Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 112, Khulafa’ur Rasyidin Seri 18)
Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 07 Mei 2021 (Hijrah 1400 Hijriyah Syamsiyah/Ramadhan 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
- Tulisan Hadhrat Mushlih Mau’ud tentang Bagaimana Umar (ra) Masuk Islam
- Ibadah Secara Terbuka
- Reaksi Kaum Qurays atas Bai’atnya Umar bin Khathab (ra)
- Tulisan Hadhrat Masih Mau’ud tentang Bai’atnya Umar dalam Riwayat yang Berbeda
- Dua Umar
- Doa Rasulullah (saw) untuk Umar (ra) Setelah Masuk Islam
- Hijrah Hadhrat Umar (ra) ke Madinah
- Awal Mula Adzan
- Jumat Terakhir Bulan Ramadhan
- Membentengi diri Dari Serangan Setan dan Dajjal
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُأما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Sebelumnya tengah berlangsung pembahasan mengenai riwayat Hadhrat ‘Umar (ra) dan telah dijelaskan mengenai masuk Islamnya beliau.
Tulisan Hadhrat Mushlih Mau’ud tentang Bagaimana Umar (ra) Masuk Islam
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda mengenai bagaimana Hadhrat ‘Umar (ra) menerima Islam sebagai berikut: “Hadhrat ‘Umar (ra) terus menentang keras Islam. Yakni ketika belum menerima Islam beliau terus melakukan penentangan. Suatu hari terpikir oleh beliau mengapa tidak dihabisi saja pendiri dari agama ini dan setelah berpikir demikian beliau mengambi pedang di tangannya dan pergi ke luar rumah untuk membunuh Rasulullah (saw).
Di jalan seseorang bertanya, ‘Wahai ‘Umar! Kemana kamu hendak pergi?’
Beliau menjawab, ‘Aku pergi untuk membunuh Muhammad (saw).’
Orang tersebut dengan nada mengolok mengatakan, ‘Cari tahulah terlebih dahulu mengenai rumahmu, adik perempuanmu dan adik iparmu telah beriman kepadanya.’
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Ini bohong.’
Orang tersebut mengatakan, ‘Pergi dan lihatlah sendiri.’
Hadhrat ‘Umar (ra) pergi ke sana. Pintu nampak tertutup. Di dalam ada seorang sahabat yang sedang mengajarkan Al-Qur’an. Beliau mengetuk.
Dari dalam terdengar suara adik iparnya bertanya, ‘Siapa?’
Hadhrat ‘Umar (ra) menjawab, ‘‘Umar (ra).’
Ketika sang sahabat melihat Hadhrat ‘Umar (ra) datang dan beliau mengetahui bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) ketika itu seorang penentang keras Islam, maka mereka menyembunyikan sahabat yang sedang mengajarkan Al-Qur’an itu di suatu tempat. Demikian juga mereka menyembunyikan dan meletakkan lembaran-lembaran Al-Qur’an di suatu pojok, kemudian membuka pintu. Dikarenakan Hadhrat ‘Umar (ra) datang setelah mendengar bahwa mereka telah masuk Islam, begitu tiba beliau langsung menanyakan, ‘Mengapa lama membuka pintu?’
Adik ipar beliau menjawab, ‘Karena terlambat saja.’
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Bukan ini masalahnya, ada sesuatu yang khusus mencegahmu membukakan pintu. Aku juga mendengar suara kamu sedang mendengarkan pembicaraan seorang Shabi.’ Orang-orang Musyrik Makkah biasa memanggil Yang Mulia Rasulullah (saw) dengan sebutan Shabi.
Adik ipar beliau berusaha menutupi namun Hadhrat ‘Umar (ra) marah, beliau maju untuk memukul adik iparnya. Adik perempuan beliau dikarenakan kecintaannya pada suaminya mencoba menghalangi, karena Hadhrat ‘Umar (ra) telah mengangkat tangannya dan adik perempuan beliau muncul di tengah-tengah secara tiba-tiba maka beliau tidak bisa menghentikan tangannya dan tangan beliau mengenai hidung adik perempuan beliau dengan keras dan karenanya darah mengalir. Hadhrat ‘Umar (ra) adalah seorang yang mudah terharu, menyadari bahwa beliau telah mengangkat tangan pada seorang wanita yang mana bertentangan dengan budaya Arab pada waktu itu dan di sisi lain ini dilakukan pada adik perempuan beliau sendiri, maka untuk menyelesaikan perselisihan Hadhrat ‘Umar (ra) mengatakan, ‘Baiklah! Katakan kepadaku apa yang sedang kalian baca tadi?’
Adik perempuan beliau memahami bahwa kelembutan telah mucul dalam diri Hadhrat ‘Umar (ra) , beliau berkata, ‘Pergilah! Aku tidak siap memberikan barang yang suci ini ke tangan seseorang yang sepertimu.’
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Apa yang harus kulakukan?’
Adik perempuan beliau menjawab, ‘Di depan ada air. Mandilah. Barulah barang itu bisa diberikan ke tanganmu.’
Kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) mandi dan kembali. Adik perempuan beliau memberikan lembaran-lembaran Al-Qur’an tadi ke tangan beliau. Karena dalam diri Hadhrat ‘Umar (ra) telah timbul suatu perubahan, maka begitu beliau membaca ayat-ayat Al-Qur’an, kelembutan muncul dalam diri beliau dan ketika ayat-ayat itu telah selesai beliau secara spontan mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammad-ar-Rasuulullah.’
Mendengar perkataan ini sahabat yang bersembunyi karena takut kepada Hadhrat ‘Umar (ra) tadi lalu keluar. Kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya, ‘Di manakah Hadhrat Rasulullah (saw) tinggal akhir-akhir ini?’
Rasulullah (saw) pada hari-hari tersebut berpindah-pindah rumah dikarenakan penentangan. Mereka memberitahukan bahwa saat ini beliau (saw) tinggal di Darul Arqam. Hadhrat ‘Umar (ra) dalam keadaan membawa pedang yang terhunus segera pergi ke rumah tersebut.
Dalam hati adik perempuan beliau timbul keraguan besar jangan-jangan beliau pergi dengan niatan buruk. Beliau lalu maju dan berkata, ‘Demi Tuhan! Aku tidak akan membiarkanmu pergi selama kamu tidak meyakinkanku bahwa kamu tidak akan melakukan suatu kejahatan.’
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Aku berjanji tidak akan berbuat keonaran.’
Hadhrat ‘Umar (ra) sampai di sana, yakni tempat di mana Rasulullah (saw) berada dan mengetuk pintu. Rasulullah (saw) dan para sahabat sedang duduk di dalam, saat itu tengah berlangsung daras keagamaan. Seorang sahabat bertanya, ‘Siapa?’
Hadhrat ‘Umar (ra) menjawab, ‘‘Umar (ra).’
Para sahabat berkata, ‘Ya Rasulullah (saw)! Hendaknya jangan membukakan pintu, jangan-jangan ia mau berbuat onar.’
Hadhrat Hamzah (ra) belum lama beriman, beliau seorang yang pemberani, beliau mengatakan, “Bukalah pintu. Aku akan melihat apa yang ia lakukan.’
Seseorang membuka pintu.
Hadhrat ‘Umar (ra) masuk, maka Rasulullah (saw) bersabda, ‘‘Umar (ra)! Sampai kapan kamu akan terus menentangku.’
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Ya Rasulullah (saw)! Saya tidak datang untuk menentang, tapi untuk menjadi hamba Anda.’
‘Umar (ra) yang sejam sebelumnya seorang musuh keras dan keluar rumah untuk membunuh Yang Mulia Rasulullah (saw), dalam sekejap telah menjadi seorang Mu’min berderajat tinggi. Hadhrat ‘Umar (ra) bukanlah dari antara para pemimpin Makkah, namun dikarenakan keberaniannya beliau memiliki pengaruh besar di kalangan para pemuda. Ketika beliau masuk Islam para sahabat dengan bersemangat meneriakkan takbir.
Setelah itu tiba waktu shalat dan Rasulullah (saw) ingin melaksanakan shalat, maka ‘Umar (ra) yang dua jam sebelumnya keluar dari rumah dengan tujuan untuk membunuh Rasulullah (saw), ia kembali mengeluarkan pedang dan berkata, ‘Ya Rasulullah (saw)! Rasul Allah Ta’ala beserta para pengikutnya melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi, sedangkan orang-orang Musyrik Makkah berkeliaran di luar dengan bebas, bagaimana bisa seperti ini? Saya akan melihat siapa yang akan menghalangi kita dari melaksanakan shalat di Ka’bah.’
Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, ‘Semangat ini sangat bagus, namun keadaannya sekarang tidak patut bagi kita untuk pergi keluar.’”[1]
Ibadah Secara Terbuka
Namun kemudian setelah itu dilaksanakan shalat di Ka’bah sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya mengenai hal ini. Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Di masa-masa awal Islam di antara orang-orang Islam hanya dua orang yang dianggap pemberani. Yang pertama adalah Hadhrat ‘Umar (ra) dan yang kedua adalah Amir Hamzah (ra).
