Menyambut Bulan Ramadhan di tengah suasana Pandemik Corona
Beberapa tema bahasan: Arti Ketakwaan dan bagaimana meraihnya, Bahasan sebuah Hadits Nabi Muhammad (saw); Bahasan ungkapan para Sufi, ‘Matilah sebelum matimu!’; Beberapa masalah fiqh terkait berpuasa; beda antara ‘kemungkinan akan sakit’ dengan ‘telah merasakan gejala-gejala sakit’; niat dan pertimbangan ketakwaan dalam mengambil fatwa terkait batal puasa karena sakit; situasi dunia terkini sebagai akibat pandemik covid-19; krisis ekonomi sebagai dampak wabah pandemik dan kemungkinan meningkatnya ancaman peperangan; doa-doa untuk keamanan dunia.
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 24 April 2020 (Syahadat 1399 Hijriyah Syamsiyah/Ramadhan 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ()
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ()
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ()
Terjemahan ayat-ayat tersebut ialah sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, supaya kamu bertakwa.”
Terjemahan ayat selanjutnya ialah, “Berpuasa yang diwajibkan ialah pada beberapa hari yang telah ditentukan bilangannya. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, hendaklah ia berpuasa sebanyak itu pada hari-hari lain dan bagi orang-orang yang berpuasa dengan kesukaran yang sangat hendaklah membayar fidyah (tebusan) berupa memberi makan seorang miskin. Dan siapa berbuat kebaikan dengan rela hati maka hal itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi semua manusia disertai keterangan-keterangan yang nyata mengenai petunjuk dan pembeda. Maka dari itu, siapa di antaramu hadir pada bulan ini hendaklah ia berpuasa. Tetapi, siapa yang sakit atau dalam perjalanan maka berpuasalah pada hari-hari lain sebanyak bilangan hari yang luput dari berpuasa itu. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan Dia tidak menghendaki kesukaran bagimu dan kamu menyempurnakan bilangan puasa yang hilang itu dan supaya kamu mengagungkan Allah karena Dia telah memberi petunjuk kepadamu dan supaya kamu menjadi hamba-hamba yang bersyukur.” (Surah al-Baqarah: 2: 184-186. Bismilllahir Rahmaanir Rahiim dihitung ayat ke-1.)
Di sini (Inggris Raya) Ramadhan akan dimulai besok dengan karunia Allah Ta’ala. Allah Ta’ala memfungsikan puasa Ramadhan demi kemajuan keruhanian kita. Ayat Al-Qur’an yang pertama saya tilawatkan tadi difirmankan, “Puasa diwajibkan bagi kalian … supaya kalian bertakwa.” Apa itu takwa? Dalam menjelaskan hal tersebut Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda dalam satu kesempatan, “Ketakwaan adalah tatkala seseorang sedapat mungkin memenuhi segenap amanat dan janji keimanan yang ia buat dengan Allah Ta’ala sebagaimana dia juga menunaikan segenap amanat dan janji yang ia buat dengan sesama makhluk-Nya.” Artinya, sedapat mungkin mengokohkan dan mengamalkan segenap amanat dan janji hingga ke segi yang sehalus-halusnya dengan penuh konsisten. Ini bukanlah amalan yang mudah.
Apa itu huququllah dan huququl ibad itu? Jika daftarnya seseorang buat maka akan membuat manusia khawatir. Haq ibadah kepada Allah Ta’ala bahkan merupakan haq yang tidak dapat kita penuhi. Sedemikian rupa banyaknya ihsan Allah Ta’ala atas kita yang mana itu menuntut haq (kewajiban dan tanggungjawab) dari kita untuk bersyukur kepada-Nya. Tidak hanya tidak dapat kita penuhi kewajiban menyatakan syukur itu, tetapi kita juga bahkan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhinya. Kebanyakan manusia terus mengambil manfaat dari berkat-berkat Allah Ta’ala tanpa disertai pernyataan syukur sembari berpikiran bahwa berkat-berkat itu merupakan haknya. Padahal, itu merupakan ihsan (kebaikan) Allah Ta’ala yang mana meskipun keadaan kita yang tidak bersyukur, namun Allah Ta’ala tetap menganugerahkannya. Janji yang kita panjatkan kepada Allah Ta’ala, gagal kita penuhi. Selanjutnya, hak-hak sesama makhluk Tuhan, hak-hak orang tua, hak-hak tetangga, hak-hak musafir dan hak-hak masyarakat umum yang tidak kita penuhi, padahal diperintahkan kepada kita untuk memenuhinya, namun kita tidak memenuhinya. Alhasil, kita tidak memenuhi hak-hak Allah Ta’ala. Jika kita mengamati secara mendalam dan berkali-kali hak-hak sesama makhluk pun tidak kita penuhi.
Suatu kali saya membuat daftar (senarai) umum yang hanya mencakup beberapa hak-hak utama yakni kewajiban-kewajiban yang harus kita tunaikan kepada para hamba dan sesama makhluk Allah. Lebih kurang jumlahnya menjadi 28 atau 29. Alhasil, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda:
“Keimanan sebenarnya dan ketakwaan sejati menuntut supaya kita memenuhi janji yang telah kita buat dengan Allah Ta’ala dan untuk melakukan hal itu dengan cara mempelajari yang sehalus-halusnya (sekecil-kecilnya) dari janji tersebut. Demikian pula penuhilah juga hak amanat-Nya. Begitu juga seseorang harus memenuhi janji kepada makhluk-Nya sampai yang sehalus-halusnya dan juga menunaikan amanat mereka dengan perhatian penuh. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa ketakwaan ada.”
Allah Ta’ala berfirman, “Alasan bulan Ramadhan datang dan kalian ditekankan untuk berpuasa ialah supaya kalian kelalaian dan kekurangan dalam pemenuhan hak-hak tersebut selama 11 bulan dapat kalian penuhi di bulan ini dengan menaruh perhatian kepada Allah Ta’ala disertai ketulusan sembari meninggalkan segala sesuatu yang diperbolehkan demi Allah Ta’ala, bersabar menanggung lapar dan dahaga, menaruh perhatian terhadap ibadah kepada Allah Ta’ala lebih dari sebelumnya dan secara khusus memberikan perhatian pada pemenuhan hak-hak para hamba-Nya. Jika kalian mengamalkan hal ini maka itulah yang disebut takwa dan inilah yang merupakan tujuan Ramadhan dan puasa.”
