ‘Wahai Rasulullah saw., ini adalah beberapa kurma yang ibu kirimkan untuk ayah saya Basyir bin Sa’d dan paman saya Abdullah bin Rawahah.’ Rasulullah saw.. bersabda, ‘Berikan itu padaku.’ Saya meletakkan kurma itu di kedua tangan beliau. Beliau saw. meletakkan kurma itu di atas sehelai kain, lalu menutupinya dengan kain lain. Beliau saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil orang-orang untuk makan. Maka dari itu, semua orang yang menggali parit berkumpul dan mulai makan kurma itu. Kurma itu terus bertambah hingga setelah semua orang makan, kurma masih berjatuhan dari tepi kain.”
Ada juga kisah-kisah lain tentang keberkatan dalam makanan. Ubaidullah bin Abi Burdah meriwayatkan: Ummu Amir Al-Asy’aliyyah mengirimkan sebuah wadah berisi hais (makanan yang terbuat dari kurma, mentega, dan keju) kepada Rasulullah saw.. Saat itu beliau saw. berada di tenda bersama Hz. Ummu Salamah r.a.. Hz. Ummu Salamah r.a. memakannya sesuai kebutuhan beliau, lalu Rasulullah saw.. membawa wadah itu keluar. Orang yang disuruh Rasulullah saw. untuk mengumumkan memanggil semua orang untuk makan. Para penggali parit makan sampai kenyang, namun makanan itu tetap seperti semula, seolah-olah tidak berkurang sama sekali.
Hazrat Masih Mau’ud as, ketika membahas tentang tingkatan salik, yakni orang yang telah mencapai kedekatan dengan Tuhan yang sedemikian rupa sehingga seperti api yang menyembunyikan warna besi di dalamnya hingga yang terlihat hanyalah api, yang mana hal ini disebut dengan tingkatan liqa’ (perjumpaan dengan Allah), beliau as. bersabda:
“Pada tingkatan liqa’ ini, terkadang seseorang dapat melakukan hal-hal yang tampak melampaui kemampuan manusia dan memiliki corak kekuatan Ilahi. Seperti halnya Junjungan dan Imam kita, Pemimpin Para Rasul, Hz. Khatamul Anbiya Muhammad saw., dalam Perang Badar, melemparkan segenggam tanah berkerikil ke arah orang-orang kafir. Tanah itu dilempar bukan melalui doa, melainkan melalui kekuatan ruhani beliau sendiri. Tanah itu lantas menunjukkan kekuatan Ilahi dan memberi dampak yang luar biasa pada pasukan musuh. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang matanya tidak terkena dampaknya. Mereka semua menjadi seperti orang buta, kebingungan dan panik, lalu mereka pun melarikan diri seperti halnya orang yang mabuk.”
Masih banyak lagi mukjizat semacam itu yang diperlihatkan oleh Rasulullah saw.. semata-mata melalui kemampuan diri beliau, tanpa diiringi suatu doa. Beberapa kali, beliau saw. memperbanyak air yang hanya ada dalam satu mangkuk dengan memasukkan jari beliau ke dalam air tersebut sedemikian rupa sehingga seluruh pasukan, unta dan kuda dapat minum dari air itu, dan bahkan air tersebut tetap dalam jumlah yang sama seperti sebelumnya. Beberapa kali, dengan meletakkan tangan beliau di atas dua atau empat roti, beliau saw. mampu memberi makan ribuan orang yang lapar dan haus hingga kenyang. Terkadang, dengan memberkati sedikit susu dengan bibir, beliau saw. dapat memenuhi dahaga sejumlah orang. Terkadang, dengan memasukkan air liur ke dalam sumur yang airnya asin dan pahit, beliau saw. mengubahnya menjadi sangat manis. Terkadang, dengan meletakkan tangan beliau pada orang-orang yang terluka parah, beliau saw. menyembuhkan mereka. Terkadang, dengan keberkatan tangan beliau, beliau saw. memperbaiki bola mata yang keluar dari rongganya karena cedera dalam pertempuran. Demikian pula, beliau saw. melakukan banyak pekerjaan lain dengan kekuatan diri beliau, yang disertai dengan kekuatan Ilahi yang tersembunyi.
Dijelaskan juga berkenaan dengan keadaan orang-orang munafik dan orang-orang beriman selama penggalian parit. Detailnya adalah sebagai berikut:
Ibnu Ishaq menulis bahwa banyak orang munafik bermalas-malasan saat ikut serta dalam pekerjaan Rasulullah saw.. dan kaum Muslimin. Mereka melakukan sedikit pekerjaan dan pulang ke rumah tanpa memberitahu atau meminta izin dari Rasulullah saw.. Sementara itu, ketika seorang Muslim memiliki keperluan, ia akan meminta izin terlebih dulu kepada Nabi saw.. Inilah keadaan orang-orang mukmin. Orang-orang munafik pergi tanpa meminta izin, sedangkan orang-orang mukmin meminta izin, dan Rasulullah saw.. mengizinkan mereka. Begitu urusan mereka selesai, mereka segera kembali.
