Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw – Perang Khandaq – Seri 5

Perang Khandaq perang Ahzab

Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw – Perang Khandaq – Seri 5


Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 4 Oktober 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾

Saat ini, khotbah-khotbah sedang membahas tentang Perang Ahzab. Rincian lebih lanjut tentang Perang Ahzab dijelaskan sebagai berikut:

Ketika kaum musyrikin gagal meraih keberhasilan meskipun telah menyeberangi parit, bahkan menghadapi kekalahan yang berat, mereka bersepakat untuk melancarkan serangan bersama pada pagi hari tanpa ada satupun yang tertinggal. Mereka mempersiapkan diri sepanjang malam dan tiba di parit di depan Rasulullah (saw.) sebelum matahari terbit.

Kaum musyrikin mengepung parit dari segala arah dan ada satu pasukan yang mengarah menuju tenda Rasulullah saw., yang di antaranya ada Khalid bin Walid. Mereka mendapat perlawanan sengit dengan panah sambil terus berusaha menyeberangi parit. Kaum kafir menunggu kelengahan dari pihak Muslim untuk menyeberang parit, dan serangan serta upaya ini terus berlanjut secara berkala.

Pada kesempatan ini, Wahsyi bin Harb membunuh Thufail bin Nu’man (atau menurut beberapa riwayat, Thufail bin Malik bin Nu’man Anshari) dengan tombak kecilnya. Hz. Sa’d bin Mu’adz juga terkena panah yang melukainya, dan beberapa hari kemudian beliau syahid karena luka tersebut.

Inilah hari di mana bahkan sulit bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat tepat waktu. Karena kesibukan terus-menerus dan serangan berulang pada hari itu, tampaknya perawi kemudian tidak dapat menjaga rincian peristiwa dengan tepat, dan beberapa masa kemudian, muncul periwayatan bahwa pada hari itu umat Islam, termasuk Nabi saw., tidak dapat melaksanakan shalat Zuhur maupun Ashar hingga matahari terbenam. Inilah yang secara umum disebutkan, yakni shalat-shalat ini dilaksanakan setelah matahari terbenam.

Beberapa sejarawan bahkan melebih-lebihkan dengan mengatakan bahwa Allah Ta’ala mengembalikan matahari yang telah terbenam agar umat Islam dapat melaksanakan shalat Zuhur dan Ashar, padahal sebenarnya tidaklah demikian. Tidak diragukan bahwa hari itu adalah hari yang sangat sulit, dimana semua umat Muslim termasuk Nabi saw. berada di bawah serangan terus-menerus, tetapi tidak benar bahwa mereka semua, terutama Nabi saw., tidak dapat melaksanakan suatu shalat sama sekali. Hari- hari itu memang sulit, tetapi tidak sampai mereka tidak bisa shalat sama sekali. Pada hari itu pun mereka tetap melaksanakan shalat, namun dalam keadaan ketakutan dan kekhawatiran yang terus-menerus. Tampaknya pada waktu Ashar, jumlah serangan musuh meningkat sehingga mungkin ada kesulitan dalam melaksanakan shalat Ashar dan shalat ashar mungkin dilaksanakan dalam waktu yang sudah sempit.

Dalam “Sirat Khatamun-Nabiyyin”, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menjelaskan hal ini sebagai berikut:

Tidaklah benar bahwa semua shalat umat Islam pada hari itu tidak dapat dilaksanakan dalam waktunya. Dikatakan bahwa shalat-shalat tidak dapat dilaksanakan, dan pernyataan ini adalah keliru. Seperti yang terbukti dari riwayat-riwayat yang sahih, yang terjadi hanyalah bahwa karena saat itu shalat khauf (shalat dalam keadaan takut) belum disyariatkan, maka karena bahaya dan kesibukan yang terus-menerus, hanya satu shalat yaitu Ashar yang terlambat, yang kemudian digabungkan dengan shalat Maghrib, atau menurut beberapa riwayat, hanya shalat Zuhur dan Ashar yang dilaksanakan tidak tepat pada waktunya.

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra juga telah menjelaskan hal ini. Beliau menulis: suatu hari serangan musuh adalah begitu hebat sehingga beberapa shalat umat Islam tidak bisa dilaksanakan tepat waktunya. Hal ini membuat Rasulullah saw. menjadi sangat sedih sehingga beliau berdoa, “Semoga Allah menghukum orang-orang kafir, mereka telah mengganggu shalat-shalat kami.”

