Apakah Islam menindas kaum dzimmi dan menuntut jizyah atau kematian?
Kita akan membahas dua tuduhan – yang berkaitan dengan dzimmi dan jizyah – karena mereka cukup saling berkaitan.
Kita akan mulai dengan penjelasan yang sebenarnya mengenai apa itu dzimmi. Dzimmi adalah istilah yang berhubungan dengan sejarah yang mengacu kepada penduduk non-muslim di sebuah negara Islam [2]. Makna secara harfiah kata dzimmi adalah “mereka (orang) yang tanggung jawabnya diambil alih” atau “orang-orang yang telah dibuat perjanjian atau kontrak dengan mereka” [3].
Kata dzimmi menggambarkan penduduk dari negeri Islam yang diberikan jaminan keamanan kepada mereka, baik harta benda dan kebebasan beribadah dengan imbalan membayar pajak atau jizyah. Secara historis, ketika sebuah kerajaan memenangkan pertempuran dan perang, maka rakyat biasa akan diperbudak, dirampok, dan dipaksa untuk bekerja sebagai buruh dan bertugas di kemiliteran. Islam menyingkirkan praktik semacam itu dengan memberi status khusus dzimmi kepada semua penduduk non-muslim. [4]
Dzimmi mempunyai posisi yang khusus di Madinah. Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
“Ketahuilah, orang yang menzalimi orang yang telah dibuat perjanjian padanya (yaitu dzimmi), atau membatasi haknya, memberikan beban di luar batas kemampuannya, atau mengambil secara paksa dari orang tersebut. Maka Aku adalah pembela orang yang dizalimi tersebut pada Hari Kiamat.[5]
Beliau juga menegaskan bahwa perlindungan atas jiwa dan kehormatan mereka adalah kewajiban umat Islam, dan jika mereka gagal dalam hal ini maka akan menimbulkan kemurkaan Allah,
“Siapapun yang membunuh seorang Mu’ahid (orang yang diberikan janji perlindungan oleh umat Islam) ia tidak akan mencium aroma surga meskipun harum tersebut dapat dicium dari jarak empat puluh tahun perjalanan.’[6]
Pada saat penaklukan Mekkah (fatah Mekkah) Nabi Muhammad berada di posisi yang sangat kuat terhadap orang-orang yang telah menzalimi beliau selama lebih dari dua dekade sebelumnya. Beliau dapat saja melenyapkan musuh-musuhnya tersebut untuk selamanya. Akan tetapi, beliau bertemu dengan peduduk Mekah dan bertanya:
“Wahai orang-orang Quraisy! Menurut kalian, bagaimanakah aku seharusnya memperlakukan kalian?”
Mereka menjawab:
“Kami tidak mengharapkan apa-apa kecuali kebaikan darimu karena engkau adalah saudara yang terhormat dan baik kepada kami, dan juga merupakan putera dari saudara kami yang terhormat dan baik.”
Nabi kemudian bersabda:
“Saya akan mengatakan kepada kalian apa yang dikatakan oleh Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya: ‘Tidak ada kesalahan pada diri kaliain pada hari ini, Kalian bebas untuk pergi.”[7]
Bahkan sebelum Fatah Mekkah, Piagam Madinah telah dijadikan acuan untuk perlakuan kepada mu’ahid (dzimmi adalah orang-orang non-muslim yang menjadi subyek setelah perang. Apabila tidak terjadi perang dan terjadi penyelesaian yang dinegosiasikan maka mereka disebut sebagai mu’ahid).
Ketika Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) diangkat menjadi pemimpin Madinah, beliau membuat perjanjian dengan komunitas-komunitas Yahudi Madinah. Melalui perjanjian ini, Beliau memberikan hak politik yang setara kepada non-muslim. Mereka diberikan kebebasan beragama secara utuh. Mereka tidak diwajibkan untuk ikut dalam peperangan umat Islam, tetapi mereka diminta untuk memerangi musuh bersama. Bahkan sebagai pemimpin, Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) memberikan status sosial yang sama sebagaimana yang beliau berikan kepada Muslim. Salah satu contohnya adalah ketika suatu hari ada iring-iringan pemakaman melintas di hadapan Nabi Muhammad, beliau berdiri sebagai ungkapan penghormatan. Beliau kemudian diberitahu bahwa jenazah yang sedang dibawa tersebut adalah seorang Yahudi. Mendengar keterangan tersebut, Beliau bersabda, “Apakah dia bukan seorang manusia atau apakah dia tidak mempunyai sebuah jiwa?’[8]
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) , para penduduk non-muslin dari kerajaan Islam yang berkembang pesat menikmati perlakukan yang terhormat. [9] ketika Umar (radhiyallahu anhu) Kalifah kedua menguasai Yerusalem, beliau membuat perjanjian dengan semua penduduk kota Yerusalem dan mendeklarasikan:
“Atas nama Allah, yang Maha Rahim, Maha Pemurah. Ini adalah perjanjian damai yang diberikan oleh hamba Allah, pemimpin Mukmin ‘Umar kepada penduduk Yerusalem. Mereka mendapatkan perlindungan atas jiwa mereka, harta benda mereka, gereja-gereja mereka, dan salib mereka, dalam kondisi apapun. Semuanya mendapatkan perlindungan yang sama. Tidak akan ada seorangpun yang akan menduduki gereja-gereja mereka, dan juga tidak akan dihancurkan serta tidak akan ada yang berkurang dari milik mereka. Tidak akan ada yang diambil dari salib-salib atau harta mereka. Tidak akan ada pemaksaan apapun terhadap agama mereka, dan tidak satupun dari mereka akan mendapatkan kesulitan.[10]
Saat seorang dzimmi berusaha membunuh Umar (radhiyallahu anhu) di tahun 644 M, bukannya membalas dendam kepada dzimmi tersebut akan tetapi di saat-saat beliau sekarat, Umar (radhiyallahu anhu) secara khusus memberikan perintah:
“Saya mendesaknya (yaitu kalifah baru) untuk menjaga orang-orang non-muslim yang berada di bawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya supaya ia mematuhi perjanjian yang sudah disepakati bersama mereka, dan berperang atas nama mereka (untuk memastikan keamanan mereka) dan dia tidak boleh menagih pajak melebihi kemampuan mereka.” [11]
Contoh yang ditunjukkan Umar (radhiyallahu anhu) secara khusus adalah mengecam penagihan pajak kepada dzimmi di luar batas kemampuan mereka. Sebaliknya umat Islam diperintahkan untuk melindungi, membela, dan memastikan keamanan orang-orang dzimmi.
Para pengkritik sering menuduh bahwa Umar (radhiyallahu anhu) memberlakukan pajak pada penduduk non-Muslim di bawah ancaman hukuman mati. Untuk mendukung tuduhan itu mereka mengutip Al Qur’an 9: 29.
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari Kemudian dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang benar, dari antara orang-orang yang telah diberi Kitab, hingga mereka membayar pajak (jizyah) dengan senang hati dan tunduk.”
Di dalam ayat di atas tidak ada satupun yang menunjukkan tentang hukuman dikarenakan tidak membayar pajak. Al-Qur’an menyebut tentang hukuman mati di ayat yang lain untuk alasan yang berbeda, tidak ada hubungannya dengan tindakan menghindari pajak:
“Dan janganlah membunuh jiwa, yang pembunuhannya telah Allah haramkan, kecuali dengan hak. Dan barangsiapa dibunuh dengan aniaya, maka sungguh Kami telah memberi wewenang kepada ahli warisnya untuk menuntut balas, tetapi janganlah ia melampaui batas dalam pembunuhan itu. Sesungguhnya ia akan ditolong.” (QS Al-Isra’ [17]: 33)
Islam telah menentukan pemberian hukuman mati untuk kejahatan seperti pengkhianatan, pembunuhan, atau tindakan-tindakan kejahatan berat lainnya yang melewati batas kemanusiaan. Umar (radhiyallahu anhu), Kalifah kedua tidak pernah memberikan hukuman mati kepada non-Muslim yang tidak membayar pajaknya.
Para pengkritik menuduh bahwa imigran Islam yang pergi ke negara-negara Barat menganggap diri mereka ‘berhak sebagai ketetapan Tuhan’ atas pemberian kesejahteraan kepada mereka di negara-negara ini. Dengan mengutip ayat berikut, mereka mengklaim bahwa umat Islam menganggap bangsa-bangsa Barat sebagai dzimmi mereka dan penjaminan kesejahteraan seperti itu dianggap sebagai jizyah. [14]
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari Kemudian dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang benar, dari antara orang-orang yang telah diberi Kitab, hingga mereka membayar pajak (jizyah) dengan senang hati dan tunduk.” (QS At-Taubah [9]: 29)
Sudah sangat jelas, bahkan hanya dengan membaca ayat ini sekilas, tidak terdapat kaitan antara tuduhan atau fitnahan yang beredar dengan ayat tersebut.
Setelah menjelaskan bahwa Islam menuntut umat Islam untuk melindungi orang-orang dzimmi melalui perlakuan yang setara dan adil, kita membahas pada tuduhan selanjutnya tentang jizyah.
Penjelasan Tentang Jizyah
Perlu diingat kembali, istilah dzimmi secara harfiah “terlindungi”. Jika tidak ada perlindungan seperti itu, maka komunitas minoritas tersebut berpotensi diperlakukan sewenang-wenang. Pajak jizyah merupakan satu-satunya pajak yang dibebankan kepada penduduk non-muslim dan jumlahnya lebih sedikit daripada pajak yang dibebankan kepada penduduk Muslim negeri tersebut.
Istilah jizyah berasal dari Bahasa Arab yang sama dengan jaza yang artinya ‘hadiah’ dan ‘kompensasi’. Jadi menurut hukum syariat, uang tersebut akan dikembalikan kepada kaum minoritas. Pajak jizyah, sebagaimana pajak-pajak yang lain, memberi pertanggungjawaban dari pihak pemerintah untuk berbuat baik kepada rakyatnya – bukan seperti pemerintahan yang berurusan dengan para imigran dan minoritas. Di bawah aturan Kristen, di Sisilia misalnya, para pemimpin Kristen menetapkan pajak yang sedemikian besar bagi kaum minoritas – dan mereka juga menyebutnya jizyah.
Jadi, penduduk non-muslim membayar jizyah sebagai rakyat merdeka di Negeri Muslim dengan imbalan mendapatkan perlindungan atas kebebasan sipil dan politik mereka. Selain itu, para pengkritik juga menyembunyikan fakta bahwa penduduk Muslim juga dikenai pajak. Pajak yang dibebankan kepada penduduk Muslim pada beberapa kesempatan jumlahnya lebih besar daripada jizyah. Sebagai tambahan, para penduduk muslim diwajibkan untuk mengikuti wajib militer sementara penduduk non-muslim tidak. [16]
Jizyah berfungsi sebagai satu-satunya pajak bagi rakyat untuk memastikan perlindungan dari semua serangan luar. Jadi, jika perlindungan tidak dapat diberikan maka jizyah tidak perlu dibayar.
Dalam buku “The Preaching od Islam”, Thomas Arnold mencatat pernyataan oleh jenderal Muslim Khalid bin Walid:
“Dalam sebuah perjanjian yang dibuat oleh Khalid dengan beberapa kota di sekitar Hirah, dia menulis: ‘Apabila kami melindungi kalian, maka jizyah merupakan kewajiban kalian kepada kami; tetapi apabila kami tidak memberikan (perlindungan), maka jizyah bukan kewajiban untuk dibayarkan.” [17]
Abu Ubaidah adalah seorang komandan Muslim terkenal dari Syria. Ketika beliau memasuki kota Hims, beliau membuat perjanjian dengan penduduk non-muslim dan mengumpulkan jizyah sesuai kesepakatan. Ketika umat Islam mengetahui bahwa terdapat rencana penyerbuan besar-besaran ke kota Hims oleh Penguasa Roma Heraclius, mereka merasa tidak akan dapat melindungi penduduk kota Hims. Sebagai konsekuensi, Abu Ubaidah memerintahkan supaya semua uang yang didapat dari jizyah dikembalikan kepada penduduk kota. Beliau berkata kepada penduduk kota, ‘Kami tidak dapat melindungi kalian lagi dan sekarang kalian mempunyai kekuasaan penuh atas masalah kalian.” [18]
Al-Azdi mencatat pernyataan Abu Ubaidah sebagai berikut:
“Kami mengembalikan uang kalian karena kami tidak suka mengambil kekayaan kalian tetapi kemudian gagal melindungi negeri kalian. Kami akan berpindah ke daerah lain dan telah memanggil saudara-saudara kami, dan kemudian kami akan melawan musuh kami. Apabila Allah menolong kami untuk mengalahkan mereka, kami akan memenuhi janji kami kepada kalian, kecuali jika kalian sendiri tidak menyukainya.” [19]
Namun yang lebih mengharukan dari perlakuan baik orang Islam adalah tanggapan yang diberikan oleh penduduk Hims kepada orang-orang Islam. Mereka menjawab:
“Sesungguhnya kepemimpinan dan keadilan kalian lebih kami senangi dibandingkan dengan tirani dan penindasan yang dulu kami terima[20]. Semoga Tuhan kembali menjadikan kalian sebagai penguasa atas kami dan semoga kutukan Tuhan jatuh kepada orang-orang Bizantium yang dulu berkuasa atas kami. Demi Tuhan, yang memimpin adalah mereka, mereka tidak akan pernah mengembalikan apapun kepada kami; sebaliknya mereka akan mengambil apa saja semua milik kami. [21]
Orang-orang yang disangkakan sebagai ‘dzimmi yang tertindas’ menyatakan keinginan mereka untuk berada di bawah kepemimpinan umat Islam karena keadilan dan kebaikannya.
Pemikir politik terkenal Perancis, Montesquieu, juga menyoroti perlakukan adil terhadap penduduk no-muslin di negeri Islam:
“Kelebihan pajak inilah yang menyebabkan adanya fasilitas luar biasa yang digunakan para pengikut Muhammad untuk penaklukan-penaklukan mereka. Bukannya dihadapkan dengan serangkaian pemerasan yang terus menerus yang dirancang oleh ketamakan para raja-raja Yunani, para penduduk dikenai sejumlah upeti yang ringan dibayar dan dikumpulkan dengan mudah.” [22]
Profesor Bernard Lewis mengamati bahwa para dzimmi menyambut perubahan dari Bizantium ke pemerintahan Arab yang ‘menemukan penguasa baru yang lebih ringan daripada yang lama, baik dalam hal perpajakan dan hal-hal yang lain, dan bahkan beberapa penduduk Kristen di Suriah dan Mesir lebih menyukai pemerintahan Islam daripada Bizantium.” [23]
Jizyah tidak diambil secara paksa. Ia merupakan pajak yang dibayar secara sukarela sebagai penggantian atas perlindungan yang diberikan oleh negara. Mahmud Ahmad, Khalifah kedua Jamaah Muslim Ahmadiyah menulis:
“Kata ‘an yad‘ (dengan tangan mereka sendiri) di sini digunakan dalam arti kiasan, yang menjunjukkan (1) Jizyah tidak boleh diambil secara paksa dari Ahli Kitab tetapi mereka harus membayar dengan tangan mereka sendiri, yaitu setuju membayar dengan penuh kerelaan… (2) mereka sendiri yang harus membayarnya, yaitu dalam bentuk uang tunai, bukan dalam bentuk pembayaran yang ditangguhkan; (3) mereka membayarnya dengan pertimbangan sebagai bantuan bagi umat Islam, kata ‘yad (tangan) juga berarti bantuan.[24]
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, jizyah membebaskan dzimmi dari wajib militer. Sir Thomas Arnold menulis:
“Ketika ada orang Kristen yang bertugas dalam pasukan Muslim, mereka dibebaskan dari pembayaran jizyah ini. Seperti itulah yang terjadi dengan suku al-Jurajimah, sebuah suku Kristen di daerah Antioch yang membuat perjanjian damai dengan Muslim, mereka berjanji akan menjadi sekutu mereka dan berjuang di pihak mereka di medan pertempuran, dengan syarat mereka tidak membayar jizyah dan akan menerima bagian rampasan perang yang sesuai. Ketika penaklukan bangsa Arab bergeser ke utara Persia pada 22 H, perjanjian serupa juga dibuat dengan suku perbatasan, mereka dibebaskan dari jizyah dengan pertimbangan ikut wajib militer.
Kami menemukan contoh serupa, yaitu pengampunan jizyah dalam kasus orang-orang Kristen yang bertugas sebagai tentara atau angkatan laut di bawah pemerintahan Turki. Sebagai contoh, penduduk Megari, sebuah komunitas Albani Kristen dibebaskan dari pajak jizyah ini dengan syarat mereka menyiapkan perlengkapan berupa baju perang bagi para penjaga perbatasan atara Gunung Cithaeron dan Gerenea… orang-orang Kristen yang bertugas sebagai pasukan pengawal pasukan Turki, memperbaiki jalan dan jembatan, juga dibebaskan dari upeti dan mereka menerima hibah tanah lepas dari semua perpajakan; dan penduduk Kristen di Hydra tidak membayar pajak langsung kepada Sultan, tetapi mereka sebagai gantinya mereka menyiapkan perlengkapan untuk 250 pasukan tentara laut Turki yang dananya diambil dari kas daerah. [25]
Pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi warganya. Dalam Islam, sebuah pemerintah juga dituntut untuk memenuhi kesejahteraan seluruh rakyatnya. Selain infrastruktur, pemerintah juga perlu pembentukan dan pemeliharaan angkatan bersenjata, sistem peradilan dan pelayanan sipil. Jadi, tidak adil jika hanya mewajibkan umat Islam mendanai pemerintah dengan mengecualikan penduduk non-muslim – karena adanya kesetaraan status – maka untuk itulah muncul jizyah.
Lebih lanjut, hanya laki-laki yang bekerja saja yang membayar pajak. Perempuan dan anak-anak, para lanjut usia, pengangguran, orang sakit atau cacat semuanya dibebaskan dari pajak. Dan sementara perempuan non-muslim dibebaskan dari jizyah, wanita Muslim diwajibkan membayar zakat, apakah mereka bekerja atau tidak.
Sir Thomas Arnold juga menulis:
Pajak hanya dibebankan kepada laki-laki yang mampu, bukan pada wanita atau anak-anak. Orang miskin yang kehidupannya tergantung kepada sedekah dan orang miskin lanjut usia yang tidak mampu bekerja juga mendapat pengecualian secara khusus, begitu juga orang buta, lumpuh, sakit parah, orang gila, kecuali apabila mereka berasal dari keluarga kaya. Kondisi yang sama ini berlaku untuk para imam dan rahib, akan dibebaskan jika mereka bergantung pada tangan orang kaya, tetapi mereka harus membayarnya jika mereka mampu dan hidup dengan nyaman. [26]
Karena Al Qur’an memerintahkan bahwa jizyah diberikan secara sukarela, para pemimpin Muslim awal secara khusus melarang pemberian hukuman kepada mereka yang tidak membayar.
Sir Thomas Arnold menulis:
“Para penagih jizyah secara khusus diperintahkan untuk memberikan kelonggaran hukuman, menahan diri dari berlaku kasar atau pemberikan hukuman fisik, apabila ada kasus yang tidak membayar.”[27]
Pajak jizyah adalah perjanjian antara non-Muslim yang memilih untuk tinggal di negeri Islam dan di bawah pemerintahan Islam. Para dzimmi menyadari bahwa mereka berada di bawah perlindungan pemerintah Islam.
Penduduk Almorvids di Spanyol, misalnya, merupakan saksi hidup tentang integritas dan kasih sayang yang diterapkan umat Islam terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen.
Ahli sejarah Gwendlyn Hall menulis secara panjang lebar:
“Beberapa sejarawan Spanyol telah menekankan hutang Renaisans Eropa kepada Morrish Spanyol. Pada tahun 1899 Fransico Codera, mengutip sebuah catatan dalam Bahasa Arab, yang membantah argumentasi rasis terhadap pemerintahan Almoravids di Spanyol. Sang penulis menyatakan:
‘Orang-orang Almoravids merupakan orang-orang desa yang religius dan jujur… Pemerintahan mereka damai dan tidak mendapatkan gangguan dari pemberontakan, baik di kota ataupun desa… Hari-hari dipenuhi kebahagiaan, sejahtera, dan tenteram, dan di masa mereka barang-barang melimpah dan murah, sehingga untuk setengah ducat mereka dapat membeli empat bungkus tepung, dan biji-bijian lain tidak perlu dibeli atau dijual. Tidak ada upeti ataupun pajak, atau kontribusi apapun kepada pemerintah kecuali sumbangan amal dan sepersepuluhan. Kemakmuran terus meningkat, populasi bertambah, dan semua orang dapat bebas mengurusi urusannya masing-masing. Pemerintahan mereka bebas dari pengkhianatan, penipuan dan pemberontakan, dan semua rakyatnya mencintai pemerintahannya.
Bahkan setelah kekalahannya, para pengamat Islam Spanyol memuji pemerintahan Almoravids. Mereka menulis bahwa pendidikan sangat diutamakan, melek baca meningkat, para sarjana disubsidi, hukuman fisik dihapuskan, dan koin emas mereka sangat asli dan terpercaya sehingga mereka menjamin kesejahteraan dan menstimulasi perdagangan di seluruh dunia Mediterania. Orang-orang Kristen dan Yahudi hidup rukun di wilayah mereka. Ketika orang-orang Kristen memberontak mereka tidak dihukum tetapi diasingkan ke Moroko.
Akan tetapi, orang-orang Almoravids dikritik karena terlalu dipengaruhi oleh wanita mereka. Ketika Moor memerintah Islam Barat, berbagai barang-barang dagang melimpah di kawasan yang luas itu. Kuda dan hewan ternak, barang-barang dari bulu binatang, barang-barang yang dibuat dari kulit binatang, kulit binatang, buah kering, barang-barang seni dan kerajinan, pedang, dan berbagai senjata lainnya, gading, batu berharga (onyx), biji-bijian, emas, perak, perunggu, batu permata, tekstil, permadani, tembikar, garam, dan kacang kola banyak diperdagangkan.
Koin-koin Almoravids dibuat dari emas yang berasal dari pertambangan Galam yang berada di Sungai Senegal; dikirim dengan karavan unta melalui rute Gurun Sahara. Pengetahuan dan teknologi tersebar ke seluruh Gurun Sahara. Sebagian musik Eropa masa Renaisan dan masa post-renaisan, termasuk notasi nada dan irama, kemungkinan diwariskan dari Spanyol Moor. [28]
Ini adalah sejarah Islam di Eropa karena berkaitan dengan bagaimana umat Islam memerintah dan memperlakukan non-muslim. Satu-satunya kritik kepada umat Islam ini adalah “sangat dipengaruhi oleh para perempuan mereka.”
Sebagai penutup, sebagai pengejawantahan semangat sejati jizyah dan dzimmi, suatu hari, Umar, Kalifah kedua Rasulullah, bertemu dengan seorang Yahudi tua yang mengemis di jalan. Umar berkata kepada pengemis tersebut,
‘Wahai orang tua! Kami belum bertindak adil kepadamu. Di masa mudamu, kami mengambil jizyah darimu dan kemudian membiarkanmu mengurus diri sendiri di usia tuamu.’ Sambil memegang tangannya, Umar membawa pengemis itu ke rumah beliau sendiri, dan menyiapkan makanan kemudian dengan tangan beliau sendiri menyuapi pengemis tua tersebut, lalu memerintahkan Baitul Maal bahwa orang tua itu dan semua orang yang seperti dia, harus secara teratur diberikan uang harian yang cukup untuk kebutuhan mereka dan tanggungan mereka.”[29]
Sumber: Alislam.org – Does Islam oppress dhimmis and demand jizya or death?
Penerjemah: Nusratunnisa Zafar
Catatan Kaki
[1] Sunan Abu Dawud, #3052 (emphasis added).
[2] Juan Eduardo Campo, ed. “dzimmi”, Encyclopedia of Islam 194-95 (Infobase Publishing, 2010).
[3] Edward William Lane, Arabic-English Lexicon 975-76 (London: Willams & Norgate 1863).
[4] H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World 218-19 (Oxford University Press, 2007).
[5] Sunan Abu Dawud, #3052 (emphasis added).
[6] Bukhari, Vol. 9, Book 83, #49.
[7] Zadul-Ma’ad Vol. l, pg. 424.
[8] Muslim, Book 4, #2098.
[9] H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World 219 (Oxford University Press, 2007).
[10] Tarikh al-Tabari 2/308.
[11] Bukhari, Vol. 4, Book 52, #287.
[12] Qur’an 9:29.
[13] Qur’an 17:34.
[14] Id. at 153.
[15] Qur’an 9:29.
[16] See http://www.alislam.org/quran/tafseer/?page=922®ion=E1&CR (Last Visited on August 12, 2012).
[17] Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith 61 (2007).
[18] William N. Lees, Futuh ash-Sham ed. 1/162 (Published by Baptist Mission Culcutta, 1854).
[19] Id. at 137-38.
[20] Id. at 1/162.
[21] Id. at 138.
[22] Charles de Secondat, baron de Montesquieu, The Spirit of Laws Book 13.
[23] Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response 57 (2002).
[24] See http://www.alislam.org/quran/tafseer/?page=922®ion=E1&CR, Last Visited on August 12, 2012.
[25] Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith 61-62 (2007).
[26] Id. at 60.
[27] Id. at 60.
[28] Gwendolyn Midlo Hall, Slavery and African Ethnicities in the Americas: Restoring the Links 6 (2005).
[29] Kitab al-Kharaj 1/139.