Jika seseorang berpuasa disertai niat dan tujuan untuk meraih hal itu lalu melalui Ramadhan dengan niatan baik, maka perubahan yang tercipta tidaklah sementara, melainkan abadi. Kemudian akan timbul perhatian abadi seseorang pada pemenuhan hak-hak Allah Ta’ala dan akan timbul perhatian abadi pada pemenuhan hak-hak ibadah juga. Bagi seseorang yang seperti itu kesibukan dunia dan hal hal yang laghw tidak akan menguasainya dan akan timbul padanya perhatian secara umum untuk pemenuhan hak-hak manusia. Orang seperti itu tidak akan merampas hak sesama demi keuntungan pribadi. Jika kita tidak masuk ke bulan puasa ini dengan niat dan iradah seperti itu, maka masuknya kita kedalam bulan Ramadhan tidak ada manfaatnya.
Dalam satu kesempatan Baginda Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بَيْنَ وَجْهِهِ وَبَيْنَ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا “Siapa yang berpuasa demi Allah dan dengan mengharapkan karunia-Nya, maka Allah Ta’ala akan menciptakan jarak antara wajahnya dan api neraka sejauh 70 kharif (musim gugur).”[1] Jarak antara satu musim (musim gugur atau musim dingin) sampai musim dingin berikutnya ialah satu tahun lamanya. Hal itu berarti jarak 70 kharif lamanya sama dengan 70 tahun. Alhasil, inilah keberkatan puasa dan inilah ketakwaan yang ditimbulkan oleh puasa. Pengamalan berpuasa tidak hanya menimbulkan ketakwaan untuk 30 hari saja, melainkan puasa sejati memberikan pengaruhnya sampai 70 tahun.
Lebih lanjut lagi, jika kita perhatikan hal itu dari sudut pandang tersebut, yaitu ketika puasa diwajibkan bagi seorang muslim yang sudah baligh dan telah diwajibkan berpuasa baginya, jika ia benar-benar menyerap manfaat berpuasa dan melakukannya dengan memahami ruhnya, maka orang itu akan terus meraih limpahan keberkatannya seumur hidupnya yaitu keberkatan yang Allah telah tetapkan berada dalam berpuasa.
Selanjutnya, orang seperti itu akan terus mencari jalan untuk meraih ketakwaan yang merupakan tujuan puasa. Dalam keadaan demikian ia akan terhindar dari murka Ilahi dan akan terus menjadi peraih keridhaan Allah Ta’ala.
Jika kita bayangkan, terlahir orang-orang yang berpuasa seperti itu di masyarakat kita, maka betapa indahnya lingkungan yang akan tercipta, dimana hak-hak Allah Ta’ala terpenuhi begitu juga dengan hak-hak para hamba-Nya. Inilah lingkungan indah yang mana setiap orang beriman berkeinginan untuk menciptakannya. Bahkan, secara faktual setiap manusia berhasrat dan berupaya untuk menegakkan masyarakat yang seperti itu yang mana memperhatikan hak-hak tiap individu sejauh mungkin.
Akan tetapi, seperti yang telah saya katakan, pada umumnya berkaitan dengan penunaian hak-hak, seseorang menyukai untuk dirinya sendiri, sedangkan untuk hak orang lain, tidak terpikirkan olehnya. Namun demikian, Islam mengajarkan, “Kalian pun harus menciptakan suasana lingkungan seperti ini bagi orang lain yang tidak hanya memperhatikan kemaslahatan, keuntungan dan hak-hak pribadi melainkan kalian pun harus melindungi dan peduli pada hak-hak orang lain.”
Wabah pandemik virus yang merebak akhir-akhir ini telah membuat orang-orang terikat untuk tetap tinggal di rumah berdasarkan peraturan pemerintah. Dalam hal ini tengah tercipta satu sisi positif di kalangan masyarakat di sini (Inggris). Namun, secara khusus di kalangan jemaat timbul perhatian lebih akan hal itu melalui pengaturan Khudamul Ahmadiyah dan para sukarelawan di berbagai Negara di dunia dalam bentuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, support (dukungan), bantuan medis dan juga obat-obatan.
Melalui amal-amal tersebut, mereka tengah menampikan teladan dalam memenuhi hak yang mana tidak hanya internal (pihak dalam) kita mendapatkan manfaat karenanya bahkan eksternal juga merasakan manfaatnya dan terkesan.
Oleh karena itu, pemikiran yang muncul akhir-akhir ini dalam rangka mengkhidmati kemanusiaan, hendaknya terus tertanam dalam kehidupan kita, bukan dalam keadaan darurat saja.
Selain itu, apa saja faedah ruhani yang didapatkan? Orang-orang menulis surat kepada saya menyatakan, “Disebabkan oleh keadaan ini, telah timbul suasana baru dalam keluarga kami, dimana kami berkumpul bersama di rumah, melaksanakan shalat berjamaah, setelah shalat diadakan daras singkat, menyimak khutbah bersama keluarga begitu juga program-program MTA yang lainnya.”
Lockdown ini kemungkinan diperpanjang lagi dan meliputi seluruh Ramadhan. Kita pun hendaknya tetap meningkatkan upaya-upaya untuk tetap melaksanakan shalat berjamaah dan daras. Ajarkanlah hal-hal mendasar kepada anak-anak. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya pada khutbah yang lalu, Anda dapat meningkatkan ilmu pengetahuan bagi diri sendiri dan juga anak anak. Berikanlah perhatian pada doa-doa dan secara khusus mintalah rahmat Ilahi bagi diri sendiri dan juga dunia. Ambillah manfaat sebanyak-banyaknya dari suasana yang Allah Ta’ala berikan pada kita ini. Suasana yang diciptakan oleh wabah ini di rumah rumah kita, seperti yang telah saya katakan, hendaknya menarik perhatian kita untuk lebih baik lagi, bukannya seperti halnya rumah-rumah orang-orang duniawi pada umumnya yang di dalamnya perkelahian dan kerusakan semakin meningkat sehingga membuat kegelisahan semakin bertambah.
Dengan memberikan perhatian pada amal-amal kesalehan, kita diingatkan bahwa kita seharusnya mengembangkan terus kebaikan lingkungan rumah kita. Terkadang terdapat di kalangan kaum pria yang tidak menjadi bagian seutuhnya dari lingkungan tersebut yakni suasana ruhani yang tercipta di dalam rumah. Sementara itu, terkadang terdapat di kalangan para wanita yang memiliki keutamaan dan prioritas yang berbeda. Orang-orang yang seperti itu tidak memahami bahwa dalam keadaan yang seperti ini betapa kita harus tunduk kepada Allah Ta’ala dan perlu untuk meraih keridhaan-Nya.
Ini juga adalah saat dimana anak-anak sedapat mungkin dibawa lebih dekat kepada Allah Ta’ala. Saat ini, di rumah-rumah para Ahmadi perlu bagi mereka untuk menaruh perhatian terhadap hal tersebut supaya kita dapat sebanyak-banyaknya menarik kasih sayang Ilahi dan meraih akhir kehidupan yang baik. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untk memahami hakikat takwa dan mengamalkannya.
Di dalam berbagai kesempatan Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah menjelaskan perihal takwa. Hadhrat Masih Mau’ud (as) merupakan hisn–e–haseen yakni benteng atau tempat berlindung yang kokoh. Beliau telah mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala lalu mengajarkan kepada kita ajaran Islam yang hakiki. Beliau menekankan kepada kita dengan penuh rintihan untuk masuk kedalam tempat berlindung tersebut setelah beliau (as) terlebih dulu memperlihatkan jalan Rasulullah (saw) yang telah diberitahukan oleh Allah Ta’ala. Maka dari itu, wajib bagi kita yang telah masuk kedalam jemaat beliau disertai dengan janji untuk mengamalkan sabda beliau untuk memenuhi janji yang telah kita ikrarkan kepada beliau. Amalkanlah itu dengan merenungkan sabda-sabda beliau (as) yang penuh rintihan sehingga selain kita menjadi orang yang memenuhi janji-janji kita, kita pun akan menjadi orang yang menata dengan baik kehidupan kita di dunia dan akhirat.
Saat ini akan saya sampaikan beberapa kutipan sabda Hadhrat Masih Mau’ud (as) yang beliau sampaikan dalam berbagai ksempatan dihadapan jemaat untuk kemajuan ruhani dan ketakwaan kita. Dalam menjelaskan mengenai apa itu takwa dan bagaimana cara untuk meraihnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda:
“Hal yang terpenting adalah, pertama hendaknya difahami bahwa apa itu takwa dan bagaimana ketakwaan dapat diraih? Ketakwaan diraih dengan menghindari keburukan sampai yang sekecil-kecilnya.
Caranya adalah manusia melakukan upaya sehingga tidak sampai pada penghujung dosa. Janganlah upaya semata dianggap cukup, melainkan panjatkanlah doa yang menjadi haknya yakni ketika duduk, sujud, ruku, berdiri dan dalam tahajjud juga dengan merintih. Alhasil, dalam berbagai keadaan dan waktu sibukkanlah dengan pikiran tersebut dan doa semoga Allah Ta’ala menyelamatkan dari dosa doa dan kekotoran maksiyat.
Tidak ada keberkahan yang lebih dari itu yaitu tatkala manusia terlindungi (ma’shum) dari dosa dan maksiyat dan ia dinyatakan benar dan sadiq dalam pandangan Allah Ta’ala. Namun nikmat ini tidak dapat diraih dengan hanya upaya semata atau doa semata, melainkan dapat diraih dengan penyatuan sempurna dua hal tersebut yakni upaya dan doa.”
Sebelum kalian menyampaikan keduanya sampai pada puncaknya, hal tersebut tidak akan dapat diraih.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,
“Seseorang yang hanya mengandalkan doa dan tidak berupaya, berarti orang tersebut berdosa dan menguji Allah Ta’ala. Begitu juga orang yang hanya berupaya semata dan tidak berdoa berarti dia bersikap takabbur (sombong). Dia memperlihatkan bahwa ia istighna (tidak memerlukan bantuan) dan ingin meraih kebaikan dengan gagasannya, upayanya dan kekuatan tangannya.”
Kebaikan tidak dapat diraih dengan kekuatan tangan sendiri.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) kemudian bersabda,
“Namun amal perbuatan demikian bukan cara beriman dan Muslim sejati. Sebab, mereka mengandalkan keduanya yakni upaya dan doa. Ia melakukan upaya penuh. Ia penuhi sarana-sarana lahiriah lalu menyerahkan urusan kepada Allah Ta’ala dan berdoa. Inilah ajaran yang diberikan oleh Al Quran pada surat pertama sebagaimana difirmankan, إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin. Siapa yang tidak menggunakan potensinya, ia tidak hanya bersikap tidak hormat pada potensinya bahkan melakukan dosa juga.”
Kemudian penjelasan lebih lanjut sebagai berikut,
“Seseorang harus mendayagunakan sepenuhnya apa pun potensi yang Allah berikan kepadanya lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala. Ia hendaknya memohon kepada Allah Ta’ala dengan mengatakan, ‘Seberapa besar taufik yang Engkau berikan pada hamba, akan hamba gunakan sampai batas tersebut.’
Ini merupakan makna iyyaaka na’budu – ‘Hanya kepada Engkaulah kami menyembah.’ lalu memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dengan mengatakan iyyaaka nasta’in – ‘Hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. Artinya, untuk tahapan selebihnya ialah hamba memohon bantuan Engkau.’”
Namun kita hendaknya selalu ingat bahwa Allah Ta’ala maha mengetahui keadaan hati kita dan setiap amalan kita, untuk itu sampaikanlah usaha kita sampai pada puncaknya sebatas taufik yang dimiliki, upayakanlah sesuai itu selanjutnya manusia dapat memohon bantuan-Nya.
Dalam hal ini perlu bagi kita untuk meneliti jiwa kita, lihatlah, apakah kita menempuh ketakwaan ataukah tidak?
Beliau (as) bersabda,
“Tidak diragukan lagi bahwa terkadang manusia mengambil faedah dari sarana-sarana upayanya namun hanya yakin sepenuhnya pada upaya merupakan kebodohan yang sangat. Sebelum upaya disertai dengan doa maka tidak ada artinya. Begitu juga sebaliknya. Akses jendela yang darinya dapat muncul maksiyat, pertama adalah perlu untuk terlebih dulu menutup jendela tersebut.” Dalam kata lain, seseorang harus menutupn lubang atau tempat yang darinya dosa muncul. Sesuatu yang menjadi penyebab timbulnya dosa yakni dosa atas ketidaktaatan dan menjauh dari agama, adalah perlu untuk menghilangkan faktor tersebut.
Beliau (as) bersabda:
“Tutuplah jendela tersebut lalu teruslah berdoa untuk jiwa yang tengah berjuang di dalamnya. Maka dari itu, dikatakan, وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ‘Walladziina jaahaduu fiina lanahdiyannahum subulana.’ – ‘Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami.’ (Al-Ankabut, 29:70). Di dalam ayat tersebut begitu rupa ditekankan untuk melakukan upaya. Dalam rencana dan upaya pun janganlah lepaskan Tuhan.
Di sisi lain difirmankan, ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ Ud’uuni astajib lakum – ‘Berdoalah kepada-Ku, niscara akan Aku kabulkan.’ (Surah al-Ghafir, 40:61) Jika seseorang benar-benar memohon ketakwaan, maka berupayalah dan berdoa. Amalankanlah hak untuk mengamalkan keduanya. Dalam keadaan demikian Allah Ta’ala akan mengasihinya. Namun jika hanya mengamalkan satu dan meninggalkan yang lainnya, maka akan luput.”
Menjelaskan lebih lanjut, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda:
“Jadi, dengan cara demikian manusia dapat teguh diatas ketakwaan, yakni dengan upaya dan doa. Takwa merupakan akar dari setiap amal.” Amalan apa yang membuat manusia teguh diatas ketakwaan? Seperti yang telah dikatakan ialah dengan rencana dan upaya serta dengan doa.
“Siapa saja yang kosong darinya, maka ia adalah fasiq. Perhiasan amal terlahir dari takwa.” Takwalah yang menimbulkan keindahan dalam amal perbuatan. “Dengan perantaraannya dapat diraih qurb (kedekatan) Ilahi dan dengan perantaraannyalah dia dapat menjadi waliyullah. Sebagaimana Allah berfirman, إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ ‘In auliyaa-uhu illal muttaquun’ – para wali-Nya ialah orang-orang bertakwa.’ (Surah al-Anfaal, 8:35)”
Dalam menjelaskan ayat tersebut beliau (as) bersabda lebih lanjut:
“Untuk memperoleh bagian kewalian seseorang harus mempunyai ketakwaan. Jika kalian takut kepada Allah Ta’ala lalu meraih-Nya maka kalian akan sampai pada kesempurnaan.”
Jika seseorang ingin menjadi waliyullah (Sahabat Allah), dia harus ingat bahwa itu hanya dapat diraih dengan ketakwaan. Jika rasa takut kepada Allah Ta’ala ada di dalam hati, maka manusia dapat sampai pada kesempurnaan.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,
“Ketika sudah seutuhnya tidak tersisa tahapan ketakwaan, maka selanjutnya manusia memasuki golongan waliyullah. Pada hakikatnya, derajat sempurna ketakwaan ialah semacam maut karena ketika manusia menentang segenap sisi jiwa maka itu akan membuat jiwa seperti berhenti ada. Karena itulah dikatakan, مُوتُوا قَبْلَ أَنْ تَمُوتُوا ‘Muutuu qabla an tamuutuu.’ – ‘Matilah sebelum kamu mati.’[2]
Jiwa menyukai kelezatan lahiriah. Ia sama sekali tidak mengetahui kelezatan yang tersembunyi.” Kelezatan Allah Ta’ala dan kelezatan ruhani tersembunyi, manusia tidak mengenalnya.
“Manusia hanya mengenal gemerlap duniawi dan itu jugalah yang digandrungi oleh jiwa. Untuk membuat jiwa mengenalnya adalah penting bagi seseorang supaya pertama tercipta maut terhadap kelezatan lahiriah dan gemerlap duniawi. Selanjutnya, ia akan mengenali kelezatan yang tersembunyi. Saat itu akan mulai timbul kelezatan Ilahi yang merupakan contoh kehidupan surgawi.”
Ketika seseorang mulai mempelajari kelezatan-kelezatan tersembunyi maka manifestasi kehidupan surgawi akan bermula.
Beliau menasihatkan jemaat beliau dalam hal ini dengan bersabda, “Para anggota Jemaat kami hendaklah membuat sebuah maut bagi diri mereka sendiri.”
Dalam hal ini beliau tidak sedang memberikan nasihat hanya kepada orang-orang yang sudah sampai tingkat ruhani yang tinggi atau tingkat para waliyullah, melainkan ini nasehat kepada anggota Jemaat secara umum. Janganlah beranggapan bahwa untuk sampai pada maqam tersebut menuntut seseorang agar sudah mencapai satu maqam yang khas dan yang tidak dapat ditempuh oleh setiap jiwa.
Dalam hal ini beliau memberikan nasihat umum kepada Jemaat, beliau (as) bersabda,
“Jemaat kita hendaknya menciptakan maut pada jiwa dan untuk meraih ketakwaan maka hal pertama berlatihlah sebagaimana seorang anak yang tengah belajar menulis. Mula-mula tulisannya miring-miring namun pada akhirnya setelah terus berlatih anak tersebut tulisannya mulai jelas dan lurus. Begitu pula mereka pun perlu berlatih. Ketika Allah Ta’ala melihat kegigihannya, Allah Taala sendiri akan mengasihinya.”
Hal ini telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada kalimat وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ‘Walladziina jaahaduu fiina lanahdiyannahum subulana.’ – ‘Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami.’ Maksud mujahadah adalah latihan. Jika manusia berupaya lalu berdoa kepada Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala akan mengasihinya dan memberikan buah padanya. Yang dimaksud mujahadah di sini adalah latihan, sebagaimana seorang anak terus berlatih, di satu sisi insan berdoa dan disertai dengan upaya yang kamil, maka pada akhirnya karunia Tuhan akan datang padanya. Gejolak hawa nafsu menjadi tenggelam dan dingin kemudian keadaannya layaknya api yang disiram air. Banyak sekali manusia yang terdampar dalam nafsu ammarah.
Selanjutnya beliau bersabda kepada Jemaat mengenai islah bagi internal jemaat:
“Saya perhatikan, kadang terjadi perselisihan di kalangan intern, berseteru satu sama lain, terjadi kerenggangan. Bahkan perselisihan sepele pun kadang menyebabkan saling menyerang kehormatan satu sama lain dan menyerang saudaranya. Perbuatan seperti ini sangat tidak tidak sesuai, seharusnya tidak terjadi. Bahkan wajar-wajar saja jika salah seorang diantara mereka mengakui kesalahannya.”
Disebabkan oleh hal sepele saja, ada sebagian orang yang menghina pihak lainnya tanpa berhenti sampai membuatnya terhina. Wajib bagi kita untuk meninggalkan perbuatan demikian. Allah Ta’ala memiliki nama Sattaar, lantas kenapa orang ini tidak mengasihi saudaranya, tidak memaafkan dan menutupi kesalahannya. Hendaknya ia menutupi kelemahan saudaranya, tidak menyerang harga diri dan kehormatannya.”
Beliau bersabda,
“Masih banyak orang dalam jemaat ini yang disebabkan oleh perkara sepele saja yang bertentangan dengannya lalu menganggapnya sebagai sesuatu yang menyinggung perasaannya, ia langsung emosi, padahal sangat perlu baginya untuk menghilangkan segenap gejolak emosi yang seperti itu, supaya tercipta kelembutan dan belas kasihan dalam tabiat kita. Tampak kepada kita, ketika timbul percekcokan disebabkan perkara sepele, lalu satu sama lain saling berpikiran untuk menumbangkan lawannya yakni berpikiran, ‘Bagaimanapun aku harus membuat dia direndahkan, bagaimanapun aku harus menang.’
Dalam keadaan demikian kita harus terhindar dari gejolak nafsu bahkan demi untuk menghilangkan kerusakan, kita secara sengaja harus memilih kehinaan bagi diri sendiri. Jangan sekali-kali berusaha untuk merendahkan satu sama lain dalam perselisihan tersebut.”
Bersabda,
“Membeberkan kesalahan orang lain merupakan akar ketakabburan dan penyakit.”
Beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa pikiran untuk mengalahkan saudara sendiri merupakan akar ketakabburan. Selanjutnya, menceritakan dimana-mana mengenai kelemahan saudaranya. Hal itu merupakan penyakit berat.
Selanjutnya, beliau (as) bersabda,
“Perbuatan demikian dapat merusak jiwa, tinggalkan hal itu. Alhasil, semua perkara ini termasuk dalam ketakwaan. Siapa saja yang menempuh jalan takwa dalam urusan internal maupun eksternal, akan dimasukkan kedalam golongan Malaikat, karena didalam dirinya tidak tersisa lagi pembangkangan. Raihlah ketakwaan, karena keberkatan Allah Ta’ala muncul setelah adanya ketakwaan. Seorang mutaqi akan dihindarkan dari berbagai bala dunia karena Allah Ta’ala akan menutupi kelemahannya. Sebelum cara-cara ini ditempuh, semua akan memperoleh kegagalan, orang yang seperti itu tidak akan dapat meraih faedah baiat kepada saya.”
Bersabda:
“Ikrar baiat secara lisan saja tidak ada artinya, Allah Ta’ala mengharapkan tazkiyah nafs. Bagaimana mungkin akan mendatangkan faidah jika masih terdapat keaniayaan dalam diri. Jika dalam diri kita masih terdapat gejolak emosi, takabbur, berbangga diri, riya, mudah marah seperti yang dijumpai dalam diri orang lain, lantas apalah bedanya?”
Menjelaskan lebih lanjut beliau bersabda,
“Maka dari itu, ciptakanlah perubahan dalam jiwa, raihlah teladan luhur akhlak. Jika dalam suatu lingkungan masyarakat terdapat satu orang yang baik seperti itu, maka orang lain akan terpengaruh dengan orang baik tersebut layaknya karomah.”
Jika ada orang baik, berfitrat baik, memberikan manfaat bagi orang lain, dapat mengontrol emosinya dan rendah hati maka orang lain akan terpengaruh olehnya seperti karomah.
Ini pun merupakan satu sarana tabligh. Seorang saleh yang menempuh kebaikan dengan disertai rasa takut kepada Allah Ta’ala dan di dalam diri orang seperti itu terdapat ru’b Rabbani akan membekas ke dalam hati orang-orang bahwa orang ini adalah orang yang saleh.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyatakan,
“Bagaimanapun permusuhan orang lain terhadapnya, secara perlahan dengan sendirinya orang-orang yang memusuhinya itu akan mengikutinya dan bukan membenci, mereka akan mulai mengakui kemuliaannya.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) lebih lanjut bersabda,
“Sama sekali benar bahwa orang yang diutus oleh Allah Ta’ala, Allah Ta’ala memberikan bagian padanya dari kemuliaan-Nya dan ini merupakan orang-orang yang beruntung. Ingatlah bahwa menyakiti saudara untuk hal-hal yang sepele tidaklah benar. Hazrat Rasulullah merupakan kumpulan segenap akhlak mulia dan saat ini Allah Ta’ala telah menyatakan bahwa akhlak beliau Saw sebagai teladan terakhr (sempurna) bagi umat manusia.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,
“Jika saat ini masih terdapat sifat barbariyat (hewani) dalam diri seseorang, maka sangatlah disesalkan dan sangat tidak beruntung. Jadi, janganlah membuka aib orang lain, karena terkadang sebagian orang melontarkan tuduhan kepada orang lain padahal dirinya sendiri yang terperangkap di dalamnya.”
Jika ternyata aib tersebut tidak dijumpai dalam diri orang yang tertuduh itu, namun kalian menuduhnya, maka kalian sendiri akan terperangkap di dalamnya.
“Namun jika aib tersebut pada kenyataannya terdapat dalam diri orang yang kalian tuduh itu, maka urusannya dengan Allah Ta’ala, dan tidak perlu bagi kalian untuk membuka aibnya.”
Jika benar adanya biarlah urusannya dengan Allah Ta’ala, namun jika tidak benar, maka tuduhan itu dapat berbalik pada dirimu sendiri.
Bersabda:
“Banyak sekali kebiasaan manusia yang melontarkan tuduhan kotor kepada saudaranya. Jauhilah perbuatan itu. Berikanlah manfaat pada umat manusia, bersimpatilah kepada saudara sendiri, perlakukanlah tetangga dengan baik, perlakukanlah istri dengan baik. Terutama adalah jauhi syirik, karena melakukan ini merupakan pondasi awal untuk menapaki ketakwaan.
Kemudian beliau (as) bersabda,
“Arti taqwa adalah menghindarkan diri dari jalan-jalan keburukan hingga yang sehalus-halusnya. Namun ingatlah! Kebaikan tidak hanya sampai sebatas seseorang mengatakan, ‘Saya ini orang baik karena saya tidak mengambil harta orang lain, tidak merampok, tidak mencuri, tidak melayangkan pandangan tidak senonoh dan tidak berzinah.’ Kebaikan semacam ini dalam pandangan seorang yang bijaksana layak untuk ditertawakan, karena jika seseorang melakukan keburukan-keburukan tadi, yakni ia mencuri, merampok atau berzinah, maka ia akan mendapatkan hukuman. Jadi, ini bukanlah suatu kebaikan yang patut dihargai dalam pandangan seorang yang bijak, melainkan kebaikan hakiki adalah, mengkhidmati manusia dan memperlihatkan ketulusan hati dan kesetiaan yang sempurna di jalan Allah Ta’ala, dan siap untuk mengorbankan nyawa sekalipun di jalan-Nya. Oleh karena itulah difirmankan dalam hal ini, إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ ‘Innallaaha ma’alladziinattaqou walladziina hum muhsinuun.’ (Surah an-Nahl, 16:129) Artinya, Allah Ta’ala bersama dengan orang-orang yang menghindarkan diri dari keburukan-keburukan dan seiring dengan itu juga melakukan kebaikan-kebaikan. Ingatlah dengan baik! Hanya semata-mata menghindari keburukan bukanlah suatu hal yang istimewa selama tidak disertai dengan berbuat kebaikan-kebaikan.”
Beliau (as) bersabda,
“Perhatikanlah! Jika seseorang dicungkil matanya, maka bagaimana mungkin ia bisa melayangkan pandangan tidak senonoh dengan mata-matanya dan bagaimana ia melakukan dosa dengan matanya, dan demikian pula jika tangan dipotong, maka kemudian dosa yang berkaitan dengan organ tubuh itu bagaimana mungkin bisa dilakukan.”
Demikian pula beliau (as) lebih lanjut bersabda,
“Persis seperti itulah ketika seorang manusia berada dalam keadaan nafsu muthma’innah (jiwa yang tentram), maka nafsu muthma’innah akan membutakannya dan pada matanya tidak ada lagi kekuatan untuk berbuat dosa. Ia melihat, namun tidak melihat.” Artinya, memang ia melihat, namun tidak melihat dengan pandangan yang tidak senonoh, karena pandangan yang berdosa dari matanya telah direnggut.
“Ia memiliki telinga namun tuli. Ia mendengar namun tidak mendengarkan perkataan-perkataan yang salah, dan ia tidak bisa mendengar perkataan-perkataan yang mengandung dosa. Demikian lah semua potensi-potensi nafsu dan syahwat serta organ-organ batinnya dipotong, seluruh potensi-potensi yang bisa mendatangkan dosa telah mengalami suatu maut dan ia betul-betul menjadi seperti mayat. Ia hanya mengikuti keridhoan Allah Ta’ala. Selain dari itu, selangkah pun ia tidak bisa melangkah. Ini adalah keadaan ketika terdapat keimanan sejati kepada Allah Ta’ala dan sebagai hasilnya ia diberikan ketentraman sempurna di dalam Dia.”
Beliau (as) bersabda,
“Ini adalah maqom (kedudukan) yang hendaknya menjadi tujuan sebenarnya dari manusia.”
Kemudian mengenai tujuan sebenarnya dari manusia tersebut beliau (as) bersabda ditujukan kepada Jema’at beliau,
“Jemaat kita memerlukan hal ini dan untuk meraih ketentraman yang sempurna diperlukan keimanan yang sempurna. Alhasil, kewajiban pertama dari Jemaat kita adalah, raihlah keimanan yang sejati kepada Allah Ta’ala.”
Kemudian beliau (as) bersabda,
“Seseorang tidak akan menjadi suci selama Allah Ta’ala tidak mensucikannya. Ketika ruhnya tersungkur dengan penuh kehinaan dan kerendahan di hadapan singgasana Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala akan mengabulkan doanya dan ia menjadi tulus kepada-Nya dan pantas disebut ‘abdun’ (hamba).
Pada saat itu ia akan mampu memahami agama Nabi Muhammad (saw). Tanpa sampai ke tingkat yang seperti itu maka setiap hal yang orang biasa sebut sebagai agama, ibadah dan lain sebagainya yang mereka biasa kerjakan, itu hanyalah sebuah formalitas dan khayalan-khayalan, yang mereka dengar lalu laksanakan sebagai taqlid (ikut-ikutan) terhadap bapak-bapak mereka.”
Nenek moyang mereka melakukan demikian, maka mereka pun melakukannya juga, tidak ada hakikat dan kerohanian di dalamnya.
Alhasil, inilah standar ketakwaan dan inilah standar untuk mengenal, memahami dan mengamalkan agama yang ke arahnya Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah menarik perhatian kita dan kita harus berusaha untuk meraihnya. Seiring dengan amal-amal baik kita hendaknya kita bersujud dengan penuh kerendahan di hadapan Allah Ta’ala guna memohon pertolongan-Nya, semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk meraih standar-standar tersebut dan memenuhi harapan-harapan Hadhrat Masih Mau’ud (as).
Inilah ketakwaan yang kemudian pada ayat selanjutnya dijelaskan mengenai rincian dari puasa, ketakwaan ini lah yang memberikan kepada kita taufik untuk menggunakan keringanan-keringanan di dalam puasa dan menerapkannya dengan sebaik-baiknya. Allah Ta’ala telah menyerahkan ini pada keadaan kita masing-masing, dengan syarat melaksanakannya dengan penuh ketakwaan.
Jika seseorang menderita suatu penyakit yang karenanya menjadi sulit atau tidak mengizinkannya untuk menjalani puasa, atau suatu penyakit yang mengenainya dokter menyarankan supaya tidak berpuasa, maka berikanlah fidyah. Namun janganlah mencari-cari alasan dan membuat pembenaran untuk sekedar membayar fidyah tanpa berpuasa. Bahkan Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,
“Seseorang hendaknya memperlihatkan ketaatan ketika berbuat kebaikan.”
Kita harus melihat bagaimana Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk melaksanakan ini. Alhasil, jika kita mengukur keadaan diri kita sendiri dengan melihat jauh ke kedalaman hati dan berjalan di atas ketakwaan, maka akan diketahui apakah lebih baik tetap berpuasa atau membayar fidyah untuk sementara.
Kemudian lebih lanjut Allah Ta’ala menjelaskan bahwa jika sakit atau dalam perjalanan maka janganlah berpuasa, karena Allah Ta’ala tidak menginginkan kesulitan, dan ketika penyakit itu telah hilang, maka sempurnakanlah puasa yang tertinggal tersebut. Puasa yang tertinggal pada saat perjalanan, sempurnakanlah itu meskipun telah membayar fidyah juga. Alhasil, pada akhirnya ambillah keputusan dengan memperhatikan ketakwaan, rasa takut kepada Allah Ta’ala dan mengedepankan kesadaran bahwa Allah Ta’ala mengetahui keadaan kalian, maka Allah Ta’ala akan memberikan hasil yang terbaik bagi kalian. Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,
“Siapa saja yang merasa senang bahwa Ramadhan yang ia tunggu-tunggu telah datang dan ia berniat untuk berpuasa lalu dikarenakan sakit ia tidak bisa berpuasa, maka di langit ia tidak mahrum dari puasa.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda lebih lanjut,
“Di dunia ini banyak orang yang mencari-cari alasan dan beranggapan, ‘Sebagaimana kami menipu orang-orang di dunia ini, demikian jugalah kami akan menipu Allah Ta’ala. Kami telah berhasil menipu orang-orang di dunia, demikian jugalah kami akan bisa menipu Allah Ta’ala.’ Mereka membuat-buat sendiri helah dan berpura-pura telah terjadi begini dan begitu, lalu menganggap itu sebagai alasan yang benar untuk meninggalkan puasa.
Akan tetapi, dalam pandangan Allah Ta’ala itu tidaklah benar. Ada ketidakterbatasan untuk mencari-cari alasan.”
Ketika orang membuat satu alasan maka akan berlanjut ke alasan-alasan lainnya. Jika seseorang ingin menjadikan kepura-puraan itu sebagai alasan, maka sepanjang umur ia bisa shalat sambil duduk dan sama sekali tidak melaksanakan puasa Ramadhan.
“Namun demikian, Allah Ta’ala mengetahui niatnya. Allah Ta’ala adalah ‘Aalimul ghaib (Yang Maha Mengetahui hal yang gaib).”
Dia mengetahui kedalaman hati kita. Dia mengetahui niat dan rencana kita.
Beliau (as) bersabda,
“Siapa saja yang memiliki ketulusan dan keikhlasan, maka Allah Ta’ala akan memperlakukannya sesuai dengan itu. Namun orang yang mencari-cari alasan, Allah Ta’ala pun akan memperlakukannya sesuai dengan itu, karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui.”
Kemudian beliau (as) bersabda,
“Allah Ta’ala mengetahui di dalam hati orang-orang yang memiliki ketulusan dan keikhlasan terdapat keperihan, sedangkan orang yang membuat-buat alasan di dalam hati mereka tidak terdapat keperihan, dan Allah Ta’ala pun memberikan pahala yang lebih banyak kepadanya, karena hati yang penuh dengan keperihan merupakan sesuatu yang patut untuk dihargai. Sebagian orang membuat alasan-alasan palsu, namun dalam pandangan Allah Ta’ala alasan tersebut tidak berarti apa-apa.”
Jadi, inilah prinsip yang harus kita kedepankan. Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa orang yang tengah dalam perjalanan dan yang sakit, baginya tidak ada kesulitan, ia bisa menyempurnakan puasanya yang terlewatkan di kemudian hari setelah Ramadhan. Namun, Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga bersabda,
“Dalam keadaan ini pun harus membayar fidyah, dengan itu akan ada taufik untuk melaksanakan puasa.”
Belakangan ini dikarenakan terjadinya pandemi, banyak orang bertanya, “Dengan berpuasa tenggorokan akan menjadi kering, kemungkinan untuk sakit pun akan semakin besar, apakah harus berpuasa atau kah tidak?”
Saya tidak memberikan fatwa atau keputusan yang bersifat umum mengenai hal ini, saya secara umum menjawab, kalian harus melihat keadaan kalian masing-masing lalu ambillah keputusan. Dengan hati yang bersih dan dengan menegakkan ketakwaan, ambillah fatwa dari hati kalian. Petunjuk Al-Quran sangat jelas bahwa jika kalian sakit maka janganlah berpuasa. Meninggalkan puasa dengan alasan kemungkinan menjadi sakit adalah suatu kekeliruan.
Sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda mengenai hal semacam itu,
“Dari satu alasan akan muncul alasan lain dan dari satu helah akan muncul helah yang lainnya tanpa henti.”
Jika ada yang mengatakan bahwa dokter menyatakan ini akan sulit, saya telah meminta pendapat dari dokter-dokter ahli. Pendapat para dokter ini pun berbeda-beda. Sebagian ahli menulis dengan jelas bahwa bukanlah suatu hal yang mutlak dengan berpuasa penyakit berupa kontraksi virus pasti akan datang. Ya, jika muncul tanda-tanda seperti batuk atau demam, maka janganlah puasa. Jika dalam keadaan masih berpuasa, maka batalkanlah (berbukalah).
Para dokter yang cenderung berpendapat supaya tidak berpuasa pun atau mereka memberikan persyaratan-persyaratan yang kesimpulan akhirnya adalah jangan berpuasa, akan lebih baik jika mereka mempunyai pendapat yang jelas mengenai hal ini. Mereka tidak memiliki alasan yang jelas. Mereka menakut-nakuti kita. Pada satu segi, mereka mengatakan jangan berpuasa sementara pada segi lainnya secara bersamaan juga mengatakan, berpuasalah dengan memperhatikan gizi makanan. Lantas bagaimana dengan orang-orang miskin, sejauh mana mereka bisa memperhatikan gizi.
Walhasil, dengan memperhatikan berbagai pendapat yang berbeda, kesimpulannya adalah tidak ada kerugiannya tetap berpuasa. Ya, jika ada sedikit saja keraguan (karena ada gejala-gejala penyakit), maka segeralah tinggalkan puasa.
Sebagian berpendapat bahwa orang yang di dalam rumahnya ada yang sakit, sekalipun ia sendiri sehat, hendaknya ia pun jangan berpuasa, namun dokter lainnya berpendapat bahwa ini bukanlah alasan yang benar. Bagaimana pun, ketika kita berbuka puasa dan memulai puasa, kita harus minum sejumlah air. Dan mereka yang lebih perhatian dengan dirinya dan juga mampu, mereka bisa memakan makanan yang dapat menahan air lebih lama di dalam tubuh.
Ketika terdapat perbedaan pendapat di kalangan para dokter yang termasuk di dalamnya dokter dari Amerika, Jerman dan UK juga, maka untuk meninggalkan puasa tanpa sebab kita pun harus melihat jangan sampai ini termasuk ke dalam kategori yang mengenainya Hadhrat Masih Mau’ud (as) mengatakan, “Mereka mencari-cari alasan.” Atau “Mereka Taqiyyah (menyembunyikan kebenaran).”
Ya, berhati-hati adalah perlu. Kebutuhan air di tubuh sebagian orang pun sangat sedikit dan secara umum mereka minum sedikit air. Mereka berpuasa dengan baik namun dalam keadaan umum pun mereka minum sangat sedikit air. Ada seorang sepuh kita, Bpk. Choudry Nazir, beliau sepanjang hari berjalan di cuaca yang panas, sedangkan kami segera setelah tiba langsung mencari air. Saya beberapa kali menanyakan kepada beliau, terkadang beliau minum, terkadang tidak sama sekali. Beliau mengatakan, “kebutuhan air di tubuh saya sedikit.”
Singkatnya, setiap orang memiliki keadaan yang berbeda-beda, dalam situasi ini hendaknya sebisa mungkin memperhatikan hal ini. Lihatlah keadaan masing-masing dan ambillah keputusan pribadi, mintalah fatwa kepada hati kita masing-masing.
Dan berdoalah, mohonlah taufik kepada Allah Ta’ala untuk bisa berpuasa dan banyaklah berdoa pada hari-hari ini, semoga Allah Ta’ala memberikan akal kepada manusia. Semoga mereka mengenal keberadaan Allah Ta’ala. Berdoalah, semoga Allah Ta’ala segera mengakhiri wabah ini dari dunia, memberikan kasih sayang-Nya kepada dunia dan semoga kita pun para Ahmadi dengan berjalan di atas ketakwaan dapat memenuhi hak Allah Ta’ala dan hak para hamba-Nya dan dengan sepenuhnya dapat mengambil faedah dari keberkatan-keberkatan Ramadhan. Ingatlah juga bahwa keadaan yang sedang terjadi di dunia akhir-akhir ini, ketika dikarenakan suatu wabah keadaan ekonomi dunia menjadi sangat rusak, maka kemungkinan terjadinya perang pun menjadi meningkat.
Banyak pengamat yang mengatakan hal ini juga. Dalam keadaan demikian pemerintahan-pemerintahan duniawi dengan makar-makar duniawi mereka hanya berusaha mencari solusi demi keuntungan pribadi mereka. Mereka berusaha mengalihkan perhatian rakyat mereka dan mengatakan hal-hal yang membawa mereka ke dalam kesulitan lebih jauh lagi, kemudian mereka terjerumus ke dalam kehancuran yang lebih jauh lagi. Dan sebagaimana yang telah saya katakan ada beberapa pengamat yang juga telah berbicara mengenai hal ini. Alhasil, semoga Allah Ta’ala memberikan pemahaman kepada kekuatan-kekuatan besar (negara-negara adidaya) sehingga mereka bisa bertindak dengan bijak dan tidak mengambil langkah-langkah yang bisa menimbulkan kerusuhan dan kerusakan yang lebih jauh lagi di dunia ini.
Saat ini surat-surat kabar secara terbuka memberitakan, demikian juga para pengamat menulis bahwa Amerika mengancam Iran, mereka juga menuduh China tidak memberikan informasi yang benar, harus ada pengadilan untuk mereka, mereka harus diperlakukan seperti ini dan itu. Kami akan melakukan ini dan itu terhadap Iran.
Singkatnya, pemerintah Amerika maupun pemerintah negara-negara lainnya harus bersikap bijak, dalam keadaan seperti ini, bukannya membawa dunia kepada kehancuran yang lebih jauh dengan mengambil langkah yang keliru, dengan pemikiran yang tepat lakukanlah perencanaan yang tepat, kembalilah kepada Allah Ta’ala, mohonlah pertolongan dari-Nya dan berdoalah untuk selamat dari wabah ini dan berusahalah. Bantulah para ilmuwan yang tengah berusaha menemukan obat untuk penyakit ini.
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk dapat berdoa dan memperbaiki situasi kita, dan semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada pemerintahan-pemerintahan besar dunia untuk membuat kebijakan-kebijakan dan program-program mereka ke depannya dengan kebijaksanaan. [Aamiin].
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
[1] Hadits dari Sunan ad-Darimi (سنن الدارمي), kitab jihad (كتاب الجهاد), bab berpuasa di jalan Allah (باب من صام يوما في سبيل الله عز وجل), nomor 2292; tercantum juga dalam Shahih Ibnu Khuzaimah (صحيح ابن خزيمة – ج3) dan Fathul Mannan (فتح المنان شرح المسند الجامع 1-10 – 9). Hadits mirip tercantum dalam Sunan An-Nasai, Kitab tentang puasa (كتاب الصيام), nomor 2252 dan Riyaadhus Shaalihin (رياض الصالحين) (كتاب الجهاد ) (باب فضل الجهاد ) (حديث رقم 1339) sebagai berikut: مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ حَرَّ جَهَنَّمَ عَنْ وَجْهِهِ سَبْعِينَ خَرِيفًا.
[2] Mirqatul Mafaatih (مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح – ج 9 – تابع الآداب – الرقاق – 4745 – 5378); Tuhfatul Ahwadzi bi syarh Jami’ at-Tirmidzi (تحفة الأحوذي بشرح جامع الترمذي – ج 6); Bihaarul Anwaar karya ‘Allaamah al-Majlisi (بحار الأنوار – العلامة المجلسي – ج ٦٩ – الصفحة ٥٩)