Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Peristiwa Saqifah Banu Sa’idah: Perdebatan kalangan Muhajirin [asal Makkah, tempat kelahiran Nabi] dan kalangan Anshar [asal Madinah, tempat hijrah Nabi] setelah kewafatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai dari kalangan mana hendaknya seorang Khalifah dipilih. Debat antara Hadhrat Hubab (ra) dari kalangan Anshar dan Hadhrat ‘Umar (ra) dari kalangan Muhajirin.
Penengah perdebatan dari kalangan Muhajirin yaitu Hadhrat Abu Ubaidah (ra). Penengah perdebatan dari kalangan Anshar yaitu Hadhrat Basyir bin Sa’d (ra). Keduanya membujuk kalangan Anshar dengan dalil yang kuat agar mereka menurunkan tuntutannya menjadi Khalifah hanya satu dan dari kalangan Muhajirin.
Pembaiatan Hadhrat Abu Bakr (ra) oleh para hadirin di Saqifah yaitu sebagian kecil kalangan Muhajirin dan para Anshar Madinah.
Ungkapan bersejarah Hadhrat ‘Umar (ra): “Di dalam satu sarung pedang tidak mungkin ada dua bilah pedang dan jika ini terjadi maka tidak akan dapat bekerja dengan baik.”
Dua jenis riwayat berbeda terkait Hadhrat Sa’d bin Ubadah (ra), calon Khalifah dari kalangan Anshar yang batal dibaiat. Riwayat pertama menyebutkan beliau tidak berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra). Riwayat kedua menyebutkan beliau berbaiat.
Penjelasan Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) mengenai peristiwa Saqifah Bani Sa’idah.
Pembahasan lebih lanjut mengenai peristiwa setelah Saqifah Bani Sa’idah yaitu pembaiatan umum oleh masyarakat di Masjid. Pidato Hadhrat ‘Umar (ra). Pidato Hadhrat Abu Bakr (ra).
Dua jenis riwayat berbeda terkait Hadhrat ‘Ali bin Abi Thalib (ra) berdasarkan kitab-kitab Tarikh dan Hadits. Riwayat pertama menyebutkan beliau tidak berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) saat itu juga dan menunda hingga 6 bulan. Riwayat kedua beliau baiat segera. Beberapa riwayat yang memperkuat pendapat bahwa Hadhrat ‘Ali (ra) segera baiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) dan senantiasa shalat di belakang Khalifah.
Penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengenai Hadhrat ‘Ali (ra) yang tadinya ingin menunda baiat lalu serta-merta menyadari sesuatu sehingga bergegas baiat.
Penjelasan Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) mengenai Abu Quhafah ayah Hadhrat Abu Bakr (ra) menanggapi putranya dibaiat banyak kabilah Arab.
Penjelasan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Awwal (ra) mengenai pembaiatan Hadhrat Abu Bakr (ra).
Rukya (mimpi) Nabi Muhammad (saw) terkait masa Khilafat Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra).
Hadhrat Abu Bakr (ra) melihat rukya (mimpi) yang mengisyaratkan masa kekhalifahan beliau.
Penetapan tunjangan nafkah bagi Hadhrat Abu Bakr (ra) setelah terpilihnya beliau sebagai Khalifah. Penjelasan Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) mengenai hal ini.
Penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah dalam buku beliau berbahasa Arab ‘Sirrul Khilafah’ perihal bahaya-bahaya dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Hadhrat Abu Bakr (ra) di masa awal Khilafat.
Lima jenis musibah, permasalahan dan kesulitan yang dihadapi Hadhrat Abu Bakr (ra).
Penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah dalam buku Tuhfah Golerwiyah mengenai keberhasilan yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepada Hadhrat Abu Bakr dalam mengatasi segala musibah dan kekacauan yang melanda. Pembahasan ayat istikhlaf. Pembahasan rincian persamaan mata rantai Khilafat Musawi dan Khilafat Muhammadi. Persamaan-persamaan antara Hadhrat Yasyu’ (Yosua) bin Nun, murid Nabi Musa (as) yang menjadi khalifah beliau, dengan Hadhrat Abu Bakr (ra).
Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang khususnya rincian 5 hal kesulitan lainnya yang Hadhrat Abu Bakr (ra) hadapi sebagai Khalifah.
Doa istighfar, shalawat dan doa Rabbana aatina dalam menghadapi situasi dunia yang tengah terancam perang nuklir.
Dzikr-e-Khair dan shalat jenazah gaib untuk Almarhum yang terhormat Abu Al-Farj Al-Hushni, menantu Amir pertama Jemaat Syria, yang terhormat Munir al-Hushni. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Istri beliau dari non Ahmadi.Beliau pernah akan ditunjuk sebagai Amir Jemaat Syria oleh Hadhrat Khalifatul Masih IV (ra) namun Almarhum menolaknya demi menjaga supaya tidak timbul isu nepotisme di dalam Jemaat Syria bahwa Jemaat Syria dipimpin secara kekeluargaan dari keluarga beliau terus-menerus sehingga beliau ingin memberikan kesempatan kepada selain keluarga beliau.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 04 Maret 2022 (Aman 1401 Hijriyah Syamsiyah/01 Sya’ban 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]
(آمين)
Dalam pembahasan tentang bagaimana terpilihnya Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) sebagai Khalifah, di dalam Tarikh ath-Thabari tertera bahwa dalam peristiwa ini, Hadhrat al-Hubaab bin al-Mundzir (الحُبَاب بن المنذر بن الجَمُوح) berdiri dan berkata, يا معشر الأنصار، املكوا عليكم أمركم، فإن الناس فِي فيئكم وفي ظلكم، ولن يجترئ مجترئ على خلافكم، ولن يصدر الناس إلا عن رأيكم، أنتم أهل العز والثروة، وأولو العدد والمنعة والتجربة، ذوو البأس والنجدة، وإنما ينظر الناس إلى ما تصنعون، ولا تختلفوا فيفسد عليكم رأيكم، وينتقض عليكم أمركم، فإن أبى هؤلاء إلا ما سمعتم، فمنا أمير ومنهم أمير “Wahai golongan Ansar! Ambillah perkara ini [Khilafat atau kepemimpinan setelah Nabi] di tangan kalian karena mereka ini (yakni golongan Muhajirin) saat ini ada di bawah naungan kalian. Tidak akan ada yang berani memusuhimu dan orang-orang tidak akan menentang pendapatmu. Anda sekalian adalah orang-orang yang bermartabat, kaya, berjumlah banyak, kuat, berwibawa, berpengalaman, pejuang, ksatria dan pemberani. Semua orang tengah memandang kalian dan apa yang sedang Anda lakukan. Kini, kalian (sesama Anshar) janganlah saling berselisih; jika tidak, pendapat kalian ini justru akan menimbulkan kerusakan bagi kalian dan semua itu akan berbalik kepada kalian. Alhasil, jika orang-orang ini (yakni golongan Muhajirin Quraisy) menolak hal yang baru saja Anda dengar ini [yaitu Khalifah harus dari kalangan Anshar] maka akan ada seorang Amir dari antara kita dan seorang Amir dari antara mereka.”[1]
Atas hal ini Hadhrat Umar bersabda, هيهات لا يجتمع اثنان فِي قرن! والله لا ترضى العرب أن يؤمروكم ونبيها من غيركم، ولكن العرب لا تمتنع أن تولي أمرها من كانت النبوة فيهم وولي أمورهم منهم، ولنا بذلك على من أبى من العرب الحجة الظاهرة والسلطان المبين، من ذا ينازعنا سلطان محمد وإمارته، ونحن أولياؤه وعشيرته إلا مدل بباطل، أو متجانف لاثم، ومتورط فِي هلكة “Ini tidaklah mungkin. Dua pedang tidak dapat ditempatkan di satu sarung pedang. Demi Allah, bangsa Arab sama sekali tidak akan menerima jika kalangan Anda sekalian menjadi Amir (Pemimpin) mereka, sementara Nabi adalah berasal dari kalangan selain Anda. Akan tetapi, tidak ada halangan bagi bangsa Arab untuk menerima agar perkara ini [Khilafat] diserahkan kepada kalangan mereka yang dari mereka kenabian berasal [yaitu kaum Quraisy Makkah] dan dari antara merekalah Amir itu hendaknya dipilih. Kemudian, seandainya ada diantara bangsa Arab yang menolak kepemimpinan ini maka kami memiliki dalil dan kebenaran yang nyata untuk menghadapi mereka, ‘Siapakah yang akan menentang kami terkait kepemimpinan Yang Mulia Muhammad (saw)? Kami-lah sahabat dan keluarga besar beliau (saw)’; kecuali mereka yang bodoh, berdosa, atau sengaja memasukkan dirinya kedalam kehancuranlah yang akan menentang pendapat ini dan tidak ada yang lain.”[2]
Hubab bin Mundzir berkata, يا معشر الانصار املكوا على أيديكم ولا تسمعوا مقالة هذا وأصحابه فيذهبوا بنصيبكم من هذا الامر فإن أبوا عليكم ما سألتموه فاجلوهم عن هذه البلاد وتولوا عليهم هذه الامور فأنتم والله أحق بهذا الامر منهم فإنه بأسيافكم دان لهذا الدين من دان ممن لم يكن يدين أنا جذيلها المحكك وغذيقها المرجب أما والله لئن شئتم لنعيدنها جذعة “Wahai golongan Ansar, pertimbangkanlah sendiri perkara ini dan janganlah sekali-kali percaya akan perkataan orang itu (‘Umar) dan mereka yang sependapat dengannya, karena mereka pun ingin melenyapkan bagian kalian. Dan jika mereka ini tidak menerima pendapat kita, maka keluarkanlah (usirlah) mereka semua dari daerah kita dan ambillah kendali semua urusan ke tangan kita. Sebab, demi Tuhan, kalianlah yang paling berhak dan mampu untuk kepemimpinan ini. Pedang kalianlah yang telah menjadikan segenap orang taat di dalam agama ini, yaitu mereka yang sebelumnya sama sekali tidak akan taat. Saya bersedia mengambil segenap tanggung jawab atas keputusan ini, karena saya sungguh berpengalaman dan mampu akan hal ini. Demi Tuhan, jika kalian menghendaki, saya akan segera memilih dan menetapkannya.”[3]
Hadhrat Umar berkata, إذا يقتلك الله “Jika Anda melakukan hal demikian maka Allah akan memusnahkan Anda.”
Ia yakni Hubab berkata, بل إياك يقتل “Tidak, justru Anda-lah yang akan dimusnahkan.”
Hadhrat Abu Ubaidah saat itu berkata, يا معشر الانصار إنكم أول من نصر وآزر فلا تكونوا أول من بدل وغير “Wahai golongan Ansar! Anda sekalianlah yang paling pertama menaungi dan menolong Islam. Kini, janganlah Anda sekalian menjadi yang paling pertama dalam mengubahnya.”
Atas hal ini Basyir bin Sa’d berkata, يا معشر الانصار إنا والله لئن كنا أولى فضيلة في جهاد المشركين وسابقة في هذا الدين ما أردنا به إلا رضى ربنا وطاعة نبينا والكدح لانفسنا فما ينبغى لنا أن نستطيل على الناس بذلك ولا نبتغى به من الدنيا عرضا فإن الله ولى المنة علينا بذلك ألا إن محمدا صلى الله عليه وسلم من قريش وقومه أحق به وأولى وايم الله لا يرانى الله أنازعهم هذا الامر أبدا فاتقوا الله ولا تخالفوهم ولا تنازعوهم “Wahai golongan Ansar, jihad kita melawan kaum Musyrik dan keberuntungan yang kita dapatkan untuk berkhidmat di masa awal Islam, hanyalah bertujuan untuk mencari keridaan Tuhan kita dan menaati Nabi kita. Tidaklah patut bagi kita untuk memaksakan kelebihan kita ini. Kita tidak akan mendapatkan manfaat apapun di dunia ini melalui sikap ini. Dalam hal ini, ini hanyalah ihsan Allah Ta’ala kepada kita. Dengarlah, memang benar bahwa Muhammad (saw) berasal dari Quraisy sehingga kaum inilah yang lebih berhak dan mampu untuk kepemimpinan ini. Dan saya bersumpah kepada Tuhan bahwa saya tidak akan melakukan perselisihan dengan mereka dalam hal ini. Takutlah kepada Tuhan! Janganlah menentang mereka dan janganlah berselisih dengan mereka di dalam perkara ini.”[4]
Alhasil, pidato Hadhrat Umar ini di dalam riwayat lain adalah sebagai berikut (ini terdapat di Sunan al-Kubra karya an-Nasai): قَالَتِ الْأَنْصَارُ : مِنَّا أَمِيرٌ ، وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ قَالَ عُمَرُ : ” سِيفَانِ فِي غِمْدٍ وَاحِدٍ ، إِذًا لَا يَصْلُحَانِ ، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِ أَبِي بَكْرٍ ” فَقَالَ : ” مَنْ لَهُ هَذِهِ الثَّلَاثُ : { إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ } : مَنْ صَاحِبُهُ ؟ { إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ } مَنْ هُمَا ؟ { إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا } مَعَ مَنْ ؟ ثُمَّ بَايَعَهُ ” ثُمَّ قَالَ : ” بَايِعُوا ، فَبَايَعَ النَّاسُ أَحْسَنَ بَيْعَةٍ وَأَجْمَلَهَا “Di Saqifah Banu Sa’idah, tatkala golongan Ansar mengatakan, ‘Seorang Amir dari kalangan kami dan satu lagi Amir dari kalangan kalian (Muhajirin)!’ maka atas hal ini Hadhrat Umar bersabda – sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya – , ‘Siifaani fii ghimdin waahidin idzan laa yashluhaani’ – ‘Di dalam satu sarung pedang tidak mungkin ada dua bilah pedang dan jika ini terjadi maka tidak akan dapat bekerja dengan baik.’ Kemudian, Hadhrat Umar memegang tangan Hadhrat Abu Bakr dan berkata, ‘Siapakah yang memiliki tiga kelebihan berikut ini? Pertama, { إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ } “Ketika ia (yakni Rasulullah) berkata kepada sahabatnya, ‘Janganlah bersedih! Sesungguhnya Allah ada bersama kita!’” Siapakah sahabat beliau itu? Kemudian, { إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ } “Tatkala keduanya ada di dalam gua”, siapakah kedua orang itu?’ Kemudian, { إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا } “Sesungguhnya Allah ada bersama kita.” Siapakah satu-satunya orang yang ada bersama Rasulullah (saw) saat itu? Apakah ada sosok selain Hadhrat Abu Bakr?’
Setelah menyeru demikian, Hadhrat Umar berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr lalu Hadhrat Umar berkata kepada segenap orang, ‘Baiat jugalah Anda sekalian.’ Maka orang-orang pun berbaiat kepada beliau.”[5]
Setelah Hadhrat Umar (ra), Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah (ra) dan Hadhrat Basyir bin Sa’d (ra) berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), seluruh golongan Ansar pun berbaiat kepada beliau.[6] Baiat ini dalam berbagai literatur Islam dikenal dengan istilah “Baiat Saqifah” (بيعة السقيفة) dan “Baiat Khaashah” (البيعة الخاصة) atau baiat khusus.[7]
Di dalam beberapa riwayat tertera bahwa Hadhrat Sa’d bin Ubadah tidak berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), namun di beberapa liwayat lain diketahui bahwa beliau telah berbaiat bersama beberapa orang Anshar. Jadi, di dalam Tarikh ath-Thabari tertera: وتتابع القوم على البيعة وبايع سعد ‘Seluruh kaum (golongan) baiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) secara bergiliran (berangsur-angsur). Begitu pun Hadhrat Sa’d telah berbaiat kepada beliau.’[8]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda terkait berdirinya Khilafat setelah Rasulullah (saw): “Perhatikanlah berdirinya kekhalifahan sepeninggal Muhammad Rasulullah (saw) dan betapa luar biasanya Khilafat saat itu. Hadhrat Abu Bakr menjadi Khalifah sepeninggal beliau. Saat itu golongan Ansar berkeinginan agar ada Khalifah dari antara mereka dan ada satu Khalifah dari golongan Muhajirin. Mendengar itulah Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Umar dan beberapa sahabat segera mendatangi tempat tersebut, dimana golongan Ansar berkumpul dan mereka menyampaikan kepada mereka (kaum Anshar), ‘Perhatikanlah, jawaban bahwa akan ada dua Khalifah adalah keliru. Islam tidak akan maju melalui perpecahan sehingga hanya akan ada satu sosok Khalifah. Jika Anda hendak melakukan perpecahan maka kekuatan Anda akan hancur berkeping-keping, kehormatan Anda akan berakhir dan bangsa Arab akan menghabisi Anda. Maka dari itu, janganlah berkata demikian.’ Beberapa kalangan Ansar mulai menyodorkan dalil-dalil di hadapan beliau.
Hadhrat Umar menuturkan, ‘Saat itu saya beranggapan Hadhrat Abu Bakr tidak sanggup untuk berpidato sehingga saya pun akan berpidato di hadapan golongan Ansar. Namun tatkala saya mendengar Hadhrat Abu Bakr berpidato, beliau lantas menjelaskan seluruh dalil yang sebelumnya ada di dalam pikiran saya (Hadhrat Umar bersabda, dalil-dalil yang sebelumnya ada di dalam pikiran beliau). Bahkan Hadhrat Abu Bakr pun telah menyampaikan dalil-dalil yang lebih dari itu.’
Hadhrat Umar menuturkan, ‘Menyaksikan hal ini maka saya berkata dalam hati, “Hari ini, sang Syaikh (sesepuh) ini telah melampaui saya.”’
Pada akhirnya, Allah Ta’ala pun menurunkan karunia-Nya sedemikian rupa dimana ada beberapa tokoh Ansar yang maju dan mereka berkata, ‘Sungguh benar apa yang telah disabdakan oleh Hadhrat Abu Bakr bahwa segenap bangsa Arab tidak akan menaati siapapun kecuali orang-orang Makkah.’
Kemudian ada seorang Ansari yang berkata dengan penuh gejolak, ‘Wahai kaumku! Allah Ta’ala telah membangkitkan di negeri ini sesosok Rasul. Keluarga besarnya sendiri telah mengusirnya dari kotanya dan kita telah memberikan rumah-rumah kita sebagai tempat baginya dan Allah Ta’ala telah menganugerahkan kehormatan kepada kita melalui wujudnya. Dahulu tidak ada yang mengenal kita, penduduk Madinah; dan kita dahulu adalah orang-orang yang hina, namun karena sosok Rasul itulah kita menjadi mulia dan masyhur. Kini cukuplah Anda sekalian dengan suatu hal yang telah membuat kita mulia ini dan janganlah berlaku tamak karena jangan sampai ini akan mendatangkan kerugian bagi kita.’
Saat itu Hadhrat Abu Bakr bersabda, ‘Perhatikanlah! Menegakkan Khilafat adalah penting; selanjutnya, angkatlah siapapun sesuai keinginan Anda sebagai Khalifah. Saya tidak memiliki keinginan apapun menjadi Khalifah.’
Hadhrat Abu Bakr bersabda, ‘Di sini ada sosok Abu Ubaidah bin Jarrah, dimana Rasul yang mulia (saw) telah menganugerahkan gelar Aminul Ummat “yang paling dipercaya di dalam umat” kepada beliau, maka berbaiatlah Anda sekalian kepadanya. Lalu ada sosok Umar, beliau adalah pedang terhunus bagi Islam. Berbaiatlah Anda sekalian kepadanya.’
Kemudian, Hadhrat Umar bersabda, ‘Abu Bakr, mohon sudahilah ucapan Anda dan sodorkanlah tangan Anda, dan mohon terimalah baiat kami.’ Maka Allah Ta’ala pun menurunkan keberanian ke dalam kalbu Hadhrat Abu Bakr dan beliau pun menerima baiat.”[9]
Mengenai baiat secara umum di Saqifah Bani Sa’idah, secara lebih lanjut tertulis bahwa Rasulullah (saw) wafat di hari Senin. Di hari itu juga orang-orang di Saqifah Bani Sa’idah sibuk untuk berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr. Kemudian di penghujung hari Senin dan di Selasa pagi, orang-orang yang lain pun berbaiat secara umum di Masjid. Hadhrat Anas bin Malik menjelaskan, لَمَّا بُويِعَ أَبُو بَكْرٍ فِي السَّقِيفَةِ وَكَانَ الغد جلس أبو بكر فَقَامَ عُمَرُ فتكلَّم قَبْلَ أَبِي بَكْرٍ فَحَمِدَ اللَّهِ وأثنى عليه لما هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ إنِّي قَدْ قُلْتُ لَكُمْ بِالْأَمْسِ مَقَالَةً مَا كَانَتْ وما وَجَدْتُهَا فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا كَانَتْ عَهْدًا عَهِدَهُ إليَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ولكنِّي قَدْ كُنْتُ أَرَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلَّم سيدبِّر أَمْرَنَا، يَقُولُ: يَكُونُ آخِرَنَا، وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أبقى فيكم كتابه الذي هدى به رسول الله فَإِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ هَدَاكُمُ اللَّهُ لِمَا كَانَ هداه الله لَهُ، وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ جَمَعَ أَمْرَكُمْ عَلَى خَيْرِكُمْ صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ فَقُومُوا فَبَايِعُوهُ، فَبَايَعَ النَّاس أَبَا بَكْرٍ بَيْعَةَ الْعَامَّةِ بَعْدَ بَيْعَةِ السَّقِيفَةِ، ثُمَّ تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ “Ketika telah terjadi baiat di Saqifah Bani Sa’idah maka di hari selanjutnya Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) duduk sementara Hadhrat Umar berdiri dan menyampaikan pidato sebelum Hadhrat Abu Bakr. Hadhrat Umar mengucapkan puji sanjung kepada Allah dan berkata, ‘Wahai semua orang! Kemarin saya telah menyampaikan sesuatu kepada Anda sekalian bahwa Rasulullah (saw) tidaklah wafat. (Saat itu saya menganggap) bahwa kewafatan beliau tidak disebutkan dimana pun di dalam Kitabullah dan tidak pula Nabi yang mulia (saw) telah mewasiyatkannya kepada saya. Saat itu saya menganggap bahwa Rasulullah (saw) pasti akan mengatur perkara ini bagi kita.’ Perawi – yaitu Hadhrat Anas – menuturkan, “Hadhrat Umar berkata, ‘Kita telah berpikir bahwa pertama-tama kitalah yang akan mati lalu Rasulullah (saw)-lah yang akan terakhir wafat di antara kita. Dan tidak diragukan lagi, Allah Ta’ala telah meninggalkan bagi kita suatu hal yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada Rasulullah (saw) dan jika Anda sekalian memegangnya dengan erat maka Allah Ta’ala pun akan memberi hidayat (petunjuk) kepada Anda semua sebagaimana Dia telah memberi hidayat kepada Rasulullah (saw). Allah Ta’ala telah meletakkan urusan-urusan Anda semua di atas tangan seorang hamba terbaik di antaramu, yang merupakan (صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ) sahabat sejati Rasulullah (saw) dan penggenapan ayat “Seseorang dari antara dua orang ketika keduanya ada di dalam gua.” Maka kini bangkitlah Anda sekalian dan berbaiatlah kepadanya!’ Maka setelah baiat di Saqifah, orang-orang pun berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr. Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) menyampaikan satu khotbah di hari terjadinya baiat umum. Setelah mengucapkan puji sanjung kepada Allah, beliau bersabda, أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنِّي قَدْ وُلِّيتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ، فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِينُونِي وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُونِي، الصِّدْقُ أَمَانَةٌ، وَالْكَذِبُ خِيَانَةٌ، والضَّعيف فيكم (قَوِيٌّ) عندي حتى أرجِّع عَلَيْهِ حقَّه إِنْ شَاءَ اللَّهُ، وَالْقَوِيُّ فِيكُمْ ضعيف عندي حَتَّى آخُذَ الْحَقَّ مِنْهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، لَا يَدْعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إلا خذلهم اللَّهُ بالذُّل، وَلَا تَشِيعُ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ إِلَّا عمَّهم اللَّهُ بِالْبَلَاءِ، أَطِيعُونِي مَا أَطَعْتُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، فَإِذَا عَصَيْتُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَلَا طَاعَةَ لِي عَلَيْكُمْ، قُومُوا إِلَى صَلَاتِكُمْ يَرْحَمْكُمُ اللَّهُ ‘Wahai segenap manusia! Sesungguhnya saya telah diangkat sebagai wali atas Anda semua. Namun saya tidaklah yang paling baik dari antara Anda semua. Jika saya melakukan pekerjaan yang baik, bantulah saya dan jika saya melakukan kebengkokan, luruskanlah saya. Kebenaran adalah amanat dan kedustaan adalah khianat. Sosok yang lemah sekalipun diantaramu adalah kuat dalam pandangan saya sehingga saya akan memberikan haknya kepadanya dari orang lain yang mengambil haknya darinya dan sosok yang kuat diantaramu merupakan lemah dalam pandangan saya sehingga saya akan mengambil hak-hak orang lain darinya yang ia ambil, Insya Allah. Suatu kaum yang meninggalkan jihad di jalan Allah Ta’ala, maka Allah akan menghinakan dan merendahkannya. Suatu kaum yang di dalam mereka tersebar keburukan maka Allah akan memasukkan mereka ke dalam musibah. Jika saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya yaitu Rasulullah (saw) maka taatlah kepada saya dan jika saya menentang Allah dan Rasulullah (saw) maka Anda sekalian tidak harus taat kepada saya. Kini berdirilah untuk memulai shalat. Semoga Allah mengasihi Anda sekalian.’”[10]
Berkenaan dengan baiatnya Hadhrat ‘Ali kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) terdapat beberapa riwayat yang berbeda. Ada beberapa riwayat menuturkan bahwa Hadhrat Ali tidak baiat hingga 6 bulan lamanya dan beliau berbaiat setelah kewafatan Hadhrat Fatimah. Lalu ada sebagian riwayat menuturkan bahwa Hadhrat ‘Ali (ra) dengan segenap keridaan dan kecintaan, segera berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra).
Terdapat dalam Tarikh ath-Thabari riwayat Habib bin Abu Tsabit (حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ), كَانَ عَلِيٌّ فِي بَيْتِهِ إِذْ أُتِيَ فَقِيلَ لَهُ: قَدْ جَلَسَ أَبُو بَكْرٍ لِلْبَيْعَةِ، فَخَرَجَ فِي قَمِيصٍ مَا عَلَيْهِ إِزَارٌ وَلا رِدَاءٌ، عَجِلا، كَرَاهِيَةَ أَنْ يُبْطِئَ عَنْهَا، حَتَّى بَايَعَهُ ثُمَّ جَلَسَ إِلَيْهِ وَبَعَثَ إِلَى ثَوْبِهِ فَأَتَاهُ فَتَجَلَّلَهُ، وَلَزِمَ مَجْلِسَهُ “Pada saat itu Hadhrat ‘Ali berada di rumahnya ketika seorang laki-laki datang kepada beliau dan mengatakan kepada beliau untuk pergi baiat kepada Hadhrat Abu Bakr. Pada saat itu Hadhrat ‘Ali hanya memakai qamis (pakaian jenis jubah atau kemeja gaya Arab yang sampai kaki panjangnya), dalam keadaan seperti demikian beliau segera keluar, beliau juga tidak mengenakan izar (pakaian tidak berjahit bagian bawah) bahkan tidak mengenakan rida’ (pakaian bagian atas atau kain yang diselendangkan dan bisa menjadi surban), karena beliau tidak suka jika berlambat-lambat. Beliau pun berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr dan duduk di samping Hadhrat Abu Bakr. Setelah itu, beliau memintakan pakaiannya dan mengenakannya, kemudian duduk bersama dalam majelis Hadhrat Abu Bakr.”[11]
Diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Sa’id Khudri, فَلَمَّا قَعَدَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى الْمِنْبَرِ نَظَرَ فِي وُجُوهِ الْقَوْمِ فَلَمْ يَرَ عَلِيًّا فَسَأَلَ عَنْهُ ، فَقَالَ : نَاسٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فَأَتَوْا بِهِ ، فَقَالَ أَبُو بَكْرِ : “Ketika kaum Muhajirin dan kaum Anshar telah mengambil bai’at Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat Abu Bakr naik ke mimbar dan melihat ke arah orang-orang. Beliau tidak menjumpai Hadhrat ‘Ali di antara mereka. Hadhrat Abu Bakr bertanya perihal Hadhrat ‘Ali. Kemudian beberapa orang dari kaum Anshar pun mencari dan membawa Hadhrat ‘Ali ke tempat itu. Hadhrat Abu Bakr bersabda, ابْنُ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَتَنُهُ أَرَدْتَ أَنْ تَشُقَّ عَصًا الْمُسْلِمِينَ ؟ ‘Wahai putra paman Rasulullah (saw).” Hadhrat Abu Bakr berbicara ditujukan kepada Hadhrat ‘Ali, beliau bersabda, ‘Wahai putra paman Rasulullah (saw) dan menantu beliau (saw)! Apakah Anda ingin menghancurkan tongkat (persatuan dan kekuatan) kaum Muslimin?’ Hadhrat ‘Ali (ra) mengatakan, لَا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‘Wahai Khalifah Rasulullah (saw) janganlah mencerca dan menindak saya perihal ini.’ فَبَايَعَاهُ Kemudian beliau (Hadhrat ‘Ali) berbaiat kepada beliau (Hadhrat Abu Bakr).”[12]
Allamah Ibnu Katsir mengatakan, وَفِيهِ فَائِدَةٌ جَلِيلَةٌ، وَهِيَ مُبَايَعَةُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، إِمَّا فِي أَوَّلِ يَوْمٍ أَوْ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي مِنَ الْوَفَاةِ. وَهَذَا حَقٌّ، فَإِنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ لَمْ يُفَارِقِ الصِّدِّيقَ فِي وَقْتٍ مِنَ الْأَوْقَاتِ، وَلَمْ يَنْقَطِعْ فِي صَلَاةٍ مِنَ الصَّلَوَاتِ خَلْفَهُ “Hadhrat ‘Ali bin Abi Thalib telah berbai’at kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) pada hari pertama atau hari kedua setelah Rasulullah (saw) wafat. Inilah kebenarannya, bahwa Hadhrat ‘Ali tidak pernah meninggalkan Hadhrat Abu Bakr dan beliau juga tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di belakang Hadhrat Abu Bakr.”[13]
Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud (as) menjelaskan, “Hadhrat ‘Ali karamahullahu wajhahu pada awalnya menunda untuk baiat kepada Hadhrat Abu Bakr. Namun, kemudian setiba beliau di rumah, Tuhan Maha Tahu apa yang beliau pikirkan sehingga beliau bergegas tanpa memakai surban datang untuk berbaiat. Beliau hanya mengenakan kain penutup kepala seadanya setelah itu baru meminta orang mengambilkan surban beliau. Ternyata mungkin timbul pemikiran di benak beliau bahwa [sikap menunda baiat] demikian merupakan pelanggaran besar yang membuat beliau dengan tergesa-gesa sehingga surban pun tidak sempat beliau kenakan yakni pakaian belum seutuhnya dikenakan, beliau segera pergi.”[14] Lalu setelahnya beliau memintakan surban.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Perhatikanlah Hadhrat Abu Bakr (ra). Beliau sebelumnya hanyalah saudagar biasa di Makkah. Seandainya Muhammad Rasulullah (saw) tidak bangkit, para penulis sejarah Makkah hanya sekedar menyebutkan bahwa Abu Bakr adalah sosok tokoh Arab yang mulia dan saudagar yang jujur. Namun dengan mengikuti Muhammad Rasulullah (saw), Abu Bakr telah mendapatkan derajat sedemikian rupa dimana dunia kini menyebut beliau dengan penuh hormat.
Tatkala Rasulullah (saw) wafat, segenap Muslim menjadikan Hadhrat Abu Bakr (ra) sebagai sosok Khalifah dan Raja mereka, dan kabar ini pun tiba di Makkah. Di satu majlis yang ramai, saat itu pun duduk ayahanda Hadhrat Abu Bakr, yakni Abu Quhafah. Tatkala beliau mendengar orang-orang telah berbaiat di tangan Abu Bakr, saat itu beliau sama sekali tidak mempercayainya dan bertanya langsung kepada yang menyampaikan, ‘Abu Bakr manakah yang Anda maksud.’
Orang itu menjawab, ‘Abu Bakr putra Anda.’
Ia lalu menyebut satu per satu nama kabilah Arab seraya bertanya jika mereka pun telah baiat kepada Abu Bakr. Tatkala orang itu menjawab bahwa semuanya secara sepakat telah memilih Abu Bakr (ra) sebagai Khalifah dan Raja mereka, maka Abu Quhafah dengan serta merta berkata, أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ yakni ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada sembahan selain Allah Ta’ala dan saya bersaksi bahwa Muhammad Rasulullah (saw) adalah Rasul-Nya yang benar.’”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Meskipun Hadhrat Abu Quhafah terlambat masuk Islam, sebelumnya pun beliau telah baiat kepada Hadhrat Rasulullah (saw). Alasan beliau membacakan kalimah yang menyatakan kerasulan Rasulullah (saw) untuk kedua kalinya adalah karena ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) menjadi Khalifah, maka mata beliau menjadi terbuka dan beliau memahami, ‘Ini adalah satu bukti yang agung dari kebenaran Islam. Jika tidak, apalah kedudukan dari putraku sehingga seluruh Arab bersatu di tangannya.’”[15]
Kemudian di satu tempat Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan peristiwa ini sebagai berikut: “Lihatlah! Bagaimana keadaan Hadhrat Abu Bakr (ra) sebelum masuk Islam. Ketika beliau menjadi Khalifah, ayahanda beliau masih hidup. Seseorang pergi kepadanya mengabarkan bahwa, ‘Selamat! Abu Bakr telah menjadi Khalifah.’
Beliau bertanya, ‘Abu Bakr yang mana?’
Ia mengatakan, ‘Putra Anda.’
Beliau masih tetap tidak yakin dan mengatakan bahwa mungkin yang dimaksud adalah orang yang lain. Namun ketika beliau diyakinkan, maka beliau mengatakan, ‘Allahu akbar! Betapa agungnya Muhammad (saw) hingga orang-orang Arab telah menjadikan putra Abu Quhafah sebagai pemimpin mereka.’ Singkatnya, Abu Bakr yang dahulu tidak memiliki suatu kemuliaan apa pun di dunia, berkat Muhammad (saw), ia telah mendapatkan kehormatan yang sedemikian rupa sehingga saat ini pun jutaan orang dengan bangga menisbahkan diri mereka kepadanya.”[16]
Hadhrat Khalifatul Masih Al-Awwal (ra) bersabda, “Sesungguhnya, pahamilah bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki pertanggungjawaban atas ihsan (jasa baik) siapapun. Dia menganugerahkan puluhan juta kali lebih banyak daripada yang diberikan siapapun kepada-Nya. Lihatlah! Hadhrat Abu Bakr (ra) telah meninggalkan sebuah rumah sederhana di Makkah, akan tetapi Allah Ta’ala telah sedemikian rupa menghargainya. Sebagai imbalannya, beliau dijadikan pemilik suatu kerajaan.”[17]
Berkenaan dengan Kekhilafahan Hadhrat Abu Bakr (ra) terdapat satu ru’ya Hadhrat Rasulullah (saw). Mengenainya disebutkan bahwa Hadhrat Abdullah ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad (saw) bersabda, أُرِيتُ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَنْزِعُ بِدَلْوِ بَكْرَةٍ عَلَى قَلِيبٍ، فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَنَزَعَ ذَنُوبًا أَوْ ذَنُوبَيْنِ نَزْعًا ضَعِيفًا، وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ، ثُمَّ جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَاسْتَحَالَتْ غَرْبًا، فَلَمْ أَرَ عَبْقَرِيًّا يَفْرِي فَرِيَّهُ حَتَّى رَوِيَ النَّاسُ وَضَرَبُوا بِعَطَنٍ “Saya telah diperlihatkan di dalam mimpi bahwa saat itu saya berdiri di sisi sumur dan saya sedang menimba air dengan ember yang diikatkan pada sebuah katrol. Seketika itu Abu Bakr datang dan beliau pun menimba satu atau dua ember, dimana ia tampak lemah dalam menariknya, namun Allah akan menutupi kelemahannya dan memaafkannya. Kemudian datanglah Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab lalu ember tersebut berubah menjadi ember yang besar. Saya tidak pernah menyaksikan seorang yang begitu kuat melakukan pekerjaan dengan menakjubkan sebagaimana yang telah Hadhrat ‘Umar (ra) lakukan. Beliau telah menimba air sedemikian banyak sehingga orang-orang puas dan kembali ke tempatnya masing-masing.”[18]
Hadhrat Abu Bakr (ra) juga melihat satu ru’ya. Mengenai itu diriwayatkan, عن أبي بكر : أنه رأى في المنام كأن عليه حلة حبرة ، وعلى صدره كتبان ، فقصها على رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال : ” حلة حبرة خير لك من ولدك ، والكتبان إمارة سنتين أو تلي أمر الناس سنتين ” – “Hadhrat Abu Bakr (ra) suatu kali melihat dalam mimpi bahwa pada tubuh beliau ada sepasang kain Yaman yang pada bagian dadanya terdapat dua noda. Hadhrat Abu Bakr (ra) menceritakan mimpi ini ke hadapan Hadhrat Rasulullah (saw), maka beliau (saw) bersabda, ‘Maksud sepasang kain Yamani adalah, Anda akan mendapatkan anak keturunan yang baik dan maksud dua noda adalah dua tahun kepemimpinan, yakni Anda akan menjadi kepala pemerintahan orang-orang Islam.’”[19]
Terdapat riwayat berkenaan dengan penetapan tunjangan bagi Hadhrat Abu Bakr (ra) setelah pemilihan Khalifah, bahwa setelah menjadi Khalifah beliau datang ke Madinah dan menetap di sana. Beliau telah merenungkan tugas-tugas pemerintahan beliau dan berkata, “Demi Allah! Mengurusi urusan masyarakat tidak akan dapat dilakukan dengan baik jika sambil berdagang. Untuk pengkhidmatan ini diperlukan waktu yang luang dan fokus yang penuh. Di sisi lain terdapat juga kebutuhan keluarga saya.”
Oleh karena itu beliau meninggalkan perdagangan dan mulai mengambil biaya pengeluaran harian dari Baitul Maal untuk kebutuhan diri beliau dan keluarga beliau. Untuk pengeluaran pribadi beliau telah disetujui sebesar 6000 dirham per tahun.[20] Maka ditetapkanlah tunjangan dengan nominal tersebut bagi Hadhrat Abu Bakr (ra) dari Baitul Mal yang dengannya penghidupan beliau dan keluarga beliau dapat terpenuhi.
Akan tetapi, ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) menjelang kewafatannya, beliau memerintahkan kepada sanak kerabat beliau, “Kembalikanlah seluruh tunjangan yang telah saya ambil dari Baitul Mal dan juallah tanah saya di beberapa tempat tertentu untuk pembayarannya dan dengan menjual tanah tersebut, bayarkanlah seluruh jumlah harta kaum Muslimin yang telah saya belanjakan untuk diri saya.”
Oleh karena itu, setelah kewafatan beliau, ketika Hadhrat Umar (ra) menjadi Khalifah dan harta itu sampai kepada beliau maka beliau menangis dan berkata, “Wahai Abu Bakr Shiddiq (ra)! Engkau telah memberikan beban yang begitu berat kepada penerusmu.”[21]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah raja seluruh dunia Islam, namun apa yang telah beliau dapat? Memang beliau adalah penjaga harta rakyat, namun beliau tidak menguasai harta tersebut secara pribadi. Hadhrat Abu Bakr (ra) memang seorang pedagang, namun dikarenakan beliau sering memiliki kebiasaan bahwa begitu mendapatkan uang, beliau langsung memberikannya di jalan Allah Ta’ala, maka bertepatan ketika Rasulullah (saw) wafat dan beliau menjadi Khalifah, pada saat itu beliau tidak memiliki uang.
Pada hari kedua kekhalifahan, beliau mengambil buntelan pakaian dan pergi untuk menjualnya. Beliau bertemu dengan Hadhrat Umar (ra) di jalan, lalu Hadhrat Umar (ra) bertanya, ‘Apa yang Anda lakukan?’
Beliau menjawab, ‘Pada akhirnya saya harus makan. Jika saya tidak menjual pakaian, dari mana saya akan makan.’
Hadhrat Umar (ra) mengatakan, ‘Tidak bisa seperti ini. Jika Anda berjualan pakaian, lalu siapa yang akan mengerjakan tugas Khilafat.’
Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Jika saya tidak melakukan pekerjaan ini, lantas bagaimana saya akan memenuhi penghidupan?’
Hadhrat Umar (ra) berkata, ‘Ambillah tunjangan dari Baitul Mal.’
Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Saya tidak dapat menerima ini. Apa hak saya atas Baitul Mal?’
Hadhrat Umar (ra) berkata, ‘Ketika Al-Quran mengizinkan bahwa para pengkhidmat agama bisa menggunakan uang Baitul Mal, lantas mengapa Anda tidak bisa mengambilnya?’ Maka setelah itu, ditetapkan tunjangan bagi beliau dari Baitul Mal, namun dilihat dari keadaan masa itu, tunjangan tersebut hanya sebatas bisa mencukupi keperluan makanan dan pakaian.”[22]
Masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra) yang mana berlangsung selama sekitar dua tahun adalah yang tersingkat diantara keempat Khulafaaur Rasyidin. Namun masa yang singkat tersebut pantas disebut sebagai satu masa paling penting dan masa keemasan Khilafat Rasyidah, karena Hadhrat Abu Bakr (ra) yang paling banyak menghadapi bahaya dan musibah.
Kemudian berkat dukungan dan pertolongan serta karunia yang luar biasa dari Allah Ta’ala, dengan keberanian, pemahaman dan firasat yang sempurna dari Hadhrat Abu Bakr (ra), hanya dalam waktu singkat, awan ketakutan dan bahaya itu menyingkir, semua ketakutan berganti menjadi kedamaian dan para pengkhianat serta pemberontak itu berhasil ditumpas sehingga bangunan Khilafat yang telah goyah menjadi tegak di atas pondasi-pondasi yang kokoh dan kuat.
Berkenaan dengan bahaya-bahaya dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Hadhrat Abu Bakr (ra) di masa awal Khilafat, Ummul Mu’minin Hadhrat Aisyah (ra) juga mengisahkan mengenainya. Seraya membahas hal ini Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: عن عائشة رضي الله عنها قالت: لما جُعل أبي خليفة وفوّض الله إليه الإمارة، فرأى بمجرد الاستخلاف تموُّجَ الفتن من كل الأطراف، ومَوْرَ المتنبئين الكاذبين، وبغاوة المرتدين المنافقين. فصُبّت عليه مصائب لو صُبّت على الجبال لانهدت وسقطت وانكسرت في الحال، ولكنه أُعطي صبرا كالمرسلين، حتى جاء نصر الله وقُتل المتنبئون وأُهلك المرتدون، وأُزيل الفتن ودفع المحن، وقُضي الأمر واستقام أمر الخلافة، ونجّى الله المؤمنين من الآفة، وبدّل من بعد خوفهم أمنا، ومكّن لهم دينهم وأقام على الحق زمنا وسوّدَ وجوه المفسدين، وأنجز وعده ونصر عبده الصدّيق، وأباد الطواغيت والغرانيق، وألقى الرعب في قلوب الكفار، فانهزموا ورجعوا وتابوا وكان هذا وعد من الله القهار، وهو أصدق الصادقين. فانظر كيف تم وعد الخلافة مع جميع لوازمه وإماراته في الصدّيق. “Hadhrat Aisyah radhiyAllahu ‘anha meriwayatkan, ‘Ketika ayah saya diangkat sebagai Khalifah dan Allah Ta’ala menyerahkan tanggung jawab untuk memimpin kepada beliau, seketika bermula masa kekhalifahan beliau dan saat itu beliau melihat kekacauan dari berbagai arah, rencana para pendakwa kenabian palsu dan pembangkangan orang-orang munafik yang murtad. Sedemikian rupa dahsyatnya bencana yang menimpa beliau sehingga seandainya itu menimpa gunung-gunung maka akan rata menjadi tanah dan seketika akan jatuh berkeping-keeping. Namun, beliau telah dianugerahi kesabaran seperti yang dimiliki oleh para Rasul hingga datanglah pertolongan Tuhan dan akhirnya Nabi palsu terbunuh dan orang-orang murtad (pembangkang) dibinasakan. Kekacauan dapat diatasi, musibah terhindarkan dan permasalahan dapat terselesaikan sehingga Khilafat semakin kokoh dan Allah Ta’ala menyelamatkan orang-orang mukmin dari bencana. Mengganti keadaan mereka yang ketir menjadi kedamaian dan meneguhkan bagi mereka agama mereka, menegakkan satu alam semesta diatas kebenaran mengatasi para pengacau dan memenuhi janjinya dan menolong hamba-Nya, Abu Bakr ash-Shiddiq dan menghancurkan para pemimpin pemberontak dan berhala-berhala dan sedemikian rupa menimbulkan ketakutan ke dalam hati orang-orang kuffar sehingga mereka kalah. Akhirnya, mereka kembali dan bertaubat. Inilah janji Allah Yang Maha Perkasa dan Dia adalah yang paling benar diantara yang benar. Untuk itu renungkanlah bagaimana janji Khilafat telah tergenapi dengan segenap kelaziman dan tanda-tandanya dalam pribadi Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) .”[23]
Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) sejak permulaan kekhalifahan beliau sudah terpaksa menghadapi 5 jenis permasalahan:
[1] Duka lara yang meliputi paska kewafatan Rasulullah (saw).
[2] Kekacauan yang timbul di kalangan umat pada saat pemilihn Khalifah dan bahaya mencekam yang timbul karena pertentangan.
[3] Masalah kepergian laskar Usamah
[4] Sebagian orang yang mengaku Muslim namun menolak untuk membayar zakat dan berencana untuk menyerang Madinah yang mana dalam sejarah mereka disebut dengan istilah fitnah mani’in zakat (kekacauan penolakan zakat).
[5] Kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang murtad yakni mereka yang secara terang terangan melakukan pembangkangan dan menyatakan bersedia untuk perang. Dalam pembangkangan tersebut bergabung juga orang-orang yang mengaku mengaku sebagai Nabi.
Berkenaan dengan keberhasilan yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepada Hadhrat Abu Bakr dalam mengatasi segala musibah dan kekacauan yang melanda itu akan dijelaskan berikutnya secara rinci. Namun, sebelum itu akan disampaikan kutipan sabda dari Hakim Adil yaitu Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud (as). Di dalam kutipan tersebut Hadhrat Masih Mau’ud (as) sembari menyebutkan persamaan antara Hadhrat Abu Bakr dan Khalifah pertama Hadhrat Musa (as) yakni Hadhrat Yasyu’ bin Nun juga menjelaskan permasalahan dan musibah yang menimpa Hadhrat Abu Bakr dan juga kemenangan dan kesuksesannya. Beliau (as) bersabda, “Ayat yang memberikan pembuktian adanya kemiripan diantara kedua mata rantai yakni mata rantai Khilafat Musawi dan mata rantai Khilafat Muhammadi yang dari itu dapat difahami secara qath’i dan meyakinkan bahwa Khalifah pada mata rantai kenabian Muhammadi memiliki kesamaan dengan mata rantai kenabian Musawi. Ayatnya sebagai berikut: وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ‘Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara kamu dan berbuat amal saleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu Khalifah di bumi ini, sebagaimana Dia telah menjadikan Khalifah orang-orang yang sebelum mereka.’ (Al-Qur’an, Surah an-Nur, 24: 56)
Jika kita memperhatikan kata كَمَا (sebagaimana) yang mewajibkan adanya persamaan antara Khalifah-Khalifah pada mata rantai Muhammadi dengan Khalifah pada mata rantai Musawi maka kita terpaksa mengakui bahwa keniscayaan adanya persamaan diantara Khalifah pada kedua mata rantai tersebut dan yang pertama meletakkan pondasi persamaan itu adalah Hadhrat Abu Bakr (ra) dan yang memperlihatkan contoh terakhir persamaan itu adalah Al-Masih Sang Khatamul Khulafa pada mata rantai Muhammadi yang merupakan Khalifah terakhir pada mata rantai Khilafat Muhammadi. Khalifah pertama yakni Hadhrat Abu Bakr (ra) dibandingkan dengan Hadhrat Yasyu’ bin Nun (يَشُوعُ بْنُ نُونٍ) yang notabene merupakan yang memiliki kemiripan diantara keduanya.
Hadhrat Abu Bakr telah dipilih oleh Allah Ta’ala untuk Khilafat paska kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw) dan Allah telah meniupkan ruh firasat yang paling banyak ke dalam diri beliau sehingga kesulitan-kesulitan yang tadinya dapat merintangi sang Khatamul Khulafa dalam menghadapi akidah batil yang meyakini Isa Al-Masih masih hidup, segala keraguan itu telah disirnakan oleh Hadhrat Abu Bakr (ra) dengan luar biasa jelas dan terang sehingga tidak tersisa satu pun dari segenap para sahabat yang tidak meyakini bahwa segenap para Nabi terdahulu telah wafat.
Bahkan, dalam segenap urusan para sahabat telah menempuh ketaatan yang sedemikian rupa kepada Hadhrat Abu Bakr seperti ketaatan yang ditampilkan oleh Bani Israil kepada Hadhrat Yasyu’ bin Nun setelah kewafatan Hadhrat Musa (as). Demikian pula, Allah Ta’ala pun telah menjadi penolong dan pendukung bagi Hadhrat Abu Bakr (ra) juga sebagaimana Dia lakukan kepada Rasulullah (saw) dalam corak yang Dia lakukan terhadap Musa dan Yasyu’ bin Nun.”
Yusya’ bin Nun dan Yasyu’ bin Nun ialah satu orang yang sama.[24]
Beliau (as) bersabda, “Pada hakikatnya, Allah Ta’ala telah memberikan keberkatan kepada beliau (yaitu Hadhrat Abu Bakr [ra]) seperti halnya kepada Yasyu’ bin Nun sedemikian rupa sehingga tidak ada musuh yang mampu menghadapi beliau. Urusan laskar Usamah yang belum selesai yang memiliki kemiripan dengan urusan Hadhrat Musa yang belum selesai, telah diselesaikan di tangan Hadhrat Abu Bakr.
Satu lagi kesesuaian yang unik diantara Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Yasyu’ bin Nun adalah yang paling pertama mengetahui kabar kewafatan Hadhrat Musa adalah Hadhrat Yasyu’ bin Nun. Serta-merta Allah Ta’ala menurunkan wahyu kedalam hati beliau bahwa Nabi Musa telah wafat supaya kaum Yahudi tidak menaruh kekeliruan atau saling bertentangan berkenaan dengan kewafatan Hadhrat Musa (as). Hal ini sebagaimana tampak dari kitab Yasyu’ (Yosua) pasal pertama.[25] Demikian pulalah Hadhrat Abu Bakr lah yang paling pertama memperlihatkan keyakinan sempurna akan kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw). Beliau (ra) mencium jasad penuh berkat Rasulullah dan bersabda: Semasa hidup pun engkau suci dan setelah wafat pun engkau tetap suci.
Kemudian anggapan keliru yang timbul di benak sebagian sahabat berkenaan dengan masih hidupnya Rasulullah telah dihilangkan oleh Hadhrat Abu Bakr dalam suatu pertemuan umum dengan memberikan referensi Al-Quran, bersamaan dengan itu beliau pun telah menghilangkan anggapan keliru berkenaan dengan masih hidupnya Isa Almasih didalam hadits yang disebabkan karena tidak merenungkan sepenuhnya, sehingga muncul dalam benak
Sebagian para sahabat. sebagaimana Hadhrat Yasyu’ bin Nun telah membinasakan para musuh berat agama, para muftari (yang mengada-adakan kedustaan) dan para pengacau, demikian pula banyak sekali para pengacau dan pendakwa Nabi palsu telah dibersihkan oleh Hadhrat Abu Bakr (ra). Sebagaimana Hadhrat Musa wafat pada waktu yang rentan, pada saat Bani Israil belum meraih kemenangan atas musuh musuh Kan’an dan masih banyak misi yang belum tuntas sementara para musuh di sekitar beliau riuh mencemooh sehingga paska kewafatan Hadhrat Musa timbul saat yang berbahaya demikian pula paska kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw) muncul satu waktu yang berbahaya, banyak sekali firqah Arab yang murtad, sebagiannya menolak untuk membayar zakat dan banyak juga para Nabi palsu yang bermunculan. Dalam keadaan demikian menuntut seorang Khalifah yang memiliki hati yang sangat teguh, tabah, keimanan yang kokoh, jiwa pejuang dan berani.
Hadhrat Abu Bakr telah diangkat sebagai Khalifah. Seketika terpilih sebagai Khalifah beliau menghadapi situasi sangat menyedihkan seperti yang disabdakan oleh Hadhrat Aisyah (ra) yakni disebabkan oleh bermacam macam kekacauan dan pembangkangan bangsa Arab dan juga munculnya para Nabi palsu, Ketika ayah saya diangkat sebagai Khalifah Rasulullah (saw), segenap musibah itu bermunculan dan duka lara itu turun ke dalam kalbu yang mana jika kedukaan itu mengenai suatu gunung, maka gunung tersebut akan hancur berkeping keeping dan menjadi tanah.
Namun, karena merupakan hukum Tuhan yaitu ketika seorang Khalifah terpilih setelah kewafatan Rasul Allah, maka akan ditiupkan ke dalam dirinya ruh keberanian, semangat, ketabahan, firasat dan keteguhan hati. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam kitab Yasyu’ pasal pertama ayat ke-6 Allah Ta’ala berfirman kepada Hadhrat Yasyu’, ‘Kuat dan tegarlah engkau.’ Maksudnya, Musa telah wafat sekarang engkau berjiwa tangguhlah.[26]
Perintah tersebut dalam corak takdir bukan dalam corak syariat, turun juga kedalam kalbu Hadhrat Abu Bakr, dapat diketahui dari kesesuaian dan kesamaan yakni seolah olah Abu Bakr Bin Abu Quhafah dan Yasyu’ bin Nun adalah orang yang sama. Kesamaan penerus mereka telah menjadi sangat jelas.
Jika melihat kesamaan antara dua mata rantai yang sudah mapan, wajar jika melihat orang pertama atau orang terakhir. Biasanya masyarakat tidak menganggap perlu untuk melihat kesamaan selama periode pertengahan dari kedua mata rantai, yang membutuhkan penyelidikan dan penelitian yang lebih cermat. Sebaliknya, itu didasarkan pada yang pertama dan terakhir. Untuk alasan ini, kesamaan antara Yasyu’ bin Nun dan Hadhrat Abu Bakr (ra) – yang merupakan Khalifah pertama dari mata rantai mereka masing-masing – dan juga kesamaan antara Isa, putra Maryam, dan Hadhrat Masih Mau’ud (as) – yang adalah Khalifah terakhir dari mata rantai mereka masing-masing, telah menjadi nyata dengan sangat jelas. Misalnya, kemiripan antara Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Yasyu’ putra Nun begitu mencolok sehingga seolah-olah mereka adalah satu orang, seperti dua keping permata yang sama.
Demikianlah, setelah wafatnya Musa (as), seluruh Bani Israil mendengarkan seruan Yasyu’ bin Nun, dan tidak ada di antara mereka yang berselisih dalam hal ini dan malah menaatinya, demikian pula peristiwa tersebut dialami oleh Hadhrat Abu Bakr (ra). Meskipun meneteskan air mata atas wafatnya Nabi Suci (saw), semua orang dengan sepenuh hati menerima Khilafat Hadhrat Abu Bakr (ra).
Alhasil, dari berbagai sisi terbukti adanya persamaan antara Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) dengan Hadhrat Yasyu’ bin Nun Sebagaimana Tuhan telah memperlihatkan dukungannya kepada Hadhrat Yasyu’ bin Nun yang mana dukungan tersebut senantiasa diperlihatkan kepada Hadhrat Musa (as). Demikian pula, Tuhan memberikan keberkatan pada tugas tugas Hadhrat Abu Bakr di hadapan segenap para sahabat dan meraih kejayaan seperti para Nabi. Hadhrat Abu Bakr berhasil memberantas para pengacau dan pendakwa kenabian palsu dengan meraih kekuatan dan ketangguhan dari Allah Ta’ala, sehingga para sahabat (ra) mengetahui bahwa sebagaimana Tuhan menyertai Hadhrat Rasulullah (saw), begitu pula Hadhrat Abu Bakr (ra).
Satu lagi kesesuaian yang unik antara Hadhrat Abu Bakr dengan Hadhrat Yasyu’ bin Nun adalah suatu hari Hadhrat Yasyu’ bin Nun menghadapi situasi dimana harus menyebrangi sebuah sungai yang mengerikan bernama Yordan beserta para laskar. Saat itu badai menerjang di sungai Yordan sehingga mustahil untuk disebrangi. Jika badai tersebut tidak dapat diseberangi, maka ada kemungkinan bisa binasa di tangan musuh-musuh Bani Israil. Itu adalah situasi pertama yang mengerikan yang dialami pada masa kekhalifahan Yasyu’ bin Nun paska kewafatan Hadhrat Musa (as).
Pada saat itu Allah Ta’ala menyelamatkan Yasyu’ bin Nun dan laskarnya dari badai secara mukjizat, Allah Ta’ala menjadikan sungai Yordan kering sehingga dapat disebrangi dengan mudah. Kekeringan itu dalam corak surut atau hany merupakan suatu mukjizat. Alhasil, seperti itulah Tuhan telah menyelamatkan mereka dari badai dan gangguan musuh.
Seperti badai topan itulah atau bahkan lebih dahsyat dari itu, yang dihadapi oleh Hadhrat Abu Bakr Khalifah sejati berserta segenap sahabat yang jumlahnya lebih dari 100 ribu, paska kewafatan Rasulullah (saw). Yakni pemberontakan yang dahsyat merebak di dalam negeri. Adapun penduduk pedalaman Arab yang mengenainya Allah Ta’ala berfirman [dalam Surah al-Hujuraat, 49:15], قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ Suatu kepastian sesuai dengan nubuatan tersebut bahwa mereka rusak sehingga nubuatan tersebut tergenapi. Arti ayat tersebut adalah orang-orang pedalaman Arab mengatakan: Kami telah beriman. Engkau katakanlah bahwa kalian tidaklah beriman, namun katakana saja bahwa kami telah menjadi Muslim sebelum keimanan masuk kedalam hati kalian.’”
Alhasil, beliau bersabda, “Seperti itulah dan mereka semua murtad. Sebagiannya menolak untuk membayar zakat dan beberapa orang mendakwakan kenabian palsu yang diikuti oleh ratusan ribu orang sial. Jumlah musuh sedemikian meningkat sehingga jumlah jamaah para sahabat tidak berarti dibanding mereka, lebih dari itu telah timbul badai dahsyat di seluruh negeri dan badai tersebut jauh lebih mengerikan dibandingkan badai sungai yang mengerikan yang dihadapi oleh Hadhrat Yasyu’ bin Nun (as).
Sebagaimana Hadhrat Yasyu’ bin Nun paska kewafatan Hadhrat Musa terjerumus dalam bencana yang dahsyat secara tiba tiba sehingga sungai diterjang badai topan dan tidak ada kapal yang bisa digunakan untuk menyebrang dan dari berbagai sisi dicekam ketakutan akan musuh. Bencana ini jugalah yang menimpa Hadhrat Abu Bakr yakni Hadhrat Rasulullah wafat kemudian dilanda badai kemurtadan di Arab selanjutnya badai kedua timbulnya para Nabi palsu semakin menambah kuatnya badai.
Badai tersebut tidaklah kurang dibandingkan dengan badai yang menerjang Hadhrat Yasyu’, bahkan jauh lebih dahsyat. Sebagaimana firman Tuhan telah memberikan kekuatan pada Hadhrat Yasyu’ dengan berfirman, ‘Kemana pun engkau pergi, Aku akan menyertaimu. Jadilah kuat dan berani! Janganlah gentar!’[27]
Kemudian, timbullah satu kekuatan besar, ketabahan dan keimanan dalam diri Yasyu’ yang timbul seiring dengan penentram dari Allah Ta’ala. Seperti itu jugalah, ketika Hadhrat Abu Bakr menghadapi badai pemberontakan, beliau meraih kekuatan dari Allah Ta’ala sehingga orang yang memahami sejarah Islam pada masa itu dapat memberikan kesaksian bahwa badai yang menerjang begitu dahsyatnya sehingga jika tangan Allah Ta’ala tidak menyertai Abu Bakr dan jika pada kenyataannya Islam bukan dari Allah Ta’ala dan jika Abu Bakr bukan Khalifah yang benar maka Islam saat itu juga pasti akan binasa. Namun seperti halnya Nabi Yasyu’, Hadhrat Abu Bakr meraih kekuatan berkat firman suci Tuhan, karena Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam Al-Quran sebelum datangnya bencana itu. Karena itu, orang yang membaca ayat berikut dengan seksama akan meyakini bahwa memang benar kabar akan datangnya bencana tersebut telah dikabarkan dalam Al-Quran sejak sebelumnya. Kabar tersebut ialah sebagai berikut, وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ () artinya, ‘Allah Ta’ala telah berjanji kepada orang-orang beriman yang beramal saleh bahwa Dia akan menjadikan Khalifah seperti para Khalifah yang telah berlalu sebelum mereka dan akan menegakkan mata rantai seperti mata rantai Khilafat tersebut yang ditegakkan sepeninggal Hadhrat Musa (as).’”
Terjemahan yang disampaikan ini adalah terjemah tafsir yang disampaikan oleh Hadhrat Masih Mau’ud sendiri. Beliau bersabda, “Akan ditegakkan Khilafat seperti Khilafat pada mata rantai yang didirikan sepeninggal Hadhrat Musa dan akan menegakkan agama yang telah diridhai di bumi yakni Islam. Akan menancapkan akarnya dan mengganti keadaan yang mencekam dengan kedamaian. Mereka akan menyembah-Ku dan tidak akan menyekutukan Aku dengan yang lainnya.’
Perhatikanlah, dalam ayat ini dijelaskan secara jelas bahwa akan tiba masa mencekam dan kedamaian akan sirna namun Allah Ta’ala akan mengganti lagi masa mencekam itu dengan kedamaian. Masa-masa yang mencekam itu jugalah yang dialami oleh Yasyu’ bin Nun. Sebagaimana ia telah diberikan penentram melalui firman Tuhan, seperti itu jugalah Hadhrat Abu Bakr (ra) telah diberikan penentram dengan melalui firman Tuhan.”[28]
Insya Allah, rincian dari 5 (lima) hal lainnya yang masih tersisa akan disampaikan pada kesempatan yang akan datang.
Berkenaan dengan situasi dunia dan peperangan yang terjadi akhir-akhir ini, berdoalah untuknya. Situasinya semakin mengerikan. Saat ini bahkan mulai dilontarkan ancaman-ancaman perang nuklir yang mana sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya dan telah berulang kali saya sampaikan bahwa konsekuensi-konsekuensinya akan sangat mengerikan dan akibat-akibatnya akan ditanggung juga oleh generasi-generasi yang akan datang. Hanya Allah Ta’ala lah yang bisa memberikan pemahaman kepada orang-orang ini.
Di hari-hari ini perbanyaklah membaca sholawat dan perbanyak jugalah membaca istighfar. Semoga Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa kita dan menganugerahkan akal dan pemahaman kepada para pemimpin dunia.
Pada satu kesempatan Hadhrat Masih Mau’ud (as) menasihatkan secara khusus kepada para anggota Jemaat untuk banyak membaca doa: Dan beliau bersabda, “Bacalah doa ini رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ‘Rabaanaa aatinaa fid dunya hasanataw wa fil aakhirati hasanataw wa qinaa ‘adzaaban naar’ – Wahai Tuhan kami, anugerahi kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jauhkan kami dari api neraka’ [Surah al-Baqarah, 2:202] pada saat berdiri setelah rukuk.”[29] Saat ini pun membacanya sangatlah diperlukan. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kebaikan-kebaikan dan menyelamatkan dari segala macam azab api.
Hari ini saya juga akan melaksanakan satu shalat jenazah ghaib, yaitu yang terhormat Abu Al-Farj Al-Hushni (أبو الفرج الحصني) Sahib dari Syria (Suriah). Beliau wafat pada 13 Februari di usia 90 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ayahanda beliau, yang terhormat Muhammad Al-Hushni (محمد الحصني) Sahib adalah termasuk para Ahmadi awal. Beliau baiat melalui Maulana Jalaluddin Shams Sahib.
Abu Al-Farj Al-Hushni Sahib adalah menantu Amir pertama Jemaat Syria, yang terhormat Munir al-Hushni (منير الحصني) Sahib dan di masa jabatan beliau, Almarhum juga mengkhidmati Jemaat sebagai Naib Amir. Belakangan pun beliau tetap menjabat sebagai Naib Amir. Beliau lahir pada 1933 dan beliau sangat terkesan dengan kesalehan, ketakwaan dan diskusi keilmuan paman beliau, Munir al-Hushni Sahib.
Beliau biasa hadir dalam majlis Munir al-Hushni Sahib. Pada usia 15 tahun, beliau mendengar tilawat Al-Qur’an di radio dan menangis. Beliau pergi kepada pamannya dan mengatakan kepadanya, “Saya ingin tahu lebih banyak tentang Allah Ta’ala.” Paman beliau memberikan satu buku Hadhrat Masih Mau’ud (as). Setelah membaca buku tersebut keadaan hati beliau berubah lalu datang kepada pamannnya dan mengatakan, “Saya ingin baiat.”
Beliau mendapatkan kehormatan bermulaqat dengan 3 (tiga) Khalifah dalam Jemaat. Pada 1955 Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsani (ra) datang ke Damaskus, Almarhum mendapatkan karunia bermulaqat dengan beliau (ra) dan mendapatkan kesempatan berkhidmat sebagai security.
Pada 1972, beliau juga mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Pakistan dan tinggal bersama Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (ra) di Rabwah selama beberapa bulan, mempelajari bahasa Urdu dan mengambil faedah dari ilmu-ilmu Jemaat. Di tahun yang sama beliau mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Qadian dari Pakistan.
Pada 1986, beliau datang ke Inggris pada kesempatan Jalsah dan mendapatkan kehormatan bertemu dengan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh). Kemudian pada 2017 beliau mendapatkan kesempatan pergi ke Qadian untuk kedua kalinya dan di Jalsah beliau menyampaikan pidato singkat dalam bahasa Arab.
Almarhum adalah figur yang sangat baik, saleh, mukhlis dan ‘aalim ba ‘amal (penuh dengan ilmu serta mengamalkanya juga). Beliau tidak mempunyai anak. Istri beliau pun adalah ghair Ahmadi. Sadr Jemaat Syria menuturkan, “Pada 2017 saya pergi mengunjungi Qadian bersama beliau. Meskipun beliau begitu lemah, namun sedemikian rupa mendalamnya ghairat beliau sehingga tampak seolah beliau tidak berjalan di atas tanah, melainkan terbang di udara. Pada awalnya, dikarenakan sakit beliau tidak ingin pergi, namun ketika saya mengatakan kepadanya bahwa beliau harus pergi maka beliau mengatakan, ‘Ketika datang perintah dari Khalifah-e-waqt atau Khalifah memerintahkan untuk pergi maka saya akan pergi.’ Lalu Allah Ta’ala menganugerahkan karunia-Nya sehingga beliau dan istri beliau sehat dari keadaan lemah dan sakitnya dan dengan karunia Allah Ta’ala pergi ke sana, bahkan mendapatkan taufik untuk naik ke Minaratul Masih. Orang-orang menceritakan bahwa di sana beliau naik lebih cepat dari mereka yang masih muda, padahal sebelumnya untuk berjalan pun beliau merasa sulit.”
Dokter Muslim ad-Darubi (مسلم الدروبي) Sahib menulis, “Almarhum adalah termasuk di antara Waliullah dan Abdaalusy Syaam (orang-orang suci dari Syam). Saya sendiri dan kawan-kawan lainnya menjadi saksi atas hal itu. Beliau termasuk pebisnis terkenal di Damaskus dan sosok panutan dan beliau dikenal dengan baik di pasar. Almarhum adalah sosok yang sangat bijaksana dan cerdas. Beliau dawam melaksanakan Tahajjud dan banyak melihat mimpi yang benar. Mimpi-mimpi tersebut banyak yang tergenapi. Di antaranya banyak sekali yang berkenaan dengan situasi dan musibah yang menimpa Syria. Ketika banyak mubaligh yang pergi ke Syria untuk mempelajari bahasa Arab, beliau sangat menghormati mereka, alasannya adalah karena, pertama mereka diutus oleh Khalifah-e-Waqt dan kedua, mereka telah mewaqafkan hidup untuk bertabligh.”
Hisamun Naqib (حسام النقيب) Sahib, mantan Sadr [Ketua Jemaat] Syiria yang saat ini menetap di Turki menulis, “Almarhum memiliki banyak sifat terpuji yang di antara paling menonjol adalah kecintaan kepada Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud (as) dan para Khalifah beliau. Seumur hidup saya tidak akan pernah melupakan perjalanan saya bersama Almarhum ke Qadian. Segala sesuatunya dalam perjalanan tersebut adalah mukjizat. Saya setiap saat selalu bersama beliau di Qadian. Satu doa yang beliau panjatkan di Qadian adalah, اللهم انصر الخليفة، اللهم بارك بعمره وكل أمره ‘Allahummanshur al-Khalifah, Allahumma baarik bi-‘umrihi wa kulli amrihi.’ – ‘Ya Allah! Anugerahkanlah dukungan dan pertolongan pada Khalifah-e-Waqt dan anugerahkanlah keberkatan pada usia beliau dan segala pekerjaan beliau.’”
Kemudian, Hisamun Naqib Sahib menulis, “Ketika dalam satu majlis ada seseorang yang menyampaikan suatu sabda dari Khalifah-e-Waqt maka pada kesempatan tersebut beliau tidak mengizinkan seorang pun untuk berbicara supaya beliau bisa mendengar sabda tersebut sepenuhnya, memahaminya dan meraih keberkatan. Beliau sosok yang begitu tulus. Beliau tidak merasa senang ketika mendengar seseorang memuji beliau, bahkan beliau menegurnya dengan mengatakan, ‘Tinggalkan hal itu. Allah dan Jemaat-Nya-lah yang merupakan segalanya. Bicarakanlah berkenaan dengan Jemaat.’ Beliau tidak pernah meninggalkan pembacaan buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud (as). Selain di tahun-tahun terakhir ketika keadaan beliau telah sangat lemah, beliau tidak pernah meninggalkan pembacaan buku-buku Jemaat. Beliau sangat menyukai Tafsir Kabir karya Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra). Ketika ada seseorang yang menanyakan tafsir ayat Al-Qur’an kepada beliau maka beliau menyampaikan penjelasan dari Tafsir Kabir.”
Keponakan beliau, Muhammad ‘Ammarul Muski al-Hushni (محمد عمار المسكي) Sahib yang tinggal di UK, menuturkan, “Saya berusia 14 tahun ketika saya melaksanakan sholat Jumat bersama beliau. Saya pulang bersama beliau dan di jalan saya biasa bertanya kepada beliau berkenaan dengan ilmu-ilmu kejemaatan dan beliau memberikan jawaban dengan terperinci. Ketika itu di Syiria belum tersedia buku-buku Jemaat. Almarhum sangat berjasa dalam mentransfer ilmu-ilmu kejemaatan kepada para anggota Jemaat. Ketika pergi ke Rabwah, beliau mempelajari bahasa Urdu. Beliau lalu membawa pulang buku-buku berbahasa Urdu dan berusaha untuk membaca buku-buku tersebut, memahaminya, menerjemahkannya dan menyampaikannya kepada para anggota Jemaat.
Almarhum seorang yang sangat tulus, tidak pernah menginginkan kedudukan. Beliau menyukai untuk tetap menjadi seorang khadim. Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) ingin menjadikan beliau sebagai Amir, maka beliau mengatakan, ‘Orang-orang akan mengatakan bahwa seluruh pekerjaan keamiran ini berjalan secara garis kekeluargaan sehingga sebaiknya Hudhur pilihlah orang lain dan saya akan membantunya sepenuhnya.’ Kemudian dengan Amir yang usianya lebih muda pun beliau bekerjasama dan banyak memberikan bantuan, bahkan menegakkan contoh teladan.”
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh kepada Almarhum, meninggikan derajat beliau, mengabulkan semua doa-doa beliau berkenaan dengan istri beliau, semoga Allah Ta’ala juga memberikan kepada beliau taufik untuk menerima Ahmadiyah. Setelah sholat saya akan melaksanakan sholat jenazah gaib.[30]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Nama al-Hubab terkadang ada versi lain yaitu al-Khabbaab (خَبّاب بن المنذر بن عَمْرو بن الجموح الأنصاريّ) sebagaimana tercantum dalam al-Ishabah.
[2] Tarikh ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 3 صفحه : 220)
[3] Raddul Muhtar ‘alad Duraril Mukhtar (رد المحتار على الدر المختار – ج 2 – الصلاة); Hasyiyah Ibnu ‘Aabidin – Catatan Kaki Ibnu ‘Aabidin (حاشية ابن عابدين (رد المحتار على الدر المختار) 1-14 مع تقريرات الرافعي ج2) karya Muhammad Amin Ibnu ‘Aabidin (ابن عابدين/محمد أمين). Biharul Anwar (بحار الأنوار – العلامة المجلسي – ج ٢٨ – الصفحة ٣٢٥).
[4] Tarikh ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 2 صفحه : 458) atau halaman 243 pada terbitan darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 1987 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 243 دار الکتب العلمیۃ بیروت، لبنان 1987ء).
[5] Sunan al-Kubra karya an-Nasai (السنن الكبرى للنسائي كتاب المناقب مناقب أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من المهاجرين والأنصار حديث رقم 6884). Fadhailush Shahabah karya an-Nasai (فضائل الصحابة للنسائي), Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب), Manaqib Ashhaabi Rasulillah (saw) minal muhajirin wal anshari wan nisa – keutamaan para Sahabat Rasulullah (saw) dari kalangan Muhajirin, Anshar dan kaum wanita (مناقب أصحاب رسول الله ﷺ من المهاجرين والأنصار والنساء), keutamaan Abu Bakr (فضل أبي بكر رضي الله عنه). Surah at-Taubah, 9: 40 menyebutkan, “Jika kamu tidak menolongnya, maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika ia di usir oleh orang-orang ingkar, sedangkan ia kedua dari yang dua ketika keduanya berada dalam gua, maka ia berkata kepada temannya, ‘Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita,’ lalu Allah menurunkan ketenteraman-Nya kepadanya dan menolongnya dengan lasykar-lasykar yang tidak kamu lihat dan Dia menjadikan perkataan orang-orang yang ingkar itu rendah dan kalimah Allah itulah yang tertinggi. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” Sunan al-Kubra karya Baihaqi (السنن الكبرى للبيهقي), Kitab tentang memerangi pemberontak (كِتَابُ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ), kumpulan bab rakyat (جماع أبواب الرعاة), bab tidak benar ada dua Imam di waktu yang sama (بَابُ لَا يَصْلُحُ إِمَامَانِ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ) nomor 16550 terdapat keterangan bahwa di Saqifah Banu Sa’idah, diantara kalimat dalam pidato Hadhrat Abu Bakr (ra) ialah, وَإِنَّهُ لا يَحِلُّ أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِينَ أَمِيرَانِ ، فَإِنَّهُ مَهْمَا يَكُنْ ذَلِكَ يَخْتَلِفْ أَمَرُهُمْ وَأَحْكَامُهُمْ ، وَتَتَفَرَّقُ جَمَاعَتُهُمْ ، وَيَتَنَازَعُوا فِيمَا بَيْنَهُمْ ، هُنَالِكَ تُتْرَكُ السُّنَّةُ ، وَتَظْهَرُ الْبِدْعَةُ ، وَتَعْظُمُ الْفِتْنَةُ ، وَلَيْسَ لأَحَدٍ عَلَى ذَلِكَ صَلاحٌ “Tidak dibenarkan ada dua pemimpin di kalangan umat Muslim.” Di kitab yang sama bab yang sama di nomor 16548 tercantum وَرَوَيْنَا فِي حَدِيثِ السَّقِيفَةِ أَنَّ الْأَنْصَارَ حِينَ قَالُوا: مِنَّا رَجُلٌ وَمِنْكُمْ رَجُلٌ، قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَوْمَئِذٍ: سَيْفَانِ فِي غِمْدٍ وَاحِدٍ إِذًا لَا يَصْطَلِحَانِ Kemudian, seorang lelaki Anshar berkata, “Dari kalangan kami (Anshar) seorang amir dan dari kalian (Muhajirin) seorang amir.” Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, سَيْفَانِ فِي غِمْدٍ وَاحِدٍ إِذًا لَا يَصْطَلِحَانِ ‘Saifaani fii ghimdin waahidin idzan laa yashthalihaani.’ – “Bagaimana mungkin bisa baik bila dua bilah pedang dimasukkan ke dalam sebuah sarung pedang?” Tercantum juga dalam karya Ibnu Mandah (ابن منده , w. 1004-5 M), yaitu dalam Maʿrifat al-ṣahābah (معرفة الصحابة); Al-Baghawī (البغوي , d. 1122 CE) dalam Muʿjam al-Ṣaḥābah (معجم الصحابة). Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah (شرح أصول اعتقاد أهل السنة و الجماعة للالكائي) karya Abul Qasim Hibatullah bin Al-Hasan bin Manshur Ar-Razi Ath-Thabari Al-Lalika’i (هبة الله بن الحسن بن منصور الطبري الرازي، أبو القاسم اللالكائي), bab kumpulan keutamaan para Sahabat (بَابُ جِمَاعِ فَضَائِلِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), latar belakang riwayat mengenai pembaiatan Abu Bakr (سِيَاقُ مَا رُوِيَ فِي بَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ وَتَرْتِيبِ الْخِلَافَةِ وَكَيْفِيَّةِ الْبَيْعَةِ). Dirasah Naqdhiyyah fil Marwiyaatil Waridah fi Syakhshiyati ‘Umar (كتاب دراسة نقدية في المرويات الواردة في شخصية عمر بن الخطاب وسياسته الإدارية رضي الله عنه) karya ‘Abdus Salaam bin Muhsin Aalu Isa (عبد السلام بن محسن آل عيسى) (المجلد الأول الباب الأول الفصل الثالث:حياة عمر رضي الله عنة مع النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر الصديق رضي الله عنه المبحث الثاني: حياته مع أبي بكر الصديق رضي الله عنه المطلب الثاني: مواقفه ومشاركاته في خلافة أبي بكر رضي الله عنه) .
[6] Al-Kaamil fit Taarikh karya Ibnu alAtsir (ماخوذاز الکامل فی التاریخ جلد2 صفحہ193 دار الکتب العلمیۃ بیروت 2003ء); as-Sirah al-Halbiyyah (ماخوذ السیرة الحلبیة جلد3 صفحہ506 دار الکتب العلمیۃ بیروت 2002ء)
[7] Tarikhul Khulafaa Al-Rashideen, Muhammad Suhail Taqush, p. 22, 367, Dar Al-Nafa’is, Beirut, 2011 (تاریخ الخلفاء الراشدین صفحہ22،367 دار النفائس بیروت 2011ء). Disebut baiat khusus karena baru terbatas pada sebagian dari tokoh-tokoh Muhajirin dan sebagian Anshar. Hari selanjutnya dilakukanlah bai’at ‘aam (baiat umum).
[8] Tarikhul Umam Wal Muluuk (تاريخ الأمم والملوك) atau Tarikh ar-Rusul wal Muluuk (تاريخ الرسل والملوك) karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (محمد بن جرير الطبري أبو جعفر) jilid 3 h. 266, tahun ke 11 Hijriyah, berita tentang apa yang terjadi di Balairung Banu Sa’idah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar terkait masalah kepemimpinan, penerbit Darul Fikr, Beirut-Lebanon, cetakan tahun 2002 (جلد3 صفحہ 266، سنہ احدی عشرة ذكر الخبر عما جرى بين المهاجرين والأنصار فِي أمر الإمارة فِي سقيفة بني ساعدة، دار الفکر بیروت 2002).
[9] Ijtima Tahunan Majlis Khuddamul Ahmadiyah Markaziyah pada 1956, Anwarul ‘Ulum jilid 25, halaman 402-403 (مجلس خدام الاحمدیہ مرکزیہ کے سالانہ اجتماع 1956ء میں خطابات، انوار العلوم جلد 25 صفحہ 402-403)
[10] Tarikhul Khulafa karya Imam as-Suyuthi (نام کتاب : تاريخ الخلفاء نویسنده : السيوطي، جلال الدين جلد : 1 صفحه : 57); ats-Tsiqaat karya Ibnu Hibban (الثقات – ابن حبان – ج ٢ – الصفحة ١٥٧); al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (البداية والنهاية/الجزء السادس/خلافة أبي بكر الصديق رضي الله عنه وما فيها من الحوادث) atau (البدایۃ والنہایۃ جزء 6 صفحہ 298-299 سنۃ 11 ھ خلافۃ ابی بکر…… دارالکتب العلمیۃ بیروت 2001ء). as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السيرة النبوية – ابن هشام الحميري – ج ٤ – الصفحة ١٠٧٥); Tarikh ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الأمم و الملوك نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 3 صفحه : 210).
[11] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 3 صفحه : 207) karya Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Vol. 3, Hadith al-Saqifah [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2002], 257 (تاریخ الطبری جزء 3 صفحہ 257۔حدیث السقیفۃ ۔ مطبوعہ دار الفکر بیروت2002ء).
[12] Sunan Al-Kubrā karya al-Baihaqi, Kitāb An-Nāfaqāt, Jimā‘u Abwābi Kaffārat al-Qatl, Bāb Man LāYakūnu Siḥruhu Kufran, no. 15203; Al-Mustadrak ‘Alā aṣ–Ṣaḥīḥain (المستدرك على الصحيحين), Kitāb Ma‘rifat aṣ–Ṣaḥābah (كِتَابُ مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ), Abū Bakr ibnu Abī Quḥāfah, riwayat (أَمَّا حَدِيثُ ضَمْرَةَ وَأَبُو طَلْحَةَ); As-Sunnah Li ‘Abdillah ibni Aḥmad ibni Ḥanbal no. 1292; Sirat Amir-il-Momineen ‘Ali bin Abi Talib Shakhsiyyatuh wa Asruh, p. 119, Vol. 2, ‘Ali bin Abi Talib fi Ahd al-Khulafa al-Rashidin … Dar al-Ma‘rifah, Beirut, Lebanon, 2006 (سیرۃ امیر المؤمنین علی بن ابی طالب شخصیتہ و عصرہ از صلابی ص 119۔ دار المعرفۃ بیروت لبنان2006ء); Ibn Kathir, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Dzikr E‘tiraf Saad bin Ubadah bi Sihhat Ma Qalahu al-Siddiq Yaum al-Saqifah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005], 693 (السیرۃ النبویۃ لابن کثیر صفحہ 693 ۔ ذکر اعتراف سعد بن عبادۃ بصحۃ ما قالہ الصدیق یوم السقیفۃ۔ دار الکتب العلمیۃ بیروت 2005ء).
[13] Al-Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir, pasal (فصل في تنفيذ جيش أسامة بن زيد), Dzikr E‘tiraf Saad bin Ubadah bi Sihhat Ma Qalahu al-Siddiq Yaum al-Saqifah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005], 694 (السیرۃ النبویۃ لابن کثیر صفحہ 694، ذکر اعتراف سعد بن عبادۃ بصحۃ ما قالہ الصدیق یوم السقیفۃ۔ دار الکتب العلمیۃ بیروت 2005ء).
[14] Malfuzhat jilid 10, halaman 183, edisi 1984 (ملفوظات جلد10صفحہ183).
[15] Tafsir Kabir jilid 6 halaman 205 (تفسیر کبیر جلد6 صفحہ 205-206)
[16] Pidato Jalsah Salanah 17 Maret 1919, Anwarul ‘Ulum jilid 4 halaman 425 (خطاب جلسہ سالانہ 17 مارچ 1919،انوار العلوم جلد 4صفحہ425)
[17] Haqaiqul Furqaan jilid 1 h. 244 (حقائق الفرقان جلداول صفحہ244)
[18] Shahih al-Bukhari 3682, Kitab keutamaan Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bab keutamaan Umar (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ).
[19] Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah (شرح أصول اعتقاد أهل السنة و الجماعة للالكائي), bab kumpulan keutamaan para Sahabat (بَابُ جِمَاعِ فَضَائِلِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), latar belakang riwayat mengenai pembaiatan Abu Bakr (بيعة أبي بكر وترتيب الخلافة وكيفية البيعة). Buku Syarh Ushul i’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah ialah karya Abul Qasim Hibatullah bin Al-Hasan bin Manshur Ar-Razi Ath-Thabari Al-Lalika’i (هبة الله بن الحسن بن منصور الطبري الرازي، أبو القاسم اللالكائي). Ia berasal dari negeri Thabaristan (Iran Utara dekat laut Kaspia). Muridnya yang terkenal adalah Abu Bakr Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H (1070/1071 M)). Kata Al-Lalika’i tersebut berasal dari bahasa Persia lalak atau lalaka (dari bahasa Arab lawalik) yang berarti sandal atau alas kaki satu ukuran. Tidak pasti apakah dia benar-benar bekerja sebagai pembuat sepatu di masa hidupnya. Karena biografi tentangnya tidaklah terlalu rinci. Sumber biografi yang paling akurat adalah yang ditulis oleh murid langsungnya sendiri yaitu Al-Khatib al-Baghdadi yang juga seorang ahli hadits terkemuka. Selain nama itu, kitab ini dikenal dengan nama-nama berikut ini: 1) As Sunnah, 2) Syarhus Sunnah, 3) Syarah I’tiqad Ahli Sunnah, 4) Ushul As Sunnah, 5) Syarah Hujjaj Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, 6) Hujjaj Ushul I’tiqad ahlis sunnah wal jama’ah, 7) As Sunan. Sementara Al-Lalikai sendiri tidak memberi judul kitab ini selain apa yang ada pada pengantarnya, “Terus menerus berulang kali permintaan ahli ilmu kepada saya untuk menulis ‘Syarh i’tiqad Madzahib Ahli Al Hadits’.” Riwayat mimpi diatas tercantum juga dalam Hadyuth Thariq min Sirati Abi Bakr ash-Shiddiq (هدى الطريق من سيرة أبي بكر الصديق (رضي الله عنه)) karya ‘Ali Sa’d ‘Ali Hijazi (علي سعد علي حجازي ،لواء مهندس); A’lal Maratib min Sirati Amiril Mukminin ‘Aliyy bni Abi Thalib (أعلى المراتب من سيرة أمير المؤمنين علي بن أبي طالب (رضي الله عنه)) karya ‘Ali Sa’d ‘Ali Hijazi (علي سعد علي حجازي ،لواء مهندس); Kanzul ‘Ummal karya Al-Muttaqi al-Hindi (كنز العمال – المتقي الهندي – ج ٥ – الصفحة ٦٣٤) atau (کنز العمال جلد 3 جزء 5 صفحہ 253۔ کتاب الخلافة مع الامارة حدیث 14111۔ دار الکتب العلمیة بیروت 2004ء): (14115 -) عن الحسن عن أبي بكر أنه رأى في المنام كأن عليه حلة حبرة وفي صدره كيتان فقصها على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: حلة حبرة خير لك من ولدك والكيتان: إمارة سنتين أو تلي أمر المسلمين سنتين. (اللالكائي) .
[20] Tarikh ath-Thabari (ماخوذ از تاریخ الطبری جلد دوم صفحہ 354 سنہ13ھ مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ 1987ء)
[21] Ath-Thabaqaat al-Kubra bab dzikr washiyyat Abi Bakr (ذكر وصية أبي بكر): رَحِمَ اللَّهُ أَبَا بَكْرٍ لَقَدْ أَتْعَبَ مَنْ بَعْدَهُ. رَحِمَ الله أبا بكر لقد أتعب من بعده . Tercantum juga dalam karya Muhammad Husain Haikal berjudul Sayyidina Shiddiq Akbar (حضرت سیدنا ابوبکر صدیقؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ 122بک کارنر جہلم).
[22] Tafsir Kabir jilid 8 halaman 468 (تفسیر کبیر جلد 8 صفحہ 468)
[23] Sirrul Khilafah jilid 8 halaman 335 yang pada terbitan terjemahan Urdu pada halaman 49-50 (سرالخلافۃ مترجم صفحہ49-50۔ روحانی خزائن جلد 8 صفحہ335).
[24] Kamus alkitab (قاموس الکتاب صفحہ 1144 زیرلفظ یوْشَعْ). Yasyu’ bin Nun dan Yusya’ bin Nun ialah tokoh yang sama dengan beda pelafalan. Yasyu’ biasanya dilafalkan dalam Kitab-Kitab berbahasa Arab kalangan Kristiani, sedangkan Yusya’ bin Nun (يُوشَعُ بْنُ نُونٍ) dilafalkan dalam Kitab-Kitab ulama Islam dalam bahasa Arab. Yosua (bahasa Ibrani: יְהוֹשֻׁעַ Yehoshuaʿ; bahasa Yunani: Ἰησοῦς Iesous; bahasa Arab: یوشع Yūsyaʿ; bahasa Inggris: Joshua), lengkapnya Yosua bin Nun, adalah tokoh dari suku Efraim bin Yusuf bin Yaqub yang menjadi pemimpin bangsa Israel yang menggantikan Musa dan yang membawa bangsa Israel masuk serta merebut tanah Kanaan, menurut catatan Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud (as) dalam penulisan kutipan diatas mengikuti pelafalan Kitab Perjanjian Lama Kristiani berbahasa Arab yaitu Yasyu’. Sedangkan Kitab-Kitab Yahudi berdasarkan pelafalan Ibrani melafalkannya Yehoshua.
[25] Yosua: pasal ke-1, ayat [1] Sesudah Musa hamba TUHAN itu mati, berfirmanlah TUHAN kepada Yosua bin Nun, abdi Musa itu, demikian: [2] “Hamba-Ku Musa telah mati; sebab itu bersiaplah sekarang, seberangilah sungai Yordan ini, engkau dan seluruh bangsa ini, menuju negeri yang akan Kuberikan kepada mereka, kepada orang Israel itu.
[26] Yosua: pasal ke-1, ayat [6] Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkaulah yang akan memimpin bangsa ini memiliki negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka untuk diberikan kepada mereka. [7] Hanya, kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati sesuai dengan seluruh hukum yang telah diperintahkan kepadamu oleh hamba-Ku Musa; janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, supaya engkau beruntung, ke manapun engkau pergi.
[27] Yosua: pasal ke-1, ayat [5]: “Seorangpun tidak akan dapat bertahan menghadapi engkau seumur hidupmu; seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.”
[28] Tuhfah Golerwiyah, Ruhani Khazain jilid 17 halaman 183-189 (تحفۂ گولڑویہ ،روحانی خزائن جلد 17صفحہ 183تا 189).
[29] Malfuzhaat jilid awal halaman 9 (ماخوذ از ملفوظات جلد اول صفحہ 9)
[30] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab) dan Majalah Al-Fazl (https://www.alfazl.com/2022/03/19/42638/).