Ini memberikan gambaran besar tentang akhlak Muhammad Rasulullah SAW dan menunjukkan bahwa hal yang paling berharga bagi beliau di dunia ini adalah ibadah kepada Allah Ta’ala. Padahal saat itu musuh mengepung Madinah dari segala penjuru, nyawa para wanita dan anak-anak Madinah, termasuk juga para prianya, berada dalam bahaya. Ketika setiap saat hati penduduk Madinah berdebar-debar khawatir musuh akan berhasil masuk, keinginan Muhammad Rasulullah saw. tetaplah agar ibadah kepada Allah Ta’ala dapat dilaksanakan tepat waktu dengan baik.

Bahkan dalam keadaan yang sangat mencekam, keinginan beliau hanyalah agar ibadah tidak terlewatkan. Ibadah umat Islam tidaklah seperti orang Yahudi, Kristen, atau Hindu yang hanya dilakukan satu hari dalam seminggu, tetapi umat Islam beribadah lima kali sehari semalam. Dalam waktu yang sangat berbahaya seperti ini, bahkan shalat sekali sehari pun sulit bagi manusia, apalagi lima waktu dan dilakukan dengan baik secara berjamaah. Namun, bahkan dalam hari-hari yang berbahaya ini, Muhammad Rasulullah saw. tetap melaksanakan kelima shalat ini tepat pada waktunya. Dan jika suatu hari, karena serangan hebat musuh, beliau tidak bisa menyebut nama Tuhan dengan tenang dan dilaksanakan pada waktunya, maka beliau merasa sangat sedih.

Hadhrat Masih Mau’ud as, sang hakim yang adil zaman ini, telah menyatakan bahwa semua riwayat yang menyebutkan pelaksanaan shalat-shalat ini di malam hari adalah lemah, dan beliau hanya menerima satu riwayat yang benar yang menyebutkan bahwa shalat Ashar dilaksanakan dalam waktu yang lebih sempit dari biasanya. Dalam menjawab keberatan seorang pendeta tentang Nabi Muhammad saw. yang melewatkan empat shalat dalam Perang Khandaq, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Mengenai empat shalat yang dijamak saat menggali parit, jawaban atas prasangka bodoh ini adalah bahwa Allah Ta’ala berfirman bahwa tidak ada kesulitan dalam agama, yaitu tidak ada kekerasan dalam beragama yang dapat menyebabkan kehancuran manusia. Oleh karena itu, Tuhan telah memerintahkan untuk menjamak dan mengqashar shalat dalam keadaan darurat dan bencana. Ini bisa saja, namun tidak ada hadits terpercaya yang menyebutkan adanya empat shalat yang dijamak.

Dalam Fathul Bari, syarah Shahih Bukhari, tertera bahwa yang sebenarnya terjadi hanyalah satu shalat, yaitu shalat Ashar, dilaksanakan dalam waktu yang lebih sempit dari biasanya. Jika Anda ada di hadapan kami saat itu, kami akan bertanya kepada Anda dari mana Anda mendapatkan riwayat ini. (Hz. Masih Mauud as. bersabda kepada seorang penentang bahwa dari mana ia mendapatkan riwayat tersebut). Beliau bersabda: Apakah ini adalah suatu muttafaq ‘alaih/riwayat yang disepakati bahwa ada empat shalat yang terlewatkan?. Empat shalat memang bisa dijamak menurut syariat, yaitu Zuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya. Ya, ada satu riwayat lemah yang menyatakan bahwa Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya dilaksanakan bersama-sama, tetapi hadits-hadits sahih lainnya menolak ini dan hanya membuktikan bahwa Ashar dilaksanakan dalam waktu yang sempit.”

Bagaimanapun, jelas bahwa semua shalat hari itu tidak dijamak, tetapi shalat Ashar dilaksanakan dalam waktu yang sempit. Waktunya sedikit dan Nabi Muhammad SAW juga menyesalkan bahwa shalat tidak bisa dilaksanakan dengan tenang dan benar.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 23)

Tentang rincian Perang Ahzab, lebih lanjut ditulis:

Perang Khandaq adalah perang yang menegangkan bagi umat Islam. Selain ketakutan akan perang, kelaparan dan cuaca yang menusuk juga mencapai puncaknya. Mereka harus berpuasa dan menanggung lapar selama beberapa kali. Di masa ini, bantuan gaib datang yakni ketika sekelompok Muslim bersenjata yang sedang pergi untuk menguburkan kerabat mereka menemukan 20 unta yang membawa gandum. Unta- unta ini dikirim oleh Bani Quraizha sebagai perbekalan untuk Quraisy Mekah. Perbekalan ini dikirim atas perintah dan upaya khusus Huyayy bin Akhtab. Setelah pertempuran kecil, mereka berhasil menguasai semua unta ini dan mempersembahkannya kepada Rasulullah SAW. Orang-orang yang bekerja di parit makan darinya, beberapa unta disembelih, dan sisanya dibawa ke Madinah setelah perang berakhir.

Ketika Abu Sufyan, panglima Quraisy, mendengar berita ini, dia berkata, “Betapa sialnya Huyayy. Sekarang ketika kita kembali, kita bahkan tidak akan memiliki tunggangan untuk membawa perlengkapan kita.”

Dalam keadaan perang, ini dibolehkan sebagaimana musuh telah mengepung. Jika mereka menguasai perbekalan musuh, itu adalah hal yang sepenuhnya dibenarkan.

Mengenai doa buruk yang dipanjatkan oleh Rasulullah SAW terhadap Ahzab (pasukan persekutuan), disebutkan sebagai berikut:

Hz. Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW datang pada hari Senin, Selasa, dan Rabu antara waktu Zuhur dan Ashar, meletakkan selendang atas beliau, berdiri dan mengangkat tangan untuk berdoa melawan Ahzab. Hz. Jabir mengatakan: Kami melihat kegembiraan di wajah beliau saw.

Abdullah bin Abi Aufa meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. memanjatkan doa keburukan untuk Ahzab (pasukan persekutuan). Abu Nu’aim menambahkan bahwa Nabi SAW menunggu sampai matahari tergelincir, lalu berdiri di antara orang-orang dan bersabda, “Wahai manusia, janganlah kalian berharap untuk bertemu musuh, tetapi mintalah keselamatan kepada Allah. Namun jika kalian bertemu musuh, maka bersabarlah dan ketahuilah bahwa surga berada di bawah naungan pedang.”

Kemudian beliau berdoa:

“Ya Allah, Yang menurunkan Kitab, Yang cepat perhitungan-Nya, kalahkanlah pasukan sekutu. Ya Allah, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami melawan mereka.” Dalam riwayat lain, disebutkan doa ini:

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu demi janji dan perjanjian-Mu. Ya Allah, jika Engkau berkehendak, Engkau tidak disembah (maksudnya jika umat Islam dikalahkan, maka tidak akan ada yang menyembah Allah).”

Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan bahwa mereka berkata, “Wahai Rasulullah, hati kami telah naik ke tenggorokan (maksudnya, kami sangat ketakutan). Keadaan kami sangat buruk. Apakah ada kata-kata yang bisa kami ucapkan atau doa yang bisa kami panjatkan? Ajarkanlah kami doa.” Nabi SAW menjawab, “Ya, ucapkanlah:

(Ya Allah, tutupilah aib kami dan hilangkanlah ketakutan kami).” Hadhrat Mushlih Mau’ud ra juga menjelaskan:

Beberapa orang muslim datang kepada Rasulullah SAW dengan cemas dan berkata, “Wahai Rasulullah, keadaan telah menjadi sangat berbahaya. Sekarang tampaknya tidak ada harapan bagi Madinah untuk selamat. Mohon berdoalah kepada Allah Ta’ala secara khusus saat ini dan ajarkanlah kami doa yang dengan membacanya karunia Allah Ta’ala akan turun kepada kami.” Beliau menjawab, “Janganlah kalian cemas. Berdoalah kepada Allah Ta’ala agar Dia menutupi kelemahan kalian, menguatkan hati kalian, dan menghilangkan kecemasan kalian.” Kemudian beliau sendiri berdoa:

Ya Allah, Yang menurunkan Kitab, Yang cepat perhitungan-Nya, kalahkanlah pasukan sekutu. Ya Allah, kalahkanlah mereka dan goncangkanlah mereka.

Kemudian,

“Wahai Yang Mendengar doa orang-orang yang menderita, Wahai Yang Menjawab seruan orang-orang yang dalam kesusahan, hilangkanlah kesedihan, kekhawatiran, dan kecemasanku karena Engkau mengetahui musibah-musibah yang menimpa aku dan para sahabatku.”

Sejarah mencatat bahwa perang telah mencapai puncaknya, dan Quraisy Mekah serta sekutu-sekutu mereka telah lelah dengan pengepungan yang panjang. Mereka ingin segera memberikan pukulan terakhir untuk mengakhiri umat Islam. Dari sudut pandang perang, umat Islam telah terkepung dari segala arah dan sekutu musuh yakni Banu Quraizha berada di dalam Madinah – semua hal ini cukup untuk meningkatkan harapan dan semangat orang-orang kafir. Mereka ingin menyerang bersama-sama dan menghancurkan Madinah.

Sementara para pemimpin kafir merencanakan siasat mereka, rencana Allah Ta’ala berbeda. Seperti pepatah (persia) mengatakan,

“Manusia berencana, Tuhan menentukan.” Allah Ta’ala pun lantas memulai pertolongan gaib-Nya.

Dalam menjelaskan rincian ini, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menulis dalam “Sirat Khatamun-Nabiyyin”:

Seorang bernama Nu’aim bin Mas’ud dari cabang suku Asyja’ dari suku Ghatafan, yang berperang melawan umat Islam, tiba di Madinah. Orang ini telah menjadi Muslim dalam hatinya, tetapi kaum kafir belum mengetahui tentang keislamannya. Memanfaatkan situasi ini, dia dengan sangat cerdik mengambil tindakan yang menyebabkan perpecahan di antara kaum kafir.

Pertama-tama, Nuaim bin Masud pergi ke suku Banu Quraiza. Karena dia memiliki hubungan lama dengan mereka, dia bertemu dengan para pemimpin mereka dan berkata, “Menurut saya, kalian tidak melakukan hal yang benar dengan mengingkari perjanjian dengan Muhammad SAW dan bergabung dengan Quraisy dan Ghatafan. Quraisy dan Ghatafan hanyalah tamu di Madinah untuk beberapa hari, tapi kalian harus tetap tinggal di sini karena ini adalah tanah air kalian dan kalian harus berurusan dengan kaum Muslim di sini. Ingatlah bahwa Quraisy dan yang lainnya tidak akan memikirkan kalian saat mereka pergi, dan mereka akan meninggalkan kalian begitu saja di bawah belas kasihan kaum Muslim. Jadi, setidaknya lakukan ini: mintalah Quraisy dan Ghatafan untuk memberikan beberapa orang mereka sebagai jaminan/sandera untuk kalian sehingga kalian bisa merasa yakin bahwa tidak akan ada pengkhianatan terhadap kalian.”

Para pemimpin Banu Quraiza memahami perkataan Nuaim dan setuju untuk meminta sandera dari Quraisy untuk menghindari masalah di kemudian hari. Setelah itu, Nuaim bin Mas’ud pergi ke para pemimpin Quraisy dan berkata, “Banu Quraiza khawatir mereka akan menghadapi masalah setelah kalian pergi, jadi mereka goyah dalam aliansi/persekutuan ini dengan kalian. Mereka berencana untuk meminta beberapa sandera dari kalian sebagai jaminan, tapi jangan sekali-kali memberikan sandera kepada mereka. Bisa jadi mereka akan mengkhianati kalian dan menyerahkan sandera kalian kepada kaum Muslim,” dan sebagainya. Dengan cara yang sama, dia pergi ke sukunya, Ghatafan, dan mengatakan hal-hal serupa kepada mereka.

Sekarang, atas kehendak Allah, kebetulan Quraisy dan Ghatafan sudah merencanakan untuk melancarkan serangan bersatu lainnya terhadap kaum Muslim. Mereka berencana untuk menyerang dari semua sisi kota pada waktu yang bersamaan sehingga kaum Muslim, karena jumlah mereka yang sedikit, tidak akan mampu melawan dan garis pertahanan mereka akan runtuh di suatu tempat, memberi jalan bagi para penyerang.

Dengan niat ini, mereka mengirim pesan ke Banu Quraiza, mengatakan bahwa pengepungan telah berlangsung lama dan orang-orang mulai lelah. Mereka mengusulkan agar semua suku bergabung untuk melancarkan serangan bersatu terhadap kaum Muslim keesokan harinya, dan meminta Banu Quraiza untuk bersiap- siap untuk serangan tersebut.

Banu Quraiza, yang telah berbicara dengan Nuaim bin Masud sebelumnya, menjawab bahwa besok adalah hari Sabat mereka, jadi mereka tidak bisa ikut serta. Mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak akan bergabung dalam serangan kecuali Quraisy dan Ghatafan menyerahkan beberapa orang mereka sebagai jaminan bahwa tidak akan ada pengkhianatan terhadap mereka di kemudian hari.

Terkait:   Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Perang Khandaq

Ketika jawaban ini disampaikan kepada Quraisy dan Ghatafan, mereka terkejut dan mengatakan bahwa Nuaim memang benar tentang Banu Quraiza yang berencana untuk mengkhianati mereka. Di sisi lain, ketika Banu Quraiza menerima jawaban dari Quraisy dan Ghatafan bahwa mereka tidak akan memberikan sandera dan Banu Quraiza harus datang membantu tanpa syarat, Banu Quraiza berkata bahwa Nuaim memang memberi mereka nasihat yang benar bahwa niat Quraisy dan Ghatafan tidak baik.

Dengan demikian, berkat strategi cerdik Nuaim, perpecahan dan perselisihan muncul di kubu orang-orang kafir. Kedua pihak menjadi curiga satu sama lain.

Ini adalah strategi yang digunakan oleh Nuaim, tetapi kehebatan Nuaim adalah bahwa dalam melaksanakan misi yang begitu sensitif, dia berusaha keras untuk tidak mengatakan sesuatu yang bisa dianggap sebagai kebohongan yang jelas. Menggunakan taktik, strategi, atau trik untuk melindungi diri dari kejahatan musuh bukanlah hal yang patut dikritik, melainkan bagian penting dari seni perang yang dapat sangat membantu dalam mengalahkan musuh yang zalim dan mencegah pertumpahan darah yang tidak perlu.

Hazrat Musleh Mau’ud r.a. bersabda:

Beberapa hari kemudian, kedua pihak tersebut memutuskan untuk melancarkan serangan mendadak terhadap kaum Muslim pada waktu yang ditentukan. Namun, pada saat itu pertolongan Allah muncul dengan cara yang luar biasa, yang rinciannya adalah sebagai berikut:

Seorang pria bernama Nuaim dari suku Ghatafan adalah seorang yang dalam hatinya Muslim. Dia juga datang bersama orang-orang kafir tetapi menunggu kesempatan untuk membantu kaum Muslim. Apa yang bisa dilakukan satu orang sendirian? Tetapi ketika dia melihat bahwa orang-orang Yahudi juga telah bergabung dengan orang- orang kafir dan tampaknya tidak lagi ada cara untuk melindungi kaum Muslim, maka dia menjadi sangat tergerak oleh keadaan ini sehingga dia memutuskan bahwa bagaimanapun juga dia harus melakukan sesuatu untuk menghilangkan cobaan ini.

Jadi, ketika diputuskan bahwa kedua pihak akan melancarkan serangan bersama pada suatu hari, dia pergi ke Banu Quraiza dan berkata kepada para pemimpin mereka, “Jika pasukan Arab melarikan diri, apa yang akan dilakukan kaum Muslim terhadap kalian? Kalian adalah sekutu kaum Muslim, dan kalian bisa membayangkan hukuman apa yang akan kalian terima sebagai akibat dari melanggar perjanjian yang telah kalian buat.”

Hati mereka menjadi sedikit takut dan mereka bertanya, “Lalu apa yang harus kami lakukan?” Nuaim berkata, “Ketika orang-orang itu Arab meminta kalian untuk melakukan serangan bersama, mintalah kepada orang-orang musyrik untuk mengirimkan tujuh puluh orang mereka sebagai jaminan/sandera. Mereka akan melindungi benteng-benteng kita, dan kita akan menyerang Madinah dari belakang.”

Kemudian dia pergi ke para pemimpin orang-orang musyrik dan berkata kepada mereka, “Orang-orang Yahudi ini adalah penduduk Madinah. Jika pada saat yang kritis mereka mengkhianati kalian, apa yang akan kalian lakukan? Jika mereka meminta sandera dari kalian untuk menyenangkan kaum Muslim dan mendapatkan pengampunan atas kesalahan mereka, dan kemudian menyerahkan orang-orang kalian kepada kaum Muslim, apa yang akan kalian lakukan? Kalian harus menguji mereka untuk melihat apakah mereka tetap setia atau tidak, dan segera ajak mereka untuk secara pasti melakukan serangan bersama.”

Para pemimpin orang kafir, menganggap saran ini benar, mengirim pesan kepada orang-orang Yahudi keesokan harinya bahwa mereka ingin melakukan serangan bersama dan meminta orang-orang Yahudi untuk menyerang besok dengan pasukan mereka. Banu Quraiza menjawab, “Pertama, besok adalah hari Sabat kami, dan kami tidak menyerang pada hari Sabat, jadi kami tidak bisa berperang pada hari itu. Kedua, kami adalah penduduk Madinah dan kalian adalah orang luar. Jika kalian meninggalkan pertempuran dan pergi, apa yang akan terjadi pada kami? Karena itu, berikan kami tujuh puluh orang sebagai sandera. Hanya dengan begitu kami akan bergabung dalam pertempuran.”

Karena hati orang-orang kafir sudah dipenuhi keraguan, mereka menolak untuk memenuhi permintaan ini dan berkata, “Jika persekutuan kalian dengan kami tulus, maka tidak ada alasan untuk permintaan semacam ini.” Kejadian ini mulai menimbulkan keraguan di hati orang-orang Yahudi dan juga di hati orang-orang kafir. Dan sebagaimana biasa, ketika keraguan muncul di hati, maka semangat keberanian juga menjadi hilang.

Kemudian, Allah juga menampakkan takdir-Nya dalam bentuk angin kencang pada suatu malam, yang menyebabkan pasukan sekutu atau berbagai suku musyrik yang menyerang harus melarikan diri. Rinciannya dijelaskan sebagai berikut:

Ibnu Ishaq menceritakan bahwa Allah Taala mengirimkan angin yang sangat kencang pada malam yang sangat dingin, yang membalikkan panci-panci orang kafir dan melemparkan periuk- periuk mereka. Baladuri menulis bahwa kemudian Allah Taala membantu kaum Muslim melawan orang-orang kafir melalui angin. Ini adalah angin pasir yang memenuhi mata mereka, memasukkan kelemahan dan rasa takut ke dalam diri mereka. Orang-orang musyrik mundur dan kembali ke perkemahan mereka, sementara angin terus bertiup ke arah mereka dan para malaikat menutupi mereka, merusak mata mereka, sehingga mereka pun kembali pulang.

Hazrat Mirza Bashir Ahmad menjelaskan rinciannya sebagai berikut:

Mungkin hasil dari upaya damai Naim bin Masud ini akan sia-sia, dan setelah adanya keraguan dan kegoyahan yang sementara, semangat persatuan dan keteguhan akan muncul kembali di antara orang-orang kafir. Namun, atas kehendak Allah, setelah kejadian-kejadian ini, pada malam hari bertiup angin yang sangat kencang yang menimbulkan kekacauan berbahaya di perkemahan luas orang-orang kafir yang berada di tempat terbuka. Tenda-tenda tercabut, tirai-tirai kemah robek dan beterbangan, panci-panci terbalik dan jatuh ke tungku, dan hujan pasir dan kerikil memenuhi telinga, mata, dan hidung orang-orang. Yang paling buruk adalah api-api milik suku mereka, yang sesuai dengan tradisi kuno Arab, mereka jaga dengan sangat hati-hati agar tetap menyala pada malam hari, mulai padam seperti jerami yang beterbangan ke sana kemari. Mereka sangat meyakini bahwa api-api ini tidak boleh padam.

Pemandangan ini memberikan pukulan berat pada hati orang-orang kafir yang percaya takhayul, yang sudah goyah karena lamanya pengepungan yang menyiksa dan karena pengalaman pahit adanya ketidakpercayaan di antara persekutuan mereka. Hasilnya, mereka tidak bisa bersatu seperti semula, dan sebelum waktu fajar, Ufuk Madinah telah bersih dari debu pasukan kafir.

Alhasil, Ketika datang angin kencang, Abu Sufyan memanggil para pemimpin Quraisy di sekitarnya dan berkata, “Kesulitan kita semakin bertambah. Tidak bijaksana untuk tinggal di sini lebih lama. Sebaiknya kita kembali, dan aku akan pergi bagaimanapun juga.” Setelah mengatakan ini, dia memerintahkan orang-orangnya untuk kembali dan naik ke untanya. Namun, dalam kepanikannnya, dia lupa melepaskan ikatan kaki unta itu dan baru menyadarinya ketika unta itu tidak bergerak setelah dia naik.

Saat itu, Ikrimah bin Abu Jahl berdiri di dekat Abu Sufyan dan berkata dengan nada agak pahit, “Abu Sufyan, kau adalah panglima pasukan. Kau adalah pemimpin pasukan dan kau melarikan diri meninggalkan pasukan tanpa memikirkan yang lain.” Abu Sufyan merasa malu, turun dari untanya dan berkata, “Baiklah, aku tidak akan pergi sekarang, tapi bersiaplah dengan cepat dan tinggalkan tempat ini secepat mungkin.” Orang-orang pun mulai bersiap-siap dengan tergesa-gesa, dan setelah beberapa saat, Abu Sufyan naik ke untanya dan berangkat.

Terkait:   Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib (Seri 3) – Manusia-Manusia Istimewa Seri 97

Sampai saat itu, Banu Ghatafan dan suku-suku lainnya tidak mengetahui tentang pelarian Quraisy ini. Tetapi ketika perkemahan Quraisy mulai cepat kosong, yang lain juga mendapat informasi tentang hal itu, yang membuat mereka panik dan mengumumkan keberangkatan mereka. Banu Quraiza juga kembali ke benteng- benteng mereka, dan Huyayy bin Akhtab, pemimpin Banu Nadir, juga pergi ke benteng-benteng mereka.

Dengan demikian, sebelum cahaya fajar muncul, seluruh medan perang telah kosong. Dalam perubahan yang tiba-tiba dan mengejutkan, kaum Muslim sebelumnya yang hampir dikalahkan kemudian menjadi pemenang.

Situasinya berubah drastis dari ancaman akan diduduki oleh orang-orang kafir menjadi kemenangan bagi kaum Muslim. Hazrat Musleh Mau’ud r.a. juga menjelaskan rincian ini, bersabda:

Ketika pasukan kafir, yang dengan membawa keraguan dan kecurigaan, pergi ke tenda mereka untuk beristirahat pada malam hari, Allah membuka jalan lain untuk pertolongan dari langit. Pada malam hari, angin kencang bertiup yang merobek tirai- tirai, menjatuhkan panci-panci dari tungku, dan memadamkan api beberapa suku.

Di antara orang-orang musyrik Arab, ada kebiasaan untuk menjaga api tetap menyala sepanjang malam dan mereka menganggap ini sebagai pertanda baik. Suku yang apinya padam akan menganggap hari itu sebagai hari sial bagi mereka dan mereka akan mengangkat tenda mereka dan mundur dari medan perang. Sesuai dengan kebiasaan ini, suku-suku yang apinya padam mengangkat tenda mereka dan mulai mundur, bermaksud untuk menunggu satu hari sebelum bergabung kembali dengan pasukan.

Namun, karena perselisihan pada siang hari, keraguan telah muncul di hati para pemimpin pasukan. Ketika suku-suku di sekitar melihat beberapa suku mundur, mereka mengira bahwa mungkin orang-orang Yahudi telah bergabung dengan kaum Muslim dan melancarkan serangan malam, dan suku-suku di sekitar mereka sedang melarikan diri. Akibatnya, mereka juga mulai dengan cepat mengemas perkemahan mereka dan mulai melarikan diri dari medan perang.

Abu Sufyan sedang berbaring dengan nyaman di tendanya ketika dia menerima berita tentang kejadian ini. Dia panik dan naik ke untanya yang masih terikat dan mulai menendang-nendangnya. Akhirnya, teman-temannya mengingatkannya tentang kebodohan yang dia lakukan. Setelah itu, tali-tali unta dilepaskan dan dia juga melarikan diri dari medan perang bersama para pengikutnya.

Ketika keadaan orang-orang kafir menjadi seperti ini, Rasulullah SAW mengirim Hudzaifah bin Yaman untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan orang-orang musyrik. Rinciannya dijelaskan dalam Sirat Khatam-un-Nabiyyin sebagai berikut:

Pada malam yang sama ketika orang-orang kafir melarikan diri dari medan perang, Nabi SAW memanggil para sahabat di sekitar beliau dan bertanya, “Adakah di antara kalian yang bersedia pergi dan mencari tahu keadaan pasukan musuh?” Namun, para sahabat melaporkan bahwa pada saat itu udara sangat dingin, dan mereka berada dalam keadaan ketakutan, kelelahan, dan kelaparan sehingga tidak ada seorang pun yang merasa memiliki kekuatan untuk menjawab atau bergerak dari tempatnya.

Akhirnya, Nabi SAW memanggil Hudzaifah bin Yaman dengan menyebut namanya. Hudzaifah bangkit dengan menggigil kedinginan dan berdiri di hadapan Nabi SAW. Beliau dengan penuh kasih sayang mengusap kepala Hudzaifah, mendoakannya, dan bersabda, “Janganlah takut sama sekali dan tetaplah tenang. Insya Allah, tidak ada bahaya yang akan menimpamu. Pergilah diam-diam ke perkemahan orang-orang kafir, jangan mengganggu siapa pun, dan jangan biarkan dirimu terlihat.”

Hudzaifah berkata, “Ketika saya berangkat, saya menyadari bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kedinginan di tubuh saya.”

Hudzaifah melanjutkan: “Tadinya saya sangat menggigil kedinginan, namun sekarang saya tidak merasakan dingin sama sekali. Bahkan, saya merasa seolah-olah saya sedang berjalan melalui pemandian air hangat, dan semua kecemasan saya hilang. Saat itu, kegelapan malam sepenuhnya menguasai. Saya masuk ke perkemahan orang- orang kafir dengan berani namun diam-diam.

Saat itu, saya melihat Abu Sufyan berdiri di suatu tempat tengah menghangatkan diri di dekat api. Melihatnya, saya segera menyiapkan panah saya dan hampir melepaskannya, tetapi kemudian saya teringat perintah Nabi SAW dan menahan diri. Jika saya melepaskan panah saat itu, Abu Sufyan sudah begitu dekatnya sehingga dia pasti tidak akan selamat. Saat itu, Abu Sufyan sedang memerintahkan orang-orangnya untuk mundur, dan kemudian dia naik ke unta di depan saya, tetapi karena kepanikan, dia bahkan lupa untuk melepaskan tali kaki untanya. Setelah itu, saya kembali.

Ketika saya tiba di perkemahan kami, Nabi SAW sedang melakukan shalat. Saya menunggu sampai beliau selesai, kemudian melaporkan seluruh kejadian kepada beliau. Mendengar ini, beliau bersyukur kepada Allah dan berkata, ‘Ini bukan hasil dari usaha atau kekuatan kita sendiri.'”

“Ini semata-mata karena karunia Allah Ta’ala yang telah memukul mundur pasukan sekutu dengan kekuatan-Nya.” Setelah itu, berita tentang pelarian orang-orang kafir segera menyebar ke seluruh perkemahan Muslim.

Hazrat Muslih Mau’ud juga menerangkan kejadian ini sebagai berikut:

Pada sepertiga terakhir malam, medan perang yang sebelumnya ditempati oleh sekitar 25.000 tentara kafir menjadi kosong seperti belantara yang terbengkalai. Pada saat itu, Allah Ta’ala memberitahu Rasulullah SAW melalui wahyu, yakni Kami telah menjadikan musuh-musuh engkau melarikan diri.

Karena Allah Ta’ala telah memberitahu beliau, maka beliau bertanya kepada para sahabat siapa yang bersedia pergi. Beliau ingin mengirim seseorang untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dan menyeru kepada para sahabat yang duduk di sekitar beliau. Saat Itu adalah musim dingin dan kaum Muslim tidak memiliki pakaian yang cukup. Lidah mereka bahkan membeku karena dingin dan mereka tidak bisa berbicara. Beberapa sahabat mengatakan bahwa mereka mendengar panggilan Rasulullah SAW dan ingin menjawab, tetapi tidak bisa berbicara.

Hanya ada satu orang yakni Hudzaifah yang berkata, “Ya Wahai Rasulullah, apa yang Anda inginkan?” Rasulullah SAW bersabda, “Bukan kamu, aku ingin orang lain.” Kemudian beliau saw. bertanya lagi, “Apakah ada yang bersedia?” Tetapi karena dingin yang sangat menusuk, bahkan mereka yang terjaga tidak bisa menjawab. Hudzaifah sekali lagi berkata, “Saya di sini, ya Rasulullah.”

Akhirnya, beliau mengirim Hudzaifah dengan bersabda, “Allah Ta’ala telah memberitahuku bahwa Dia telah mengusir musuh kalian. Pergi dan lihatlah bagaimana keadaan musuh.” Hudzaifah pergi ke parit dan melihat bahwa medan perang benar-benar kosong dari tentara musuh. Hz. Huzaifah kembali, dan sambil mengucapkan kalimat syahadat, beliau membenarkan kerasulan Rasulullah SAW dan memberitahu bahwa musuh telah melarikan diri meninggalkan medan perang.

Sisa rinciannya akan saya jelaskan di masa mendatang, insya Allah.

Seperti yang Anda ketahui, keadaan dunia semakin memburuk dari hari ke hari dan menuju kehancuran. Amerika dan kekuatan-kekuatan besar lainnya tidak ingin

bertindak dengan adil. Perang terus meluas. Semoga Allah Ta’ala melindungi para Ahmadi dan orang-orang tak bersalah dari dampak mengerikan dan buruknya.

Untuk itu, kita harus meningkatkan hubungan kita dengan Allah Ta’ala dan memberikan perhatian yang lebih besar pada doa-doa. Setiap Ahmadi harus memperhatikan hal ini. Keadaan para Ahmadi di Pakistan semakin sangat memburuk. Berdoalah juga untuk mereka. Berdoalah juga untuk keadaan para Ahmadi di Bangladesh. Mereka juga menghadapi kesulitan-kesulitan besar. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada semua.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.