Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Fitnah Besar Terhadap Hazrat Aisyah r.a.
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 30 Agustus 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
Dalam kisah sejarah kehidupan Rasulullah saw. yang telah disebutkan dalam khotbah-khotbah sebelumnya, sebelum Jalsah di Jerman, disebutkan pula tentang insiden Ifk [fitnah besar] yang berkaitan dengan Hazrat Aisyah r.a.. Terkait hal ini, Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Allah Taala telah menetapkan asas ini dalam sifat-sifat-Nya, bahwa nubuatan yang bersifat peringatan Ilahi dapat dihindari melalui tobat, istigfar, doa dan sedekah. Demikian pula, Dia juga telah mengajarkan asas akhlak yang sama ini kepada umat manusia. Sebagaimana telah terbukti dari Al-Qur’an dan Hadis bahwa tuduhan yang sama sekali tidak berdasar yang telah dilontarkan secara keji oleh orang-orang munafik terhadap Hazrat Aisyah r.a., beberapa sahabat yang berwatak lugu juga ikut serta di dalamnya, Salah seorang dari sahabat tersebut di antaranya adalah sahabat yang biasa makan dua kali sehari dari rumah Hazrat Abu Bakar r.a.. Karena kesalahannya ini, sebagai bentuk hukuman, Hazrat Abu Bakar
r.a. bersumpah untuk tidak akan pernah lagi memberinya makan akibat tindakan salahnya ini. Mengenai hal ini, maka turunlah ayat berikut ini:
وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (An-Nur:23)
Setelah itu, Hazrat Abu Bakar r.a. membatalkan sumpah yang telah diucapkannya dan melanjutkan untuk terus memberinya makan.”
Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Berdasarkan hal ini, merupakan bagian dari akhlak Islam bahwa jika ada seseorang yang telah berjanji untuk menghukum seseorang, maka membatalkan janjinya itu termasuk sebagai suatu akhlak yang baik. Misalnya, jika seseorang berjanji bahwa ia pasti akan memukul pembantunya sebanyak lima puluh kali dengan sepatu, maka jika kemudian ia memaafkannya karena pembantunya telah bertobat dan menyesali perbuatannya, maka ini adalah sejalan dengan sunah Islam, yaitu agar takhallaq bi akhlāqillah [Yakni seseorang hendaknya menanamkan sifat-sifat Allah dalam dirinya]. Jika tidak, mengingkari janji tidaklah diperbolehkan. Orang yang mengingkari janji akan dimintai pertanggungjawaban, tetapi orang yang membatalkan janji yang berkaitan dengan hukuman tidak akan dimintai pertanggungjawaban.”
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. dalam menyebutkan kejadian Ifk [fitnah besar], berdasarkan riwayat dalam Shahih Bukhari, beliau menulis:
“Riwayat ini adalah riwayat yang paling rinci dan tersusun dengan baik dari semua riwayat lain. Hal-hal yang di dalam riwayat lain disebutkan secara terpisah-pisah, di dalam riwayat ini disampaikan secara utuh dan menyeluruh. Selain itu, kita mendapatkan suatu pencerahan yang mendalam berkenaan dengan kehidupan rumah tangga Rasulullah saw. yang tidak ada seorang sejarawan pun yang dapat mengabaikannya. Kemudian, berkenaan dengan kesahihannya, riwayat ini pun memiliki derajat yang sangat tinggi sehingga tidak ada lagi sedikitpun ruang keraguan di dalamnya.”
“Kini, seorang harus merenungkan betapa bahayanya fitnah yang dicetuskan oleh orang-orang munafik ini. Tujuan mereka bukan hanya untuk menyerang kehormatan seorang wanita yang suci, bertakwa, dan salehah, melainkan, tujuan yang lebih besar adalah untuk secara langsung menghancurkan kehormatan sosok Pendiri Islam, dan untuk mengguncang masyarakat Islam secara berbahaya. Propaganda yang kotor dan keji ini disebarkan oleh orang-orang munafik dengan sedemikian rupa sehingga beberapa orang Islam yang tulus namun lugu terperangkap dalam jerat fitnah ini. Nama-nama Hassan bin Thabit r.a., seorang penyair, Hamnah binti Jahsy, saudara perempuan Zainab binti Jahsy r.a., dan Mistah bin Atsatsah, secara khusus tertera di dalamnya. Namun, Hz. Aisyah r.a. menampakkan akhlak yang sangat luar biasa dengan memaafkan mereka semua, dan beliau di dalam hati tidak menyimpan dendam terhadap mereka.”
