Putusan yang Dikeluarkan Setelah Pengkhianatan Bani Quraizhah
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 25 Oktober 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾
Di Perang Ahzab, setelah Bani Quraizhah melanggar perjanjian, terjadilah pengepungan pada benteng mereka untuk memberikan hukuman atas pengkhianatan dan kerugian yang mereka timbulkan terhadap umat Islam. Rincian lebih lanjutnya adalah, ketika pengepungan semakin ketat, Bani Quraizhah keluar dari benteng mereka untuk menerima keputusan Rasulullah saw. Mengenai berapa lama pengepungan ini berlangsung, ada berbagai riwayat yang berbeda. Beberapa riwayat menyebutkan 10 hari, ada yang menyebut 15 hari, 14 hari, dan ada pula yang menyebut 25 hari. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a., setelah mengkaji berbagai riwayat sejarah, menyimpulkan bahwa pengepungan ini berlangsung kurang lebih 20 hari.
Dalam keputusan ini, Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a. ditunjuk sebagai hakim pemberi putusan. Rinciannya adalah sebagai berikut: Rasulullah saw. memerintahkan untuk menahan orang-orang Yahudi, lalu mereka diikat dengan tali. Pekerjaan ini diawasi oleh Hz. Muhammad bin Maslamah r.a.. Para wanita dan anak-anak dikeluarkan dari benteng dan ditempatkan di satu sisi, dan Hz. Abdullah bin Salam ditugaskan mengawasi mereka. Semua yang ada di dalam benteng mereka seperti senjata, peralatan dan pakaian dikumpulkan. Di sana ditemukan 1500 pedang, 300 baju zirah, 2000 tombak, 1500 perisai kulit, dan banyak peralatan lainnya. Banyak wadah minuman keras dan barang-barang yang memabukkan ditemukan, lalu semua itu dibuang, serta banyak unta dan hewan lainnya yang semuanya dikumpulkan.
Para pembesar suku Aus menghadap Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah saw.! Bani Quraizhah adalah sekutu kami. Mereka menyesal dan gelisah karena pengkhianatan mereka. Maka maafkanlah mereka demi kami.” Rasulullah saw. tetap diam sampai desakan suku Aus semakin kuat dan semua orang suku Aus datang memohon. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian rela jika keputusan mengenai mereka diserahkan kepada salah seorang dari kalian?” Semua menjawab, “Ya, mengapa tidak.” Beliau saw. bersabda, “Perkara ini diserahkan kepada Sa’ad bin Mu’adz.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pilihlah siapa saja dari sahabatku untuk membuat keputusan,” maka mereka memilih Hz. Sa,ad bin Mu’adz r.a., dan Rasulullah saw. menyetujuinya. Hz. Sa’ad r.a. adalah pemimpin suku Aus dan sekutu Bani Quraizhah. Karenanya, orang-orang suku Aus tidak hanya puas tetapi juga senang, karena mereka mengira urusan ini sekarang ada di tangan mereka, dan tradisi Arab adalah menjaga kesetiaan dengan sekutu. Namun, takdir Allah telah menentukan keputusan yang berbeda, dan hati Hz. Sa’ad r.a. yang suci dan tulus telah mengutamakan Allah dan Rasul-Nya saw. di atas semua hubungan dan ikatan.
Pada waktu itu, Hz. Sa’ad r.a. berada di tenda Rafidah Aslamiyah di Masjid Madinah. Rafidah adalah seorang yang merawat orang-orang yang terluka dan ia memiliki satu tenda di masjid. Rasulullah saw. menempatkan Hz. Sa’ad r.a. di tenda ini agar perawatan dan kunjungan kepada yang terluka bisa dilakukan dengan mudah. Ketika Rasulullah saw. menyerahkan masalah ini kepada Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a., maka orang-orang suku Aus mendatanginya dan mendudukkannya di atas keledai yang pelananya terbuat dari kulit pohon kurma dengan alas kulit di atasnya. Tali kekangnya juga terbuat dari tali serat kurma. Hz. Sa’ad r.a. adalah seorang pemuda yang berbadan besar.
Orang-orang berkumpul di sekitar Hz. Sa’ad r.a. dan berkata, “Wahai Abu Amr! Rasulullah saw. telah menyerahkan urusan sekutu-sekutu Aus kepada Anda agar Anda berbuat baik kepada mereka. Oleh karena itu berbuat baiklah kepada mereka.” Tak berapa lama, semakin banyak orang berkumpul, akan tetapi Hz. Sa’ad r.a. tetap diam. Ketika desakan orang-orang semakin kuat, Hz. Sa’ad r.a. bersabda, “Sekarang telah tiba waktunya bagiku untuk tidak mempedulikan celaan orang yang mencela dalam urusan Allah Taala.”
Hz. Sa’ad r.a. datang kepada Rasulullah saw. sementara orang-orang juga duduk di dekat beliau saw.. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa ketika Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a. mendekati masjid tempat Rasulullah saw. berada, yang telah disiapkan untuk salat selama pengepungan Bani Quraizhah, maka melihat kedatangan beliau Rasulullah saw. bersabda, “Berdirilah untuk menghormati pemimpin kalian.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau saw. bersabda, “Berdirilah untuk orang terbaik kalian.”
Orang-orang Bani Abdul Asy’al berkata, “Kami berbaris dalam dua barisan untuk menyambut Hz. Sa’ad r.a.. Setiap orang dari kami mengucapkan selamat datang kepadanya hingga ia sampai di hadapan Rasulullah saw.” Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Sa’ad! Putuskanlah perkara di antara mereka.” Hz. Sa’ad r.a. menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih berhak untuk memberikan keputusan.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu untuk memutuskan perkara mereka.”
Orang-orang suku Aus berkata, “Wahai Abu Amr! Rasulullah saw. telah menyerahkan keputusan tentang sekutu-sekutu Anda kepada Anda. Maka perlakukanlah mereka dengan baik dan pertimbangkanlah kesulitan-kesulitan mereka.” Hz. Sa’ad r.a. bersabda, “Apakah kalian akan menerima keputusanku tentang Bani Quraizhah?” Mereka menjawab, “Ya. Kami telah setuju dengan keputusan Anda bahkan sejak Anda tidak ada di antara kami. Yakni, saat Anda tidak ada pun kami telah mengusulkan nama Anda. Kami memberikan kuasa kepada Anda dan berharap Anda akan berbuat baik kepada kami sebagaimana yang telah dilakukan kepada sekutu Bani Qainuqa. Andalah pilihan kami dan kami sangat membutuhkan keputusan Anda hari ini.”
Hz. Sa’ad r.a. bersabda, “Saya akan berusaha sebaik mungkin.” Orang-orang bertanya apa maksud perkataan beliau itu. Hz. Sa’ad r.a. bersabda, “Aku bersumpah demi Allah, apakah keputusanku akan dilaksanakan?” Untuk memastikan, beliau bertanya lagi untuk kedua kalinya dan mereka menjawab, “Ya.” Kemudian Hz. Sa’ad r.a. menghadap ke arah Rasulullah saw. berada. Karena rasa hormat pada keluhuran Rasulullah saw., Hz. Sa’ad r.a. tidak berbicara langsung kepada Rasulullah saw. tetapi berkata sambil mengisyaratkan ke arah Rasulullah saw., “Dan mereka yang duduk di sana juga berjanji?” Rasulullah saw. dan yang lainnya menjawab, “Ya.”
Lalu Hz. Sa’ad r.a. bersabda: “Aku memutuskan bahwa laki-laki dewasa mereka dihukum mati, wanita dan anak-anak ditawan, harta mereka dibagikan, dan rumah-rumah mereka diberikan kepada kaum Muhajirin, bukan kepada Anshar.” Kaum Anshar berkata, “Kami adalah saudara mereka dan telah bersama mereka.” Hz. Sa’ad r.a. menjawab, “Aku ingin mereka (Muhajirin) menjadi mandiri dari kalian.” Rasulullah saw. bersabda, “Sa’ad! Keputusanmu sesuai dengan keputusan Allah yang telah ditetapkan di atas tujuh langit.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang keputusan Hz. Sa’ad r.a., “Malaikat telah memberitahuku tentang keputusan ini di waktu sahur.” Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis rincian hal ini sebagai berikut:
Setelah pengepungan selama kurang lebih 20 hari, orang-orang Yahudi yang buruk ini akhirnya setuju untuk keluar dari benteng mereka dengan menerima keputusan seseorang yang, meskipun meskipun sekutu mereka, tidak menaruh belas kasihan di hatinya terhadap mereka karena akibat tindakan-tindakan mereka. Meskipun beliau (Hz. Sa’ad r.a.) adalah sosok yang adil, dalam hati beliau tidak ada kelembutan dan kasih sayang seperti yang dimiliki oleh sang Raḥmatan lil ‘Ālamīn. Rinciannya adalah: Suku Aus adalah sekutu lama Bani Quraizhah, dan pada waktu itu pemimpin suku ini adalah Sa’ad bin Mu’adz r.a., yang terluka dalam Perang Khandaq dan sedang dalam perawatan di halaman masjid.
Hz. Sa’ad r.a. datang dengan menunggang kendaraan, dan di jalan beberapa orang dari suku Aus berulang kali memohon kepada beliau dengan mengatakan bahwa Bani Quraizhah adalah sekutu mereka, dan sebagaimana Khazraj telah bersikap lembut terhadap sekutu mereka Bani Qainuqa, mereka meminta Hz. Sa’ad r.a. juga untuk bersikap lunak terhadap Bani Quraizhah dan tidak memberikan hukuman yang berat. Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a. awalnya mendengarkan mereka dalam diam, tetapi ketika desakan mereka semakin kuat, Hz. Sa’ad r.a. berkata bahwa ini adalah saatnya beliau tidak bisa mempedulikan celaan siapapun dalam urusan kebenaran dan keadilan. Mendengar jawaban ini, orang-orang terdiam.
Ketika Hz. Sa’ad r.a. mendekati Rasulullah saw., beliau r.a. bersabda kepada para sahabat,
قوموا اِلیٰ سیِّدِکُم
yakni, “Berdirilah untuk pemimpin kalian dan bantulah ia turun dari kendaraannya.” Ketika Hz. Sa’ad r.a. turun dan melangkah ke arah Rasulullah saw., beliau bersabda kepadanya, “Sa’ad, Bani Quraizhah telah menerimamu sebagai hakim dan mereka akan menerima apapun yang engkau putuskan.” Mendengar ini, Sa’ad mengangkat pandangannya ke arah kaumnya, suku Aus dan berkata,
عليكم بذالك عهد الله و ميثاقه ان الحكم فيهم بما حكمت
“Apakah kalian berjanji dengan nama Allah bahwa kalian akan menaati keputusan apapun yang aku buat tentang Bani Quraizhah?” Mereka menjawab, “Ya, kami berjanji.” Kemudian Hz. Sa’ad r.a. menunjuk ke arah tempat Rasulullah saw. duduk dan berkata,
وعلی من ھٰھُنا
yakni, “Apakah orang yang duduk di sini juga berjanji akan menaati keputusanku?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya, aku berjanji.”
Setelah perjanjian ini, Hz. Sa’ad r.a. mengumumkan keputusannya bahwa para tentara yakni orang-orang ahli perang dari Bani Quraizhah harus dibunuh, wanita dan anak-anak mereka ditawan, dan harta mereka dibagikan di antara kaum Muslimin. Ketika Rasulullah saw. mendengar keputusan ini, beliau saw. secara langsung bersabda,
لَقَدْ حَکَمْتَ بِحُکْمِ الله
yakni, “Keputusan engkau ini adalah suatu takdir Tuhan yang tidak dapat dihindari.” Maksud beliau saw. adalah bahwa keputusan tentang Bani Quraizhah ini terjadi dalam keadaan campur tangan Allah terlihat jelas, yang karenanya gejolak belas kasihan beliau saw. pun tidak sanggup menghalanginya; dan ini memang benar, karena rangkaian kejadian – Bani Quraizhah memanggil Abu Lubabah untuk meminta nasihat, ucapan tidak berdasar yang keluar dari mulut Abu Lubabah, penolakan Bani Quraizhah untuk menerima keputusan Rasulullah saw., pemilihan Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a. sebagai hakim karena mengira sebagai sekutu maka Hz. Sa’ad r.a. akan bersikap lunak, kemudian keteguhan Hz. Sa’ad r.a. pada kebenaran dan keadilan hingga menghilangkan semua gambaran fanatisme kesukuan, dan akhirnya permintaan Hz. Sa’ad r.a. akan janji tegas dari Rasulullah saw. bahwa keputusannya akan dilaksanakan – semua ini tidak mungkin kebetulan, dan sesungguhnya pasti ada takdir Allah di baliknya, dan ini adalah keputusan Allah, bukan keputusan Hz. Sa’ad r.a. semata.
Mengenai pelaksanaan keputusan Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a., dituliskan bahwa setelah Hz. Sa’ad r.a. membuat keputusan, Rasulullah saw. kembali ke Madinah pada hari Kamis 9 Dzulhijjah. Dalam riwayat lain disebutkan beliau saw. kembali pada 5 Dzulhijjah. Ibnu Sa’d menulis bahwa Rasulullah saw. kembali ke Madinah pada hari Kamis 7 Dzulhijjah. Tentang para tawanan, diperintahkan untuk membawa mereka ke Madinah. Sesuai perintah Rasulullah saw., para tawanan laki-laki dibawa ke rumah Hz. Usamah bin Zaid r.a., sedangkan wanita dan anak-anak dibawa ke rumah Hz. Ramlah binti Harits r.a.. Ada juga yang menyebutkan bahwa mereka semua ditawan di rumah Hz. Ramlah binti Harits r.a..
Rasulullah saw. memerintahkan untuk membawakan kurma bagi mereka, dan kurma-kurma itu disebarkan di atas tanah. Orang-orang membawa kurma dalam jumlah yang sangat banyak, dan sepanjang malam orang-orang Yahudi makan dengan leluasa. Beliau saw. juga memerintahkan agar senjata, peralatan dan pakaian dibawa ke rumah Hz. Ramlah r.a., sementara unta dan kambing dibiarkan merumput di bawah pohon-pohon. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis.
Tampaknya karena pengkhianatan, pemberontakan, fitnah, kekacauan dan pertumpahan darah yang dilakukan Bani Quraizhah, pengadilan ilahi telah memutuskan bahwa para prajurit mereka harus dilenyapkan dari dunia. Bahkan sejak awal, wahyu yang diterima Rasulullah saw. tentang peperangan ini menunjukkan bahwa ini adalah takdir Ilahi. Namun Allah Taala tidak menghendaki keputusan ini dijalankan langsung melalui Rasul-Nya; maka dengan berbagai cara gaib, Allah Taala menjaga Rasulullah saw. tetap terpisah dan membuat pengumuman keputusan melalui Sa’ad bin Mu’adz. Keputusan ini dibuat sedemikian rupa sehingga Rasulullah saw. tidak bisa campur tangan karena beliau saw. telah berjanji akan terikat dengan apapun keputusan yang akan diberikan oleh Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a.
Orang-orang yang melontarkan kritikan terhadap Rasulullah saw. terkadang meracuni pikiran para pemuda kita dengan mengatakan bahwa Rasulullah saw. berlaku zalim terhadap Bani Quraizhah, jawabannya adalah sangat jelas: Bukanlah beliau saw. yang membuat keputusan, dan keputusan justru dibuat oleh sekutu mereka sendiri atas kehendak Allah Taala, dan orang itu pun telah mengambil janji yang kuat dari Rasulullah saw.
Bagaimanapun, karena dampak dari keputusan ini tidak hanya pada diri beliau saw., akan tetapi pada seluruh umat Islam, oleh karena itu beliau saw. tidak menganggap bahwa beliau saw. berhak mengubah keputusan itu berdasarkan pendapat beliau sendiri meskipun pendapat beliau saw. akan condong pada pengampunan dan belas kasihan. Inilah campur tangan Ilahi yang karenanya beliau saw. secara langsung mengucapkan:
قَدْ حَکَمْتَ بِحُکْمِ الله
yakni, “Wahai Sa’ad! Keputusanmu ini sungguh merupakan suatu takdir Ilahi yang tidak ada seorang pun memiliki kekuatan untuk mengubahnya.”
Setelah mengucapkan ini, tanpa mengucapkan sepatah kata pun beliau saw. bangkit dari sana dan berjalan ke arah kota. Saat itu hati beliau saw. sangat sedih memikirkan bahwa suatu kaum yang sangat beliau saw. harapkan untuk beriman justru karena keburukan mereka sendiri terhalang dari keimanan dan menjadi sasaran murka dan azab Allah Taala. Tampaknya pada saat itulah beliau saw. mengucapkan kata-kata penuh kesedihan ini:
لو امن بی عشر من الیھود لآمنت بی الیھود
Yakni, “Andai saja ada sepuluh orang yang berpengaruh dari kaum Yahudi yang beriman kepadaku, maka aku berharap kepada Allah bahwa seluruh kaum ini akan menerimaku dan mereka akan selamat dari azab Ilahi.”
