Peristiwa-peristiwa Setelah Pertempuran Khaibar

Khotbah jumat 28 februari

Peristiwa-peristiwa Setelah Pertempuran Khaibar

Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 28 Februari 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾

Sedang dibahas mengenai teladan Rasulullah saw. dalam perang, khususnya di Perang Khaibar. Setelah Perang Khaibar, orang-orang Yahudi berencana buruk untuk membunuh Rasulullah saw. dengan berusaha memberi beliau saw. daging kambing beracun. Rinciannya adalah sebagai berikut:

Ketika Khaibar telah ditaklukkan dan perjanjian telah dibuat dengan penduduk Khaibar, mereka yang telah mengalami kekalahan telak, sekali lagi menerima rahmat dan kasih sayang Rasulullah saw. sedemikian rupa sehingga beliau saw. tidak hanya memaafkan mereka tetapi juga mengizinkan mereka untuk tetap tinggal di Khaibar.

Setelah orang-orang merasa tenang, suatu hari Zainab binti Harits, istri Sallam bin Misykam yang merupakan panglima pasukan Yahudi Khaibar, menyuguhkan daging kambing panggang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Saya membawakan hadiah untuk Anda.” Di beberapa tempat juga disebutkan bahwa dalam rencana buruk ini bukan hanya wanita ini sendiri yang terlibat, tetapi juga beberapa orang Yahudi lainnya. Atas perintah Rasulullah saw., hadiah itu dibawa dan diletakkan di hadapan beliau saw.. Di sana juga hadir beberapa sahabat, di antaranya Hazrat Bisyr bin Bara’ r.a.. Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, “Mendekatlah.” Setelah itu, beliau saw. mengambil daging bagian paha dan mengambil sedikit potongan darinya. Orang-orang lain juga mengambilnya. Rasulullah sallallahu saw. bersabda, “Tahanlah tangan kalian, karena daging paha ini memberitahuku bahwa ia beracun.”

Hazrat Bisyr bin Bara’ r.a. yang hadir di sana berkata, “Demi Zat yang telah menganugerahkan kemuliaan dan keagungan kepada Anda. Saya merasakan sesuatu pada suapan yang saya makan, namun saya tidak memuntahkannya hanya karena tidak ingin merusak makanan Anda, wahai Rasulullah saw.. Kemudian, ketika Anda memuntahkan suapan itu, saya lebih memikirkan Anda daripada diri saya sendiri, dan saya merasa senang bahwa Anda tidak menelannya.” Hazrat Bisyr r.a. belum beranjak dari tempatnya ketika warna kulitnya mulai berubah dan beliau menjadi sangat sakit hingga tidak bisa membalikkan badannya sendiri. Akhirnya, beliau wafat sekitar satu tahun kemudian. Namun, menurut sebagian riwayat, Hazrat Bisyr bin Bara’ r.a. bahkan tidak sempat beranjak dari tempatnya dan langsung wafat. Ada dua riwayat mengenai hal ini.

Rasulullah saw. memanggil wanita itu dan bertanya, “Apakah kamu meracuni daging kambing ini?” Wanita itu bertanya, “Siapa yang memberitahu Anda?” Beliau saw. menjawab, “Daging yang ada di tanganku ini memberitahuku.” Wanita itu mengaku, “Ya, saya meracuninya.” Beliau saw. bertanya, “Siapa yang menyuruhmu melakukan ini?” Ia menjawab, “Anda tahu apa yang telah Anda lakukan terhadap kaumku. Aku berpikir, jika Anda seorang raja, kami akan terbebas dari Anda, dan jika Anda seorang nabi, Anda akan diberitahu.” Rasulullah saw. memaafkan wanita itu dan tidak menghukumnya. Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah saw. bertanya kepadanya, “Apa yang mendorongmu melakukan ini?” Ia menjawab, “Anda telah membunuh ayahku, pamanku, suamiku, dan saudaraku.”

Menurut satu riwayat, ketika Hazrat Bisyr bin Bara’ r.a. wafat, Rasulullah saw. memerintahkan agar wanita itu dibunuh, maka ia pun dibunuh. Ini juga merupakan salah satu riwayat. Dalam Ṣaḥīḥ Muslim diriwayatkan bahwa wanita itu tidak dibunuh. Diriwayatkan dari Hazrat Anas r.a. bahwa seorang wanita Yahudi membawa daging kambing yang telah diracuni kepada Rasulullah saw.. Beliau saw. memakan sedikit darinya, kemudian wanita itu dibawa ke hadapan beliau saw.. Beliau saw. menanyainya tentang hal itu. Wanita itu berkata, “Saya bermaksud membunuh Anda.” Beliau saw. bersabda, “Allah tidak akan memberimu kekuatan untuk melakukannya” atau beliau saw. bersabda, “Allah tidak akan memberimu kekuatan atasku untuk melakukannya.” Perawi berkata, orang-orang bertanya, “Haruskah kami membunuh wanita yang berniat melakukan ini?” Beliau saw. menjawab, “Tidak.” Perawi berkata, “Saya masih bisa merasakan efeknya di tenggorokan Rasulullah saw..”

Allamah Nawawi telah menulis dalam syarah Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim bahwa menurut riwayat dari Hazrat Jabir r.a., Rasulullah saw. memerintahkan agar wanita itu dibunuh. Menurut riwayat dari Hazrat Ibnu Abbas r.a., Rasulullah saw. menyerahkan wanita itu kepada ahli waris Hazrat Bisyr r.a., yang kemudian membunuhnya. Para ahli hadis juga sepakat bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar wanita itu dibunuh. Menurut Qadi Iyad, riwayat-riwayat tentang pembunuhan dan tidak dibunuhnya wanita itu dapat dipadukan dengan cara berikut. Pada awalnya Rasulullah saw. tidak membunuhnya, namun ketika Hazrat Bisyr r.a. wafat, Rasulullah saw. menyerahkan wanita itu kepada ahli waris Hazrat Bisyr r.a. yang kemudian membunuhnya sebagai qisas. Namun kemungkinan besar wanita itu dimaafkan, sebagaimana yang jelas terbukti dari hadis Muslim, dan ini juga merupakan pendapat Hazrat Muslih Mau’ud r.a..

