Riwayat Syahidnya Umar bin Khattab (Seri 20)

mirza masroor ahmad pidato hak islam

Perbedaan pandangan para Muarrikh dan penulis Sirah zaman dulu dengan para Sejarawan zaman sekarang terkait pensyahidan Hadhrat ‘Umar (ra).

Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.

Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.

Penyebutan rinci tentang peristiwa kesyahidan Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu dengan referensi dari berbagai sejarawan dan penulis biografi.

Beberapa sejarawan dan penulis biografi modern menganggap pembunuhan Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu sebagai rencana dan konspirasi yang terencana dengan baik. Penjelasan dua sejarawan modern dari Mesir, Doktor Muhammad Ridha dan Doktor Muhammad Husain Haikal.

Mengubah Ketakutan menjadi Damai dalam penjelasan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyAllahu ta’ala ‘anhu menjelaskan mengenai ajaran Islam terkait pembebasan budak yang mana ini ada kaitannya dengan penyebab pensyahidan Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyAllahu ta’ala ‘anhu bersabda, “Di dunia ini terdapat dua hal yang menjadi penyebab berpalingnya seseorang dari kebenaran yaitu kalau tidak kebencian yang mendalam, kecintaan yang mendalam.

Pentingnya penjagaan keamanan pada waktu shalat berjamaah di waktu keadaan tidak aman atau terancam meski bukan saat peperangan.

Kepedulian Hadhrat ‘Umar (radhiyAllahu ta’ala ‘anhu untuk membayar Hutangnya

Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Khalifah ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 15 Oktober 2021 (15 Ikha 1400 Hijriyah Syamsiyah/ 08 Rabi’ul Awwal 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Di dalam khotbah yang lalu telah saya jelaskan tentang peristiwa pensyahidan Hadhrat ‘Umar (ra). Ada beberapa hal tambahan yang akan dijelaskan di sini. Dari riwayat Sahih Bukhari yang telah disampaikan sebelumnya, diketahui bahwa penyerangan terhadap Hadhrat ‘Umar (ra) terjadi ketika shalat subuh dilaksanakan. Saat itu Hadhrat ‘Umar (ra) sedang berada di dalam masjid.

Sementara itu, di dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) dengan segera dibawa ke kediaman beliau dan shalat dilaksanakan setelahnya sebagaimana Allamah Ibnu Hajar, penulis Syarh (komentar atas) Shahih Bukhari, di bawah riwayat tersebut seraya mengutip satu riwayat lain beliau menulis bahwa Hadhrat Ibnu Abbas berkata:,ثُمَّ غَلَبَ عُمَر النَّزْف حَتَّى غُشِيَ عَلَيْهِ، فَاحْتَمَلْتُه فِي رَهْط حَتَّى أَدْخَلْته بَيْتَه فَلَمْ يَزَلْ فِي غَشْيَته حَتَّى أَسْفَرَ الصبح، فَنَظَرَ فِي وُجُوهنَا فَقَالَ: أَصَلَّى النَّاس؟ فَقُلْت نَعَمْ، قَالَ: لَا إِسْلَام لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاة. ثُمَّ تَوَضَّأَ وَصَلَّى. “Tatkala darah Hadhrat ‘Umar (ra) tampak banyak mengalir dan beliau pun pingsan, saya lalu mengangkat beliau bersama yang lain dan membawa beliau hingga ke rumah beliau. Hadhrat ‘Umar (ra) terus pingsan hingga cahaya pagi menerangi. Ketika beliau sadar kembali, beliau melihat kami dan bersabda, ‘Apakah orang-orang telah shalat?’

Saya menjawab, ‘Ya, sudah.’

Mendengar ini beliau bersabda, لا إِسْلامَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاةَ ‘Tidak ada Islam bagi seseorang yang meninggalkan shalat’ lalu beliau berwudu dan menunaikan shalat. Selain itu, di dalam Kitab ath-Thabaqaat al-Kubra pun tertera bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) diangkat dan dibawa ke rumah lalu Hadhrat Abdurrahman bin Auf mengimami shalat.”[1] Tertera juga bahwa Hadhrat Abdurrahman menilawatkan dua surah yang terpendek dari Al-Qur’an al-Karim yaitu Al-’Ashr dan Al-Kautsar.[2]  Di tempat lain tertera bahwa beliau menilawatkan surah Al-’Ashr dan Al-Kafirun.[3]

Terkait siapa pembunuh Hadhrat ‘Umar (ra), di dalam Kitab ath-Thabaqaat al-Kubra tertera bahwa tatkala Hadhrat ‘Umar (ra) diserang, beliau lalu bersabda kepada Hadhrat Abdullah bin Abbas, “Pergi dan cari tahulah siapa yang telah berusaha membunuh saya!”

Hadhrat Abdullah bin Abbas berkata, “Saya beranjak keluar, lalu tatkala saya membuka pintu rumah, saya melihat orang-orang tengah berkumpul, dimana mereka tidak mengetahui keadaan Hadhrat ‘Umar (ra). Saya bertanya, ‘Siapakah yang telah menyerang Hadhrat Amirul Mukminin dengan belati?’

Mereka menjawab, “Musuh Allah, Abu Luluah yang telah menyerang Hudhur dengan khinjar (pedang pendek, semacam belati atau pisau), ia adalah budak Mughirah bin Syu’bah. Ia pun telah melukai beberapa orang lainnya. Namun tatkala ia ditangkap, ia lantas bunuh diri dengan belati itu sendiri”.[4]

Terkait apakah pensyahidan Hadhrat ‘Umar (ra) merupakan hasil sebuah perencanaan ataukah hanya dendam pribadi yang dimilikinya, beberapa sejarawan terkini pun telah menulis pensyahidan Hadhrat ‘Umar (ra) tidak hanya berdasarkan suatu dendam pribadi, melainkan sebuah perencanaan. Alhasil, pendapat mereka pun akan kita lihat di sini. Sosok Hadhrat ‘Umar (ra), wujud Khalifah yang pemberani, mengenai bagaimana beliau telah disyahidkan, secara umum kita melihat bahwa para sejarawan (muarrikh) dan penulis Sirah (riwayat hidup Nabi dan para Sahabatnya) diam setelah menjelaskan runtunan peristiwa pensyahidan Hadhrat ‘Umar (ra), dan didapat kesimpulan bahwa Abu Luluah Firuz telah membunuh beliau karena gejolak dan kemarahan sesaat. Namun, sebagian sejarawan sekarang menjelaskan secara rinci seraya berbahas dalam hal ini bahwa pembalasan dendam ini tidak mungkin hanya disebabkan oleh amarah satu orang saja, tetapi ini adalah suatu perencanaan dan Hadhrat ‘Umar (ra) telah dibunuh berdasarkan satu rencana yang telah dimatangkan. Dan dalam perencanaan ini, Hurmuzan (seorang panglima pasukan Iran yang secara lahiriah telah memeluk Islam dan tinggal di Madinah) pun terlibat di dalamnya.

Para penulis masa kini menaruh keraguan terhadap para sejarawan dan penulis riwayat hidup yang lampau, mengapa mereka tidak membahas secara rinci peristiwa pembunuhan yang sangat penting ini, dimana ini merupakan sebuah perencanaan? Dari hal ini, sebuah kitab penting sejarah, yaitu Al-Bidayah Wan Nihayah, di dalamnya hanya dituliskan peran Harmuzan dan Jufainah di pembunuhan Hadhrat ‘Umar (ra) telah diragukan.

Oleh karena itu, atas dasar keraguan inilah para penulis riwayat hidup Hadhrat ‘Umar (ra) seraya menjelaskan masalah ini, mereka menyatakannya sebagai sebuah perencanaan. Diantara para penulis tersebut, salah satunya ada Muhammad Ridha Sahib yang dalam bukunya, al-Faruq ‘Umar menulis, “Di masa itu Hadhrat ‘Umar (ra) tidak memberikan izin kepada tawanan dewasa manapun untuk datang ke Madinah, hingga Hadhrat Mughirah bin Syu’bah (yaitu Pemimpin Kufah) menulis surat kepada Hadhrat ‘Umar (ra) bahwa ia memiliki seorang budak yang sangat terampil [ia berjuluk Abu Luluah, أَبُو لُؤْلُؤَةَ], dan ia memohon izin untuknya agar dapat datang ke Madinah. Hadhrat Mughirah bin Syu’bah lalu berkata, ‘Ia mengusai banyak pekerjaan, dan akan bermanfaat untuk banyak orang. Ia adalah seorang pandai besi, pemahat, dan tukang kayu yang mahir.’ Hadhrat ‘Umar (ra) menulis surat kepada Hadhrat Mughirah bahwa beliau telah mengizinkan untuk mengirimnya ke Madinah.

Hadhrat Mughirah telah menetapkan pajak 100 dirham setiap bulan atasnya. Budak itu pun hadir ke hadapan Hadhrat ‘Umar (ra) dan mengadukan biaya pajak yang besar tersebut. Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya, ‘Pekerjaan apakah yang Anda kuasai dengan sebaik-baiknya? Beliau [Hadhrat Mughirah] telah memberitahukan pekerjaan yang sangat Anda kuasai.’ Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Dengan apa yang Anda kuasai ini, maka pajak tersebut tidaklah besar.’

Ia pun pulang dalam keadaan marah kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat ‘Umar (ra) menyuruhnya untuk tinggal beberapa hari lagi. Satu hari, budak tersebut lewat di depan Hadhrat ‘Umar (ra) lalu beliau memanggilnya dan bersabda, ‘Saya mendapat kabar bahwa Anda dapat membuat alat penggiling bertenaga angin yang sangat baik.’

Budak tersebut menghadap Hadhrat ‘Umar (ra) dalam rona tidak suka dan marah lalu berkata, ‘Saya akan membuat satu penggiling untuk Tuan dimana semua orang akan terus membicarakannya.’

Ketika budak tersebut pergi, Hadhrat ‘Umar (ra) menghadap ke arah para Sahabat yang bersama beliau dan bersabda, ‘Budak ini baru saja memaki saya.’

Setelah berlalu beberapa hari, Abu Luluah membawa dan menyembunyikan belati bermata dua dan bergagang tengah di dalam kain pakaiannya (خِنْجَرٍ ذِي رَأْسَيْنِ نِصَابُهُ فِي وَسَطِهِ). Ia lalu menebas Hadhrat ‘Umar (ra).” (Hal ini sebagaimana yang telah saya jelaskan pada peristiwa pensyahidan beliau.)

“Satu tebasannya mengenai bawah perut beliau. Di satu sisi, Abu Luluah menyimpan kebencian dan dendam terhadap Hadhrat ‘Umar (ra), karena beliau telah menaklukkan negerinya dan menjadikannya tawanan serta telah menjadikan rajanya harus terusir dalam keadaan tertunduk dan terhina. Kapan pun ia melihat anak-anak kecil [Persia] yang menjadi tawanan, ia mendatanginya lalu mengusap kepalanya dan berkata kepadanya seraya menangis, ‘Bangsa Arab telah memakan buah hati saya.’

Ketika Abu Lulua telah berkeinginan bulat untuk mensyahidkan Hadhrat ‘Umar (ra), ia lantas membuat belati bermata dua dengan sungguh-sungguh. Ia mengasahnya dan mencampurinya dengan racun. Ia membawanya kepada Hurmuzan dan berkata, ‘Apakah pendapatmu tentang belati ini.’ Ia berkata, ‘Pandangan saya, kepada siapa saja kamu akan menebas dengan belati ini, orang itu akan langsung terbunuh.’ Hurmuzan adalah salah seorang mantan panglima tentara Persia. Kaum Muslim pernah menawannya di daerah Tustar, lalu mereka mengirimnya ke Madinah. Tatkala ia melihat Hadhrat ‘Umar (ra), ia bertanya, ‘Dimanakah para pengawal dan petinggi beliau?’ (sebelumnya telah saya jelaskan). Para Sahabat (r.anhum) berkata, ‘Beliau tidak memiliki pengawal, petinggi, juru tulis, serta mahkamah kerajaan.’

Ia lantas berkata, ‘Kalau begitu hendaknya ia merupakan seorang Nabi.’

Alhasil, ia pun menjadi Muslim, dan Hadhrat ‘Umar (ra) menetapkan uang sejumlah 2.000 untuknya dan memerintahkannya tinggal di Madinah.

Terdapat sebuah riwayat di ath-Thabaqaat Ibnu Sa’ad dengan sanad dari Nafi’, bahwa Hadhrat Abdurrahman melihat belati yang dengannya Hadhrat ‘Umar (ra) telah disyahidkan. Beliau berkata, ‘Beberapa hari yang lalu saya telah melihat belati ini pada Hurmuzan dan Jufainah lalu saya bertanya kepadanya, “Apa yang Anda berdua lakukan dengan belati ini?” mereka berdua berkata, “Kami memotong daging dengan ini, karena kami tidak langsung menyentuhnya.”’

Atas hal ini Hadhrat Ubaidullah bin ‘Umar bertanya kepada Hadhrat Abdurrahman, ‘Apakah Anda pernah melihat belati ini pada kedua orang tersebut?’[5]

Ia menjawab, ‘Ya’.

Kemudian Hadhrat Ubaidullah bin ‘Umar mengambil pedangnya dan mendatangi keduanya lantas membunuh keduanya.

Hadhrat ‘Utsman (ra) memanggil Hadhrat Ubaidullah. Tatkala ia hadir di hadapannya, Hadhrat ‘Utsman (ra) bertanya, ‘Kemarahan apa yang telah menjadikan engkau membunuh keduanya sementara mereka berdua ada di bawah perlindungan kita?’

Mendengar hal ini, Hadhrat Ubaidullah langsung menggenggam Hadhrat ‘Utsman (ra) dan menjatuhkan beliau ke tanah hingga orang-orang pun berdatangan dan menyelamatkan Hadhrat ‘Utsman (ra) dari Hadhrat Ubaidullah. Sebelumnya, tatkala Hadhrat ‘Utsman (ra) memanggilnya, ia (Ubaidullah) menyilangkan pedang pada beliau, namun Hadhrat Abdurrahman dengan keras mengatakan kepadanya untuk menurunkannya dan ia pun menurunkan dan meletakkan pedangnya.

Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab, ‘Tatkala Hadhrat ‘Umar (ra) disyahidkan – ini semata sebuah riwayat. Soal sejauh mana kebenaran riwayat yang tadi telah saya bacakan, Allah yang lebih mengetahui. Kita juga tidak tahu sejauh mana kebenaran riwayat yang mengenai Hadhrat ‘Utsman (ra). seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya yaitu kisah tentang Hadhrat ‘Utsman (ra), dan memang terkait peristiwa pembunuhan tersebut, telah dijelaskan juga di beberapa riwayat lainnya – tatkala Hadhrat ‘Umar (ra) disyahidkan, Hadhrat Abdurrahman bin Abu Bakr berkata, “Saya sempat berpapasan dengan pembunuh Hadhrat ‘Umar (ra), Abu Lulua, sementara Jufainah dan Hurmuzan pun ada bersamanya, saat itu mereka tengah berbisik-bisik. Ketika tiba-tiba saya mendekatinya, mereka berdiri dan hendak berlari sementara satu belati terjatuh diantara mereka. Belati itu bermata dua dan gagangnya berada di tengahnya. Jadi perhatikanlah bagaimana belati yang dengannya Hadhrat ‘Umar (ra) telah disyahidkan.”

Tatkala mereka melihat, benar belati itulah sebagaimana yang telah Hadhrat Abdurrahman bin Abu Bakr jelaskan. Tatkala Hadhrat Ubaidullah bin ‘Umar mendengar dari Hadhrat Abdurrahman bin Abu Bakr, ia pun membawa pedangnya dan bergegas keluar hingga ia pun menyeru kepada Hurmuzan. Ketika Hurmuzan mendatanginya, Hadhrat Ubaidullah berkata, ‘Ikutlah bersama saya’, hingga mereka pun melihat kuda mereka dan Hadhrat Ubaidullah mundur di belakangnya. Tatkala ia mulai berjalan di depannya, Hadhrat Ubaidullah pun menebasnya dengan pedang.

Hadhrat Ubaidullah bin ‘Umar menjelaskan, “Tatkala ia merasakan kilatan pedang, ia lalu mengucapkan ‘laa ilaha illallah. Hadhrat Ubaidullah berkata, “Saya berseru kepada Jufainah (ia adalah seorang Kristen dari antara para Nasrani di Hira; ia adalah pendukung Sa’d bin Abi Waqqas, [dimana] ia telah mengutusnya ke Madinah untuk mengadakan perdamaian di antara mereka berdua; ia telah mengajarkan baca tulis di Madinah) ketika saya menebasnya dengan pedang, ia membuat tanda salib di depan kedua matanya.[6] Hadhrat Ubaidullah pun maju dan membunuh putri Abu Luluah yang mana ia pernah menyatakan dirinya sebagai Muslim. Hadhrat Ubaidullah berkeinginan pada hari itu tidak akan ada seorang pun tawanan yang akan hidup.

Kaum Muhajirin awal bersatu menghalangi dia (Ubaidullah) dan mencela serta mengancamnya. Ubaidullah berkata, “Demi Allah, saya pasti akan membunuh mereka semua (orang-orang non Arab di Madinah yang dicurigainya bersekongkol).” Ia tidak menghiraukan kaum Muhajirin itu, hingga Hadhrat Amru bin Al-’Ash terus bersamanya dalam percakapan itu hingga ia [Hadhrat Ubaidullah] pun menyerahkan pedang itu kepada Hadhrat Amru bin Al-’Ash.

Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash mendatangi mereka berdua dalam keadaan mereka berdua saling menggenggam rambut dahi (kepala bagian depan) satu sama lain.

Hadhrat Ubaidullah telah membunuh Hurmuzan, Jufainah dan putri Abu Luluah.’” [7]

Kini segenap perkara telah kita sebutkan dalam pembahasan ini, yaitu penyebab apa yang telah menjerumuskan Abu Luluah untuk membunuh Hadhrat ‘Umar (ra). Dari riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, dapat diambil kesimpulan bahwa pembunuhan Hadhrat ‘Umar (ra) adalah sebuah perencanaan. Inilah yang ditulis oleh penulis yang menyimpulkan ini sebagai perencanaan yang dilakukan Hurmuzan. Ia yang telah merencanakan semua ini, yaitu dengan semakin mengobarkan kebencian dan dendam Abu Luluah terhadap Hadhrat ‘Umar (ra). Mereka berdua adalah orang bukan Arab. Tatkala Hurmuzan ditawan dan ia dikirim ke Madinah, ia pun memeluk Islam atas kekhawatiran bahwa Khalifah akan membunuhnya. Di dalam ath-Thabaqat Ibnu Sa’d, riwayat dari Nafi’ disebutkan bahwa Abdurrahman Bin Auf pernah melihat belati yang dengannya Hadhrat ‘Umar (ra) telah disyahidkan. Kemudian di dalam kitab Tarikh ath-Thabari di dalam riwayat Sa’id bin Musayyab disebutkan bahwa Abdurrahman bin Abi Bakr pun pernah melihat belati tersebut yang terjatuh di tengah-tengah Abu Luluah, Jufainah dan Hurmuzan, tatkala beliau secara tiba-tiba bertemu dengan mereka dan belati itu terjatuh dari mereka disebabkan derap langkah beliau. Tatkala Hadhrat Ubaidullah bin ‘Umar mendengar perkara ini dari Hadhrat Abdurrahman bin Abi Bakr, ia pun beranjak maju dan membunuh keduanya (Jufainah dan Hurmuzan). Ia tidak berhenti sampai di sini, ia telah dibutakan oleh gejolak pembalasan dendam hingga putri Abu Luluah pun ia bunuh. Belati sebagaimana telah disebutkan oleh Hadhrat Abdurrahman bin Abu Bakr itulah yang dengannya Hadhrat ‘Umar (ra) telah disyahidkan.