Berkenaan dengan persiapan perang Rasulullah saw. juga dijelaskan lebih lanjut. Menurut riwayat, parit selesai digali tiga hari sebelum kedatangan pasukan Abu Sufyan. Sesuai rencana, anak-anak dan para remaja yang bekerja di parit juga dikirim ke benteng-benteng tempat para wanita dipindahkan untuk keamanan. Namun, mereka yang berusia 15 tahun diberi izin untuk memilih tinggal atau kembali ke benteng. Di antara pemuda yang diizinkan ikut serta dalam perang adalah Hz.Abdullah bin Umar r.a., Hz. Zaid bin Tsabit r.a., Hz. Abu Sa’id Al-Khudri r.a., dan Hz. Bara’ bin ‘Azib r.a.
Menurut Ibnu Hisyam, Rasulullah saw.. menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai wakil beliau di Madinah dan beliau sawa. mendirikan kemah di depan gunung Sala’. Sala’ adalah gunung di utara Madinah yang saat ini berjarak sekitar 500 meter dari Masjid Nabawi. Beliau saw. memposisikan gunung itu di belakang dan parit di depan beliau saw., dan di sanalah pasukan beliau berada. Sebuah tenda kulit didirikan untuk Rasulullah saw.. Bendera Muhajirin diberikan kepada Hz. Zaid bin Haritsah r.a. dan bendera Anshar kepada Hz. Sa’d bin Ubadah r.a..
Mengenai jumlah kaum Muslimin, para sejarawan menyebutkan riwayat yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan tidak lebih dari 900, ada yang mengatakan 700, 2000, atau 3000. Para sejarawan mengalami kesulitan dalam menentukan jumlah ini. Mereka biasanya memilih satu riwayat dan menganggap riwayat lainnya salah. Namun, Hazrat Muslih Mau’ud ra dengan sangat bijak tidak menganggap salah satu pun keliru, melainkan menyelaraskan semua riwayat ini. Beliau r.a. bersabda:
“Ada perbedaan besar di antara para sejarawan mengenai jumlah pasukan Muslim pada kesempatan ini. Beberapa menulis 3000, beberapa 1200-1300, dan beberapa 700. Perbedaan ini tampaknya sulit untuk ditafsirkan dan para sejarawan tidak dapat menyelesaikannya. Namun, saya telah menemukan kebenarannya, yaitu bahwa ketiga jenis riwayat ini adalah benar.”
“Telah dijelaskan bahwa setelah orang-orang munafik kembali dari Perang Uhud, pasukan Muslim hanya terdiri dari 700 orang. Perang Ahzab terjadi hanya dua tahun setelahnya, dan selama periode ini tidak ada suku besar yang memeluk Islam dan menetap di Madinah. Jadi, tidaklah masuk akal bahwa 700 orang tiba-tiba menjadi 3000 orang, terutama ketika tidak ada orang yang datang dari luar. Di sisi lain, juga tidak masuk akal bahwa dua tahun setelah Uhud, meskipun Islam berkembang, jumlah Muslim yang mampu berperang tetap sama seperti saat Uhud. Memang ada beberapa peningkatan jumlah. Jadi, setelah meneliti kedua ini, riwayat yang tampaknya benar adalah bahwa jumlah Muslim yang mampu berperang saat Perang Ahzab sekitar 1200 orang.”
“Sekarang, pertanyaannya adalah mengapa beberapa orang menulis 3000 dan yang lain menulis 700? Jawabannya adalah bahwa kedua riwayat ini disampaikan dalam keadaan dan sudut pandang yang berbeda. Perang Ahzab memiliki tiga bagian waktu. Bagian pertama adalah ketika musuh belum tiba di depan Madinah dan parit sedang digali. Dalam pekerjaan ini, bahkan anak-anak bisa membantu membawa tanah, dan beberapa wanita juga bisa membantu. Jadi, selama pekerjaan menggali parit berlangsung, jumlah pasukan Muslim adalah 3000, tetapi ini termasuk anak-anak, dan melihat semangat para sahabiyah (sahabat wanita), kita bisa mengatakan bahwa beberapa wanita juga termasuk dalam jumlah ini, yang mungkin tidak menggali parit tetapi ikut serta dalam pekerjaan lain.”