“Diriwayatkan bahwa setelah kejadian ini, setiap kali Hz. Hassan bin Tsabit r.a. datang mengunjungi Hazrat Aisyah r.a., beliau menerimanya dengan hati lapang. Pada suatu kesempatan, ketika ia menghadap Hazrat Aisyah r.a., seorang Muslim bernama Masruq, yang juga ada di sana heran dan berkata, ‘Apa! Apakah Anda memberi Hassan izin untuk bertemu?’ Hazrat Aisyah r.a. menjawab, ‘Tidak apa-apa, kasihan ia telah kehilangan penglihatannya, tidakkah ini cukup menyedihkan?’ (Ia menderita penyakit di mata). Hz Aisyah menuturkan: ‘Aku tidak dapat melupakan bahwa Hassan sering menulis syair-syair untuk mendukung Rasulullah saw. dan melawan orang-orang kafir.’ Oleh karena itu, Hassan diberi izin, lalu ia masuk dan duduk. Ia mengucapkan sebuah syair untuk memuji Hazrat Aisyah r.a.:
حصان رزان ماتزن بِرِیب
وتصبِح غرثى مِن لحوم الغوافِلِ
‘Ia adalah seorang wanita yang suci dan salehah, yang memiliki kebijaksanaan dan pandangan jauh ke depan, dan kedudukannya bersih dari segala bentuk keragu-raguan; ia tidak memakan daging sahabat wanita yang lugu dan tidak bersalah.’ Yakni, beliau tidak memfitnah mereka, dan beliau tidak bergibah tentang mereka.
Ketika Hazrat Aisyah r.a. mendengar syair ini, beliau berkata:
ولكن انت
‘Akan tetapi kamu’, atau dalam riwayat lain:
لست كذالك
yakni, “Bagaimana keadaanmu sendiri, kamu tidak memiliki kelebihan ini,” artinya, “Kamu telah ikut serta dalam melontarkan tuduhan terhadapku meskipun aku tidak bersalah.”
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. lalu merujuk pada Muir, seorang orientalis menulis
“Lihatlah seorang ahli bahasa Arab, yang dengan prasangkanya, memaknai syair yang disebutkan di atas dengan jalan yang sama sekali keliru dan bertentangan dengan aturan tata bahasa Arab, dan menerangkan bahwa Hassan r.a. memuji tubuh feminin Hz.Aisyah r.a., yang karenanya Hz. Aisyah r.a. pun membalasnya dengan sosok Hassan yang tambun. Tn. Muir juga telah melakukan kesalahan terang-terangan lainnya dalam menafsirkan kejadian ini. Misalnya, ia menulis bahwa Safwan r.a. dan Aisyah r.a. tidak mampu mengejar pasukan, lalu kemudian menampakkan diri memasuki Madinah di hadapan semua orang. Hal ini sama sekali keliru dan sama sekali tidak berdasar. Hadits dan sejarah, keduanya telah membuktikan bahwa Safwan dan Hazrat Aisyah r.a. berhasil mengejar pasukan Muslim yang sedang dalam perjalanan hanya dalam kurun waktu beberapa jam. Kendati demikian, yang patut disyukuri adalah bahwa berkenaan dengan fitnah ini, Tn Muir menerima bahwa Hz. Aisyah tidak bersalah. Alhasil, ia menulis: ‘Kehidupan Hz. Aisyah r.a. baik sebelum dan setelah kejadian ini membuktikan bahwa Hazrat Aisyah r.a. bersih dari tuduhan tersebut.’ Dari segi akal sehat dan riwayat, tuduhan ini jelas terbukti salah dan dusta, karena para pemfitnah hanya memiliki dasar satu kejadian yang benar-benar kebetulan yaitu Hazrat Aisyah r.a. tertinggal oleh pasukan Muslim, dan kemudian beliau menyusul bersama Safwan r.a., dan tidak ada dasar lain. Yakni, tidak ada saksi, dan tidak ada bukti lain; dan tentu saja, selama suatu tuduhan belum dapat dibuktikan, itu tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Terutama jika fitnah ini terkait dengan orang-orang yang kehidupannya memberikan bukti akan kesucian mereka. Selanjutnya, untuk semakin memberi ketentraman bagi umat Islam, dan agar untuk masa mendatang ada aturan mendasar yang dapat diterapkan berkaitan dengan kasus-kasus seperti ini, maka diturunkanlah wahyu Ilahi. Wahyu ini tidak hanya menegaskan bahwa fitnah ini sepenuhnya salah, namun juga menyatakan ketidakbersalahan Hazrat Aisyah r.a. dan Safwan bin Muattal r.a.. Bahkan untuk masa yang akan datang, ini juga memberikan suatu hukum yang mendasar bagi dunia berkenaan dengan kejadian-kejadian semacam ini, yang karenanya kehormatan dan martabat manusia, kedamaian dan keharmonisan masyarakat, serta perlindungan akhlak masyarakat sangat bergantung padanya.”
