Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Pertempuran Bani Mustaliq
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 9 Agustus 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُولُهُ أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَنِ الرَّحِيمِ
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَاِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَلَا الضَّآلِّیۡنَ ﴿٪۷﴾
Sebelum Jalsah Salanah, dibahas peristiwa-peristiwa berkaitan dengan Pertempuran Muraisi. Disebutkan bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul melontarkan ucapan-ucapan yang buruk tentang Rasulullah saw. dan menunjukkan sifat-sifatnya yang munafik. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis tentang rincian kejadian ini dalam buku Sīrat Khātamun Nabiyyīn:
Setelah pertempuran ini berakhir, Rasulullah saw. tinggal di Muraisi selama beberapa hari. Akan tetapi, selama tinggal di sana, sebuah kejadian yang tidak diinginkan terjadi, yang hampir menyebabkan pecahnya perang saudara di antara orang-orang Muslim yang masih lemah. Akan tetapi, kebijaksanaan dan daya pengaruh Rasulullah saw. yang laksana magnet telah menyelamatkan kaum Muslimin dari akibat-akibat berbahaya dari malapetaka ini. Kebetulan seorang pembantu Hazrat Umar r.a. bernama Jahjah pergi ke sumber air utama di Muraisi untuk mengambil air. Secara kebetulan, seseorang bernama Sinan yang berasal dari sekutu Ansar, juga tiba di sumber air tersebut. Kedua orang ini adalah awam dan bodoh. Terjadilah pertengkaran di antara mereka berdua di dekat mata air, dan Jahjah memukul Sinan. Sinan pun lantas berteriak dan berseru, “Wahai orang-orang Ansar! Datanglah untuk menolongku, aku telah dipukuli.” Ketika Jahjah melihat bahwa Sinan memanggil orang-orangnya untuk membantunya, ia pun mulai memanggil orang-orangnya, “Wahai
Muhajirin, datanglah ke sini, berlarilah!” Ketika orang-orang Ansar dan Muhajirin mendengar suara ini, banyak dari mereka bergegas menuju mata air dengan pedang di tangan, dan tanpa disadari, telah berkumpul orang-orang dalam jumlah yang cukup besar. Beberapa pemuda yang bodoh hendak saling menyerang, tetapi beberapa orang Muhajirin dan Ansar yang bijak dan mukhlis tiba di tempat kejadian tepat waktu, yang segera memisahkan orang-orang dan mendamaikan mereka.
Ketika Rasulullah saw. menerima berita tentang hal ini, beliau bersabda: ini adalah perwujudan dari perilaku jahiliyah. Beliau mengungkapkan kemarahan beliau. Alhasil dengan ini, masalah tersebut diselesaikan. Akan tetapi, ketika berita kejadian ini sampai kepada Abdullah bin Ubay bin Salul, yang juga ikut serta di perang ini, orang yang buruk ini ingin menyalakan kembali kekacauan tersebut. Ia menghasut para pengikutnya untuk menentang Rasulullah saw. dan berkata, “Ini semua salah kalian sendiri, kalianlah yang telah memberikan perlindungan kepada orang-orang Muslim asing ini dan membiarkan mereka memerintah atasmu. Kalian masih memiliki kesempatan untuk melepaskan perlindunganmu kepada mereka dan mereka akan dengan sendirinya pergi.” Akhirnya, orang jahat ini bertindak lebih jauh dengan mengatakan:
لَئِنْ رَّجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْاَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ
“Tunggu saja dan lihatlah; ketika kita tiba di Madinah nanti, orang atau golongan yang paling terhormat akan mengusir orang atau golongan yang paling hina dari kota ini.”
Pada saat itu, seorang pemuda Muslim yang mukhlis bernama Zaid bin Arqam r.a. ada di sana, dan setelah mendengar kata-kata tentang Rasulullah saw. dari mulut Abdullah, Ia menjadi gelisah, dan menyampaikan berita tentang kejadian ini kepada Rasulullah saw. melalui pamannya. Pada saat itu, Hazrat Umar r.a. sedang duduk bersama Rasulullah saw. dan setelah mendengar kata-kata ini, Hz. Umar r.a. menjadi marah dan geram. Hz. Umar r.a. menghadap kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah! Mohon berikan aku izin, aku akan memenggal kepala orang munafik dan pengkhianat ini.” Rasulullah saw. menjawab, “Biarlah Umar! Apakah engkau ingin orang-orang menyebarkan berita bahwa Muhammad membunuh pengikutnya sendiri?” Kemudian, Rasulullah saw. memanggil Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya, dan bertanya kepada mereka tentang masalah ini. Mereka semua bersumpah bahwa mereka tidak mengatakan hal-hal seperti itu. Beberapa orang dari kalangan Ansar juga menengahi dan mengatakan bahwa mungkin Zaid bin Arqam yang telah salah.
Pada saat itu, Beliau saw. menerima pernyataan Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya, dan menolak pernyataan Zaid r.a.. Atas hal ini, Hz. Zaid r.a. sangat sedih, tetapi wahyu Al-Qur’an kemudian diturunkan untuk membenarkan Hz. Zaid r.a., dan orang-orang munafik dinyatakan sebagai pendusta. Maka dari itu, Rasulullah saw. memanggil Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya untuk memberitahu mereka tentang pembenaran ini dan memerintahkan Hazrat Umar r.a. untuk mengumumkan keberangkatan segera. Saat itu adalah waktu tengah hari, dan biasanya Rasulullah saw. tidak akan berangkat pada jam seperti itu karena cuaca di Arab saat itu adalah waktu yang sangat panas dan sangat sulit untuk bepergian pada saat itu. Namun, mengingat keadaan, Rasulullah saw. menganggap yang terbaik adalah segera berangkat. Oleh karena itu, sesuai perintah beliau, pasukan Muslim bersiap untuk segera berangkat. Mungkin pada kesempatan inilah Hz. Usaid bin Hudhair Ansari r.a., yang merupakan kepala suku yang sangat terkenal dari suku Aus, hadir di hadapan Rasulullah saw. dan menyampaikan, “Wahai Rasulullah! Anda biasanya tidak memerintahkan mengatur barisan pada waktu seperti ini. Apa yang terjadi hari ini?” Rasulullah saw. bersabda, “Usaid! Apakah engkau tidak mendengar kata-kata Abdullah bin Ubay? Dia mengatakan, ‘Begitu kita tiba di Madinah, orang yang paling terhormat akan mengusir orang yang paling hina.’” Hz. Usaid r.a. secara langsung menjawab, “Sungguh, wahai Rasulullah, Anda tentu saja dapat mengusir Abdullah dari Madinah. Demi Tuhan! Andalah yang paling terhormat dan dialah yang paling tercela.” Kemudian, Hz. Usaid r.a. melanjutkan dengan menyampaikan: “Wahai Rasulullah! Anda mengetahui bahwa sebelum kedatangan Anda, Abdullah bin Ubay sangat dihormati di antara orang-orangnya, dan mereka akan mengangkatnya sebagai raja, tetapi ini hancur berantakan ketika Anda tiba. Karena alasan itulah, hatinya menyimpan rasa cemburu kepada Anda. Jangan pedulikan omong kosongnya, dan mohon maafkanlah dia.”
Dalam riwayat lain tercatat bahwa ketika putra Abdullah bin Ubay mengetahui semua ini dan mengetahui percakapan Hazrat Umar r.a., ia menghadap Rasulullah saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah saw.! Jika Anda bermaksud untuk membunuh ayahku karena berita yang telah sampai kepada Anda, maka perintahkanlah aku. Demi Allah, aku akan membawakan untuk Anda kepalanya sebelum orang-orang meninggalkan pertemuan ini. Demi Allah, orang-orang Khazraj tahu bahwa di antara mereka, tidak ada seorang pun yang lebih baik dariku dalam memperlakukan orang tua mereka. Wahai Rasulullah saw.! Aku khawatir jika Anda memerintahkan orang lain untuk membunuh ayahku, maka aku tidak akan mampu menerima jika melihat pembunuh ayahku berjalan di antara orang-orang dan aku pasti akan
membunuhnya dan aku akan masuk ke dalam api.” Yakni, jika orang lain membunuhnya, beliau mungkin akan membunuh orang itu karena marah. Alhasil, pengampunan Rasulullah saw. adalah yang paling afdal dan kebaikan beliau saw. adalah yang paling agung. Setelah mendengarnya, Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Abdullah! Aku tidak bermaksud membunuhnya, dan aku tidak memerintahkan siapa pun untuk melakukannya. Kita pasti akan memperlakukannya dengan baik selama dia tetap bersama kita.” Abdullah berkata: “Wahai Rasulullah saw.! Orang-orang di kota ini telah sepakat untuk memahkotai ayahku [sebagai pemimpin mereka]. Kemudian, Allah Taala membawa engkau ke sini dan Allah Taala menurunkannya, dan Allah Taala mengangkat kami melalui Anda (ini adalah ucapan Putra Abdullah bin Ubay). Ada beberapa orang bersamanya yang sering mengunjunginya dan mengingatkannya tentang hal-hal yang telah diunggulkan oleh Allah Taala.”
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menyatakan: “Putra Abdullah bin Ubay bernama Habbab, tetapi Rasulullah saw. mengubah namanya menjadi Abdullah.” Alhasil, sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw., perjalanan pulang pun dimulai. Rincian lebih lanjut terkait hal ini telah dicatat sebagai berikut: Sejak sisa hari itu, lalu di sepanjang malam, dan di awal hari berikutnya, semua waktu itu dilalui oleh Rasulullah saw. dengan perjalanan yang tanpa henti. Kemudian saat matahari mulai menyengat orang-orang, Rasulullah saw. lantas memerintahkan untuk mendirikan kemah, dan segera setelah orang-orang turun, mereka langsung tertidur. Sepanjang perjalanan ini, tidak seorang pun yang turun dari tunggangannya kecuali untuk keperluan pribadi, atau untuk melaksanakan salat. Rasulullah saw. mendesak tunggangannya untuk terus maju dan menggunakan cambuk pada kaki belakangnya. Rasulullah saw. melakukan perjalanan panjang ini agar orang-orang melupakan apa yang dilakukan Abdullah bin Ubay di hari sebelumnya. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah saw. sedang melakukan perjalanan di hari itu sementara Hz. Zaid bin Arqam r.a. berada di atas tunggangannya di samping beliau. Rasulullah saw. dapat melihat wajahnya. Rasulullah saw. menendang-nendangkan tumit ke tunggangannya agar tunggangannya melaju lebih cepat. Pada saat itu, beliau mulai menerima wahyu. Hazrat Zaid bin Arqam r.a. meriwayatkan, “Aku menyaksikan bahwa kegelisahan menimpa Rasulullah saw., dahi beliau penuh keringat, dan kaki depan tunggangannya menjadi berat, sampai-sampai hampir roboh, yakni hampir tidak maju. Aku memahami bahwa Rasulullah saw. sedang menerima wahyu, karena begitulah biasanya keadaan beliau saat akan menerima wahyu. Aku menjadi berharap bahwa wahyu yang membuktikan kejujuranku akan diturunkan.”
Hazrat Zaid bin Arqam r.a. melanjutkan, “Ketika keadaan beliau saw. ini berlalu, beliau saw. memegang telingaku saat aku berada di atas tungganganku, sampai aku bangkit dari tempat dudukku. Rasulullah saw. bersabda, ‘Anak muda, telingamu telah setia dan Allah telah bersaksi atas kejujuranmu, (yakni, wahyu yang turun memang ditujukan untuknya).’”
Dalam riwayat lain, Hazrat Zaid bin Arqam r.a. berkata, “Aku bepergian bersama Rasulullah saw. dan aku menundukkan kepalaku karena sedih. Rasulullah saw. datang ke arahku, beliau saw. menepuk telingaku dengan lembut dan tersenyum. Seandainya aku diberi kehidupan yang kekal sebagai ganti senyuman ini, aku tidak akan lebih bahagia.” Beliau berkata, “Aku sangat gembira melihat senyuman ini sehingga bagiku itu lebih berharga daripada seluruh hidupku.” Kemudian beliau berkata, “Kemudian Abu Bakar r.a. menemuiku dan bertanya, ‘Apa yang dikatakan Rasulullah saw. kepadamu?’ Aku menjawab, ‘Beliau tidak mengatakan sepatah kata pun kepadaku, dan beliau saw. hanya menepuk ringan telingaku dan tersenyum kepadaku.’ Hz. Abu Bakar r.a. kemudian berkata, ‘Kabar gembira untukmu.’ Kemudian Umar r.a. menemuiku dan aku pun mengatakan hal yang sama seperti yang telah kukatakan kepada Abu Bakar r.a..”
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa ketika Surat al-Munafiqun diturunkan, Rasulullah saw. memanggil Zaid. Beliau kemudian membacakan ayat-ayat tersebut dan bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberi kesaksian tentang kebenaranmu.” Oleh karena itu, setelah turunnya surat Al-Munafiqun, Hazrat Ubadah bin Shamit r.a. berpapasan dengan Ibnu Ubayy namun tidak mengucapkan salam kepadanya. Kemudian, Hz. Aus bin Khauli r.a. melewatinya, dan tidak mengucapkan salam kepadanya. Melihat hal itu, Ibnu Ubayy berkata, “Ada apa ini, Apa yang kalian berdua sembunyikan?” Mendengar hal itu, kedua sahabat ini menghampirinya dan dengan tegas memarahinya karena tindakannya. Kedua sahabat berkata bahwa Al-Qur’an telah mengungkapkan hal yang membuktikan bahwa ucapan Abdullah bin Ubay adalah palsu. Hz. Aus bin Khauli r.a. berkata, “aku tidak akan bicara tentangmu lagi sampai aku yakin bahwa kau telah meninggalkan jalanmu dan bertaubat kepada Allah. Kami telah menyudutkan Zaid bin Arqam karenamu, dengan mengatakan bahwa kamu telah berbohong tentang seseorang dari kaummu sendiri, sampai akhirnya kebenaran Zaid terungkap, dan ayat-ayat Al-Qur’an telah mencap kebohonganmu.”
Ketika Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat untuk berangkat, putra Abdullah bin Ubay, Hazrat Abdullah r.a. pergi ke depan orang-orang dan untuk memberi jalan bagi ayahnya. Ketika ayahnya sudah tampak, dia menghentikannya dan berkata, “Aku tidak akan
membiarkanmu pergi sampai kamu membuktikan bahwa kamu adalah orang yang paling tercela, sementara Muhammad saw. adalah orang yang paling dihormati.” Rasulullah saw. melewati mereka dan bersabda, “Biarkan dia pergi. Demi hidupku, kita akan memperlakukannya dengan baik selama dia tetap bersama kita.”
Hazrat Mirza Bashir Ahmad Sahib r.a.. menulis sehubungan dengan hal ini:
“Hz. Abdullah bin Abdullah bin Ubay r.a. sangat marah terhadap ayahnya sehingga ketika pasukan Muslim kembali ke Madinah, Hz. Abdullah r.a.. berdiri di depan ayahnya dan menghalangi jalannya sambil berkata, ‘Demi Tuhan! Aku tidak akan membiarkanmu pulang, sampai kamu mengaku dengan lidahmu sendiri bahwa Nabi saw. adalah yang paling terhormat sementara kamu adalah yang paling tercela.’ Hz. Abdullah menekan ayahnya sedemikian rupa sehingga akhirnya dia terpaksa mengucapkan kata-kata ini, lalu Hz. Abdullah r.a. membiarkannya pergi.
Ketika perjalanan pulang dimulai, bagian dari siang hari yang tersisa, lalu sepanjang malam, dan awal hari berikutnya, semuanya dilalui oleh pasukan Muslim dengan perjalanan yang tanpa henti. Ketika kemah akhirnya didirikan, orang-orang sudah sangat kelelahan sehingga mereka semua langsung tertidur lelap. Alhasil, dengan cara ini, melalui kebijaksanaan Rasulullah saw., perhatian semua orang teralihkan dari kejadian yang tidak menyenangkan itu dan beralih ke hal lain untuk jangka waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, dengan karunia-Nya, Allah Taala melindungi umat Islam dari fitnah keji orang-orang munafik. Kenyataannya, orang-orang munafik selalu berupaya untuk memicu terjadinya perang saudara dan perpecahan di dalam umat Islam, dan mereka ingin merendahkan kedudukan Nabi saw.. Namun, Keberadaan Islam dan kepribadian Rasulullah saw. yang laksana magnet telah menciptakan ikatan persatuan di kalangan umat Islam, yang tidak ada persekongkolan apapun yang dapat mematahkannya. Sikap hormat, keikhlasan, kesetiaan, serta cinta dan kasih sayang telah mengakar di hati umat Islam terhadap Rasulullah saw., sehingga tidak ada manusia yang mampu menggoyahkannya. Karena itu, renungkan saja kejadian ini. Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum munafik, ia berusaha memanfaatkan perseteruan sementara antara dua umat Islam, dan ia ingin menanam benih pertikaian dan perselisihan di antara umat Islam, dan merusak kecintaan dan kasih sayang terhadap Rasulullah saw.. Namun, ia menemui kegagalan total, dan terpaksa meminum cawan kehinaan dari tangan putranya sendiri sedemikian rupa, yang mungkin ia tidak akan pernah melupakannya sampai nafas terakhirnya.”
Tertulis dalam riwayat lain bahwa setelah kejadian ini, setiap kali Abdullah bin Ubay mengatakan hal seperti ini, maka kaumnya akan memarahinya dan menyuruhnya berhenti. Ketika Rasulullah saw. mengetahui hal ini, beliau bersabda kepada Hazrat Umar r.a.., “Umar, bagaimana pendapatmu? Seandainya pada hari itu aku memerintahkan agar dia dibunuh seperti yang engkau sarankan kepadaku, niscaya orang-orang akan berpikir buruk tentangku dan berpaling. Sekarang, jika aku meminta salah satu dari orang-orang untuk membunuhnya, mereka pasti akan melakukannya karena kebenaran telah terbukti dengan sendirinya.” Hazrat Umar r.a. menjawab “Demi Allah, aku mengetahui bahwa sesungguhnya pendapat Rasulullah saw. jauh lebih beberkat dari pendapatku.”
Dalam menyebutkan Pertempuran Bani Musthaliq dan peristiwa Abdullah bin Ubay , Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menulis:
“Karena orang-orang kafir Makkah berniat merugikan umat Islam condong dan suku-suku yang sebelumnya bersahabat menjadi memusuhi, maka orang-orang munafik di kalangan umat Islam pun pada kesempatan ini memberanikan diri untuk ikut ambil bagian dalam pertempuran di pihak Islam. Orang-orang munafik mungkin mengira mereka akan mendapat kesempatan untuk melakukan kejahatan. Namun, Pertempuran dengan Banu Mustaliq selesai dalam beberapa jam, sehingga orang-orang munafik itu tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan apa pun selama pertempuran. Namun Rasulullah saw. memutuskan untuk tinggal di pemukiman Banu Mustaliq selama beberapa hari. Selama beliau saw. tinggal, terjadi pertengkaran antara seorang Muslim asal Makkah dan seorang Muslim Madinah karena mengambil air dari sumur. Orang Makkah itu sebenarnya adalah mantan hamba sahaya. Ia memukul seorang muslim madinah, yang menyebabkan ia berseru memanggil sesama muslim Madinah — yang disebut kaum Ansar. Muslim dari Makkah juga menyeru dan memanggil sesama muslim Makkah – yakni kaum Muhajirin. Alhasil terjadilah keributan. Tidak ada yang bertanya apa yang sebenarnya terjadi. (Kemarahan memuncak dan perkelahian pun dimulai dan dengan ini timbullah kekacauan). Para pemuda di kedua belah pihak menghunus pedang mereka. Abdullah bin Ubay bin Salul menganggapnya sebagai anugerah Tuhan. Ia memutuskan untuk semakin menyulut api. Kepada umat Islam Madinah ia berkata: “Kalian telah bertindak terlalu jauh dalam berbuat baik kepada kaum Muhajirin. Perlakuan baik kalian telah membuat mereka memalingkan muka, dan sekarang mereka mencoba untuk mengungguli kalian dengan segala cara.” Seruan ini hampir saja memberi dampak yang diinginkan Abdullah bin Ubay dan Pertengkaran yang besar hampir terjadi. Tapi ternyata tidak. ‘Abdullah salah dalam menilai dampak ucapan kejinya. Namun, karena
yakin bahwa kaum Ansar telah terbujuk, ia bahkan mengatakan: “Mari kita kembali ke Madinah. Maka orang yang paling dihormati di antara warganya akan mengusir orang yang paling dibenci.”
Yang dimaksud olehnya dengan orang yang paling dihormati adalah dirinya sendiri, dan yang paling dibenci adalah na’ūdzubillāhi min dzālik, Rasulullah saw.. Alhasil, Begitu ia mengatakan hal ini, orang-orang Islam dapat melihat maksud kejinya. Mereka berkata, ini bukanlah hal yang biasa, tapi ini adalah ucapan dari setan yang datang untuk menyesatkan orang Islam. Seorang pemuda bangkit dan melapor kepada Nabi saw. melalui pamannya. Beliau saw. memanggil Abdullah bin Ubay bin Salul dan teman-temannya dan bertanya kepada mereka apa yang terjadi. Abdullah dan teman-temannya menyangkal bahwa mereka terlibat dalam kejadian ini. Beliau saw. tidak mengucapkan apa-apa, namun kebenaran pun telah mulai menyebar. Seiring berjalannya waktu, putra Abdullah bin Ubay bin Salul sendiri, Abdullah, juga mendengar tentang hal itu. Abdullah segera menemui Nabi saw. dan berkata, “Wahai Nabi Allah, ayahku telah menghinamu. Kematian adalah hukuman baginya. Jika engkau memutuskan demikian, aku lebih suka engkau memerintahkanku untuk membunuh ayahku. Jika engkau memerintahkan orang lain, dan ayahku mati di tangannya, aku mungkin akan menuntut balas atas dendam ayahku dengan membunuh orang itu. Mungkin aku akan membuat Tuhan murka dengan cara ini.” Tetapi, Rasulullah saw. bersabda, “Aku tidak mempunyai niat seperti itu. Aku akan memperlakukan ayahmu dengan kasih sayang dan maaf.”
Ketika Abdullah membandingkan ketidaksetiaan dan ketidaksopanan ayahnya dengan kasih sayang dan kebaikan Rasulullah saw., keimanannya semakin bertambah, dan kemarahannya terhadap ayahnya juga semakin besar. Ketika pasukan Muslim sudah mendekati Madinah, Abdullah menghentikan jalan ayahnya dan berkata bahwa dirinya tidak akan membiarkan ayahnya pergi lebih jauh lagi menuju Madinah selama ia belum mencabut kata-kata yang telah diucapkan untuk melawan Rasulullah saw.. “Mulut yang mengatakan bahwa Nabi Allah adalah hina dan kamu adalah mulia, sekarang harus mengatakan Nabi Allah adalah mulia dan kamu adalah hina. Sampai kamu mengatakan ini, aku tidak akan membiarkanmu melangkah maju.” ‘Abdullah bin Ubay bin Salul heran dan ketakutan lalu berkata, “Aku setuju, anakku, Muhammad saw. adalah yang dimuliakan dan aku dihina.” Abdullah muda kemudian melepaskan ayahnya.”
Dalam perjalanan tersebut, terjadi peristiwa unta Nabi saw. hilang di suatu tempat di mana mereka mendirikan kemah. Rincian peristiwa ini adalah sebagai berikut: Sekembalinya dari Bani Mustaliq, Rasulullah saw. singgah di sebuah mata air yang bernama Fuwaiq an-Naqi atau Baqa. Baqa terletak di sisi atas Naqi, dan Naqi terletak 40 kilometer selatan Madinah. Jadi, orang-orang Islam membiarkan hewan mereka merumput di sini, dan pada saat itu, badai pasir yang dahsyat muncul. Akibat badai ini, unta Qaswa Rasulullah saw. hilang. Kaum Muslimin mulai mencarinya ke segala arah.
Zaid bin Nusait Ansari juga menjadi bagian dari suatu kelompok; dia adalah seorang munafik. Termasuk juga dalam kelompok ini adalah Hazrat Abbad bin Bisyr bin Waqash r.a.., Salma bin Salamah r.a.., dan Usaid bin Hudhair r.a.. Zaid bin Nusait berasal dari suku Yahudi Banu Qainuqa dan dianggap sebagai salah satu ulama Yahudi yang tampaknya telah menjadi seorang Muslim, namun ia masih memiliki jiwa Yahudi. Orang munafik ini (yaitu Zaid bin Nusait) berkata, “Mengapa orang-orang berlarian?” Mereka menjawab bahwa mereka sedang mencari unta Rasulullah saw. yang hilang. Nusait berkata, “Mengapa Allah Taala tidak memberitahukan kepadanya bahwa unta itu ada di tempat ini dan itu?” Para sahabat saw. menganggap pernyataannya aneh. Para sahabat berkata, “Wahai musuh Allah Taala! Semoga Tuhan Yang Mahakuasa menghancurkanmu. Kamu adalah seorang munafik.” Jadi, Ketika ia menyampaikan hal ini, orang-orang Muslim menyadari bahwa pernyataan tersebut penuh dengan kemunafikan. Orang-orang muslim berkata, “Kamu adalah seorang munafik.”
Lalu Hazrat Usaid bin Hudhair r.a. mengarahkan perhatian kepadanya dan berkata, ‘Jika aku tidak takut dengan tanggapan Nabi saw., aku akan menusukkan tombak ini tepat ke tubuhmu. Wahai musuh Allah, jika dalam hatimu ada kemunafikan seperti ini, lalu mengapa kamu ikut keluar bersama kami?” Ia menjawab, “Aku keluar untuk mencari rezeki duniawi.” Alhasil, niatannya yang sebenarnya pun menjadi tampak. Dengan sinis dia berkata, ‘Demi Allah, Nabi saw. memberitahu kita tentang hal-hal yang jauh lebih besar. Beliau memberi tahu kita tentang hal-hal samawi, lalu mengapa beliau tidak bisa memberitahu kita tentang unta? Rasulullah saw. bersabda bahwa Allah Taala menganugerahkan nubuatan yang agung, memberi beliau pengetahuan tentang hal-hal gaib, lalu mengapa Dia tidak memberi kabar tentang unta?” Ia mulai membuat pernyataan munafik. Orang-orang yang ada di sana segera menghampirinya dan berkata, “Demi Tuhan, seandainya kami tahu bahwa kamu mempunyai pemikiran seperti itu di dalam hatimu, kami tidak akan menghabiskan waktu sedetikpun bersamamu. Sekarang kita tidak bisa terus bersama.” Karena takut, ia lari dari sana, khawatir para sahabat akan menyerangnya. Mereka melemparkan barang-barangnya yang
ditinggalkannya di luar [tenda]. Bagaimanapun, ia melarikan diri, bersembunyi dari para Sahabat, ia pergi dan mencari perlindungan kepada Nabi saw..
Pada saat itu, wahyu telah turun kepada Nabi saw. dari langit, mengenai apa yang telah ia katakan. Pada saat orang munafik itu mendengarkan. Nabi saw. bersabda, “Salah satu diantara orang-orang munafik sedang bergembira atas musibah hilangnya unta Nabi saw.. Ia berkata, ‘Mengapa Allah tidak memberitahukan kepadanya bahwa unta tersebut berada di tempat ini dan itu, karena aku bersumpah demi hidupku, Muhammad saw. telah memberitahukan kepada kita tentang hal-hal yang jauh lebih besar dari ini.’” Nabi Muhammad saw. bersabda, “Tidak ada yang mengetahui hal gaib kecuali Allah Taala.” Nabi saw. mengatakan semua ini ketika orang munafik sedang duduk di sana. Nabi saw. kemudian bersabda: “Allah Taala telah memberitahuku tentang di mana unta itu berada. Ia berada di jurang anu, dengan kendalinya terjerat di pohon. Pergilah ke arah itu.” Para sahabat yang mulia lalu pergi ke arah itu dan menemukannya persis seperti yang telah disabdakan Nabi saw. kepada mereka.
Ketika orang munafik melihat ini, ia tercengang. Ia segera mendatangi para sahabat yang [sebelumnya] bersamanya. Ketika ia mendekati mereka, para Sahabat berkata, “Jangan dekati kami.” Ia berkata, “Saya ingin mengatakan sesuatu kepada Anda.” Ia mendekati mereka dan berkata, “Saya bertanya kepada kalian dengan nama Allah, adakah di antara kalian yang pernah menemui Rasulullah saw. dan memberitahukan kepadanya tentang apa yang saya katakan?” Mereka menjawab, “Tidak, demi Tuhan. Kami bahkan belum meninggalkan pertemuan kami.” Ia berkata, “Saya telah melihat orang-orang mendiskusikan apa yang saya katakan, dan Nabi saw. memberitahukan kepada mereka mengenai hal ini.” Kemudian orang tersebut menceritakan kepada mereka segala sesuatu yang telah disabdakan oleh Nabi saw., dan bahwa unta tersebut telah ditemukan. Ia berkata, “Dulu aku ragu terhadap Nabi saw., namun kini aku bersaksi bahwa beliau memang benar-benar Utusan Allah Taala. Seolah-olah saya telah menerima Islam hari ini.” Setelah kejadian ini, ia berkata, “Sekarang saya dengan sepenuh hati menerima Islam.” Para sahabat berkata, “Temui Rasulullah saw. agar beliau dapat memohonkan ampunan untukmu.” Karena itu, ia menemui Rasulullah saw. dan meminta ampun serta mengakui dosanya.
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa sebagian orang percaya bahwa Zaid, (yaitu orang munafik) telah bertobat, sementara yang lain mengatakan bahwa ia tidak bertobat.
Bagaimanapun, masih ada beberapa peristiwa terkait hal ini yang akan dibahas di masa mendatang.
Saat ini saya ingin memohon doa untuk kondisi di Bangladesh. Terjadi pemberontakan melawan pemerintah di sana dan pemerintah digulingkan, namun kekacauan masih terus terjadi. Dikatakan bahwa sejak kemarin situasi telah sedikit membaik. Oleh karena itu, kelompok-kelompok yang menentang Jemaat telah mengambil keuntungan dan merugikan para Ahmadi. Beberapa masjid kita dirusak dan dibakar, Jamiah Ahmadiyah dan bangunan Jemaat lainnya dirusak. Di sana juga dilakukan perusakan dan pembakaran. Beberapa orang Ahmadi terluka parah, dipukuli dan menderita luka-luka. Banyak rumah Ahmadi yang rusak dan terbakar. Berkenaan dengan beberapa rumah dikabarkan rata dengan tanah. Ada pula yang harta bendanya dibakar. Benar-benar terjadi pelanggaran hukum, dan para Ahmadi telah menderita kerugian sebanyak dua kali di wilayah tersebut; yang pertama pada saat Jalsah dan sekarang pada kejadian ini. Namun keyakinan mereka tidak goyah sedikit pun. Dengan karunia Allah Taala mereka teguh dalam keimanannya. Mereka mengatakan bahwa mereka akan menanggungnya demi Allah Taala. Semoga Allah Taala melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, menjaga para Ahmadi dalam lindungan-Nya dan menangkap para penentang.
Demikian pula, doakanlah keadaan para Ahmadi di Pakistan, karena keadaan sulit juga terjadi di sana. Semoga Allah Taala melindungi mereka dari segala kejahatan. Saat ini, para ulama dan orang-orang yang mencari keuntungan pribadi menjadi lebih aktif dalam menentang para Ahmadi. Mereka melakukan kekejaman atas nama Allah Taala dan Rasulullah saw.. Semoga Allah Taala segera menciptakan sarana agar mereka dapat ditangkap.
Berdoalah juga bagi umat Islam di Palestina; semoga Allah Taala menangkap orang-orang yang melakukan ketidakadilan terhadap mereka dan semoga kekejaman ini berakhir. Berdoalah secara umum untuk dunia Muslim. Semoga kekejaman yang mereka lakukan terhadap satu sama lain berakhir. Semoga mereka menjadi orang-orang yang benar-benar menjalin hubungan dengan Allah Taala dan semoga mereka menerima Imam Zaman, karena inilah satu-satunya jalan menuju kelangsungan hidup dan keselamatan mereka. Namun orang-orang ini gagal memahami hal ini.
Pada saat ini, saya juga akan memimpin dua salat jenazah dan saya akan menyebutkan nama-nama orang yang meninggal. Yang pertama disebutkan adalah yang terhormat Tn.
Zakaur Rahman Syahid, putra Tn. Chaudhary Abdur Rahman dari Lala Musa, distrik Gujrat. Beliau beberapa hari yang lalu syahid pada hari-hari Jalsah [Inggris]. Pada tanggal 27 Juli sekitar pukul 9:30 pagi, dua orang tak dikenal memasuki kliniknya dan melepaskan tembakan, yang mengakibatkan beliau mati syahid. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji`ūn.
Beliau berusia 53 tahun. Menurut rinciannya, Dr Zakaur Rahman Syahid telah membuka kliniknya sesuai rutinitasnya dan beliau sedang duduk di sana ketika dua orang tak dikenal dan bertopeng tiba pada pukul 09:30 dengan sepeda motor; salah satu dari mereka memasuki klinik sementara yang lainnya tetap berdiri di luar klinik. Orang yang memasuki klinik menembaki Pak Dokter, yang mengakibatkan beliau terkena tiga peluru; salah satunya mengenai dada dekat jantung beliau, satu di perut beliau, dan satu lagi di tangan beliau. Usai kejadian, kedua pelaku berhasil melarikan diri. Setelah mendengar penembakan tersebut, tetangga Pak Dokter pergi ke klinik dan menemukan Pak Dokter dalam keadaan terluka. Pak Dokter mencoba memberitahu tetangganya sesuatu namun beliau muntah darah dan meninggal dunia. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji`ūn.
Pada saat syahidnya beliau sendirian di Pakistan sementara istri beliau berada di Inggris untuk menghadiri Jalsah Salanah Inggris. Ahmadiyah masuk dalam keluarga Dr Zakaur Rahman Syahid melalui Hazrat Hafiz Ahmad Din r.a., sahabat Hazrat Masih Mau’ud
a.s. dari Chak Sikandar, yang juga termasuk di antara 313 sahabat. Kakek buyut dari pihak ayah syahid, yang terhormat Tn. Naik Alam, yang merupakan keponakan Hazrat Hafiz Ahmad Din r.a. melakukan bai’at pada tanggal 10 Juni 1901 setelah itu beliau juga mendapat kehormatan untuk baiat langsung di tangan Hazrat Masih Mau’ud ( as) selama perjalanannya ke Jhelum.
Ada juga seorang syahid lain di keluarganya; Tn. Khalil Ahmad Solangi yang syahid di Lahore dan merupakan sepupu almarhum dr Zakaur Rahman. Almarhum syahid mendapatkan taufik untuk berkhidmat pada Jemaat dalam berbagai kapasitas. Beliau sempat menjabat sebagai Sekretaris Maal untuk Lala Musa, Distrik Gujrat. Pada saat beliau syahid, beliau menjabat sebagai Ketua Jemaat setempat. Beliau rutin membayar candah dan membantu orang miskin dan yang membutuhkan. Ketika beliau masih muda dan situasi saat itu lebih baik, dengan tujuan tablig, beliau biasa membawa teman-temannya mengunjungi markas Jemaat.
Menulis tentang dr Zakaur Rahman Syahid, Amir Distrik Gujrat mengatakan: “Almarhum syahid memiliki banyak sifat baik, salah satunya adalah melakukan pengorbanan
harta. Kualitas ketaatannya kepada para pengurus Jemaat dan terutama kepada Khilafat Ahmadiyah juga sangat jelas terlihat. Biasa bertemu semua orang dengan gembira dan dengan senyuman di wajahnya. Beliau dipenuhi dengan semangat pengkhidmatan kemanusiaan. Dokter Syahid sering kali memberikan pengobatan gratis kepada masyarakat miskin. Beliau mempunyai reputasi yang baik di antara orang-orang non-Ahmadi di daerahnya yang diceritakan oleh orang-orang non-Ahmadi sendiri setelah kesyahidan beliau, dan beberapa orang non-Ahmadi bahkan menghadiri pemakaman beliau.”