Beliau r.a. bersabda, “Ini bukan hanya pendapat saya, tetapi juga ini dibenarkan oleh sejarah. Tertera bahwa ketika tiba waktunya untuk menggali parit, semua anak laki-laki juga dikumpulkan, dan semua laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak, bekerja menggali parit atau membantu dalam pekerjaan itu. Kemudian, ketika musuh datang dan pertempuran dimulai, Rasulullah saw.. memerintahkan semua anak laki-laki di bawah usia lima belas tahun untuk pergi, dan memberikan izin kepada mereka yang berusia lima belas tahun atau lebih untuk tinggal atau pergi. Riwayat ini menunjukkan bahwa jumlah Muslim lebih banyak saat penggalian parit dan berkurang saat perang karena anak-anak di bawah umur diperintahkan untuk pulang. Jadi, riwayat yang menyebutkan 3000 mengacu pada jumlah saat penggalian parit, termasuk anak-anak kecil dan beberapa wanita. Sedangkan jumlah 1200 mengacu pada saat perang dimulai dan hanya tersisa pria dewasa.”
“Sekarang, pertanyaannya adalah apakah riwayat ketiga yang menyebutkan 700 prajurit juga benar? Kita telah menerima jumlah dari 3000 menjadi 1200. Sekarang kita perlu melihat apakah riwayat yang menyebutkan 700 juga benar. Jawabannya adalah bahwa riwayat ini disampaikan oleh sejarawan Ibnu Ishaq, yang merupakan sejarawan yang sangat terpercaya, dan ulama besar seperti Ibnu Hazm telah membenarkan pendapat ini dengan kuat. Jadi, kita tidak bisa meragukan hal ini. Ini juga mungkin benar.”
“Kebenaran pendapat ini lebih lanjut datang dari penelitian sejarah yang lebih mendalam. Ketika perang terjadi, Bani Quraiza lantas bergabung dengan pasukan kafir dan berniat untuk menyerang Madinah secara tiba-tiba, dan niat mereka terungkap, lalu Rasulullah saw.. menganggap perlu untuk melindungi sisi Madinah di mana Bani Quraizhah berada, yang sebelumnya dibiarkan tanpa perlindungan karena mereka sebelumnya dianggap sebagai sekutu muslim. Sejarah mencatat bahwa ketika pengkhianatan Bani Quraizhah terungkap, karena para wanita ditempatkan di daerah dekat benteng Bani Quraizhah, dan mereka menjadi tidak terlindungi, Rasulullah saw.. menganggap perlu untuk melindungi mereka. Beliau saw. mempersiapkan dua pasukan Muslim dan menempatkan mereka di kedua bagian tempat tinggal para wanita. Beliau saw. menugaskan Hz. Maslamah bin Aslam r.a. dengan 200 sahabat di satu tempat dan Hz. Zaid bin Haritsah r.a. dengan 300 sahabat di tempat lain, dan memerintahkan mereka untuk mengumandangkan takbir dengan suara keras dengan jeda yang teratur untuk menunjukkan bahwa para wanita aman.”
“Riwayat ini memecahkan masalah kita tentang mengapa Ibnu Ishaq menyebutkan 700 prajurit dalam Perang Khandaq. Karena ketika 500 prajurit dari 1200 prajurit dikirim untuk melindungi para wanita, pasukan yang tersisa hanya berjumlah 700. Dengan demikian, perbedaan yang signifikan dalam sejarah mengenai jumlah prajurit dalam Perang Khandaq telah terpecahkan.”
Selanjutnya, dijelaskan tentang kedatangan kaum musyrikin ke Madinah dan keadaan-keadaan setelahnya. Pasukan Quraisy Mekah dan suku-suku lain di bawah pimpinan Abu Sufyan tiba di Madinah dan mendirikan perkemahan di sekitarnya. Hz. Mirza Bashir Ahmad r.a. menjelaskan peristiwa ini sebagai berikut:
Setelah kerja keras selama kurang lebih 20 hari atau menurut riwayat lain 6 hari siang dan malam, parit yang panjang ini selesai. Pekerjaan yang luar biasa ini sangat melelahkan para sahabat. Tepat ketika pekerjaan ini selesai, pasukan Yahudi dan musyrikin Arab tampak muncul dari kejauhan menuju Madinah, seraya membanggakan jumlah dan kekuatan mereka. Pertama-tama, Abu Sufyan menuju ke bukit Uhud, tetapi menemukan tempat itu kosong. Ia kemudian bergerak ke arah kota yang cocok untuk melakukan serangan, tetapi kini di hadapannya telah digali parit. Ketika pasukan kafir tiba di tempat ini, mereka terkejut melihat parit menghalangi jalan mereka dan terpaksa berkemah di lapangan terbuka di seberang parit.
Sementara itu, setelah mendapat kabar kedatangan pasukan kafir, Rasulullah saw. juga keluar dari kota bersama 3000 Muslim dan mendirikan perkemahan di dekat parit, menjadikan bukit Sala’ berada di samping mereka, sehingga mereka berada di antara kota dan parit. Karena parit tidak terlalu lebar dan ada beberapa bagian yang mungkin bisa dilompati oleh penunggang kuda yang kuat dan cerdik, serta ada bagian-bagian Madinah yang tidak dilindungi parit dan hanya dihalangi oleh rumah-rumah, kebun-kebun dan bukit bebatuan yang tidak teratur, Rasulullah saw.. membagi para sahabat menjadi beberapa kelompok dan menempatkan mereka di berbagai bagian parit dan di beberapa tempat di Madinah yang harus dijaga. Beliau saw. menekankan agar penjagaan ini tidak pernah lengah, baik siang maupun malam. Di sisi lain, ketika kaum kafir melihat bahwa pertempuran terbuka atau serangan umum ke kota tidak mungkin dilakukan karena adanya parit, mereka lantas mengelilingi Madinah dengan bentuk pengepungan dan mencari kesempatan untuk memanfaatkan bagian-bagian lemah dari parit.
Ketika musuh gagal menyeberangi parit, mereka mulai menggunakan siasat lain. Sejarah mencatat bahwa meskipun kaum musyrikin telah mengepung Madinah dari segala arah, mereka tidak bisa menyeberangi parit atau menyerang kaum Muslimin secara terbuka. Melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, Abu Sufyan dan pemimpin Bani Nadhir, Huyayy bin Akhtab, membuat siasat lain yaitu membujuk suku Yahudi Bani Quraizhah di dalam Madinah agar melanggar perjanjian mereka dengan umat Islam dan bergabung dengan pihak musuh untuk menyerang dari dalam. Oleh karena itu, untuk menjalankan rencana buruk ini, Huyayy bin Akhtab mendatangi pemimpin Bani Quraizhah, Ka’ab bin Asad al-Qurazhi.
Ketika Ka’ab mendengar berita kedatangannya, ia menutup pintu benteng. Huyay meminta izin kepadanya untuk masuk ke dalam, namun Ka’ab menolak membuka pintu. Huyay berseru dan berkata: “Wahai Ka’ab! Jangan menjadi orang yang sial, bukalah pintu.” Kaab berkata: “Wahai Huyay, kamu orang yang jahat. Aku telah melakukan perjanjian dengan Muhammad saw.. aku tidak akan melanggarnya, dan aku mendapati Muhammad saw.. sebagai orang yang senantiasa jujur dan memenuhi janji-janjinya.” Jadi, Kaab sebelumnya mengatakan ini, tetapi akhirnya ia berubah.
Kemudian Huyay berkata: “Bukalah pintu, aku ingin menyampaikan beberapa hal kepadamu.” Kaab berkata: “Demi Allah, aku tidak akan melakukannya.” Akan tetapi setelah diberi tekanan, akhirnya Ka’ab membuka pintu. Huyay berkata: “Wahai Ka’ab! Aku membawa kehormatan sepanjang masa kepadamu dan lautan yang luas kepadamu. Aku membawa serta para pemimpin dan pemuka Quraisy.”
Huyay menyebutkan rincian nama-nama suku yang ikut serta dalam mengepung kaum Muslimin di segenap penjuru di Madinah. Ia juga mengatakan bahwa mereka semua telah saling menyatakan janji bahwa kini mereka tidak akan pulang sebelum membinasakan Muhammad saw. dan para sahabat beliau, dan mereka yakin bahwa mereka pasti sudah meraih keberhasilan jika saja tidak ada parit yang menghalangi jalan mereka.
Akan tetapi setelah mendengar seluruh ucapan ini, pemimpin Banu Quraizhah, Ka’ab, tetap tidak condong untuk melanggar perjanjian dan berkata: “Demi Allah, engkau membawa kehinaan sepanjang masa kepadaku, dan engkau membawa awan yang tidak ada air di dalamnya. Ia hanya memperlihatkan petir dan halilintar, dan sesungguhnya tidak ada sesuatu pun di dalamnya. Wahai Huyay, semoga kamu sial. Tinggalkanlah keadaanku ini, karena aku senantiasa mendapati Muhammad saw. sebagai seorang yang berkata benar dan menepati janji.”