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. telah menjelaskan alasan mengapa tuduhan ini ditujukan kepada Hazrat Aisyah r.a.. Beliau menulis:
“Kita harus merenungkan apa tujuan sebenarnya di balik tuduhan yang ditujukan kepada Hazrat Aisyah r.a.. Alasannya bukan karena orang-orang itu memiliki permusuhan terhadap Hazrat Aisyah r.a.. Bagi seorang wanita yang memang tinggal di rumah, tidak memiliki hubungan dengan politik, hukum, jabatan, pembagian kekayaan, peperangan, penaklukan musuh, pemerintahan, dan juga jual beli, lantas mengapa ada orang yang memusuhinya? (Hazrat Aisyah tidak memiliki hubungan apa pun dengan masalah-masalah ini). Jadi, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk memiliki permusuhan pribadi terhadap Hazrat Aisyah r.a.. Hanya ada dua kemungkinan tuduhan ini ditujukan kepada beliau, yaitu: Pertama, tuduhan ini benar adanya (na’ūzubillāh), yang mana ini tidak dapat diterima sedikitpun oleh seorang mukmin, terutama karena Allah Taala dari atas arasy telah sepenuhnya menolak anggapan keji ini, atau kemungkinan kedua adalah tuduhan ini ditujukan kepada Hazrat Aisyah r.a. untuk menyakiti wujud-wujud lain melalui diri beliau.”
Kita harus merenungkan siapakah orang-orang yang akan diuntungkan oleh orang-orang munafik atau para pemimpin mereka dengan fitnah mereka dan siapakah orang-orang yang ingin mereka bidik dengan permusuhannya? Bahkan dengan pemikiran sepintas saja, seseorang akan menyadari bahwa permusuhan mereka ditujukan kepada dua orang: Salah satunya adalah Rasulullah saw. dan yang kedua adalah Hazrat Abu Bakar r.a.. Hal ini karena Hz Aisyah r.a. adalah istri Rasulullah saw. dan putri dari Hz. Abu Bakar r.a.. , Dengan mencemarkan nama baik kedua tokoh ini beberapa orang akan mendapat keuntungan darinya secara politik atau untuk mengobarkan permusuhan; atau motif sebagian orang tertentu adalah untuk mencemarkan nama baik kedua sosok tersebut. Jika tidak, tidaklah ada gunanya bagi siapa pun untuk sekadar mencemarkan nama baik Hz. Aisyah ra. Paling-paling, pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal ini hanyalah istri-istri Nabi saw. Bisa saja istri-istri Nabi saw. yang lain memanfaatkan kesempatan untuk merendahkan Hz. Aisyah r.a. dan menaikkan nama baik mereka di mata Nabi saw. Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa tidak ada satu pun istri Nabi saw. yang ikut serta dalam fitnah tersebut. Sebaliknya, Hz. Aisyah r.a. dalam kesaksiannya sendiri mengatakan bahwa di antara istri-istri Nabi saw., satu-satunya yang dianggapnya sebagai saingannya adalah Hz. Zainab binti Jahsy ra. Selain Zainab, tidak ada istri lain yang dianggapnya sebagai saingannya. (Karena beliaulah yang paling banyak bicara). Bahkan, Hazrat Aisyah r.a. berkata, ‘Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan Zainab kepadaku. Ketika tuduhan ini dilayangkan kepadaku, satu-satunya orang yang dengan tegas membantahnya adalah Hazrat Zainab r.a..’ Jadi, jika seandainya saja ada seseorang yang menghendaki suatu permusuhan dengan Hz. Aisyah, maka kemungkinannya adalah dari istri-istri Rasulullah saw. yang lain. Bisa jadi, seorang istri memanfaatkan kesempatan ini untuk merendahkan Hazrat Aisyah r.a. dan meninggikan derajat mereka di mata Rasulullah saw.. Akan tetapi, sejarah memberikan kesaksian bahwa tidak ada seorang istri Rasulullah saw. pun yang terlibat dalam fitnah tersebut. Sebaliknya, jika pertanyaan diajukan kepada para istri Rasulullah saw. maka mereka pasti akan memuji Hz. Aisyah r.a.
Alhasil, tidak ada alasan bagi kaum pria untuk menyimpan dendam terhadap para wanita. Jadi, tuduhan terhadap beliau ini adalah disebabkan oleh kebencian terhadap Rasulullah saw., atau kebencian terhadap Hazrat Abu Bakar r.a.. Kedudukan yang sudah dimiliki oleh Rasulullah saw. tidaklah dapat dirampas oleh mereka yang melontarkan fitnah. Yang mereka takutkan adalah bahwa sepeninggal Rasulullah saw. pun mereka pun tidak akan mampu untuk meraih tujuan mereka. Mereka sudah melihat bahwa jika ada sosok yang mampu menjadi penerus Rasulullah saw., maka sosok itu adalah Hz. Abu Bakar r.a.. Mereka melihat ini sebagai ancaman, dan dengan demikian mereka menciptakan tuduhan terhadap Hazrat Aisyah r.a. agar beliau tidak lagi disukai oleh Rasulullah saw., sehingga mengakibatkan derajat Hz. Abu Bakar r.a. di mata umat Islam pun akan menurun. Umat Islam nanti akan mulai berpikiran buruk terhadap Hz.Abu Bakar r.a. dan akan meninggalkan kecintaan mereka kepada Hz. Abu Bakar r.a., sehingga menutup pintu bagi Hz. Abu Bakar r.a. untuk menjadi Khalifah setelah Rasulullah saw.. Karena alasan inilah di dalam Al-Quran surah An-Nur, setelah peristiwa fitnah yang dilancarkan kepada Hz. Aisyah r.a., Allah Taala lantas berfirman tentang lembaga Khilafat.