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menerangkan bahwa seorang wanita Yahudi bertanya kepada para sahabat bagian daging hewan mana yang paling disukai oleh Rasulullah saw.. Para sahabat memberitahunya bahwa beliau saw. paling menyukai daging bahu. Mendengar itu, wanita tersebut menyembelih seekor kambing dan memanggang dagingnya di atas batu, lalu mencampurkan racun ke dalamnya. Khususnya pada bagian lengan yang telah diberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah saw. paling menyukai daging dari bagian itu. Setelah matahari terbenam, ketika Rasulullah saw. kembali ke kemahnya seusai menunaikan salat Magrib, beliau saw. melihat seorang wanita duduk di dekat kemahnya. Beliau saw. bertanya kepadanya, “Wahai ibu, apa keperluan Anda di sini?” Wanita itu menjawab, “Wahai Abul Qasim, saya membawakan hadiah untuk Anda.” Rasulullah saw. berkata kepada salah seorang sahabat, “Ambillah apa yang ia berikan.” Kemudian ketika beliau saw. duduk untuk makan, daging panggang itu juga disajikan.

Rasulullah saw. mengambil satu suapan darinya dan salah seorang sahabat beliau, Basyir bin Al-Bara’ bin Al-Ma’rur, juga mengambil satu suapan. Nama sahabat di sini tampaknya seharusnya Bisyr, bukan Basyir. Saat itu, ketika para sahabat lainnya hendak mengulurkan tangan untuk memakan daging tersebut, beliau saw. bersabda, “Jangan makan, karena tangan ini telah memberitahuku bahwa daging ini mengandung racun.” Ini tidak berarti bahwa beliau saw. menerima ilham mengenai hal ini, melainkan ini adalah ungkapan bahasa Arab yang artinya bahwa dengan mencicipi daging tersebut, beliau saw. mengetahui bahwa daging itu mengandung racun. Demikian pula dalam Al-Qur’an, ketika menceritakan peristiwa pada masa Nabi Musa a.s., disebutkan tentang sebuah dinding yang hendak roboh, yang sebenarnya hanya berarti bahwa tanda-tanda keruntuhan sudah tampak padanya. Jadi, di sini pun yang dimaksud bukanlah bahwa beliau saw. mengatakan tangan itu berbicara, melainkan bahwa beliau saw. mengetahui setelah mencicipi dagingnya.

Oleh karena itu, paragraf berikutnya menjelaskan makna ini.

Atas hal ini Hazrat Bisyr r.a. berkata, “Demi Allah yang telah memuliakan Anda, saya bersumpah bahwa saya juga merasakan sesuatu yang aneh dalam suapan itu. Hati saya ingin memuntahkannya, tetapi saya berpikir jika saya melakukannya, mungkin itu akan menyinggung perasaan Anda dan merusak makanan Anda. Dan ketika Anda menelan suapan itu, saya pun menelannya mengikuti Anda.” Meskipun hatinya berkata, “Karena saya curiga ada racun di dalamnya, seandainya saja Rasulullah saw. tidak menelan suapan ini.” Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menyebutkan tentang menelan, tetapi dalam riwayat-riwayat lain disebutkan bahwa beliau saw. tidak menelannya melainkan mengeluarkannya.

Bagaimanapun, setelah itu Hazrat Muslih Mau’ud r.a.. menyatakan bahwa setelah beberapa saat, kondisi Hazrat Bisyr r.a. memburuk. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beliau meninggal di sana, di Khaibar, sementara dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau sakit untuk beberapa waktu setelah itu dan kemudian meninggal. Atas hal ini, Rasulullah saw. memerintahkan agar sebagian daging itu diberikan kepada seekor anjing, yang kemudian mati setelah memakannya. Kemudian Rasulullah saw. memanggil wanita itu dan bersabda, “Engkau telah mencampurkan racun ke dalam daging kambing ini.” Wanita itu bertanya, “Siapa yang memberitahu Anda tentang hal ini?” Saat itu, di tangan beliau ada tulang rusuk kambing, lalu beliau saw. bersabda, “Tangan ini yang memberitahuku.” Mendengar ini, wanita itu menyadari bahwa rahasianya telah terungkap dan ia mengakui bahwa ia telah mencampurkan racun. Kemudian beliau saw. bertanya kepadanya, “Apa yang mendorongmu melakukan perbuatan yang tidak disukai ini?”

Ia menjawab, “Kaumku telah berperang melawan Anda dan kerabatku terbunuh dalam pertempuran itu. Terlintas dalam pikiranku untuk meracuni Anda. Jika pekerjaan Anda adalah pekerjaan manusia biasa, maka kami akan terbebas dari Anda. Namun jika Anda benar-benar seorang nabi, maka Allah Taala sendiri yang akan melindungi Anda.” Setelah mendengar perkataannya ini, Rasulullah saw. memaafkannya dan tidak memberikan hukuman yang seharusnya adalah hukuman mati. Ini adalah pendapat Hazrat Muslih Mau’ud a.s..

Juga dikatakan bahwa wafatnya Nabi Muhammad saw. adalah disebabkan oleh racun ini. Apakah ini benar? Dalam Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī, Hazrat Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda dalam sakit beliau menjelang wafat: “Wahai Aisyah, aku selalu merasakan sakit dari makanan yang dimakan di Khaibar, dan sekarang pun aku merasakan pembuluh darahku perih karena racun itu.”

Terkait:   Hadhrat Masih Mau’ud a.s. : Kedudukan dan Kemuliaan Al-Qur’an

Dengan mengacu pada hadis ini, beberapa ahli tafsir dan ahli hadis Muslim menyimpulkan bahwa wafatnya Nabi Muhammad saw. seolah-olah disebabkan oleh daging beracun yang beliau saw. makan pada peristiwa Khaibar, dan karena alasan ini, wafat beliau disebut sebagai syahid dan dikatakan bahwa Rasulullah saw. adalah syahid yang paling mulia. Padahal, tidak perlu ada penafsiran berlebihan seperti itu untuk Rasulullah saw.. Seorang nabi telah memiliki kedudukan dan derajat istimewa yaitu adalah syahid dan juga shiddiq. Bahkan, jika diperhatikan dengan saksama, mengatakan hal seperti itu sama saja dengan memberi kesempatan kepada musuh untuk menertawakan. Orang-orang Yahudi memberikan racun itu dengan maksud bahwa jika beliau saw. benar-benar nabi Allah yang sejati, maka beliau saw. akan selamat dari racun itu. Dan karena Rasulullah saw. selamat, mereka menyadari bahwa beliau saw. memang benar-benar nabi Allah yang sejati, dan di pandangan mereka hal ini merupakan mukjizat. Namun, ada beberapa orang yang bodoh yang bersedia menerima bahwa wafatnya beliau saw. adalah disebabkan oleh racun tersebut.

Kenyataannya adalah bahwa wafatnya Rasulullah saw. sama sekali tidaklah disebabkan oleh racun tersebut. Ini hanyalah ungkapan rasa sakit beliau saw., dan siapa pun mengetahui bahwa terkadang rasa sakit, luka, atau penyakit dapat muncul kembali pada kesempatan atau musim tertentu karena sebab tertentu. Jika kita melihat rinciannya, kita juga menemukan bahwa daging yang mengandung racun itu masuk ke dalam mulut Rasulullah saw., tetapi beliau saw. tidak menelannya, dan karena masuk ke dalam mulut, tenggorokan atau langit-langit mulut beliau terluka, dan terkadang beliau saw. merasakan sakit saat beliau saw. makan, dan mungkin beliau saw. mengungkapkan rasa sakit tersebut selama sakit terakhir beliau.

Terkait dengan Perang Khaibar, ada tertera juga tentang pernikahan dengan Hazrat Safiyyah r.a.. Dalam rinciannya tertulis bahwa ketika Benteng Nizar di Khaibar ditaklukkan, banyak tawanan yang juga tertangkap. Di antara para tawanan itu ada Hazrat Safiyyah r.a., sepupu perempuannya, dan wanita-wanita lainnya.

Dalam beberapa buku, nama Benteng Nizar berganti dengan nama Benteng Qamus. Menurut riwayat dari Hazrat Safiyyah r.a., Rasulullah saw. telah menjadikannya tawanan di benteng Nizar sebelum mencapai benteng-benteng Katibah. Menurut pendapat Kinanah, Benteng Nizar lebih kuat, sehingga mereka memindahkan para wanita dan anak-anak ke Benteng Nizar. Rincian tentang bagaimana Hazrat Safiyyah r.a. menjadi bagian Rasulullah saw. dan tentang pernikahan dengan Rasulullah saw. adalah sebagai berikut.

Ketika para tawanan dikumpulkan di Khaibar, Hazrat Dihyah r.a. datang dan berkata, “Wahai Rasulullah saw., berikanlah saya seorang perempuan dari para tawanan ini.” Beliau saw. bersabda, “Pergilah dan silahkan ambil seorang.” Beliau mengambil putri Huyayy bin Akhtab yakni Safiyah. Kemudian seorang sahabat datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Nabi Allah, Anda telah memberikan putri Huyayy yang merupakan putri Bani Quraizah dan Bani Nadhir. Ia hanya layak untuk Anda, tidak untuk siapa pun selain Anda.”

Beliau saw. bersabda, “Panggil ia bersama dengannya.” Ia membawanya. Ketika Rasulullah saw. melihatnya, beliau saw. bersabda, “Ambillah perempuan lain selainnya dari para tawanan ini.” Hazrat Anas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. membebaskan Hazrat Safiyyah r.a.. Dalam riwayat Musnad Ahmad bin Hanbal tertera bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada Hazrat Safiyyah r.a., “Aku membebaskanmu. Jika kamu mau, menikahlah denganku, dan jika kamu mau, kembalilah ke kaummu. Terserah keinginan hatimu.” Maka ia memilih kebebasan dan menikah dengan Rasulullah saw.. Menurut riwayat lain, beliau saw. mengajaknya untuk memeluk Islam, maka ia pun menerima Islam. Ketika Rasulullah saw. bersabda kepada Hazrat Dihyah r.a. untuk mengambil hamba sahaya perempuan lain, menurut satu riwayat, beliau saw. memberikan kepadanya sepupu perempuan Hazrat Safiyyah r.a. atau saudara perempuan Kinanah bin Rabi’.

Menurut beberapa riwayat, Rasulullah saw. memberikan tujuh hamba sahaya laki-laki atau perempuan kepada Hazrat Dihyah r.a. dan mengirim Hz. Safiyyah r.a. kepada Hazrat Ummu Salamah r.a.. Setelah menyelesaikan semua urusan di Khaibar, Rasulullah saw. berangkat dari Khaibar dan bermaksud berkemah sekitar enam mil jauhnya agar dapat mengadakan pernikahan dengan Hazrat Safiyyah r.a.. Namun, atas permintaan Hazrat Safiyyah r.a., beliau saw. melanjutkan perjalanan dan berkemah di tempat bernama Sahba’, sekitar dua belas mil dari Khaibar. Hazrat Ummu Sulaim r.a. mempersiapkan pengantin wanita. Rasulullah saw. bertanya kepada Hazrat Safiyyah r.a. mengapa beliau melarang berhenti di tempat pertama. Jawabannya menunjukkan betapa akhlak mulia Rasulullah saw. telah membersihkan hati Hazrat Safiyyah r.a..

Putri seorang pemimpin Yahudi, yang juga istri seorang pemimpin Yahudi lainnya; ayahnya dibunuh oleh tangan kaum Muslimin setelah Perang Khandaq; suaminya, yang baru dua bulan menikah dengannya, juga terbunuh beberapa hari sebelumnya; pamannya juga terbunuh, begitu pula kerabat dekat lainnya, dan ia sendiri menuturkan, “Di hatiku ada kebencian yang mendalam terhadap engkau. Namun ketika pertama kali aku bertemu Rasulullah saw., beliau saw. menyambutku dengan penuh kasih sayang dan berulang kali meminta maaf kepadaku, ‘Wahai Safiyyah, ayahmu telah menghasut seluruh Arab untuk melawan kami, dan ia telah melakukan ini dan itu, sehingga akhirnya kami terpaksa pergi ke Khaibar untuk membela diri dan menghadapi rencana buruknya.'”

Hz. Safiyyah r.a. menuturkan, “Rasulullah saw. mengulang-ulang perkataan ini dengan begitu sering dan penuh kasih sayang sehingga hatiku menjadi benar-benar bersih terhadap beliau saw.. Ketika aku bangkit dari pertemuan pertama itu, saat itu tidak ada seorang pun yang lebih kucintai daripada Rasulullah saw..”

Ketika perjalanan pulang dari Khaibar dimulai, perlakuan baik Rasulullah saw. kepada Hz. Safiyah r.a. begitu luar biasa. Saat akan berangkat untuk perjalanan, beliau saw. melipat selendang beliau dan meletakkannya di atas kendaraan agar Hz. Safiyyah r.a. bisa duduk di atasnya. Kemudian beliau saw. meletakkan lutut beliau, lalu Hz. Safiyyah r.a. meletakkan kaki di atas lutut beliau saw. untuk naik ke atas unta.

Di sepanjang perjalanan, ketika Hz. Safiyyah mulai mengantuk dan kepalanya hampir membentur tandu, Rasulullah saw. menahan kepala Hz. Safiyyah r.a. dengan tangan beberkat beliau seraya bersabda, “Hati-hati, jangan sampai terluka.” Hal ini adalah karena Hz. Safiyyah r.a. kini termasuk dalam Ummāhatul Mu’minīn, maka dalam perjalanan pulang dari Khaibar, Rasulullah saw. mendudukkannya di atas unta di belakang beliau saw. dan menutupinya dengan selendang sebagai pardah/hijab; hal ini menunjukkan bahwa Hz. Saffiyah r.a. bukanlah hamba sahaya melainkan istri beliau saw..

Bagaimanapun, alasan mengapa beliau saw. tidak berhenti setelah enam mil dijelaskan sebagai berikut. Berkat akhlak mulia Rasulullah saw., tidak ada seorang pun di seluruh dunia yang lebih dicintai oleh Hz. Safiyyah r.a. selain beliau saw.. Maka Hz. Safiyyah r.a. berkata kepada Rasulullah saw., “Anda ingin berkemah sangat dekat dengan Khaibar, namun saya khawatir tentang kaum saya, kalau-kalau mereka mencoba mencelakai Anda. Karena itu, saya ingin Anda berkemah sedikit lebih jauh dari Khaibar.”

Para sahabat mengetahui tentang rencana buruk dan niat jahat orang-orang Yahudi, dan baru beberapa hari yang lalu terjadi upaya pembunuhan terhadap Rasulullah saw. melalui makanan beracun yang disiapkan oleh seorang wanita bernama Zainab yang berasal dari Khaibar. Oleh karena itu, para sahabat, yang rela berkorban untuk beliau saw., tidak ingin lengah sedetik pun dari menjaga beliau saw..

Ada peristiwa tentang Abu Ayyub yang berjaga pada malam hari dan menunjukkan sikap kepolosan dan kecintaan saat pernikahan terjadi. Kejadiannya adalah sebagai berikut: Setelah malam berlalu, ketika Rasulullah saw. keluar dari tendanya di pagi hari, beliau saw. melihat Hz. Abu Ayyub Ansari r.a. berdiri tegak di luar tenda beliau dengan pedang di tangan  dan sikap siap siaga.

Beliau saw. bertanya apa yang terjadi, maka Hz. Abu Ayyub r.a. menjawab, “Wahai Rasulullah saw., saya khawatir terhadap wanita Yahudi yang baru masuk Islam ini,” yaitu Hz. Safiyah r.a., “karena ayahnya, suaminya, dan orang-orang dari kaumnya telah terbunuh, dan ia baru saja masuk Islam. Saya takut ia akan mencelakai Anda. Oleh karena itu, saya terus berjaga-jaga di luar sepanjang malam dengan pedang di tangan.” Sebagai jawaban atas kecintaan yang tulus dari Hz. Ayyub r.a. ini, Rasulullah saw. mendoakannya seraya bersabda, “Ya Allah, lindungilah Abu Ayyub sebagaimana ia telah menjaga dan melindungiku sepanjang malam.” Nama beliau saw. adalah Khalid bin Zaid. Beliau adalah sahabat yang mendapat karunia menjadi tuan rumah bagi Nabi Muhammad saw. selama beberapa bulan pada saat beliau hijrah ke Madinah. Beliau wafat pada tahun 50 Hijriah di suatu pertempuran dan makam beliau ada di Istanbul.

Alhasil, keesokan harinya, diadakan acara walimah oleh Rasulullah saw.. Walimah ini juga sangat terhormat dan sederhana. Hidangan yang disajikan untuk semua orang adalah hais, yang terbuat dari kurma, keju, dan minyak samin.

Setelah tinggal selama tiga hari, rombongan berangkat dari sana. Pembebasan Safiyah ditetapkan sebagai mahar untuknya. Ada juga disebutkan tentang mimpi Hz. Safiyah r.a., yang kebenarannya menjadi jelas dengan pernikahan ini. Menurut riwayat, ketika Rasulullah saw. melihat bekas luka di dekat mata Hz. Safiyah r.a., beliau saw. bertanya tentang penyebabnya. Hz. Safiyah r.a. menjawab, “Beberapa hari sebelum kedatangan Rasulullah saw. ke Khaibar, atau menurut beberapa riwayat lain selama pengepungan Khaibar, aku bermimpi bahwa bulan datang dari arah Yatsrib dan jatuh ke pangkuanku. Ketika aku menceritakan mimpi ini kepada kakek suamiku, ia lalu menampar wajahku dengan keras dan mengatakan, ‘Apakah kamu bermimpi menikah dengan raja Yasrib itu, yaitu Muhammad saw.?’”

