Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Berbagai Pertempuran Semasa Hidup Rasulullah

Khotbah 20 Desember 2024 Berbagai pertempuran Rasulullah

Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 20 Desember 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾

Masih membahas tentang sejarah peri kehidupan Rasulullah saw. dalam berbagai misi peperangan, baik Gazwah[1] maupun Sariyah[2]. Berkenaan dengan ini, sejarah juga mencatat Sariyah Ukasyah bin Mihshan. Sariyah Ukasyah bin Mihshan ini terjadi di arah Ghamr Mardhub. Perang ini terjadi pada bulan Rabiulawal tahun 6 Hijriah. Dalam Sīrat Khātamun-Nabiyyīn, Hz. Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:

Rasulullah saw. mengutus salah satu sahabat Muhajirin, Hz. Ukasyah bin Mihshan r.a., sebagai pemimpin bagi 40 Muslim untuk menghadapi suku Bani Asad. Suku ini pada waktu itu berkemah dekat sebuah mata air bernama Ghamr yang terletak beberapa hari perjalanan dari Madinah ke arah Makkah. Rombongan Hz. Ukasyah r.a. bergerak cepat mencapai Ghamr untuk mencegah mereka dari membuat kekacauan dan menghentikan rencana yang sedang mereka buat. Ternyata anggota suku tersebut telah mendengar tentang kedatangan kaum Muslimin dan telah berpencar. Maka Hz. Ukasha r.a. dan grupnya kembali ke Madinah tanpa terjadi pertempuran.

Demikian pula, ada catatan tentang Sariyah Muhammad bin Maslamah. Sariyah ini terjadi pada bulan Rabiulakhir tahun 6 Hijriah. Rasulullah saw. mengutus Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. ke Bani Tsa’labah dan Bani Awal yang tinggal di Dzul-Qassah, yang terletak 24 mil dari Madinah di jalan menuju Rabadzah. Rasulullah saw. mengutus Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. dengan sepuluh orang. Rombongan ini tiba di sana pada malam hari. Orang-orang itu mengepung Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. dan para pengikutnya ketika mereka sedang tidur, dan musuh berjumlah seratus orang. Muslim tidak menyadari sampai musuh mengepung mereka dengan panah. Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. segera bangun dan beliau memiliki busur. Beliau berteriak keras kepada para pasukannya untuk mengambil senjata. Mereka semua juga segera bangun. Selama satu jam di malam hari terjadi saling serang anak panah. Setelah beberapa waktu saling memanah, orang-orang Badui menyerang dengan tombak dan menewaskan semua yang tersisa, dan Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. jatuh terluka. Kaki beliau terluka sedemikian rupa sehingga beliau tidak bisa bergerak dan mereka mengambil pakaiannya dan pergi. Seorang Muslim melewati para korban dan mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn“. Ketika Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. mendengarnya, beliau bergerak. Orang itu memberi beliau makanan dan membawa beliau ke Madinah di atas tunggangan.

Ada juga catatan tentang sariyah dalam misi pembalasan terhadap musuh yang bertanggung jawab atas syahidnya rekan-rekan Hz. Muhammad bin Maslamah r.a..

Ini disebut Sariyah Hz. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Dalam rinciannya, Hz. Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:

Ketika Rasulullah saw. mengetahui tentang keadaan ini, yaitu syahidnya para pengikut Muhammad bin Maslamah di Dzul-Qassah, beliau saw. mengutus Hz. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah r.a. – yang berasal dari Quraisy dan termasuk sahabat senior – ke arah Dzul-Qassah untuk membalas serangan terhadap Hz. Muhammad bin Maslamah r.a.. Karena pada masa itu juga telah diterima suatu informasi bahwa suku Bani Tsa’labah berniat menyerang pinggiran Madinah, maka Hz. Rasulullah saw. mengirim rombongan 40 sahabat yang siap di bawah komando Hz. Abu Ubaidah r.a. dan memerintahkan mereka untuk melakukan perjalanan malam dan tiba di sana pada waktu pagi. Hz. Abu Ubaidah r.a. melaksanakan perintah dengan bergerak cepat dan menyergap mereka tepat pada waktu salat subuh. Mereka menjadi panik dengan serangan mendadak ini dan setelah melakukan perlawanan singkat, mereka melarikan diri dan menghilang di pegunungan terdekat. Hz. Abu Ubaidah r.a. mengambil harta rampasan perang dan kembali ke Madinah.

Dalam misi ini disebutkan dua sahabat yaitu Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. dan Hz. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah r.a., keduanya termasuk sahabat terkemuka. Hz. Muhammad bin Maslamah r.a., selain [dikenal] karena kepribadian dan kecakapannya, beliau juga adalah pahlawan dalam penghukuman mati Ka’b bin Asyraf, pemimpin Yahudi, karena pengacau ini telah menerima hukuman di tangan Hz. Muhammad bin Maslamah r.a.. Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. berasal dari suku Aus dari kalangan Ansar dan dianggap sebagai orang kepercayaan khusus selama kekhalifahan Hz. Umar r.a.. Karenanya, Hz. Umar r.a. biasanya mengutus beliau untuk menyelidiki keluhan terhadap para gubernurnya. Setelah wafatnya Hz. Utsman r.a., ketika pintu fitnah di dalam Islam tersebar di antara umat Islam, Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. mematahkan pedangnya di atas batu dan hanya membawa tongkat di tangannya, dan ketika seseorang menanyakan alasannya, beliau mengatakan, “Saya mendengar dari Hz. Rasulullah saw. bahwa ketika pintu pertumpahan darah terbuka di antara umat Islam, maka patahkanlah pedang dan tinggallah di dalam rumah sebagaimana karpet berada di dalam sebuah ruangan.” Perintah ini tampaknya dikhususkan untuk Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. atau kekacauan itu, karena terkadang menghadapi kekacauan di dalam juga bisa menjadi bentuk pengkhidmatan agama yang tinggi.

Sahabat kedua adalah Hz. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah r.a.. Beliau termasuk sahabat terkemuka dan berasal dari Quraisy. Ketinggian derajat beliau terlihat dari kenyataan bahwa Hz. Rasulullah saw. memberi beliau gelar “Amīnul-Millah” (Orang Kepercayaan Umat) dan setelah kewafatan Hz. Rasulullah saw., Hz. Abu Bakar r.a. menganggap beliau sebagai salah satu dari dua sahabat yang layak menjadi khalifah. Hz. Abu Ubaidah r.a. wafat sebagai syahid karena wabah pes pada masa [Kekhalifahan] Hz. Umar r.a..

Kemudian ada Sariyah Zaid bin Haritsah yang dikirim ke arah Banu Sulaim. Tentang ini, Hz. Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:

Pada bulan Rabiulakhir tahun 6 Hijriah, Rasulullah saw. mengutus beberapa Muslim di bawah kepemimpinan budak yang telah dibebaskan oleh beliau saw., Hz. Zaid bin Haritsah, menuju suku Bani Sulaim. Suku ini pada waktu itu tinggal di daerah Najd di tempat bernama Jamum dan telah lama berperang melawan Hz. Rasulullah saw.. Bahkan dalam Perang Khandaq, suku ini mengambil bagian penting melawan umat Islam. Ketika Hz. Zaid bin Haritsah r.a. dan para rekannya tiba di Jamum, yang berjarak sekitar 50 mil dari Madinah, mereka mendapatinya kosong, tetapi mereka mendapat informasi dari seorang wanita dari suku Muzainah bernama Halimah, yang termasuk penentang Islam, tentang lokasi tempat sebagian suku Banu Sulaim sedang menggembalakan ternak mereka. Memanfaatkan informasi ini, Hz. Zaid bin Haritsah r.a. melancarkan serangan mendadak ke tempat tersebut. Terkejut oleh serangan mendadak ini, kebanyakan dari mereka melarikan diri ke berbagai arah, tetapi beberapa tawanan dan ternak jatuh ke tangan kaum Muslimin yang kemudian beliau membawanya pulang ke Madinah. Kebetulan di antara para tawanan ada suami Halimah, dan meskipun ia adalah musuh yang berperang, karena Halimah telah membantu dalam memberikan informasi, Hz. Rasulullah saw. tidak hanya membebaskan Halimah tanpa tebusan tetapi juga membebaskan suaminya sebagai tindakan kemurahan hati, dan Halimah serta suaminya kembali ke negeri mereka dengan gembira.

Demikian pula ada catatan tentang Sariyah Zaid bin Haritsah yang dikirim ke arah ‘Is. Rinciannya dijelaskan dalam Sīrat Khātamun-Nabiyyīn sebagai berikut:

Hz. Rasulullah saw. mengutus Hz. Zaid bin Haritsah r.a., pada bulan Jumadilawal tahun 6 Hijriah dengan membawa 170 sahabat dari Madinah. Para penulis sejarah mencatat bahwa tujuan misi ini adalah untuk mencegat kafilah Quraisy Makkah yang datang dari arah Syam. Kafilah Quraisy selalu bersenjata dan dalam perjalanan mereka antara Makkah dan Syam, mereka lewat sangat dekat dengan Madinah, yang karenanya mereka selalu menjadi ancaman. Selain itu, kafilah ini, di mana pun mereka lewat, menghasut suku-suku Arab untuk melawan umat Islam, yang karenanya api permusuhan yang berbahaya terhadap umat Islam menyala di seluruh negeri. Oleh karena itu, perlu untuk menghentikan mereka. Jadi, setelah mendapat kabar tentang kafilah tersebut, Rasulullah saw. mengutus Hz. Zaid bin Haritsah r.a. ke arah itu dan ia maju dengan sangat hati-hati sampai berhasil menyergap kafilah di tempat bernama ‘Is. ‘Is adalah nama sebuah tempat yang terletak empat hari perjalanan dari Madinah ke arah laut. Karena ini adalah serangan mendadak, anggota kafilah itu tidak bisa menahan serangan kaum Muslimin dan melarikan diri dengan meninggalkan perlengkapan mereka. Hz. Zaid r.a. menangkap beberapa tawanan dan mengambil alih barang-barang kafilah kemudian kembali ke Madinah dan menghadap Hz. Rasulullah saw.

Terkait:   Riwayat ‘Umar Bin Al-Khaththab (8)

Dalam kejadian-kejadian ini, juga disebutkan tentang penangkapan Abul ‘As bin Rabi’ dan keislamannya. Rinciannya adalah sebagai berikut: Ibnu Ishaq menyatakan:

Sebelum Fatah Makkah, Abul ‘As bin Rabi’ berangkat ke Syam untuk berdagang dengan membawa hartanya dan harta orang-orang Quraisy. Ketika telah selesai berdagang dan kembali dengan kafilahnya, ia bertemu dengan pasukan Rasulullah saw.. Para sahabat mengambil alih semua barang yang ada padanya dan menawan para anggota kafilah tersebut. Ibnu Sa’d menulis: Hz. Zaid r.a. menangkap kafilah ini yang di dalamnya ada Abul ‘As juga dan membawa mereka ke Madinah. Imam Zuhri dan Ibnu Uqbah meriwayatkan bahwa Abu Bashir, Abu Jandal dan teman mereka berdua mengambil harta dari kafilah Abul ‘As dan menawan mereka. Tempat mereka adalah Saiful Bahr, yang telah disebutkan sebelumnya, yang merupakan daerah pesisir pantai di sekitar ‘Is. Keduanya tidak membunuh siapa pun di kafilah ini karena Abul ‘As memiliki hubungan menantu dengan Rasulullah saw..

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Abul ‘As melarikan diri dari pasukan di misi ini yaitu pasukan Hz. Zaid bin Haritsah r.a.. Ketika umat Islam kembali dengan membawa harta kafilah, Abul ‘As datang ke Madinah pada malam hari sampai ia mendatangi istrinya, Hz. Zainab binti Rasulullah saw., dan meminta perlindungan darinya. Hz. Zainab r.a. memberi perlindungan kepada Abul ‘As. Ketika Rasulullah saw. mengimami salat subuh dan mengucapkan takbir, dan orang-orang juga bertakbir bersama beliau, Hz. Zainab berteriak keras dari Suffatun Nisa (tempat khusus untuk wanita), dan dalam satu riwayat disebutkan bahwa beliau berdiri di pintunya dan berkata dengan suara keras, “Wahai semuanya, aku telah memberi perlindungan kepada Abul ‘As.”

Ketika Rasulullah saw. selesai salam, beliau menghadap kepada orang-orang dan bertanya, “Wahai semuanya, apakah Anda sekalian mendengar apa yang aku juga dengar?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Demi Zat yang jiwa Muhammad saw. berada di tangan-Nya. Aku tidak mengetahui apa pun tentang hal ini sebelumnya. Aku baru mendengarnya dari Zainab pada saat aku mendengar apa yang kalian juga dengar. Kaum Muslimin adalah satu tangan melawan musuh mereka.”

Beliau saw. bersabda bahwa kaum Muslimin adalah satu tangan melawan musuh mereka. Orang yang paling lemah di antara mereka pun dapat memberi perlindungan. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Hz. Rasulullah saw. bersabda, “Kita juga memberi perlindungan kepada orang yang telah diberi perlindungan oleh Zainab.” Kemudian ketika Rasulullah saw. masuk ke rumah, Hz. Zainab r.a. juga ikut masuk bersama Rasulullah saw. dan meminta agar barang-barang yang diambil dari Abul ‘As dikembalikan. Beliau saw. menyetujuinya dan bersabda, “Wahai putriku, sambutlah ia dengan baik tetapi jangan bercampur dengannya. Sesungguhnya engkau tidak halal baginya karena ia kafir sedangkan engkau Muslim.”

Rasulullah saw. mengirim pesan kepada pasukan yang telah mengambil harta dari Abul ‘As. Beliau saw. bersabda kepada mereka, “Sebagaimana kalian ketahui, orang ini adalah bagian dari kami. Ia memiliki hubungan keluarga denganku dan kalian telah mengambil hartanya. Jika kalian berbuat baik dan mengembalikan hartanya (beliau saw. tidak memerintahkan tetapi bersabda, “Jika kalian berbuat baik dan mengembalikan hartanya) maka itu yang kami sukai, dan jika kalian menolak, maka itu adalah harta ganimah dari Allah yang telah Dia berikan kepada kalian. Aku tidak keberatan akan hal itu, dan kalian lebih berhak atasnya.” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullahsaw.! Kami akan mengembalikan harta itu kepadanya.”

Ibnu Uqbah menulis: Abul ‘As berbicara dengan Hz. Zainab r.a. tentang para sahabatnya yang ditawan oleh Abu Bashir dan Abu Jandal dan harta mereka diambil. Hz. Zainab r.a. membicarakan hal ini dengan Rasulullah saw. Beliau saw. datang dan berbicara kepada orang-orang. Beliau bersabda, “Kami telah menjadikan beberapa orang sebagai menantu dan kami juga telah menjadikan Abul ‘As sebagai menantu, dan kami mendapatinya sebagai menantu yang baik. Ia datang dari Syam bersama beberapa sahabat Quraisynya. Abu Jandal dan Abu Bashir menangkapnya, menawan mereka dan mengambil apa yang ada pada mereka, tetapi tidak membunuh seorang pun dari mereka. Zainab meminta kepadaku untuk memberinya perlindungan. Apakah kalian memberi perlindungan kepada Abul ‘As dan para sahabatnya?” Orang-orang menjawab, “Ya.”

Ketika perkataan Rasulullah saw. tentang Abul ‘As dan para tawanannya ini sampai kepada Hz. Abu Jandal r.a. dan rekan-rekannya, mereka membebaskan semuanya dan mengembalikan segala sesuatu kepada mereka, bahkan tali pun dikembalikan. Menurut Ibnu Ishaq dan Umar, para sahabat mengembalikan segala sesuatu milik mereka sampai-sampai ada yang membawa ember, ada yang membawa kantong air, ada yang membawa bejana, dan ada yang membawa kayu tandu.

Mereka mengembalikan semuanya termasuk para tawanan dan tidak ada satu pun barang yang hilang. Kemudian Abul ‘As membawa harta itu ke Makkah dan memberikan setiap hak kepada pemiliknya. Lalu Abul ‘As berdiri dan berkata di hadapan penduduk Makkah, “Wahai penduduk Makkah, apakah masih tersisa harta seseorang di antara kalian padaku yang belum diambil? Wahai penduduk Makkah, apakah aku telah menunaikan tanggung jawabku dengan sempurna?” Mereka semua menjawab, “Ya, semoga Allah memberimu balasan yang terbaik. Kami telah mendapatimu seorang yang sangat amanah.”

Kemudian Abul ‘As mengumumkan keislamannya dengan berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw. adalah hamba dan Rasul-Nya. Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk masuk Islam di hadapan Rasulullah saw.. Ketika aku di Madinah, aku juga bisa masuk Islam, tetapi aku khawatir kalian akan mengira bahwa aku berniat untuk mengambil harta kalian. Ketika Allah telah menyampaikan harta-harta amanah ini kepada kalian dan aku telah mengembalikannya kepada kalian dan telah bebas darinya, maka aku masuk Islam.” Kemudian Abul ‘As berangkat dari sana dan datang ke Madinah menemui Rasulullah saw..

Mengenai hal ini, Hz. Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:

Di antara para tawanan yang ditangkap dalam misi Sariyah ke ‘Is adalah Abul ‘As bin Rabi’, yang merupakan menantu Rasulullah saw. dan kerabat dekat Hz. Khadijah r.a. yang telah wafat. Sebelum ini, ia juga pernah ditawan dalam Perang Badar, tetapi saat itu Rasulullah saw. membebaskannya dengan syarat bahwa setelah sampai di Makkah, ia akan mengirim putri beliau, Hz. Zainab r.a., ke Madinah. Abul ‘As memang memenuhi janji itu tetapi ia sendiri masih tetap pada kemusyrikan. Ketika Hz. Zaid bin Haritsah r.a. membawanya sebagai tawanan ke Madinah, waktu itu malam hari, tetapi dengan suatu cara Abul ‘As berhasil mengirim pesan kepada Hz. Zainab r.a. bahwa ia telah dibawa ke Madinah sebagai tawanan dan jika beliau bisa melakukan sesuatu untuknya, maka lakukanlah.

Maka tepat pada saat Rasulullah saw. dan para sahabat beliau sedang melaksanakan salat subuh, Hz. Zainab r.a. berteriak dengan suara keras dari dalam rumah mengatakan, “Wahai kaum Muslimin! Aku telah memberi perlindungan kepada Abul ‘As.” Ketika Rasulullah saw. selesai salat, beliau menghadap para sahabat dan bersabda, “Kalian telah mendengar semua yang dikatakan Zainab. Demi Allah, aku tidak mengetahui hal ini, tetapi jemaat mukmin adalah seperti satu jiwa, jika salah satu dari mereka memberi perlindungan kepada seorang kafir maka wajib menghormatinya.” Kemudian beliau saw. menghadap Zainab dan bersabda, “Siapa yang telah engkau beri perlindungan, kami juga memberinya perlindungan.” Selanjutnya harta yang diperoleh dari Abul ‘As dalam misi perang ini dikembalikan kepadanya.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 14)

Kemudian beliau saw. masuk ke rumah dan berkata kepada putrinya, Zainab, “Sambutlah Abul ‘As dengan baik tetapi jangan bercampur dengannya karena dalam keadaan sekarang tidak halal bagimu bertemu dengannya.” Setelah tinggal beberapa hari di Madinah, Abul ‘As kembali ke Makkah, tetapi sekarang kepergiannya ke Makkah bukan untuk menetap di sana karena ia segera menyelesaikan urusan bisnisnya dan setelah mengucapkan kalimat syahadat, berangkat ke Madinah. Ia menghadap Rasulullah saw. dan masuk Islam, kemudian beliau mengembalikan Hz. Zainab r.a. kepadanya tanpa nikah baru. Artinya, sekarang beliau saw. mengizinkan mereka untuk hidup sebagai suami istri.

Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa saat itu dilakukan nikah ulang antara Hz. Zainab r.a. dan Abul ‘As, tetapi riwayat pertama lebih kuat dan lebih sahih.

Karena bisnis Hz. Abul ‘As r.a. berada di Makkah, beliau tidak bisa menetap di Madinah, maka setelah masuk Islam, beliau meminta izin kepada Rasulullah saw. dan kembali ke Makkah. Karena tinggal di Makkah, beliau saw. tidak berkesempatan ikut serta dalam peperangan, hanya ikut serta dalam satu misi yang dikirim di bawah pimpinan Hz. Ali r.a. pada tahun 10 Hijriah. Hz. Ali r.a. mengangkat beliau sebagai gubernur Yaman saat kembali dari Yaman. Setelah Hz. Zainab r.a. wafat pada tahun 8 Hijriah, Abu Al-‘As juga tidak hidup lama dan wafat pada tahun 12 Hijriah.

Kemudian ada catatan tentang sebuah perang yang disebut Perang Bani Lihyan. Nama ini muncul dalam dua pengucapan: Lihyan dan Lahyan. Banu Lihyan adalah cabang dari Bani Hudzail. Di jarak tiga marhalah dari Makkah terdapat Lembah Usfan, dan di timur lautnya sejauh lima mil di Lembah Ghurran tinggal Banu Lihyan. Ada perbedaan pendapat tentang bulan dan tahun terjadinya Perang Banu Lihyan. Menurut Allamah Ibnu Sa’d, perang ini terjadi pada awal Rabi’ul Awal tahun 6 Hijriah. Menurut Muhammad bin Umar, pada bulan Rajab 6 Hijriah, dan menurut Allamah Ibnu Ishaq perang ini terjadi enam bulan setelah Perang Bani Quraizhah, pada Jumadil Awal 6 Hijriah. Allamah Hakim mencatatnya sebagai perang bulan Sya’ban. Allamah Ibnu Hazm menulisnya tahun 5 Hijriah, Allamah Dzahabi, tahun 6 Hijriah, dan beberapa sejarawan menulisnya sebagai perang di tahun 4 Hijriah. Hz. Mirza Bashir Ahmad r.a. menyimpulkan bahwa perang ini terjadi di bulan Jumadil Awal 6 Hijriah, bertepatan dengan September 627 M.

Beliau menulis: Para sejarawan berbeda pendapat tentang tanggal Perang Bani Lihyan. Ibnu Sa’d menyebutkannya terjadi pada Rabi’ul Awal 6 Hijriah, tetapi Ibnu Ishaq dan Thabari menegaskan bahwa itu terjadi pada Jumadil Awal 6 Hijriah. Beliau menyimpulkan: Saya mengikuti Ibnu Ishaq dalam hal ini. Yaitu menurut beliau ini yang benar. Wallāhu A’lam.

Tentang latar belakang Perang Banu Lihyan, Hz. Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis, dengan merujuk pada Peristiwa Ashabur Raji’, bahwa pada peristiwa itu ada sepuluh muslim yang tidak bersalah, yang sedang dikirim untuk tablig Islam secara damai, mereka disyahidkan dengan sangat kejam dan penuh penipuan, dan di balik semua fitnah ini adalah tangan Bani Lihyan yang pada masa itu tinggal di Lembah Ghurran antara Makkah dan Madinah. Secara alami, Rasulullah saw. sangat terpukul oleh kejadian ini. Karena sikap Bani Lihyan masih tetap bermusuhan dan merusak, dan ada kekhawatiran di masa depan bahwa mereka mungkin akan menyebabkan lebih banyak kesusahan terhadap umat Islam, maka sesuai dengan hukum yang ada, Hz. Rasulullah saw. menganggap tepat untuk memberikan mereka sedikit pelajaran agar setidaknya untuk masa depan umat Islam dapat terlindungi dari kezaliman mereka.

Untuk misi ini, Hz. Rasulullah saw. menunjuk Ibnu Maktum sebagai Naib/wakil beliau saw. di Madinah. Hz. Rasulullah saw. berangkat dengan 200 sahabat dan 20 kuda dari Madinah ke arah utara menuju jalan Syam, padahal Bani Lihyan tinggal di selatan Madinah di Hijaz dekat jalan ke Makkah. Alasan beliau saw. pergi ke arah utara adalah karena beliau ingin menyerang Bani Lihyan secara mendadak tanpa sepengetahuan mereka agar mereka tidak melarikan diri setelah mendengar berita penyerangan. Untuk tujuan ini, beliau saw. menggunakan jalan yang biasanya tidak digunakan dan dengan bergerak cepat tiba di pemukiman Bani Lihyan di Ghurran, tempat para sahabat beliau disyahidkan. Beliau saw. berdoa untuk turunnya rahmat dan karunia atas para sahabat beliau saw. yang syahid.

Ketika Bani Lihyan mengetahui kedatangan beliau saw., mereka melarikan diri ke puncak-puncak gunung. Karena itu tidak ada satu pun dari mereka yang tertangkap. Beliau saw. tinggal di sana satu atau dua hari dan mengirim kelompok ke segala arah tetapi tetap tidak ada yang tertangkap. Beliau saw. tinggal beberapa waktu setelah mencapai tempat tujuan, dan diriwayatkan bahwa ketika dalam perjalanan ini beliau saw. tiba di tempat para sahabat beliau disyahidkan, beliau saw. sangat terharu dan memanjatkan doa dengan sangat merintih untuk para syuhada tersebut.

Kemudian tertera: Ketika rencana serangan mendadak terhadap Banu Lihyan tidak berhasil karena mereka melarikan diri ke gunung-gunung, Rasulullah saw. pergi ke Usfan agar orang-orang Makkah mengira beliau akan ke Makkah. Maka beliau saw. pergi ke Usfan bersama para sahabat. Menurut Ibnu Ishaq, beliau saw. kemudian mengirim dua penunggang kuda. Menurut Ibnu Sa’d, beliau saw. mengirim Hz. Abu Bakar r.a. dengan sepuluh penunggang kuda agar Quraisy mendengar tentang mereka dan menjadi takut. Abu Bakar pergi sampai Qura’ul Ghanim, sebuah lembah yang berjarak delapan mil dari Usfan, kemudian kembali ke Usfan tanpa bertemu siapa pun. Setelah itu, Rasulullah saw. memulai perjalanan kembali ke Madinah dan kembali setelah 14 hari berada di luar.

Hz. Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:

Selama perjalanan pulang, beliau saw. berdoa dengan doa yang kemudian biasa dibaca oleh umat Islam ketika kembali dari perjalanan-perjalanan penting mereka. Doa itu adalah:

آئِبُون تائبون عابِدون ساجدون لربنا حامدون

Yakni “Kami kembali, kami bertobat, kami beribadah, kami bersujud kepada Tuhan kami, dan kami memuji-Nya.”

Rasulullah saw. pun biasa memanjatkan doa ini dalam perjalanan-perjalanan beliau setelahnya, dan terkadang menambahkan kata-kata:

صدق اللہ وعدہ ونصر عبدہ وحزم الاحزاب وحدہ

Yakni, “Allah telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan Dia sendiri telah mengalahkan pasukan-pasukan musuh.”

Doa ini – yang disebutkan oleh para sejarawan berkaitan dengan Perang Bani Lihyan, dan juga dibenarkan oleh para ahli hadis – memiliki makna khusus, dan dengan mempelajarinya kita bisa memahami perasaan yang ada dalam hati suci Hz. Rasulullah saw. pada masa yang penuh gejolak ini dan apa yang ingin beliau saw. tumbuhkan dalam diri para sahabat. Dalam doa ini tersembunyi rintihan agar Allah Taala menghilangkan hambatan yang diletakkan musuh di jalan peribadahan umat Islam dan pertabligan Islam yang penuh kedamaian, dan untuk mengungkapkan syukur atas sejauh mana Allah Taala telah menghilangkan hambatan tersebut.

Ini seperti seseorang yang sedang tenggelam dalam pekerjaan yang sangat dicintainya, lalu tiba-tiba seseorang lain mengganggu pekerjaannya dan mengalihkan perhatiannya, tetapi setelah beberapa waktu, berkat karunia Ilahi, gangguan ini hilang dan orang tersebut kembali mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan yang dicintainya. Perasaan yang muncul dalam hati orang tersebut pada saat seperti itu adalah yang tersembunyi dalam doa ini, karena Hz. Rasulullah saw. bersabda, “Setelah terbebas dari gangguan sementara perjalanan ini, kita kembali pada keadaan yang di dalamnya kita dapat menghabiskan waktu dalam mengingat Tuhan kita dan mendapat kesempatan untuk menyanjungkan pujian kepada-Nya. Ya, Tuhan yang sama yang sebelumnya telah berkali-kali melindungi kita dari fitnah musuh dan memberi kita kedamaian.”

Betapa penuh keberkatan, menawan hati dan damainya perasaan ini, tetapi sayangnya beberapa musuh Islam tetap tidak berhenti dari kritik mereka dan terus mengatakan bahwa tujuan utama Hz. Rasulullah saw. dan para sahabat beliau saw. adalah pertempuran yang berdarah dan mengejar dunia.

Kemudian ada Sariyah Hz. Zaid bin Haritsah r.a.. Perang ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun 6 Hijriah. Hz. Rasulullah saw. mengutus Hz. Zaid bin Haritsah r.a. ke arah Bani Tsa’labah bin Sa’d ke tempat bernama Tharif. Tharif adalah nama sebuah sumur milik Bani Tsa’labah yang terletak 36 mil dari Madinah di jalan menuju Irak. Hz. Zaid bin Haritsah r.a. berangkat bersama 15 orang. Ketika sampai di Tharif, mereka menangkap unta dan kambing, dan orang-orang Badui yang ada di sana ketakutan dan mengira Hz. Rasulullah saw. datang ke arah mereka, lalu mereka melarikan diri. Hz. Zaid bin Haritsah r.a. membawa hewan-hewan itu ke Madinah. Orang-orang Banu Tsa’labah mencari para sahabat, tetapi tidak bisa menangkap siapapun. Para sahabat kembali dengan membawa 20 ekor unta. Mereka berada di luar [Madinah] selama empat malam untuk misi ini dan tidak terjadi pertempuran. Dalam misi ini, slogan kaum Muslimin adalah

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 11)

امت امت

[Rinciannya] yang masih tersisa insya Allah [akan di sampaikan] pada kesempatan yang akan datang.

Semua orang mengetahui bagaimana keadaan dunia saat ini. Keadaan yang berkembang di Suriah masih belum jelas. Memang dikatakan bahwa pemerintahan yang zalim dan kejam telah berakhir, tetapi berdoalah agar pemerintahan yang akan datang juga berlaku adil. Mereka yang baru datang (untuk memerintah) ini banyak mengatakan bahwa mereka akan berlaku adil, tetapi umumnya yang terlihat adalah ketika mendapat kekuasaan, orang-orang mengatakan satu hal dan melakukan hal lain. Semoga Allah Taala menjaga para Ahmadi di wilayah-wilayah tersebut dalam perlindungan-Nya. Para analis menulis bahwa masyarakat tampaknya merayakan berakhirnya kezaliman, tetapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Demikian juga Israel menyerang wilayah-wilayah ini tanpa alasan. Tampaknya niat mereka berbahaya terhadap dunia Islam dan dalam hal ini tidak ada negara yang aman. Berdoalah juga untuk Pakistan dalam hal ini. Juga untuk Iran dan negara-negara lainnya. Semoga Allah Taala memberi umat Islam akal sehat dan kesadaran, dan menghilangkan sektarianisme dan nafsu kekuasaan di antara mereka sehingga mereka bisa bersatu. Jika tindakan-tindakan seperti ini terus berlanjut dari pihak umat Islam, bagaimana Allah Taala bisa menolong orang-orang zalim yang membunuh rakyat mereka sendiri. Bagaimanapun, perbanyaklah berdoa. Semoga Allah Taala melindungi setiap Ahmadi dari kejahatan mereka. Para Ahmadi tidak aman baik dari tangan orang-orang Islam yang sekedar mengaku-ngaku ini maupun dari tangan orang lain yang menentang umat Islam. Semoga Allah Taala mengasihani dan menjaga kita dalam perlindungan-Nya dalam segala hal.

Demikian pula, saat ini banyak badai melanda dunia. Beberapa hari yang lalu badai melanda Mayotte, di sana juga ada Ahmadi yang dengan karunia Allah Taala selamat, dan Jemaat juga melakukan pengkhidmatan di sana yang dihargai oleh pemerintah setempat. Di tempat-tempat ini orang-orang menjual makanan dengan harga tinggi dan orang-orang kelaparan karena tidak bisa mendapatkan makanan; Jemaat, dengan karunia Allah Taala, melakukan pengkhidmatan dan memberikan makanan. Bagaimanapun, berdoalah semoga Allah Taala melindungi pulau-pulau ini dari bencana langit.

Setelah salat saya akan memimpin salat jenazah. Jenazah pertama adalah Tn. Amir Hasan Warani Syahid. Beliau adalah putra Tn. Dur Muhammad dari Nusratabad, Distrik Mirpur Khas. Beberapa hari yang lalu beliau disyahidkan. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Beliau sedang pulang ke rumah dari masjid. Beliau disyahidkan dengan cara ditembak. Almarhum adalah seorang Musi. Di antara yang ditinggalkan adalah ibu, istri, dua putra dan tiga putri. Beliau juga meninggalkan beberapa saudara laki-laki dan saudara perempuan.

Menurut rincian kejadian, Tn. Amir Hasan sedang pulang ke rumah setelah melaksanakan salat Tahajud dan salat subuh berjamaah pada pagi 13 Desember, bersama putranya Aziz Taimur yang berusia 12 tahun. Ada jalan antara rumah mereka dan masjid. Mereka baru saja menyeberang jalan, dan saat itu ada dua pengendara motor tak dikenal yang sudah menunggu di sana dengan wajah tertutup mendekat dan menanyakan nama, setelah mengenali beliau mereka menembak. Almarhum terkena lima peluru yang mengakibatkan kesyahidan di tempat. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Setelah itu para penyerang melarikan diri. Aziz Taimur, putra almarhum, dengan penuh mukjizat dilindungi Allah Taala. Putra beliau menunjukkan keberanian luar biasa dengan memberitahu anggota Jemaat tentang kejadian tersebut.

Ahmadiyah masuk ke keluarga mereka melalui kakek buyut mereka, Tn. Dhani Bakhsh Sahib, yang baiat pada tahun 1937 pada masa Khalifah ke-2. Kakek almarhum syahid bukan Ahmadi, tetapi anggota keluarga lainnya termasuk paman-paman beliau menerima Ahmadiyah. Ayah almarhum, Dur Muhammad, baiat pada masa Khalifah ke-2 pada tahun 1964 melalui yang terhormat Tn. Syed Daud Muzaffar Shah yang saat itu berada di sana sebagai petani. Almarhum bekerja di bidang pertanian dan beberapa waktu terakhir juga bertugas sebagai penjaga keamanan di Nusratabad. Almarhum mendapat taufik berkhidmat sebagai Qaid Majlis Khudamul Ahmadiyah dan saat syahid sedang berkhidmat sebagai Sekretaris Waqf-e-Nou. Beliau memiliki hubungan kesetiaan dan keikhlasan yang kuat dengan Khilafat. Beliau sangat ramah terhadap tamu dan memiliki sifat yang lembut. Ibunda beliau mengatakan, “Ini adalah kehormatan besar bagi kami bahwa putra saya mendapat syahid. Jika saya harus mengorbankan putra kedua saya untuk Jemaat, saya akan melakukannya.” Sungguh ibu yang sangat berani. Beliau selalu memperhatikan saudara-saudarinya setelah ayah mereka wafat. Tidak pernah membiarkan peminta-minta pulang dengan tangan kosong. Ada wanita non-Ahmadi yang buta di lingkungan mereka. Beliau memperhatikan kambing-kambing dan anak-anak wanita itu serta mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Beliau sangat dawam dalam salat berjamaah.

Tn. Amir Distrik Mirpur Khas menulis bahwa beliau selalu meninggalkan semua pekerjaan untuk hadir bertugas pada setiap program Jemaat. Pak Amir mengatakan bahwa dalam sebulan terakhir telah melihat perubahan nyata pada diri almarhum. Almarhum rutin membuka masjid sebelum subuh dan melaksanakan salat-salat nafal. Tampak seolah-olah seorang Amir Hussein yang baru telah lahir.

Tn. Khalid Baloch, seorang dosen Jamiah dan kerabat beliau, mengatakan bahwa di antara kebaikan-kebaikan beliau adalah keberanian dan sangat suka membantu orang lain. Setiap kali bertemu, beliau selalu membahas hal-hal rohani, terutama tentang bagaimana meningkatkan hubungan antara manusia dan Tuhan.

Seorang Mubalig menulis bahwa beliau memiliki hubungan baik dengan non-Ahmadi di daerahnya. Saat kewafatannya, orang-orang datang dari jauh untuk menyatakan belasungkawa dan semua mengatakan bahwa beliau adalah sosok yang mencintai semua orang dan selalu membantu siapa saja yang tengah dalam kesulitan. Semoga Allah Taala menurunkan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau, meninggikan derajat beliau, dan menjaga anak-anak beliau dalam perlindungan-Nya.

Jenazah kedua adalah yang terhormat Tn. Maulana Abdul Sattar Rauf, Muballigh Jemaat Malaysia. Beliau juga wafat beberapa hari yang lalu pada usia 75 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Beliau mendapat kehormatan menerima Ahmadiyah pada 15 Januari 1973. Pada Oktober 1977 beliau masuk Jamiah Ahmadiyah Rabwah dan menyelesaikan program Mubasyir. Beliau mendapat taufik berkhidmat di berbagai negara. Pada tahun 1985 ditugaskan sebagai mubalig di Indonesia, kemudian dikirim ke Fiji dan di sana beliau tinggal beberapa tahun, lalu kembali ke Indonesia. Kemudian beliau dikirim ke Malaysia untuk bertablig. Selanjutnya beliau ditugaskan di Vietnam dan tinggal beberapa tahun di sana. Kemudian mendapat taufik berkhidmat di Malaysia. Beliau sangat aktif dalam pengkhidmatan. Keluarga yang ditinggalkan adalah istri, satu putri dan tiga putra.

Orang-orang yang mengenal beliau menulis bahwa beliau sepenuhnya mewaqafkan diri untuk Jemaat dan juga mendorong anggota Jemaat untuk berkorban dan mewaqafkan diri. Beliau sangat penyayang dan selalu menutupi kelemahan orang lain. Melalui upaya tablig beliau, banyak orang mendapat taufik bergabung dengan Jemaat. Beliau sangat mencintai Hz. Rasulullah saw.. Setiap kali ada penyebutan tentang Hz. Rasulullah saw., air mata beliau mengalir. Ketika diminta untuk berkhidmat ke negara lain, beliau pergi tanpa ragu meninggalkan istri dan anak-anaknya, dan selalu siap berkorban untuk Jemaat. Semoga Allah Taala menurunkan ampunan dan rahmat-Nya untuk beliau, meninggikan derajat beliau, dan memberi taufik kepada anak keturunan beliau untuk melanjutkan kebaikan-kebaikan beliau.[3]


[1] Gazwah adalah pertempuran yang diikuti langsung oleh Nabi Muhammad saw.

[2] Sariyah adalah peristiwa pengiriman satuan militer atas perintah Nabi Muhammad saw.

[3] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.