Ia berulang kali berkata bahwa Rasulullah saw.. adalah sosok yang benar dan setia pada janji. (Ka’ab berkata), “Beliau tidak pernah memaksa kami, dan tidak pernah sedikitpun ikut campur dalam urusan agama kami. Beliau adalah tetangga kami yang terbaik. Oleh karena itu, pulanglah engkau. Jangan sampai kejadian yang menimpa orang orang sebelum kamu itu juga menimpaku.”
Akan tetapi Huyay terus membujuk Kaab dan berusaha menggelincirkannya, dan menceritakan kedukaan dan kesusahan yang dialami oleh sukunya sendiri dan juga Bani Qainuqa, yaitu semua kesusahan ini adalah disebabkan oleh keberadaan umat Islam. Pada akhirnya Huyay berhasil melunakkan hati Ka’ab, dan pada akhirnya Ka’ab menerima ucapan-ucapannya, karena sifat asli Ka’ab yaitu cenderung melanggar perjanjian. Ka’ab berkata kepada Huyay: “Baiklah, jika aku menerima ucapanmu, maka jika Quraisy dan Ghatfan kembali dan tidak sanggup untuk membunuh Muhammad saw.., maka apa yang akan terjadi pada kita?” Atas hal ini Huyay menjawab: “Janganlah kamu khawatir. Jika seperti ini, maka aku akan masuk ke dalam bentengmu bersamamu, dan aku akan bersamamu dalam musibah apa saja yang menimpamu.”
Setelah semua perbincangan ini, pada akhirnya Ka’ab bin Asad melanggar perjanjian yang sebelumnya telah ia lakukan bersama Rasulullah saw. Pada kesempatan itu, seorang rekan Ka’ab yakni Amru bin Sauda, menasihati Kaab dan mengingatkannya akan akibat buruk perbuatannya, dan mengingatkannya akan perjanjian teguh yang telah ia buat bersama Rasulullah saw.. dan berkata: “Jika engkau tidak membantu Muhammad saw.., maka tinggalkan saja para musuh beliau, dan jangan sekali kali membantu musuh-musuh yang telah melanggar perjanjian.” Akan tetapi, Kaab tetap menolaknya.
Melihat keadaan seperti ini, maka beberapa orang suku Bani Quraizhah yang beragama Yahudi dan yang bertabiat baik, menemui Rasulullah saw. dan menerima Islam. Hz. Umar bin Khattab r.a. kemudian menerima kabar tentang Banu Quraiza yang melanggar perjanjian. Hz. Umar r.a. menyampaikan hal ini kepada Rasulullah saw.. Beliau saw. mengirim Saad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah. Mereka berdua adalah para pemimpin suku. Bersama mereka, beliau saw.. pun mengirim Abdullah bin Rawahah r.a. dan Khawat bin Jubair r.a.. Menurut satu riwayat, beliau saw.. pun mengirim Usaid bin Hudair r.a. dan bersabda: “Pergilah dan lihatlah bagaimana keadaan suku itu, dan sampaikanlah kepada kami apakah berita itu benar atau keliru. Jika berita ini benar, maka jangan sampaikan hal ini di hadapan semua orang, tetapi sampaikanlah ini secara isyarat kepadaku, dan aku akan mengetahui bahwa berita ini adalah benar. Dan jika mereka tetap berdiri pada perjanjian mereka, dan berita ini adalah keliru, maka umumkanlah hal ini di hadapan semua orang.”
Maka dari itu, kelompok ini pun pergi menuju Bani Quraizhah. Di sana, ketika mereka bertanya kepada Kaab dan para rekannya, saat itu keadaan mereka sudah berubah. Ketika dikatakan kepada Ka’ab bahwa dia telah berjanji dengan Rasulullah saw.., maka ia dengan sangat menghina berkata: “Siapa Rasul itu? Tidak ada satu perjanjian apapun dengan kami. Aku sudah menghancurkan perjanjian ini seperti halnya tali sepatu yang telah dirusak.”
Menurut berbagai riwayat, pada saat itu, ia pun mengucapkan kata-kata yang keras. Alhasil, kelompok utusan ini pulang dan secara isyarah menyampaikan kepada Nabi saw.. Dalam suasana yang menegangkan ini, Rasulullah saw., setelah beberapa saat diam, lalu bersabda: (Hal ini tidaklah berpengaruh pada beliau saw.. sementara bagi orang awam, ini akan mematahkan semangat) beliau saw. bersabda:
ابشروا يا معشر المومنين بنصر اللہ تعالو عنی
“Bergembiralah wahai Jemaat orang-orang Mukmin atas pertolongan dan bantuan Allah Ta’ala.” kemudian Beliau saw. bersabda: “Aku meyakini bahwa akan datang suatu masa tatkala aku akan melakukan tawaf di Ka’bah dengan kunci-kuncinya ada di tanganku, dan bahwa Kisra (raja Persia) dan Kaisar (raja Romawi) pasti akan binasa, dan harta mereka akan dipergunakan di jalan Allah.”