Ketika keduanya masuk Islam, mereka memohon kepada Rasulullah (saw), ‘Kami tidak menyukai kita beribadah dengan sembunyi-sembunyi di dalam rumah, ketika Ka’bah adalah menjadi hak kita maka tidak ada alasan kita tidak meraih hak kita tersebut dan tidak beribadah kepada Allah Ta’ala secara terbuka.’
Hadhrat Rasulullah (saw) yang melaksanakan shalat di rumah untuk menyelamatkan orang-orang kafir dari dosa berbuat keonaran, beliau (saw) pegi ke Ka’bah untuk beribadah dan pada saat itu di satu sisi beliau (saw) ada Hadhrat ‘Umar (ra) berjalan dengan menghunus pedang dan di sisi lainnya ada Amir Hamzah (ra). Demikianlah Yang Mulia Rasulullah (saw) melaksanakan shalat secara terang-terangan di Ka’bah.”[2]
Reaksi Kaum Qurays atas Bai’atnya Umar bin Khathab (ra)
Ketika kabar masuk Islamnya Hadhrat ‘Umar (ra) tersebar di kalangan Quraisy, mereka menjadi sangat marah dan dalam keadaan marah tersebut mereka mengepung rumah Hadhrat ‘Umar (ra). Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) keluar sejumlah besar orang telah berkumpul di sekeliling beliau dan hampir saja beberapa orang yang penuh amarah menyerang beliau, namun Hadhrat ‘Umar (ra) pun dengan penuh keberanian berdiri di depan mereka.
Akhirnya dalam keadaan demikian seorang pemimpin besar Makkah, Al-’Ashh bin Wail tiba di sana dan melihat kerumunan itu ia maju dengan sikap berwibawa dan bertanya ada apa? Orang-orang mengatakan bahwa ‘Umar (ra) telah menjadi Shabi (sebutan orang-orang Musyrikin Makkah kepada orang Islam). Memahami situasi ini ia mengatakan, ‘Ya! Tidak perlu ada keributan ini. Saya akan memberikan perlindungan pada ‘Umar (ra).’
Berdasarkan tradisi Arab, mereka harus diam dengan ucapan seperti ini dan perlahan mereka bubar. Setelah itu hingga beberapa hari Hadhrat ‘Umar (ra) tinggal dalam keadaan aman. Disebabkan perlindungan dari Al-’Ashh bin Wail, tidak ada yang menyerang beliau. Namun, ghairat Hadhrat ‘Umar (ra) tidak bisa menjalani keadaan ini hingga waktu yang lama sehingga tidak berapa lama kemudian beliau pergi kepada Al-’Ashh bin Wail dan mengatakan, ‘Saya keluar dari perlindunganmu.’
Hadhrat ‘Umar (ra) meriwayatkan, ‘Setelah itu saya terus memukuli dan dipukuli di jalan-jalan Makkah.’ Artinya, beliau terus berkelahi, namun Hadhrat ‘Umar (ra) tidak pernah menurunkan pandangannya (tunduk) di hadapan siapapun.”[3]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Lihatlah! Seorang yang memusuhi Rasulullah (saw) dengan sangat keras, namun kemudian bagaimana perubahan yang terjadi pada diri beliau. Bukan hanya terjadi islah pada diri beliau, bahkan beliau telah sampai pada suatu derajat tinggi kerohanian yang sedemikian rupa sehingga sulit untuk mengenalinya. Yakni benar-benar telah terjadi perubahan dan tidak bisa dikenali lagi apakah ini orang yang sama. ‘Umar yang dulunya biasa menentang Islam, ketika beliau menerima Islam di dalam diri beliau timbul suatu perubahan yang sedemikian rupa sehingga beliau mempertaruhkan nyawa beliau untuk kepentingan agama dan siang malam sibuk dalam mengkhidmati Islam.”[4]
Tulisan Hadhrat Masih Mau’ud tentang Bai’atnya Umar dalam Riwayat yang Berbeda
Dalam menjelaskan mengenai peristiwa baiatnya Hadhrat ‘Umar (ra) ke dalam Islam, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda sebagai berikut: “Lihatlah betapa banyak faedah yang didapat dari Hadhrat ‘Umar (ra). Pada satu masa beliau tidak beriman dan ada jeda selama empat tahun. Allah Ta’ala Maha Tahu apa rahasia yang ada di dalamnya. Abu Jahl mencari-cari seseorang yang bisa membunuh Hadhrat Rasulullah (saw). Pada masa itu Hadhrat ‘Umar (ra) terkenal sangat gagah berani dan berkarisma. Mereka bersekongkol satu sama lain untuk membunuh Rasulullah (saw) dan perjanjian itu ditandatangani oleh Hadhrat ‘Umar (ra) dan Abu Jahl dan diputuskan bahwa jika ‘Umar (ra) berhasil membunuh maka akan diberikan sejumlah uang.”
Beliau (as) bersabda, “Lihatlah bagaimana kekuasaan Allah Ta’ala! ‘Umar (ra) yang di satu masa pernah pergi untuk mensyahidkan Rasulullah (saw), di masa yang lain ‘Umar (ra) yang sama masuk Islam lalu menjadi syahid. Sungguh masa yang menakjubkan. Singkatnya, pada waktu itu disepakati bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) yang akan membunuh.
Setelah menulis perjanjian tersebut beliau mulai mencari dan memata-matai Hadhrat Rasulullah (saw). Beliau berkeliling pada malam hari yakni mencari Hadhrat Rasulullah (saw). Hadhrat ‘Umar (ra) sibuk memata-matai dan berkeliing di malam hari, yakni ketika beliau mendapati Hadhrat Rasulullah (saw) tengah sendiri maka beliau akan membunuhnya. Beliau bertanya kepada orang-orang di mana Rasulullah (saw) biasa sendiri. Orang-orang mengatakan bahwa setelah lewat tengah malam beliau (saw) biasa pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan shalat.
Mendengar ini Hadhrat ‘Umar (ra) merasa sangat senang lalu diam-diam pergi ke Ka’bah. Setelah beberapa waktu berlalu, dari hutan terdengar suara Laa ilaaha illallah dan itu adalah suara Hadhrat Rasulullah (saw). Setelah mendengar suara ini dan mengetahui bahwa beliau (saw) ada di sana, Hadhrat ‘Umar (ra) semakin berhati-hati bersembunyi dan berniat ketika nanti Nabi (saw) tengah bersujud maka beliau akan memenggal kepala penuh berkat Hadhrat Rasulullah (saw) dan memisahkannya dari badan. Begitu sampai, beliau (saw) langsung mulai shalat.
Kemudian yang terjadi selanjutnya Hadhrat ‘Umar (ra) sendiri yang menceritakan, ‘Hadhrat Rasulullah (saw) sedemikian rupa menangis berdoa dalam sujud sehingga saya menjadi gemetar. Sampai-sampai Hadhrat Rasulullah (saw) juga bersabda, سَجَدَ لَکَ رُوْحِی وَ جَنَانِی “Sajada laka ruuhi wa janaani.” Yakni, Wahai Pelindung-ku! Ruh dan hatiku juga bersujud kepada Engkau.”’
Hadhrat ‘Umar (ra) mengatakan, ‘Mendengar doa-doa ini hati menjadi luluh lantak. Akhirnya dikarenakan pesona kebenaran, pedang itu jatuh dari tangan saya. Dari keadaan Hadhrat Rasulullah (saw) ini saya menyadari bahwa ini adalah kebenaran dan pasti akan meraih kesuksesan, namun nafsu amarah begitu buruk. Berulangkali ia muncul.
Ketika Nabi (saw) telah selesai shalat, beliau (saw) pergi, saya membuntuti. Beliau (saw) menyadari dari langkah kaki. Malam itu begitu gelap.
Hadhrat Rasulullah (saw) bertanya, “Siapa?”
Saya menjawab, “‘Umar (ra)!”
Beliau (saw) bertanya, “‘Umar! Engkau tidak melepaskanku pada malam hari dan tidak juga siang hari.”
Pada waktu itu saya mencium wangi ruh Rasulullah (saw) dan ruh saya merasakan bahwa beliau (saw) akan berdoa buruk.
Saya berkata, “Wahai Hudhur! Janganlah berdoa buruk.”’
Hadhrat ‘Umar (ra) mengatakan, ‘Pada kesempatan itulah saya menerima Islam sehingga Allah Ta’ala memberikan saya taufik untuk menjadi seorang Muslim.’”[5]
Ini adalah satu riwayat dari Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan di tempat lain dalam menjelaskan mengenai rincian peristiwa yang sama beliau (as) menjelaskan hal-hal ini juga namun beberapa kalimat di dalamnya memberikan lebih banyak ragam kesimpulan. Beliau (as) bersabda, “Sebelum masuk Islam, Hadhrat ‘Umar (ra) bertemu dengan Abu Jahl, bahkan tertulis dalam riwayat bahwa suatu kali Abu Jahl berencana untuk menghabisi nyawa Hadhrat Rasulullah (saw) dan juga menetapkan sejumlah uang sebagai hadiah. Hadhrat ‘Umar (ra) terpilih untuk tugas ini. Kemudian beliau mengasah pedang beliau dan mencari kesempatan.
Akhirnya Hadhrat ‘Umar (ra) mengetahui bahwa pada tengah malam beliau (saw) datang untuk melaksanakan shalat di Ka’bah. Beliau datang diam-diam ke Ka’bah dan beliau mendengar dari arah hutan suara laa ilaaha illallah dan suara itu semakin dekat. Hingga Rasulullah (saw) masuk Ka’bah dan beliau saw, melaksanakan shalat.
Hadhrat ‘Umar (ra) mengatakan, ‘Beliau (saw) sedemikian rupa bermunajat dalam sujud sehingga saya tidak berani untuk mencabut pedang. Ketika beliau (saw) selesai shalat maka beliau berjalan di depan, saya mengikuti dari belakang.
Hadhrat Rasulullah (saw) mendengar langkah kaki saya dan bertanya, “Siapa?”
Saya menjawab, “‘Umar!”
Atas hal ini beliau (saw) bersabda, “Wahai ‘Umar! Anda tidak melepaskan saya baik siang maupun malam.”’
Hadhrat ‘Umar (ra) mengatakan, ‘Dikarenakan perkataan Hadhrat Rasulullah (saw) ini saya merasa bahwa beliau (saw) akan berdoa buruk sehingga saya mengatakan, “Hudhur! Setelah hari ini saya tidak akan menyakiti Anda lagi.”’
Karena di kalangan orang-orang Arab janji sangat diperhatikan, maka Hadhrat Rasulullah (saw) merasa yakin, namun sebenarnya waktu Hadhrat ‘Umar (ra) telah tiba.”
Ini adalah poin-poin yang sedikit baru dari referensi-referensi sebelumnya.
“Terlintas dalam hati Hadhrat Rasulullah (saw) bahwa Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan Hadhrat ‘Umar (ra). Kemudian pada akhirnya Hadhrat ‘Umar (ra) masuk Islam dan kemudian pertemanan dan hubungan dengan Abu Jahl dan para penentang lainnya seketika menjadi terputus dan digantikan dengan satu persaudaraan yang baru. Beliau bertemu dengan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan para sahabat lainnya serta tidak pernah memikirkan lagi hubungan-hubungan yang sebelumnya.”[6]
Di tempat lain dalam corak tersebut Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan sedikit berbeda menjelaskan tentang peristiwa Hadhrat ‘Umar (ra) memeluk Islam, yaitu: “Mungkin Anda sekalian pernah mendengar tentang Hadhrat ‘Umar (ra) yang pergi untuk membunuh Nabi (saw). Saat itu Abu Jahl menyebarkan satu pengumuman kepada kaumnya bahwa siapa saja yang membunuh Nabi, maka ia akan berhak meraih banyak hadiah dan kehormatan. Sebelum memeluk Islam, Hadhrat ‘Umar (ra) telah bersekutu dengan Abu Jahl dan bermaksud akan membunuh Nabi. Saat itu ia tengah mencari waktu yang tepat. Dengan bertanya, pada akhirnya ia tahu bahwa Nabi pergi ke Ka’bah tengah malam untuk melakukan shalat. Merasa ini waktu yang tepat, Hadhrat ‘Umar (ra) pergi di awal malam dan bersembunyi di Ka’bah. Di pertengahan malam, terdengar entah dari mana suara la ilaha illallah. Hadhrat ‘Umar (ra) telah berniat untuk membunuh Nabi (saw) tatkala beliau sujud. Nabi (saw) pun mulai berdoa dengan penuh keperihan dan demikianlah beliau bersujud dalam puji sanjung Ilahi, yang membuat kalbu Hadhrat ‘Umar (ra) pun luluh. Semua keberaniannya perlahan surut dan tangan yang hendak membunuh itu menjadi terdiam.”
Demikianlah beliau menjelaskan kelembutan Hadhrat ‘Umar (ra) lalu bersabda lagi, “Ketika Nabi (saw) selesai shalat dan hendak pulang ke rumah, Hadhrat ‘Umar (ra) pun membuntuti beliau. Nabi (saw) seraya menyadari bunyi langkah kaki pun bertanya. Ketika beliau mengetahuinya, beliau bersabda, ‘Wahai ‘Umar! Betapa engkau tidak berhenti mengejarku.’
Karena takut akan doa buruk beliau, Hadhrat ‘Umar (ra) pun berkata, ‘Yang Mulia, saya telah meninggalkan niat untuk membunuh Anda. Janganlah Anda berdoa buruk pada saya.’
Walhasil, Hadhrat ‘Umar (ra) kerap bersabda bahwa itu adalah awal malam dimana kecintaan terhadap Islam lahir di dalam diri beliau.”[7]
Yang telah saya sampaikan ini adalah tiga kutipan berbeda dari Hadhrat Masih Mau’ud (as), yaitu pertama ditulis pada Januari 1901, kedua pada Agustus 1902 dan ketiga Juni 1904 atau 1907. Di ketiga tempat ini Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyebutkan tentang niat serangan oleh Hadhrat ‘Umar (ra) kepada Nabi (saw) di Ka’bah pada malam hari. Mungkin dalam keadaan terkuasai nafsu ammarah Hadhrat ‘Umar (ra) telah keluar tengah hari untuk berniat melakukannya juga lalu terjadi peristiwa mengenai adik perempuan beliau itu yang telah umum diceritakan [dalam riwayat-riwayat tentang masuk Islamnya beliau]. Pada pokoknya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah tiga kali menceritakan dalam corak demikian dalam hal ini. Beliau (as) menyinggung juga tentang nafs ammarah (jiwa yang masih terkuasai keburukan). Bisa saja lalu timbul lagi keinginan dalam diri Hadhrat ‘Umar (ra) dan terjadilah peristiwa itu yaitu beliau keluar untuk membunuh Nabi (saw). Jadi, telah disebutkan tentang niat dan upaya Hadhrat ‘Umar (ra) untuk membunuh pada kedua peristiwa ini, yaitu peristiwa adik perempuan dan adik ipar serta peristiwa upaya pembunuhan di malam hari; dimana beliau, yaitu Hadhrat ‘Umar (ra) melakukannya atas dorongan Abu Jahl dan bujukan hadiah tersebut.
Dua Umar
Hadhrat Masih Mau’ud (as.) bersabda, “Abu Jahl disebut sebagai Firaun. Namun menurut saya, Abu Jahl lebih buruk dari Fira’un karena pada akhirnya Fir’aun pun berkata, اٰمَنْتُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا الَّذِيْٓ اٰمَنَتْ بِهٖ بَنُوْٓا اِسْرَاۤءِيْلَ ‘Aku beriman bahwa tiada Tuhan selain Yang diimani oleh Bani Israil’, sementara Abu Jahl tidak beriman dan semua kerusakan di Makkah adalah ulahnya. Ia sangat angkuh, tinggi hati dan haus akan kebesaran. Nama aslinya pun adalah ‘Umar sehingga saat itu ada dua ‘Umar di Makkah, dan betapa hikmah Tuhan bahwa Dia menarik satu ‘Umar dan membiarkan ‘Umar lain bernasib malang. Ruhnya terbakar di neraka, sedangkan Hadhrat ‘Umar (ra) meninggalkan keras hatinya lalu beliau pun menjadi raja.”[8]
Doa Rasulullah (saw) untuk Umar (ra) Setelah Masuk Islam
Hadhrat Ibnu ‘Umar berkata, “Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) bin Al-Khaththab memeluk Islam, Rasulullah (saw) 3 kali berdoa ini lalu membasuhkan tangan beliau ke dadanya, yaitu, اللَّهُمَّ أَخْرِجْ مَا فِي صَدْرِهِ مِنْ غِلٍّ وَأَبْدِلْهُ إِيمَانًا ‘Wahai Allah, jauhkanlah apapun kebencian di dalam dadanya dan tukarlah itu dengan keimanan.’ Beliau 3 kali mengucapkan doa ini.”[9]
Sebagaimana kita melihat kehidupan Hadhrat ‘Umar (ra) sebelum memeluk Islam dimana beliau sebelumnya adalah musuh keras umat Islam, namun ketika beliau memeluk Islam, peristiwa ini terbukti menjadi gambaran kemenangan bagi umat Islam dan selamatnya mereka dari kesulitan.
Hadhrat Abdullah bin Mas’ud berkata “Kami belum sampai beribadah secara terbuka, hingga Hadhrat ‘Umar (ra) memeluk Islam.”[10]
Abdurrahman bin Haris menyampaikan bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Di malam saya memeluk Islam, saat itu saya berpikir siapakah yang paling terdepan dalam memusuhi Rasulullah (saw), maka saya akan datang dan berkata kepadanya bahwa saya telah memeluk Islam.”
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, “Saya pun berpikir bahwa itu adalah Abu Jahl. Ketika pagi tiba, saya pun mendatanginya dan mengetuk pintunya. Abu Jahl menemui saya seraya berkata, ‘Selamat datang keponakanku, untuk apa engkau datang kemari?’
Saya menjawab, ‘Aku datang untuk memberitahukanmu bahwa aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (saw) dan aku telah membenarkan apa yang beliau bawa.’
Ia pun lantas menutup pintu itu di hadapan saya dan berkata, ‘Tuhan akan menghancurkanmu dan apa yang kamu bawa itu.’”[11] Ini adalah perkataan Abu Jahl.
Hadhrat ‘Abdullah Ibnu ‘Umar berkata, لَمَّا أَسْلَمَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، لَمْ تَعْلَمْ قُرَيْشٌ بِإِسْلَامِهِ ، فَقَالَ: “Ketika ayah saya (Hadhrat ‘Umar (ra)) memeluk Islam, beliau bertanya kepada orang-orang, أَيْ أَهْلُ مَكَّةَ ، أَنْشَأُ لِلْحَدِيثِ ؟ ‘Siapakah orang diantara kaum Quraisy yang terbiasa menyebarkan pembicaraan?’
Mereka berkata, جَمِيلُ بْنُ مَعْمَرٍ الْجُمَحِيُّ ‘Jamil bin Ma-mar al-Jumahi.’”
Hadhrat Ibnu ‘Umar berkata, “Pagi-pagi beliau pun mendatanginya dan saya pun mengikuti beliau di belakang, dan saya melihat apa yang beliau lakukan. Meskipun saat itu saya berusia belia, namun apapun yang telah saya lihat saat itu saya memahaminya. Hingga ketika beliau sampai padanya, maka beliau berkata, ‘Wahai Jamil, tidakkah engkau mengetahui bahwa aku telah memeluk Islam dan aku telah masuk ke dalam agama Muhammad (saw)?’
Hadhrat ‘Umar (ra) lalu berkata, ‘Demi Allah’, beliau belum sampai mengulang perkataannya, (yakni beliau tak perlu berbicara dua kali) hingga orang itu pun berlalu seraya menarik selendangnya dan Hadhrat ‘Umar (ra) pun menyusulnya di belakang.”
Hadhrat Ibnu ‘Umar berkata, “Saya pun mengikuti ayah saya hingga orang itu (yakni Jamil) berdiri di pintu Ka’bah dan berseru dengan lantang di sana, يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ ، إِنَّ ابْنَ الْخَطَّابِ قَدْ صَبَأَ ‘Wahai kaum Quraisy, (saat itu mereka [orang Quraisy] tengah duduk di tempat mereka dan ia menyeru kepada mereka) Dengarlah! ‘Umar bin Al-Khaththab telah menjadi orang Shabi [sebutan terhadap orang Islam oleh kaum Musyrikin Makkah].’”
Perawi berkata, “Hadhrat ‘Umar (ra) dari belakang berkata, كَذَبَ ، وَلَكِنِّي أَسْلَمْتُ وَآمَنْتُ بِاللَّهِ وَصَدَّقْتُ رَسُولَهُ ‘Dia telah berdusta! Aku telah menerima Islam dan aku bukanlah shabi; Dan Aku telah bersaksi bahwa tiada yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya.’
Orang-orang Quraisy pun menyergap beliau. Beliau lantas berkelahi dengan mereka tanpa henti hingga matahari pun tepat diatas kepala mereka.”
Perawi berkata: Beliau (yakni Hadhrat ‘Umar (ra)) pun lelah dan duduk, lantas orang-orang itu pun berdiri di sekeliling kepala beliau. Beliau bersabda, “lakukan apa yang ingin engkau lakukan. Aku bersumpah demi Allah, jikalau kami sudah sebanyak 300 laki-laki, maka kami akan meninggalkan ini (yaitu Makkah) untuk kalian atau kalianlah yang harus meninggalkan ini” (yakni, kami akan menjalankan semuanya dengan bebas).
Perawi berkata: saat mereka melakukan hal itu, seorang tua dari Quraisy pun datang dan ia mengenakan baju baru khas negeri Yaman. Ia pun berdiri di dekat mereka dan berkata, “Apa yang terjadi dengan diri kalian”. Mereka berkata, “‘Umar telah menjadi Shabi”.
Ia berkata, “lalu mengapa? Ada seorang yang telah menjalani sesuatu demi dirinya, lantas apa yang kalian inginkan darinya? Tinggalkanlah orang itu”.
Perawi berkata: “Demi Tuhan, mereka langsung menjauh dari beliau”.
Ibnu ‘Umar (putra Hadhrat ‘Umar (ra)) berkata, “Saya bertanya kepada ayah saya, (yakni ia bertanya kepada Hadhrat ‘Umar (ra) ketika mereka telah hijrah ke Madinah, dan telah lama berlalu semenjak saat itu) يَا أَبَتِ ، مَنِ الرَّجُلُ الَّذِي رَدَّ عَنْكَ الْقَوْمَ يَوْمَئِذٍ ؟ “Wahai Ayahanda, siapakah orang yang di hari Ayah memeluk Islam, ia menyeru dengan lantang seraya menjauhkan engkau dari orang-orang, yang tengah berkelahi dengan engkau?”,
Beliau bersabda, يَا بُنَيَّ ، ذَاكَ الْعَاصُ بْنُ وَائِلٍ “Ananda tercinta, ia adalah Al-’Ash bin Wail as-Sahmi”.[12]
Di Bukhari pun terdapat satu riwayat dimana Hadhrat Ibnu ‘Umar berkata, “Satu saat Hadhrat ‘Umar (ra) terduduk di rumah dalam perasaan takut, lantas datang Abu ‘Umar Al-’Ash bin Wail as-Sahmi yang mengenakan baju sutra bercorak. Ia berasal dari Kabilah Banu Sahm yang di masa jahiliah merupakan sekutu kami.
Al-’Ash berkata kepada Hadhrat ‘Umar (ra), ‘Ada kabar apa?’
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Kaummu menyadari aku telah Muslim lantas mereka akan membunuhku.’
Ia menjawab, ‘Tidak ada yang akan dapat mendekatimu.’
Saya pun tenang tatkala Al-’Ash mengatakan hal demikian, dan Al-’Ash pun pulang lalu bertemu dengan orang-orang.” (Ini adalah keadaan ketika Makkah penuh dengan orang-orang semacam demikian).
“Al-’Ash bertanya kepada orang-orang, ‘Kemana kalian hendak pergi?’
Mereka menjawab, ‘Kami hendak pergi ke putra Al-Khaththab yang telah meninggalkan agamanya.’ Ia berkata, ‘Jangan pergi ke sana.’ Mendengar ini orang-orang itu pun kembali.[13]
Terkait riwayat yang menggambarkan takutnya Hadhrat ‘Umar (ra) ini, tampaknya ini tidak sahih karena ini bertentangan dengan kepribadian Hadhrat ‘Umar (ra). Mungkin yang sebenarnya adalah pengaruh kekhawatiran dan perawi memahaminya sebagai ketakutan, atau seperti yang ada di riwayat sebelumnya, di mana beberapa waktu kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) pun mengembalikan perlindungan itu, dan tentang ini pun akan disebutkan kelak.
Hadhrat Zainal Abidin Waliyullah Shah Sahib dalam menjelaskan riwayat-riwayat peristiwa Hadhrat ‘Umar (ra) memeluk Islam, seraya menyebut Al-’Ash bin Wail as-Sahmi, ia menuliskan, “Sebelum Hadhrat ‘Umar (ra) memeluk Islam, disebutkan juga perihal beberapa orang yang telah beriman yang mendapatkan kekerasan, dan dikatakan bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) pun menjadi sasaran kekerasan karena menjadi Muslim, jika Al-’Ash bin Wail Sahmi tidak mengumumkan untuk melindunginya. Al-’Ash bin Wail adalah seorang diantara para tokoh Quraisy yang paling terhormat dan berasal dari Kabilah Banu Sahm. Nasabnya adalah Al-’Ash bin Wail bin Hasyim bin Sa’id bin Sahm. Ia wafat sebelum hijrah dalam keadaan kafir. Hadhrat ‘Umar (ra) berasal dari Keluarga Banu ‘Adi, dan Banu ‘Adi bersekutu dengan keluarga Banu Sahm. Karena adanya persekutuan dan persaudaraan ini, Al-’Ash bin Wail pun menyadari kewajiban baiknya untuk membantu Hadhrat ‘Umar (ra).”[14]
Sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya, Hadhrat ‘Umar (ra) pun suatu saat menolak perlindungan dari Al-’Ash bin Wail, mengenai hal ini Hadhrat ‘Umar (ra) sendiri yang menjelaskan yaitu, “Saya tidak ingin terus melihat orang-orang Islam disakiti, sementara saya tidak disakiti.” Beliau bersabda, “Saya berpikir bahwa ini bukanlah apa-apa. Hingga akhirnya saya pun menerima kesulitan-kesulitan sebagaimana yang dialami oleh Muslim lainnya. Saya saat itu terus bertahan hingga suatu saat mereka berkumpul di Ka’bah. Saya pun mendatangi paman saya Al-’Ash bin Wail dan berkata, ‘Dengarlah ucapanku.’
Ia berkata, “Apa yang mesti kudengar?’
Beliau berkata, ‘Aku ingin mengatakan bahwa aku mengembalikan perlindungan engkau.’
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata: ia lalu berkata, ‘Wahai keponakanku, janganlah berlaku demikian.’
Saya berkata, ‘Cukup, inilah [yang kuinginkan].’
Ia berkata, ‘Terserah engkau.’”
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Saya pun mengembalikan perlindungan itu, dan selanjutnya saya terus dan terus-menerus menerima kekerasan hingga Allah Ta’ala pun menganugerahkan kehormatan kepada Islam.”[15]
Muhammad bin Ubaid (مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ) menyampaikan, لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا نَسْتَطِيعُ أَنْ نُصَلِّيَ بِالْبَيْتِ حَتَّى أَسْلَمَ عُمَرُ فَلَمَّا أَسْلَمَ عُمَرُ قَاتَلَهُمْ حَتَّى تَرَكُونَا نُصَلِّي “Saya teringat kami belum dapat shalat di Baitullah hingga Hadhrat ‘Umar (ra) memeluk Islam. Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) menerima Islam, beliau pun berkelahi melawan kaum kafir itu hingga mereka pun membiarkan kami dan kami pun dapat mulai menjalankan shalat.”[16]
Hadhrat Abdullah bin Mas’ud menyampaikan, مَا زِلْنَا أَعِزَّةً مُنْذُ أَسْلَمَ عُمَرُ “Semenjak Hadhrat ‘Umar (ra) menjadi Muslim, kami hidup secara bermartabat.”[17] Kekerasan-kekerasan yang kelak timbul, itu memang terus ada namun tidak sepadan dengan kekerasan-kekerasan yang dialami sebelumnya. (mereka tidak menganggap kekerasan-kekerasan yang selanjutnya ada sebagai kekerasan. Padahal sejarah menyebutkan bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) pun harus menerima kekerasan-kekerasan).
Hadhrat Abdullah bin Hisyam menyampaikan, كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ “Suatu saat kami tengah bersama Nabi (saw). Beliau (saw) tengah memegang erat tangan Hadhrat ‘Umar (ra) bin Al-Khaththab.
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata kepada beliau (saw), يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي ‘Ya Rasulallah, Anda lebih saya cinta dibanding apapun selain jiwa saya.’
Nabi (saw) bersabda kepada beliau, لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ ‘Tidak. Demi Tuhan yang jiwa saya ada di tangan-Nya, iman Anda tidak dapat dikatakan sempurna selama saya tidak lebih dicintai dari jiwa Anda.’ (ini adalah perkara yang sangat penting).
Hadhrat ‘Umar (ra) menjawab kepada beliau, فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي ‘Demi Allah, sekarang Anda lebih saya cinta dibandingkan jiwa saya sendiri.’
Nabi (saw) bersabda, الْآنَ يَا عُمَرُ ‘Ya, sekarang ‘Umar. Ya, sekarang ‘Umar.’” [18] (yakni, sekarang inilah yang benar dan sempurna) Inilah keadaan dari keimanan [beliau].
Hijrah Hadhrat Umar (ra) ke Madinah
Hadhrat Abdullah bin Abbas dalam menyebutkan hijrah Hadhrat ‘Umar (ra) ke Madinah menjelaskan, “Ali bin Abi Talib berkata kepada saya, ‘Saya tidak mengenal siapapun dari para muhajir (mereka yang hijrah) yang tidak berhijrah secara diam-diam kecuali Hadhrat ‘Umar (ra) bin Al-Khaththab. Ketika beliau berkeinginan untuk hijrah, beliau membawa pedang beliau, menggantungkan busur beliau di bahu, memegang anak panah di tangan dan menyandang tombak seraya pergi ke Ka’bah. Saat itu para pemuka Quraisy berada di teras Ka’bah, namun beliau dengan penuh wibawa mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali lalu berhenti di maqam Ibrahim lalu melakukan shalat dengan sangat tenang. Kemudian beliau mendatangi satu per satu kelompok mereka dan berdiri menantang mereka seraya berseru, “Wajah-wajah malang! Allah menista orang-orang ini! Siapa yang menginginkan bahwa ibunya merelakan kematiannya, anaknya menjadi yatim dan istrinya menjadi janda, temuilah aku di belakang lembah itu.”’”
Hadhrat Ali berkata, “Tidak ada seorang pun yang mengikuti ‘Umar kecuali orang Muslim yang lemah, hingga beliau pun mengajarkan mereka dan membimbing mereka lalu beliau pun melanjutkan perjalanannya.”[19]
Mengenai hijrahnya Hadhrat ‘Umar (ra) yang secara terang terangan ini, hanya inilah satu riwayat yang disampaikan oleh Hadhrat Ali. Namun para penulis sejarah (kebanyakan mereka) memiliki pandangan berbeda-beda. Muhammad Husain Haikal menulis satu buku berisi sejarah dan sirah Hadhrat ‘Umar (ra). Ia mengangkat perkara ini bahwa Nabi (saw) dalam memerintahkan untuk Hijrah, beliau bersabda agar mereka berangkat secara sembunyi-sembunyi dari Makkah supaya tidak diketahui oleh para musuh dan supaya kelak tidak timbul halangan dan kesulitan. Melihat jelasnya perintah ini, bagaimana bisa Hadhrat ‘Umar (ra) dapat melanggarnya. Sementara bersamaan dengan itu tertulis dengan jelas dalam ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d dan Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam bahwa seperti halnya umat Muslim yang lainnya, Hadhrat ‘Umar juga melakukan hijrah sembunyi-sembunyi.
Alhasil, jika riwayat Hadhrat Ali dianggap benar, mungkin saja suatu waktu beliau mengumumkan hal tersebut dan saat itu beliau belum berhijrah. Artinya, beliau pernah mengumumkan di hadapan para pemuka Makkah dengan menyatakan, “Saya akan pergi hijrah, silahkan jika ada yang berani menghentikan saya.” Namun ketika melakukan hijrah, beliau melakukannya secara diam diam.
Pendapat Haikal ini memiliki bobot juga di dalamnya. Seperti yang telah saya katakan, Dalam Tabaqat Ibnu Saad dan Hisyam pun tertulis seperti itu. Tampaknya, sesuai perintah Rasulullah (saw), seperti umat Muslim lainnya, Hadhrat ‘Umar pun melakukan hijrah secara diam-diam, karena dengan melihat keadaan Makkah pada masa itu tidak mungkin dapat melakukannya secara terang terangan. Bahkan seperti yang kita lihat, hingga tiba masa Fatah Makkah, siapapun yang berhijrah, mereka berhasil melakukannya secara diam-diam. Jika Riwayat Hadhrat Ali tersebut dianggap sahih, maka mungkin saja itu merupakan sikap individu Hadhrat ‘Umar, namun tampaknya Riwayat tersebut tidak sahih.[20]
Hadhrat Bara bin Azib meriwayatkan, “Diantara para Muhajirin, yang paling pertama datang kepada kami adalah Hadhrat Mush’ab bin Umair dari Banu Abdud Daar lalu Hadhrat Ibnu Ummi Maktum, seorang yang tuna netra dari Banu Fihr datang. Kemudian, Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab datang dengan berkendara bersama 20 orang lainnya. Kami bertanya berkenaan dengan Hadhrat Rasulullah (saw), beliau menjawab, ‘Rasulullah (saw) ada di belakang saya.’ Artinya, ‘Akan sampai beberapa saat setelah kami.’ Selang beberapa saat Rasulullah (saw) tiba disertai oleh Hadhrat Abu Bakr.”[21]
Jika riwayat ini sahih, kemungkinan lebih kuat adalah Hadhrat ‘Umar pernah menyebutkan rencana hijrahnya dalam suatu majlis dan disampaikan dengan disertai penuh semangat, bersabda, “Silahkan jika ada yang berani melarang saya untuk hijrah!” Kemudian, hijrah beliau lakukan secara diam-diam karena terdapat riwayat lain yang menyatakan beliau hijrah bersama 20 orang lainnya. Bagaimanapun, Wallahu a’lam (Hanya Allah Yang Lebih Mengetahuinya).