Hadis-hadis dengan jelas menyebutkan bahwa para sahabat biasa berbincang-bincang di antara mereka dan sering mengatakan bahwa setelah Rasulullah saw., jika ada yang memiliki kedudukan mulia, maka itu adalah Hz. Abu Bakar r.a.. Hadis- hadis meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Hazrat Aisyah r.a., “Wahai Aisyah! Sesungguhnya aku telah berniat mengangkat Abu Bakar sebagai penggantiku sepeninggalku, Akan tetapi aku tahu bahwa Allah dan orang-orang mukmin tidak akan rida kepada orang yang lain selain dia (Abu Bakar).” Yakni, mereka akan sepenuhnya memilih Hz. Abu Bakar r.a..
Alhasil, para sahabat yakin bahwa setelah Rasulullah saw., satu-satunya orang di antara mereka yang memiliki kedudukan yang pantas adalah Hz. Abu Bakar r.a. dan hanya beliaulah yang dianggap layak menjadi Khalifah. Dalam periode kehidupan di Mekah tidak ada gambaran akan suatu pemerintahan atau sistem apapun, namun setelah Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah, maka berdirilah suatu pemerintahan, dan secara alami ini memicu kegelisahan di kalangan orang-orang munafik, jangan sampai sepeninggal Rasulullah saw., lantas berdiri lembaga Khilafat yang menjadikan pemerintahan Islam ini berusia panjang sehingga harapan-harapan mereka pun sirna untuk selamanya. Para penentang memikirkan hal seperti ini, karena dengan kedatangan beliau saw. ke Madinah, banyak harapan-harapan mereka yang menjadi sirna.
Sejarah mencatat bahwa ada dua kabilah Arab di Madinah, yaitu Aus dan Khazraj, yang sebelumnya mereka sering terlibat dalam peperangan yang mengakibatkan banyak pertumpahan darah. Ketika mereka menyadari bahwa pertikaian yang terus-menerus itu melemahkan kebesaran dan kekuatan mereka, mereka memutuskan untuk berdamai dan sepakat untuk bersatu di bawah satu pemimpin. Hasilnya, suku Aus dan Khazraj mengadakan perdamaian dan memilih Abdullah bin Ubay bin Salul untuk menjadi raja Madinah. Setelah keputusan ini, mereka pun telah melakukan persiapan dan mahkota pun sudah disiapkan untuknya.
Selama kurun waktu tersebut, beberapa jamaah haji Madinah kembali dari Makkah dan memberitakan bahwa Nabi akhir zaman yang ditunggu-tunggu telah muncul di Makkah dan mereka telah berbaiat kepadanya. Berita ini menyebabkan terjadinya pembicaraan dan perbincangan tentang pendakwaan kenabian Rasulullah saw., dan beberapa hari setelah itu, lebih banyak lagi orang dari Madinah pergi ke Makkah dan berbaiat kepada Rasulullah saw.. Mereka kemudian memohon kepada Rasulullah saw. untuk mengirim seorang mualim atau guru bersama mereka untuk memberikan tarbiyat dan mendidik mereka. Maka dari itu Rasulullah saw. mengirim salah seorang sahabat beliau sebagai mubalig, dan dengan ini lalu banyak orang di Madinah yang memeluk Islam.
Pada waktu yang sama, karena Rasulullah saw. dan para sahabat beliau terus menerus menghadapi banyak kesulitan di Makkah, maka Penduduk Madinah memohon kepada Rasulullah saw. untuk berhijrah ke Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah saw. beserta para sahabat beliau pun berhijrah ke Madinah, dan Mahkota yang sebelumnya telah dipersiapkan untuk Abdullah bin Ubay bin Salul pun menjadi tidak berarti lagi, karena orang-orang Madinah tidak lagi membutuhkan raja lain ketika mereka telah mendapatkan sosok Raja untuk dua dunia. Setelah Abdullah bin Ubay bin Salul melihat bahwa peluangnya untuk menjadi raja semakin sirna, ia pun menjadi sangat marah, dan meskipun ia secara lahiriah bergabung dengan umat Islam, ia terus menerus menempatkan rintangan bagi Islam. Jika ia bisa berharap untuk sesuatu, itu adalah bahwa sepeninggal Rasulullah saw., ia masih bisa menjadi raja Madinah. Namun, Allah Taala pun menggagalkan rencananya ini, karena bahkan putranya sendiri adalah seorang Muslim yang sangat mukhlis. Ini berarti bahwa seandainya pun ia menjadi raja, maka kepemimpinan pun pada akhirnya akan kembali ke Islam.
Selain itu, Allah Taala pun telah menggagalkan rencananya ini dengan cara bahwa segera setelah sistem pemerintahan baru ini berdiri di kalangan umat islam, mereka menyampaikan berbagai pertanyaan kepada Rasulullah saw. tentang masa depan pemerintahan Islam, yaitu apa yang akan terjadi setelahnya, dan tindakan apa yang harus diambil oleh umat Islam. Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul menyaksikan hal ini, ia pun menjadi takut karena pemerintahan Islam akan berdiri sedemikian rupa sehingga ia tidak akan mendapatkan bagian apapun di dalamnya. Untuk mencegah hal ini, ia memikirkan dan menyadari bahwa satu-satunya orang yang kelak dapat menegakkan pemerintahan Islam sesuai dengan nilai-nilai Islam adalah Hz. Abu Bakar r.a.. Ia memperhatikan bahwa setelah Rasulullah saw., pandangan umat Islam tertuju pada Hz. Abu Bakar r.a., karena beliau dianggap paling unggul diantara semuanya.
Oleh karena itu, ia melihat peluang baginya ini yaitu mencemarkan nama baik Hz. Abu Bakar r.a., dan merendahkan kedudukan beliau di pandangan umat Islam, dan bahkan menjatuhkan kedudukan beliau di hadapan Rasulullah saw.. Kesempatan untuk menjalankan niat jahat ini datang ketika Hz. Aisyah r.a. tertinggal dalam salah satu pertempuran, dan orang yang buruk ini memfitnah beliau dengan tuduhan keji. Kejadian ini telah diisyaratkan di dalam Al-Qur’an, dan bahkan hadis menjelaskannya secara rinci. Tujuan Abdullah bin Ubay bin Salul adalah untuk mempermalukan Hz. Abu Bakar r.a. di hadapan semua orang dan untuk membuat hubungan beliau dengan Rasulullah saw. menjadi buruk. Ia berharap hal ini akan menghalangi terbentuknya sistem [yakni khilafat] yang ia lihat sebagai sesuatu yang tak terelakkan, yang pada akhirnya akan menghancurkan keinginan-keinginannya.
Karena orang munafik tidaklah takut akan kematiannya, dan ia justru memikirkan kematian orang lain, Abdullah bin Ubay bin Salul juga mengira bahwa kematiannya masih jauh dan ia tidak menyadari bahwa ia akan mati dalam penderitaan dan di masa kehidupan Rasulullah saw.. Ia terus membayangkan bahwa setelah Rasulullah saw. wafat, ia akan menjadi Raja Arab. Namun, ia melihat bahwa kesalehan dan kebesaran Hz. Abu Bakar r.a. semakin diterima secara luas di kalangan umat Islam. Ketika Rasulullah saw. tidak dapat memimpin salat, Hz. Abu Bakar r.a. memimpin salat menggantikan beliau. Jika seseorang tidak memiliki kesempatan untuk meminta fatwa dari Rasulullah saw., maka umat Islam akan meminta fatwa dari Hz.Abu Bakar r.a.. Melihat hal ini, Abdullah bin Ubay bin Salul menjadi sangat khawatir akan harapan untuk kepemimpinannya di masa depan dan karena itu ia berusaha untuk menghilangkan [kekhawatiran ini]. Oleh karena itu, untuk menghilangkannya dan untuk menjatuhkan derajat dan kemuliaan Hazrat Abu Bakar r.a. di mata umat Islam, ia membuat tuduhan terhadap Hazrat Aisyah r.a., sehingga Rasulullah saw. akan memiliki kebencian terhadap Hazrat Aisyah r.a., dan akibat dari kebencian terhadap Hazrat Aisyah r.a. ini, ia berusaha menjatuhkan kehormatan Hz. Abu Bakar r.a. di pandangan Rasulullah saw. dan seluruh kaum Muslimin, sehingga menghentikan peluang beliau untuk menjadi Khalifah.
Hz. Muslih Mau’ud r.a., dalam menyebutkan hubungan antara peristiwa Ifk/Fitnah Besar dengan kekhalifahan Hazrat Abu Bakar r.a., beliau lebih lanjut menulis:
“Dari awal surat An-Nur sampai akhir, hanya dijelaskan satu pokok bahasan saja. Pertama-tama disebutkan mengenai fitnah terhadap Hz. Aisyah r.a., dan dikarenakan tujuan sebenarnya dari fitnah ini adalah untuk mempermalukan Hazrat Abu Bakar r.a., dan merusak hubungan beliau dengan Rasulullah saw. dan kemudian menjatuhkan kehormatan beliau r.a. di hadapan umat Islam sehingga beliau r.a. tidak akan menjadi Khalifah setelah kewafatan Rasulullah – karena Abdullah bin Ubay bin Salul telah menyadari bahwa di pandangan umat Islam, sepeninggal Rasulullah orang yang layak adalah Hz. Abu Bakar r.a. dan jika Khilafat nanti berdiri melalui Hz. Abu Bakar r.a., maka impian Abdullah bin Ubay bin Salul untuk memimpin pun tidak akan pernah terpenuhi, maka segera setelah menurunkan firman tentang fitnah ini, Allah Taala menyebutkan tentang Khilafat dan berfirman bahwa Khilafat bukanlah suatu kerajaan, ini adalah sarana untuk mempertahankan Nur Ilahi, oleh karena itu pendiriannya pun berada di tangan Allah Taala. Jika ia goyah, itu berarti padamnya nur kenabian dan Nur Ketuhanan. Maka dari itu, Tuhan pasti akan menegakkan nur ini, dan Dia akan mengangkat siapa pun yang Dia kehendaki sebagai Khalifah. Bahkan, Dia berjanji bahwa Dia tidak akan hanya akan mengangkat satu orang, tetapi Dia akan memberikan kekhalifahan kepada banyak orang dari kalangan umat Islam dan dengan demikian akan memperpanjang era nur [kerohanian] ini. Jika kalian ingin membuat tuduhan, silahkan saja; kalian tidak akan dapat menghapus Khilafat, dan kalian juga tidak akan dapat menghalangi Hz. Abu Bakar r.a. dari kekhalifahan, karena Khilafat adalah cahaya. Cahaya ini adalah salah satu sarana perwujudan Allah Taala, dan tidak ada upaya manusia yang dapat menghapusnya.”
Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Keadaan para Nabi ‘alaihimussalām juga seperti ini. Ketika Allah Taala memberi tahu mereka tentang suatu persoalan, maka mereka menjauhinya atau menerimanya. Perhatikan, dalam peristiwa fitnah besar terhadap Hz. Aisyah r.a., Rasulullah saw. pada awalnya tidak diberi pengetahuan tentang hal ini, hingga masalah ini pun berujung pada keadaan di mana Hazrat Aisyah r.a. pulang ke rumah ayahnya dan Rasulullah saw. pun bersabda bahwa jika Hz. Aisyah r.a. telah melakukannya maka dia harus bertobat. Dengan mengamati kejadian-kejadian ini, dengan jelas tampak betapa besarnya kesedihan yang dialami Rasulullah saw., dan kenyataan yang sebenarnya tidak terbuka hingga beberapa waktu lamanya. Akan tetapi, ketika Allah Taala menyatakan kebersihan Hz. Aisyah r.a. melalui wahyu, sebagaimana Allah Taala berfirman:
اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ
“Perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji. Dan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).” (An-Nur:27)
Maka kenyataan mengenai fitnah ini menjadi jelas bagi beliau saw. Apakah hal ini mengubah kedudukan Rasulullah saw.? Sama sekali tidak. Siapa pun yang berpemikiran seperti ini adalah zalim dan tidak takut kepada Tuhan, dan telah mencapai derajat kekufuran. Hazrat Rasulullah saw. dan para Nabi ‘alaihimussalām tidak pernah mengklaim sebagai orang yang mengetahui hal-hal gaib. Maha Mengetahui Hal-hal Yang Gaib adalah keagungan Allah Taala. Seandainya orang-orang seperti itu mengetahui sunah para Nabi ‘alaihimussalām, mereka tidak akan pernah melontarkan tuduhan seperti itu.” Demikian pula Hazrat Masih Mau’ud a.s. membungkam mereka yang melontarkan tuduhan terhadap diri beliau.
Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah saw. menjadi penengah perdamaian antara para kepala suku Aus dan Khazraj. Banyak sekali kebencian yang telah timbul di antara mereka. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa setelah beberapa hari, Rasulullah saw. menggandeng tangan Hazrat Sa’ad bin Mu’adz r.a., dan bersama dengan beberapa sahabat lainnya berangkat dan menemui Hazrat Sa’ad bin ‘Ubadah r.a.. Di sana mereka berbincang sebentar. Hazrat Sa’ad bin ‘Ubadah r.a. menghidangkan makanan, dan Rasulullah saw., Hazrat Sa’ad bin Mu’adz r.a., serta para sahabat lainnya memakannya. Kemudian, Rasulullah saw. pergi. Kemudian beliau saw. menunggu selama beberapa hari. Setelah beberapa hari, Rasulullah saw. kemudian menggandeng tangan Sa’ad bin ‘Ubadah r.a., dan kali ini bersama dengan beberapa sahabat pergi ke rumah Sa’ad bin Mu’adz r.a.. Mereka berbincang sebentar. Sa’ad bin Mu’adz r.a. menghidangkan makanan, dan Rasulullah saw., Sa’ad bin ‘Ubadah r.a., dan para sahabat lainnya makan. Setelah itu, Rasulullah saw. pulang.
Beliau saw. melakukan hal ini untuk menghilangkan kebencian yang telah berkembang di hati mereka karena peristiwa sebelumnya, yaitu, beliau saw. mengunjungi rumah seseorang bersama dengan yang lain, dan pada kesempatan selanjutnya, beliau mengunjungi rumah orang kedua bersama dengan orang yang pertama sehingga perasaan tidak enak apa pun akan hilang. Mereka berdua makan di sana, dan saling memberi makan juga, dan dengan cara ini, kebencian mereka hilang. Ini adalah salah satu metode yang digunakan oleh Rasulullah saw. untuk menumbuhkan cinta dan kasih sayang, dan membangun perdamaian di antara orang-orang.
Dalam berbagai riwayat, jumlah mereka yang menuduh Hazrat Aisyah r.a. berbeda-beda. Dalam salah satu riwayat dari Ibnu Abbas r.a. disebutkan jumlah mereka yang menuduh Hz. Aisyah r.a. ada tiga orang. Riwayat lain dari Ibnu Abbas r.a., menyebutkan jumlah mereka antara 3 hingga 10 orang. Ibnu Uyainah mencatat jumlahnya 40 orang, sementara Mujahid menyebutkan jumlahnya antara 10 hingga 15 orang.
Mengenai hukuman bagi mereka yang terlibat dalam peristiwa Ifk [fitnah besar], disebutkan dalam Sunan Abi Dawud bahwa Rasulullah saw. memerintahkan hukuman bagi dua orang pria dan seorang wanita, yang telah menyebarkan rumor tentang perbuatan tidak senonoh. Mereka adalah Hazrat Hassan bin Tsabit r.a. dan Mistah bin Utsatsah. Nufaili meriwayatkan bahwa orang-orang berkata, bahwa satu wanita yang disebutkan adalah Hamnah binti Jahsy. Allamah Mawardi menyatakan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai apakah mereka yang terlibat dalam insiden Ifk diberi hukuman Hadd [hukuman yang diperintahkan oleh Allah Taala]. Salah satu pendapat menyatakan bahwa Rasulullah saw. tidak menjatuhkan hukuman Hadd kepada seorang pun dari mereka, sementara pendapat lainnya menyatakan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan hukuman Hadd kepada Abdullah bin Ubay bin Salul, Mistah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy. Imam Qurtubi menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling masyhur dan pendapat yang diakui di kalangan ulama adalah bahwa Hassan, Mistah, dan Hamnah dijatuhi hukuman Hadd, namun tidak disebutkan bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul dijatuhi hukuman Hadd.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan dalam sebuah khotbah mengenai hal ini, bahwa disebabkan tuduhan palsu terhadap Hazrat Aisyah r.a., tiga orang dicambuk, salah satunya adalah Hassan bin Tsabit, kepala penyair Hazrat Rasulullah saw.. Yang lainnya adalah Mistah, yang merupakan paman dari pihak ayah Hazrat Aisyah r.a. dan merupakan sepupu dari pihak ibu Hazrat Abu Bakar r.a.. Ia adalah orang yang sangat miskin sehingga ia tinggal di rumah Hazrat Abu Bakar r.a.. Ia makan di sana, dan Hazrat Abu Bakar r.a. sendiri yang menyediakan pakaiannya. Seorang wanita juga termasuk di antara mereka [yang bersalah], dan ketiganya dihukum.
Dalam tafsirnya atas Surah An-Nur ayat 36, Hazrat Muslih Mau’ud r.a. lebih lanjut menulis tentang hukuman cambuk yang dijatuhkan kepada Ibnu Salul. Di sini beliau r.a. menyatakan:
لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ
Yakni, di antara orang-orang yang menuduh, masing-masing akan menerima hukuman sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat.” (An-Nur:12)
Jadi, mereka yang ikut serta dalam konspirasi untuk melontarkan tuduhan masing-masing diberi 80 cambukan.
Kemudian disebutkan:
وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Namun, ada satu orang di antara mereka yang merupakan pembuat kerusakan terbesar, dan merupakan pencetus semua perselisihan ini, yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul. Kami tidak hanya akan mencambuknya, tetapi juga Kami sendiri yang akan menghukumnya.” (An-Nur:12) Sesuai dengan peringatan ini, ia juga dicambuk, dan kemudian ia juga menerima hukuman dari Allah Taala. Di masa kehidupan Rasulullah saw., ia meninggal sambil menggeliat kesakitan.”
Kisah-kisah ini berakhir di sini. Mengenai Jalsah Salanah di Jerman, saya ingin menyampaikan bahwa para hadirin, baik tamu dari luar maupun yang baru pertama kali hadir, menyampaikan kesan yang sangat positif dan rasa bahagia mereka, serta memuji suasana Jalsah secara keseluruhan. Demikian pula, melalui berbagai media dan saluran berita, pesan sejati Islam dan Ahmadiyah telah sampai kepada jutaan orang. Dengan demikian, Jalsah merupakan sarana tablig yang luar biasa yang memungkinkan pesan Islam mencapai tempat-tempat yang tidak dapat kita jangkau sendiri. Semoga Allah Taala memberikan karunia-Nya untuk membuahkan hasil-hasil yang baik dan abadi, dan memberikan taufik kepada para Ahmadi untuk selalu memperoleh manfaat yang sesungguhnya darinya.
Tetaplah berikan perhatian pada doa. Semoga Allah Taala selalu menyelimuti kita dengan rahmat dan kasih sayang-Nya.
Di akhir, saya juga akan menyebutkan seorang almarhum dan akan memimpin salat jenazah gaibnya, insyaAllah. Tn. Imam Muhammad Bello yang berasal dari Sudan, beliau wafat beberapa hari yang lalu. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.
Amir Jemaat di Sudan menulis tentang beliau bahwa peristiwa baiat beliau adalah sebagai berikut: Pada tahun 1966, seorang Imam Ahmadi dari Nigeria, Tn. Isa Abdullah bin Lail, datang mengunjungi beliau sebagai tamu dan bertablig kepada penduduk desa.
Almarhum Imam Muhammad bin Bello adalah orang pertama yang mendapatkan taufik untuk baiat. Pada masa itu, tidak memungkinkan untuk menghubungi Khalifatul Masih di Markaz dari Sudan, namun saudara-saudara Ahmadi ini tetap teguh dalam keimanan mereka kepada Ahmadiyah.
Mereka menghadapi penentangan yang keras. Tn. Imam Muhammad Bello biasa mengimami salat para Ahmadi. Di sana, Masjid para Ahmadi yang berupa semacam gubuk terbuat dari rumput dan jerami, dibakar oleh orang-orang non-Ahmadi dan mereka mengusir para Ahmadi dari desa tersebut. Akibatnya, para Ahmadi ini bermigrasi ke selatan. Di sana mereka juga membangun sebuah masjid kecil dari rumput dan jerami. Penentangan juga muncul di sana, dan para penentang membakar Masjid para Ahmadi dan mengusir mereka dari daerah tersebut.
Satu kelompok dari para Ahmadi ini pindah jauh dari sana, sementara kelompok lainnya, termasuk Imam Bello, pergi ke kota Dueim. Di sana, mereka menjadi tamu dari Tn. Abdullah Bin Awaz Qasim, yang merupakan Kepala Jamia Bakhtur Riḍa, tetapi keluarga beliau menentang mereka, dan para Ahmadi ini juga diusir dari sana. Orang-orang yang tidak berdaya ini juga diusir dari sana. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi ke Nigeria, kepada Tn. Imam Isa Abdullah Bin Lail, yang melalui beliau mereka menjadi Ahmadi. Dengan demikian, kelompok Ahmadi miskin ini, bersama dengan istri dan anak-anak mereka, berangkat ke Nigeria dengan menunggangi keledai dan hewan lainnya, tetapi sebagian besar berjalan kaki.
Mereka tidak memiliki bekal untuk perjalanan, maupun dokumen visa, dsb. Ada banyak kesulitan dalam perjalanan, namun mereka memiliki kekayaan iman. Mereka menjaga iman mereka dan melanjutkan hijrah mereka dengan semangat dan hasrat yang sama, dan tidak pernah mengorbankan agama mereka. Akhirnya, mereka mencapai Nigeria dan tinggal bersama Tn. Imam Isa Bin Lail selama tiga belas tahun. Setelah itu, Tn. Imam Isa menyarankan mereka untuk kembali ke Sudan berdasarkan sebuah mimpi. Mereka tidak menyukai saran ini, tetapi Imam Isa mengatakan kepada mereka bahwa itu adalah perintah dari Tuhan kita. Dengan enggan, mereka setuju untuk kembali ke Sudan. Tn. Imam Isa diperlihatkan dalam mimpi bahwa orang-orang ini akan kembali ke Sudan setelah tiga tahun. Setelah tiga tahun berlalu, para imigran Ahmadi ini berangkat ke tanah air mereka. Imam Muhammad Bello adalah orang pertama yang kembali. Di Sudan, mereka menetap kembali di desa asal mereka, Kiuneza. Ini terjadi pada tahun 2010. Sekembalinya para Ahmadi ini ke Sudan, sebuah kelompok bernama Boko Haram muncul di Nigeria. Jika para Ahmadi Sudan ini berada di Nigeria saat itu, hanya Tuhan yang tahu bagaimana organisasi ini akan memperlakukan mereka. Saat itulah mereka memahami hikmah Ilahi yang tersembunyi di balik kepulangan mereka dari Nigeria. Namun, setelah kembali ke Kiuneza, mereka kembali menghadapi penentangan keras. Masjid kecil yang mereka bangun dibakar lagi. Rumah-rumah mereka diserang, dan kasus-kasus diajukan terhadap mereka. Mereka kembali diusir dari desa.
Kemudian perang yang tengah berlangsung saat ini mulai terjadi, dan situasi di seluruh Sudan semakin memburuk, tidak ada seorang pun yang selamat di sana. Para Ahmadi juga tersebar ke berbagai wilayah Sudan untuk menyelamatkan hidup mereka dan mendapatkan keamanan, dan bahkan sekarang di berbagai daerah, mereka hidup dalam kesulitan yang besar dan kemiskinan. Semoga Allah Taala meninggikan derajat almarhum, memberinya ampunan, dan memperkuat iman para Ahmadi lainnya. Semoga Allah Taala mengubah keadaan mereka, dan seperti yang saya sebutkan, terjadi kerusuhan besar di negara ini; semoga Allah Taala mengakhiri kekacauan ini. Semoga Allah Taala mengasihani orang-orang ini dan menjadikan mereka memenuhi hak-hak satu sama lain. Semoga umat Islam memenuhi hak-hak persaudaraan satu sama lain, dan semoga Allah Taala menghilangkan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi dalam pemerintahan-pemerintahan Islam. Semoga Allah Taala menganugerahkan kepada para Ahmadi taufik untuk menjalani kehidupan yang benar-benar damai dan tentram.
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim