Ramadhan: Pelatihan bagi orang-orang Beriman

“Intisari dan ruh shalat adalah doa yang di dalamnya terdapat kelezatan dan kenikmatan.” Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam (حضرت مسیح موعود علیہ الصلوٰۃ والسلام)

“Jemaat kita tidak akan mengalami kemajuan sebelum satu sama lain saling mengembangkan simpati yang sebenar-benarnya. Seseorang yang diberi kemampuan besar, cintailah orang yang lemah. Saya dengar, jika ada yang melihat seseorang melakukan kesalahan, ia tidak disikapi dengan baik, melainkan dipandang dengan penuh kebencian dan rasa jijik. Padahal, seharusnya orang yang berbuat khilaf itu didoakan, dicintai dan dinasihati dengan kelembutan dan sikap yang baik. Namun sebaliknya, malah bertambah dalam kedengkian. Jika orang yang berbuat kesalahan itu tidak dimaafkan, tidak diperlakukan dengan simpatik maka ia akan semakin rusak dan akibatnya menjadi buruk. Allah Ta’ala tidak menyukai hal itu. Jemaat akan tercipta jika para pengikutnya mengembangkan simpati dan menutupi kelemahan satu sama lain.” Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam.

Demi mendahulukan agama diatas duniawi, dimana kekukuhan iman adalah suatu hal yang penting maka kemajuan dalam hal keilmuan dan amal perbuatan pun hal yang penting dan hendaknya berupaya juga untuk mewujudkannya

Makna akan berakhirnya bulan Ramadhan bagi kita: bulan pelatihan dan pendidikan. Nasehat mengenai melanjutkan sepanjang tahun kesadaran-kesadaran kebaikan-kebaikan yang didapat selama Ramadhan al-Mubarak.

Peningkatan tolok ukur kebaikan dan ketakwaan.

Hadits Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat lima waktu, dari suatu Jumat hingga Jumat berikutnya dan dari Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya.

Bimbingan sejati hamba Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Pendiri Jemaat Ahmadiyah yang merupakan Imam Mahdi dan al-Masih yang dijanjikan.

Hadits Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tentang pentingnya shalat-shalat.

Penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah tentang shalat dan kepentingannya serta kelezatannya.

Penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah tentang Jemaat dan kepentingannya serta kesatuan dan simpatik.

Maksud mencintai Allah. Tafsir Surat Al-Baqarah, 2:201

Hadits tentang pentingnya mendoakan orang lain, khususnya sesama Jemaat.

Pemenuhan hak-hak al-Qur’an.

Himbauan berdoa untuk keadaan yang dialami para Ahmadi di Pakistan. Berdoalah untuk keadaan yang terjadi di beberapa negara lainnya di dunia. Berdoalah untuk para Ahmadi yang dipenjara di Afganistan dan yang dipenjara di Aljazair.

Kewafatan yang terhormat Abdul Baqi Arsyad Sahib (مکرم عبدالباقی ارشد صاحب), Chairman Asy-Syirkatul Islamiyyah UK, putra Dokter Abdul Hamid Sahib dari Faishalabad. Beliau wafat pada 27 April di usia 88 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ایّدہ اللہ تعالیٰ بنصرہ العزیز – ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 29 April 2022 (29 Syahadat 1401 Hijriyah Syamsiyah/ Ramadhan 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم

[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]

(آمين)

Ramadhan telah datang dan berlalu dengan menyebarkan keberkatan bagi mereka yang berusaha untuk meraih keberkatan darinya. Sekarang tinggal tersisa dua hari atau mungkin di beberapa tempat tinggal tersisa tiga hari puasa. Namun bagaimanapun juga, Ramadhan akan segera berakhir. Seseorang yang bijak dan Mu-min hakiki senantiasa ingat dan hendaknya senantiasa ingat bahwa dengan berakhirnya Ramadhan, kita tidak lantas terlepas dari begitu banyak tanggung jawab dan kewajiban kita, melainkan Ramadhan telah berlalu dengan memberikan tarbiyat kepada kita mengenai penunaian hak pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Ramadhan telah datang untuk mengajarkan kepada kita pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut dan pelaksanaannya secara konsisten (tetap) serta telah datang untuk menunjukkan tahapan-tahapan kemajuan di dalamnya dan sedang menuju pada penghujungnya seraya mengajarkan semua itu.

Memang, bulan puasa wajib akan segera berakhir, namun masa untuk meningkatkan tolok ukur pemenuhan kewajiban-kewajiban lainnya dan untuk terus melangkah maju di dalamnya akan segera dimulai. Jika kita melupakan hakikat ini, bahwa setelah Ramadhan bagaimana hendaknya kita menegakkan tolok ukur pemenuhan kewajiban-kewajiban dan hak-hak kita, artinya kita tidak menjalani Ramadhan kita dengan cara sebagaimana telah diajarkan oleh Hadhrat Rasulullah (saw).

Terdapat dalam sebuah hadits, Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ ‘ash-shalawaatul khamsu wal jumu’atu ilal jumu’ati wa ramadhaanu ila ramadhaana mukaffaraatun maa bainahunna’ idza jtanabal kabaa-ir.’ – “Shalat-shalat fardhu yang lima, dari satu Jumat hingga Jumat berikutnya dan dari suatu Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya menjadi sarana penghapus dosa bagi seseorang selama ia senantiasa menghindari dosa-dosa besar.”[1] Jelaslah di sini, jika manusia tidak mengenali dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kecilnya dan tidak berusaha untuk terhindar darinya serta tidak bertobat dan beristighfar ketika melakukannya maka itu akan menjadi dosa besar. Jadi, maksudnya di sini adalah, hendaknya manusia setiap saat di dalam hatinya memiliki rasa takut pada Allah Ta’ala dan senantiasa beristighfar supaya terhindar dari hal-hal tersebut.

Alhasil, jika kita tidak menjalani bulan-bulan yang tersisa dari satu Ramadhan ke Ramadhan lainnya dengan mengamalkan kebaikan-kebaikan dan menunaikan kewajiban-kewajiban kita serta memenuhi hak-hak kita yang terdiri dari hak-hak ibadah dan juga hak-hak orang lain, artinya kita tidak mengambil faedah dari Ramadhan dengan sepenuhnya.

Kita beruntung bahwa Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah memberikan bimbingan jelas kepada kita dalam segala perkara. Beliau secara terus-menerus menasihati kita untuk menunaikan hak-hak ibadah kita dan juga hak-hak para hamba.

Beliau (as) telah memberikan suatu panduan untuk menjalani kehidupan kita. Jika kita menjadikan panduan tersebut sebagai bagian dari hidup kita dan berusaha menjalani kehidupan kita sesuai dengan itu, maka kita akan menjadi orang-orang yang menapaki jalan yang merupakan jalan kemajuan dan peningkatan dalam kebaikan, jalan yang menghubungkan Ramadhan yang satu dengan Ramadhan lainnya, jalan yang menyelamatkan dari kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan di antara keduanya dan yang merupakan jalan pengampunan.

Di zaman ini, hamba sejati Hadhrat Rasulullah (saw) inilah yang berulang kali menasihati kita untuk menjalani kehidupan kita sesuai dengan ajaran Islam yang hakiki dan beliau (as) menjelaskan dengan gamblang bahwa jika kita ingin menjadi pewaris abadi karunia-karunia-Nya, maka amalkanlah itu. Alhasil, sekarang saya akan menyampaikan beberapa nasihat beliau (as).

Di bulan Ramadhan timbul perhatian terhadap ibadah-ibadah kita dan kita berusaha untuk melaksanakan shalat-shalat wajib dan nafal dengan perhatian yang khas. Namun, kewajiban shalat tidaklah dikhususkan untuk bulan dan periode tertentu saja, melainkan penting untuk melaksanakan shalat lima waktu secara tepat waktu setiap hari sepanjang 12 bulan dalam setahun.

Hadhrat Rasulullah (saw) berulangkali menarik perhatian orang-orang Mukmin (beriman) berkenaan dengan hal ini. Beliau (saw) bersabda di satu kesempatan, “‏ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ‏” ‘bainar rajuli wa bainasy-syirki wal kufri tarkush shalaati.’ – “Seseorang berada diantara syirk dan kekafiran dengan meninggalkan shalat.”[2] Kemudian, beliau (saw) bersabda, إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ‘inna awwala maa yuhaasabu bihil ‘abdu yaumal qiyaamati min ‘amalihi shalatuhu fa-in shaluhat faqad aflaha wa anjaha…’ – “Sesungguhnya amal perbuatan seorang hamba yang pertama kali akan dihisab (dimintai pertangungjawaban, penilaian) pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan…”[3]

Alhasil, inilah pentingnya shalat. Shalat tidaklah dikhususkan untuk suatu bulan tertentu, melainkan telah ditekankan untuk pelaksanaan shalat 5 waktu dalam sehari.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) berulang kali menasihatkan kepada kita mengenai pentingnya shalat. Beliau (as) menasihatkan dan menjelaskan dengan gamblang mengenai apakah shalat itu? Bagaimana cara melaksanakannya? Bagaimana kita bisa mendapatkan kelezatan dari shalat? Dan hendaknya kita berusaha untuk meraih kelezatan ini. Shalat-shalat seperti inilah yang akan meningkatkan kecintaan pada Allah Ta’ala. Janganlah ketika ada suatu keperluan atau permasalahan duniawi, lalu shalat atau pergi ke masjid, menangis terisak-isak dan memanjatkan doa-doa, kemudian ketika masalah telah terpecahkan, lantas menjadi lupa. Atau hanya memberikan perhatian pada shalat di bulan Ramadhan, kemudian lupa atau tidak ada lagi perhatian sebagaimana yang seharusnya. Jika ini yang terjadi, tidaklah shalat akan menjadi sarana pengampunan bagi dosa-dosa, tidak juga Jumat dan puasa, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits yang telah saya sampaikan.