Hazrat Mirza Basyir Ahmad r.a. menulis tentang pengkhianatan Bani Quraizhah:
“Abu Sufyan merencanakan siasat dengan memerintahkan pemimpin Yahudi Bani Nadhir, Huyay bin Akhtab, untuk pergi ke benteng Bani Quraizhah di malam hari dan berusaha membujuk pemimpinnya, Ka’ab bin Asad, untuk bergabung dengan mereka. Alhasil, Huyay tiba di tempat Kaab. Awalnya, Ka’ab menolak, mengatakan bahwa mereka memiliki perjanjian dengan Muhammad saw.., dan Muhammad saw.. adalah sosok yang selalu setia menjaga perjanjiannya, sehingga ia tidak dapat melanggarnya. Namun, Huyay berhasil meyakinkan Ka’ab dengan janji-janji manisnya dan memberi keyakinan akan kehancuran Islam yang segera terjadi, bahwa mereka tidak akan pulang dari Madinah sebelum berhasil menghancurkan Islam. Huyay membujuknya dengan sedemikian rupa sehingga akhirnya Ka’ab pun setuju. Dengan demikian, kekuatan Bani Quraizha pun bergabung dengan kaum kafir yang sebelumnya sudah sangat banyak, dan pelanggaran perjanjian ini menambah lagi kekuatan mereka.”
“Ketika Rasulullah saw. mengetahui tentang pengkhianatan berbahaya ini, beliau saw. pertama-tama mengirim Zubair bin Al-Awwam r.a. beberapa kali secara rahasia untuk mencari tahu keadaannya. Kemudian, beliau saw. secara resmi mengirim utusan yang terdiri dari pemimpin suku Aus dan Khazraj yaitu Sa’d bin Mu’adz r.a., Sa’ad bin Ubadah r.a., serta beberapa sahabat berpengaruh lainnya ke Bani Quraizhah. Beliau saw. memerintahkan mereka untuk tidak mengungkapkan informasi yang mengkhawatirkan secara terbuka jika mereka mendapatkannya, tetapi menggunakan bahasa isyarat agar tidak menimbulkan kekhawatiran di antara orang-orang.”
“Ketika utusan ini tiba di pemukiman Bani Quraizhah dan menemui pemimpin mereka, Ka’ab bin Asad, dia menyambut mereka dengan sangat sombong. Ketika hal tentang perjanjian disebutkan, Ka’ab dan kaumnya dengan marah mengatakan bahwa tidak ada perjanjian antara mereka dan Muhammad saw.. Mendengar ini, kelompok para sahabat ini pun kembali, lalu Saad bin Mu’adz r.a. dan Sa’ad bin Ubadah r.a. menemui Rasulullah saw.. dan melaporkan keadaan ini kepada beliau saw..”
Beberapa orang, termasuk pemuda kita, terkadang bertanya mengapa Bani Quraizha diperlakukan dengan “kejam” pada saat itu. Mereka dihukum karena melanggar perjanjian. Tidak ada suatu kezaliman dari pihak Rasulullah saw.. Ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini, dan Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga telah menjelaskannya secara rinci, yang akan saya bahas di lain waktu, insya Allah.
Hari ini juga dimulai Ijtima Khuddamul Ahmadiyah. Para khuddam harus berusaha untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari ijtima ini. Meskipun prakiraan cuaca menunjukkan kemungkinan hujan deras, semoga Allah Taala menurunkan karunia-Nya dan acara mereka berjalan dengan lancar. Selama hari-hari ini, para Khuddam juga harus berusaha meningkatkan derajat kerohanian dan keilmuan mereka. Mereka harus memberikan perhatian khusus pada doa-doa dan shalawat yang telah saya anjurkan sebelumnya dan harus selalu mengulanginya. Semoga Allah Taala melindungi semuanya dari segala jenis serangan setan.
Hari ini saya akan memimpin shalat jenazah ghaib. Saya akan menyebutkan beberapa di antaranya. Pertama, yang terhormat Tn. Habibur Rahman Zairvi dari Rabwah, yang baru-baru ini meninggal dunia pada usia 73 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Dengan karunia Allah Taala, beliau adalah seorang Mushi dan Waqaf Zindegi. Ayahnya bernama Sufi Khuda Bakhsh Zairvi. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarganya melalui ayahnya yang baiat di tangan Hazrat Muslih Mau’ud r.a. pada tahun 1928.