Saat bangkit dari sana, Rasulullah saw. memerintahkan agar para laki-laki, wanita dan anak-anak Bani Quraizhah dipisahkan. Maka kelompok-kelompok tersebut dibawa ke Madinah dan ditempatkan di dua rumah yang terpisah. Atas perintah Rasulullah saw., para sahabat – yang mungkin banyak di antara mereka sendiri sedang kelaparan – menyediakan buah-buahan yang berlimpah untuk Bani Quraizhah, dan tertera bahwa orang-orang Yahudi menghabiskan sepanjang malam memakan buah-buahan tersebut.
Ketika pagi tiba, diperintahkan untuk menggali lubang di sebuah daerah pasar di Madinah yang terbentang dari rumah Abu Jahm Adawi sampai ke Ajaruz Zaid. Kemudian Rasulullah saw. datang bersama beberapa sahabat. Beliau saw. memerintahkan untuk memanggil laki-laki Bani Quraizhah. Mereka dikeluarkan dari dalam kelompok-kelompok dan dihukum mati di parit tersebut. Ketika mereka tengah dibawa ke sana, seseorang bertanya kepada Ka’ab bin Asad, “Apa pendapatmu tentang apa yang akan dilakukan oleh Muhammad saw.?” Ia berkata, “Ia akan melakukan sesuatu yang buruk pada kalian, yang kalian tidak sukai. Celakalah kalian! Dalam keadaan apapun, kalian tidak pernah mengerti. Yang memanggil tidak akan melepaskan, dan yang pergi tidak akan kembali. Demi Allah, baginya adalah pedang.” Maksudnya, tidak ada lagi kemungkinan bagi mereka untuk selamat. Aku sebelumnya telah mengajak kalian kepada selain ini, tapi kalian menolak.”
Orang-orang Yahudi berkata, “Ini bukanlah waktunya untuk marah. Jika kami mengikuti pendapatmu, kami tidak akan melanggar perjanjian antara kami dan Muhammad saw.” Huyay bin Akhtab berkata, “Tinggalkan kemarahan ini. Tidak ada yang bisa dihindarkan dari kalian sekarang. Kini, bersabarlah menghadapi pedang.”
Hz. Ali r.a. dan Hz. Zubair bin Awwam r.a. ditugaskan untuk menjalankan hukuman mati. Menurut beberapa riwayat, beberapa tawanan dibagikan kepada sejumlah sahabat untuk dihukum mati. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis rinciannya sebagai berikut:
Keesokan harinya di waktu pagi, keputusan Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a. akan dilaksanakan. Rasulullah saw. menunjuk beberapa orang yang telah siap untuk menjalankan tugas ini dan beliau saw. sendiri sudah berada di suatu tempat di dekat itu agar bisa segera memberi petunjuk jika diperlukan selama pelaksanaan hukuman. Juga, jika ada permohonan pengampunan untuk seseorang terhukum, beliau saw. bisa segera memberi keputusan. Karena meskipun keputusan Hz. Sa’ad r.a. tidak bisa diajukan banding secara hukum kepada beliau saw., namun sebagai pemimpin atau kepala negara, beliau saw. bisa mendengar permohonan pengampunan untuk orang tertentu berdasarkan alasan khusus. Beliau saw. pun, atas dasar rasa belas kasih, juga memerintahkan agar para terhukum menjalani hukuman satu per satu, yaitu ketika satu orang menjalani hukuman, terhukum lain tidak boleh hadir. Maka setiap terhukum dibawa satu per satu dan menjalani hukuman mati sesuai keputusan Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a..
Ketika Huyay bin Akhtab, pemimpin Bani Nadhir dibawa, ia memandang Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Muhammad, aku tidak menyesal telah menentangmu, tetapi siapa yang meninggalkan Allah, Allah pun akan meninggalkannya.” Kemudian ia memandang orang-orang dan berkata, “Tidak ada yang bisa dilakukan di hadapan perintah Allah. Ini adalah perintah dari-Nya dan adalah takdir dari-Nya.” Begitu juga ketika Ka’ab bin Asad, pemimpin Quraizhah, dibawa untuk dihukum mati, Rasulullah saw. memberi isyarat kepadanya untuk masuk Islam. Ia menjawab, “Wahai Abul Qasim! Aku dapat saja masuk Islam, tetapi orang-orang akan mengatakan bahwa aku takut mati. Maka biarkanlah aku mati dalam agama Yahudi.”
Ada juga peristiwa tentang pengampunan seorang Yahudi bernama Rifa’ah. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis bahwa Rifa’ah memohon kepada seorang wanita Muslim yang berhati lembut untuk memohonkan ampunan bagi dirinya. Rasulullah saw. segera mengampuni Rifa’ah atas permohonan wanita Muslim tersebut. Singkatnya, siapa saja orang yang saat itu memohonkan pengampunan kepada Rasulullah saw., beliau saw. dengan segera mengampuninya, dan ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa beliau saw. terpaksa untuk menjalani keputusan Sa’ad, karena kecenderungan hati beliau saw. tidaklah menginginkan hukuman mati bagi mereka.
Ini adalah jawaban yang sangat jelas atas tuduhan bahwa beliau saw. berlaku zalim. Hukuman terhadap laki-laki Bani Quraizhah terus berlanjut hingga Rasulullah saw. selesai darinya, dan hukuman mati ini berlangsung hingga senja. Kemudian lubang-lubang itu ditutup dengan tanah. Semua ini dijalankan di hadapan Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a.. Allah Taala telah mengabulkan doa beliau dan memberikan ketentraman bagi diri beliau.
Menurut riwayat-riwayat sejarah, di antara para wanita, hanya Nabatah yang dihukum mati. Ia adalah istri seorang laki-laki Bani Quraizhah bernama Hakam. Ia telah membunuh seorang sahabat Muslim, Hz. Khallad r.a., yang sedang duduk di samping benteng Bani Quraizhah dengan melemparkan batu dari atas. Ia dihukum mati sebagai hukuman atas pembunuhan tersebut. Namun, beberapa sejarawan tidak setuju dengan riwayat ini dan menurut mereka, karena bercampurnya beberapa riwayat tentang Bani Nadhir atau Khaibar dan adanya beberapa bukti lain, maka peristiwa tentang hukuman mati untuk wanita ini adalah keliru. Wallāhu a’lam.
Ada juga peristiwa tentang Raihanah binti Zaid. Para wanita dan anak-anak tawanan Bani Quraizhah dibagikan di antara kaum Muslimin Madinah. Di antara mereka ada Raihanah binti Zaid, seorang wanita dari Bani Nadhir yang telah menikah dengan seorang laki-laki bernama Hakam dari Bani Quraizhah. Rasulullah saw. memilihnya untuk beliau saw.. Menurut sebagian riwayat, ia telah masuk Islam; menurut riwayat yang lain, beliau saw. menjadikannya sebagai hamba sahaya; dan menurut riwayat yang lain lagi, beliau saw. menikahinya. Ada berbagai riwayat yang berbeda. Ada yang benar dan ada yang keliru. Jika diteliti riwayat-riwayat ini, maka diketahui bahwa beberapa penulis sejarah Nabi saw. telah keliru dalam hal ini. Pertama, riwayat ini diketahui bertentangan dengan peristiwa sebenarnya dan adalah riwayat yang dibuat-buat. Jika seandainya ada kebenaran atasnya, hal itu hanyalah bahwa Rasulullah saw. telah membebaskannya, dan ia kembali kepada keluarganya dan di sanalah ia lalu wafat. Kemudian, jika seandainya riwayat ini pun diterima, maka Rasulullah saw. akan menjalani pernikahan dengannya, bukan menyimpannya sebagai hamba sahaya.
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis rincian berkenaan dengan peristiwa keliru tentang Raihanah, yaitu sebagai berikut:
Beberapa sejarawan menulis bahwa di antara tawanan Bani Quraizhah ada seorang wanita bernama Raihanah yang dijadikan hamba sahaya oleh Rasulullah saw.. Berdasarkan riwayat ini, Sir William Muir telah melancarkan kritik yang sangat menyakitkan terhadap Rasulullah saw.. Namun kenyataannya, riwayat ini sama sekali salah dan tidak berdasar:
Pertama, dalam riwayat Bukhari yang disebutkan sebelumnya bahwa Rasulullah saw. membagikan para tawanan kepada para sahabat, terbukti telah membantah riwayat ini. Jika beliau saw. mengambil seorang tawanan wanita untuk rumah beliau, seharusnya hal ini disebutkan dalam riwayat Bukhari, akan tetapi di dalam Bukhari bahkan tidak ada isyarat tentang hal ini.
Selain itu, riwayat-riwayat lain secara jelas membuktikan bahwa Raihanah adalah di antara para tawanan yang telah dibebaskan oleh Rasulullah saw. sebagai bentuk ihsan/kebaikan, dan setelah itu ia kembali ke keluarga asalnya, Bani Nadhir, dan tinggal di sana. Allamah Ibn Hajar, salah seorang peneliti Islam terkemuka, menganggap riwayat ini yang benar. Akan tetapi, jika ini diterima bahwa Rasulullah saw. mengambil Raihanah dalam perlindungan beliau, maka ia pasti menjadi istri beliau, bukan sebagai hamba sahaya. Oleh karena itu, kebanyakan sejarawan yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengambilnya dalam perlindungan beliau juga menegaskan bahwa beliau saw. membebaskan dan menikahinya.
Ibnu Sa’d mengutip satu riwayat yang langsung dari ucapan Raihanah, yaitu Raihanah menjelaskan: Rasulullah saw. membebaskanku dan setelah aku masuk Islam, beliau saw. menikahiku dengan mahar sejumlah 12 uqiyah 40 dirham. Ibnu Sa’d secara tegas menolak riwayat lain yang dijadikan dasar oleh Sir William Muir sebagai riwayat yang keliru dan bertentangan dengan kenyataan yang terjadi. Alhasil, ini termasuk dalam riwayat-riwayat yang diragukan, dan tertera bahwa inilah hasil penelitian dari para ilmuwan sejarah.
Jadi, pertama, sebagaimana telah terbukti dari riwayat Bukhari, dan telah dijelaskan juga di dalam Ashabah, Rasulullah saw. tidaklah mengambil Raihanah dibawah kepemilikan beliau, melainkan membebaskannya, lalu kemudian Raihanah pergi ke keluarganya dan ia tinggal disana. Kedua, jika riwayat ini diterima, yaitu Rasulullah saw. mengambil Raihanah di bawah perlindungan beliau, maka saat itu pun Rasulullah saw. pasti membebaskannya, lalu menikahinya, dan beliau saw. tidak menyimpan Raihanah sebagai hamba sahaya, seperti halnya telah dijelaskan dalam riwayat Raihanah sendiri, yang juga ini dikutip oleh beberapa orang. Sejauh mana ini benar, Allah yang Maha Mengetahui.
Selain itu, hal ini pun harus diingat, bahwa nama Raihanah dan silsilah keturunannya, dan nama kabilah asalnya berbeda-beda dalam berbagai riwayat, sehingga bahkan keraguan akan keberadaan sosoknya pun tampak dianggap bukan tidak masuk akal. Khususnya, saat menitikberatkan hal ini bahwa ia dikatakan sebagai istri dari sosok yang paling bersejarah di dunia ini. Wallāhu a’lam.
Mengenai pembagian harta ganimah, rinciannya adalah sebagai berikut: Ketika harta ganimah dikumpulkan, Rasulullah saw. membagikan bagian kurma-kurma. Di dalam gazwah/pertempuran ini ada sekitar 36 kuda. Satu kuda dibagi menjadi dua bagian. Ditetapkan satu bagian bagi prajurit penunggang kuda dan satu bagian bagi prajurit infanteri (pejalan kaki). Ada seribu wanita dan anak-anak yang menjadi tawanan. Sebelum membagikan harta ganimah, Rasulullah saw. terlebih dahulu mengeluarkan harta khumusnya. Para tawanan dibagi menjadi 5 bagian, dan darinya harta khumus dikeluarkan. Beliau membebaskan di antara mereka, menghibahkannya, dan menjadikannya sebagai khadim/pelayan.
Demikian juga, untuk buah-buahan kurma, beliau saw. mengeluarkan harta khumus, lalu membagikannya. Beliau saw. menetapkan setiap bagian kurmanya setelah mengeluarkan khumusnya, yaitu bagi setiap bagian khumus yang beliau saw. keluarkan, beliau menetapkan Hz. Muhaimah bin Jaza’ r.a. sebagai pengawasnya, kemudian beliau saw. membagikan empat bagian lainnya kepada para sahabat. Rasulullah saw. juga memberikan bagian ini kepada para wanita yang ikut serta di pertempuran. Di antara para wanita itu ada Hz. Safiyah binti Abdul Muthalib r.a., Hz. Ummu Ammarah r.a., Hz. Ummu Sulait r.a., Hz. Ummu Ala’ah Ansari r.a., Hz. Samirah binti Qais r.a., Hz. Ummu Sa’ad bin Mu’adz r.a., dan Hz. Kabsyah binti Rafi’ r.a..
Rasulullah mengirim Hz. Sa’ad bin Ubadah r.a. bersama sekelompok sahabat untuk menjual harta khumus dan juga para tawanan menuju syam, dan sebagai gantinya mereka diperintahkan untuk membeli persenjataan dan kuda. Di dalam satu riwayat tertera bahwa Hz. Usman bin Affan r.a. dan Hz. Abdurrahman bin Auf r.a. membeli sebagian darinya. Namun ada satu pendapat juga bahwa semua tawanan tersebut ditempatkan di Madinah, dan tidak dikirim ke tempat lain. Lalu para tawanan tersebut secara berangsur-angsur dibebaskan oleh Rasulullah saw. sebagai bentuk perlakuan ihsan beliau. Berkenaan dengan hal ini pun Hz. Mirza Basyir Ahmad r.a. melakukan penelitian dengan bersumber dari berbagai kitab sejarah. Beliau r.a. menulis:
Mengenai anak-anak dan para wanita yang ditawan sesuai keputusan Sa’ad, beberapa riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah saw. mengirim mereka ke Najd dan beberapa suku Najd membayar tebusan untuk membebaskan mereka, dan dengan uang ini kaum Muslimin membeli kuda dan senjata untuk keperluan perang mereka. Jika ini benar terjadi, hal ini tidak mengherankan karena suku-suku Najd dan Bani Quraizhah adalah sekutu, dan hanya beberapa hari sebelum pertempuran Quraizhah, mereka telah berperang bersama melawan kaum Muslimin dalam Perang Ahzab, dan sebenarnya, atas hasutan orang-orang Najd-lah Bani Quraizhah memilih untuk mengadakan pemberontakan melawan Rasulullah saw.. Oleh karena itu, jika orang-orang Najd berkeinginan untuk membebaskan para tawanan Bani Quraizhah yang adalah sekutunya, maka ini bukanlah suatu hal yang mengherankan. Namun, riwayat-riwayat yang sahih menunjukkan bahwa para tawanan ini tetap berada di Madinah, dan mereka tidak pergi kemana-mana. Rasulullah saw. membagi mereka di antara para sahabat untuk diawasi sebagaimana mestinya. Kemudian sebagian dari mereka memperoleh kebebasan dengan membayar tebusan, dan sebagian lain dibebaskan oleh Rasulullah saw. sebagai bentuk ihsan/kebaikan. Setelah itu, secara perlahan-lahan, dengan senang hati mereka memilih masuk Islam. Di antara mereka itu, yang namanya tercatat dalam sejarah adalah Atiyyah Qurazi, Abdurrahman bin Zubair bin Batiya, Ka’b bin Salim, dan Muhammad bin Ka’b. Mereka semua masuk Islam, dan yang terakhir disebutkan, Muhammad bin Ka’b, menjadi seorang Muslim yang sangat terkemuka.
Entah para wanita tawanan ini dibagikan atau dijual, pada kesempatan ini Rasulullah saw. memberikan perintah yang adalah layak untuk ditulis dengan tinta emas sebagai bukti luasnya kasih sayang beliau dan ihsan beliau terhadap para wanita. Beliau saw. bersabda bahwa siapapun wanita yang dibagikan atau dijual, jika ia memiliki anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil, mereka tidak boleh dipisahkan sampai anak itu dewasa. Begitu juga jika ada dua saudari yang masih kecil, mereka tidak boleh dipisahkan sampai dewasa. Inilah suri tauladan dari sosok Raḥmatan lil ‘Ālamīn dan ihsan beliau terhadap para wanita, tawanan dan bahkan musuh-musuh beliau.
Namun bagaimana keadaan umat Islam sekarang, mereka atas nama Allah dan Rasul-Nya, mengusir orang-orang dari rumah mereka, mengeluarkan mereka, membunuh mereka, dan akibatnya seperti inilah yang terjadi, yakni kehormatan umat Islam sendiri menjadi hilang. Semoga Allah Taala memberikan akal dan pemahaman kepada umat Islam ini.[1]
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. Editor: Mln. Muhammad Hasyim