Tanggapan atas pendapat Arnold Toynbee yang menyamakan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai raja duniawi yang tenggelam pada urusan politik.
Sheikh Mubarak Ahmad
The Review of Religions, November 1992
Yang Mulia Nabi Muhammad, shallallahu ‘alaihi wassalam sungguh seorang Nabi yang sebenar-benarnya, bukan sekedar pemimpin di muka bumi ini. Beliau adalah Khaataman Nabiyyin yaitu nabi terbaik dan paling sempurna di antara para nabi, perhiasan para nabi, alih-alih menjadi seorang raja atau seorang kaisar. Allah Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya:
“Muhammad bukan bapak salah seorang laki-laki di antaramu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khaataman Nabiyyin, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzab [33]:41)
Meskipun status Beliau seorang utusan Allah dan Khaatamun Nabiyyin, namun tidak dapat disangkal bahwa dari segi lain pun Beliau tepat dipandang sebagai seorang raja. Menilik ulang kehidupan Beliau ketika di Madinah, fakta-fakta yang ada jelas bahwa Beliau bukan hanya sebagai seorang raja tetapi juga kaisar yang sesungguhnya. Tidak perlu mempertanyakan atau memperdebatkan apakah Beliau seorang nabi atau raja, karena kedudukan Beliau begitu luar biasa dan bersifat multi dimensi.
Judul artikel ini tentang kenabian dan raja merupakan dua posisi yang sangat berbeda, yang satu berlaku untuk Nabi Muhammad dan yang satu lagi bukan. Jika kita mengesampingkan fakta-fakta keraguan ini tumbuh semakin kuat. Merujuk pada kehidupan Beliau di Madinah, keraguan tersebut akan terpatahkan. Al-Quran suci menyatakan:
“Sungguh bagi kamu dalam diri Rasulullah terdapat suri teladan yang terbaik” (QS Al-Ahzab [33]:22)
Karena Beliau adalah suri teladan dalam segala segi kehidupan, penting menggelarkan juga kedudukan raja kepada Beliau sehingga Beliau dapat menunjukkan keunggulan karakter dan kesempurnaan perilaku yang seharusnya melekat pada kedudukan tersebut. Hal ini, tentu saja, merupakan hal sekunder dibandingkan dengan apa yang telah Beliau sangat perjuangkan, yaitu pertanggungjawaban akan kedudukan itu.
Namun saat menjalankannya, Beliau tentu senantiasa terhindar dari pengaruh buruk karakter yang biasa tersematkan pada diri seseorang yang diberi kedudukan raja, dan musuh-musuh Islam yang telah menempatkan dan menampilkan Beliau di barisan raja-raja duniawi, telah melakukan ketidakadilan yang besar terhadap pribadiya yang mulia.
Rasulullah bukan Nabi biasa dan terbebas dari hal-hal buruk seorang raja
Berikut ini, saya coba membuktikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, dari pengkajian terhadap hadits-hadits, sunnah, dan karakter yang luar biasa, bukan seorang Nabi biasa tapi Beliau juga terlepas dari segala unsur buruk dan tercemar yang biasa disematkan kepada raja-raja dunia.
Di satu sisi Beliau adalah sosok yang ideal untuk diikuti baik dari perbuatannya, perkataan, karakter, dan kebiasaannya; di sisi lain, Beliau menunjukkan contoh sempurna dari segi ketajaman sikap berpolitik dan kepemimpinan yang unggul dimana semua orang dapat mengambil petunjuk berharga dari Beliau.
Para orientalis dan cendekiawan Barat lainnya sering kali menyalahartikan kehidupan dan perjuangan Nabi Suci Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Kesalahan mereka perlu diungkap dan dibantah dengan fakta.
Sejarawan Inggris yang terkenal, Arnold Toynbee, jelas keliru dalam tulisannya mengenai karakter Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam. Ia hanya satu contoh dari penulis Euro-sentris yang, sepanjang sejarah, telah berupaya mencemarkan nama baik Nabi Allah yang dijuluki oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai Khatamun Nabiyyin, Stempel Para Nabi, sosok terbaik dan paling sempurna di antara semua nabi Allah.
Teori Toynbee yang tidak berdasar menyatakan bahwa kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam terbagi dalam dua tahap:
“Dimulai sekitar tahun 609 M, pada tahap pertama, Muhammad sepenuhnya berfokus pada misi keagamaan Beliau; sementara pada tahap kedua, misi keagamaan tersebut tertutupi dan hampir teralihkan oleh urusan politik.”
Toynbee lebih lanjut menyatakan:
“Muhammad meninggalkan Mekah sebagai seorang buronan. Setelah tujuh tahun mengasingkan diri (622-629), ia kembali ke Mekah, bukan sebagai seorang buronan yang mendapat ampunan, melainkan sebagai penguasa dan pemimpin, tidak hanya atas Mekah tetapi juga setengah Jazirah Arab. Dengan demikian, tahap pertama dalam karir Muhammad dapat disetarakan dengan karir Solon, sedangkan tahap kedua dengan karir Julius Caesar.”
Apakah Solon dan Caesar ditunjuk Tuhan? Apakah perbandingan tersebut tepat? Untungnya, ada beberapa cendekiawan Barat yang melakukan penelitian secara adil mengenai Islam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Sangat disayangkan bahwa seorang sejarawan terkenal, dengan pandangan liberalnya, tersesat dalam penilaiannya sendiri. Namun, ketika fakta-fakta tersebut diteliti dan diperiksa dengan cermat oleh sejarawan lain, mereka dengan tegas menolak pernyataan Toynbee.
Perlu juga disebutkan bahwa Toynbee kemungkinan besar mengambil banyak referensi dari buku David Margoliouth, Muhammadanism, karena ia juga menyebutkan bahwa Muhammad mungkin telah berubah. Namun, meskipun Margoliouth berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam telah berubah, ia mengakui bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah mengabaikan perannya sebagai pendakwah dan pentarbiyah. Sebagai musuh Islam yang sangat keras, Margoliouth justru membantah tuduhan Toynbee dan menyatakan bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam juga merupakan Kepala Negara, dan merujuk pada tugas Beliau sebagai seorang nabi. Ia mengatakan:
“Tugasnya sebagai penguasa atas wilayah yang terus berkembang dan sebagai panglima angkatan bersenjata yang semakin besar diselaraskan dan dipadukan dengan perannya sebagai seorang Nabi … doktrin utama Islam, yaitu keesaan Allah dan kehidupan di akhirat, tetap diutamakan sebagaimana sebelumnya.”
Dalam buku Muhammad and Muhammadanism, R. Bosworth Smith mengakui ketulusan akan keyakinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam hingga saat Hijrah (yaitu, migrasi ke Madinah) dan menyatakan bahwa setiap perubahan dalam karakter dan tujuan Beliau harus dipertimbangkan dalam konteks kondisi umum kehidupan Beliau. Bertentangan dengan asumsi Toynbee, Smith dengan tegas menyatakan bahwa:
“Muhammad tetap mempertahankan sifat rendah hati dan kesederhanaan hingga akhir hayatnya, itulah keindahan utama karakternya. Ia tidak hanya berperan sebagai seorang nabi, tetapi juga sebagai penguasa duniawi yang didukung oleh Al-Qur’an dan sarana-sarana duniawi.”
Penulis lebih lanjut mencatat betapa sedikitnya perubahan yang terjadi pada Nabi, meskipun dalam keadaan yang sangat berbeda, dan menyiratkan bahwa merupakan kesalahpahaman jika ada yang menyatakan bahwa terjadi penurunan moral padanya.:
“Jika seseorang membaca kisah masuknya Muhammad ke Mekkah bersamaan dengan kisah Marius Sulla saat ia memasuki Roma, maka ia akan menyadari kemurahan hati dan sikap moderat Nabi dari Arab ini. Tidak ada daftar pengucilan, tidak ada penjarahan, dan tidak ada balas dendam yang brutal.”
Smith dengan lugas menyatakan bahwa:
“Muhammad tidak pernah goyah akan keyakinan pada tugasnya, yang lebih luar biasanya lagi adalah keyakinannya tentang sifat yang tepat dan batas-batasnya yang jelas. Dia adalah nabi yang diberi tugas oleh Tuhan; tidak kurang dari itu.”
Contoh objektifitas dan kajian yang mencerahkan lainnya ditemukan pada tulisan Thomas Arnold, The Preaching of Islam. Dia mengecam banyak pernyataan yang diungkapkan beberapa penulis Eropa bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengadopsi karakter yang sepenuhnya baru sejak masa hijrah (migrasi). Arnold menguatkan argumennya dengan mengatakan bahwa:
“Keliru mengira Muhammad menyampingkan peran pendidik dan dakwahnya dalam Islam, atau saat ia memimpin pasukan yang besar, dia tidak memaksa kaum kafir untuk menerima keyakinan baru.”
Perbedaan Nabi Muhammad dengan sifat-sifat raja duniawi
Gambaran hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan, tindakan, dan keluhuran akhlaknya menjadi bukti positif bahwa Beliau bukan hanya paling terbaik di antara para nabi, justru dalam perannya yang sekuler, Beliau juga luar biasa. Seluruh kehidupan Beliau tercatat dengan sangat rinci, layaknya sebuah buku yang terbuka. Jika Beliau hidup seperti penguasa pada umumnya, sejarah pasti akan menyoroti setiap kelalaian dan kesalahannya, dan tidak akan memberi maaf atas kekurangan apa pun dalam perilaku moralnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sosok yang sederhana
Raja-raja pada umumnya sangat menyukai pertunjukan nan megah dan mewah, yang itu adalah salah satu cara mereka untuk mengekspresikan status leluhur mereka. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali bebas dari segala bentuk sikap seperti itu. Kita tidak menemukan kemegahan semacam itu dalam hidup Beliau.
Dalam Hadis – yang merupakan kumpulan perkataan Beliau – disebutkan bahwa seseorang mengirimkan pakaian sutra kepada Beliau sebagai hadiah. Beliau memakainya dan menunaikan salat. Setelah itu, Beliau melepasnya dan bersabda:
“Bagi orang-orang yang sederhana pakaian seperti ini tidaklah cocok.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah lambang kerendahan hati. Hal ini terlihat jelas dari suatu peristiwa ketika Umar r.a. berpikir bahwa karena dari waktu ke waktu duta besar dan perwakilan dari daerah lain datang mengunjungi Beliau, maka Beliau sebaiknya mengenakan pakaian yang mengesankan dalam kesempatan-kesempatan tersebut dan juga di acara keagamaan seperti salat Jumat dan Idul Fitri. Suatu ketika, Umar r.a. berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam di sebuah area pasar dan melihat kain sutra; memanfaatkan kesempatan itu, ia menyarankan kepada Nabi agar membeli kain tersebut dan memakainya. Nabi pun menjawab:”
“Hanya orang yang tidak menginginkan bagian apa pun dari kehidupan akhirat yang mengenakan ini.” (HR. Bukhari)
Hingga akhir hayatnya, Beliau terbiasa mengenakan pakaian berbahan katun tebal dan kasar.
Suatu kali Beliau sedang berbaring di atas kasur yang keras. Saat Beliau bangun nampak jelas bekas di punggung Beliau, lalu sahabat bertanya apakah mereka lebih baik menyediakan bahan yang lebih lembut? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pun menjawab:
“Saya tidak punya hubungan dengan dunia ini; hubungan saya dengan dunia ini bersifat hanya sementara seperti pengembara yang berhenti di bawah pohon rindang saat dalam perjalanan. Ia beristirahat sejenak di bawah naungan itu kemudian melanjutkan perjalanannya.” (HR. Jami Tirmizi)
Suatu kali di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tinggal jauh dari keluarganya, Umar r.a. mengunjungi Beliau. Beliau tercengang melihat rumah Beliau sama sekali tidak ada kenyamanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sedang duduk di dalam sebuah ruangan kecil dengan pakaian longgar yang menutupi badannya; ada sebuah dipan sederhana dan diujungnya terdapat sebuah bantal yang diisi dengan daun kurma. Di sudut ruangan terdapat sedikit gandum dan di sudut lain ada selembar kulit binatang yang digunakan untuk menyimpan air. Melihat kesedehanaan tempat tinggal raja diraja, Umar r.a. terharu dan air matanya pun berlinang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bertanya, wahai Umar? Mengapa Engkau menangis? Umar r.a. menjawab: Mengapa aku tidak boleh menangis? Aku melihat bekas anyaman tikar di tubuhmu. Di satu sisi, aku melihat barang-barangmu yang sederhana, dan di sisi lain, aku membayangkan kemewahan para raja Mesir dan Persia. Mereka menikmati hidup dengan begitu mudah, sementara engkau menjalani kehidupan yang penuh kesulitan. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Umar, tidakkah engkau suka jika mereka mengambil dunia ini, dan aku mendapatkan akhirat?” (HR. Sahih Muslim)
Kerendahan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Saya telah menggambarkan secara singkat dan ada ribuan contoh dalam kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tentang kesederhanaan, ketawadhuan, dan kerendahan hati Beliau. Ketika hal ini dibandingkan dengan kemegahan para raja dunia, kita akan merasa sangat heran.
Para raja dunia biasanya menunjukkan sikap sangat resmi dan mewah dalam pergaulan dan percakapan mereka. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun berinteraksi dengan ribuan orang, tidak pernah membuat orang-orang merasa bahwa mereka sedang berbicara dengan sosok yang lebih tinggi derajatnya. Beliau menjaga kerendahan hati hingga tampak seperti orang biasa.
Diriwayatkan bahwa di Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memiliki hutang kepada seorang Yahudi yang kemudian datang dengan cara angkuh dan kasar untuk menagihnya. Dengan nada merendahkan, orang Yahudi itu berkata, “Kalian dari Bani Hasyim, setiap kali mengambil sesuatu, selalu enggan membayarnya kembali.” Umar, yang hadir saat itu, merasa sangat marah melihat sikap buruk orang Yahudi tersebut. Namun, Rasulullah bersabda, “Wahai Umar, nasihatilah dengan baik yang meminjamkan agar menagih dengan cara yang baik, maupun yang berutang agar segera melunasinya.”
Demikian pula, suatu ketika seorang Badui datang dan menagih hutang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dengan nada kasar. Para sahabat yang berada di sekitar Beliau saat itu merasa sangat terganggu dan berkata kepada Badui tersebut: “Apakah kamu tahu kepada siapa kamu sedang berbicara?” Namun, Badui itu menegaskan bahwa ia hanya menuntut haknya. Mendengar hal itu, Rasulullah bersabda: “Adalah hak pemberi pinjaman untuk menuntut pelunasan utangnya.”
Suatu hari, Rasulullah bersama para sahabat berada di hutan untuk bersiap-siap memasak. Beliau membagi tugas dan ikut serta dalam mempersiapkan makanan (Siirat Khairul Bashar). Meskipun Beliau adalah Rahmatanlilaalamiin, Beliau bekerja seperti orang biasa. Partisipasinya dalam pekerjaan rumah tangga sudah menjadi kebiasaan. Istrinya, Aisyah (ra), mengatakan bahwa Rasulullah bekerja di rumah seperti orang biasa dan tidak pernah menunjukkan dirinya lebih tinggi dari orang lain. Suatu ketika, Rasulullah keluar dari rumah, dan para sahabat yang sedang menunggu di luar berdiri sebagai tanda penghormatan. Melihat itu, Beliau bersabda:
“Jangan berdiri seperti kebiasaan orang Ajam (non-Arab) ketika melihatku.” (HR. Abu Daud)
Diriwayatkan bahwa suatu ketika, seseorang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan begitu terkesan dengan kepribadian Beliau hingga gemetar karena gugup. Melihat itu, Rasulullah bersabda: “Jangan takut; aku hanyalah putra seorang wanita Quraisy yang biasa memakan daging kering sederhana.” (HR. Tirmidzi).
Apakah para raja dunia pernah merendahkan diri dengan kerendahan hati seperti ini? Jika Rasulullah hanyalah seorang raja biasa, tentu Beliau akan menunjukkan kesombongan, kebanggaan, dan kemewahan seperti raja-raja pada umumnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menepati janji
Para raja biasanya sulit menepati janji mereka dan sering dengan mudah melanggarnya. Tentang Raja Henry III disebutkan bahwa ia berulang kali berjanji untuk mematuhi Perjanjian Agung tetapi selalu mengingkarinya (History of England oleh Kolonel Garette, hlm. 30).
Kaisar Jerman, tanpa mempedulikan perjanjian, terus menggerakkan pasukannya dari Belgia ke Paris. Sebaliknya, dalam pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, kita melihat sosok yang sangat berbeda. Abu Rafi, seorang budak dan kafir, diutus sebagai perwakilan oleh orang-orang Mekah ke Madinah. Setibanya di Madinah, ia begitu terkesan oleh kebenaran Islam dan kepribadian Rasulullah hingga ia ingin memeluk Islam dan tinggal di Madinah. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepadanya bahwa perjanjian harus dipenuhi dan ia harus kembali ke Mekah terlebih dahulu.
Ini adalah perjanjian antara kami dan orang-orang Mekah bahwa kami tidak bisa menahanmu di sini. Karena itu, kembalilah ke Mekah, dan jika setelah itu engkau masih merasakan hal yang sama, barulah engkau dapat kembali dan memeluk Islam. (HR. Abu Daud)
Peristiwa ini terjadi selama penulisan perjanjian Hudaibiyah, ketika Abu Jandal, masih dalam keadaan tawanan, ia berhasil melarikan diri dari Mekah dan datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam untuk meminta perlindungan. Para sahabat sangat sedih melihat kondisi Abu Jandal yang memilukan. Namun, Rasulullah tetap menghormati perjanjian dengan orang-orang Mekah, yang menyatakan bahwa seorang Muslim dari Mekah yang melarikan diri ke Madinah harus dikembalikan.
“Wahai Abu Jandal, kita tidak bisa melanggar perjanjian kita. Allah Yang Maha Kuasa akan membuka jalan baru untukmu.” (HR. Bukhari)
Pada saat Perang Badar, keadaan sangat tidak menguntungkan bagi umat Muslim; musuh memiliki persenjataan yang lengkap dan jumlah mereka jauh lebih banyak daripada umat muslim. Mereka tidak memiliki peralatan yang cukup dan hampir kelaparan karena kekurangan makanan dan persediaan lainnya. Namun, mereka tetap yakin kepada Allah. Dalam situasi yang sulit ini, dua orang Muslim dari Makkah mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan memberitahukan bahwa mereka memiliki perjanjian dengan orang-orang Makkah yang menyatakan bahwa mereka dapat pergi ke Madinah tetapi tidak diizinkan untuk ikut bertempur melawan orang-orang Makkah. Mereka kini meminta izin kepada Rasulullah untuk ikut serta dalam Pertempuran Badar bersama para Muslim lainnya.
“Kamu harus menghormati perjanjian itu dalam keadaan apapun. Kamu tidak boleh ikut serta dalam pertempuran. Kami hanya membutuhkan pertolongan dari Allah.” (HR. Sahih Muslim)
Dapatkah seseorang menggambarkan sosok dengan karakter seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai raja dalam pengertian biasa? Adakah yang bisa memberikan satu contoh yang serupa dengan ini?
Sifat pemaaf Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Seorang filsuf pernah berkata: “Balas dendam adalah naluri alami dan merupakan hal yang universal bagi seluruh umat manusia; orang yang tersiksa tidak hanya membalas dendam kepada penyiksanya, tetapi juga kepada seluruh umat manusia.”
Para raja dunia bertindak sesuai dengan ungkapan di atas. Ribuan contoh dapat disebutkan di mana raja membalas dendam demi kepentingan pribadi mereka. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah membalas dendam karena alasan pribadi. Dikatakan bahwa Napoleon menasehati putranya untuk membalas dendam bahkan atas dendam pribadi. Aisyah, istri Rasulullah, meriwayatkan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah membalas dendam karena rasa sakit hati pribadi; Beliau hanya akan bertindak demi Allah dan perintah-Nya.” (HR. Bukhari)
Hal ini terjadi di hari-hari awal kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ketika Beliau pergi ke Taif untuk menyebarkan Islam. Penduduk Taif memperlakukan Beliau dengan sangat kejam; mereka bahkan melempari Beliau dengan batu-batu hingga kaki Beliau terluka parah dan berlumuran darah. Namun, meskipun turun wahyu mengenai kehancuran penduduk Taif, Rasulullah tetap mengucapkan doa: “Ya Allah, tunjukkan kepada kaum ini jalan yang benar, karena sesungguhnya mereka tidak tahu.” Doa ini mencerminkan sifat kasih sayang dan pengampunan Beliau, meskipun Beliau mendapat perlakuan yang sangat buruk.
“Ya Allah, berikanlah mereka pemahaman karena mereka tidak mengetahui apa yang mereka perbuat, dan bimbinglah mereka ke dalam pelukan Islam.” Beberapa dari orang yang sama datang sebagai delegasi ke Madinah pada tahun 9 Hijriah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyambut mereka dengan sangat ramah, memperlakukan mereka dengan penuh perhatian, dan bahkan mengatur tempat tinggal mereka di Masjid Nabawi.” (HR. Abu Daud)
Keunggulan akhlak yang ditunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam kepada musuh-musuh terberatnya adalah sesuatu yang tiada bandingannya dalam sejarah manusia.
Di masa-masa awal Islam, penduduk Mekah melakukan berbagai bentuk kekejaman terhadap Beliau dan para pengikutnya. Beliau dipaksa berjalan tanpa alas kaki di atas semak berduri; kotoran dilemparkan kepadanya; Beliau dipanggil dengan berbagai sebutan buruk; dan berbagai rencana dibuat untuk menghilangkan nyawa Beliau serta menghancurkan dakwahnya. Para pengikutnya ditusuk dan dibunuh, diseret di atas pasir yang membara, dan tubuh mereka dibakar dengan besi panas serta batu. Namun, dalam waktu sepuluh tahun, yang lemah menjadi kuat, dan yang tak berdaya kemudian tampil dengan penuh kewibawaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memasuki kota Mekah sebagai pemenang yang gemilang. Keberhasilannya begitu luar biasa sehingga tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukan seluruh penduduk Mekah dengan penuh kasih, kecuali beberapa orang yang memiliki catatan kriminal, dengan memberikan pengampunan dan bersabda, “Pergilah kalian semua; hari ini tidak ada pembatasan atas kalian; kalian semua bebas.”
Abu Sufyan, salah satu musuh terberat yang pernah memimpin berbagai pertempuran melawan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, ia dihadapkan kepada Beliau pada malam sebelum penaklukan Mekah. Umar ingin membunuhnya karena kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak hanya memaafkannya, tetapi juga mengatakan, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan mendapatkan keamanan.” Permusuhan Abu Jahal terhadap Rasulullah ﷺ pun bukan rahasia lagi. Putranya, Ikrimah, dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam oleh istrinya, yang telah lebih dulu menerima Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menyambutnya dengan berkata, “Selamat datang kepada pencari perlindungan yang datang kepadaku.” (Mishkat)
Contoh-contoh pengampunan dan kelembutan yang ditunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam kepada musuh-musuh terberatnya seperti disebutkan di atas adalah sungguh berbeda dan tidak ditemukan di tempat lain dalam catatan sejarah. Pernah ada masa ketika Beliau lemah dan tak berdaya, sehingga tidak dapat menghukum musuh-musuhnya. Namun, waktu pun berganti, dan Beliau menjadi kuat, sementara para musuhnya tunduk tak berdaya di hadapan Beliau, sepenuhnya berada dalam kekuasaan. Meskipun demikian, dengan beberapa yang dikecualikan, semuanya Beliau maafkan.
Kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Para raja duniawi biasanya bersifat serakah; menambah kekayaan adalah tujuan yang paling mereka dambakan. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, justru sebaliknya. Harta dan kekayaan datang kepadanya dalam jumlah yang melimpah, tetapi Beliau tidak pernah membiarkan malam berlalu tanpa membagikannya kepada para pengikutnya. Suatu ketika, Abu Bakar mengatakan bahwa ia sedang melewati Gunung Uhud bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Pada kesempatan itu, Beliau bersabda:
“Jika Gunung Uhud berubah menjadi emas untukku, aku tidak akan membiarkan tiga malam berlalu dengan menyimpannya walau hanya satu dinar untuk diriku sendiri.” (HR. Bukhari)
Suatu ketika, seorang pria kaya dari Fadak mengirim empat unta yang memuat begitu banyak biji-bijian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam meminta Bilal untuk menjual biji-bijian tersebut dan membagikan uang hasil penjualannya. Pada akhir hari, Bilal kembali dan melaporkan bahwa ia tidak menemukan banyak orang, sehingga seluruh uang belum bisa dibagikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pulang malam itu; Beliau menghabiskan sepanjang malam di masjid hingga keesokan harinya, saat Bilal datang membawa kabar bahwa seluruh uang sudah dibagikan. Barulah setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pulang ke rumah. (HR. Abu Daud)
Dalam kaitan ini, ada contoh lain. Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima sejumlah harta dari Bahrain, lebih banyak daripada yang pernah Beliau terima sebelumnya. Harta tersebut ditumpuk di halaman masjid, dan Beliau mulai membagikannya. Siapa pun yang datang, Beliau memberinya sesuai dengan bagiannya. Beliau memberikan sangat banyak kepada Abbas, yang jatuh miskin setelah Perang Badar, hingga ia hampir tidak mampu membawanya. Setelah semua harta itu dibagikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam membersihkan tangannya lalu pergi. (HR. Bukhari)
Berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para raja duniawi sering kali begitu serakah, hingga beberapa dari mereka bahkan iri terhadap rakyatnya jika ada yang sedikit lebih makmur. Tentang Raja Henry VII, tertulis bahwa suatu ketika ia mengunjungi Earl of Oxford. Setelah pertemuan itu, ketika sang raja hendak kembali, para penjaga Earl, dengan seragam megah, berbaris sebagai tanda penghormatan. Raja berterima kasih kepada Earl atas keramahannya, tetapi sekaligus menuntut agar Earl segera membayar sejumlah besar uang sebagai imbalan. (History of England oleh Garette)
Terkait hal ini, Garette juga mencatat bahwa pada hari-hari akhir pemerintahannya, Henry VII menjadi semakin serakah, sehingga kehilangan popularitasnya. Ia selalu memikirkan cara untuk memeras uang dari rakyatnya.
Lihatlah sikap mulia dan contoh-contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, dan bandingkan dengan perbuatan para raja duniawi. Apakah ada perbandingan lain? Beliau bukan hanya tidak mengumpulkan kekayaan, tetapi juga tidak membiarkan apa pun tertinggal untuk dirinya sendiri, melainkan dengan cepat membagikan apa pun yang Beliau terima. Adakah contoh serupa dalam kehidupan raja manapun?
Rasulullah saw penuh keadilan
Dalam berinteraksi dengan keluarga, sikap Beliau sangat berbeda dengan para raja duniawi yang demi mendapatkan keuntungan untuk orang-orang terdekat mereka, mencari segala celah dalam peraturan dan bahkan mengubah undang-undang jika perlu. Mereka berusaha sekuat tenaga agar setelah kematian mereka, keluarga mereka tetap hidup dalam kemewahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memiliki pendekatan dan nasihat yang berbeda untuk keluarga Beliau. Beliau sangat dipenuhi dengan kebenaran dan kelemahlembutan,. Beliau menasihati keluarganya untuk menjalani kehidupan yang saleh dan sederhana, daripada terjebak dalam perlombaan untuk kekayaan duniawi. Beliau mengarahkan perhatian mereka pada ayat Al-Qur’an:
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. (Al-Hujurat:14)
Putri Beliau, Fatimah ra, yang sangat Beliau cintai, dan setiap kali ia datang menemui Beliau, Beliau selalu berdiri dan menawarkan tempat duduk. Sebagai putri tercintanya, ia sering mengeluh tentang pekerjaan rumah yang berat, menggiling tepung sendiri, dan membawa air untuk keperluan rumah tangga, sehingga ia meminta bantuan. Jawaban Beliau adalah: “Kecuali kita bisa mengatur sesuatu untuk Ahli Suffah (yaitu mereka yang hidup sepenuhnya dari amal), kita tidak bisa melakukan apa-apa untukmu.” (HR. Abu Daud)
Dalam banyak contoh, sebagian besar para raja, yaitu ketika kerabat dekat mereka, sering dianggap kebal hukum. Namun, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah menganggap dirinya seperti itu. Suatu kali, Beliau secara tidak sengaja memukul salah seorang sahabat kemudian Beliau segera mengundangnya untuk membalas atau menerima ganti rugi. Pada saat Perang Badar, paman Beliau, Abbas, termasuk di antara tawanan perang. Setelah membayar tebusan yang cukup, beberapa tawanan dibebaskan. Beberapa sahabat Nabi berpikir bahwa mungkin paman Beliau bisa mendapat kelonggaran dan keringanan. Ketika Nabi Muhammad SAW mengetahui hal teraebut, Beliau bersabda:
Demi Allah! Aku tidak akan memberinya keuntungan berupa satu dirham pun, yakni sedikit pun keistimewaan dalam perlakuan dibandingkan yang lain.
Ketika seorang wanita dari suku Makhzum tertangkap sedang mencuri, Usamah bin Zaid, yang sangat dekat dan dicintai oleh Nabi Muhammad SAW, dikirim untuk memohon agar hukuman diringankan bagi wanita tersebut. Mendengar hal itu, Nabi berkata: ‘Apakah kamu berusaha mendapatkan keringanan unuk melawan ketetapan Allah?’ Lalu Beliau bersabda:”
Bangsa-bangsa sebelum kalian telah binasa karena jika orang kaya melakukan kejahatan, mereka membebaskannya, tetapi jika orang biasa melakukan hal yang sama, mereka menghukumnya. Demi Allah, jika putriku Fatimah mencuri, aku pasti akan memerintahkan agar tangannya dipotong. (HR. Bukhari)
Tidak suka pujian
Para raja duniawi biasanya sangat senang akan pujian dan sanjungan, dan ketika seseorang memberi mereka pujian yang berlebihan, mereka menyambutnya dengan gembira. Elizabeth I dari Inggris dan Henry VIII dikenal memiliki sifat seperti itu. Namun, Nabi Muhammad SAW sangat berbeda dari para penguasa duniawi. Tidak hanya pujian palsu atau berlebihan, bahkan pujian yang memang layak pun Beliau hindari.
Suatu kali, Abdullah bin Sakhr datang menemui dan menyapa Beliau dengan kata-kata, ‘Tuan kami.’ Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam segera melarangnya menggunakan kata-kata seperti itu. Nabi dikenal dengan berbagai nama, seperti Muhammad, Abul Qasim, dan sebagainya, tetapi tidak pernah dengan gelar seperti kaisar, raja, atau sejenisnya. Demikian pula, Beliau tidak pernah membangun istana atau singgasana, dan tidak pernah memiliki pengawal pribadi, padahal itu sesuatu yang umum bagi para raja dunia.
Tentang Beliau, Pendeta Ghulam Masih menulis:
Nama dan julukan Beliau mencerminkan karakter dan kepribadian Beliau; Muhammad, Sahid, Nazir, Bashir, dan Rasulullah, semuanya terkenal. Di luar nama-nama itu tidak ada Beliau disebut sebagai pemimpin apapun, misalnya kepala suku Quraisy, pemimpin Arab, Penakluk Arab atau raja Arab. Sungguh mencengangkan. Padahal sejarah Islam sangat jelas menggambarkan kehidupan Beliau, kontribusi, perjuangan dan kemenangan Beliau, keberanian dan ketegasan Beliau, tapi tidak ada satupun disebutkan tentang tahta, istana, makhkota, bahkan jubah atau pakaian istimewa Beliau. Di sepanjang hidup, Beliau hanya membangun satu bangunan, yaitu masjid Nabawi, yang digunakan untuk beribadah. Tidakkah kita merasa tercengang dengan fakta-fakta ini?
Lebih lanjut Beliau menulis:
Sulit dipercaya, saya kristiani dan mengikuti pemahaman umat kristen pada umumnya. Namun saya akan membesarkan kualitas yang dimiliki oleh Nabi Muhammad dan ingin menonjolkan kesan tertinggi terhadap Beliau yang mana mungkin tidak masuk akal bagi mereka orang-orang terpelajar. Akan tetapi, dari seorang kristiani yang berprasangka netral, kepribadian shaleh nabi Muhammad baru bisa terlihat jelas apabila ia benar-benar umat kristen yang netral dan sudah mengkaji lebih dalam literatur Islam.
Akankah orang-orang ini, yang berpikir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam adalah raja duniawi, apakah mereka sudah mempelajari literatur Islam lebih dalam dan akankah mereka bisa menemukan kebenaran.
Berperang untuk menegakkan perdamaian
Raja-raja biasanya melakukan peperangan demi kepentingan pribadi; alih-alih menjaga perdamaian dan kerukunan dunia, mereka justru menimbulkan bencana dan kekacauan. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melakukan peperangan demi menegakkan perdamaian dan menjaga kebebasan hati nurani.
Para kritikus berkomentar jika Rasulullah bukan raja, mengapa Beliau berperang? Jika kita perhatikan dengan seksama, jelas sekali Beliau mengangkat senjata sebab keadaan yang tidak dapat dihindari dan semua peperangan terpaksa dilakukan demi perlindungan diri. Tidak ada satupun peperangan yang Beliau lakukan untuk tujuan duniawi, sebagaimana dengan tegas disebutkan dalam Al-Quran, bahkan diakui oleh beberapa musuh Beliau.
Sejarawan mencatat bahwa ayat pertama yang mengandung perintah untuk mengangkat senjata diturunkan kepada Beliau pada tanggal 15 Agustus 623, satu tahun pasca kedatangan Beliau di Madinah.
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu. ‘Yaitu orang-orang yang diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, “Tuhan kami adalah Allah.” Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Maha Perkasa.’ (Al-Hajj: 40-41)
Tujuan peperangan dalam Islam telah dijelaskan dengan sangat gamblang dalam ayat yang disebutkan di atas. Dalam buku Seerat Khatam-un-Nabiyyin (Kehidupan Nabi Muhammad SAW), Hazrat Mirza Bashir Ahmad, M.A., memberikan penjelasan mendalam mengenai ayat tersebut, yang merupakan salah satu ilustrasi terbaik berkaitan dengan hal di atas. Beliau menulis:
“Jika kita cermati, ada empat poin yang dapat disimpulkan dari ayat tersebut. Pertama, bahwa perang dimulai oleh kaum kafir, jelas tersirat dari kata-kata ‘orang-orang yang diperangi’. Kedua, bahwa kaum kafir memperlakukan umat Muslim dengan sangat kejam, dan kekejaman inilah yang menjadi penyebab terjadinya perang agama, sebagaimana tersirat dari kata-kata ‘karena mereka telah dizalimi’. Ketiga, tujuan kaum kafir adalah menghancurkan Islam dengan kekuatan pedang, seperti yang tercermin dari kata ‘diusir’. Keempat, pernyataan perang oleh umat Muslim adalah bentuk pembelaan diri, sebagaimana jelas dari frasa ‘jika Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain’. Singkatnya, ayat ini menegaskan bahwa alasan utama umat Muslim melakukan perang defensif adalah untuk melindungi diri mereka dan mencegah pelanggaran kaum kafir, yang berusaha menghancurkan umat Muslim dengan kekuatan senjata.”
Singkatnya, satu ayat ini saja sudah cukup untuk membantah semua keberatan yang sering dilontarkan para kritikus terkait peperangan yang dilakukan oleh umat Muslim, intinya yaitu semata-mata sebagai bentuk pembelaan diri.
Para penulis Kristen sering mengangkat peristiwa Banu Quraizah sebagai contoh pelanggaran yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Tidak diragukan bahwa peristiwa itu memang terjadi; namun, keadaan di mana peristiwa tersebut terjadi justru memperjelas dan membenarkan langkah-langkah yang diambil oleh Nabi. Ini bukan kesempatan untuk membahas detail peristiwa tersebut, tetapi kutipan berikut dari seorang penulis Kristen mungkin dapat menghilangkan beberapa keraguan. Ia menulis:
“Serangan besar (Perang Ahzab) yang dinyatakan oleh Muhammad telah digagalkan secara ajaib disebabkan, atau diyakini disebabkan, oleh propaganda beberapa oknum Banu Nadhir, yang sebelumnya telah diusir oleh Nabi sebagai hukuman. Jika Beliau hanya mengusir Banu Quraizah saja, itu berarti Beliau melepaskan sekelompok propagandis baru. Di sisi lain, mereka yang secara terbuka bersekutu dengan para penyerang Madinah tidak dapat dibiarkan untuk tetap tinggal di sana. Mengusir mereka tidak aman; membiarkan mereka tetap tinggal justru lebih berbahaya. Karena itu, mereka harus dihukum mati.” (Margolis)
Faktanya, orang-orang ini adalah pengkhianat dan tidak pernah menepati janji mereka. Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW tidak membuat keputusan sendiri. Sebaliknya, Banu Quraizah sendiri yang memilih Sa’ad bin Mu’adz sebagai penengah, dan Nabi tidak terlibat langsung dalam keputusan tersebut.
Yang patut diperhatikan adalah peperangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah bertujuan untuk menguasai wilayah, menaklukkan, atau memusnahkan suatu kaum. Jika tujuan Beliau demikian, tentu Beliau tidak akan memerintahkan untuk menjaga perdamaian di wilayah tersebut, menghindari kerusakan properti dan tanaman, atau melindungi fasilitas umum. Beliau juga tidak akan memerintahkan agar wanita, anak-anak, orang tua, dan orang sakit tidak disakiti. Hal-hal seperti ini sering diabaikan oleh raja-raja duniawi. Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa setiap kali Beliau mengutus sekelompok pasukan dalam sebuah misi, Beliau selalu menasihati mereka:
“Wahai kaum Muslimin! Berangkatlah dengan nama Allah dan berperanglah hanya demi Allah! Namun, waspadalah, jangan berbuat curang dengan harta rampasan dan jangan menipu atau melanggar janji atau perjanjian dengan musuh. Jangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua, atau pendeta; jagalah ketertiban dan perlakukan orang dengan baik, karena Allah menyukai orang-orang yang memperlakukan sesamanya dengan baik.”
Telah disebutkan bahwa Abu Bakar sering menasihati pasukannya agar tidak menebang pohon yang sedang berbuah dan tidak menjadikan wilayah berpenghuni menjadi tandus. Dengan mempertimbangkan fakta-fakta ini, dapatkah dikatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam mengangkat senjata untuk membunuh, menghancurkan, atau menaklukkan?
Ikatan kecintaan para sahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Di kerajaan-kerajaan duniawi, orang-orang ingin menjalin hubungan dekat dengan para raja dan patuh kepada mereka hanya untuk memperoleh keuntungan materi dan politik. Hati mereka jauh dari apa yang mereka tampakkan secara lahiriah kepada para penguasa. Namun, para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam memiliki cinta dan pengabdian sejati dalam hati mereka. Pikiran dan tubuh mereka sepenuhnya selaras dengan kehendak Beliau karena ketaatan mereka berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Pengabdian semacam ini tak tertandingi dalam sejarah manapun.
Orang Amerika, meskipun telah berupaya, gagal mengendalikan penyalahgunaan alkohol. Di sisi lain, dengan hanya satu larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam terhadap alkohol, semua sahabat Beliau segera dan sepenuhnya meninggalkan minuman tersebut. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa ketika konsumsi alkohol diharamkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam meminta salah seorang sahabatnya untuk mengumumkannya di jalan-jalan Madinah. Anas berkata bahwa pada saat itu:
“Aku sedang menyajikan minuman untuk Abu Talhah Al-Ansari dan beberapa sahabat lainnya ketika kami mendengar tentang perintah baru ini. Setelah mendengar kabar tersebut, Abu Talhah berkata: ‘Mari kita selidiki perintah baru ini agar bisa segera kita patuhi.’ Namun, bahkan sebelum memastikan kebenarannya, ia berkata: ‘Mari kita pecahkan wadah-wadah minuman keras kita terlebih dahulu.’ (HR. Bukhari)
Apakah kepribadian seorang raja duniawi pernah memberikan pengaruh sedalam dan seberkesan itu terhadap rakyatnya? Hanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam yang mampu membangkitkan kharisma, pesona, pengabdian, dan loyalitas yang belum pernah terlihat pada siapa pun sebelumnya.
Dari apa yang telah saya paparkan sejauh ini, jelas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam tidak memiliki sifat-sifat khas raja pada umumnya; sebaliknya, segala yang Beliau lakukan dan katakan selalu mendorong kesederhanaan, kerendahan hati, keramahan, ketulusan, kesetaraan, perdamaian, serta cinta dan pelayanan kepada seluruh umat manusia. Mengetahui hal ini, sangat tidak adil jika Beliau dianggap sebagai raja biasa.
Sebutan yang tepat untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Kerajaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam pada hakikatnya adalah kerajaan surga. Jelas bahwa Beliau bukan raja dalam pengertian duniawi. Sebagaimana lazimnya, raja-raja duniawi diberi gelar seperti penguasa atau kaisar, gelar-gelar yang tidak pernah disandang oleh Beliau. Maka timbul pertanyaan: Apa sebutan yang tepat untuk Beliau, mengingat bahwa pada suatu masa Beliau memegang kendali atas beberapa wilayah, seperti layaknya seorang kaisar?”
Untuk tujuan ini, kita merujuk pada buku dan literatur, di mana kita menemukan bahwa kepemimpinan memiliki dua bentuk. Bentuk pertama disebut Dominasi (Taghlab), dan bentuk lainnya disebut Kepemimpinan (Imamah).
Raja-raja duniawi termasuk dalam kategori pertama, sedangkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam termasuk dalam kategori kedua. Oleh karena itu, disebutkan bahwa kepemimpinan dan politik memiliki dua bentuk: yang pertama adalah politik sempurna, disebut Imamah, dan yang kedua adalah politik tidak sempurna, disebut Taghlab. Imamah mengajarkan karakter dan ketaatan dalam tatanan yang mulia, di mana pemimpinnya adil, rendah hati, dan menganggap rakyatnya sebagai saudara dan sahabat, serta tidak pernah terdorong oleh kepentingan pribadi. Sementara itu, Taghlab bersifat otoriter, keras kepala, dan berfokus pada kepentingan pribadi.
Jelas bahwa kepemimpinan yang dimaksud dalam kaitannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam adalah dalam bentuk Imamah, bukan Taghlab. Dan bukan sekadar Imamah biasa. Kepemimpinan atau Imamah Beliau adalah yang tertinggi, jenis kepemimpinan yang belum pernah ada sebelumnya. Bisa dikatakan bahwa Imamah dan Khilafah adalah hal yang sama. Imamah, sesuai dengan ungkapan “Raja adalah bayangan Tuhan,” menggambarkan dengan sempurna sosok Suci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Oleh karena itu, sepanjang hidup Beliau, semua tindakan mencerminkan sifat-sifat Ilahi. Jika di satu sisi kenabian Beliau bersinar dengan rahmat dan kemuliaan, di sisi lain kepemimpinan Beliau dipenuhi dengan sifat-sifat samawi.
Maulana Shibli, dalam bukunya yang terkenal tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, dengan tepat menggambarkan Beliau sebagai berikut:
“Meskipun ia memiliki seluruh kekayaan Arab, di rumahnya yang sederhana ia tidak pernah memiliki tempat tidur empuk, makanan mewah, pakaian mencolok, atau emas dan perak. Melihat tingkat ketaatan atas perkataannya yang berpengaruh, orang mungkin keliru menganggapnya sebagai kaisar, raja, atau penguasa. Namun, pada kenyataannya, ia lebih tampak seperti anak yatim sederhana dari Mekah dalam wujud malaikat.”
Kehidupan Beliau di Madinah membuktikan bahwa Beliau benar-benar wakil Tuhan di muka bumi. Ketika kondisi ketidakberdayaannya berubah menjadi kekuasaan di Madinah, saat itu pun Beliau menghindari segala bentuk kemewahan, kesombongan, atau kebesaran. Beliau tetap menjadi pribadi yang sederhana sebagaimana sebelumnya.
Noldeke mengungkapkan:
“Secara keseluruhan, setelah ia menjadi penguasa seluruh Arab, ia tetap seperti biasa dan sederhana dalam kehidupannya. Ia tidak pernah menimbun uang atau harta, dan ia tidak menghabiskan waktu untuk makan, minum, dan mengenakan pakaian lembut. Ia terus berpuasa, berjaga, dan shalat seperti sebelumnya; dan itu dilakukan semata-mata karena kebutuhan yang tulus dan tanpa pamer.” (Encyclopedia Britannica)
Washington Irving, seorang penulis Kristen ternama, menyatakan:
“Kemenangan-kemenangannya dari aspek militer tidak membangkitkan rasa bangga atau kesombongan, seperti yang mungkin terjadi jika dicapai untuk tujuan pribadi. Di masa kekuasaannya yang gemilang, ia tetap mempertahankan kesederhanaan sikap dan penampilan yang sama seperti saat masa-masa sulitnya. Jauh dari menunjukkan sifat keangkuhan, ia justru merasa tidak senang jika, saat memasuki sebuah ruangan, diberikan penghormatan yang berlebihan.” (Muhammad and His Successors)
Will Durant, dalam bukunya yang masyhur The Age of Faith, menulis tentang kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam di Madinah:
“Perabotannya hanya berupa kasur dan bantal di lantai. Ia sering terlihat menjahit pakaian atau sandalnya sendiri, menyalakan api, menyapu lantai, memerah susu kambing milik keluarganya di halaman, atau berbelanja kebutuhan di pasar. Makanan pokoknya adalah kurma dan roti gandum kasar; susu dan madu hanya dinikmati sesekali sebagai kemewahan. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda kemewahan kekuasaan, menolak penghormatan khusus, menerima undangan makan dari seorang budak, dan tidak pernah meminta budak melakukan sesuatu yang bisa ia kerjakan sendiri. Meskipun banyak rampasan dan pendapatan yang datang kepadanya, ia hanya sedikit membelanjakannya untuk keluarganya, bahkan lebih sedikit untuk dirinya sendiri, dan banyak disumbangkan untuk amal.”
Inilah Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam, sosok yang belum pernah dikenal dunia sebelumnya dan tak akan ditemukan lagi sosok seperti Beliau hingga akhir zaman. Bukan maksud kami, apalagi tujuan kami, untuk melimpahkan pujian berlebihan kepada seseorang yang kepadanya kami berutang kesetiaan dalam berbagai bentuk. Namun, sejarah berbicara dengan jelas, dan siapa pun yang objektif tak bisa mengabaikannya tanpa merugikan diri sendiri.
Anak yatim dari Mekah ini, sepanjang hidupnya, terlibat dalam berbagai kegiatan yang membangun reputasinya sendiri. Perjuangannya dipenuhi kesuksesan di setiap tahap, dan tak ada yang dapat mengubah gaya hidupnya. Pendakwah sederhana yang berkeliling di jalan-jalan Mekah selama tiga belas tahun, tak tergoyahkan dan tak gentar oleh perlawanan sekeras apa pun, tetap menjalani kehidupan sederhana meskipun akhirnya menjadi penguasa mutlak di seluruh Jazirah Arab. Meski kehidupannya lebih baik di Madinah, ia tetap membelanjakan sedikit untuk keluarganya, lebih sedikit lagi untuk dirinya sendiri, dan sebagian besar hartanya disalurkan untuk amal.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa Arnold Toynbee, dengan segala wawasan sejarahnya yang luas, sepenuhnya keliru ketika menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, setelah meraih kekuasaan di Madinah, terjerat dan tenggelam dalam urusan politik. Pernyataan tersebut tidak selaras dengan fakta sejarah. Bahkan di saat-saat terakhir nafas Beliau, ketika sudah tidak bisa mengharapkan apapun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tetap menunjukkan ketulusannya dalam ibadah dan keyakinan yang sama terhadap tugas kerasulannya. Kata-kata terakhir yang terucap dari bibir Beliau adalah ungkapan penuh kepercayaan bahwa ia bahagia karena akan segera bersatu dengan Dia yang dicintainya sepanjang hidup – yaitu Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah.
Michael H. Hart, dalam bukunya yang terkenal The 100, menempatkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai orang paling berpengaruh dalam sejarah. Ia tidak memilih Yesus atau Marx, melainkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai sosok paling berpengaruh sepanjang masa. Alasannya, menurut Hart, adalah:
“Muhammad adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang meraih kesuksesan luar biasa di bidang agama maupun dunia. Pengaruh Muhammad melalui Al-Qur’an sangat besar. Kemungkinan, pengaruh Muhammad terhadap Islam’ lebih besar dibandingkan gabungan pengaruh Yesus dan St. Paulus terhadap Kristen.”
Sumber: Alislam.org – Prophet or King?
Penerjemah: Syafia Tahera