Habibur Rahman Zairvi menyelesaikan pendidikan awalnya kemudian meraih gelar M.Sc. dalam Ilmu Perpustakaan dari Universitas Punjab. Pada tahun 1981, beliau mewakafkan hidupnya dan wakafnya diterima. Beliau ditugaskan sebagai Asisten Pustakawan pada tahun 1981. Beliau juga berkesempatan berkhidmat sebagai penanggung jawab Perpustakaan Khilafat selama 3-4 tahun. Kemudian beliau ditugaskan di Nazarat Isya’at, lalu di Tahir Foundation, dan terakhir beliau berkhidmat sebagai Wakil Nazir Diwan Ahmadiyah. Beliau juga berkesempatan berkhidmat dalam berbagai jabatan di Khuddamul Ahmadiyah dan Ansharullah. Beliau telah menyusun sebuah buku berjudul “Tadzkar-e-Mahdi” yang berisi kumpulan dari berbagai buku tentang riwayat hidup Hazrat Masih Mau’ud as yang diceritakan oleh Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. Beliau juga sedang mengerjakan beberapa naskah lainnya dalam berbagai tahap.
Allah Taala menganugerahinya seorang putra dan dua putri. Beliau memiliki hubungan yang kuat dengan Khilafat, berwatak pendiam, dan fokus pada pekerjaannya. Beliau selalu menunaikan hak-hak waqafnya dan bekerja dengan penuh semangat. Beliau memiliki kepribadian yang ramah dan ceria. Semoga Allah Taala mengampuni dan merahmati beliau, serta memberi taufik kepada anak-anak beliau untuk tetap teguh dalam kebaikan.
Jenazah yang kedua, Dr. Syed Riazul Hasan, yang juga baru-baru ini meninggal dunia. Dengan karunia Allah Taala, beliau adalah seorang Mushi. Beliau adalah putra Brigadir Dr. Ziaul Hasan. Beliau mewakafkan hidupnya dan berkhidmat sebagai dokter. Beliau telah berkhidmat untuk Jemaat sejak usia muda. Di bawah Majlis Nusrat Jahan, beliau berkesempatan berkhidmat penuh selama lebih dari 20 tahun di Uganda, Kenya, Gambia, dan Pakistan. Setelah beberapa tahun berkhidmat di Kenya, beliau meminta izin untuk pelatihan spesialisasi dan bedah umum di Pakistan, di mana beliau memperoleh beberapa diploma dan sertifikat medis. Beliau juga berkesempatan mengajar anatomi kepada para dokter di universitas kedokteran. Beliau adalah dokter yang sangat kompeten. Beliau membantu secara finansial para pelajar lokal di Gambia, mensponsori pendidikan mereka, membantu mereka mencari pekerjaan, dan selalu siap membantu orang-orang miskin dan membutuhkan.
Salah satu kualitas terbaiknya adalah beliau sangat rajin berdoa dan melaksanakan tahajud, kebiasaan yang telah beliau lakukan sejak muda. Orang-orang yang mengenalnya menulis bahwa beliau sangat ramah, memiliki kasih sayang dan simpati yang tulus terhadap pasien. Beliau adalah orang yang pekerja keras, bersemangat, dan bertawakal kepada Allah. Beliau adalah sosok yang rajin berdoa dan penuh kasih sayang terhadap umat manusia. Kepribadiannya dipenuhi dengan kerendahan hati, kesederhanaan, dan semangat pelayanan yang tak terbatas. Beliau sangat sopan dan sangat menghormati para Waqaf Zindegi. Semoga Allah Taala mengampuni dan merahmati almarhum.
Yang ketiga, yang terhormat Tn. Profesor Abdul Jalil Sadiq dari Rabwah, yang baru-baru ini meninggal dunia pada usia 80 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Beliau juga seorang Mushi. Beliau adalah putra Qureshi Abdul Ghani dari Rabwah. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarganya melalui kakeknya, Hazrat Mian Qutbuddin dari Goleki, distrik Gujarat, dan kakek dari pihak ibu, Hazrat Maulvi Muhammad Usman, Amir Jemaat Dera
Ghazi Khan. Tn. Jalil Sadiq memperoleh gelar MA dalam Ilmu Politik dan kemudian ditunjuk sebagai dosen di Talim-ul-Islam College pada tahun 1964. Pada tahun 1966, beliau memperoleh gelar MA dalam Bahasa Inggris dan kemudian ditugaskan di Departemen Bahasa Inggris Talim-ul-Islam College. Beliau mengajar secara reguler selama 39 tahun. Saya juga pernah menjadi muridnya di perguruan tinggi. Beliau adalah guru yang pendiam dan mengajar dengan penuh kasih sayang. Beliau memiliki hubungan yang baik dengan murid-muridnya dan sangat menghormati mereka.
Setelah pensiun pada tahun 2003, beliau mewakafkan hidupnya dan ditugaskan sebagai penanggung jawab Departemen Tartib-o-Record di Sadr Anjuman Ahmadiyah, di mana beliau menjabat sebagai Wakil Nazir. Beliau juga berkesempatan berkhidmat di berbagai posisi di Majlis Khuddamul Ahmadiyya. Beliau juga menjabat sebagai Sadr Majlis Sihat Pakistan dan sejak 1983 menjadi Qazi di Dewan Qadha Pusat Pakistan. Beliau juga mendapatkan taufik menjadi ketua di kelompoknya. Beliau memiliki dua putri dan seorang putra.
Orang-orang yang menuliskan tentang beliau mengatakan, dan ini sangat benar, bahwa beliau adalah orang yang sangat halus dan bersifat darwis/sufi. Beliau sering memilih untuk diam, tetapi ketika berbicara, selalu dengan pemikiran yang matang dan hati-hati. Beliau memiliki karakter yang bersih dan sabar. Beliau tidak pernah ikut campur dalam urusan orang lain tanpa alasan. Beliau selalu memberikan nasihat yang baik ketika diperlukan dan mendorong perbuatan-perbuatan baik. Beliau tidak pernah mengeluh jika mengalami kesulitan dan memiliki kepribadian yang sabar, bersyukur dan kanaah. Beliau secara diam-diam dan terus-menerus membantu orang-orang yang membutuhkan secara finansial. Beliau memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Khilafat dan secara teratur menulis surat. Hubungan keluarganya juga sangat menyenangkan. Beliau sangat memperhatikan istri dan orang tuanya, bahkan saudaranya menulis bahwa beliau sangat memperhatikan saudara-saudaranya dan menganggap melayani mereka sebagai kewajiban.
Berikutnya adalah yang terhormat Tn. Master Munir Ahmad dari Jhang, yang juga baru-baru ini meninggal dunia pada usia 82 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Beliau juga seorang Mushi. Ayahnya, Mian Ghulam Muhammad, baiat kepada Hazrat Khalifatul Masih II r.a. pada tahun 1930. Master Sahib adalah seorang Ahmadi sejak lahir. Beliau berkesempatan berkhidmat di Khuddamul Ahmadiyya dan Ansarullah selama 40 tahun. Beliau pernah menjabat sebagai Qaid dan Nazim distrik Jhang, dan kemudian di Chiniot ketika menjadi distrik terpisah. Beliau adalah pelayan Jemaat yang sangat tulus dan berdedikasi, serta sosok yang bermanfaat bagi orang lain.
Sebagai guru sekolah dasar di Jhang, beliau memiliki ribuan murid yang sangat menghormatinya. Beliau selalu membantu orang-orang, terutama para Ahmadi, dalam urusan dengan kantor-kantor pemerintah, tidak hanya membantu dalam pekerjaan mereka tetapi juga menjamu mereka di rumahnya. Beliau memiliki lingkaran hubungan masyarakat yang luas dan menggunakan semua hubungan ini untuk mengkhidmati Jemaat dan para anggota, bukan untuk keuntungan pribadi.
Beliau selalu siap untuk membantu para tahanan, baik dari Jemaat maupun non-Jemaat. Beliau memiliki hubungan pribadi dengan petugas penjara yang digunakan untuk membantu tahanan Jemaat. Beliau memiliki koneksi yang luas untuk menyediakan fasilitas di penjara. Ketika kami berada di penjara, beliau sangat membantu saya dan rekan-rekan saya, dan berkat hubungan pribadinya dengan sipir penjara, kami mendapatkan beberapa fasilitas yang tidak tersedia bagi tahanan biasa. Dengan karunia Allah Taala, beliau tidak membeda-bedakan dalam melayani orang, baik Ahmadi miskin maupun kaya, beliau selalu siap melayani semua orang dan secara umum bekerja untuk kesejahteraan para tahanan. Beliau juga sangat mencintai Qadian dan hampir setiap tahun pergi ke sana untuk bertugas. Beliau juga membantu perwakilan pusat dari distriknya ketika mereka berkunjung. Pada tahun 1988, beliau pernah menghadapi kasus hukum karena membagikan pamflet, tetapi akhirnya kasus itu dibatalkan. Semoga Allah Taala mengampuni dan merahmati beliau, serta meninggikan derajat beliau. Beliau tidak memiliki anak.1
1 Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim