Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 173, Khulafa’ur Rasyidin Seri 04, Hadhrat ‘Abdullah Abu Bakr ibnu ‘Utsman Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Seri 39)
- Riwayat-riwayat Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kitab-kitab sejarah mengenai manaqib (keistimewaan) Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
- Kesempurnaan kecintaan, kesetiaan dan ketulusan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Úmar (ra) kepada junjungan dan majikan beliau-beliau, yaitu Hadhrat Muhammad RasuluLlah (saw).
- Hadhrat Abu Bakr (ra) dan kerendahan hati beliau yang disayangi oleh RasuluLlah (saw); dukungan Hadhrat Abu Bakr (ra) terhadap RasuluLlah (saw) dan Islam
- Pandangan-pandangan sejarawan Barat mengenai Hadhrat Abu Bakr (ra): Andre Servier, sejarawan Prancis-Aljazair; John Joseph Saunders, sejarawan Inggris; Herbert George Wells atau H.G. Wells, seorang penulis Inggris; Sir Thomas Walker Arnold, CIE, seorang orientalis dan sejarawan seni rupa Islam asal Inggris yang banyak berkarya di India dan Sir William Muir KCSI yang juga banyak berkarya di India saat penjajahan Inggris.
- Koreksi Hadhrat Khalifatul Masih al-Khaamis (atba) atas pendapat-pendapat salah H.G. Wells. Kehormatan dan Kehormatan diraih melalui pengorbanan dan kerendahan hati.
- Kesucian dan keberkahan fitrati Hadhrat Abu Bakr (ra)
- Penjelasan Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad radhiyAllahu ta’ala ‘anhu yang merupakan Mushlih Mau’ud dan Khalifatul Masih II, mengenai Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra).
- “Dengan mengikuti Muhammad Rasulullah (saw), Abu Bakr (ra) telah mendapatkan derajat sedemikian rupa hingga dunia kini menyebut beliau dengan penuh adab dan hormat.”
- “Karena pengorbanan Hadhrat Abu Bakr (ra) kepada Islam dan agama… saat ini tidak ada satu pun pemimpin-pemimpin dunia yang sedemikian rupa meraih kehormatan seperti yang telah diraih oleh Hadhrat Abu Bakr (ra)”
- Pandangan Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengenai manaqib (keistimewaan) Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam dalam menjelaskan sifat-sifat mulia Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam Malfuuzhaat dan dalam karya tulis beliau berbahasa Arab, Sirrul Khilaafah (Rahasia Khilafat).
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 02 Desember 2022 (02 Fatah 1401 Hijriyah Syamsiyah/08 Jumadil Awwal tahun ke-1444 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]
(آمين)
Keutamaan dan sifat-sifat terpuji Hadhrat Abu Bakr (ra) tengah dijelaskan. Dalam rangkaian ini, tertulis mengenai diri beliau sebagai orang yang terbaik dan paling dicintai. Diriwayatkan dari Hadhrat Ibnu Umar (ra), كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ “Pada masa Rasulullah (saw), kami biasa menyatakan seseorang dari antara kami lebih baik dari yang lainnya…” Maksudnya, dilakukan perbandingan mengenai siapa yang lebih baik dari yang lainnya. “…dan pada saat itu kami beranggapan Hadhrat Abu Bakr (ra) yang terbaik dari semuanya, kemudian Hadhrat Umar bin Khattab, kemudian Hadhrat Usman bin ‘Affan radhiyAllaahu ‘anhum.”[1]
Hadhrat Jabir bin Abdullah (ra) meriwayatkan, : قَالَ عُمَرُ لِأَبِي بَكْرٍ : يَا خَيْرَ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : أَمَا إِنَّكَ إِنْ قُلْتَ ذَاكَ فَلَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ” مَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ عَلَى رَجُلٍ خَيْرٍ مِنْ عُمَرَ “Hadhrat Umar (ra) mengatakan kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), ‘Wahai orang yang terbaik setelah Rasulullah (saw)!’” Maksudnya, Hadhrat Umar (ra) memuji Hadhrat Abu Bakr (ra). “Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, ‘Jika engkau mengatakan seperti itu, maka telah saya dengar Rasulullah (saw) bersabda, “Matahari tidak terbit atas seseorang yang lebih baik dari Umar (ra).”’”[2] Artinya, beliau (ra) segera memperlihatkan kerendahan hati beliau, “Engkau mengatakan bahwa aku yang terbaik, padahal aku pun telah mendengar dari Rasulullah (saw) mengenai diri engkau bahwa engkaulah yang terbaik.”
Abdullah bin Syaqiq (عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ) meriwayatkan, قُلْتُ لِعَائِشَةَ أَىُّ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ قَالَتْ أَبُو بَكْرٍ . قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَتْ عُمَرُ . قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَتْ ثُمَّ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ . قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ فَسَكَتَتْ “Saya bertanya kepada Hadhrat Aisyah (ra), ‘Siapakah di antara para sahabat Rasulullah (saw) yang paling beliau (saw) cintai?’
Hadhrat Aisyah (ra) berkata, ‘Hadhrat Abu Bakr (ra).’
Saya mengatakan, ‘Lalu siapa.’
Beliau menjawab, ‘Hadhrat Umar (ra).’
Saya mengatakan, ‘Lalu siapa?’
‘Selanjutnya adalah Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarah (ra).’”
Perawi menuturkan, “Saya lalu bertanya, ‘Selanjutnya siapa?’ Lalu Hadhrat Aisyah (ra) terdiam.”[3]
Muhammad bin Sirin meriwayatkan, مَا أَظُنُّ رَجُلاً يَنْتَقِصُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يُحِبُّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم “Saya tidak berpikir ada seseorang yang menceritakan kelemahan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Umar (ra), yakni mencari-cari kesalahan mereka, dan di sisi lain ia memiliki kecintaan kepada Hadhrat Rasulullah (saw)”.[4] yakni, bersamaan dengan itu, ia mengklaim bahwa ia mencintai Rasulullah (saw). Setelah mencari-cari kesalahan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Umar (ra), adalah salah untuk mengklaim bahwa mereka juga mencintai Hadhrat Rasulullah (saw), karena keduanya sangat disayangi oleh Hadhrat Rasulullah (saw).
Diriwayatkan dari Hadhrat ‘Aidz bin Amru (عَائِذِ بْنِ عَمْرٍو), أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ، أَتَى عَلَى سَلْمَانَ وَصُهَيْبٍ وَبِلاَلٍ فِي نَفَرٍ فَقَالُوا وَاللَّهِ مَا أَخَذَتْ سُيُوفُ اللَّهِ مِنْ عُنُقِ عَدُوِّ اللَّهِ مَأْخَذَهَا . قَالَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَتَقُولُونَ هَذَا لِشَيْخِ قُرَيْشٍ وَسَيِّدِهِمْ فَأَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ ” يَا أَبَا بَكْرٍ لَعَلَّكَ أَغْضَبْتَهُمْ لَئِنْ كُنْتَ أَغْضَبْتَهُمْ لَقَدْ أَغْضَبْتَ رَبَّكَ ” . فَأَتَاهُمْ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ يَا إِخْوَتَاهْ أَغْضَبْتُكُمْ قَالُوا لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ يَا أُخَىَّ “Abu Sufyan datang kepada Hadhrat Salman (ra), Hadhrat Shuhaib (ra) dan Hadhrat Bilal (ra) yang tengah duduk di antara orang-orang. Atas hal itu, mereka mengatakan, ‘Demi Allah! Pedang-pedang Allah belum menyelesaikan perhitungannya dengan leher musuh.’” Yakni pembalasan belum dilakukan dengan benar sebagaimana mestinya.
Perawi menuturkan, “Mendengar hal ini Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, ‘Apakah kalian berkata seperti itu berkenaan dengan para pemimpin besar Quraish? Abu Sufyan juga termasuk para pemimpin Quraisy. Kalian mengatakan bahwa kita belum melakukan pembalasan kepadanya.’
Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) datang ke hadapan Hadhrat Rasulullah (saw) dan menyampaikan hal ini kepada beliau (saw), beliau (saw) bersabda, ‘Wahai Abu Bakr (ra)? Mungkin engkau telah marah kepada mereka’, yakni, kepada Hadhrat Salman (ra), Hadhrat Shuhaib (ra) dan Hadhrat Bilal (ra). ‘Jika engkau marah kepada mereka, pahamilah, engkau telah marah kepada Rabb (Tuhan) engkau.’
Atas hal itu, Hadhrat Abu Bakr (ra) datang kepada mereka bertiga dan berkata, ‘Saudaraku tercinta! Apakah aku telah marah kepada kalian?’
Beliau mengatakan ini dengan nada penuh penyesalan.
Mereka mengatakan, ‘Tidak! Tidak seperti itu, wahai saudara kami! Semoga Allah mengampuni Anda.’”[5]
Singkatnya, peristiwa ini membuktikan betapa rendah hatinya Hadhrat Abu Bakr (ra). Mereka adalah orang-orang yang telah beliau bebaskan dari perbudakan yang meskipun demikian, beliau datang kepada mereka dan meminta maaf kepada mereka.
Kemudian bagaimana standar ketaatan beliau kepada Hadhrat Rasulullah (saw). Beliau (saw) bersabda, “Engkau telah marah”, bukan bersabda, “Pergilah dan minta maaf!”. Namun Hadhrat Abu Bakr (ra) segera pergi dan meminta maaf kepada mereka.
Seraya menceritakan peristiwa ini, tertulis dalam syarh bahwa peristiwa ini terjadi setelah kesepakatan gencatan senjata pada kesempatan perjanjian Hudaibiyah, ketika Abu Sufyan belum masuk Islam. Saat itu kaum Muslimin merasa, “Mengapa kita tidak membunuhnya lebih awal.”[6]
Berkenaan dengan hapalan Al-Qur’an, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) (as) juga bersabda mengenai sejarah, “Hadhrat Abu Ubaidah (ra) menuturkan bahwa dari kalangan Muhajirin, para sahabat Rasulullah (saw) berikut terbukti dalam hapalan mereka atas Al-Qur’an: Abu Bakr (ra), Umar (ra), Utsman (ra), Ali (ra), Thalhah (ra), Sa’d (ra), Ibnu Mas’ud (ra), Hudzaifah (ra), Salim (ra), Abu Hurairah (ra), Abdullah bin Saib (ra), Abdullah bin Umar (ra), Abdullah bin ‘Abbas (ra) dan dari kalangan kaum wanita antara lain Hadhrat Aisyah (ra), Hadhrat Hafshah (ra) dan Hadhrat Ummu Salamah (ra). Sebagian besar dari mereka menghafalkan Al-Quran di masa kehidupan Rasulullah (saw) dan sebagian lagi menghapalnya setelah kewafatan beliau (saw).”
Berkenaan dengan kedudukan beliau sebagai Tsaaniyatsnaini (yang kedua dari dua orang),terdapat riwayat dari beliau sendiri sebagai berikut: عَنْ أَنَسٍ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا فِي الْغَارِ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ نَظَرَ تَحْتَ قَدَمَيْهِ لأَبْصَرَنَا. فَقَالَ ” مَا ظَنُّكَ يَا أَبَا بَكْرٍ بِاثْنَيْنِ اللَّهُ ثَالِثُهُمَا ” “Hadhrat Anas (ra) meriwayatkan dari Hadhrat Abu Bakr (ra) yang menuturkan, ‘Saya berkata kepada Nabi (saw) dan saat itu saya berada di Gua Hira.’ Artinya, ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) bersama Hadhrat Rasulullah (saw) di Gua Hira, beliau (ra) berkata, ‘Jika salah seorang dari mereka melihat ke arah bawah kaki mereka, yakni orang-orang kafir yang berada di luar, jika mereka melihat ke bawah, pasti akan melihat kita.’
Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, “Abu Bakr (ra)! Apa pendapatmu mengenai dua orang yang bersama mereka ada Allah sebagai yang ketiga.” Ini adalah riwayat Bukhari.[7]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “ومن حسنات الصدّيق ومزاياه الخاصة أنه خُصّ لمرافقة سفر الهجرة، وجُعل شريك مضائق خير البرية وأنيسه الخاص في باكورة المصيبة، ليثبت تخصّصه بمحبوب الحضرة. وسرُّ ذلك أنّ الله كان يعلم بأن الصدّيق أشجع الصحابة ومن التقاة وأحبّهم إلى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ومن الكُماة، وكان فانيا في حُبّ سيّد الكائنات، وكان اعتاد من القديم أن يمونه ويراعي شؤونه، فأسلى به الله نبيَّه في وقتٍ عبوس وعيش بوسٍ، وخُصّ باسم الصدّيق وقربِ نبي الثقلَين، وأفاض الله عليه خلعة {ثَانِيَ اثْنَيْنِ}، وجعله من المخصوصين” “Salah satu yang istimewa di antara kebajikan dan keutamaan Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah, beliau telah dipilih secara khusus untuk menemani selama perjalanan hijrah dan dijadikan teman bagi Khairul bariyyah (seorang yang terbaik di antara makhluk). – artinya, beliau (ra) ikut serta dalam kesulitan yang dialami oleh Hadhrat Rasulullah (saw) – dan beliau (ra) telah dijadikan sebagai sahabat istimewa Hadhrat Rasulullah (saw) sejak awal kesulitan. – artinya, beliau telah dijadikan sebagai kawan istimewa – sehingga hubungan istimewa beliau (ra) dengan Sang Kekasih Tuhan telah terbukti. Dan rahasia di dalamnya adalah, Allah Ta’ala mengetahui dengan baik bahwa ash-Shiddiiq Akbar adalah sahabat paling berani dan muttaqi, serta yang paling dicintai Hadhrat Rasulullah (saw) dan paling berani dalam peperangan. Dan beliau fana dalam kecintaan kepada Sang Raja alam semesta (saw). Beliau, yakni Hadhrat Abu Bakr (ra) sejak awal memberikan bantuan harta kepada Hadhrat Rasulullah (saw) dan memperhatikan urusan-urusan penting beliau (saw). Jadi, Allah Ta’ala memberikan ketentraman kepada Nabi-Nya (saw) di masa-masa penderitaan dan kesulitan melalui beliau (ra), serta memberikan keistimewaan dengan nama Ash-Shiddiiq dan dengan kedekatan Nabi (saw) di dunia dan akhirat (tsaqalain), dan menganugerahkan kepada beliau pakaian kebanggaan tsaaniyatsnaini dan menjadikan beliau sebagai salah seorang hamba-Nya yang teristimewa.”[8]
Para penulis non-Muslim juga memberikan penghormatan kepada Hadhrat Abu Bakr (ra). Seorang sejarawan Aljazair abad ke-20, André Servier, menulis tentang Hadhrat Abu Bakr (ra) bahwa, “Abu Bakr (ra) berpembawaan sederhana. Meskipun meraih kenaikan posisi yang tak terduga, beliau tetap menjalani kehidupan yang sederhana. Ketika beliau wafat, beliau meninggalkan sebuah pakaian yang lusuh, seorang budak dan seekor unta sebagai warisan. Beliau adalah penguasa sejati atas hati para penduduk Madinah. Dalam dirinya terdapat satu keistimewaan yang sangat besar, dan itu adalah kekuatan dan kemampuan.” Dia menulis, “Keistimewaan yang dengan perantaraannya Muhammad (saw) meraih keunggulan dan kesuksesan di antara para musuhnya, keistimewaan tersebut didapati dalam diri Abu Bakr (ra). Apa keistimewaan tersebut? Yaitu iman yang tak tergoyahkan dan keyakinan yang kuat dan Abu Bakr (ra) adalah orang yang tepat di posisi yang tepat.” Kemudian ia menulis, “Seorang yang berusia lanjut dan berbudi luhur ini telah memangku jabatannya pada saat terjadi pemberontakan di mana-mana. Beliau memulai kembali pekerjaan Hadhrat Muhammad (saw) dengan tekadnya yang setia dan tidak tergoyahkan.”[9]
Kemudian, ada sejarawan Inggris bernama J.J. Saunders menulis, “Kenangan tentang Khalifah pertama selalu hidup di kalangan Umat Islam sebagai sosok yang memiliki kesetiaan dan kebaikan sempurna dan tidak ada badai hebat yang dapat menggoyahkan kesabarannya yang teguh. Meski masa pemerintahannya singkat, namun prestasi yang dicapai selama masa itu begitu luar biasa. Keteguhan dan ketabahan hati beliau telah mengatasi kemurtadan dan membawa bangsa Arab kembali ke pangkuan Islam, dan tekadnya untuk menaklukkan Syam telah meletakkan pondasi bagi kerajaan dunia Arab.”[10]
Kemudian penulis Inggris lainnya, H. G. Wells, menuturkan bahwa, “Pendiri sebenarnya dari kerajaan Islam lebih dari Muhammad (saw) adalah Abu Bakr (ra) yang merupakan sahabat dan penolongnya.” Memang ini berlebihan. Bagaimanapun, selanjutnya dia menulis, “Jika Muhammad (saw), meskipun dengan karakternya yang goyah atau lemah (Na’udzubillah), merupakan otak dan konsepsi awal dari Islam maka Abu Bakr (ra) adalah daya pemikiran dan kebulatan tekad dari Islam. Setiap kali Muhammad (saw) goyah, Abu Bakr (ra) menjadi pemberi semangat baginya.” Bagaimanapun, semua ini adalah perkataannya yang sia-sia dan tidak masuk akal, yang mana tidak ada kebenaran di dalamnya.
Namun selanjutnya dia menulis fakta yang benar. Dia menulis, “Ketika Muhammad (saw) wafat, Abu Bakr (ra) menjadi Khalifah dan penerusnya, dengan keimanannya yang dapat mengguncang gunung, kesederhanaannya dan kebijaksanaannya yang luar biasa, dengan pasukan kecil yang terdiri dari tiga atau empat ribu orang Arab, mereka memulai pekerjaan untuk menjadikan seluruh dunia mematuhi Allah Ta’ala.”[11]
Bagaimanapun, sebagaimana yang saya katakan, penulis telah menyebutkan beberapa mutu pribadi Hadhrat Abu Bakr (ra) yang tidak diragukan lagi terdapat dalam diri beliau, tetapi karena orang-orang ini tidak memiliki pemahaman dan wawasan mengenai hakikat ketinggian maqom (kedudukan) kenabian Hadhrat Rasulullah (saw) sehingga dalam memuji Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat Umar (ra) dan lain-lain, mereka sedemikian rupa melebih-lebihkan sehingga sama sekali tidak mungkin benar. Padahal Hadhrat Umar (ra) atau Hadhrat Abu Bakr (ra), semuanya adalah orang-orang yang setia, pengikut dan pecinta yang sempurna dari junjungan mereka, Hadhrat Muhammad Rasulullah (saw). Mereka [para Sahabat Nabi] bukanlah daya pemikiran Rasulullah (saw), melainkan kaki dan tangan Hadhrat Rasulullah (saw) dalam corak penghambaan.
Demikian pula, Islam bukan nama atau karya pikiran Hadhrat Rasulullah (saw) – seperti yang ia (H. G. Wells) tulis bahwa otak dari Islam adalah Hadhrat Rasulullah (saw) – melainkan syariat sempurna dan lengkap sebagai hasil petunjuk Ilahi dan wahyu Ilahi dan nama agamanya adalah Islam. Hadhrat Abu Bakr (ra) juga tidak menjadi pemberi motivasi Hadhrat Rasulullah (saw) pada saat terjadi ketakutan atau keragu-raguan dan bahkan jika datang kesempatan yang menimbulkan kekhawatiran, maka Allah Yang Maha Kuasa menjadi pengobar semangat mereka.
Penulis telah menulis bahwa Abu Bakr (ra) biasa menjadi penyemangat beliau (saw), sedangkan faktanya adalah sebaliknya, kita telah melihat bahwa jika datang masa kekhawatiran dan ketakutan dalam kehidupan Hadhrat Abu Bakr (ra) maka Hadhrat Rasulullah (saw) menjadi pemberi semangat untuk beliau (ra), sebagaimana pada kesempatan hijrah ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) sangat gelisah dan cemas. Tentu saja, kecemasan ini semata-mata karena kecintaan kepada Hadhrat Rasulullah (saw), namun pada saat kecemasan ini, Hadhrat Rasulullah (saw) menjadi pemberi semangat untuk Hadhrat Abu Bakr (ra), ketika beliau (saw) mengatakan kepada Hadhrat Abu Bakr (ra): لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا artinya, “Wahai Abu Bakr (ra)! Janganlah cemas. Allah bersama kita”, dan sebagaimana baru saja dijelaskan sebelumnya bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) sendiri yang mengisahkan ketika muncul kecemasan ini, maka Hadhrat Rasulullah (saw) lah yang menenangkan. Alhasil, peristiwa ini adalah dalil yang terang atas kebulatan tekad, ketawakalan dan status beliau (saw) sebagai Nabi istimewa Allah Ta’ala. Namun, bagaimanapun, jika orang-orang yang buta akal ini dipaksa untuk menyampaikan fakta yang sebenarnya, maka mereka akan berusaha untuk sedikit banyak mencampuradukkan kekotoran di dalamnya.
Kemudian orientalis lainnya adalah T. W. Arnold. Dia mengatakan, “Abu Bakr (ra) adalah seorang saudagar kaya, berbudi pekerti luhur dan sangat dihormati oleh bangsanya karena kecerdasan dan kemampuannya. Setelah masuk Islam, beliau menghabiskan kekayaannya untuk membeli budak-budak Muslim yang disiksa oleh para majikannya yang kafir karena beriman pada ajaran-ajaran Muhammad (saw).”[12]
Kemudian ada Sir William Muir, seorang Orientalis Skotlandia dan Letnan Gubernur Provinsi Barat Laut di British India (India jaman penjajahan Inggris). Ia menulis: “Masa pemerintahan Hadhrat Abu Bakr (ra) singkat, tetapi setelah Muhammad (saw), tidak ada orang lain yang mengabdi kepada agama Islam lebih dari Abu Bakr (ra).”[13]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan berkenaan dengan akhlak hasanah Hadhrat Abu Bakr (ra), “Tidakkah hal ini benar bahwa raja-raja yang sangat kuat mengucapkan radhiyallahu ‘anhu – semoga Allah meridhai beliau – setelah menyebut nama Abu Bakr (ra), Umar, bahkan Abu Hurairah, dan berharap agar memiliki kesempatan untuk mengkhidmati mereka. Lalu siapa yang bisa mengatakan bahwa Abu Bakr (ra), Umar dan Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhum menderita kerugian dengan hidup dalam kesederhanaan. Memang mereka menerima suatu kematian atas diri mereka dari sisi duniawi, namun kematian itu terbukti menjadi kehidupan mereka dan sekarang tidak ada kekuatan yang dapat membunuh mereka. Mereka akan selalu hidup hingga kiamat.”
Kemudian beliau bersabda, “Abu Bakr (ra) tidak diangkat menjadi Abu Bakr (ra) oleh Allah Ta’ala hanya karena kebetulan ia lahir pada masa Rasulullah (saw). Umar (ra) tidak diberi status Umar karena beliau lahir secara kebetulan pada masa Nabi (saw). Utsman (ra) dan Ali (ra) tidak dianugerahi status sebagai Utsman (ra) dan Ali (ra) hanya karena kebetulan mereka adalah menantu Rasulullah (saw). Atau Thalhah (ra) dan Zubair (ra) tidak diberikan kehormatan dan kedudukan hanya karena mereka berasal dari keluarga Nabi (saw) atau berasal dari bangsa beliau (saw) dan lahir di masa beliau (saw). Sebaliknya, mereka ini adalah yang telah meningkatkan pengorbanan mereka ke tingkat sangat tinggi yang bahkan tidak dapat dibayangkan oleh siapa pun. Jadi, pengorbananlah yang memberikan kedudukan pada seseorang. Jadi, pengorbanan-pengorbanan merekalah yang telah memberi mereka derajat diantara manusia.”
Kemudian di satu tempat Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Betapa tinggi penghormatan yang ada di dalam hati kita kepada Hadhrat Abu Bakr (ra). Namun apakah ada yang dapat berkata bahwa penghormatan ini didapat karena keturunan-keturunannya. Banyak di antara kita yang bahkan tidak mengetahui sampai manakah keturunan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan rincian keturunan beliau tidaklah sedemikian terjaga. Saat ini banyak orang yang menyatakan dirinya sebagai keturunan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan menyebut dirinya sebagai ash-Shiddiqi [keturunan Hadhrat Abu Bakr (ra)]. Tetapi apabila ada yang meminta mereka untuk bersumpah bahwa mereka memang ash-Shiddiqi dan garis keturunannya sampai pada Hadhrat Abu Bakr (ra), mereka sama sekali tidak akan sanggup bersumpah. Seandainya mereka tetap bersumpah, kami akan berkata bahwa mereka ini tengah berdusta dan tidak beriman. Sebabnya, rincian keturunan Hadhrat Abu Bakr (ra) pun tidak sedemikian terjaga, sehingga saat ini ada yang dapat dengan benar menyatakan dirinya berasal keturunan dari beliau. Alhasil, kita bukan menghormati Hadhrat Abu Bakr (ra) karena jasa dari keturunannya yang luar biasa. Kita bukan menghormati Hadhrat Umar karena jasa dari keturunannya adalah sangat tinggi. Kita bukan menghormati Hadhrat Utsman karena keturunan beliau telah melakukan pekerjaan menonjol dan kita bukan mengingat Hadhrat Ali karena keturunan beliau memiliki kelebihan-kelebihan khusus yaitu keturunan Hadhrat Ali pun terus berjalan hingga sekarang. Orang-orang tidak menghormatinya karena keturunan beliau yang masih tegak hingga sekarang. Kemudian sahabat-sahabat lain pun, tidak ada seorang pun diantara mereka dimana kini diingat karena keturunannya. Jadi hakikatnya adalah, kita mengingat dan menghormati mereka dikarenakan pengorbanan-pengorbanan mereka yang besar.”
Kemudian Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda: “Perhatikanlah Hadhrat Abu Bakr (ra). beliau dahulu hanyalah saudagar biasa di Mekkah. Seandainya Muhammad Rasulullah (saw) tidak diutus sebagai Nabi maka para penulis sejarah Mekkah hanya sekedar menyebutkan Abu Bakr (ra) sebagai seorang tokoh Arab yang mulia dan saudagar yang jujur. Namun, dengan mengikuti Muhammad Rasulullah (saw), Abu Bakr (ra) telah mendapatkan derajat sedemikian rupa hingga dunia kini menyebut beliau dengan penuh adab dan hormat.
Tatkala Rasulullah (saw) wafat, segenap Muslim menjadikan Hadhrat Abu Bakr (ra) sebagai Khalifah dan Raja mereka dan kabar ini pun tiba di Mekkah. Di satu kumpulan yang ramai, saat itu pun duduk ayahanda Hadhrat Abu Bakr (ra), yakni Abu Quhafah. Tatkala beliau mendengar orang-orang telah berbaiat di tangan Abu Bakr (ra), saat itu beliau sama sekali tidak mempercayainya dan bertanya langsung kepada yang menyampaikan, ‘Abu Bakr (ra) manakah yang Anda maksud?’
Orang itu menjawab, ‘Abu Bakr (ra) putra Anda.’[14]
Ia lalu menyebut satu per satu nama kabilah Arab seraya bertanya, ‘Apakah mereka pun telah baiat kepada Abu Bakr (ra)?’
Tatkala orang itu menjawab bahwa semuanya secara sepakat telah memilih Abu Bakr (ra) sebagai Khalifah dan Raja mereka, Abu Quhafah dengan serta merta berkata, “أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله” yang artinya ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada sembahan selain Allah Ta’ala dan saya bersaksi bahwa Muhammad benar-benar hamba-Nya dan Rasul-Nya.’”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda: “Hadhrat Abu Quhafah – ayah Hadhrat Abu Bakr (ra) – saat itu terlambat masuk Islam (beliau menjadi Muslim setelah Fatah Mekkah atau sebelumnya), namun baiat yang telah beliau lakukan kepada Hadhrat Rasulullah (saw). Alasan beliau membacakan kalimat syahadat dan kembali mengikrarkan kerasulan Rasulullah (saw) untuk kedua kalinya adalah karena ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) menjadi Khalifah maka mata beliau pun menjadi terbuka dan beliau memahaminya sebagai satu bukti yang agung kebenaran Islam. Jika tidak, ‘Apalah kedudukan dari putraku sehingga seluruh Arab bersatu di tangannya.’”
Kemudian, di satu tempat Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Perhatikanlah Hadhrat Abu Bakr (ra). Ketika beliau menerima Islam, saat itu orang-orang mulai berkata, ‘Dia sebelumnya termasuk pemimpin Mekkah, namun kini menjadi terhina.’ Sebelumnya, berapakah banyak orang yang menghormati beliau? Jumlahnya mungkin tidak lebih dari 200 atau 300 orang saja. Namun dengan berkat Islam, Allah Ta’ala menganugerahi beliau dengan karunia khilafat dan kerajaan. Dia juga telah menjadikan beliau sebagai pemilik kehormatan abadi dan kemasyhuran lestari di seluruh dunia. Apakah ada bandingannya antara pemimpin kabilah dengan kedudukan Khalifah segenap Muslim dan raja seluruh Arab yang bahkan telah berhadapan dengan kerajaan Romawi dan Persia, dan telah menggoyahkan mereka?”
Kemudian di tempat lain beliau bersabda, “Lihatlah, kepemimpinan tidak hanya jatuh di kaki Yang Mulia Rasulullah ((saw)), tetapi juga di kaki para pengkhidmat beliau. Rasulullah (saw) saat itu tidaklah berharap akan hal ini, (yaitu saat sebelum beliau mendapat pemerintahan, dan juga saat beliau (saw) telah menjadi pemimpin). Demikian pula, Hadhrat Abu Bakr (ra) pun tidak pernah berharap suatu kepemimpinan, dan tidak pula Hadhrat Umar (ra) mengharapkan kepemimpinan. Tidaklah Hadhrat Usman (ra) mengharapkan suatu kepemimpinan, dan tidaklah Hadhrat Ali (ra) mengharapkan suatu kepemimpinan. Bahkan, tanda-tanda kepemimpinan sama sekali tidak tampak dalam diri mereka, padahal mereka telah menjadi raja yang sedemikian luar biasa yang tidak ada bandingannya dalam sejarah. Budi pekerti mereka sangatlah sederhana; pertemuan dengan mereka sangatlah sederhana; gaya hidup mereka sedemikian rupa sehingga tidak diketahui sungguh mereka adalah Raja. Tidak ada satu pun dari mereka yang pernah menyatakan, ‘Ini adalah pemerintahan saya dan saya adalah Rajanya.’ Tidak ada seorangpun diantara mereka yang pernah cenderung untuk menyatakan ini adalah kerajaan mereka, dan keinginan ini tidaklah pernah tercetus dalam diri mereka. Pada hakikatnya, siapa saja yang telah menjadi milik Allah Ta’ala, dunia dengan sendirinya jatuh di bawah telapak kaki mereka. Orang-orang [dunia] berpikir bahwa mereka akan terbantu dengan perantaraan kerajaan-kerajaan. Tetapi mereka yang telah menjadi milik Allah Ta’ala, justru kerajaanlah yang menjadi terhormat karena menjadi hamba sahaya mereka.”
Kemudian di satu tempat beliau bersabda: “Lihatlah, Abu Bakr (ra) telah menjadi Raja, tetapi ayahandanya sebelumnya beranggapan bahwa beliau tidaklah mungkin menjadi raja. Hal ini adalah karena beliau telah mendapat kerajaan dari Allah Ta’ala.
Sebagai perbandingan, Timur pun dahulu adalah seorang Raja besar, tetapi ia menjadi raja karena upaya-upaya duniawinya. Napoleon pun adalah raja yang besar, tetapi ia menjadi raja karena usaha-usaha duniawinya. Nadir Syah pun adalah raja yang besar, tetapi ia pun mendapatkan kerajaan itu atas upaya-upaya dan kerja keras duniawinya. Pendek kata, siapa pun itu yang telah mendapatkan kerajaan; tetapi kita akan sampaikan bahwa Timur mendapat kerajaan dari orang-orang, namun Abu Bakr (ra) mendapat kerajaan dari Allah Ta’ala.
Kita akan sampaikan bahwa Napoleon mendapatkan kerajaan karena upaya-upaya duniawinya, tetapi Hadhrat Umar meraih kerajaan dari Allah Ta’ala. Kita akan katakan bahwa Jengkhis Khan mendapatkan kerajaan karena sarana-sarana duniawi, namun Hadhrat Usman meraih kerajaan dari Allah Ta’ala. Kita akan sampaikan bahwa Nadir Syah menjadi raja karena upaya-upaya duniawinya, tetapi Hadhrat Ali meraih kerajaan dari Allah Ta’ala.
Alhasil, semua mendapatkan kerajaannya; raja-raja duniawi, mereka memiliki wibawa dan kekuasaan, demikian juga halnya dengan para khalifah. Meskipun kekuasaan mereka tampak lebih besar dari Abu Bakr (ra), Umar, Usman, dan Ali, namun mereka berempat telah diangkat sebagai raja oleh Allah Ta’ala sendiri, sementara yang lain diangkat menjadi raja oleh manusia (yaitu raja duniawi).
Jadi, tatkala Rasulullah (saw) bersabda, “Siapa saja yang tidak membaca bismillah sebelum pekerjaan pentingnya…”. di sini, beliau tengah menjelaskan tentang keberkatan basmalah. Jadi, maksud tidak mendapatkan berkat dalam hal ini bukan berarti ia akan gagal dalam tujuannya, tetapi maksudnya ia tidak akan dapat meraih tujuannya dari Allah Ta’ala. Suatu kepemimpinan yang berasal dari Allah Ta’ala, telah diraih oleh Hadhrat Abu Bakr (ra), Umar, Usman, dan Ali.
Selain mereka, tidak ada lagi yang mendapatkannya. Kerajaan yang mereka dapatkan adalah mereka terima dari setan atau manusia. Stalin dan Malinkov, mereka tidak membaca basmalah, tetapi mereka memiliki kerajaan. Roosevelt, Truman, dan Eisenhower pun tidak membaca basmalah, tetapi mereka mendapat kerajaan. Mereka sama sekali tidaklah mengetahui basmalah, dan tidaklah ada nilai basmalah dalam hati mereka.
Jadi, tatkala Rasulullah (saw) bersabda bahwa siapa saja yang tidak membaca basmalah maka ia tidak akan mendapat berkat, maksudnya adalah ia tidak akan mendapatkan apapun dari Allah Ta’ala. Yang akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Ta’ala adalah mereka yang membaca basmalah di setiap sebelum pekerjaan pentingnya. Kini setiap orang dapat memahami hal apakah yang lebih beberkat, apakah sesuatu yang didapat dari Allah Ta’ala ataukah sesuatu yang didapat dari manusia? Kerajaan yang diterima dari hasil upaya manusia dapat berakhir, tetapi kerajaan yang diterima dari Allah Ta’ala tidak akan dapat berakhir.
Seandainya saja kaum Muslimin pun memahami hal ini. Mereka memang membaca basmalah, tetapi tampaknya mereka hanya sekedar menggerakkan mulut mereka saja, bukan dengan hati mereka.”
Lalu beliau (ra) menulis, “Yazid pun dahulu adalah raja. Betapa sombongnya ia. Betapa dengan bangga ia menyatakan bahwa dirinya telah menghancurkan keluarga Rasulullah (saw), padahal secara lahiriah ia mengatakan dirinya Muslim.[15] Ia telah membunuh keturunan beliau (saw), dan telah menyombongkan diri. Ia hidup dengan membusungkan dada. Ia menganggap bahwa tidak ada yang berani berkata apapun di depannya.
Hadhrat Abu Bakr (ra) pun adalah sosok Raja, tetapi di dalam diri beliau terdapat sikap merendah. Beliau bersabda, ‘Allah Ta’ala telah menunjuk saya untuk mengkhidmati umat manusia, dan waktu yang saya terima untuk berkhidmat adalah semata ihsan Allah Ta’ala.’
Tetapi, Yazid berkata bahwa ia mendapat kerajaan dari ayahnya dan ia akan membunuh siapa yang ia kehendaki dan membiarkan hidup siapa yang ia kehendaki. Secara lahiriah, kerajaan yang dimiliki Yazid adalah lebih besar dari Hadhrat Abu Bakr (ra). Ia berkata bahwa ia adalah raja dinasti (raja karena keturunan keluarga raja atau penguasa), siapa lagi yang berani berkata di hadapannya?
Namun, Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, ‘Bagaimana bisa saya mampu untuk menjadi pemimpin? Apa yang telah saya terima ini, Allah Ta’ala lah yang telah memberinya. Saya tidak dapat menjadi pemimpin karena kemampuan saya. Saya adalah pengkhidmat untuk semua. Saya adalah khadim bagi yang miskin dan khadim bagi yang kaya. Jika saya melakukan kesalahan, maka mintalah balasannya saat ini juga. Janganlah ini menghancurkan saya di hari kiamat nanti.’
Diantara yang mendengar ini mungkin ada yang berkata bahwa ucapan ini tidak ada nilainya, karena ia tidak mendapat kedudukan duniawi apa-apa. (yaitu Hadhrat Abu Bakr (ra)), dan ia mungkin mendengar ucapan Yazid ini dan berkata bahwa ucapan inilah yang juga disampaikan oleh Kaisar Romawi dan Kisra dan yang dikatakan Yazid adalah ucapan raja-raja besar”.
Tetapi, ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) wafat, putra beliau, cucu, cicit, dan keturunan beliau seterusnya yang tak terhitung jumlahnya, mereka semua sama-sama bangga akan pertalian hubungan mereka dengan Hadhrat Abu Bakr (ra). Jika ini pun diabaikan, maka perhatikanlah orang-orang yang sama sekali tidak memiliki pertalian hubungan dengan Hadhrat Abu Bakr (ra), yang bahkan tidak pernah berjumpa dengan keluarga beliau, mereka ini pun saat membaca peristiwa-peristiwa Hadhrat Abu Bakr (ra), hingga kini, air mata mengalir di wajah mereka, dan kecintaan memancar dalam diri mereka. Jika ada orang yang menghina beliau, maka diri mereka pun menjadi terluka. Alhasil, jangankan keturunan, bahkan mereka yang jauh dari beliau pun siap sedia untuk mengorbankan jiwa mereka demi beliau. Setiap mereka mendengar nama beliau, mereka mengucapkan radiyallahu ‘anhu.
Tetapi Yazid yang tanpa lelah menyatakan dirinya sebagai raja dan keturunan raja, ketika ia meninggal, orang-orang lantas mengangkat putranya sebagai raja.[16] Ketika hari jumat tiba, ia berdiri di mimbar dan berkata, “Wahai manusia, kakek saya menjadi raja tatkala saat itu ada yang lebih layak darinya menjadi raja. Ayah saya menjadi raja tatkala saat itu ada yang lebih layak darinya menjadi raja. Kini saya pun diangkat menjadi raja padahal saat ini ada yang lebih berhak dari saya. Wahai manusia, saya tidak sanggup mengangkat beban ini. Ayah saya dan kakek saya telah mengambil hak orang-orang yang lebih berhak, tetapi kini saya tidak siap mengambil hak mereka. Ini adalah khilafat milik kalian, kalian dapat memberinya kepada siapa yang kalian kehendaki. Saya tidaklah layak untuk ini, dan saya menganggap ayah dan kakek saya tidaklah layak untuk [kepemimpinan] ini. Mereka telah mengambil alih pemerintahan dengan paksa dan aniaya. Kini saya ingin mengembalikannya kepada mereka yang berhak”.
Setelah mengucapkan hal ini, ia lalu pulang ke rumahnya. Ketika ibunya mendengar peristiwa ini, ia berkata, “Bodoh sekali, kamu telah merendahkan ayah dan kakek kamu”.
Ia menjawab, “Ibu, jika Allah Ta’ala telah memberi akal kepadamu, maka ibu pasti akan memahami bahwa saya tidaklah telah merendahkan ayah dan kakek saya. Saya telah meluruskan ayah dan kakek saya”. Setelah itu, ia pun menyendiri di kediamannya dan ia tidak keluar dari rumahnya hingga ajal menjemputnya. Jadi, seperti demikianlah suatu kekuasaan yang didapat dari Allah Ta’ala, dimana hal ini pun menjadi perhatiannya.”
Ini pun merupakan pelajaran bagi para pemimpin dan raja Muslim di seluruh dunia.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) lalu menerangkan: “Karena pengorbanan Hadhrat Abu Bakr (ra) kepada Islam dan agama, apakah kehormatan yang saat itu diraih oleh beliau (ra), diterima juga oleh raja-raja besar dunia? Saat ini tidak ada satu pun pemimpin-pemimpin dunia yang sedemikian rupa meraih kehormatan seperti yang telah diraih oleh Hadhrat Abu Bakr (ra). Bahkan jangankan Hadhrat Abu Bakr (ra), pemimpin-pemimpin besar dunia sekalipun tidak dapat meraih kehormatan seperti kehormatan yang diterima oleh khadim-khadim Hadhrat Abu Bakr (ra).
Bahkan yang sebenarnya adalah, kepada para khadim Hadhrat Abu Bakr (ra) pun kita memandang mereka dengan sangat hormat, karena mereka telah menjadi khadim di rumah Muhammad (saw).”
Beliau (ra) bersabda: “Siapa saja yang telah menjadi hamba di rumah Muhammad (saw) maka segala sesuatu miliknya telah menjadi indah bagi kita dan kini tidaklah mungkin bagi kita bahwa ada orang lain yang dapat mengganggu kedudukan mulia mereka ini dalam hati kita.”
Orang-orang melontarkan tuduhan kepada kita bahwa na’udzubillah kita telah menista Baginda Rasulullah (saw), tetapi justru pernyataan [sebelumnya] itulah yang ada dalam pikiran kita.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda: “Salah satu putra Hadhrat Abu Bakr (ra), yang terlambat memeluk Islam di kemudian hari, suatu hari tengah duduk di masjid Nabi (saw). Dalam obrolan, ia berkata kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), ‘Ayah! pada saat pertempuran ini dan itu, saya bersembunyi di balik batu dan ayah lewat di depan saya dua kali. Jika saya mau, saya bisa membunuh ayah, tetapi saya mengurungkannya karena berpikir bahwa itu adalah ayah saya.’ Mendengar ini, Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, ‘Saya tidak melihatmu saat itu. Andai saya melihatmu, akan saya bunuh kamu karena kamu datang ke medan perang sebagai musuh Tuhan.’”[17]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda mengenai akhlak mulia Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra): “Abu Bakr (ra) adalah orang yang di dalam sifatnya sudah terdapat minyak dan sumbu kehormatan. Artinya, didalamnya memiliki kemampuan untuk menyala, untuk menjadi terang. Itulah sebabnya ajaran suci Nabi Suci (saw) segera membuatnya terpengaruh dan menyinarinya. Beliau tidak mendebat Rasulullah. Tidak juga meminta suatu tanda atau mukjizat apapun. Setelah mendengar, beliau hanya bertanya apakah anda menda’wakan diri sebagai nabi? Ketika Rasulullah (SAW) bersabda: Ya, beliau berkata, jadilah anda sebagai saksi bahwa saya adalah yang paling pertama baiat.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Telah teruji bahwa orang yang banyak berbahas, sangat jarang mendapatkan hidayah, sedangkan mereka yang berpikiran baik dan bersabar maka mendapatkan bagian sepenuhnya dari hidayah. Hal ini dicontohkan oleh Abu Bakr (ra) dan Abu Jahl. Abu Bakr (ra) tidak membantah dan tidak meminta tanda, tetapi beliau dianugerahi apa yang tidak didapatkan oleh orang yang meminta tanda. Abu Jahl menyaksikan tanda demi tanda, namun malah ia sendiri yang membuat dirinya sendiri sebagai tanda besar bagi orang lain. Abu Jahl berbahas, menentang dan terus bersikap bodoh. Dia melihat tanda demi tanda tetapi tidak bisa melihatnya. Akhirnya, dia sendiri menjadi tanda bagi orang lain dan mati dalam penentangan.” [18]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Tanah tempat kelahiran Abu Bakr (ra) dan Abu Jahl di Mekkah adalah sama. Mekkah adalah Mekkah yang sama di mana jutaan orang dari berbagai kalangan dan tingkatan di seluruh dunia berkumpul disana. Di bumi inilah kedua anak manusia ini lahir. Adapun Hadhrat Abu Bakr (ra), disebabkan oleh kehormatan hatinya dan kesalihannya mendapatkan petunjuk lalu meraih kesempurnaan para Shiddiq. Sementara Abu Jahl dikenal karena kejahatannya, kedunguan, permusuhan, dan penentangan terhadap kebenaran.
Perlu diingat bahwa ada dua jenis kesempurnaan. Pertama adalah Rahmani dan yang kedua adalah Syaitani. Manusia yang memiliki kesempurnaan rahmani, meraih kemasyhuran dan kehormatan di langit. Begitu pula, orang-orang yang memiliki kesempurnaan syaitani akan dikenal di kalangan keturunan syaitan. Alhasil, keduanya berada di tempat yang sama. Nabi (saw) tidak membeda-bedakan apapun dari siapapun. Apa pun yang Allah perintahkan, beliau menyampaikannya kepada semua orang secara merata, tetapi yang kurang beruntung dan sial luput darinya. Adapun yang beruntung mendapat hidayah dan menjadi sempurna. Abu Jahl dan teman-temannya melihat puluhan tanda kebenaran. Mereka menyaksikan nur dan limpahan keberkatan Ilahiyah tetapi sedikitpun mereka tidak mendapat manfaatnya.” [19]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) lebih lanjut bersabda: “Coba perhatikan, ketika Nabi Muhammad (saw) diutus sebagai Nabi di Makkah, Abu Jahl juga berada di Makkah, begitu pun Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) berasal dari Makkah, tetapi sifat Abu Bakr (ra) memiliki tabiat keserasian dengan menerima kebenaran. Bahkan, belum saja beliau memasuki kotanya, dalam perjalanan, beliau bertanya kepada seseorang untuk menyampaikan berita baru dan orang itu mengatakan bahwa Muhammad telah menyatakan diri sebagai nabi, saat itu juga Hadhrat Abu Bakr (ra) beriman dan tidak meminta mukjizat atau tanda apa pun. Meskipun di kemudian hari, beliau menyaksikan mukjizat yang tak terhingga jumlahnya dan bahkan diri beliau sendiri menjadi tanda. Tetapi Abu Jahl meskipun melihat ribuan tanda, tetapi dia tidak berhenti menentang dan menyangkal dan terus mendustakan. Apa rahasia yang terkandung di dalamnya?
Keduanya lahir di tempat yang sama. Yang satu ditetapkan sebagai ash-Shiddiq sedangkan yang satu lagi, awalnya disebut Abu al-Hakam (Bapak Kebijaksanaan) kemudian menjadi Abu Jahl (Bapak Kebodohan). Rahasianya adalah fitratnya tidak memiliki keserasian dengan kebenaran,
Alhasil, masalah keimanan bergantung pada kesesuaian tabiat bawaan. Ketika ada kecocokan, dia sendiri menjadi guru dan mengajar perkara kebenaran dan inilah sebabnya mengapa keberadaan orang yang memiliki keserasian fitrati juga merupakan tanda.”[20]
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “وأظهر عليّ ربي أن الصِدّيق والفاروق وعثمان، كانوا من أهل الصلاح والإيمان، وكانوا من الذين آثرهم الله وخُصّوا بمواهب الرحمن، وشهد على مزاياهم كثير من ذوي العرفان. تركوا الأوطان لمرضاة حضرة الكبرياء، ودخلوا وطيس كل حرب وما بالَوا حَرَّ ظهيرة الصيف وبرد ليل الشتاء، بل ماسوا في سبل الدين كفتية مترعرعين، وما مالوا إلى قريب ولا غريب، وتركوا الكل لله ربّ العالمين. وإن لهم نشرًا في أعمالهم، ونفحات في أفعالهم، وكلها ترشد إلى روضات درجاتهم وجنات حسناتهم. ونسيمهم يُخبر عن سرّهم بفوحاتها، وأنوارهم تظهر علينا بإناراتها.” “Saya telah diberikan pengetahuan yang mendalam oleh Tuhan saya tentang Khilafat. Dan seperti para peneliti lainnya, saya juga bisa menyelidiki masalah ini secara mendalam dan Tuhan saya telah mengungkapkan kepada saya bahwa ash-Shiddiq (Hadhrat Abu Bakr (ra)), al-Faaruuq (Hadhrat ‘Umar (ra)) dan Utsman (ra) adalah orang-orang saleh lagi beriman, yang termasuk di antara orang-orang pilihan Allah Ta’ala dan disukai dengan karunia khusus Yang Maha Pemurah. Lebih jauh, banyak dari antara arif billah (orang bijak yang secara khusus mendapat ilmu Ilahi) yang menjadi saksi akan kebajikan mereka. Mereka [Hadhrat Abu Bakr, Umar dan Utsman] telah meninggalkan tanah air mereka demi menarik keridhaan Yang Maha Agung.
Mereka senantiasa bergabung dalam setiap panasnya peperangan pada zamannya. Panas teriknya tengah hari di musim panas dan dinginnya malam pada musim dingin tidak mereka pedulikan. Mereka terus berjuang di jalan agama laksana barisan para pemuda yang tangkas dan gagah. Mereka tidak condong kepada orang-orang yang dekat di sekitar mereka dan tidak pula kepada orang-orang yang jauh, mereka telah meninggalkan segala sesuatu demi Allah, Tuhan sekalian alam.
Tindakan mereka dijiwai dengan wewangian dan perbuatan mereka dengan aroma. Semua ini mengarahkan pada taman-taman yang sesuai dengan mereka dan kebun buah-buahan dari amal saleh mereka. Demikian pula, hembusan aromatik zephyr mereka [lembut, angin harum] mengungkapkan mutu pribadi mereka dan cahayanya menjadi nyata bagi kita dengan semua pancarannya.” [21]
Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: وأَيمُ الله إنه تعالى قد جعل الشيخَين والثالثَ الذي هو ذو النُّورَين، كأبواب للإسلام وطلائع فوج خير الأنام، فمن أنكر شأنهم وحقّر برهانهم، وما تأدّب معهم بل أهانهم، وتصدى للسب وتطاوُل اللسان، فأخاف عليه من سوء الخاتمة وسلب الإيمان. والذين آذوهم ولعنوهم ورموهم بالبهتان، فكان آخر أمرهم قساوة القلب وغضب الرحمن. وإني جربتُ مرارا وأظهرتها إظهارًا، أن بغض هؤلاء السادات من أكبر القواطع عن الله مظهرِ البركات، ومن عاداهم فتُغلَق عليه سُدَدُ الرحمة والحنان، ولا تُفتح له أبواب العلم والعرفان، ويتركه الله في جذبات الدنيا وشهواتها، ويسقط في وهاد النفس وهوّاتها، ويجعله من المبعدين المحجوبين “Demi Allah! Dia (Allah Ta’ala) telah menjadikan Syaikhain (Dua sesepuh yakni Abu Bakr dan ‘Umar) serta yang ketiga, Dzun nurain (‘Utsman) sebagai pintu gerbang bagi Islam dan pasukan utama Sang Khairul Anaam (sebaik-baik makhluk yaitu Muhammad Rasulullah (saw)). Siapa yang mengingkari kehormatan mereka, melecehkan dalil-dalil otentik mereka, tidak bersikap hormat kepada mereka, bahkan terus merendahkan mereka, mencaci-maki dan bermulut lancang kepada mereka, saya khawatir akan nasib akhir kehidupan dan rusaknya iman orang-orang yang seperti itu. Adapun konsekuensi bagi orang-orang yang menyakiti, melaknat dan melontarkan tuduhan kepada mereka adalah hati mereka akan keras dan murka Tuhan Yang Maha Rahman akan menimpa mereka.
Saya telah mengamati dan secara terbuka mengungkapkan hal ini tak terhitung banyaknya bahwa menaruh kebencian dan permusuhan terhadap orang-orang mulia ini adalah salah satu faktor utama yang memutuskan ikatan manusia dengan Tuhan, Yang Maha Pemberi berkah. Siapapun yang menaruh permusuhan terhadap mereka, maka jalan untuk meraih rahmat dan belas kasihan atas orang itu akan ditutup. Pintu-pintu ilmu dan makrifat tidak akan dibuka lagi baginya…”[22]
Beliau (as) bersabda: وكيف تلعنون رجلا أثبت الله دعواه، وإذا استَعْدى فأعْداه وأرى الآياتِ لعَدْواه ، وطَرَّ مكر الماكرين، وهو نجّى الإسلام من بلاءٍ هاضَ وجورٍ فاضَ، وقتَل الأفعى النضناضَ، وأقام الأمن والأمان، وخيّب كل من مان، بفضل الله رب العالمين. “Bagaimana kalian melaknat seseorang yang pernyataannya telah dibuktikan kebenarannya oleh Allah?” Sebagian kalangan orang dan beberapa golongan menggunakan kata-kata yang salah terhadap beliau (ra) – maksudnya, Hadhrat Abu Bakr (ra). Beliau (as) berkata: “Bagaimana kalian melaknat seseorang yang pernyataannya telah dibuktikan kebenarannya oleh Allah? Dia meminta bantuan kepada Allah Ta’ala, kemudian Allah membantunya, menunjukkan kepadanya tanda-tanda untuk membantunya dan menggagalkan rencana orang jahat. Beliau – yakni Abu Bakr (ra) – menyelamatkan Islam dari cobaan dan bencana yang tidak menentu dan berhasil mengatasi ancaman yang sangat berbahaya. Beliau menegakkan perdamaian dan keamanan dan dengan karunia Allah, Tuhan semesta alam, berhasil menggagalkan setiap pembohong.”
وللصدّيق حسنات أُخرى وبركات لا تُعدّ ولا تُحصى، وله مننٌ على أعناق المسلمين، ولا ينكرها إلا الذي هو أوّل المعتدين. وكما جعله الله موجبا لِأَمن المؤمنين ومِطفاءً لنيران الكافرين والمرتدين، كذلك جعله مِن أوّل حُماة الفرقان وخدام القرآن ومُشيعي كتاب الله المبين. فبذل سعيه حق السعي في جمع القرآنِ واستطلاع ترتيبه من محبوب الرحمنِ، وهملتْ عيناه لمواساة الدين ولا همول عين الماء المعين. ”Ash-Shiddiq (ra) memiliki banyak keistimewaan dan berkat tidak terhitung banyaknya dan setiap umat Islam telah mendapatkan banyak jasa kebaikan dari beliau sehingga hanya orang yang sangat kejamlah yang dapat menyangkal hal itu. Sebagaimana Allah telah menjadikan beliau sebagai sumber kedamaian bagi orang-orang beriman dan pemadam api yang dikobarkan orang-orang murtad dan kafir, demikian pula Dia menjadikan beliau sebagai pendukung utama al-Furqan (Al Quran), hamba Al-Qur’an dan penyebar Kitab Allah Yang Nyata. Jadi beliau mengerahkan semua upaya dalam mengumpulkan naskah Al-Qur’an dan menemukan urutannya seperti yang dijelaskan oleh Kekasih Tuhan, Yang Maha Penyayang, dan aliran air mata beliau bahkan lebih deras dibandingkan aliran mata air ketika larut dalam kesedihan memikirkan agama.” [23]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: والعجبُ أن الشيعة يُقرّون بأن أبا بكر الصّدّيق آمن في أيام كثرة الأعداء، ورافقَ المصطفى في ساعة شدة الابتلاء، وإذا خرج رسول الله فخرج معه بالصدق والوفاء، وحمل التكاليف وترَك المألف والأليف، وتركَ العشيرة كلها واختار الرب اللطيف، ثم حضر كل غزوة وقاتل الكفار وأعان النبي المختار، ثم جُعل خليفة في وقت ارتدت جماعة من المنافقين، وادعى النبوة كثير من الكاذبين، فحاربهم وقاتلهم حتى عادت الأرض إلى أمنها وصلاحها وخاب حزب المفسدين. Anehnya, beberapa orang Syiah yang juga mengakui bahwa Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) beriman pada masa ketika jumlah musuh sangat banyak dan pada masa-masa awal yang sangat mencekam beliau menemani Hadhrat Muhammad al-Musthafa (saw). Ketika Rasulullah (saw) meninggalkan Mekkah, beliau (ra) juga menemani beliau (saw) dengan penuh ketulusan dan bersabar menghadapi penderitaan. Beliau (ra) rela meninggalkan kampung halaman, popularitas, teman teman dan seluruh keluarga beliau dan lebih memilih rahmat Allah. Kemudian beliau berpartisipasi dalam setiap pertempuran. Beliau bertempur melawan orang-orang kafir dan membantu Sang Nabi pilihan (saw). Kemudian beliau diangkat menjadi khalifah ketika sekelompok orang munafik murtad dan banyak pendusta menyatakan kenabian palsu dan beliau terus berperang dengan mereka sampai perdamaian dan keamanan dapat pulih kembali di dalam negeri dan kelompok pengacau menjadi hilang.
ثم مات ودُفن عند قبر سيد النبيين وإمام المعصومين، وما فارقَ حبيبَ الله ورسوله لا في الحياة ولا في الممات، بل التقيا بعد بينِ أيام معدودة فتهادى تحية المحبين. والعجب كلّ العجب أن الله جعل أرض مرقد نبيه بزعمهم مشتركة بين خاتم النبيين والكافرَين الغاصبَين الخائنَين. وما نجّى نبيّه وحبيبه من أذيّة جوارهما بل جعلهما له رفيقَين مؤذيَين في الدنيا والآخرة، وما باعده عن الخبيثين. سبحان ربنا عما يصفون، بل أَلحَقَ الطيبين بإمام الطيبين. إن في ذلك لآيات للمتبصرين. Kemudian beliau (ra) wafat dan dimakamkan di samping makam Ketua Para Nabi dan Imam Para Ma’sum (saw) dan beliau (ra) tidak melepaskan diri dari sang Kekasih Allah dan Rasul-Nya, baik ketika masih hidup maupun setelah wafat. Setelah beberapa hari tertentu berpisah, pasangan itu bersatu kembali dan mempersembahkan hadiah kecintaan. Hal yang paling mengejutkan adalah para pengkritik itu (kaum Syiah) mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan tanah makam suci nabi (saw) disatukan dengan dua orang kafir, perampas dan pengkhianat dan tidak membebaskan Nabi-Nya dan kekasih-Nya itu dari penderitaan karena berdekatan dengan keduanya (Abu Bakr [ra] dan Umar [ra]). Melainkan menjadikan keduanya sebagai teman yang menimpakan siksaan bagi beliau (saw) di dunia dan akhirat dan Allah Ta’ala tidak menjauhkan beliau (saw) dari kenajisan kedua orang itu.” – naudzubillah – “Maha Suci Tuhan kita yang suci dari apa yang mereka katakan.” yakni mereka yang menuduh beliau-beliau ini bersalah. “Ini tidak seperti yang digambarkan mereka, melainkan Allah menjadikan keduanya (Hadhrat Abu Bakr [ra] dan Hadhrat Umar [ra]) menyertai sang Imam bagi orang-orang suci (saw). Sungguh, di dalamnya terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”[24]
Selanjutnya beliau (as) bersabda berkenaan dengan kalangan Syiah fanatik: وإذا سئل عن الشيعة المتعصّبين: مَن كان أوّل مَن أسلم من الرجال البالغين وخرج من المنكرين المخالفين، فلا بدّ لهم أن يقولوا إنه أبو بكر. ثم إذا سئل: مَن كان أوّل من هاجر مع خاتم النبيين ونبذ العلق وانطلق حيث انطلق، فلا بد لهم أن يقولوا إنه أبو بكر. ثم إذا سئل: من كان أول المستخلَفين ولو كالغاصبين، فلا بد لهم أن يقولوا إنه أبو بكر. ثم إذا سئل: من كان جامِعَ القرآن ليشاع في البلدان، فلا بد لهم أن يقولوا إنه أبو بكر. ثم إذا سئل: من دُفن بجوار خير المرسلين وسيد المعصومين، فلا بد لهم أن يقولوا إنه أبو بكر وعمر. فالعجب كل العجب أن كل فضيلة أُعطيت للكافرين المنافقين، وكل خير الإسلام ظهرت من أيدي المعادين! أيزعم مؤمن أن أول لبنة لإسلام كان كافرا ومن اللئام؟ ثم أول المهاجرين مع فخر المرسلين كان كافرًا ومن المرتدين؟ وكذلك كل فضيلة حصلت للكفار حتى جوار قبر سيد الأبرار، وكان عليٌّ من المحرومين، وما مال إليه الله بالعدوى وما أجدى من جدوى، كأنه ما عرفه وأخطأ من التنكير واحرورف في المسير، وإن هذا إلا كذب مبين. Jika pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang Syiah fanatik yakni siapa laki-laki dewasa pertama yang masuk Islam dari kelompok kafir? Mereka tidak punya pilihan selain mengatakan ia adalah Hadhrat Abu Bakr (ra). Kemudian ketika ditanya, siapa yang pertama kali berhijrah dengan Hadhrat Khatamun Nabiyyin dan rela meninggalkan semua hubungan lalu pergi ke tempat Nabi pergi? mereka tidak punya pilihan selain mengatakan dia adalah Hadhrat Abu Bakr (ra). Kemudian ketika orang-orang syiah fanatik ditanya, siapa yang pertama kali diangkat menjadi Khalifah? (meski mereka menganggapnya sebagai perampas) maka mereka tidak punya pilihan selain mengatakan itu Abu Bakr (ra). Kemudian ketika mereka ditanya, siapa yang mengumpulkan naskah Al-Qur’an untuk diterbitkan di berbagai negeri? Mau tidak mau mereka akan mengatakan itu adalah Hadhrat Abu Bakr (ra). Kemudian ketika mereka ditanya, siapa yang dimakamkan di sisi Khair al-Mursalin (sebaik-baik Rasul) dan Sayyid al-Ma’shumin (pemimpin orang-orang suci)? Mereka tidak punya pilihan selain mengatakan ia adalah Abu Bakr (ra) dan Umar.
Maka, betapa mengherankannya jika setiap keutamaan diberikan kepada orang-orang kafir dan munafik dan segala kebaikan dan keberkatan Islam muncul dari tangan-tangan musuh.” Na’udzubillah! “Dapatkah seorang beriman mengira seorang yang menjadi dinding benteng utama bagi Islam, adalah seorang kafir dan terlaknat, kemudian orang yang melakukan hijrah pertama kali bersama Fakhr al-Mursalin (kebanggaan para Rasul [saw]) adalah seorang kafir dan murtad. Kalau begitu, semua keutamaan diperoleh oleh orang-orang kafir. Bahkan karunia untuk dapat dimakamkan berdekatan dengan Sayyidul Abrar (Pemimpin orang-orang baik [saw]) juga.” [25]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) lebih lanjut bersabda: فالحق أن الصدّيق والفاروق، كانا من أكابر الصحابة وما أَلَتَا الحقوق، واتخذا التقوى شرعة، والعدل نُجْعة، وكانا ينقّبان عن الأخبار ويفتّشان من أصل الأسرار، وما أرادا أن يُلْفِيا من الدنيا بُغْية، وبذلا النفوس لله طاعةً. وإني لم ألقَ كالشيخَين في غزارة فيوضهم وتأييد دين نبي الثقلَين. كانا أَسْرعَ من القمر في اتّباع شمس الأمم والزمر، وكانا في حُبّه من الفانين. واستعذبا كل عذاب لتحصيل صواب، ورضوا بكل هوان للنبي الذي ليس له ثان، وظهرا كالأسود عند تَلقِّي القوافل والجنود من ذوي الكفر والصدود، حتى غلب الإسلام وانهزم الجمع، وانزوى الشرك وانقمع، وأشرقت شمس الملّة والدّين. وكانت خاتمة أمرهما جِوار خير المسلمين، مع خدمات مرضية في الدين، وإحسانات ومنن على أعناق المسلمين. “Pada kenyataannya, baik Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) dan Umar al-Faaruuq (ra) keduanya termasuk para sahabat terkemuka. Mereka berdua tidak pernah menunjukkan kelemahan dalam memenuhi hak. Kebenaran adalah cara hidup mereka dan menegakkan keadilan adalah tujuan mereka. Mereka akan dengan hati-hati merenungkan masalah dan menyelidiki jauh ke dalam seluk-beluknya. Memenuhi keinginan duniawi tidak pernah menjadi tujuan mereka. Mereka mengabdikan diri dalam ketaatan kepada Allah. Saya belum pernah melihat orang yang mengambil bagian dari berkah yang begitu besar dan mendukung agama Nabi dua dunia (saw) lebih dari Syaikhain, yaitu Abu Bakr (ra) dan Umar, ra.
Dalam kepatuhan mereka kepada matahari ruhani untuk seluruh umat manusia, [yaitu. Muhammad] (saw), bahkan mereka berdua lebih cepat dari bulan. Mereka sepenuhnya mengabdikan diri dalam cinta mereka untuk beliau (saw) dan untuk menegakkan kebenaran, mereka dengan senang hati menanggung setiap kesulitan. Demi Nabi (saw), yang tidak ada duanya, mereka rela dan dengan senang hati menanggung setiap penghinaan. Pada saat berperang melawan pasukan kafir, mereka berdiri dengan gagah berani seperti singa hingga Islam menang dan barisan musuh menderita kekalahan. Syirik dihapuskan dan dimusnahkan secara keseluruhan dan matahari ruhani bangsa dan iman mulai bersinar. Mereka berdua memberikan pengabdian sangat baik terhadap agama mereka dan memberikan umat Islam keunggulan dan bantuan sedemikian rupa sehingga tempat peristirahatan terakhir mereka adalah berdekatan dengan sebaik-baik Rasul (Khairul Mursalin).”
الله أكبر! ما أعظمَ شأنَ سرِّهما وصدقهما! دُفنوا في مدفن لو كان موسى وعيسى حيَّين لتمناها غبطة، ولكن لا يحصل هذا المقام بالمنية، ولا يعطى بالبغية، بل هي رحمة أزلية من حضرة العزة، ولا تتوجه إلا إلى الذين توجّهت العناية إليهم من الأزل، وحفّتْ بهم ملاحف الفضل. “Allahu Akbar! Betapa besar keikhlasan dan pengabdian kedua orang ini” yaitu Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Umar ra. “Keduanya dimakamkan di kuburan yang diberkati sehingga jika Musa dan Isa masih hidup hari ini, mereka akan mengungkapkan keinginan tulus mereka untuk dimakamkan di sana. Namun, kedudukan seperti itu tidak pernah diberikan hanya karena kerinduan atau keinginan tulus; melainkan, ini merupakan rahmat abadi yang dianugerahkan dari Tuhan Pemilik Kehormatan…” [26]
Insha Allah, masih ada beberapa bagian rujukan lagi. Akan disampaikan selanjutnya.[27]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا –
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ –
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Sahih al-Bukhari, Kitab Fada‘il Ashab al-Nabi (sa) (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bab keutamaan Abu Bakr setelah Nabi (باب فَضْلِ أَبِي بَكْرٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم), nomor 3655.
[2] At-Tirmidzi (جامع الترمذي أبواب المناقب باب حديث رقم 3775): عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ .
[3] Jami‘ al-Tirmidhi, Abwab al-Manaqib, Bab Manaqib Abi Bakr, Hadith 3657 (جامع ترمذی کتاب المناقب، باب مناقب ابی بکر الصدیقؓ، حدیث نمبر 3657); Sumber: Tirmidzi; Kitab: Budi pekerti yang terpuji (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم); Bab: Biografi Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Ubbay bin Ka’b; No. Hadist : 3730; Al-Ishabah (الإصابة في تمييز الصحابة نویسنده : العسقلاني، ابن حجر جلد : 3 صفحه : 477)
[4] Jami` at-Tirmidhi 3685, Chapters on Virtues (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم) Chapter: Regarding The Virtues Of Abu Hafs ‘Umar bin Al-Khattab, May Allah Be Pleased With Him (باب فِي مَنَاقِبِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضى الله عنه).
[5] Sahih Muslim 2504, The Book of the Merits of the Companions (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), Chapter: The Virtues Of Salman, Bilal And Suhaib (باب مِنْ فَضَائِلِ سَلْمَانَ وَصُهَيْبٍ وَبِلاَلٍ رضى الله تعالى عنهم).
[6] Ahmad Hathibah (أحمد حطيبة) dalam karyanya Syarh Riyadhish Shalihin (كتاب شرح رياض الصالحين – حطيبة) penjelasan Hadits (شرح أحاديث ملاطفة الضعفاء والأيتام شرح حديث: لئن أغضبتهم لقد أغضبت ربك).
[7] Sahih al-Bukhari 365, Companions of the Prophet (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Chapter: The virtues of the emigrants (i.e., Muhajirin) (باب مَنَاقِبِ الْمُهَاجِرِينَ وَفَضْلِهِمْ).
[8] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dalam bahasa Arab berjudul Sirrul Khilafah (Rahasia Khilafat), Ruhani Khazain jilid 8 (روحانی خزائن جلد 8).
[9] L’ISLAM ET LA PSYCHOLOGIE DU MUSULMAN De André SERVIER Préface de Louis BERTRAND (Publié par Augustin CHALLAMEL Editeur, 17 Rue Jacob, PARIS 1923): “Abou-Bekr fut donc proclamé Calife. C’était un vieillard de moeurs simples qui, malgré son élévation inattendue, vécut dans la pauvreté. Quand il mourut, il laissa un vêtement usagé, une esclave et un chameau. Un vrai patriarche conforme l’idéal médinois ; mais il avait une grande qualité. Il était énergique et il possédait ce qui avait donné la victoire à Mahomet et ce qui manquait à ses ennemis : une conviction inébranlable, une foi intransigeante. C’était l’homme de la situation. Ce vieillard, d’apparence débonnaire, se dressa au milieu de l’insurrection générale et, avec l’implacable fermeté d’un croyant, il recommença l’oeuvre de Mahomet.” Terjemahan bahasa Inggris ialah: “So Abu-Bekr was proclaimed Caliph. He was a man of simple manners, who, in spite of his unexpected elevation, lived in poverty. When he died, he left behind him a worn-out garment, one slave and one camel. A true patriarch, after the Medinans’ own heart ; he had one great quality — energy ; and he possessed what had given victory to Mahomet and was lacking to his enemies — an unshakable conviction, a bigoted faith . 1 He was the right man in the right place. This old man, of good-natured aspect, took his stand in the midst of general insurrection, and with the implacable firmness of a believer began Mahomet’s work over again.” Andre Servier dalam karyanya Islam And The Psychology Of The Musulman. A Chapman And Hall Ltd. ( 1924).
Andre Servier hidup di Aljazair pada masa Prancis menjajah Aljazair (Algeria). Ia yang lahir pada 2 November 1876 di Moyeuvre-Grande (Prancis), adalah seorang humas dan sejarawan Prancis.
[10] John Joseph Saunders dalam karyanya A HISTORY OF MEDIEVAL ISLAM (1961) pada bab III: The First Conquests, first published 1965 by Routledge and Kegan Paul Ltd, London and New York, This edition published in the Taylor & Francis e-Library, 2002: “The memory of the first Caliph was always cherished by the faithful (as) a man of simple loyalty and gentle kindliness, whose steadfast calm was never ruffled by the most furious gale. His reign was short but its achievements were momentous: his cool firmness surmounted the crisis of the Ridda and reclaimed the Arabian nation for Islam, and his resolve to subjugate Syria laid the foundation of the Arab world empire.” John Joseph Saunders adalah seorang sejarawan Inggris yang karyanya terpusat pada Islam jaman pertengahan dan sejarah Asia. Ia lahir di Alphington, Devon dan kuliah di Exeter University. Ia mengajar di University of Canterbury di New Zealand (Selandia Baru) dan wafat di sana pada 25 November 1972. Karyanya yang lain ialah Aspects of the Crusades (1962), The Muslim World on the Eve of Europe’s Expansion (1966), The History of the Mongol Conquests (1971), Muslims and Mongols: Essays on Medieval Asia (1977).
[11] Herbert George Wells atau H.G. Wells dalam karyanya The Outline of History, A Plain History of Life and Mankind , 31.5 The Caliphs Abu Bekr, Omar: The true embodiment of the spirit of Islam was not Muhammad, but his close friend and supporter, Abu Bekr. There can be little doubt that if Muhammad was the mind and imagination of primitive Islam, Abu Bekr was its conscience and its will. Throughout their life together it was Muhammad who said the thing, but it was Abu Bekr who believed the thing. When Muhammad wavered, Abu Bekr sustained him. Abu Bekr was a man without doubts, his beliefs cut down to acts cleanly (as) a sharp knife cuts. We may feel sure that Abu Bekr would never have temporized about the minor gods of Mecca, or needed inspirations from Allah to explain his private life. When in the eleventh year of the Hegira (632) the Prophet sickened of a fever and died, it was Abu Bakr who succeeded him (as) Caliph and leader of the people (Kalifa Successor), -and it was the unflinching confidence of Abu Bekr in the righteousness of Allah which prevented a split between Medina and Mecca, which stamped down a widespread insurrection of the Bedouin against taxation for the common cause, and carried out a great plundering raid into Syria that the dead Prophet had projected. And then Abu Bekr, with that faith which moves mountains, set himself simply and sanely to organize the subjugation of the whole world to Allah-with little armies of 3,000 or 4,000 Arabs-according to those letters the Prophet had written from Medina in 628 to all the monarchs of the world.
https://outline-of-history.mindvessel.net/310-muhammad-and-islam/315-caliphs-abu-bekr-omar.html
Herbert George Wells ialah seorang penulis Inggris kelahiran Kent pada 21 September 1866 dan wafat di London pada 13 August 1946 (usia 79 tahun). ia mengarang lebih dari 50 novel dan lusinan cerpen. Wikipedia menyebutnya juga menulis puluhan esai non fiksi, misalnya tentang sains, politik dsb. beliau dikenal sebagai “Bapak Fiksi Ilmiah” dan beberapa pemikiran futuristiknya (masa depan) terbukti terjadi seperti perjalanan luar angkasa, pemikiran tentang sesuatu yang mirip jaringan internet, pembikinan tank, pesawat udara dan perang di udara dst.
[12] A History of the Propagation of the Muslim Faith, T.W. ARNOLD MA. C.I.F, PROFESSOR OF ARABIC, UNIVERSITY OF LONDON, UNIVERSITY COLLEGE, SECOND EDITION, REVISED AND ENLARGED, LONDON, CONSTABLE & COMPANY Ltd. 1913, CHAPTER II. : STUDY OF THE LIFE OF MUHAMMAD CONSIDERED (as) A PREACHER OF ISLAM.: Among the earliest believers were his adopted children Zayd and ‘Alī, and his bosom friend Abū Bakr, of whom Muḥammad would often say in after years, ” I never invited any to the faith who displayed not hesitation, perplexity and vacillation —excepting only Abū Bakr; who when I told him of Islam tarried not, neither was perplexed.” He was a wealthy merchant, much respected by his fellow citizens for the integrity of his character and for his intelligence and ability. After his conversion he expended the greater part of his fortune on the purchase of Muslim slaves who were persecuted by their masters on account of their adherence to the teaching of Muḥammad. Sir Thomas Walker Arnold, CIE (19 April 1864 – 9 Juni 1930 [umur 66]) adalah seorang orientalis dan sejarawan seni rupa Islam asal Inggris yang mengajar di Muhammadan Anglo-Oriental College, Aligarh Muslim University (kemudian Aligarh College, Uttar Pradesh, India), dan Government College University, Lahore. Ia adalah teman Sir Sayyid Ahmad Khan dan menulis buku terkenal “The preaching of Islam” di bawah bimbingan Sir Sayyid. Ia juga mengajar penyair-filsuf Muhammad Iqbal dan Syed Sulaiman Nadvi, dan merupakan sahabat dekat dari Shibli Nomani yang juga merupakan seorang guru di Aligarh. Beliau berkarya di India masa penjajahan Inggris di India.
[13] Sir William Muir dalam karyanya “The Caliphate, its Rise, Decline and Fall” – “Kekhalifahan: kejayaan, kemerosotan dan kejatuhannya” CHAPTER XL: Death of Abu Bekr.August, a.h. 13. a.u. 634: “Abu Bakr had no thought of personal aggrandizement. Endowed with the sovereign and irresponsible power, he used it simply for the interests of Islam, and the people’s good. But the grand secret of his strength was faith in Muhammad. ‘Call me not the Caliph of Allah’ he would say, ‘I am but the Caliph of the Prophet of Allah’. The question with him ever was what did Muhammad command, or what now would he have done? From this he never swerved a hair’s breadth. And so it was that he crushed apostasy and laid secure the foundations of Islam. His reign was short, but after Muhammad himself there is no one to whom the faith is more beholden.” Sir William Muir KCSI lahir pada 27 April 1819 di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya dan wafat 11 Juli 1905 di Edinburgh. Beliau pejabat penjajahan Inggris di India dan mulai bertugas pada 1837. Beliau pernah menjadi Letnan Gubernur di Propinsi North-West Provinces (kini Uttar Pradesh). https://www.alim.org/history/khaleefa/aboobacker/19/5/; https://ia804701.us.archive.org/10/items/in.ernet.dli.2015.276998/2015.276998.The-Caliphate_text.pdf.
[14] Tarikh al-Khulafa (تأريخ الخلفاء ص٧٣): أخرج الحاكم في مستدركه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: لما قبض رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ارتجت مكة فسمع أبو قحافة ذلك. فقال ما هذا؟ قالوا قبض رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، قال: أمر جلل. فمن قام بالأمر بعده؟ قالوا ابنك. قال: فهل رضيت بذلك بنو عبد مناف وبنو المغيرة؟ قالوا: نعم. قال: لا واضع لما رفعت، ولا رافع لما وضعت . Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Qasim (محمد بن عبد الرحمن بن قاسم) dalam karyanya (كتاب أبو بكر الصديق أفضل الصحابة، وأحقهم بالخلافة), (طرق أخرى لمن لا يعرف الأسانيد ٢- أن المسلمين اتبعوا الحق في بيعته لا الهوى وهذا من كمالهم): ولهذا لما مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وتولى أبو بكر قيل لأبي قحافة: مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم -. فقال: حدث عظيم، فمن تولى بعده؟ قالوا: أبو بكر. قال: أو رضيت بنو عبد مناف وبنو مخزوم؟ قالوا: نعم. قال: ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء، أو كما قال .
[15] Yazid yang dimaksud ialah Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia lahir di jaman Khalifah ‘Utsman (ra) dan menjadi raja setelah Amir Muawiyah wafat pada sekitar 680 Masehi (60 Hijriyah) pada umur 30an. Peristiwa Karbala, 10 Muharram 61 H.), yaitu pembunuhan cucu Nabi Muhammad (saw) bernama Imam Husain putra Khalifah ‘Ali (ra) dan rombongannya yang terdiri dari keluarganya dan pengikutnya atas perintah Yazid terjadi beberapa bulan setelah Amir Muawiyah wafat dan Yazid menjadi Raja. Itu 20an tahun setelah Khalifah ‘Ali (ra) wafat dan hampir 50 tahun setelah wafat Nabi (saw). Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan orang yang berbeda dengan Yazid bin Abu Sufyan. Yazid bin Abu Sufyan dikenal Yazid al-Khair – Yazid baik – dan wafat 45an tahun [sekitar tahun 633-634] sebelum wafat Muawiyah, adiknya.
[16] Putra Yazid di kalimat ini ialah Mu’awiyah bin Yazid bin Mu’awiyah atau sering ditulis Mu’awiyah II (kedua).
[17] Salah satu putra Hadhrat Abu Bakr (ra) berpihak kepada kaum Kuffar Quraisy di Makkah saat terjadi perang Badr antara mereka dengan kaum Muslimin yang saat itu umumnya telah tinggal di Madinah.
[18] Malfuuzhaat jilid 2.
[19] Malfuuzhaat jilid 2.
[20] Malfuuzhaat jilid 5.
[21] Sirr-ul-Khilafah Urdu Tarjumah, pp. 25-26, Nazarat Ishaat Rabwah (سر الخلافۃ، اردو ترجمہ شائع کردہ نظارت اشاعت صفحہ25-26).
[22] Sirr-ul-Khilafah Urdu Tarjumah, pp. 28-29, Nazarat Ishaat Rabwah (سرالخلافۃ، اردو ترجمہ شائع کردہ نظارت اشاعت ربوہ صفحہ28-29).
[23] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dalam bahasa Arab berjudul Sirrul Khilafah (Rahasia Khilafat), Ruhani Khazain jilid 8 (روحانی خزائن جلد 8).
[24] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dalam bahasa Arab berjudul Sirrul Khilafah (Rahasia Khilafat), Ruhani Khazain jilid 8 (روحانی خزائن جلد 8).
[25] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dalam bahasa Arab berjudul Sirrul Khilafah (Rahasia Khilafat), Ruhani Khazain jilid 8 (روحانی خزائن جلد 8).
[26] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dalam bahasa Arab berjudul Sirrul Khilafah (Rahasia Khilafat), Ruhani Khazain jilid 8 (روحانی خزائن جلد 8).
[27] Referensi: https://islamahmadiyya.net/cat.asp?id=116 (website resmi Ahmadiyah dalam bahasa Arab); https://www.alislam.org/friday-sermon/2022-12-02.html; https://www.reviewofreligions.org/41025/friday-sermon-summary-2nd-december-2022-rightly-guided-caliphs-hazrat-abu-bakr-ra/;
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
Comments (1)