Sesampainya di Madinah, Hadhrat ‘Umar singgah di rumah Rifaat bin Abdul Mundzir di Qaba.[22]
Seperti yang kita ketahui, Qaba berjarak 3 mil dari Madinah terletak di ketinggian. Di daerah tersebut tinggal beberapa keluarga Anshar. Diantaranya yang terkenal adalah keluarga Amru bin Auf. Kepala keluarga tersebut adalah Kultsum bin Hidm. Sesampainya di Qaba, Rasulullah (saw) pun singgah di rumah beliau.[23]
Berkenaan dengan pengikatan persaudaraan Hadhrat ‘Umar dijumpai beragam Riwayat. Berdasarkan satu Riwayat, Hadhrat Rasulullah (saw) menjalinkan persaudaraan antara Hadhrat ‘Umar dan Hadhrat Abu Bakr. Namun persaudaraan inipun terjadi pada dua kesempatan. Pertama, terjadi di Makkah dan kedua terjadi setelah hijrah. Persaudaraan yang terjalin di Makkah, Hadhrat Rasulullah (saw) jalinkan persaudaraan diri beliau sendiri dengan Hadhrat Ali, sementara Hadhrat ‘Umar dengan Hadhrat Abu Bakr. Alhasil, keduanya merupakan peristiwa yang terpisah. Rasululah juga menjalinkan persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar. Dalam satu riwayat, Rasulullah (saw) menjalinkan persaudaraan antara Hadhrat ‘Umar dengan Hadhrat Uwaim bin Saidah setelah hijrah. Berdasarkan Riwayat lain, Rasululah menjalinkan persaudaraan antara Hadhrat ‘Umar dengan Hadhrat Itbaan bin Malik. Berdasarkan Riwayat lain, Hadhrat ‘Umar dijalinkan dengan Hadhrat Mu’adz bin Afra.[24] Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menulis, Hadhrat ‘Umar dijalinkan dengan Hadhrat Itbaan bin Malik.[25]
Awal Mula Adzan
Berkenaan dengan awal mula adzan terdapat satu Riwayat bahwa Muhammad bin Abdullah bin Zaid meriwayatkan dari ayahnya yang berkata, لَمَّا أَصْبَحْنَا أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرْتُهُ بِالرُّؤْيَا فَقَالَ “Pada pagi hari kami berkunjung menemui Rasulullah (saw). Saya perdengarkan mimpi yang saya dapat kepada Rasulullah (saw).”
Riwayat ini telah disampaikan pada topik sahabat Hadhrat Abdullah, karena riwayat ini muncul lagi pada topik Hadhrat ‘Umar, untuk itu saya sampaikan secara singkat atau dari Riwayat lain.
Rasulullah (saw) bersabda: إِنَّ هَذِهِ لَرُؤْيَا حَقٍّ فَقُمْ مَعَ بِلاَلٍ فَإِنَّهُ أَنْدَى وَأَمَدُّ صَوْتًا مِنْكَ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا قِيلَ لَكَ وَلْيُنَادِ بِذَلِكَ ‘Sesungguhnya rukya ini adalah benar adanya. Kamu temui Bilal, karena suara Bilal lebih tinggi dibanding suaramu dan dia biasa menyampaikan pengumuman. Apa yang telah diajarkan kepadamu dalam mimpi, ajarkanlah kepada Bilal. Serukanlah azan tersebut.’”
Hadhrat Abdullah bin Zaid berkata, فَلَمَّا سَمِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ نِدَاءَ بِلاَلٍ بِالصَّلاَةِ خَرَجَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَجُرُّ إِزَارَهُ وَهُوَ يَقُولُ “Ketika Hadhrat ‘Umar mendengar adzan yang dikumandangkan Hadhrat Bilal, Hadhrat ‘Umar menemui Rasulullah (saw) dengan mengangkat kain selendang lalu berkata: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ الَّذِي قَالَ ‘Wahai Rasulullah (saw)! Demi Zat yang telah mengutus tuan dengan kebenaran, sesungguhnya mimpi itu jugalah yang saya lihat.’
Perawi mengatakan: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” فَلِلَّهِ الْحَمْدُ فَذَلِكَ أَثْبَتُ ” “Rasulullah (saw) bersabda, ‘Segala puji bagi Allah, hal ini semakin dikuatkan.’”[26]
Dalam menjelaskan hal itu Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Pada zaman Rasulullah (saw), Hadhrat Abdullah bin Zaid adalah seorang sahabat. Allah Ta’ala mengajarkan adzan kepada beliau dengan perantaraan rukya. Rasulullah (saw) pun berpegang pada rukya tersebut dan membiasakan azan tersebut di kalangan umat Islam. Di kemudian hari, wahyu Al-Qur’an pun membenarkan hal itu. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya pun diajarkan azan yang sama oleh Allah Ta’ala dan saya merahasiakannya selama 20 hari dengan dasar pemikiran ada orang lain yang telah menyampaikan hal yang sama kepada Rasulullah (saw). Saya menganggap tidak perlu untuk menyampaikannya. Atas hal inilah hadits Rasulullah (saw) berikut mengisyaratkan yaitu, اَلْمُؤْمِنُ یَرٰی اَوْ یُرٰی لَہٗ ‘Al-mu’minu yaroo ao yuroo lahuu.’ – ‘Orang beriman terkadang dikabarkan secara langsung dan kadang dikabari melalui perantaraan orang lain.’”[27]
Selebihnya akan saya sampaikan pada kesempatan lain, insya Allah.
Jumat Terakhir Bulan Ramadhan
Saat ini saya ingin menarik perhatian secara secara singkat bahwa hari ini adalah hari jumat terakhir di bulan Ramadhan. Janganlah menganggapnya hanya sebagai hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan saja, melainkan jumat ini hendaknya menjadi penentu jalan baru bagi kita untuk masa depan. Hal hal yang mendapatkan perhatian pada bulan Ramadhan dan kebaikan yang dapat dilakukan, setelah berlalu bulan Ramadhan pun kita harus berupaya untuk tetap mempertahankannya, bahkan harus meningkatkannya. Hanya melewati bulan Ramadhan saja tidaklah memberikan manfaat berarti bagi kita, Jika kita tidak mempertahankan kebajikan kebajikan dan perubahan suci tersebut dan tidak mengalami kemajuan di dalamnya.
Pada khotbah terdahulu saya menekankan pada (pentingnya) shalawat dan istighfar, amalan tersebut jangan hanya terbatas pada bulan Ramadhan saja yakni setelah ramadhan berlalu kemudian tenggelam lagi dalam urusan duniawi dan melupakan doa dan istighfar.
Membentengi diri Dari Serangan Setan dan Dajjal
Saya pun telah menekankan secara khusus bahwa kita harus selalu ingat bahwa pada zaman ini, dimana propaganda dajjal tengah menggunakan senjata-senjata baru, gemerlap duniawi telah menguasai sebagian besar (manusia). Para remaja dan anak anak kita pun terkadang terdampak oleh pengaruh buruknya. Untuk itu, kita harus banyak berdoa untuk diri kita sendiri semoga Allah Ta’ala menyelamatkan kita dari serangan setan dan dajjal. Perlu juga bagi kita untuk terus menjalin kedekatan dan menciptakan hubungan khas dengan anak-anak kita dan menjelaskan kepada mereka perihal zat Allah Ta’ala dan ajaran Islam yang indah. Yakinkanlah mereka sepenuhnya dan ciptakan keyakinan sempurna dalam hati mereka dan jalinkanlah mereka dengan Tuhan sehingga jangan sampai ada perbuatan, amalan, pemikiran mereka yang bertentangan dengan keridhaan-Nya dan bertentangan dengan ajaran-Nya.
Anak-anak kita harus memiliki jawaban atas setiap perkara duniawi dan keburukan. Jangan sampai mereka tidak mengetahui jawaban atas beberapa perkara sehingga akhirnya terpengaruh oleh orang lain dan berkat jawaban tersebut mereka dapat melindungi diri mereka sendiri dari keburukan itu. Inilah yang dapat menata dan memberikan jaminan bagi keberlangsungan kehidupan anak keturunan kita dan inilah cara yang baik untuk menyelamatkan keturunan kita dari berbagai keburukan.
Namun ini tidak akan terwujud sebelum kita sendiri meraih standar tinggi dalam keimanan dan keyakinan yakni standar yang seyogyanya menjadi ciri khas seorang mukmin. Ini akan dapat terwujud Ketika kita memiliki jalinan kuat dengan Allah Ta’ala, jika shalat dan ibadah kita berkualitas dan memahami tanggung jawab, kenapa kita baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as)? Ini merupakan tanggung jawab besar yang ada di pundak kita yakni sembari memperkuat keimanan, sembari memperhatikan amalan kita secara berkesinambungan, menjadi sarana untuk menyelamatkan keturunan kita.
Pada masa ini perbuatan amoral dan laghau sudah sedemikian rupa sehingga mungkin tidak pernah terjadi sebelum ini. Keburukan tadi dapat memasuki rumah rumah dengan perantaraan TV dan internet. Pada zaman dulu, seseorang dapat terjerumus ke dalam keburukan jika pergi keluar rumah, namun pada masa ini resiko bahaya itu dapat menyerang walau tengah berada di dalam rumah. Anak anak dapat menontonnya dengan sembunyi-sembunyi, dan kitapun tidak mengetahui apa yang sedang ditontonnya. Jadi, perlu untuk sangat berhati-hati.
Bagi mereka yang merupakan keturunan para tokoh atau Ahmadi awal atau para Ahmadi yang baiat masuk Jemaat dan beriman kepada Imam zaman, bersiaplah untuk menyelamatkan keimanan dan memberikan pengorbanan dan mereka terus berkorban. Mereka harus ingat bahwa jika kita mendahulukan agama di atas duniawi dan mengintrospeksi keadaan kita, maka kita akan dapat menyelamatkan diri sendiri begitu juga anak keturunan kita. Suatu keluarga, keluarga siapapun itu, apakah keturunan seorang wujud suci, status keluarga dan kesucian leluhurnya itu tidak akan dapat menjamin Allah Ta’ala pasti selalu mencurahkan anugerah-Nya pada orang itu dan ridha kepadanya.
Bagaimanapun, perlu bagi seseorang untuk beramal dengan didasari keinginan untuk meraih ridha Ilahi. Amalan kita sendirilah yang akan menyelamatkan kita, status sebagai kerabat seseorang atau keluarga tidak dapat menyelamatkan seseorang. Untuk itu, banyaklah berdoa untuk itu, evaluasilah kelemahan ruhani yang ada dalam diri. Kita harus mendoakan untuk kemajuan ruhani anak keturunan kita lebih banyak dari doa untuk kemajuan jasmani. Sebagaimana kita banyak mendoakan untuk kemajuan duniawi, doakanlah lebih banyak dari itu untuk kemajuan ruhani.
Begitu juga bagi yang menjadi Ahmadi dengan sendirinya, mereka hendaknya menyelaraskan pemikiran dan amalan mereka pada jalan ini. Dengan begitu keberlangsungan kita dan juga anak keturunan kita akan dapat terjaga. Jadi pada beberapa hari Ramadhan yang tersisa ini banyaklah berdoa semoga Allah Ta’ala menyelamatkan ruhani kita dan juga anak keturunan kita dan mengalami kemajuan didalamnya.
Setelah berlalunya Ramadhan pun semoga standar ibadah kita terus semakin tinggi, hubungan kita terjalin dengan sebaik baiknya dengan Allah Ta’ala, terlindung dari rencana jahat dajjal. Untuk itu janganlah kemudahan duniawi yang menjadi tujuan kita melainkan semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita ni’mat nimat ruhani dan jasmani yang akan menjadikan kita sebagai hamba yang bersyukur kepada Allah Ta’ala dan tunduk di hadapan-Nya dan menjadikan kita sebagai hambaNya yang kamil.
Saya juga ingin menarik perhatian bahwa virus corona yang tengah mewabah saat ini yang telah mengepung seluruh dunia, untuk terhindar darinya dan untuk meraih kasih saying Ilahi banyak banyaklah berdoa secara khusus. Begitu juga di negeri negeri dimana jemaat tengah menghadapi penentangan keras, kedamaian benar benar dirampas dari kehidupan mereka, doakanlah mereka. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan kepada mereka.
Para Ahmadi Pakistan khususnya, mereka hendaknya mengerahkan segala perhatiannya untuk berdoa dan sedekah khairat pada saat ini dan juga setelahnya. Insya Allah Ta’ala, doa-doa ini dan upaya upaya untuk meraih keridhaanNya yang akan menggagalkan segala rencana jahat para penentang. Bacalah sebanyak-banyaknya doa-doa berikut, رب كل شيء خادمك ربّ فاحفظني وانصرني وارحمني ‘Rabbi kullu syai’in khadimuka, rabbi fahfazhni wanshurni warhamni’ – “Ya Tuhanku, segala sesuatu adalah khadim Engkau, Ya Tuhanku, jagalah aku, tolonglah aku, dan sayangilah aku.”[28]
اللَّهُمَّ إِنَّا نَجْعَلُكَ فِي نُحُورِهِمْ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِهِمْ ‘Allahumma innaa naj’aluka fi nuhuurihim wa na’udzu bika min syuruurihim.’ – “Ya Allah! Kami menjadikan Engkau perisai dari musuh dan kami mencari perlindungan Anda dari rencana jahat mereka.”[29]
Perlu diingat juga bahwa, doa yang dipanjatkan secara lisan saja, tidak akan bermanfaat. Sebagian orang menanyakan kepada saya dalam suratnya: Doa apa saja yang harus saya panjatkan? Sebelum kita melaksanakan shalat shalat kita dengan sebagaimana mestinya, sebelum kita memenuhi hak shalat, doa doa yang dipanjatkan secara lisan saja tidak akan bermanfaat. Seperti halnya kita benar benar menaruh perhtian khusus akan shalat pada bulan Ramadhan ini, pertahankanlah itu sampai seterusnya. Dengan begitu kita akan dapat menarik kasih sayang dan pertolongan Tuhan dalam corak yang hakiki.
Demikian pula, untuk terhindar dari berbagai macam fitnah, banyaklah berdoa. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk dapat melalui dengan penuh kegemilangan bulan Ramadhan ini, yang tersisa hanya beberapa hari lagi dan semoga setelah Ramadhan pun kita dapat mempertahankan kebaikan-kebaikan itu. Perlu diingat juga, semakin kita memperluas cakupan doa kita, sebanyak itu pulalah karunia Allah Ta’ala yang akan tercurah kepada kita. Untuk itu setiap Ahmadi harus senantiasa mendoakan saudara-saudaranya secara khusus agar terhindar dari berbagai masalah. Dengan begitu, secara tidak disadari akan menimbulkan suasana yang penuh dengan jalinan rasa cinta, persaudaraan antara satu sama lain. Sudah barang tentu akan mendapatkan bagian dari karunia-karunia Allah Ta’ala, namun akan mendapatkan manfaat nyata yakni akan terjalin hubungan kasih saying antar sesama.
Doakan juga untuk umat Muslim pada umumnya. Sebagaimana arah yang mereka tempuh dengan mengingkari imam zaman mereka tengah merusak dunia dan akhirat sendiri. Semoga Allah Ta’ala melindungi mereka dari itu. Doakan juga untuk umat manusia pada umumnya, semoga Allah Ta’ala melangkahkan mereka pada jalan yang benar dan memberikan taufikNya untuk terhindar dari murkaNya. Alhasil, tugas kita adalah untuk berdoa, berdoa dan teruslah berdoa. Baik itu dalam bulan Ramadhan ini ataupun setelahnya. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua.[30]
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq.
Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Tafsir Kabir jilid 6 halaman 141-143 (تفسیر کبیر جلد6 صفحہ141تا143). As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية في سيرة الأمين المأمون) karya ‘Ali bin Burhanuddin al-Halabi (علي بن برهان الدين الحلبي).
[2] Khuthbaat-e-Mahmud jilid 23 halaman 10 (خطبات محمود جلد23 صفحہ10)
[3] Hadhrat Shahibzadah Mirza Basyir Ahmad Shb (ra) dalam Sirat Khataman Nabiyyin halaman 159 (سیرت خاتم النبیین از حضرت صاحبزادہ مرزا بشیر احمد صاحبؓ ایم اے صفحہ159)
[4] Tafsir Kabir jilid 7 (تفسیر کبیر جلد7 صفحہ45).
[5] Malfuzhaat jilid 2 halaman 180-181 (ملفوظات جلد 2صفحہ 180-181)
[6] Malfuzhaat jilid 3 halaman 340 (ملفوظات جلد3صفحہ340)
[7] Malfuzhaat jilid 7 halaman 61 (ملفوظات جلد 7صفحہ61)
[8] Malfuzhat jilid 4 halaman 247 (ملفوظات جلد 4 صفحہ 247).
[9] Al-Isti’aab fi Ma’rifatil Ashhaab (الاستیعاب فی معرفۃ الاصحاب جزء 3صفحہ 237 باب عمربن الخطاب دارالکتب العلمیۃ بیروت 2002ء). Ath-Thabrani dalam al-Ausath. Majma’uz Zawaid 14417: اللهم أخرج ما في صدر عمر من غل وأبدله إيماناً . tercantum juga dalam (كتاب محض الصواب في فضائل أمير المؤمنين عمر بن الخطاب) karya (ابن المِبْرَد).
[10] Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah (الاصابۃ فی تمییز الصحابۃ الجزء 4صفحہ 484 ذکر عمر بن الخطاب دارالکتب العلمیۃ بیروت2005ء)
[11] Sirat Ibnu Hisyam, Dar Ibnu Hazm, Beirut-Lebanon, 2009 (سیرت ابن ہشام صفحہ162 ذکر اسلام عمر بن خطاب دار ابن حزم بیروت 2009ء)
[12] Sirah Ibnu Hisyam (سیرت ابن ہشام صفحہ 161-162 ذکر اسلام عمر بن خطاب دار ابن حزم بیروت 2009ء). Shahih Ibnu Hibban, Kitab ikhbarihi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘an Manaqibish Shahabah, keislaman ‘Umar (صحيح ابن حبان كتاب إخباره صلى الله عليه وسلم عن مناقب الصحابة ، رجالهم ذكر وصف إسلام عمر رضوان الله عليه وقد فعل), nomor 7005.
[13] Shahih al-Bukhari (صحیح البخاری), Kitab Manaqibul Anshar (كتاب مناقب الأنصار), bab islamnya ‘Umar (باب إِسْلاَمِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضى الله عنه), 3864: حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ فَأَخْبَرَنِي جَدِّي زَيْدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ بَيْنَمَا هُوَ فِي الدَّارِ خَائِفًا إِذْ جَاءَهُ الْعَاصِ بْنُ وَائِلٍ السَّهْمِيُّ أَبُو عَمْرٍو عَلَيْهِ حُلَّةُ حِبَرَةٍ وَقَمِيصٌ مَكْفُوفٌ بِحَرِيرٍ وَهُوَ مِنْ بَنِي سَهْمٍ وَهُمْ حُلَفَاؤُنَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ لَهُ مَا بَالُكَ قَالَ زَعَمَ قَوْمُكَ أَنَّهُمْ سَيَقْتُلُونِي إِنْ أَسْلَمْتُ قَالَ لَا سَبِيلَ إِلَيْكَ بَعْدَ أَنْ قَالَهَا أَمِنْتُ فَخَرَجَ الْعَاصِ فَلَقِيَ النَّاسَ قَدْ سَالَ بِهِمْ الْوَادِي فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُونَ فَقَالُوا نُرِيدُ هَذَا ابْنَ الْخَطَّابِ الَّذِي صَبَا قَالَ لَا سَبِيلَ إِلَيْهِ فَكَرَّ النَّاسُ.
[14] Hadhrat Zainal Abidin Waliyullah Shah Sahib, terjemahan Shahih al-Bukhari disertai penjelasannya (صحیح البخاری (مترجم) کتاب مناقب الانصار باب اسلام عمر بن الخطاب جلد 7 صفحہ 346-347)
[15] Usdul Ghaabah fi Ma’rifatish Shahabah (اسد الغابہ جلد 4 صفحہ 141 عمر بن الخطابؓ دارالکتب العلمیۃ 2003): فَانْكَشَفَ الْنَّاسُ عَنِّي، وَكُنْتُ لاَ أَشَاءَ أَنْ أَرَى أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يُضْرَبُ إِلاَّ رَأَيْتُهُ وَأَنَا لاَ أُضْرِبُ. قَالَ فَقُلْتُ: مَا هَذَا بِشَيْءٍ حَتَّى يُصِيْبُنِي مِثْلُ مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمِيْنَ؟ قَالَ: فَأَمْهَلْتُ حَتَّى إِذَا جَلَس الْنَّاسُ فِي الْحِجْرِ، وَصَلْتُ إِلَى خَالِي فَقُلْتُ: اسْمَعْ. فَقَالَ: مَا أَسْمَعُ؟ قَالَ قُلْتُ: جِوَارُكَ عَلَيْكَ رَدٌّ. قَالَ: فَقَالَ: لاَ تَفْعَلْ يَا ابْنَ أُخْتِي. قَالَ قُلْتُ: بَلْ هُوَ ذَاكَ. فَقَالَ: مَا شِئْتَ! قَالَ: فَمَازِلْتُ أُضْرَبُ وَأَضْرِبُ حَتَّى أَعْزَّ الله الْإِسْلَامَ .
[16] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الکبریٰ لابن سعد جلد3 صفحہ 143 اسلام عمرؓ مطبوعہ داراحیاء التراث العربی بیروت1996ء)
[17] Shahih al-Bukhari (صحیح البخاری), Kitab Fadhail Ashhabin Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab islamnya ‘Umar (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), 3684.
[18] Shahih al-Bukhari, Kitab persumpahan dan Nadzar, bab bagaimana sumpah Nabi, nomor 6632 (صحیح البخاری کتاب الایمان والنذور باب کیف کانت یمین النبیﷺ۔ ۔ حدیث 6632).
[19] Usdul Ghaabah fi Ma’rifatish Shahabah (اسد الغابۃ فی معرفۃ الصحابۃ جلدنمبر 3صفحہ648 649-عمر بن الخطاب ھجرتہ مطبوعہ دارالفکر بیروت2003ء): عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَبَّاسِ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ ” مَا عَلِمْتُ أَنَّ أَحَدًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ هَاجَرَ إِلا مُخْتَفِيًا، إِلا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، فَإِنَّهُ لَمَّا هَمَّ بِالْهِجْرَةِ تَقَلَّدَ سَيْفَهُ، وَتَنَكَّبَ قَوْسَهُ، وَانْتَضَى فِي يَدِهِ أَسْهُمًا، وَاخْتَصَرَ عَنْزَتَهُ، وَمَضَى قِبَلَ الْكَعْبَةِ، وَالْمَلأُ مِنْ قُرَيْشٍ بِفِنَائِهَا، فَطَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا مُتَمَكِّنًا، ثُمَّ أَتَى -[145]- الْمُقَامَ، فَصَلَّى مُتَمَكِّنًا، ثُمَّ وَقَفَ عَلَى الْحَلْقِ وَاحِدَةً وَاحِدَةً، وَقَالَ لَهُمْ: شَاهَتِ الْوُجُوهُ، لا يَرْغَمُ اللَّهُ إِلا هَذِهِ الْمَعَاطِسَ، مَنْ أَرَادَ أَنْ تَثْكُلَهُ أُمُّهُ، وَيُوتِمَ وَلَدَهُ، وَيُرْمِلَ زَوْجَتَهُ، فَلْيَلْقَنِي وَرَاءَ هَذَا الْوَادِي، قَالَ عَلِيٌّ: فَمَا تَبِعَهُ أَحَدٌ إِلا قَوْمٌ مِنَ الْمُسْتَضْعَفِينَ عَلِمَهُمْ وَأَرْشَدَهُمْ وَمَضَى لِوَجْهِهِ “ .
[20] Al-Faruq ‘Umar oleh Muhammad Husain Haikal (الفاروق عمر از محمد حسین ہیکل جزء1 صفحہ53-54 باب فی صحبۃ النبیﷺ مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ بیروت 2007ء)
[21] Usdul Ghaabah fi Ma’rifatish Shahabah (اسد الغابۃ فی معرفۃ الصحابۃ جلد 4 صفحہ145دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان2003ء): عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: ” أَوَّلُ مَنْ قَدِمَ عَلَيْنَا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ أَخُو بَنِي عَبْدِ الدَّارِ، ثُمَّ قَدِمَ عَلَيْنَا ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الأَعْمَى، أَخُو بَنِي فِهْرٍ، ثُمَّ قَدِمَ عَلَيْنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فِي عِشْرِينَ رَاكِبًا، فَقُلْنَا: مَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: هُوَ عَلَى أَثَرِي، ثُمَّ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ مَعَهُ “ .
[22] Siyarush Shahabah jilid 1, h. 93, Maktabah Darul Isya’at, Urdu Bazar Karachi, 2004 (سیر الصحابہ جلد1 صفحہ93مکتبہ دارالاشاعت اردو بازار کراچی2004ء)
[23] Farhang Sirah halaman 230 (فرہنگ سیرت صفحہ 230)
[24] Subulul Huda war Rasyaad (سبل الھدی والرشاد فی سیرۃ خیر العباد جلد3 صفحہ363 فی مواخاتہﷺ بین اصحابہ رضی اللّٰہ عنہم۔ مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ بیروت 1993ء); ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d (الطبقات الکبریٰ لابن سعد جلد3صفحہ206 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء).
[25] Sirat Khataman Nabiyyin halaman 277 (سیرت خاتم النبیین صفحہ277)
[26] Jami` at-Tirmidhi 189, Kitab tentang shalat (كتاب الصلاة), bab permulaan adzan (باب مَا جَاءَ فِي بَدْءِ الأَذَانِ). Hadits Musnad Darimi No. 1163
[27] Tafsir Kabir (تفسیر کبیر جلد7 صفحہ624-625).
[28] Tadzkirah halaman 363, edisi ceharam (IV), terbitan Rabwah
[29] Doa ini adalah amalan Nabi Muhammad s.a.w. seperti tercantum dalam kitab hadits Sunan Abi Daud, Kitab ash-Shalah, bab maa yaquulur rajulu idza khaufa qauman (apa yang sebaiknya diucapkan bila seseorang takut akan suatu kaum) عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ أَبَاهُ، حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا خَافَ قَوْمًا قَالَ .
[30] Sumber rujukan teks final: majalah Al-Fazl (الفضل انٹر نیشنل 21تا31؍مئی 2021ء صفحہ 10تا15).