Seraya menjelaskan mengenai apakah shalat itu, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Ini adalah suatu doa istimewa, namun orang-orang menganggapnya sebagai pajak yang diperuntukkan bagi raja-raja.” Maksudnya, mereka melaksanakannya secara terpaksa. “Orang yang bodoh itu tidak memahami bahwa apa perlunya Allah Ta’ala terhadap semua itu? Apa perlunya Dzat-Nya yang Maha Kaya akan hal itu? Apa perlunya Dia bahwa manusia sibuk dalam berdoa, tasbih dan tahlil? Bahkan dalam hal ini terdapat faedah bagi manusia sendiri, karena dengan cara ini ia akan sampai pada tujuannya.”

Beliau (as) bersabda, “Saya sedih melihat bahwa di masa sekarang ini tidak ada kecintaan terhadap ibadah, takwa dan kesalehan. Ini adalah perkara kecintaan. Jika kecintaan itu ada, kewajiban-kewajiban itu akan dilaksanakan secara benar. Penyebabnya adalah satu efek beracun yang umum dari ritual formalitas (perbuatan karena kebiasaan). Disebabkan hal ini, kecintaan terhadap Allah Ta’ala menjadi dingin. Manusia lebih banyak terjerumus ke dalam ritual formalitas. Kelezatan yang seharusnya dirasakan dalam ibadah, tidak dapat dirasakan. Di dunia ini tidak ada sesuatu yang di dalamnya Allah Ta’ala tidak meletakkan kelezatan dan suatu kenikmatan yang khas. Sebagaimana seorang yang sakit tidak bisa merasakan kelezatan suatu makanan terbaik yang lezat, dan ia menganggapnya pahit atau benar-benar hambar. Setelah meminum obat atau disebabkan sakit, mulut menjadi hambar dan tidak bisa menikmati suatu apa pun. Orang yang sakit biasa menolak untuk makan atau mengeluhkan makanan mereka.”

Beliau (as) bersabda, “Demikian juga orang yang tidak mendapatkan kelezatan dalam ibadah kepada Allah Ta’ala, mereka juga seperti orang-orang yang sakit. Mereka hendaknya khawatir dengan penyakitnya, karena sebagaimana telah saya katakan bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang di dalamnya tidak Allah Ta’ala letakkan kelezatan. Allah Ta’ala telah menciptakan umat manusia untuk beribadah, lantas apa sebabnya dalam ibadah itu baginya tidak ada kelezatan dan kesenangan?”

Beliau (as) bersabda, “Kelezatan itu ada. Bukannya tidak ada. Namun, hendaknya ada juga orang yang merasakan kelezatan tersebut. Allah Ta’ala berfirman: وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِیَعْبُدُوْن yang berarti, sebagaimana manusia telah diciptakan semata untuk beribadah [kepada-Nya], maka perlu agar sedapat mungkin meraih ketinggian derajat kelezatan dan kenikmatan di dalam beribadah (Surah adz-Dzaariyaat, 51:57). [4] Ia telah semestinya meraih kedudukan ini yang karena itu ia telah diciptakan. Dengan apa yang kita lihat dan pengalaman kita sehari-hari, kita dapat benar-benar memahami hal ini.”

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Sebagai contoh, lihatlah padi-padian dan segala jenis sumber makanan dan minuman yang semuanya itu telah diciptakan untuk manusia. Semua aneka jenis makanan telah diciptakan untuk manusia. Apakah di dalam [benda] itu tidak didapat suatu kelezatan dan kenikmatan? Apakah ia tidak diberikan lidah untuk merasakan kelezatan dan kenikmatan itu? Apakah setelah melihat segala hal yang indah – baik tumbuh-tumbuhan maupun yang terpendam di dalam bumi, baik hewan-hewan maupun manusia – ia tidak merasakan adanya ketentraman? Apakah setelah mendengar lantunan suara yang indah dan merdu, telinganya tidak merasakan kebahagiaan? Maka dari itu, dalil apa lagi yang dia inginkan untuk membuktikan adanya kelezatan dalam beribadah?” Segala sesuatu mengandung kelezatan dan manusia merasakan kenikmatan darinya. Lantas, apakah hal ini tidak ada di dalam beribadah?.

Beliau (as) bersabda, “Pahamilah dengan sebaik-baiknya! Ibadah bukanlah suatu beban atau pajak; di dalamnya pun terkandung kelezatan dan kenikmatan; bahkan kelezatan serta kenikmatan ini adalah yang paling unggul dan luhur dari segenap kelezatan dunia dan ketentraman jiwa.

Seperti halnya seorang pasien (orang sakit) yang tidak dapat merasakan sedapnya suatu hidangan yang terlezat sekalipun, seperti itu pula seorang yang tidak beruntung ia tidak dapat meraih kelezatan beribadah kepada Tuhan. Keadaannya pun sama halnya pasien itu. Maka dari itu, hendaknya ia mengobati penyakitnya dan memikirkannya. Alhasil, hal ini perlu untuk dipahami, yaitu sedapat mungkin berupaya untuk meraih kelezatan itu. Terhadap sesuatu yang seseorang tidak mengetahui dan memahaminya, bagaimana bisa ia dapat meraih kelezatan darinya? Seseorang yang segenap indranya tidak dapat berfungsi, bagaimana bisa ia dapat menikmati kenikmatan beserta kelezatannya, dan merasakan ketenangan darinya? Jika seseorang telah tenggelam ke dalam keduniawian dan ia sama sekali tidak memikirkan hal-hal ini, maka ia telah menjadi seorang yang sakit.”

Beliau (as) pun telah menjelaskan jalan keluar darinya. Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Saya melihat orang-orang lalai dan malas dalam mendirikan shalat adalah karena mereka tidak mengetahui kelezatan dan kenikmatan yang telah Allah Ta’ala simpan di dalam shalat, dan alasanmereka yang terbesar adalah bahwa mereka sama sekali tidak mengetahuinya. Lalu di luar, baik itu kota maupun desa, bahkan mereka lebih malas dan lalai lagi. Tidak sampai 50 persen [atau setengah] dari mereka, yang dengan segenap ketulusan dan kecintaan sejati tunduk di hadapan Pelindung Hakiki mereka.

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa mereka tidak tunduk [di hadapan Tuhan]? Mengapa mereka tidak menjalankan ibadah? [karena] Mereka tidak mengetahui kelezatan di dalamnya dan mereka sama sekali tidak pernah merasakannya. Perintah-perintah agama tidaklah seperti demikian.

Terkadang seorang sibuk di dalam pekerjaannya lalu muazin mengumandangkan azan, namun ia tidak suka untuk mendengarnya (yaitu azan dari muazin). Mereka berkata, ‘Kami sedang larut di dalam pekerjaan kami, dan kini musibah apa lagi yang datang dengan azan ini?’

Seolah hatinya berduka karena mendengar suara azan itu. Terkadang ada juga yang berkata di hadapan orang lain agar ia dilihat orang banyak, ‘Saya harus pergi untuk shalat dan toko (kedai atau warung) terpaksa harus ditutup.’

Orang-orang seperti ini patut dikasihani. Sebagian orang di sini pun seperti demikian, jika dilihat took (kedai) mereka ada di bawah masjid, namun tetap saja tidak ada diantara mereka yang pernah tergerak ke masjid untuk shalat. Alhasil, saya ingin menyampaikan bahwa hendaknya memohon doa kepada Allah Ta’ala dengan penuh gejolak dan rintihan, bahwa sebagaimana Allah Ta’ala telah menurunkan beraneka kelezatan [kepadanya] melalui buah-buahan dan hal-hal lainnya, maka mohonkanlah supaya Dia berkenan untuk satu kali mencicipkan lezatnya shalat dan beribadah.

Terkait:   Keberkatan, Penghargaan dan Tinjauan atas Jalsah Salanah UK 2022

Doa ini pun harus dipanjatkan di hadapan Allah Ta’ala, supaya ia merasakan kelezatan, yakni Allah Ta’ala pun mencicipkan kelezatan shalat padanya. Tatkala seseorang telah satu kali merasakan kelezatannya, maka ia pun menjadi tahu apa kelezatan itu, lalu ia akan menaruh perhatian padanya. Renungkanlah, jika ada seseorang yang melihat sesuatu yang indah dengan penuh kebahagiaan, maka hal itu akan sangat ia ingat. Lalu jika ia melihat sesuatu yang buruk, dan dibenci, maka segenap hal itu akan menjelma dan terbayang di hadapannya. Ya, jika sesuatu tidak ada kaitan dengannya, maka itu tidak akan diingatnya. Demikian pula, di mata mereka yang meninggalkan shalat, baginya shalat adalah suatu hukuman, yakni ia harus meninggalkan tidur nyenyak dan berbagai kenyamanannya untuk bangun dan berwudu di waktu subuh yang dingin lalu melaksanakan shalat.

Hal sebenarnya, mereka telah asing dari shalat. Mereka tidak dapat memahami kelezatan dan ketentraman yang ada di dalam shalat. Mereka memang mengaku sebagai Mu-min dan Muslim, namun pada dasarnya hatinya telah jauh, dan ia tidak dapat memahami bahwa kelezatan dan ketentraman yang ada di dalam shalat melebihi rasa kantuk dan nyenyak di dalam tidur.”

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Ia sungguh tidak mengetahuinya, jadi bagaimana bisa ia dapat meraih kelezatan shalat. Saya melihat, selama seorang peminum dan pemabuk belum merasakan kepuasan, ia tetap terus meneguk cawannya, hingga ia merasakan mabuk. Seorang yang cerdas dan bijak dapat mengambil keuntungan darinya. Bagaimana bisa ia dapat mengambil keuntungan dari keadaan mabuk yang dialami oleh pemabuk itu? Ia dapat meraihnya yaitu, jika seorang Mu-min yang tulus teratur melaksanakan shalat, mendirikan shalat dengan penuh ketekunan dan terus melaksanakannya hingga ia pun merasakan ketenangan lalu sebagaimana halnya seorang peminum yang selalu memikirkan suatu kelezatan yang menjadi maksud dan tujuan yang harus ia raih, seperti itu pula segenap pikirannya ia kerahkan di dalam shalat, yakni ia berdoa dan juga berusaha dan sekurang-kurangnya seperti halnya gejolak dan hasrat yang dimiliki peminum tadi, ia melahirkan suatu doa yang penuh ketulusan dan gelora. Di dalam hatinya lahir suatu doa seperti halnya telah dijelaskan sebelumnya, yaitu berdoa kepada Allah Ta’ala, ‘Wahai Allah Ta’ala anugerahkanlah ketentraman dan kelezatan itu padaku.’”

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Maka dari itu, saya sampaikan dengan sebenar-benarnya bahwa ia akan mendapatkan kelezatan itu. Jika ia memanjatkan doa dengan keperihan seperti itu, ia pun akan meraih kelezatan itu. Kemudian saat melaksanakan shalat, hendaknya juga mengedepankan tujuan shalat ini dan hendaknya mengutamakan sikap ihsan.

Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ yang artinya, ‘Kebaikan-kebaikan menghapus keburukan-keburukan.’ (Surah Hud (11) ayat 115) Maka dari itu, resapkanlah hasanaat yaitu kebaikan-kebaikan dan kelezatan-kelezatan tersebut di dalam hati dan berdoalah agar dapat meraih shalat seperti halnya para siddiq dan muhsin. Firman Allah ini, إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ yakni kebaikan-kebaikan atau shalat menjauhkan keburukan-keburukan, atau dalam kesempatan lain Allah berfirman, إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ yang artinya, ‘Shalat menghindarkan diri dari ketidaksenonohan dan keburukan-keburukan.’ Sementara itu, kita melihat bahwa meskipun seseorang melaksanakan shalat, namun ia tetap melakukan keburukan, maka penjelasannya adalah: mereka shalat tetapi tidak disertai dengan ruh dan ketulusan. Mereka melakukan gerakan sebatas mengikuti adat dan kebiasaannya belaka. Sesungguhnya ruh mereka pun mati. Allah Ta’ala tidak menamai yang demikian dengan hasanaat. Shalat-shalat yang demikian ini tidak termasuk al-hasanaat.

Tatkala kata yang ada di ayat ini adalah al-hasanaat (kebaikan-kebaikan), bukan ash-shalat. Padahal, maknanya satu, maka ini mengisyaratkan pada keistimewaan shalat, kebaikan shalat dan keindahan shalat dan shalat yang menjauhkan keburukan-keburukan, yang di dalamnya ada ruh ketulusan dan yang di dalamnya menarik karunia-karunia. Shalat seperti ini sungguh dan pasti akan menjauhkan keburukan-keburukan.

Shalat bukan berarti sebuah kata seorang yang melakukan gerakan shalat lalu selesailah ia. Bukan sekedar duduk dan berdiri lalu cukup demikian. Intisari dan ruh shalat adalah doa yang di dalamnya terdapat kelezatan dan kenikmatan. Alhasil, adalah penting memanjatkan doa demi meraih kelezatan dan kenikmatan ini dan agar keluar dari penyakit tersebut.

Janganlah hanya berdoa untuk memenuhi keinginan-keinginan duniawi Anda, tetapi berdoalah juga untuk hal ini. Seperti halnya seseorang yang melakukan semua upaya demi kesembuhan dari penyakit, yaitu berobat dan berdoa, demikian pula untuk hal ini pun hendaknya ia melakukannya.”

Hadhrat Masih Mau’ud (as) seraya menasihati bersabda, “Shalatlah sebagaimana Rasulullah (saw) dahulu shalat. Setelah memenuhi hal-hal yang disunnahkan, sampaikanlah hajat dan keinginan Anda dengan bahasa Anda sendiri dan mohonlah kepada Allah Ta’ala. Hal ini tidaklah dilarang, dan shalat sungguh tidak akan batal dengannya. Saat ini banyak orang yang merusak shalat mereka. Shalat yang mereka lakukan adalah gerakan tergesa-gesa; mereka shalat sangat cepat dengan mematuk-matuk seperti ayam lalu duduk lama setelahnya untuk berdoa.”

Inilah kebiasaan yang ada, khususnya di Asia, di Hindustan dan Pakistan. Mereka shalat dengan tergesa-gesa lalu setelahnya mengangkat kedua tangan untuk berdoa.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Intisari dan ruh shalat adalah doa. Bagaimana bisa tujuan utama ini dapat diraih dengan doa di setelah shalat? Ini adalah seperti seorang yang datang ke singgasana raja dan ia berkesempatan untuk menyampaikan maksudnya namun saat itu ia tidak menyampaikan apapun. Lalu ketika ia keluar dari tempat itu, barulah ia menyampaikan permohonannya. Apakah cara ini akan bermanfaat baginya? Demikianlah juga keadaan orang-orang yang tidak memanjatkan doa-doa dengan merintih dan khusyuk di dalam shalat mereka. Maka dari itu, panjatkanlah doa-doa Anda di dalam shalat Anda dan perhatikanlah sepenuhnya adab berdoa.”[5]

Tentang bagaimana Rasulullah (saw) mengajarkan cara shalat kepada kita, tertera di dalam satu riwayat, أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَرَدَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ ” ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ” فَصَلَّى، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ” ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ “. ثَلاَثًا. فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي. قَالَ ” إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا “. “Ada seorang yang datang dan ia melakukan shalat lalu ia menghadap dan mengucapkan salam kepada Rasulullah (saw). Beliau (saw) bersabda, ‘Shalatlah kembali!’ Beliau (saw) tengah duduk di masjid dan melihat orang itu. Saat itu tengah ada majlis bersama beliau. Demikianlah beliau (saw) memerintahkan orang itu untuk mengulangi shalatnya hingga 3 kali.

Di akhir, orang itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya tidak dapat lagi shalat lebih baik dari ini. Oleh karena itu, beritahukanlah kepada saya cara yang benar bagaimana melaksanakan shalat.’

Rasulullah (saw) bersabda, ‘Tatkala Anda berdiri untuk memulai shalat, ucapkanlah takbir lalu bacalah Al-Qur-an sesuai kemampuan. Bacalah Al-Qur-an setelah surah Al-Fatihah. Lalu ruku’lah dengan penuh ketenangan (yakni bukan sekedar sedikit menunduk lalu kembali berdiri). Ruku’lah dengan penuh ketenangan lalu berdirilah tegak. Kemudian, bersujudlah dengan penuh ketenangan lalu bangkitlah dari sujud dan duduklah dengan sempurna.’” (Sebagian orang ada yang hanya untuk sujud, yaitu mereka bangkit dari sujud sejenak dan segera sujud kembali). Beliau (saw) bersabda, “Duduklah secara sempurna, setelah itu lakukanlah sujud kedua.”[6] Jadi, shalatlah dengan perlahan-lahan dan sebagus-bagusnya. Sebagian orang bertanya, seperti apakah cara memperindah shalat itu? Cara memperindah shalat adalah shalat secara perlahan-lahan, memberi waktu setiap gerakan dengan sempurna dan melaksanakan shalat dengan tenang.

Kemudian, setelah memahami hakikat shalat dan memperhatikan pelaksanaannya, tugas seorang Mu-min pun adalah membaca dan memahami Al-Qur-anul Karim serta menaruh perhatian khas padanya. Seperti halnya pada kebanyakan orang, perhatian mereka ke arah ini tumbuh di bulan Ramadhan. Pelajari jugalah tafsirnya. Ini pun satu cara menghubungkan Ramadhan ini dengan bulan Ramadhan selanjutnya. Hendaknya menaruh perhatian pada Al-Qur-an Karim. Tentang menilawatkan Al-Qur-an Karim ini, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Seandainya kita tidak memiliki Al-Qur-an dan kitab kumpulan Hadits inilah yang menjadi kebanggaan iman dan dasar keyakinan kita maka kita tidak akan dapat lagi memperlihatkan muka kita di depan umat lain karena malu.

Saya mempelajari dengan penuh perenungan atas kata ‘Al-Qur-an’ dan pada saya terbuka satu kenyataan bahwa kata penuh berkat ini mengandung satu nubuatan luar biasa. Nubuatan itu adalah, Al-Qur-an ini sajalah kitab yang layak untuk dibaca dan kelak di suatu masa tatkala sangat banyak bermunculan kitab yang layak untuk dibaca maka ia [Al-Qur-an] akan menjadi yang paling layak dibaca. Di masa itu, untuk menjaga kehormatan Islam dan menanggulangi kebatilan, hanya kitab inilah yang layak untuk dibaca dan kitab-kitab lainnya sama sekali patut untuk ditinggalkan.

Ini jugalah makna al-Furqan, yakni ini adalah satu kitab yang akan membedakan antara yang haq dengan yang batil. Tidak ada suatu kitab hadits atau buku-buku lainnya yang sanggup mencapai kedudukan ini. Oleh karena itu, kini tinggalkanlah seluruh buku yang ada dan bacalah Kitabullah siang dan malam. Sungguh! Seseorang tidak dapat dikatakan sebagai Mu-min yang tidak mencintai Al-Qur-anul Karim dan siang malam ia condong pada buku-buku lainnya.

Hendaknya para anggota Jemaat sibuk dalam mendalami dan mengkaji dengan penuh perenungan terhadap Al-Qur-an Karim dengan segenap jiwa dan raga dan meninggalkan diri terlalu sibuk di dalam kajian Hadits-Hadits. Sangat disayangkan bahwa mereka tidak menekuni dan mempelajari Al-Qur-an seperti halnya mereka [banyak] melakukannya pada Hadits-Hadits. Saat ini, jika senjata Al-Qur-an Karim ini Anda genggam, maka kemenangan ada pada Anda. Tidak ada kegelapan yang mampu bertahan di hadapan nur Al-Qur-an.”[7]

Kemudian terkait menegakkan kebaikan-kebaikan, Hadhrat Masih Mau’ud (as) memberi petunjuk, “Dalam keadaan apapun, utamakanlah agama diatas duniawi. (dalam menjelaskan ini Hudhur (as) bersabda). Perhatikan, ada dua macam orang di dunia. Pertama adalah orang yang setelah menerima Islam lantas sibuk dalam segala jual beli dan perdagangan duniawi mereka. Setan tengah menggerakkan mereka di atas kepala mereka. Maksud saya bukanlah perdagangan itu dilarang. Bukan! Dahulu para Sahabat Nabi (saw) pun banyak berdagang, tetapi mereka mendahulukan agama daripada dunia. Mereka telah menerima Islam dan telah meraih ilmu hakiki tentang Islam yang kemudian memenuhi sanubari mereka dengan keimanan. Inilah alasannya mengapa mereka tidak gentar dengan gempuran setan di medan apapun. Tidak ada hal apapun yang dapat merintangi mereka untuk menyampaikan kebenaran. Maksud saya hanyalah, bahwa orang-orang yang hanya merupakan hamba sahaya dan budak dunia, yaitu seakan mereka menyembah dunia, maka setan akan unggul dan menguasai mereka.

Kedua adalah orang yang memikirkan kemajuan agamanya. Ini adalah golongan yang dinamakan Hizbullah, dan mereka meraih kemenangan atas setan dan laskar-laskarnya. Sebagaimana harta itu berkaitan dengan perdagangan dan ia bertambah melalui perdagangan, maka dari itu Allah Ta’ala pun menyatakan bahwa meraih agama dan hasrat untuk kemajuan agama sebagai suatu perdagangan. Terkait meraih agama pun Allah Ta’ala menyatakannya sebagai satu perdagangan. Sebagaimana firman-Nya, هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ artinya, ‘Maukah Aku tunjukkan kepadamu suatu perdagangan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?’ (Surah ash-Shaf, 61:11) Artinya, perdagangan terbaik adalah perdagangan agama, yang akan menyelamatkan dari azab yang pedih. Jadi, saya pun dengan mengutip firman Allah Ta’ala, menyampaikan ini juga kepada Anda sekalian, هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ artinya, ‘Maukah Aku tunjukkan kepadamu suatu perdagangan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?’”

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Mereka yang kekurangan dalam hal semangat dan kecenderungan dalam hal kemajuan-kemajuan keagamaan, saya khawatir jangan sampai setan kelak menguasai mereka sekali lagi. Jadi janganlah sekali-kali malas dalam hal ini. Dalam setiap hal yang tidak dipahami, hendaknya bertanya tentangnya, supaya makrifat atau ‘pengetahuan’ semakin meningkat. Bertanya tidaklah haram. Jika belum paham, maka bertanyalah.”

Hendaknya menyampaikan pertanyaan. Beliau (as) bersabda bahwa hendaknya juga bertanya demi kekuatan keimanan dan demi kemajuan dalam keilmuan.”[8] Hal ini penting juga untuk kemajuan dalam amal perbuatan. Alhasil, demi mendahulukan agama diatas duniawi, dimana kekukuhan iman adalah suatu hal yang penting maka kemajuan dalam hal keilmuan dan amal perbuatan pun hal yang penting dan hendaknya berupaya juga untuk mewujudkannya.

Selanjutnya, untuk mempertahankan limpahan keberkatan Ramadhan, metode yang diajarkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as) adalah tetap mempertahankan akhlak mulia terhadap sesama yang telah kita tegakkan selama Ramadhan, meningkatkan kecintaan dan persaudaraan antar sesama dan memenuhi hak dan kewajiban satu sama lain. Beliau (as) bersabda, “Jemaat kita tidak akan mengalami kemajuan sebelum satu sama lain saling mengembangkan simpati yang sebenar-benarnya. Seseorang yang diberi kemampuan besar, cintailah orang yang lemah.

Saya dengar, jika ada yang melihat seseorang melakukan kesalahan, ia tidak disikapi dengan baik, melainkan dipandang dengan penuh kebencian dan rasa jijik. Padahal, seharusnya orang yang berbuat khilaf itu didoakan, dicintai dan dinasihati dengan kelembutan dan sikap yang baik. Namun sebaliknya, malah bertambah dalam kedengkian. Jika orang yang berbuat kesalahan itu tidak dimaafkan, tidak diperlakukan dengan simpatik maka ia akan semakin rusak dan akibatnya menjadi buruk. Allah Ta’ala tidak menyukai hal itu.

Jemaat akan tercipta jika para pengikutnya mengembangkan simpati dan menutupi kelemahan satu sama lain. Jika keadaan itu tercipta, maka akan menjadi satu wujud dan menjadi organ tubuh yang saling menopang satu sama lain dan bahkan menganggap lebih utama dari saudara kandung sekalipun. Kecintaan dan yang tercipta antar sesama hendaknya lebih besar dari kecintaan kepada saudara kandung. Rasa simpati yang tercipta hendaknya sedemikian rupa, misalnya jika ada seorang anak melakukan suatu kesalahan, maka orang tuanya akan menutupinya dan menasihatinya secara terpisah. Seseorang saudara kandung akan menutupi kesalahan saudaranya. Dia tidak akan pernah menghendaki untuk mengumumkan kezaliman atau dosa saudaranya itu.

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (shallaLlahu ‘alaihi wa sallam) (Manusia-Manusia Istimewa seri 38)

Ketika Allah Ta’ala menjadikan kita bersaudara, tidakkah memiliki hak yang sama seperti saudara kandung tadi? Saudara duniawi tidaklah meninggalkan sikap persaudaraan, lantas kenapa kalian malah mengabaikannya. Terkadang manusia belajar dari hewan, kera atau anjing, tidaklah beberkat jika tercipta perpecahan di dalamnya. Nikmat persaudaraan ini jugalah yang Allah Ta’ala ingatkan kepada para sahabat. Jika mereka membelanjakan gunung emas sekalipun, mereka tidak akan mendapatkan persaudaraan seperti yang mereka dapatkan dengan perantaraan Rasulullah. Demikian juga Allah Ta’ala telah mendirikan jemaat ini, persudaraan seperti itu jugalah yang akan Dia ciptakan dalam jemaat ini.

Saya menaruh harapan yang sangat besar terhadap Allah Ta’ala, Dia telah berjanji, جَاعِلُ الَّذِينَ اتَّبَعُوكَ فَوْقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ yang dari hal ini saya ketahui dengan yakin bahwa Dia akan menegakkan satu Jemaat yang akan selalu unggul diatas orang-orang ingkar hingga hari kiamat. (Surat Ali Imran, 3:56) Namun, hari yang penuh dengan cobaan ini dan rentan dengan kelemahan memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk memperbaiki diri dan menciptakan revolusi dalam diri.

Ketahuilah bahwa saling memburukan satu sama lain, melukai perasaan orang lain, menyakiti orang lain dengan kata-kata kasar dan merendahkan orang-orang miskin dan lemah adalah dosa besar.”[9]

“Dalam jemaat kita tidaklah dibutuhkan seorang yang perkasa seperti pegulat, kita tidaklah membutuhkan seorang pegulat melainkan seseorang yang memiliki kekuatan yang berusaha untuk menciptakan revolusi dalam akhlak. Tidak diragukan lagi kebenarannya bahwa bukanlah seseorang yang kuat dan gagah perkasa yang dapat memindahkan gunung dari tempatnya. Bukan! Bukan itu! Seorang pemberani sejati adalah yang mampu untuk menciptakan revolusi akhlak. Untuk itu, camkanlah untuk mengerahkan segenap semangat dan kekuatan untuk merevolusi akhlak, karena itulah kekuatan dan keberanian sejati.”[10]

Dalam menjelaskan berkenaan dengan mengembangkan rasa cinta antara satu sama lain, memenuhi hak dan kewajiban satu sama lain dan mengarungi kehidupan dengan kerendah hatian dan tawadhu, beliau (as) bersabda, “Untuk menjadi seorang ahli taqwa (yang bertakwa) disyaratkan untuk mengarungi kehidupan dengan ghurbat (kesantunan) dan miskiini (kerendahan hati). Ini merupakan satu cabang takwa, yang dengannya kita dapat melawan amarah yang tidak pada tempatnya. Tahapan terakhir dan paling sulit bagi para wali Allah adalah terhindar dari amarah. Kesombongan timbul dari amarah dan begitu pula terkadang amarah timbul sebagai akibat dari membanggakan diri. Yakni amarah timbul dari ketakabburan atau disebabkan oleh amarah timbullah ketakabburan. Karena amarah akan muncul pada saat seseorang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.

Saya tidak ingin anggota jemaat saya satu sama lain saling merendahkan atau saling menyombongkan diri atau memandang orang lain dengan sebelah mata. Allah lebih mengetahui siapa yang lebih tinggi atau rendah, perbuatan seperti itu adalah sejenis merendahkan yang di dalamnya terdapat penghinaan. Saya khawatir benih tersebut akan tumbuh layaknya benih dan menjadi penyebab kehancuran.

Sebagian orang bersikap hormat ketika berjumpa dengan orang besar (orang penting atau terkemuka), namun orang besar sejati adalah orang yang mau mendengarkan orang-orang lemah dengan penuh kerendah hatian. Menjadi pelipur lara mereka, menghargai ucapannya, tidak mengolok-oloknya yang membuatnya tersinggung.” Khususnya para pembesar dan para pengurus Jemaat hendaknya memperhatikan hal ini dengan baik, ketika berbicara dengan setiap orang, bicaralah dengan sopan dan penuh kasih sayang.

Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ‘Janganlah memanggil orang lain dengan panggilan yang mengandung ejekan, karena itu adalah pebuatan orang fasik dan pendosa. Barangsiapa yang mengejek orang lain, ia tidak akan mati sebelum ia sendiri mengalami hal serupa. Janganlah menganggap orang lain rendah. Ketika kalian semua minum dari satu sumber mata air yang sama, siapa yang tahu siapa yang mendapatkan keberuntungan dapat minum lebih banyak.’ (Surah al-Hujuraat, 49:12) Yang membuat seseorang lebih mulia dan luhur tidak dapat dilandasi oleh hal-hal duniawi. إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ Dalam pandangan Allah Ta’ala, yang lebih mulia adalah yang bertakwa.” (Surah al-Hujuraat, 49:14)[11]

Alhasil, ketakwaan yang ditimbulkan dalam Ramadhan, tuntutan ketakwaan itu adalah perbaikilah hubungan satu sama lain dengan sebaik baiknya, tampilkanlah teladan akhlak dan akhlak mulia dalam berhubungan satu sama lain.

Beliau (as) bersabda, “Sudah sering kali saya katakan sebelumnya, bersatulah kalian dan saling mencintailah, inilah yang diajarkan Allah terhadap orang-orang Muslim agar mereka bersatu dan jika tidak, maka kekuatan mereka akan hilang. Orang-orang yang shalat juga diperintahkan berdiri dengan merapat satu sama lain dalam shalat supaya timbul persatuan, dan supaya kebaikan satu orang akan menyebar pada yang lainnya layaknya arus listrik. Apabila ada perselisihan satu sama lain dan tidak ada persatuan, maka sekali-kali kalian tidak akan luput dari keberkatan.”

Mengingat keadaan akhir akhir ini, kita terpaksa memberikan jarak diantara jamaah shalat. Untuk itu jangan sampai anak anak atau Sebagian orang lainnya tidak faham dengan menganggap hal itu sebagai pengaturan untuk seterusnya. Adapun keadaan semakin berangsur membaik, jarak antara jamaah shalat semakin dikurangi dan insya Allah akan tiba saatnya ketika keadaan menjadi normal kembali. Sebenarnya ketika membuat saf shalat di masjid hendaknya setiap jamaah merapatkan safnya ketika berdiri dan itu hendaknya selalu diingat. Adapun dalam keadaan darurat telah dilakukan pengaturan sementara supaya setidaknya shalat berjamaah dapat terus dilakukan sehingga antara makmum diberikan jarak. Kita berharap ketika keadaan membaik nanti, kita akan kembali pada keadaan normal lagi.

“Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, ‘Saling mencintailah satu sama lain dan saling mendoakanlah tanpa sepengetahuan mereka.’” (Ini adalah point yang sangat penting) “Saling mendoakanlah tanpa sepengetahuan mereka apakah ada yang memintamu untuk mendoakannya ataukah tidak atau apakah kamu mengenalnya ataukah tidak. Secara umum, jika para anggota jemaat saling mendoakan untuk satu sama lain atau untuk Jemaat, maka itu merupakan kebaikan yang sangat besar.

Sesungguhnya seseorang yang berdoa bagi saudaranya di luar pengetahuan mereka, maka malaikat akan berkata, ‘Untukmu adalah sebanding doa yang kau panjatkan.’[12] Alangkah eloknya penyataan ini, jika doa seseorang tidak diterima maka doa malaikat pasti akan dikabulkan.

Sesungguhnya saya menasihatkan dan ingin mengatakan agar jangan ada perselisihan di antara kalian. Sesungguhnya saya datang hanya dengan membawa dua perkara saja: pertama: kalian tegakkanlah tauhid Ilahi dan yang kedua: perlihatkanlah kecintaan dan rasa simpati di antara kalian dan kalian akan melihat contoh tersebut yang merupakan karomah bagi orang lain, dan ini merupakan dalil yang terlahir dalam diri para Sahabat (ra), كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ – dulunya kalian bermusuhan, maka Allah menimbulkan cinta kasih di antara hati kalian. (Surat Ali Imran, 3:104)

Ketahuilah! Mempersatukan hati itu adalah suatu mukjizat. Ingatlah oleh kalian: selama setiap orang dari antara kalian tidak seperti orang yang menyukai untuk saudaranya, apa pun yang ia sukai bagi dirinya maka ia bukan dari Jemaat kami, bahkan ia berada dalam musibah dan cobaan dan akan memberikan hasil akhir yang tidak baik.”[13]

“Apa maksud mencintai Allah Ta’ala, yakni agar seseorang mengutamakan keridhaan Allah Ta’ala di atas kedua orang tuanya, istrinya, anak-anaknya, dirinya dan segala sesuatu yang dicintainya. Terdapat di dalam Al-Qur’an: فَاذْكُرُوْا اللهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشدَّ ذِكْرًا (… maka ingatlah Allah seperti kalian mengingat bapak-bapak kalian atau lebih keras lagi. [Surat Al-Baqarah, 2:201])

“Demi menegakkan Tauhid hakiki adalah perlu meraih bagian sempurna kecintaan Allah Ta’ala dan kecintaan ini tidak akan pernah terbukti sebelum ada keutuhan dalam amal perbuatannya. Perlu juga untuk memperlihatkan kecintaan dalam bentuk amal perbuatan. Hanya dengan lisan saja belum dapat dibuktikan. Seperti contoh: apabila seseorang banyak-banyak mengulang-ulang kata ‘gula, sekali-kali ia tidak akan meraih rasa manis [maksudnyaia tidak mencicipi rasa manis itu] jika hanya menyebut nama gula atau jika ada yang menyatakan seseorang sebagai teman, namun kenyataannya orang tersebut menahan diri dari memberikan pertolongan pada saat terjadi musibah pada temannya dan tidak menarik tangannya dari musibah maka orang seperti itu tidaklah terhitung sebagai teman sejati.

Demikian pula, apabila dengan lisannya saja seseorang mengikrarkan tauhid Ilahi dan menyatakan cinta pada Allah Ta’ala hanya di lisan saja, maka itu sama sekali tidak ada faedahnya. Bagian ini menuntut banyak pengamalan daripada pernyataan dengan lisan.

Namun, hal itu tidak berarti bahwa mengucapkan dengan lisan itu tidak penting. Sekali-kali tidak demikian, yang dimaksudkan adalah membuktikan amalan pun penting untuk mengiringi ikrar dengan lisan, oleh karena itu adalah penting untuk mewakafkan hidup kalian pada jalan Allah Ta’ala.

“Inilah Islam dan inilah tujuan yang karenanya saya diutus. Orang yang saat ini tidak mendekat pada mata air yang telah Allah Ta’ala pancarkan untuk tujuan ini, tentu ia akan tetap luput. Apabila kalian ingin mengupayakan sesuatu perkara dan berusaha meraih maksud kalian, maka hendaklah seorang pencari sejati itu melangkah maju dan meletakkan mulutnya pada tepi mata air yang mengalir ini.

Hal ini tidak akan terpenuhi selama seseorang tidak melepas pakaian wujud-wujud lainnya (Ghairiyyat) di hadapan Allah Ta’ala, selama ia tidak tunduk pada gerbang Rabbūbiyyah dan selama ia tidak berjanji bahwa ia tidak akan meninggalkan Allah Ta’ala sekalipun kehormatan duniawinya hilang dan sekalipun menghadapi gunung musibah, bahkan ia bersedia mempersembahkan segala pengurbanan di jalan Allah swt. Sebagaimana keikhlasan agung yang dimiliki oleh Hadhrat Ibrahim (as) yang telah bersedia untuk mengorbankan puteranya.

Islam menghendaki untuk memperbanyak Ibrahim-Ibrahim. (Inilah kekeistimewaan Hadhrat Ibrahim yang dijelaskan oleh Allah Ta’ala bahwa beliau adalah wujud yang setia). Oleh karena itu hendaklah setiap kalian berusaha untuk menjadi Ibrahim.

Saya katakan dengan sebenar-benarnya kepada kalian,

ولی پرست نہ بنو۔ بلکہ ولی بنو

اور پیر پرست نہ بنو۔ بلکہ پیر بنو

‘Jadilah wali, bukannya menjadi penyembah wali; jadilah Peer (wujud suci mursyid atau guru agama) bukannya menjadi penyembah Peer; maka tempuhlah jalan ini.’” (Setelah menjadi Peer, jangan lantas bersikap takabbur dan berbangga diri melainkan timbulkanlah kerendahan hati dan kesetiaan. Inilah maksudnya. Bukanlah untuk memperlihatkan duniawi layaknya Peer pada masa ini.) “Memang, jalan yang dilalui sangat sulit, tetapi dengan memasukinya seseorang akan meraih ketenteraman dan kebahagiaan. Namun yang terpenting adalah supaya kalian memasuki pintu ini dengan sangat mudah. Apabila di kepala terdapat keangkuhan, akan sulit untuk memasukinya. Jika kalian ingin melintasi pintu ini, lepaskanlah ikatan jalinan duniawi yang mengutamakan duniawi di atas agama. Apabila Jemaatku ingin meraih ridha Allah Ta’ala, lepaskanlah ikatan ini. Ketahuilah dengan seyakin-yakinnya, selama tidak terdapat kesetiaan dan keikhlasan dalam diri kalian, berarti kalian adalah pendusta dan tidak akan dapat terhitung sebagai orang yang benar di sisi Allah. Orang yang meninggalkan kesetiaan dan menempuh jalan pembangkangan akan terlebih dulu binasa mendahului musuhnya. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak dapat teperdaya dan tidak akan ada yang dapat memperdayai-Nya sehingga yang terpenting adalah ciptakanlah ketulusan dan keikhlasan hakiki.”[14]

Beliau (as) menjelaskan bahwa keikhlasan sejati dapat diperoleh dengan sabar dan doa. Untuk itu berusahalah untuk meraihnya dan untuk itu diperlukan untuk senantiasa tunduk di hadapan Allah Ta’ala secara istiqomah. Jadi kita harus senantiasa berupaya menjadikan setiap hari yang datang silih berganti, menjadi ajang untuk meningkatkan jalinan dengan Allah Ta’ala dengan penu kesetiaan. Menaruh perhatian penuh terhadap shalat, melakukannya dengan sebaik-baiknya, membaca Al Quran, memahaminya dan mengamalkan hukum hukumnya, memenuhi hak dan tanggung jawab satu sama lain dan menegakkan tauhid merupakan pedoman hidup kita. Sebenarnya, setiap amalan dan perbuatan seorang Mu-min hakiki adalah untuk menegakkan tauhid dan seyogyanya demikian. Inilah yang menjadi tujuan pengutusan Hadhrat Masih Mauud (as) dan beliau (as) sangat menekankan hal tersebut.

Jadi, perlu untuk memahami hal tersebut jika tidak, baiat secara lisan saja, tidak akan memberikan faidah. Hal ini beliau sampaikan dalam berbagai tempat dengan sangat jelas. Sebagaimana pada satu tempat beliau bersabda, “Mereka yang mengaku telah baiat dan beriman, hendaknya mengevaluasi diri, yakni apakah saya ini bagaikan kulit ataukah inti? Sebelum menjadi inti, maka pengakuan seseorang bahwa dalam dirinya terdapat keimanan, kecintaan, ketaatan, baiat, setia dan pengikut Islam, bukanlah pengakuan sejati.

Ingatlah, adalah benar, semua pengakuan ini, bahwa seseorang mencintai, beriman, taat dan baiat, bukanlah pengakuan yang benar. Di hadapan Allah Ta’ala, selain inti, kulit tidaklah bernilai apa-apa. Ingatlah dengan baik, entahlah kapan maut akan datang, namun yang pasti adalah maut pasti akan datang. Jadi, jangan merasa cukup dan bahagia dengan pernyataan lisan saja, itu sama sekali tidak memberikan manfaat apa-apa sebelum seseorang menimpakan banyak kematian pada dirinya sendiri dan sebelum ia tampil dengan membawa banyak perubahan dan revolusi maka hingga saat itu ia tidak akan dapat meraih tujuan inti insaniyyat (kemanusiaan).”[15]

Beliau bersabda, “Coba perhatikan keadaan dunia, Nabi kita (saw) telah menampilkannya dengan amal perbuatan nyata, ‘Hidup dan matiku semuanya untuk Allah Ta’ala.’

Adapun umat Muslim di dunia pada masa ini, jika ditanyakan kepadanya, ‘Apakah Anda Muslim?’ Ia menjawab, ‘Alhamdulillah.’

Siapa yang membaca kalimah-Nya, seharusnya prinsip kehidupannya diperuntukkan bagi Allah Ta’ala, namun sebaliknya mereka malah hidup dan matinya untuk dunia. Namun ketika kematian datang menjemput, ia baru mengingat Allah Ta’ala. Dunia yang menjadi tujuan, maksud dan harapannya. Lantas bagaimana ia dapat menyatakan, ‘Aku mengikuti Rasulullah (saw).’

Ini adalah perkara yang patut direnungkan, jangan menganggapnya sepintas lalu, menjadi seorang Muslim (sejati) tidaklah mudah.

Sebelum kalian menciptakan ketaatan kepada Rasulullah (saw) dan menampilkan teladan Islami, maka janganlah merasa puas. Itu adalah kulit semata, jika kalian mengaku sebagai Muslim namun tidak mengikuti ajarannya. Jika kalian mengaku Muslim tanpa mengikuti Rasulullah, berarti itu hanya kulit semata. Merasa senang dengan nama atau kulit saja bukanlah sikap seorang yang bijak. Sebagaimana ada seorang Muslim yang berkata kepada seorang yahudi: Engkau jadilah Muslim” Yahudi itu berkata: Janganlah kamu bahagia dengan nama, Saya memberi nama Khalid (kekal) kepada anak saya, namun belum tiba sore hari, ia sudah dikuburkan. Meskipun Namanya Khalid, namun tidak kekal dan berumur panjang.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr ash-Shiddiiq ra (Seri 4)

Jadi, carilah hakikat, janganlah merasa senang dengan nama saja. Betapa memalukannya jika ada orang yang mengaku sebagai umat Nabi Agung (saw) namun hidup layaknya seorang kafir. Perlihatkanlah dalam kehidupan kalian suri teladan Muhammad (saw), ciptakanlah keadaan tersebut lalu lihatlah. Namun jika keadaan itu tidak tercipta berarti kalian adalah pengikut thagut. (Ini merupakan peringatan besar yakni akan menjadi pengikut syaitan) Alhasil, hal ini akan dapat difahami dengan baik yakni menjadi kekasih Allah Ta’ala harus dijadikan tujuan hidup manusia, karena sebelum seseorang menjadi kekasih Allah Ta’ala dan tidak mendapatkan kecintaan Tuhan, ia tidak akan dapat mengarungi kehidupan yang sukses. Itu tidak akan timbul sebelum kalian mengikuti Rasulullah dengan sebenar benarnya. Rasulullah telah menampilkan dengan amalan, apa itu Islam? Ciptakanlah Islam dalam diri kalian supaya kalian menjadi kekasih Allah Ta’ala.”[16]

Beliau (as) bersabda, “Ketahuilah dengan yakin, bukanlah tujuan Jemaat kita bahwa mereka hidup seperti orang-orang duniawi pada umumnya. Mereka hanya mengatakan, ‘Kami telah baiat ke dalam Jemaat ini’ dan beranggapan tidak perlu beramal. Hal ini sebagaimana keadaan orang-orang Muslim yang malang, ketika ditanyakan padanya, ‘Apakah Anda Muslim?’

Mereka mengatakan, ‘Alhamdulillah.’ Namun, mereka tidak mengerjakan shalat dan tidak menghormati syiar-syiar Allah.

Saya tidak menginginkan kalian hanya menyatakan dengan lisan saja tanpa memperlihatkan contoh amalan. Keadaan demikian sangat mengkhawatirkan dan Allah tidak menyukainya.

Sebenarnya keadaan dunia inilah yang menuntut sehingga Allah Ta’ala membangkitkanku untuk mengadakan perbaikan, maka apabila seseorang – meskipun menjalin hubungan dengan saya- namun tidak memperbaiki keadaannya dan tidak meningkatkan potensi amaliahnya, bahkan menganggap pernyataannya secara lisan saja itu cukup maka seakan-akan dengan amalannya itu ia menegaskan mereka tidak membutuhkanku.” Mereka berbicara dengan perantaraan amal perbuatannya bahwa kedatangan Masih Mau’ud tidaklah diperlukan. “Untuk itu, jika kalian ingin membuktikan dengan amalan kalian bahwa kedatanganku tidak berfaedah, apa artinya menciptakan hubungan dengan aku. Jika kalian ingin menjalin hubungan denganku, wujudkanlah tujuan-tujuan dan maksud-maksud pengutusanku dan itu adalah dengan menampilkan keikhlasan dan kesetiaan kalian di hadirat Allah dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an sedemikian rupa sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rasulullah (saw) dan para Sahabat.

Pelajarilah dengan seksama maksud ajaran Al-Qur’an dan amalkanlah. Pernyataan lisan semata tidak cukup di sisi Allah, jika suatu nur dan semangat tidak menyertai amal-amal. Ketahuilah dengan pasti, Jemaat yang pendiriannya dikendaki oleh Allah tidak mungkin hidup tanpa amal. Inilah jemaat agung yang persiapannya telah mulai semenjak zaman Hadhrat Adam as. tidak ada seorang Nabi pun yang datang ke dunia ini yang tidak mengabarkan seruan itu, maka hargailah itu. Maksud menghargai di sini adalah membuktikan dengan amalan kalian bahwa kalian-lah Jemaat orang-orang yang benar.”[Malfuzāt Jilid 9][17]

Jadi, buktikanlah hal ini. Dengan demikian, jika kita telah berbaiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan penuh keyakinan bahwa beliau (as) adalah Al-Masih dan Al-Mahdi yang nubuatan mengenai kedatangannya telah disampaikan oleh Hadhrat Rasulullah (saw) maka kita hendaknya menciptakan suatu perubahan suci dan suatu revolusi dalam diri kita.

Hendaknya kita menjadi contoh bagi dunia. Hendaknya kita menegakkan tolok ukur pemenuhan hak-hak Allah dan hak-hak hamba. Tarbiyat yang telah kita dapatkan di bulan Ramadhan, lanjutkanlah itu di bulan-bulan yang tersisa. Pedoman amalan yang telah saya sampaikan dalam sabda-sabda Hadhrat Masih Mau’ud (as), berusahalah sekuat tenaga untuk mengamalkannya. Laksanakanlah shalat dengan benar, amalkanlah Al-Qur’an dan penuhilah hak-hak satu sama lain. Berikanlah segala pengorbanan demi penegakkan tauhid, barulah kita menjadi orang-orang yang memenuhi hak baiat. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk itu.

Banyaklah berdoa. Berdoalah juga untuk dunia, semoga keadaan dunia menjadi lebih baik. Permusuhan yang sedang berlangsung satu sama lain, satu negara menyerang negara lainnya, semoga mereka menggunakan akal sehatnya dan berhenti dari melakukan semua itu, jika tidak, dunia sedang menuju ke arah kehancuran yang besar, dan semoga mereka mengenali Tuhan pencipta-nya, dengan demikian mereka akan keluar dari kehancuran tersebut.

Begitu juga berdoalah bagi para Ahmadi yang dipenjara di jalan Allah Ta’ala. Berdoalah untuk keadaan yang dialami para Ahmadi di Pakistan. Berdoalah untuk keadaan yang terjadi di beberapa negara lainnya di dunia. Berdoalah untuk mereka yang dipenjara di Afganistan. Berdoalah untuk mereka yang dipenjara di Aljazair. Di Pakistan, dikarenakan perundang-undangan dan rasa takut terhadap para ulama dan masyarakat, para hakim tidak mampu memberikan keputusan yang benar. Semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaan di sana dan para Ahmadi bisa hidup dengan bebas di Pakistan.

Setelah shalat saya juga akan melaksanakan satu shalat jenazah hadir. Yang terhormat Abdul Baqi Ashraf Sahib yang merupakan Chairman Asy-Syirkatul Islamiyyah UK, putra dari Dokter Abdul Hamid Sahib dari Faishalabad. Beliau wafat pada 27 April di usia 88 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.

Beliau merupakan cicit dari seorang sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as), Hadhrat Mian Ciragh Din Sahib (ra) dan berasal dari keluarga Hadhrat Muhammad Husain Sahib (ra) Marham Isa Wale dan Mia Muhammad Yusuf Sahib yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Pribadi di masa Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. Ashraf Baqi Sahib datang ke Inggris pada 1955 dan menempuh pendidikan di bidang Teknik Elektro. Beliau tinggal di Masjid Fazl bersama istrinya. Kemudian pada 1963 beliau mendapatkan pekerjaan dan pergi ke Arab Saudi dan menetap di sana hingga 1972. Pada saat menetap di Arab Saudi beliau mendapatkan taufik mengkhidmati para Ahmadi yang datang untuk melaksanakan haji dan umroh yang di antaranya juga termasuk beberapa sahabat. Pada saat tinggal di Arab Saudi, beliau mendapatkan karunia dipenjara di jalan Allah dikarenakan status beliau sebagai Ahmadi. Pihak pemerintah menawarkan kepada beliau bahwa, “Keluarlah dari Ahmadiyah, maka anda akan dibebaskan.” Beliau dengan tabah menjalani masa tahanan, namun menolak untuk meninggalkan Ahmadiyah.

Singkatnya, pada 1972 beliau diusir dari negara tersebut, kemudian datang ke UK. Setelah datang ke sini, hingga akhir hayatnya, beliau mendapatkan taufik mengkhidmati Jemaat pada berbagai jabatan. Ketika Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (ra) hijrah, Almarhum juga pergi ke Belanda untuk menjemput beliau (rh). Kemudian beliau (rh) datang ke UK bersama Almarhum dari Belanda. Ashraf Baqi Sahib mendapatkan taufik bekerja sebagai Sekretaris Jaidad di UK.

Beliau juga cukup berperan dalam pembelian lahan Islamabad. Beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Naib Amir UK. Beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Officer Jalsah Salanah, Chairman Africa Trade, Chairman Asy-Syirkatul Islamiyyah dalam masa yang panjang. Beliau meninggalkan 2 putra dan 2 putri. Seorang putra beliau, Nabil Ashraf Sahib mengkhidmati Jemaat dengan baik di sini.

Mubashir Zafar Sahib, mantan karyawan kantor menuturkan berkenaan dengan Almarhum, “Meskipun beliau mendapatkan taufik berkhidmat secara sukarela dan tidak mengambil tunjangan apapun dari Jemaat, namun beliau bekerja dengan penuh tanggung jawab. Beliau sangat berdisiplin waktu. Meskipun keadaan beliau lemah, beliau setiap hari datang duduk di kantor selama 8 hingga 10 jam. Beliau tidak mempedulikan penyakit beliau.”

Yang lainnya menuturkan bahwa beliau biasa mengerjakan pekerjaannya dengan tangan sendiri. Beliau berusaha untuk membuat cae sendiri. Jika ada yang membuatkan untuk beliau maka beliau tidak menyuruh seseorang untuk mencuci cangkir caenya, melainkan mencucinya sendiri. Terkadang, pada waktu makan siang orang-orang meninggalkan peralatan makan di meja di Deer Park, maka bukan menyuruh orang lain, beliau sendiri membawanya dan membersihkan meja.

Terkadang, jika diperlukan, ketika petugas yang membersihkan toilet tidak datang, maka beliau membersihkan toilet. Beliau adalah seorang pejabat yang bekerja dengan kerendahan hati dan bekerja dengan giat. Daya ingat beliau juga sangat baik dan hingga akhir hayatnya beliau menjaga uang Jemaat dan menjalankan tanggung jawab apa pun yang diberikan kepada beliau dengan sangat baik. Beliau sangat disiplin dalam shalat, melaksanakannya secara berjamaah, sangat menghormati Khilafat, jika datang petunjuk dari Khilafat, sekalipun pendapat beliau pribadi berlawanan dengan itu, namun beliau segera menerima sepenuhnya petunjuk tersebut dengan senang hati dan melupakan pendapat pribadinya.

Wadud Malik Sahib menuturkan, “Saya jauh lebih muda dari beliau, namun meskipun demikian beliau selalu memberikan arahan dengan penuh kasih sayang dan bersikap sangat rendah hati dan tidak memperlakukan saya seperti selayaknya seseorang yang masih muda, melainkan setara.”

Muniruddin Shams Sahib juga menulis mengenai beliau, “Tugas mencari informasi mengenai keperluan rumah di Islamabad pada awalnya dipercayakan kepada beliau oleh Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) dan beliau melaksanakannya dengan sangat baik. Demikian juga beliau menjalankan tugas-tugasnya di Asy-Syirkatul Islamiyyah dengan sangat baik hingga akhir hayatnya. Beliau juga berhubungan dengan MTA dan memiliki peranan penting dalam pekerjaan di MTA yaitu masalah keuangan atau kontrak dan lain-lain.”

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfirah dan rahmat-Nya, meninggikan derajat beliau, memberikan taufik kepada putra-putri beliau untuk mengkhidmati agama dan senantiasa menjalin hubungan keikhlasan dan kesetiaan dengan Jemaat dan Khilafat. Sebagaimana telah saya sampaikan, ini adalah shalat jenazah hadir, setelah shalat saya akan keluar untuk memimpin shalat jenazah.[18]

Khotbah II

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Shahih Muslim (صحيح مسلم), Kitab ath-Thaharah (كتاب الطهارة), bab ash-Shalawaatul khams wal Jumu’ah ilal Jumu’ah wa ramadhan ila ramadhan mukaffaraatun (باب الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ), 450, Book 2, Hadith 19 atau bahasan kedua dan Hadits ke-19.

[2] Sahih Muslim (صحيح مسلم), Kitab tentang Iman (كتاب الإيمان), bab penyebutan kufr untuk yang meninggalkan shalat (باب بَيَانِ إِطْلاَقِ اسْمِ الْكُفْرِ عَلَى مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ). Jami` at-Tirmidhi 2619, bab meninggalkan shalat (باب مَا جَاءَ فِي تَرْكِ الصَّلاَةِ); Sunan Ibn Majah 1080, Kitab penegakan Shalat dan Sunnah di dalamnya (كتاب إقامة الصلاة والسنة فيها), bab mengenai meninggalkan shalat (باب مَا جَاءَ فِيمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ): لَيْسَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَالشِّرْكِ إِلاَّ تَرْكُ الصَّلاَةِ، فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ .

[3] Sunan at-Tirmidzi atau al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-Tirmidzi (الجامع الصحيح سنن الترمذي) karya Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi (محمد بن عيسى أبو عيسى الترمذي السلمي), bab-bab tentang shalat (أبواب الصلاة عن رسول الله صلى الله عليه و سلم), bab yang pertama dihisab ialah shalat (باب ما جاء أن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة الصلاة), (الناشر : دار إحياء التراث العربي – بيروت). Sunan Abi Daud no. 864, riwayat Harits bin Qubaishah. Lanjutan Hadits tersebut ialah, “…Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala mengatakan, ’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.” Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula [dari yang wajib lalu dinilai dari yang nafal].”

[4] Dalam metode penomoran ayat-ayat Al-Qur’an Karim, sesuai dengan tolok ukur penomoran ayat-ayat Al-Qur’an Karim yang digunakan oleh Jemaat Ahmadiyah, bismillahirrahmaanirrahiim sebagai ayat pertama terletak pada permulaan setiap Surah kecuali Surah at-Taubah.

[5] Malfuuzhaat (ماخوذ از ملفوظات جلد سوم صفحہ 258 ایڈیشن 1984ء)

[6] Shahih al-Bukhari, Kitab tentang Adzan (كتاب الأذان), bab perintah Nabi (saw) kepada seseorang yang tidak melakukan shalat dengan benar supaya mengulangi shalatnya (باب أَمْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الَّذِي لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهُ بِالإِعَادَةِ). Jami` at-Tirmidhi, Kitab tentang Shalat (كتاب الصلاة), bab (باب مَا جَاءَ فِي وَصْفِ الصَّلاَةِ). Sunan Abi Dawud, Kitab tentang Shalat (كتاب الصلاة), bab (باب صَلاَةِ مَنْ لاَ يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ); Sunan an-Nasa’i, (كتاب الافتتاح), (باب فَرْضِ التَّكْبِيرَةِ الأُولَى); Sahih Muslim Kitab tentang Shalat (كتاب الصلاة), bab kewajiban membaca al-Fatihah (باب وُجُوبِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ وَإِنَّهُ إِذَا لَمْ يُحْسِنِ الْفَاتِحَةَ وَلاَ أَمْكَنَهُ تَعَلُّمُهَا قَرَأَ مَا تَيَسَّرَ لَهُ مِنْ غَيْرِهَا)

[7] Malfuuzhaat (ملفوظات جلد دوم صفحہ 122 ایڈیشن 1984ء)

[8] Malfuuzhaat (ماخوذ از ملفوظات جلدسوم صفحہ 193-194 ایڈیشن 1984ء)

[9] Malfuuzhaat (ماخوذازملفوظات جلدسوم صفحہ348-349 ایڈیشن 1984ء)

[10] Malfuuzhaat (ملفوظات جلد اوّل صفحہ 140 ایڈیشن 1984ء)

[11] Malfuuzhaat (ملفوظات جلد اوّل صفحہ 36 ایڈیشن 1984ء)

[12] Shahih Muslim, Kitab tentang doa-doa (كتاب الدعوات), bab mendoakan seseorang tanpa sepengetahuan orang yang didoakan (باب فضل الدعاء بظهر الغيب) atau pada Kitab (كتاب الذكر والدعاء والتوبة والاستغفار) bab (باب فَضْلِ الدُّعَاءِ لِلْمُسْلِمِينَ بِظَهْرِ الْغَيْبِ): إِذَا دَعَا الْمُسْلِمُ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ قَالَ الْمَلَكُ : آمِيْنُ وَلَكَ بِمِثْلِهِ Apabila seorang Muslim mendoakan bagi saudaranya di luar kehadirannya [tanpa sepengetahuannya], malaikat akan mengatakan: Amin, semoga Anda memperoleh yang semacam itu. Riyad as-Salihin 1495, Kitab tentang doa-doa (كتاب الدعوات), bab mendoakan seseorang tanpa sepengetahuan orang yang didoakan (باب فضل الدعاء بظهر الغيب). Imam al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad 625, Kitab tentang doa (كتاب الدعاء), bab doa tanpa sepengetahuan yang didoakan (بَابُ دُعَاءِ الأخِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ).

[13] Malfuuzhaat (ملفوظات جلد دوم صفحہ 48)

[14] Malfuuzhaat (ملفوظات جلد سوم صفحہ 188تا 190 ایڈیشن 1984ء)

[15] Malfuuzhaat (ملفوظات جلد دوم صفحہ 167 ایڈیشن 1984ء)

[16] Malfuuzhaat (ملفوظات جلددوم صفحہ187-188 ایڈیشن 1984ء)

[17] Malfuuzhaat (ملفوظات جلد سوم صفحہ 370-371 ایڈیشن 1984ء)

[18] Sumber referensi: Majalah al-Fadhl pada link https://www.alfazl.com/2022/05/14/47441/. tercantum juga dalam www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab). Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.