Terkait:   Kisah Sahabat Nabi: Khabbaab bin al-Aratt

Menurut beberapa riwayat, mimpi ini sudah lama terjadi dan ayahnya Huyayy yang menamparnya, tetapi dalam kebanyakan kitab disebutkan bahwa suaminyalah yang menamparnya, dan ini tampak lebih masuk akal. Nama Hz. Safiyah r.a. sebelumnya adalah Zainab, tetapi sebelum pembagian harta ganimah, Rasulullah saw. membawanya dan membebaskannya. Sesuai kebiasaan saat itu, harta yang diperuntukkan bagi pemimpin sebelum pembagian ganimah disebut safiyah atau safa istafa, sehingga nama beliau menjadi terkenal sebagai Safiyah. Hz. Safiyah r.a. wafat pada tahun 50 Hijriah pada masa Amir Mu’awiyah dan dimakamkan di Jannatul Baqi’.

Para orientalis juga mengkritik pernikahan Hz. Safiyah dan sesuai kebiasaan mereka, mengajukan beberapa keberatan yang menunjukkan kebodohan dan kebencian mereka. Misalnya, dalam edisi kesembilan Encyclopaedia Britannica di bawah kata “Muhammadanism” tertulis, yang terjemahannya adalah: “Tindakan terakhir dari pertempuran yang sukses ini adalah pernikahan Muhammad dengan putri raja. Safiyah tidak sedikitpun benci dengan orang itu.” Orientalis ini menulis, “Terhadap orang yang menjadi penyebab terbunuhnya ayahnya yakni Huyayy dan suaminya yakni Kinanah, ia justru mengubah dirinya dengan warna baru. Lebih baik dari itu adalah perilaku seorang wanita Yahudi lain bernama Zainab yang berusaha meracuni pembunuh kaumnya dan akibat kejahatan ini ia hampir kehilangan nyawanya. Usaha ini gagal tetapi dikatakan bahwa Muhammad saw. masih merasakan efek racun itu dalam sakitnya yang terakhir.” Yakni, sambil mengkritik Safiyah, orientalis itu menulis bahwa suami dan ayahnya dibunuh dan seharusnya ia menunjukkan sedikit keberanian dan membalas dendam, tetapi ia lebih mementingkan kepentingannya sendiri dan menikah dengan Muhammad saw.. Sebaliknya, ia memuji wanita Yahudi lain yang memberi racun, dengan mengatakan bahwa setidaknya ia menunjukkan keberanian dan berusaha membunuh Rasulullah saw..

Para penulis ini sudah sangat melampaui batas dalam kebencian dan permusuhan mereka terhadap Islam dan pendiri Islam, Hz. Muhammad Mustafa saw.. Mereka bahkan tidak berpikir sedikit pun bahwa orang yang memiliki akal sehat akan dapat menarik kesimpulan apa dari tulisan-tulisan mereka. Racun kebencian tampak jelas dari tulisan-tulisan mereka. Mereka sama sekali tidak berlaku adil. Orang-orang Yahudi Khaibar mengalami pertempuran hebat melawan Rasulullah saw., kemudian mereka menderita kekalahan yang besar. Bagaimana seharusnya mereka diperlakukan setelah itu? Sesuai dengan aturan perang, baik pada zaman itu maupun di dunia yang beradab saat ini, bahkan jika mereka semua terbunuh dengan pedang, itu akan dibenarkan – baik menurut Alkitab mereka maupun sesuai dengan aturan pada saat itu; semua itu adalah dibenarkan. Namun, para penulis itu tidak menyebutkan sikap pengampunan dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. setelah beliau saw. menguasai orang-orang yang zalim itu, .

Jangankan mereka memuji, tentang Rasulullah saw. yang menerima permintaan damai mereka dan mengampuni mereka semua dengan syarat mereka keluar dari Khaibar, itu pun tidak disebutkan. Kemudian, lebih dari itu, ketika orang-orang Yahudi ini memohon agar diizinkan tinggal di Khaibar dan melanjutkan pertaniannya dengan syarat memberikan setengah hasil panen kepada beliau saw., lalu beliau saw. pun menerima permintaan ini dan sebuah perjanjian damai pun disepakati. Namun, sebelum tinta perjanjian itu kering, mereka berencana jahat dan berusaha meracuni beliau saw. melalui seorang wanita, dan wanita itu pun mengakui kejahatannya sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Orang-orang beradab di dunia beradab saat ini, yang menyebut dirinya terpelajar, menyebut wanita pelanggar perjanjian seperti itu sebagai pahlawan. Sementara itu, mereka mengkritik wanita yang, setelah menemukan kebenaran dan menyaksikan akhlak mulia Rasulullah saw., menerima kebenaran dan memilih untuk tinggal bersama beliau saw. meskipun beliau saw. telah bersabda “Kamu telah bebas”. Artinya, pada saat itu mereka melupakan semua prinsip kemerdekaan manusia dan keadilan. Kemudian, dengan cara yang sama, beberapa pengkritik lain mengajukan keberatan dan menuduh dengan cara yang buruk bahwa ketika Rasulullah saw. mendengar pujian tentang kecantikan Hz. Safiyah r.a., beliau memintanya kembali dari Hz. Dihyah r.a. lalu menikahinya, dan lain sebagainya. Sebenarnya, orang-orang ini mengajukan keberatan ini karena kerendahan akal sehat mereka dan karena tidak memahami peri kehidupan dan sifat sejati Rasulullah saw.. Hati mereka telah dipenuhi dengan kebencian.

Jika orang-orang ini melihat dengan pandangan yang adil dan hati yang bersih, mereka tidak akan memiliki pemikiran seperti itu. Jika kita melihat kehidupan Rasulullah saw. di masa lalu, yang juga disebutkan oleh Al-Qur’an dengan cara yang sangat indah:

فَقَدْ لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمُرًا مِّنْ قَبْلِهٖۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

yakni, “Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu dalam masa yang panjang sebelum ini; tidakkah kamu mempergunakan akal.” (Yunus:17)

Bagaimana Rasulullah saw. menghabiskan masa muda beliau yang penuh semangat di tengah suatu kaum yang di dalamnya pesta minuman keras tidak hanya umum, tetapi juga menjadi suatu kebanggaan. Beliau saw. menghabiskan seluruh masa muda beliau dengan menikahi seorang janda yang terhormat dan mulia, dan menjalani kehidupan bersama seorang istri ini hingga usia beliau sekitar 50 tahun. Para pemimpin Quraisy sendiri telah menawarkan wanita tercantik kepada beliau saw., sebagaimana tertera dalam sejarah, tetapi beliau saw. menolak tawaran mereka.

Masa muda dan tahun-tahun yang telah berlalu itu dalam kehidupan Rasulullah saw. adalah bukti yang jelas bahwa beliau saw,, na’ūżubillah, sama sekali tidak ada keterkaitan dengan kesenangan pernikahan. Pernikahan-pernikahan yang beliau saw. lakukan setelahnya memiliki hikmah untuk menciptakan hubungan perdamaian, belas kasih, dan persaudaraan di antara kaum dan suku yang bermusuhan, serta menciptakan suasana saling percaya. Seperti pernikahan dengan Juwairiyah, putri Harits, pemimpin Bani Musthaliq, lalu pernikahan dengan Ummu Habibah, putri Abu Sufyan dari Quraisy, begitu juga ketika Khaibar ditaklukkan, daripada istri dan putri pemimpin suku tersebut diserahkan sebagai hamba sahaya kepada orang biasa, yang cara ini akan mempermalukan dan menghinakannya, maka Rasulullah saw. yang merupakan raja dunia rohani dan juga pemimpin negara Madinah, beliau saw. pertama-tama memerdekakan Hz. Safiyyah r.a., memuliakan kedudukannya, kemudian menawarkan kepadanya untuk bergabung dengan keluarga beliau saw., sehingga semakin meningkatkan martabat dan kedudukannya. Lalu dengan menikahinya, beliau saw. memberinya kedudukan sehingga ia disebut sebagai ibu seluruh orang beriman. Bahkan bersamaan dengan itu, kehormatan dan martabat suku dan keluarganya pun terangkat, dan tercipta suasana damai dan aman dalam masyarakat.

William Montgomery Watt yang adalah seorang orientalis Skotlandia yang telah memberikan pernyataan sangat keras terhadap Islam dan Rasulullah saw. dalam buku-bukunya. Salah satu bukunya berjudul Muhammad at Medina. Meskipun menaruh kebencian, ia terpaksa menulis tentang pernikahan-pernikahan Rasulullah saw. bahwa pernikahan dengan putri-putri Yahudi, Safiyyah dan Raihanah, mungkin memiliki motif politik. Ia tidak mengatakan bahwa ada ketertarikan pada kecantikan, tetapi mengatakan mungkin ada motif politik. [Ia menulis], “Sejauh menyangkut pernikahan-pernikahannya, yaitu Muhammad saw., atau daftar usulan pernikahan dengan wanita-wanita, tampaknya tujuan utamanya adalah politik.” Setidaknya ia mengakui bahwa tidak ada pandangan yang salah.

Hazrat Khalifatul Masih I r.a., dalam menanggapi keberatan seorang orientalis terkenal bernama William Muir mengenai pernikahan dengan Hazrat Safiyyah r.a., menjelaskan:

“Tuan Muir memang mengajukan keberatan, namun ia tidak mengetahui bahwa di negeri Arab ada kebiasaan untuk menikahi putri atau istri pemimpin negeri yang ditaklukkan demi menciptakan perdamaian dan keamanan di negeri tersebut serta menumbuhkan rasa cinta dengan orang-orang berpengaruh di sana. Seluruh rakyat dan keluarga kerajaan menjadi tenang karena merasa tidak ada lagi kekhawatiran. Oleh karena itu, setelah penaklukan Khaibar, semua orang Yahudi memilih untuk tetap tinggal di sana.

Terkait pernikahan Hazrat Safiyyah r.a., para penulis biografi dan sejarawan kita juga telah bertindak kurang hati-hati dan melakukan kesalahan dengan mengambil riwayat-riwayat tanpa menyaringnya terlebih dahulu, padahal riwayat-riwayat tersebut tidak memiliki dasar yang jelas.

Misalnya, riwayat yang hampir sama ditemukan di hampir setiap buku sejarah dan biografi bahwa Rasulullah saw. pada awalnya menyerahkan Hazrat Safiyyah r.a. kepada Hazrat Dihyah r.a., namun ketika beliau saw. mendengar cerita tentang kecantikannya, beliau saw. kemudian memanggil Hazrat Safiyyah r.a. dan mengkhususkannya untuk diri beliau sendiri. Sebuah riwayat dengan isi serupa juga terdapat dalam Bukhari yang diriwayatkan sebagai berikut. Hazrat Anas r.a. menceritakan, “Ketika kami tiba di Khaibar dan Allah Taala memberikan kemenangan atas benteng tersebut, kecantikan Safiyyah binti Huyay bin Akhtab disebutkan di hadapan beliau saw.. Ia baru saja menjadi pengantin ketika suaminya terbunuh. Artinya, pernikahannya baru berlangsung sebentar. Atas hal ini, Rasulullah saw. memilihnya untuk diri beliau sendiri.” Inilah riwayat yang digunakan sebagai dasar keberatan oleh orang-orang yang berpikiran sakit.

Ahli sejarah dan biografi terkenal, Allamah Shibli Nu’mani, ketika menyebutkan riwayat ini menulis bahwa mengenai Hazrat Safiyyah r.a., dalam beberapa kitab hadis disebutkan kejadian bahwa Rasulullah saw. pada awalnya memberikannya kepada Hazrat Dihyah Kalbi r.a., kemudian seseorang memuji kecantikannya sehingga beliau saw. memintanya kembali dan sebagai gantinya memberikan tujuh budak perempuan kepadanya. Para penentang telah menyampaikan riwayat ini dengan cara yang sangat buruk, dan ketika riwayat aslinya sudah mengandung hal seperti itu, jelas para penentang akan memanfaatkannya lebih jauh lagi. Kenyataannya adalah bahwa kejadian Hazrat Safiyyah r.a. ini diriwayatkan dari Hazrat Anas r.a., namun dari Hazrat Anas r.a. sendiri ada beberapa riwayat yang berbeda-beda. Dari Hazrat Anas r.a. ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa ketika Hazrat Safiyyah r.a. jatuh ke bagian Dihyah, orang-orang menghadap Rasulullah saw. dan menyampaikan bahwa ia adalah seorang wanita terhormat dan berstatus tinggi dari para pemimpin Khaibar, tidak ada yang layak untuknya selain beliau saw.

Terkait:   Riwayat 'Ali bin Abi Thalib (radhiyAllahu ta’ala ‘anhu)

Jadi pertama-tama, jika memang ada riwayat seperti itu yang benar, seperti riwayat Bukhari ini yang menyebutkan bahwa kecantikannya dipuji, mungkin saja salah seorang sahabat yang datang belakangan meriwayatkan hal ini dan menambahkan kata-kata ini dari dirinya sendiri. Pertama, kejadian tersebut diceritakan oleh seorang sahabat, kemudian diberikan tambahan oleh beberapa orang dalam riwayat, karena seorang sahabat tidak mungkin menyampaikan sesuatu tentang kedudukan Rasulullah saw. yang dapat mengisyaratkan kritik sekecil apa pun terhadap kemuliaan beliau saw.. Atau mungkin juga orang-orang dengan sendirinya menyebutkan kecantikan dan keindahan Hz. Safiyah r.a. bersama dengan kualitas-kualitas lainnya serta kedudukan keluarganya, dan perawi hanya menyampaikan apa yang diingatnya dalam kata-kata singkat.

Namun ada satu hal penting dan mendasar yang tidak diperhatikan oleh para penulis sejarah, yaitu bahwa bagi Rasulullah saw. yang memiliki kedudukan dan derajat yang sangat tinggi, kualitas-kualitas dan kesempurnaan yang ada pada seseorang hanyalah bersifat dangkal dan sampingan. Ketika beliau saw. memutuskan untuk menikah, alasan-alasan yang disebutkan bukanlah alasan utama. Alasan utama yang sebenarnya pastilah perintah Ilahi. Setiap gerak dan diam beliau saw. tidak pernah terjadi tanpa kehendak Ilahi, sebagaimana Allah Taala sendiri berfirman:

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Yakni: Katakanlah: “Sesungguhnya ibadah-ibadahku, pengorbanan-pengorbananku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 163)  

Bagaimana mungkin seseorang yang melakukan segala sesuatu hanya demi Allah, dan yang setiap saat dibimbing oleh Tuhan Arasy, dapat membuat keputusan sebesar itu dari diri sendiri? Jadi semua pernikahan ini pasti dilakukan oleh Rasulullah saw. atas perintah Ilahi. Ya, hasilnya mengandung hikmah dan maslahat yang sangat diberkahi.

Hazrat Masih Mau’ud a.s. dalam salah satu kitabnya, Ainah Kamalat-e-Islam, menyatakan bahwa:

“Para sahabat tanpa ragu meyakini bahwa tidak ada perbuatan atau perkataan Rasulullah saw. yang terlepas dari pengaruh wahyu, baik wahyu itu bersifat secara garis beras atau terperinci, tersembunyi atau jelas, terang atau samar. Bahkan segala urusan dan pembicaraan pribadi Rasulullah saw. dengan para istrinya yang bersifat pribadi dan tersembunyi, atau segala hal terkait makan, minum, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari dalam rumah tangga, semuanya dimasukkan ke dalam hadis dengan anggapan bahwa semua perbuatan dan perkataan tersebut berasal dari pencerahan Rohulkudus. Sebagaimana terdapat dalam riwayat Abu Dawud dan lainnya, dan Imam Ahmad juga meriwayatkan melalui beberapa perantara dari Abdullah bin Umar bahwa Abdullah berkata: “Aku menuliskan segala yang kudengar dari Rasulullah saw. agar aku dapat menghafalnya. Namun beberapa orang melarangku, dengan berkata: ‘Jangan lakukan itu, karena Rasulullah saw. adalah manusia biasa dan terkadang berbicara dalam keadaan marah.’ Maka setelah mendengar hal itu, aku berhenti menulis dan menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah saw..” Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda bahwa beliau saw. menjawab: “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dariku, baik perkataan maupun perbuatan, melainkan semuanya berasal dari Allah Taala.’”

Jika dikatakan bahwa dalam kitab-kitab hadis yang sama juga disebutkan adanya kesalahan ijtihad Rasulullah saw. dalam beberapa perkara, maka jika semua perkataan dan perbuatan beliau saw. berasal dari wahyu, mengapa terjadi kesalahan tersebut? Meskipun saw. beliau tidak dibiarkan tetap dalam kesalahan itu.

Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:

“Jawabannya adalah kesalahan ijtihad itu juga tidak terlepas dari cahaya wahyu, dan Rasulullah saw. tidak pernah terpisah sedetik pun dari genggaman Allah Taala. Maka perumpamaan kesalahan ijtihad itu seperti beberapa kali Rasulullah saw. mengalami lupa dalam salat, supaya dari situ muncul [solusi dari] masalah-masalah agama. Begitu pula terkadang terjadi kesalahan ijtihad agar dengan itu agama menjadi sempurna dan muncul beberapa perkara-perkara yang halus melaluinya. Dan lupa karena sifat manusiawi itu pun tidak seperti lupa semua orang pada umumnya, melainkan pada hakikatnya sejalan dengan wahyu karena ada suatu daya pengaruh khusus dari Allah Taala yang menguasai wujud Nabi, sehingga terkadang menjadikannya condong ke arah yang di dalamnya terdapat banyak maslahat dari Allah Taala.”

“Jadi kami tidak menganggap kesalahan ijtihad ini terpisah dari wahyu, karena itu bukan hal yang sepele. Sebaliknya, pada saat itu Allah Taala memasukkan Nabi-Nya dalam penguasaan-Nya dan menampakkan suatu nur dalam bentuk kelupaan atau kesalahan ijtihad demi kemaslahatan umum. Kemudian wahyu pun datang dengan geloranya. Seperti aliran sungai yang airnya dihentikan sejenak untuk suatu kemaslahatan, lalu dialirkan kembali. Maka di sini tidak ada orang berakal yang dapat mengatakan bahwa air sungai telah kering atau telah diangkat darinya. Demikian pula halnya dengan kesalahan ijtihad para nabi, bahwa Ruhulkudus tidak pernah terpisah dari mereka. Namun kadang-kadang Allah Taala mengambil pemahaman dan persepsi para nabi dalam penguasaan-Nya untuk beberapa kemaslahatan. Ketika itu muncul suatu perkataan atau perbuatan dari mereka dalam bentuk kelupaan atau kesalahan, dan hikmah yang dimaksudkan pun menjadi nyata. Kemudian sungai wahyu pun mengalir dengan derasnya dan kesalahan itu diangkat dari tengah-tengah, seolah-olah tidak pernah ada.”

Hazrat Masih Masih Mau’ud a.s. memberikan permisalan mengenai Nabi Isa a.s. sebagai berikut:

“Nabi Isa a.s. pergi ke arah pohon ara untuk memakan buahnya, dan Ruhulkudus bersamanya, namun Ruhulkudus tidak memberitahukan bahwa saat itu tidak ada buah di pohon ara tersebut. Meskipun demikian, semua orang tahu bahwa sesuatu yang jarang terjadi dianggap tidak ada. Jadi jika sesuatu terjadi sekali-sekali, itu seperti tidak terjadi sama sekali. Maka, dalam keadaan di mana dalam hampir satu juta perkataan dan perbuatan junjungan dan tuan kita Muhammad Musthafa saw. terlihat sepenuhnya manifestasiTuhan, dan dalam setiap perkataan, gerak-gerik, diam, ucapan dan perbuatannya terlihat cahaya Ruhulkudus yang bersinar, lalu jika ada satu dua hal yang bercorak kemanusiaan, apa kerugiannya? Bahkan perlu sesekali terjadi hal seperti itu untuk membuktikan kemanusiaan beliau agar orang-orang tidak terjebak dalam bencana syirik.”

Oleh karena itu, jika ada riwayat apa pun tentang kehidupan dan perilaku Rasulullah saw. dalam hadis atau buku sejarah dan biografi, maka hal itu harus dilihat dan dinilai dari perspektif ayat Al-Qur’an yang telah saya bacakan bahwa segala sesuatu dari diri beliau adalah demi Allah Taala, dan berdasarkan perspektif tulisan-tulisan Hazrat Masih Mau’ud a.s., bukan dengan menuduh dan menerima setiap perkataan orientalis dan merasa kita tidak bisa menjawabnya. Inilah cara sebenarnya untuk menjaga kesucian Rasulullah saw., bukan hanya dengan meneriakkan slogan-slogan. Dua hari lagi, insyaallah, Ramadhan juga akan dimulai. Semoga Allah Taala menganugerahkan kepada setiap orang manfaat penuh darinya dan taufik untuk melaksanakan puasa dan memanjatkan doa yang makbul. Karena itu, berdoalah dan berusahalah juga.

Saya juga akan memimpin salat jenazah gaib sekarang. Yaitu untuk Chaudhry Muhammad Anwar Riaz Sahib dari Rabwah, yang merupakan putra almarhum Chaudhry Muhammad Islam Sahib. Beliau telah wafat beberapa hari yang lalu. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji`ūn.

Almarhum adalah seorang musi. Putranya, Nasir Mahmud Tahir, adalah seorang Missionary Incharge di Kenya dan tidak bisa menghadiri pemakaman ayahnya karena berada di luar negeri. Semua anak almarhum lainnya juga mendapatkan taufik mengkhidmati Jemaat dalam berbagai kapasitas. Nasir Mahmud menulis bahwa Ahmadiyah masuk ke keluarga mereka melalui kakek beliau, Hazrat Chaudhry Ghulam Muhammad Jat r.a., yang pergi ke Qadian dan baiat di tangan Hazrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau termasuk di antara orang-orang Ahmadi pertama di desanya. Pada tahun 1996, beliau dan ayahnya mendapat kehormatan untuk menjadi tawanan di jalan Allah selama sekitar satu bulan dalam sebuah kasus. Selama periode ini, polisi memperlakukan beliau dengan sangat buruk, namun beliau menanggung semuanya hanya demi rida Allah Taala dan menjalani hukuman ini dengan sangat tabah. Beliau sangat menghormati Nizam Jemaat dan Khilafat, teratur dalam salat dan pembayaran candah, dan telah membayar seluruh bagian wasiat dari hartanya semasa hidupnya. Saat ada pendapatan, beliau membayar candah terlebih dahulu.

Semoga Allah Taala menganugerahkan ampunan dan rahmat kepada beliau, dan memberikan kesabaran dan ketabahan kepada anak-anak beliau, serta semoga Allah Taala menganugerahkan kesabaran dan ketabahan kepada putra beliau yang berada di luar negeri.[1]

الْحَمْدُ لِلّٰهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ ، وَنُؤْمِنُ بِهٖ ، وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهٖ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ ، وَنَشْهَدُ أَن لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهٗ ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عبدُهٗ وَرَسُولُهٗ – عِبَادَ اللّٰهِ رَحِمَكُمُ اللّٰهِ – اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَالۡاِحۡسَانِ وَاِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَیَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَالۡمُنۡکَرِ وَالۡبَغۡیِ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ – اذْكُرُوا اللّٰهَ يَذْكُرُكُمْ وَادْعُوهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ


[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.