Terkait:   Kehidupan Hadhrat Rasulullah SAW (IV) : Persiapan Perang Badar

Seandainya Ubaidullah bin ‘Umar tidak terburu-buru membunuh Hurmuzan dan Jufainah, maka kemungkinan mereka berdua akan dipanggil untuk penyelidikan perkara ini, yang dengan ini perencanaan ini pun akan terkuak. Jika segenap hal ini disampaikan ke muka, maka hal ini akan dapat dipahami dengan terang benderang bahwa ini adalah sesuatu yang telah direncanakan secara matang, dan orang yang telah menjalankan rencana ini dan telah membunuh Hadhrat ‘Umar (ra) adalah Abu Luluah. Inilah yang disampaikan oleh mereka yang meyakini peristiwa itu sebagai sebuah perencanaan.

Demikian pula seorang penulis Sirah (riwayat hidup Nabi Muhammad (saw)), Doktor Muhammad Husain Haikal di dalam bukunya menulis, “Kenyataan yang terjadi adalah, ketika kaum Muslim menundukkan bangsa Iran dan kaum Kristen, dan kaum Muslim mengambil alih pemerintahan di negeri-negeri tersebut, dan Kaisar Iran pun telah mereka paksa untuk melarikan diri setelah menelan kekalahan yang menyakitkan, saat itulah kaum Yahudi dan Kristen Iran secara diam-diam telah menaruh gejolak kebencian dan dendam kepada bangsa Arab secara umum dan khususnya kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Saat itu orang-orang pun menyebutkan kebencian dan dendam tersebut dalam percakapan mereka, dan mereka teringat sabda Hadhrat ‘Umar (ra) setelah mereka mengetahui orang yang telah menyerang beliau adalah Abu Luluah dari Iran. Hadhrat ‘Umar (ra) pernah bersabda, ‘Saya pernah melarang Anda sekalian agar jangan menggiring seseorang yang tidak beragama untuk tinggal bersama kita, namun Anda tidak menghiraukan ucapan saya.’[8]

Jumlah orang bukan Arab yang keras dalam kekafirannya di Madinah saat itu sangat sedikit, namun telah menjadi satu kelompok, dimana hati mereka telah penuh dengan kemarahan dan pembalasan dendam, dan dada mereka telah menyala dengan api kebencian. Siapa yang dapat membayangkan orang-orang tersebut telah membuat rencana dan ulah Fairuz (Feroz) Abu Luluah ini adalah buah rencana tersebut? Yang mana para musuh Islamlah yang telah menebarkan jala untuk memenuhi rasa haus akan kebencian dan permusuhan mereka. Dengan ini mereka beranggapan bahwa persatuan bangsa Arab akan tercerai-berai dan kekuatan kaum Muslim dapat dilemahkan.

Para putra Hadhrat ‘Umar (ra)-lah yang paling gelisah untuk mengetahui hakikat sebenarnya kejadian ini. Mereka telah dapat menyingkap tabir tersebut dan sampai di kedalamannya. Seandainya Abu Luluah Firuz tidak bunuh diri dan membawa rahasia itu bersamanya ke alam kubur, apakah hal ini akan berakhir begitu saja dan sekarang ini tidak ada lagi jalan untuk membuka rahasia tersebut?”[9]

Penulis ini yang seorang sejarawan ingin menyingkapkan rencana jahat ini, apakah ini merupakan konspirasi ataukah bukan, “Pemilik Qada dan Qadar menghendaki agar sesosok pemimpin Arab mengetahui rahasia ini dan membimbingnya dalam menyikap rencana jahat ini. Tatkala Hadhrat Abdurrahman bin Auf melihat belati tersebut, yang dengannya Hadhrat ‘Umar (ra) telah disyahidkan, beliau bersabda, ‘Kemarin saya telah melihat belati ini pada Hurmuzan dan Jufainah. Saat itu saya bertanya kepada mereka, “Apa yang akan kalian lakukan dengan belati ini?”

Mereka menjawab akan menggunakannya untuk memotong daging karena mereka tidak menyentuh daging dengan tangannya.”’

Lalu Hadhrat Abdurrahman bin Abi Bakr berkata, “Saya pernah berpapasan dengan pembunuh Hadhrat ‘Umar (ra), Abu Lulua, sementara Hurmuzan dan Jufainah ada bersamanya, dan saat itu mereka tengah berbicara secara diam-diam. Saya tiba-tiba mendekati mereka maka mereka pun melarikan diri dan sebuah belati jatuh dari antara mereka, yaitu belati bermata dua dan gagangnya terletak di tengahnya. Lihatlah bagaimana belati yang dengannya Hadhrat ‘Umar (ra) telah disyahidkan”. Tatkala orang-orang melihatnya, maka itu memang adalah belati yang Hadhrat Abdurrahman bin Abu Bakr telah jelaskan.”

Penulis berkata: dengan ini tidak ada lagi keraguan bahwa keduanya adalah saksi yang benar, bahkan mereka inilah yang paling dipercaya diantara segenap Muslim, dan mereka berdualah yang memberikan kesaksian, bahwa belati yang digunakan untuk mensyahidkan Hadhrat ‘Umar (ra) pernah ada pada Hurmuzan dan Jufainah. Dari antara keduanya, salah satu saksi berkata bahwa ia telah melihat sang pembunuh, yaitu Abu Lulua, bahwa sebelum ia membunuh, ia tengah bersama keduanya [yaitu Hurmuzan dan Jufainah], dan menurut kedua saksi, semua ini merupakan peristiwa di malam tatkala keesokan paginya Hadhrat ‘Umar (ra) diserang. Jadi, apakah setelah ini ada yang sanggup meragukan hal ini, bahwa Hadhrat Amirul Mukminin adalah sasaran dari perencanaan pembunuhan ini, yang peran utamanya adalah ketiga orang tersebut? Memang ada kemungkinan ada orang Iran lain atau orang dari bangsa lain yang ikut serta di dalamnya, yaitu bangsa yang telah ditaklukkan oleh kaum Muslim.

Ketika Hadhrat Ubaidullah bin ‘Umar mendengar kesaksian dari Hadhrat Abdurrahman bin Auf dan Abdurrahman bin Abu Bakr, maka ia pun menjadi gelap mata untuk melancarkan pembalasan dendam. Dirinya telah mencap segenap orang non Arab di Madinah pun ikut serta dalam rencana pembunuhan ini dan tangan mereka pun berlumuran darah atas kejahatan ini. Ia dengan segera mengambil pedangnya dan pertama-tama ia menghabisi Hurmuzan dan Jufainah. Di dalam riwayat, ia menyeru kepada Hurmuzan. Tatkala ia keluar, ia berkata kepadanya, “kemarilah bersama saya, dan lihatlah kuda saya”, sementara ia sendiri mundur di belakang. Tatkala ia berjalan di depannya, maka ia menebasnya dengan pedang. Tatkala orang Iran itu merasakan kilatan pedang, ia berkata la ilaha illallah dan ia pun tumbang.

Ada riwayat bahwa Hadhrat Ubaidullah bin ‘Umar (yaitu salah seorang putra Hadhrat ‘Umar (ra)) berkata, “Lalu saya memanggil Jufainah (ia adalah seorang Kristen dari Hirah dan saudara sepersusuan Sa’ad bin Abi Waqqas. Karena hubungan keluarga ini, Sa’ad membawanya ke Madinah, dimana ia sering mengajarkan baca tulis kepada orang-orang di sana). Ketika saya menebasnya dengan pedang, ia membuat tanda salib diantara kedua matanya”.

Satu lagi saudara Hadhrat ‘Ubaidullah pun sama amarahnya atas kesyahidan ayahandanya dan yang paling bergelora adalah Ummul Mukminin, Hadhrat Hafsah (r.anha).“ (Meski demikian, apa yang telah ia lakukan ini tidaklah diizinkan secara syariat. “Tidak ada seorang pun yang dapat memutuskan sendiri untuk melakukan pembalasan dendam, yakni ia menjalankan sendiri haknya sesuai keinginannya, sedangkan keputusan dalam perkara ini [pengadilan dan penjatuhan hukuman terhadap kriminal] ada di tangan Rasulullah (saw), dan setelah beliau (saw), hak untuk memutuskan ini telah dikhususkan pada tangan para Khalifah beliau (r.anhum). Beliau menyampaikan keputusan diantara segenap orang secara adil dan menerapkan perintah Qishash terhadap para pelanggar hukum.

Oleh karena itu, Hadhrat Ubaidullah berkewajiban, bahwa tatkala ia mengetahui adanya kejahatan tersebut, dimana akibatnya sosok ayahandanya pun telah terbunuh, maka carilah keputusan di tangan Amirul Mukminin. Jika menurutnya rencana pembunuhan itu terbukti benar, maka Hadhrat Amirul Mukminin akan menerapkan perintah Qishash. Dan apabila ini tidak terbukti, atau di dalam hati Hadhrat Amirul Mukminin (yaitu Khalifah yang baru) timbul suatu keraguan, maka sejauh itu beliau akan memperingan hukuman tersebut, atau beliau memutuskan bahwa Abu Luluah-lah yang bersalah. ”[10]

Alhasil, apa yang telah ia lakukan, tidaklah dibenarkan secara hukum. Secara ringkas adalah, meskipun tidak jauh secara qiyas (penyerupaan kejadian yang mirip) bahwa pembunuhan ini merupakan hasil sebuah rencana yang matang, namun keadaan saat itu memperlihatkan bahwa Hadhrat ‘Utsman (ra) tidak sanggup menyelidikinya dengan segera atau bagaimanapun keadaannya para sejarawan awal tidak bersuara dan beberapa sejarawan di zaman ini tengah membahasnya berdasarkan asumsi-asumsi dan dalam dalil-dalil yang mereka tampak cukup berbobot karena kelompok yang melakukan konspirasi ini tidak mencukupkan sampai di sana bahkan Hadhrat ‘Utsman (ra) pun menjadi target konspirasi serupa, yang dengannya semakin memperkuat kecurigaan ini yakni untuk menghentikan kemajuan Islam yang semakin gemilang dan dominasinya dan untuk mendinginkan api dendam mereka Hadhrat ‘Umar (ra) disyahidkan melalui unsur unsur eksternal, wallahu a’lam – hanya Allah-lah yang lebih mengetahuinya.

Di dalam Kitab Shahih Muslim tertulis bahwa Hadhrat Ibnu ‘Umar (ra) meriwayatkan, “Ketika ayah saya diserang, saya tengah berada di dekat beliau. Orang-orang menyampaikan pujian kepada beliau dan berkata, ‘Semoga Allah Ta’ala memberikan ganjaran yang terbaik untuk anda.

Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya adalah orang yang mencintai dan juga penakut.’

Orang-orang berkata, ‘Mohon kiranya Hudhur menunjuk siapa Khalifah pengganti Hudhur nantinya.’

Beliau (ra) bersabda, ‘ Apakah saya harus menanggung beban kalian semasa saya hidup dan setelah mati juga? Saya ingin supaya bagian yang aku dapatkan berimbang, yakni jangan sampai mendapatkan hukuman, dan tidak juga berharap untuk mendapatkan sesuatu (ganjaran). Jika saya menetapkan penerus yang akan menggantikan saya maka beliau yang lebih baik dari saya (Hadhrat Bakr (ra)) pun menetapkan penerus. Jika saya tetapkan, tidak mengapa. Jika saya tinggalkan kalian tanpa menetapkan penerus saya, beliau yang notabene lebih baik dari saya pun telah meninggalkan kalian tanpa menetapkan penerus.’” Artinya, Hadhrat ‘Umar (ra) memberikan permisalan wujud Rasulullah (saw) yang tidak menetapkan penerus sebelum wafat.

Hadhrat Abdullah berkata, “Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) menyebut nama Rasulullah (saw), saya dapat memahami bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) tidak akan menetapkan penerus.”[11]

Di dalam Riwayat lain dari Sahih Muslim, Hadhrat Ibnu ‘Umar (ra) meriwayatkan, “Saya pergi menemui Hadhrat Hafsah [saudari beliau]. Hadhrat Hafsah bersabda, ‘Tahukah kamu, bahwa ayahmu tidak akan menetapkan penerusnya.‘

Saya katakan, ‘Beliau tidak akan menetapkan penerusnya.’

Hadhrat Hafsah bersabda, ‘Beliau akan melakukannya.’

Saya (Ibnu ‘Umar) berkata, ‘Saya bersumpah akan menanyakan lagi kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Kemudian, saya terdiam hingga pagi dan tidak berbicara apa-apa kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Keadaan saya saat itu sedemikian rupa, disebabkan oleh sumpah itu seolah-olah saya tengah mengangkat beban gunung. Lalu saya kembali dan menemui Hadhrat ‘Umar (ra). Beliau menanyakan keadaan orang-orang kepada saya. Saya beritahukan kepada beliau apa yang dikatakan oleh orang orang.

Saya katakan, ‘Saya mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang dan saya bersumpah untuk mengatakannya kepada Ayah. Orang-orang beranggapan bahwa ayah tidak akan menetapkan penerus. Masalahnya, jika penggembala unta unta ayah atau penggembala kambing itu datang menemui ayah dan meninggalkan ternaknya, berarti ia telah menyia-nyiakan ternaknya. Alhasil, pemeliharaan terhadap manusia lebih penting dari itu.’

Hadhrat ‘Umar (ra) sepakat dengan apa yang saya katakan lalu beliau menundukkan kepala untuk beberapa saat, kemudian mengangkat kepala dan mengarahkan pandangan kepada saya dan bersabda, ‘Allah Ta’ala akan menjaga sendiri agama-Nya. Jika Ayah tidak menetapkan seorang Khalifah penerus Ayah, Rasulullah saw sendiri tidak menetapkan Khalifah penerusnya. Begitu juga, Jika saya menetapkan seorang Khalifah penerus Ayah, Hadhrat Bakr (ra) sendiri tidak menetapkan Khalifah penerusnya.’

Hadhrat Ibnu ‘Umar berkata, ‘Demi Tuhan! Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) menyebutkan nama Rasulullah dan Abu Bakr, saya dapat memahami beliau tidak akan menyamakan seseorang dengan Rasulullah. Artinya, beliau tidak akan menetapkan seseorang sebagai penerusnya.’”[12]

Hadhrat Miswar Bin Makhramah meriwayatkan, “Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) dilukai, beliau kesakitan tidak berdaya. Hadhrat Ibnu Abbas berkata pada beliau untuk menentramkan beliau, ‘Wahai Amirul Mu-minin! anda telah bergaul dengan Rasulullah saw dan menemani beliau dengan sangat baik sehingga akhirnya Rasulullah (saw) wafat dalam keadaan ridha (senang hati) kepada Anda. Anda juga telah bergaul dengan Hadhrat Bakr (ra) dan menemani beliau dengan sangat baik sehingga akhirnya beliau wafat dalam keadaan beliau ridha kepada anda. Anda juga telah bergaul bersama para Sahabat dan menemani beliau-beliau dengan sangat baik sehingga jika Anda berpisah dari mereka, pastinya Anda akan berpisah dari mereka dalam keadaan mereka ridha kepada Anda.’

Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Pergaulan dan keridhaan Rasulullah (saw) seperti yang Anda katakan itu, semuanya merupakan ihsan (kebaikan) yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada saya. Begitu juga pergaulan dan keridhaan Hadhrat Bakr (ra) seperti yang kamu katakan itu ini pun merupakan ihsan yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada saya. Demikian pula kekhawatiran yang kamu lihat dalam diri saya, itu semata-mata saya lakukan untuk dirimu dan kawan-kawanmu. Saya tidak mengkhawatirkan pribadi saya sendiri, melainkan mengkhawatirkan kamu dan kawan kawanmu. Demi Tuhan! Jika saya memiliki emas sebesar bumi, pasti saya akan korbankan guna terlepas dari azab Ilahi, sebelum tiba saatnya saya lihat azab tersebut.’”[13]

Dalam menafsirkan ayat walayubaddilannahum mim ba’di khaufihim amnaa, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Tidak ada suatu musibah yang membuat para Khalifah takut. Jika pun ada, Allah Ta’ala telah merubahnya menjadi kedamaian. Tidak diragukan lagi bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) telah syahid. Namun jika melihat kejadian-kejadian, dapat diketahui bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) tidak gentar dengan kematian syahid, sebaliknya beliau malah sering berdoa, ‘Ya Allah anugerahkanlah mati syahid padaku dan syahidkan aku di Madinah.’ Alhasil, orang yang seumur hidupnya memanjatkan doa seperti itu, lantas jika benar benar syahid, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa saat-saat yang menakutkan telah tiba, namun Allah Ta’ala tidak merubahnya dengan kedamaian. Memang, seandainya Hadhrat ‘Umar (ra) takut dengan mati syahid lalu mati syahid, lantas dapat dikatakan bahwa ketakutan beliau tidak dirubah menjadi kedamaian oleh Allah. Namun sebaliknya, beliau justru malah sering berdoa, ‘Ya Allah, syahidkanlah aku di Madinah.’

Jadi, dengan syahidnya beliau bagaimana bisa terbukti bahwa beliau takut dengan mati syahid. Sebagaimana beliau tidak takut mati syahid bahkan terus berdoa untuk diberikan mati syahid dan Allah Ta’ala mengabulkannya, dari itu diketahui bahwa berdasarkan ayat tersebut beliau tidak merasakan ketakutan. Sebagaimana telah saya sampaikan bahwa dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ada hal yang ditakuti oleh para Khalifah, maka itu tidak akan mungkin terjadi dan Allah Ta’ala berjanji untuk mengganti ketakutan mereka dengan kedamaian. Namun sebagaimana mereka tidak merasa gentar terhadap sesuatu hal bahkan menganggap hal tersebut sebagai penyebab meningkatnya derajat kemuliaan dan kehormatannya, maka tidak masuk akal jika ada yang mengatakan itu ketakutan atau kenapa hal itu tidak digantinya dengan kedamaian. Pokok bahasan tersebut perlu untuk difahami.”

Terkait:   Riwayat ‘Umar Bin Khattab Ra (Seri 19)

Beliau (ra) bersabda: Ketika membaca doa Hadhrat ‘Umar (ra) ini, saya berkata dalam hati bahwa jika doa itu (terkabul) berarti musuh akan dapat menyerang Madinah dan serangannya sedemikian rupa sehingga musuh dapat menghancurkan seluruh umat Islam untuk selanjutnya dapat menyentuh Khalifah dan mensyahidkannya. Namun Allah Ta’ala mengabulkan doa Hadhrat ‘Umar (ra) agar mati syahid dengan cara yang membuat kehormatan Islam tetap tegak sebagaimana bukan datang serangan laskar dari luar Madinah, muncul seorang penjahat dari dalam Madinah sendiri yang mensyahidkan beliau dengan belati.”

Dalam menjelaskan ajaran Islam berkenaan dengan pembebasan hamba sahaya, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis kisah syahidnya Hadhrat ‘Umar (ra) dan penyebabnya, “Hal pertama, diperintahkan untuk berbuat ihsan (kebaikan yang lebih) dengan memerdekakan budak belian tanpa suatu tebusan. Selanjutnya dikatakan, jika tidak dapat melakukannya, bebaskanlah budak dengan meminta tebusan. Jika masih ada budak belian yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar tebusan, begitu juga penguasa dari tempat ia berasal tidak berkeinginan untuk membebaskannya, kerabatnya pun tidak perduli terhadapnya, maka budak tersebut bisa menetapkan cicilan untuk tebusannya dengan terlebih dulu menulis perjanjian tertulis. Dalam corak demikian sejauh berkaitan dengan pendapatan yang ia dapatkan dari pekerjaannya, semuanya menjadi miliknya kecuali tunggakan cicilan dan pada kenyataannya ia bebas sepenuhnya.” (Artinya, (mantan budak itu) akan mengeluarkan biaya untuk cicilan dari penghasilan yang ia dapatkan. Selebihnya adalah miliknya sendiri. Ini merupakan satu macam kebebasan.)

“Hadhrat ‘Umar (ra) disyahidkan oleh seorang hamba sahaya yang telah melakukan perjanjian demikian. Suatu hari budak tersebut mengatakan kepada majikan Muslimnya, ‘Saya memiliki kemampuan sedemikian rupa sehingga jika anda membebaskan saya, maka saya akan melunasi uang tebusan dengan mencicil setiap bulannya.’

Sang majikan menetapkan uang cicilan yang ringan, sehingga budak tersebut terus mencicilnya. Suatu hari budak tersebut menyampaikan pengaduan ke hadapan Hadhrat ‘Umar (ra) dengan mengatakan, ‘Majikan saya telah menetapkan uang cicilan yang memberatkan terhadap saya, mohon kiranya tuan dapat menguranginya.’

Hadhrat ‘Umar (ra) menyelidiki berapa penghasilannya, ternyata budak tersebut menghasilkan berlipat ganda dari besaran penghasilan yang darinya keluar angka cicilan. Setelah mengetahui fakta tersebut Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Besaran cicilan yang ditetapkan bagimu sangat ringan dibanding dengan besarnya penghasilanmu, tidak bisa dikurangi lagi.’

Budak tersebut sangat kecewa dengan keputusan tersebut. Ia beranggapan karena ia seorang Iran sehingga keputusannya memberatkannya, sebaliknya majikannya lebih diperhatikan karena ia adalah orang Arab. Dalam keadaan emosi seperti itu, pada hari berikutnya ia menyerang Hadhrat ‘Umar (ra) dengan belati dan karena luka tersebut lah Hadhrat ‘Umar (ra) syahid.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda lebih lanjut, “Di dunia ini terdapat dua hal yang menjadi penyebab berpalingnya seseorang dari kebenaran yaitu kalau tidak kebencian yang mendalam, kecintaan yang mendalam. Kebencian yang mendalam terkadang timbul dari kejadian sepele. Coba perhatikan pada masa Hadhrat ‘Umar (ra), betapa sebuah kejadian kecil meningkat menjadi kebencian sehingga menimpakan kerugian besar terhadap dunia Islam. Menurut saya, insiden tersebut memberikan dampak yang berkelanjutan hingga saat ini.

Pada masa Hadhrat ‘Umar (ra), suatu hari ada yang menyampaikan pengaduan. Ada seorang hamba sahaya yang mendapatkan upah tinggi dari hasil pekerjaannya, namun pembayaran uang cicilan tebusan demi kebebasannya yang ia berikan untuk majikannya tidak sesuai [kecil atau sedikit]. Hadhrat ‘Umar (ra) memanggil budak tersebut dan bersabda, ‘Berikanlah jumlah cicilan yang sesuai [lebih banyak] untuk majikanmu.’

Karena pada masa itu sangat jarang orang yang memiliki keterampilan sehingga seorang pandai besi dan pengrajin kayu dipandang bernilai tinggi. Budak belian tersebut biasa membuat mesin penggiling gandum dan mendapatkan bayaran yang tinggi. Hadhrat ‘Umar (ra) menetapkan besaran 3,5 (tiga setengah) ana yang harus dia bayarkan kepada majikannya. Jumlah tersebut sebenarnya tidak banyak, namun budak itu beranggapan Hadhrat ‘Umar (ra) telah memberikan keputusan yang keliru. Setelah itu, di dalam hatinya mulai memendam kebencian terhadap Hadhrat ‘Umar (ra).

Suatu hari Hadhrat ‘Umar (ra) berkata pada budak tersebut, ‘Tolong buatkan mesin penggiling untuk kami.’ Budak itu menjawab dengan berkata, ‘Saya akan membuatkan mesin penggiling yang berputar dengan sangat baik.’ Setelah mendengar ucapan budak tersebut, seseorang berkata kepada Hadhrat ‘Umar (ra), ‘Budak itu telah melontarkan ancaman kepada tuan.”

Riwayat ini mirip dengan riwayat yang sebelumnya atau sama, bagaimanapun, riwayat budak belian yang sama. Dalam riwayat ini Hadhrat ‘Umar (ra) tidak menyatakan kalimat tersebut, namun pada riwayat sebelumnya Hadhrat ‘Umar (ra) sendiri yang menyatakan bahwa budak itu melontarkan ancaman.

“Orang itu mengatakan, ‘Dari gaya bicara budak itu, tampak suatu ancaman.’ Akhirnya, suatu hari ketika Hadhrat ‘Umar (ra) mengimami shalat, budak tersebut membunuh Hadhrat ‘Umar (ra) dengan menusukkan belati.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Dialah ‘Umar yang notabene seorang Raja bagi jutaan manusia, yang merupakan penguasa bagi sekian banyak bangsa yang pada masanya merupakan pemimpin terbaik umat islam, telah dibunuh disebabkan oleh “tiga setengah ana”. Namun masalahnya adalah, orang yang dalam tabiatnya terpendam kebencian dan kedengkian, mereka tidak memperhatikan 3 ana atau 2 ana, melainkan ingin menghilangkan dahaganya. Tabiat mereka telah diwakafkan (dihabiskan) untuk kebencian. Mereka tidak memperdulikan apa akibat bagi kita dan bagi orang lain.

Ketika pembunuh Hadhrat ‘Umar (ra) diinterogasi dengan menanyakan, ‘Kenapa kamu melakukan perbuatan yang brutal seperti ini?’ Ia menjawab, ‘Saya terpicu untuk membalas dendam, karena Hadhrat ‘Umar (ra) telah memberikan keputusan yang merugikan saya.’”

Rincian ini dijelaskan sebelum ini, mungkin saja si pembunuh itu dalam sedikit waktu sempitnya ketika ditangkap ia mengatakan alasan kenapa ia membunuh selanjutnya ia bunuh diri.

Dalam menjelaskan peristiwa memilukan tersebut Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Kejadian itu berdampak bagi Islam hingga hari ini yaitu bagaimana mungkin beliau tersebut suatu saat dibayang-bayangi oleh maut, namun tidak terpikirkan dalam benak seorang pun bahwa beliau dalam keadaan kokoh dan kuat dijemput ajal. Sebaliknya, ketika keadaan seseorang sudah melemah dan kesehatan sudah menurun, benak manusia dengan sendirinya mulai berpikir untuk membuat pengaturan bagi masa depan. Mereka tidak berbincang satu sama lain perihal ini, namun dengan sendirinya timbul arah yang menjadi penggerak untuk memikirkan mengenai pengaturan demi masa yang akan datang. Karena itu, dengan adanya hal itu, ketika seorang Imam wafat, orang-orang menjadi sadar. Karena Hadhrat ‘Umar (ra) memiliki keadaan tubuh yang kuat meskipun sudah berusia 63 tahun, tidak terpikirkan oleh para Sahabat bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) akan segera berpisah dari mereka sehingga para Sahabat sama sekali tidak terpikirkan perihal pengaturan untuk ke depannya yakni seketika datang musibah wafatnya Hadhrat ‘Umar (ra). Pada saat itu umat Islam belum siap untuk menerima seorang Imam lain. Disebabkan oleh tidak adanya persiapan, sehingga belum timbul kedekatan hubungan orang-orang dengan Hadhrat Usman, yang seyogyanya terjalin. Akibatnya, keadaan Islam menjadi sangat rentan terlebih pada masa Hadhrat Ali.”

Ini merupakan salah satu penyebab kekisruhan yang terjadi di kemudian hari, seperti yang telah dijelaskan. Menurut Hadhrat Mushlih Mau’ud, hal ini bisa menjadi penyebabnya.

Pada saat genting seharusnya ada beberapa orang yang ditugaskan untuk berjaga ketika shalat tengah berlangsung. Hal itu disabdakan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra). Hal itu beliau jelaskan dalam latar belakang syahidnya Hadhrat ‘Umar (ra). Beliau bersabda, “Di dalam Al-Qur’an terdapat perintah yang jelas yaitu hendaknya ditugaskan setengah dari antara umat Muslim untuk berjaga. Meskipun konteks perintah ini ialah pada saat peperangan yang diperlukan guna melindungi sekelompok orang banyak, namun dari itu dapat dijadikan dalil bahwa untuk mencegah terjadinya kekisruhan kecil, jika beberapa orang ditugaskan untuk berjaga ketika shalat, hal itu bukan hal yang patut dibantah, melainkan perlu untuk amalkan. Jika pada saat peperangan, dari antara 1000 orang dapat ditugaskan 500 orang untuk berjaga, lantas apakah dalam keadaan yang tidak terlalu genting tidak bisa ditugaskan 5 atau 10 dari antara 1000 orang untuk berjaga?

Keliru jika ada yang beralasan dengan mengatakan bahwa resiko bahaya bukan sesuatu yang pasti. Apa yang telah menimpa Hadhrat ‘Umar (ra)? Ketika beliau (ra) tengah khusyu dalam shalatnya, seorang jahat berpikir itu adalah saat yang tepat untuk menyerang beliau (ra), orang itu pun maju dan menusukkan belati kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Setelah mengetahui kejadian tersebut, jika ada yang mengatakan bahwa berjaga-jaga ketika shalat adalah bertentangan dengan prinsip dan kemuliaan shalat, pendapat seperti itu tidak memiliki arti apa-apa, selain memperlihatkan cara berpikir yang bodoh. Permisalannya seperti seorang bodoh yang terlibat dalam pertempuran dan terkena anak panah yang membuatnya berdarah lalu orang itu kabur dari medan perang dan sambil menyeka darahnya terus-menerus mengatakan, ‘Ya Allah! Semoga kejadian ini hanyalah mimpi, bukan kenyataan.’

Terbukti juga dari sejarah bahwa pada suatu kesempatan para Sahabat tidak mengatur penjagaan sehingga terpaksa menanggung kerugian besar. Sebagaimana terjadi berikut ini. Ketika Hadhrat Amru Bin Al-’Ash berangkat untuk menaklukan Mesir dan beliau berhasil menaklukan daerah-daerah di sana. Setelah itu Ketika memimpin shalat, beliau tidak mengaturkan penjagaan. Ketika musuh mengetahui bahwa pasukan Muslim tengah lengah dalam keadaan shalat, suatu hari musuh menetapkan beberapa ratus pasukan bersenjata untuk menyerang pasukan Muslim ketika tengah dalam keadaan sujud. Setibanya mereka langsung menebaskan pedangnya ke kepala pasukan Muslim. Terbukti dari sejarah bahwa ratusan Sahabat terbunuh atau luka pada saat insiden tersebut. Satu per satu mereka berjatuhan dan kawan-kawan mereka tidak dapat memahami apa yang tengah terjadi, hingga kerugian besar menimpa laskar.

Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) mengetahui kabar tersebut, beliau sangat memarahi mereka dan bersabda: Tidak tahukah kalian bahwa seharusnya diaturkan penjagaan. Namun Hadhrat ‘Umar (ra) pun tidak mengetahui bahwa bahwa insiden yang sama akan menimpa beliau juga. Setelah insiden tersebut para Sahabat membuat pengaturan yakni ketika shalat berlangsung selalu ditetapkan beberapa orang untuk berjaga.”

Berkenaan dengan hutang Hadhrat ‘Umar (ra) sebelum ini telah dibahas. Beliau (ra) bertanya kepada putranya, coba dihitung, ada berapa hutang saya? Hadhrat Abdullah menghitungnya, lalu keluar angka 86 ribu dirham Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Wahai Abdullah! Jika harta keluarga ‘Umar cukup untuk melunasinya, bayarkanlah dengan harta tersebut. Jika harta keluarga belum cukup, mintalah kepada Banu Addi Bin Kaab. Jika masih belum cukup juga, mintalah kepada kabilah Quraisy. Selain itu jangan meminta kepada siapapun.”[14]

Para Sahabat mengetahui bahwa Imam kita yang hidup dengan sederhana ini tidaklah membelanjakan harta tersebut untuk kepentingan pribadinya, melainkan diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan dan miskin. Karena itu, Abdurrahman bin Auf berkata kepada Hadhrat ‘Umar (ra), “Kenapa Hudhur tidak melunasi hutang ini dengan mengambilnya dari Baitul Maal?”

Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Naudzubillah, apakah kamu ingin nanti kamu dan kawan-kawanmu mengatakan, ‘Kami meninggalkan bagian harta kami (di Baitul Maal) untuk Umar.’ Sekarang kamu menghibur saya, namun di belakang saya nanti akan timbul masalah yang berat bagi saya.”

Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda kepada putra beliau, Abdullah Bin Umar, “Ambillah tanggung jawab untuk melunasi hutang Ayah.” Hadhrat Abdullah pun mengambil alih tanggung jawab tersebut.

Sebelum Hadhrat ‘Umar (ra) dimakamkan, putra beliau menjadikan para anggota syura dan beberapa orang dari kalangan Anshar (Muslim pribumi Madinah) sebagai saksi atas jaminan (pelunasan hutang) tersebut. Paska kewafatan Hadhrat ‘Umar (ra), belum lagi datang jumat berikutnya, Hadhrat Abdullah Bin ‘Umar membawa sejumlah uang untuk melunasi hutang lalu datang ke hadapan Hadhrat ‘Utsman (ra) dan menyatakan terbebas dari beban hutang di hadapan beberapa saksi.[15]

Berkaitan dengan pelunasan hutang terdapat satu riwayat lagi dalam kitab Wafaul wafa. Hadhrat Ibnu ‘Umar meriwayatkan, “Ketika waktu kewafatan Hadhrat ‘Umar (ra) semakin dekat, beliau masih memiliki hutang. Beliau (ra) memanggil Hadhrat Abdullah dan Hadhrat Hafsah dan bersabda, ‘Saya masih memiliki beberapa hutang dari antara kekayaan Allah dan saya ingin menjumpai Allah dalam keadaan tidak berhutang. Untuk itu, guna melunasi hutang tersebut, kalian jual rumah yang sebelum ini kita tempati. Jika masih belum dapat terlunasi juga, mintakan saja ke Banu Adi. Jika masih belum lunas juga, janganlah pergi ke siap siap lagi setelah Quraisy.’

Setelah kewafatan Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat Abdullah Bin ‘Umar pergi menemui Hadhrat Muawiyah, Hadhrat Muawiyah membeli rumah Hadhrat ‘Umar (ra). Rumah tersebut dinamai Darul Qadha. Hadhrat Abdullah menjual rumah tersebut untuk melunasi hutang. Untuk itu rumah tersebut disebut dengan Darul Qadha (Qadha e dain Umar) yakni rumah yang digunakan untuk melunasi hutang Hadhrat ‘Umar (ra).”[16]

Topik ini masih akan terus berlanjut nanti, insya Allah.

Khotbah II

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq.

Editor: Dildaar Ahmad Dartono.

Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab)


[1] ‘Allamah Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (فتح الباري شرح صحيح البخاري), Kitab Fadhail ash-Shahabah (كتاب فضائل الصحابة), bab kisah baiat dan kesepakatan atas ‘Utsman bin ‘Affan dan pembahasan pembunuhan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma (باب قصة البيعة والاتفاق على عثمان بن عفان وفيه مقتل عمر بن الخطاب رضي الله عنهما) .

Terkait:   Riwayat Umar Bin Khattab (Seri 25)

[2] Tarikh al-Madinah al-Munawwarah karya Ibnu Syabah Abu Zaid Umar bin Syabah an-Numairi al-Bashri (كتاب تاريخ المدينة المنورة لابن شبه أبو زيد عمر بن شبه). Beliau adalah Muhadits Ats-Tsiqah Abu Zaid Umar ibn Syabah AnNumairi Al-Bashri (173 – 262 H). di dalam Kitab ini beliau menulis perihal beberapa riwayat berbeda soal nama surat terpendek yang ditilawatkan Hadhrat ‘Abdurrahman bin ‘Auf (ra): [1] ialah Surah an-Nashr dan al-Kautsar sebagaimana tercantum dalam Muntakhab Kanzul ‘Ummal, Thabaqaat Ibnu Sa’d dan Riyadhun Nadhirah (سورة الكوثر – وقد ورد في منتخب كنز العمال 4: 429 وطبقات ابن سعد 3: 340، والرياض النضرة 2: 95 من حديث عمرو بن ميمون), فقدموا عبد الرحمن ابن عوف رضي الله عنه فصلى بنا، فقرأ أقصر سورتين في القرآن: ” إذا جاء نصر الله والفتح ” و ” إنا أعطيناك الكوثر . [2] ialah Surah al-‘Ashr dan al-Kautsar, عن عمرو بن ميمون قال: شهدت عمر رضي الله عنه حين طعن، جاءه أبو لؤلؤة وهو يسوي الصفوف فطعنه، وطعن اثني عشر معه، وهو ثالث عشر، فقال رجل: الصلاة عباد الله، فقد كادت الشمس تطلع. فقدموا عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه، فقرأ أقصر سورتين: ” العصر، وإنا أعطيناك الكوثر “  . [3]  ialah Surah al-‘Ashr dan an-Nashr , عن أبي إسحاق، عن عمرو بن ميمون، أنه شهد عمر رضي الله عنه حين طعن، فأمهم عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه، فقرأ أقصر سورتين في القرآن: ” والعصر (2) ” و ” إذا جاء نصر الله والفتح (3) “ .

[3] Ansabul Asyraf (أنساب الأشراف): وقال الواقدي: حدثني عمر بن أبي عاتكة عن أبيه عن ابن عمر أن عمر صلى الصبح حين طعن فقرأ في الأولى: والعصر. وفي الثانية: قل يا أيها الكافرون. . Fathul Mun’im syarh Shahih Muslim (فتح المنعم شرح صحيح مسلم – ج 9), At-Tausyi’ syarh al-Jami ash-Shahih (التوشيح شرح الجامع الصحيح), al-Mathalib al-‘Aliyah (المطالب العالية بزوائد المسانيد الثمانية – ج 15)

[4] Ath-Thabaqaat al-Kubra: ثُمَّ قَالَ : اخْرُجْ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ فَسَلْ مَنْ قَتَلَنِي ؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : فَخَرَجْتُ حَتَّى فَتَحْتُ بَابَ الدَّارِ ، فَإِذَا النَّاسُ مُجْتَمِعُونَ جَاهِلُونَ بِخَبَرِ عُمَرَ ، قَالَ : فَقُلْتُ : مَنْ طَعَنَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ؟ فَقَالُوا : طَعَنَهُ عَدُوُّ اللَّهِ أَبُو لُؤْلُؤَةَ غُلامُ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ ، قَالَ : فَدَخَلْتُ فَإِذَا عُمَرُ يُبِدُّ فِي النَّظَرِ يَسْتَأْنِي خَبَرَ مَا بَعَثَنِي إِلَيْهِ ، فَقُلْتُ : أَرْسَلَنِي أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ لأَسْأَلَ مَنْ قَتَلَهُ ، فَكَلَّمْتُ النَّاسَ فَزَعَمُوا أَنَّهُ طَعَنَهُ عَدُوُّ اللَّهِ أَبُو لُؤْلُؤَةَ غُلامُ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ ، ثُمَّ طَعَنَ مَعَهُ رَهْطًا ، ثُمَّ قَتَلَ نَفْسَهُ .

[5] Terkait putra-putra Khalifah ‘Umar (ra), harap bedakan ‘Abdullah dengan ‘Ubaidullah. Hadhrat ‘Umar (ra) menikah dengan beberapa wanita di zaman sebelum Islam dan juga setelah zaman Islam. Di zaman Nabi (saw) masih di Makkah, belum ada aturan untuk tidak menikah dengan non Islam, khususnya wanita Musyrik (penyembah berhala). Segera setelah Perjanjian Hudaibiyyah pada 628, Nabi Muhammad tidak memperkenankan umat Muslim mempertahankan pernikahan dengan orang musyrik sehingga ‘Umar kemudian menceraikan beberapa istrinya. Salah satunya ialah Ummu Kultsum binti Jarwal, juga dikenal dengan Mulaika, ibu ‘Ubaidullah bin ‘Umar. Ummu Kultsum kembali ke Makkah dari Madinah setelah perceraian tersebut. Dalam pernikahan Hadhrat ‘Umar (ra) dengan Zainab binti Mazh’un, beliau dikaruniai ‘Abdullah, periwayat hadits terbanyak setelah Abu Hurairah lalu ‘Abdurrahman, ‘Abdurrahman dan Hafshah, yang menjadi istri Nabi Muhammad (saw). Jadi, ‘Abdullah bin ‘Umar dan ‘Ubaidullah bin ‘Umar ialah dua orang berbeda, bersaudara satu ayah beda ibu. Istri lain Hadhrat ‘Umar (ra) ialah Jamilah, ibunya Ashim, kakek jalur ibu dari Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz. Berakhir perceraian. Istri lainnya ialah Quraibah yang berakhir juga dengan perceraian. Istri lainnya ialah Atikah binti Zaid, yang tengah di Masjid saat suaminya ditikam. Istri lainnya lainnya lagi ialah Ummu Hakim binti Harits, janda dari Ikrimah bin Abu Jahl dan Khalid bin Sa’id. Keduanya syahid dalam perang. Dalam perang Marj Safar menghadapi Romawi, suaminya, Khalid bin Sa’id syahid terbunuh. Ummu Hakim sendiri ikut dalam perang tersebut dan membunuh tujuh pasukan Romawi.

 [6] Futuhul Buldan: Penaklukan Negeri-negeri dari Fathu Makkah Sampai Negeri Sind oleh Syaikh Al-Baladzuri menyebutkan Al-Waqidi berkata,“Jufainah Al-Ibadi dari Al-Hirah adalah seorang pemeluk Kristen. Kemudian Ubaidillah bin Umar menuduhnya terlibat persekongkolan pembunuhan ayahnya. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab karya Dr. Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi menyebutkan, “Jufainah adalah seorang Nasrani dari Al-Hirah yang didatangkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash ke Madinah, lalu dia mengajar baca-tulis kepada anak-anak di Madinah.”

[7] al-Faruq ‘Umar bin al-Khaththab tsani al-khulafa-ir rasyidini (الفاروق عمر بن الخطاب: ثاني الخلفاء الراشدين) karya Muhammad Ridha (محمد رضا). Muhammad Ridha wafat pada 1950. Beliau tinggal dan berkarya di Mesir. Tercantum dalam ath-Thabaqaat al-Kubra (نام کتاب : الطبقات الكبرى – ط العلمية نویسنده : ابن سعد    جلد : 3  صفحه : 271): أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ قَالَ حِينَ قُتِلَ عُمَرُ: قَدْ مَرَرْتُ عَلَى أَبِي لُؤْلُؤَةَ قَاتَلِ عُمَرَ وَمَعَهُ جُفَيْنَةُ والهرمزان وهم تجي فَلَمَّا بَغَتُّهُمْ ثَارُوا فَسَقَطَ مِنْ بَيْنِهِمْ خِنْجَرٌ لَهُ رَأْسَانِ وَنِصَابُهُ وَسَطُهُ. فَانْظُرُوا مَا الْخِنْجَرُ الَّذِي قُتِلَ بِهِ عُمَرُ. فَوَجَدُوهُ الْخِنْجَرَ الَّذِي نَعَتَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ. فَانْطَلَقَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ حِينَ سَمِعَ ذَلِكَ مِنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ وَمَعَهُ السَّيْفُ حَتَّى دَعَا الْهُرْمُزَانَ فَلَمَّا خَرَجَ إِلَيْهِ قَالَ: انْطَلِقْ مَعِيَ حَتَّى نَنْظُرَ إِلَى فَرَسٍ لِي. وَتَأَخَّرَ عَنْهُ حَتَّى إِذَا مَضَى بَيْنَ يَدَيْهِ عَلاهُ بِالسَّيْفِ. قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ: فَلَمَّا وَجَدَ حَرَّ السَّيْفِ قَالَ: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ. قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ: َدَعَوْتُ جُفَيْنَةَ وَكَانَ نَصْرَانِيًّا مِنْ نَصَارَى الْحِيرَةِ. وَكَانَ ظِئْرًا لِسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَقْدَمَهُ الْمَدِينَةَ لِلْمِلْحِ الَّذِي كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ. وَكَانَ يُعَلِّمُ الْكِتَابَ بِالْمَدِينَةِ. قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ: فَلَمَّا عَلَوْتُهُ بِالسَّيْفِ صَلَّبَ بَيْنَ عَيْنَيْهِ. ثُمَّ انْطَلَقَ عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَتَلَ ابْنَةً لأَبِي لُؤْلُؤَةَ صَغِيرَةً تَدَّعِي الإِسْلامَ. وَأَرَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ أَنْ لا يَتْرُكَ سَبْيًا بِالْمَدِينَةِ إِلا قَتَلَهُ. فَاجْتَمَعَ الْمُهَاجِرُونَ الأَوَّلُونَ عَلَيْهِ فَنَهَوْهُ وَتَوَعَّدُوهُ فَقَالَ: وَاللَّهِ لأَقْتُلَنَّهُمْ وَغَيْرَهُمْ. وَعَرَّضَ بِبَعْضِ الْمُهَاجِرِينَ فَلَمْ يَزَلْ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ بِهِ حَتَّى دَفَعَ إِلَيْهِ السَّيْفَ. فَلَمَّا دَفَعَ إِلَيْهِ السَّيْفَ أَتَاهُ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ فَأَخَذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِرَأْسِ صَاحِبِهِ يَتَنَاصَيَانِ حَتَّى حُجِزَ بَيْنَهُمَا.

[8] ‘Allamah Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (فتح الباري شرح صحيح البخاري), Kitab Fadhail ash-Shahabah (كتاب فضائل الصحابة), bab kisah baiat dan kesepakatan atas ‘Utsman bin ‘Affan dan pembahasan pembunuhan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma (باب قصة البيعة والاتفاق على عثمان بن عفان وفيه مقتل عمر بن الخطاب رضي الله عنهما). ath-Thabaqaat al-Kubra (كتاب: الطبقات الكبرى), bahasan pemilihan Khalifah ‘Umar (ذكر استخلاف عمر رحمه الله): عن نافع عن أسلم أنه لما طعن عمر قال من أصابني قالوا أبو لؤلؤة واسمه فيروز غلام المغيرة بن شعبة قال قد نهيتكم أن تجلبوا علينا علوجهم أحدا فعصيتموني . al-Mu’jam al-Ausath (كتاب : المعجم الأوسط) karya (أبو القاسم سليمان بن أحمد الطبراني), bab alif ismuhu Ahmad (الطبراني الأوسط باب الألف من اسمه أحمد ), nomor 579: عن بن عمر قال : لما طعن أبو لؤلؤة عمر طعنه طعنتين فظن عمر أن له ذنبا في الناس لا يعلمه فدعا بن عباس وكان يحبه ويدنيه ويستمع منه فقال له أحب أن نعلم عن ملأ من الناس كان هذا فخرج بن عباس فجعل لا يمر بملأ من الناس إلا وهم يبكون فرجع إليه فقال يا أمير المؤمنين ما أتيت على ملأ من المسلمين إلا وهم يبكون كأنما فقدوا اليوم أبكار أولادهم فقال من قتلني قال أبو لؤلؤة المجوسي عبد المغيرة بن شعبة قال بن عباس فرأيت البشر في وجهه فقال الحمد لله الذي لم يبتلني بقول أحد يحاجني بقول لا إله إلا الله أما إني كنت قد نهيتكم أن تجلبوا إلينا من العلوج أحدا فعصيتموني . tercantum juga dalam Majma’uz Zawaid (مجمع الزوائد) karya al-Haitami (الهيثمى).

[9] Al-Faruq ‘Umar (الفاروق عمر) karya Muhammad Husain Haikal (محمد حسين هيكل).

[10] Al-Faruq ‘Umar (الفاروق عمر) karya Muhammad Husain Haikal (محمد حسين هيكل).

[11] Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, bab (باب الاِسْتِخْلاَفِ وَتَرْكِهِ), Hadith 4485: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ حَضَرْتُ أَبِي حِينَ أُصِيبَ فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ وَقَالُوا جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا . فَقَالَ رَاغِبٌ وَرَاهِبٌ قَالُوا اسْتَخْلِفْ فَقَالَ أَتَحَمَّلُ أَمْرَكُمْ حَيًّا وَمَيِّتًا لَوَدِدْتُ أَنَّ حَظِّي مِنْهَا الْكَفَافُ لاَ عَلَىَّ وَلاَ لِي فَإِنْ أَسْتَخْلِفْ فَقَدِ اسْتَخْلَفَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي – يَعْنِي أَبَا بَكْرٍ – وَإِنْ أَتْرُكْكُمْ فَقَدْ تَرَكَكُمْ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم . قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ حِينَ ذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ . .

[12] Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, bab (باب الاِسْتِخْلاَفِ وَتَرْكِهِ), Hadith 4485:حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَابْنُ أَبِي عُمَرَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَأَلْفَاظُهُمْ، مُتَقَارِبَةٌ قَالَ إِسْحَاقُ وَعَبْدٌ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرَانِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، – أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي سَالِمٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ دَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ فَقَالَتْ أَعَلِمْتَ أَنَّ أَبَاكَ غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ قَالَ قُلْتُ مَا كَانَ لِيَفْعَلَ . قَالَتْ إِنَّهُ فَاعِلٌ . قَالَ فَحَلَفْتُ أَنِّي أُكَلِّمُهُ فِي ذَلِكَ فَسَكَتُّ حَتَّى غَدَوْتُ وَلَمْ أُكَلِّمْهُ – قَالَ – فَكُنْتُ كَأَنَّمَا أَحْمِلُ بِيَمِينِي جَبَلاً حَتَّى رَجَعْتُ فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَسَأَلَنِي عَنْ حَالِ النَّاسِ وَأَنَا أُخْبِرُهُ – قَالَ – ثُمَّ قُلْتُ لَهُ إِنِّي سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ مَقَالَةً فَآلَيْتُ أَنْ أَقُولَهَا لَكَ زَعَمُوا أَنَّكَ غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ وَإِنَّهُ لَوْ كَانَ لَكَ رَاعِي إِبِلٍ أَوْ رَاعِي غَنَمٍ ثُمَّ جَاءَكَ وَتَرَكَهَا رَأَيْتَ أَنْ قَدْ ضَيَّعَ فَرِعَايَةُ النَّاسِ أَشَدُّ قَالَ فَوَافَقَهُ قَوْلِي فَوَضَعَ رَأْسَهُ سَاعَةً ثُمَّ رَفَعَهُ إِلَىَّ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَحْفَظُ دِينَهُ وَإِنِّي لَئِنْ لاَ أَسْتَخْلِفْ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَسْتَخْلِفْ وَإِنْ أَسْتَخْلِفْ فَإِنَّ أَبَا بَكْرٍ قَدِ اسْتَخْلَفَ . قَالَ فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلاَّ أَنْ ذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبَا بَكْرٍ فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِيَعْدِلَ بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَحَدًا وَأَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ . .

[13] Hadits Shahih Bukhari No. 3416, Kitab: Perilaku budi pekerti yang terpuji, Bab: Pekerti umar bin khaththab: عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ لَمَّا طُعِنَ عُمَرُ جَعَلَ يَأْلَمُ فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ وَكَأَنَّهُ يُجَزِّعُهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ وَلَئِنْ كَانَ ذَاكَ لَقَدْ صَحِبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَحْسَنْتَ صُحْبَتَهُ ثُمَّ فَارَقْتَهُ وَهُوَ عَنْكَ رَاضٍ ثُمَّ صَحِبْتَ أَبَا بَكْرٍ فَأَحْسَنْتَ صُحْبَتَهُ ثُمَّ فَارَقْتَهُ وَهُوَ عَنْكَ رَاضٍ ثُمَّ صَحِبْتَ صَحَبَتَهُمْ فَأَحْسَنْتَ صُحْبَتَهُمْ وَلَئِنْ فَارَقْتَهُمْ لَتُفَارِقَنَّهُمْ وَهُمْ عَنْكَ رَاضُونَ قَالَ أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ صُحْبَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِضَاهُ فَإِنَّمَا ذَاكَ مَنٌّ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى مَنَّ بِهِ عَلَيَّ وَأَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ صُحْبَةِ أَبِي بَكْرٍ وَرِضَاهُ فَإِنَّمَا ذَاكَ مَنٌّ مِنْ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ مَنَّ بِهِ عَلَيَّ وَأَمَّا مَا تَرَى مِنْ جَزَعِي فَهُوَ مِنْ أَجْلِكَ وَأَجْلِ أَصْحَابِكَ وَاللَّهِ لَوْ أَنَّ لِي طِلَاعَ الْأَرْضِ ذَهَبًا لَافْتَدَيْتُ بِهِ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَبْلَ أَنْ أَرَاهُ  . Tercantum juga dalam Ilzaamaat wat tataba’ lid Daruquthni (الإلزامات والتتبع للدارقطني) dan Mirqaatul Mafaatih (مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح – ج 11 – تابع الفضائل والشمائل – المناقب)

[14] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبير لابن سعد المجلد الثالث ذكر استخلاف عمر رحمه الله حديث رقم 3781): فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّهُ الْمَوْتُ قَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ انْظُرْ كَمْ عَلَيَّ مِنَ الدَّيْنِ. قَالَ فَحَسَبَهُ فَوَجَدَهُ سِتَّةً وَثَمَانِينَ أَلْفَ دِرْهَمٍ. قَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنْ وَفَى لَهَا مَالُ آلِ عُمَرَ فَأَدِّهَا عَنِّي مِنْ أَمْوَالِهِمْ. وَإِنْ لَمْ تَفِ أَمْوَالُهُمْ فَاسْأَلْ فِيهَا بَنِي عَدِيِّ بْنِ كَعْبٍ. فَإِنْ لَمْ تَفِ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَاسْأَلْ فِيهَا قُرَيْشًا وَلا تَعْدُهُمْ إِلَى غَيْرِهِمْ. .

[15] Ansabul Asyraf oleh al-Baladhuri (كتاب أنساب الأشراف للبلاذري), (الجزء العاشر نسب ولد كعب بن لؤي نسب بني عدي بن كعب بن لؤي: رزاح بن عدي، قرط بن رزاح، عبد الله رياح بن عبد الله، عبد العزى، نفيل بن عبد العزى خطاب بن نفيل أبو حفص عمر بن الخطاب بن نفيل بن عبد العزى بن رياح بن عبد الله بن قرط بن رزاح بن عدي بن كعب، عمر يذكر ابنه بخصال الإيمان): فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: أَلا نَسْتَقْرِضُهَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ حَتَّى نُؤَدِّيَهَا؟ فَقَالَ عُمَرُ: مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ تَقُولَ أَنْتَ وَأَصْحَابُكَ بَعْدِي أَمَّا نَحْنُ فَقَدْ تَرَكْنَا نَصِيبَنَا لِعُمَرَ، فَلَيْزَمُنِي تَبِعَتُهُ، ثُمَّ قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: اضْمَنْهَا، فَضَمِنَهَا، قَالَ: فَلَمْ يُدْفَنْ عُمَرُ حَتَّى أَشْهَدَ بِهَا عَبْدَ اللَّهِ عَلَى نَفْسِهِ أَهْلَ الشُّورَى وَعِدَّةً مِنَ الأَنْصَارِ فَمَا مَضَتْ جُمُعَةٌ بَعْدَ دَفْنِ عُمَرَ حَتَّى حَمَلَ ابْنُ عُمَرَ الْمَالَ إِلَى عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ، وَأَحْضَرَ الشهود على البراءة ودفع المال

[16] Wafa’u al-Wafa bi Akhbari Dar al-Musthafa (وفاء الوفاء بأخبار دار المصطفى صلى الله عليه وسلم) karya Nuruddin ‘Ali al-Samhudi (نور الدين علي بن احمد السمهودي) pada bab soal pelunasan hutang (باب زياد (باب القضاء)): والثامن عشر: باب كان يعرف بباب زياد وقد سد أيضا عند تجديد الحائط الذي هو فيه وكان بين خوخة أبي بكر الآتي ذكرها وبين الباب الذي قبله وسمي بذلك لما رواه ابن شبة عن محمد بن إسماعيل بن أبي فديك عن عمه قال: كانت رحبة القضاء لعمر رضي الله عنه- يعني دارا له- وأمر حفصة وعبد الله ابنيه رضي الله عنهما أن يبيعاها عند وفاته في دين كان عليه، فإن بلغ ثمنها دينه وإلا فاسألوا فيه بني عدي بن كعب حتى تقضوه، فباعوها من معاوية بن أبي سفيان رضي الله عنهما، وكانت تسمى دار القضاء، قال ابن أبي فديك: فسمعت عمي يقول: إن كانت لتسمى دار قضاء الدين. . Asy-Syarif al-Imam Nuruddin Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Ahmad bin Ali al-Hasani as-Samhudi (lahir 844 H meninggal 911 H) adalah seorang ulama, penulis, sejarawan. Ia merupakan salah satu penulis sejarah Madinah yang terkenal. Beliau termasuk keturunan Imam Hasan bin ‘Ali. Teks serupa tercantum dalam Akhbar al-Madinah karya Muhammad bin al-Hasan bin Zabalah (أخبار المدينة لمحمد بن الحسن ابن زبالة).

Comments (1)

Tim Ahmadiyah.Id
05/11/2021, 05:58
Riwayat yang sangat valif yang diambil dari bebagai sumber yang sanat dipercaya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah ini

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.