Tn. Amir menulis, “Sebelum Idul Adha tahun 2024, Pak Dokter mengatakan kepada saya bahwa beberapa pejabat pemerintah telah mendatanginya dan mengatakan bahwa hidupnya dalam bahaya dan sampai Idul Fitri beliau tidak boleh bekerja di kliniknya.” Namun, beliau berani dan terus bekerja di kliniknya. Almarhum meninggalkan seorang istri, Ny. Nagina Rafiq, satu putra dan tiga putri. Dua putrinya sudah menikah dan satu putrinya sedang belajar di Jerman. Semoga Allah Taala meninggikan derajat para syahid, memberikan kesabaran kepada keluarga beliau, dan memberikan taufik kepada anak-anak beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.
Jenazah kedua adalah Ny. Syeda Bashir, istri dari Tn. Malik Bashir Ahmad. Beliau juga meninggal beberapa hari yang lalu pada usia 83 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji`ūn
Almarhum adalah seorang musiah. Beliau meninggalkan satu putra dan dua putri. Beliau adalah ibu dari Tn. Malik Ghulam Ahmad, seorang mubalig di Ghana, yang karena berada di lapangan pengkhidmatan, tidak dapat menghadiri pemakaman ibunya.
Putra almarhumah, Tn. Ghulam Ahmad – yang adalah seorang mubalig – menuturkan bahwa Ahmadiyah memasuki keluarga mereka melalui kakek beliau, Hazrat Malik Allah Bakhsh r.a., seorang sahabat Hazrat Masih Mau’ud a.s.. Dia adalah orang yang saleh dan berilmu yang, setelah menyaksikan gerhana matahari dan bulan, berjalan kaki dari Lodhran ke Qadian untuk menyatakan baiat. Ibunda beliau juga beruntung menerima kasih sayang dari Hazrat Amma Jaan, Hazrat Nusrat Jahan Begum Sahiba. Tn. Ghulam Ahmad menceritakan bahwa ibunya biasa menceritakan kepada mereka tentang kasih sayang yang beliau dapatkan dari Hazrat Amma Jaan r.a. di Rabwah. Beliau berkata, “Saya tinggal bersama beliau, dan karena alasan tertentu, saya tidak suka makan roti. Meskipun sedang mengalami kesulitan, Hazrat Amma Jaan r.a. biasa memberi saya uang untuk membeli roti gulung dari pasar, yang kemudian saya makan bersama susu.” Beliau juga mengenang, “Suatu ketika, ketika saya
menangis sewaktu kecil, Hazrat Amma Jaan dengan penuh kasih mendudukkan saya di pangkuannya, menghibur saya, dan memberi saya makan dengan tangan beliau sendiri.”
Tn. Ghulam Ahmad lebih lanjut menyebutkan bahwa ibu beliau dibesarkan seperti anak yatim, namun pergaulan suci dengan Hazrat Amma Jaan r.a., Hazrat Khalifatul Masih II r.a., dan sesepuh lainnya memberikan dampak yang besar terhadap diri beliau. Beliau rutin melaksanakan Tahajud sepanjang hidupnya dan disiplin dalam salat-salatnya. Beliau tidak hanya menjaga salat beliau sendiri, tetapi juga mendorong anak-anak beliau untuk melakukan hal yang sama. Meskipun penglihatannya lemah, beliau biasa menyelesaikan pembacaan Al-Qur’an dua atau tiga kali selama bulan Ramadhan. Beliau memiliki cinta yang mendalam, kesetiaan, dan ketulusan terhadap Khilafat. Beliau mendengarkan khotbah dan pidato Khalifah dengan penuh perhatian dan keheningan.
Salah satu kualitas beliau yang menonjol, seperti yang disebutkan oleh putranya, adalah beliau sangat tidak suka berbicara kepada orang lain dengan suara keras. Jika anak-anak berbicara dengan keras, beliau akan menegur mereka. Putra beliau menyatakan, “Saya selalu melihat beliau sebagai pendamping yang sejati dan setia kepada suaminya, dan beliau menanamkan pada anak-anak beliau pentingnya kedisiplinan dalam salat, mengajari mereka Yassarnal Qur’an, lalu mengajari mereka Al-Qur’an. Beliau sangat menanamkan kecintaan terhadap Khilafat dan Nizam Jemaat di dalam hati mereka. Beliau sering mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi masjid di Sialkot agar beliau juga dapat melaksanakan salat di tempat yang diberkahi di mana Hazrat Masih Mau’ud a.s. salat.” Tn. Ghulam Ahmad menyebutkan bahwa kebetulan beliau ditempatkan di Sialkot, sehingga beliau membawa orang tuanya ke Sialkot. Ibu beliau melaksanakan salat dan Nawafil dengan penuh rintihan di setiap bagian masjid dan mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah Taala karena telah mengabulkan keinginannya.
Beliau rajin berdoa, senantiasa rida dengan kehendak Allah Taala, dan benar-benar terlepas dari kekotoran dan keinginan dunia. Beliau adalah wanita yang mukhlis dan patut dicontoh dalam segala hal. Semoga Allah Taala memberikan ampunan dan rahmat-Nya. Semoga kebaikan-kebaikannya terus berlanjut pada anak-anaknya dan generasi mendatang.
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim.