Khotbah Idul Fitri 2019

Arsip Khotbah Khalifah Jamaah Islam Ahmadiyah

Khotbah Idul Fitri Sayyidina Amirul Mu’minin, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 05 Juni 2019/ Syawal 1440 Hijriyyah di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK (Britania)

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) pernah menyampaikan sebuah khotbah pada kesempatan Idul Fitri lebih dari 100 tahun lalu.[1] Bahasannya amat penting di hari ini juga. Maka dari itu, akan saya bahas hari ini mengenai Id dengan mengambil manfaat dari penyampaian khotbah beliau itu.

Seseorang berharap meraih kebahagiaan berkali-kali dan berulang-ulang. Arti kata ‘Id ialah apa-apa yang datang berulang kali. Imam Raghib menulis: والعِيدُ: ما يُعَاوِدُ مرّة بعد أخرى ‘Id ialah sesuatu yang datang berulang kali.’ Beliau lalu menulis, وخصّ في الشّريعة بيوم الفطر ويوم النّحر، ولمّا كان ذلك اليوم مجعولا للسّرور في الشريعة “Secara khusus dalam Syari’at, hal itu merujuk pada yaumul Fithri (Hari Idul Fithri) dan Yaumun Nahr (hari pengorbanan atau Idul Qurban atau Idul Adhha). Hal demikian karena di dalam Syari’at pada kedua hari itu telah dijadikan sebagai hari untuk bergembira.”[2]

Seseorang menghendaki kebahagiaan itu akan datang berulang-ulang kali. Apakah Id itu? Apa kebahagiaan itu? Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. bersabda tentang itu,

“Sekiranya kita perhatikan tentang [Id] itu, kita tahu kebahagiaan adalah suatu ungkapan atau ekspresi dari ijtimā’ (pertemuan) dan semua kebahagiaan dunia sesungguhnya timbul dari ijtimā’ (pertemuan). Kita juga melihat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan bahwa insan itu akan memperoleh kebahagiaan ketika ijtimā’ (berkumpul) dengan orang-orang, ia akan menyiapkan segala macam persiapan untuk itu serta mengumpulkan orang-orang; ketika ia menikah, ia merayakan kebahagiaan itu; ketika ia mempunyai seorang anak ia akan merayakan kebahagiaan itu, karena setelah menikah seseorang akan bergabung pada suatu keluarga dan jamaahnya akan bertambah. Semua pertemuan-pertemuan di dunia menjadi lantaran kegembiraan dan cara yang benar untuk mengekspresikan kegembiraan itu di dunia pada umumnya yaitu dengan berkumpulnya sejumlah orang untuk suatu kesempatan apa saja dan dalam perayaan-perayaan atau pesta-pesta juga orang-orang berkumpul untuk bergembira.

Tidak akan pernah terjadi bahwa seseorang manakala tengah berbahagia ia bersembunyi dan tidak duduk-duduk dengan seseorang serta ia pergi ke hutan belantara. Dan apabila ditanya mengapakah ia melakukan itu, maka ia akan mengatakan, ‘Sesungguhnya saya ingin merayakan kegembiraan karena hari ini adalah hari Id bagi saya.’ Kegembiraan tidak akan dirayakan dengan cara ini (memisahkan atau mengasingkan diri) di mana pun, sejauh apa pun itu di negeri mana pun, wilayah mana pun atau di bangsa mana pun. Sebab, orang-orang akan memperlihatkan kegembiraan terhadap sebagian orang lainnya atau menghimpun sebagian orang demi merayakan kegembiraan atau hari raya. Hari raya seluruh bangsa ialah berkumpul dan bergembira. Kecuali mereka ingin menambah kesedihan dan kemalangan yang caranya ialah dengan membuat jauh dari mereka.

Sesungguhnya Id (Hari Raya) setiap bangsa terletak dalam hal tengah berkumpul bersama dan merayakan kegembiraan. Ya Allah, terkecuali jika mereka ingin kegelisahan dan kesedihannya semakin bertambah, maka cara mereka adalah menjauh atau menghindarkan diri dari orang-orang. Kita menyaksikan keadaan ini ada pada orang-orang yang menderita suatu kedukaan, tiada lain selain menginginkan hilangnya kesedihan dan kedukaannya. Mereka akan duduk-duduk dalam majelis-majelis dan berjumpa dengan orang-orang. Orang-orang sakit yang cenderung menyendiri dinasihatkan juga oleh para dokter agar duduk-duduk dengan orang-orang dan pergi ke luar, dan mereka menjadi orang-orang yang menghadiri pertemaun-pertemuan. Mereka yang suka bersedih dan mengisolasi diri dari orang-orang, baik mereka yang duduk di rumah maupun keluar dari rumah, maka sesungguhnya mereka akan duduk memisahkan diri di setiap keadaan karena mereka menyukai kesendirian. Apabila seseorang wafat di rumah mereka dan orang-orang datang kepada mereka untuk melakukan takziah, mereka mengatakan, ‘Biarkanlah kami sendirian dan menjauhlah dari kami.’ … karena seseorang seperti ini, dalam kesendiriannya itu ia akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik untuk meluapkan kesedihan dan bisa mengeluarkan debu kalbunya.

Di kalangan orang-orang umumnya, terdapat banyak juga orang-orang yang tidak mampu menyatakan kesedihan mereka di hadapan orang-orang dan mereka ingin menghilangkan kesedihan mereka dalam kesendirian atau dengan orang-orang yang terdekat mereka, bukan di hadapan kumpulan orang-orang.

Walakin (akan tetapi), tidak akan pernah terjadi seseorang mendapatkan kelahiran seorang anak dan orang-orang tengah berkumpul di rumahnya lalu ia mengatakan pada mereka, ‘Menjauhlah dari saya dan tinggalkanlah saya seorang diri karena saya merasa sempit jiwa dengan berkumpulnya kalian.’ Justru sebaliknya ia akan mengajak orang-orang ke rumahnya dan setiap kali jumlah orang-orang itu bertambah, ia merasa sangat gembira dan menemui mereka semua dengan senang hati. Demikian juga setiap kali jumlah orang-orang dalam undangan pernikahan bertambah banyak, ia akan menjadi lebih gembira.

Ringkasnya, gemar mengasingkan diri membuat seseorang terdorong untuk bersedih dan dalam keramaian seseorang memperlihatkan kegembiraan. Ini adalah keadaan yang telah Allah Ta’ala tempatkan ke dalam fitrah manusia bahwa seseorang akan menemui orang-orang di setiap kegembiraan dan dengan pertemuan itu ia akan merasa senang (bahagia).

Meskipun sekarang-sekarang ini orang-orang berkumpul atau mengadakan pertemuan untuk melakukan unjuk rasa (demonstrasi-demonstrasi) demi beberapa tuntutan. Itu juga maksud utamanya adalah melepaskan diri dari kesedihan atau penderitaan. Mereka mengaku target hasilnya ada pada kebahagiaan dan kelapangan dan ini menjadi tujuan mereka pada umumnya. Maka dari itu, kegembiraan dan pertemuan kedua-duanya saling berhubungan. Karena Islam itu adalah agama fitrah sehingga Islam menciptakan bagi orang-orang Muslim kesempatan bergembira sehubungan dengan Id dan memerintahkan mereka berkumpul, bukan hanya kerabat saja yang berada di satu tempat, melainkan seharusnya semua orang di daerah tersebut berkumpul di satu area Id dengan adanya kesempatan ini dan mereka merayakan kegembiraan Id.

Jika kita memperhatikan dari sudut-sudut pandang ini, tampaklah pada kita kegembiraan itu pada hakikatnya ungkapan atau ekspresi dari ijtimā’ (pertemuan) dan dari sisi ini Id itu maksudnya adalah ijtimā’ (pertemuan) tersebut dan Id akbar adalah yang di dalamnya ada ijtimā’ (pertemuan) akbar. Kapankah (Bilamanakah) dasar-dasar ijtimā’ (pertemuaan) akbar yang mengantarkan pada Id akbar itu diletakkan? Hal itu terjadi ketika kekasih Allah Ta’ala sebagai penyeru seluruh alam berkata: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا ‘Yaa ayyuhan naasu innii Rasulullahi ilaikum jamii’a.’ – ‘Wahai manusia sesungguhnya aku adalah Rasul Allah untuk kalian semua…’ (Surah al-A’raaf)

Orang-orang di dunia telah banyak menyaksikan hari raya-hari raya kecil. ‘Id (Hari Raya) datang jua pada masa Nabi Musa ‘alaihis salam dan di waktu Nabi Daud ‘alaihis salaam. Juga di masa Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam. Hari Raya-hari Raya telah datang di masa semua Nabi namun semua Id itu adalah di daerah-daerah dimana para nabi ini dilahirkan; atau pada kaum-kaum dimana mereka diutus, karena itulah Id-id ini merupakan Id-id kecil.

Akan tetapi, apabila Id besar datang di dunia semenjak Adam (as), maka itu adalah ketika Allah Ta’ala memerintahkan manusia terkasihnya dengan mengumpulkan seluruh dunia melalui perantaraan beliau (saw) pada satu tempat. Inilah Id besar yang Allah Ta’ala perintahkan padanya seluruh dunia dengan kalam khasnya bahwa mereka akan berkumpul pada satu tempat dan memerintahkan dengan perantaraan kekasih-Nya pada seluruh dunia bahwa dunia akan berhimpun pada tangannya, tidak terbatas atas suatu bangsa atau suatu suku, baik ia orang Mesir, Tiongkok, Persia, Arab, Eropa, Amerika maupun dari berbagai Jazirah, karena sekarang sekali-kali tidak akan dikatakan, ‘Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.’ (Matius) dan sama sekali tidak akan dikatakan, ‘Tidak baik rotinya anak-anak itu diambil dan dilemparkan untuk anjing-anjing…’

Terkait:   Khotbah Idul Fitri - Membangun Rohani yang Berkelanjutan

Sudah terjadi suatu Id (Hari Raya) pada saat pengutusan Nabi Isa (as) juga, tapi beliau (as) tertentu untuk bangsanya saja, sekiranya beliau (as) memberi makan pada kaum yang lain, tentu apa yang ada padanya tidak akan memadai untuk memberi makan kaumnya, dari sana tidak ada untuk merayakan Id dan karena itu Nabi Isa (as) berkata, ‘Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang (tersesat) dari umat Israel.’”

Adalah diutusnya Nabi Isa (as) merupakan Id hanya bagi Bani Israil, lalu ketika Allah swt mengutus Nabi (saw), maka pengutusannya bersama-sama dengan khazanah-khazanah yang mustahil akan habis betapa pun sebagian di antaranya dibelanjakan, karena alasan itulah Allah swt berfirman yang artinya, ‘Berilah orang yang meminta padamu bahkan panggillah penduduk dunia dan katakan pada mereka, “Kemarilah datang kepadaku, aku akan berikan pada kalian apa-apa yang kalian perlukan.”

Allah swt berfirman kepadanya, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ Wa ammaa bini’mati Rabbika fahaddits.’ ‘Dan adapun tentang nikmat TuhanMu maka beritakanlah.’ (QS Adh-Dhuhā) maksudnya adalah ceritakanlah kepada orang-orang mengenai nikmat-nikmat Allah swt supaya mereka juga mendapatkan manfaatnya, adapun Nabi Isa (as), maka sebagai tanggapan pertanyaan seorang perempuan beliau pernah mengatakan bahwa bukanlah hal yang pantas kita melemparkan roti anak-anak di hadapan anjing-anjing.[3]

Adapun Nabi Muhammad (saw), Allah Ta’ala sudah mengatakan pada beliau (saw) bahwa termasuk kewajiban engkau harus memberi pada orang yang mengajukan permintaan, maka Allah swt telah berfirman, وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ wa ammaas saa-ila falaa tanhar “Dan ada pun terhadap peminta-minta janganlah engkau menghardiknya” (Surah adh-Dhuha) maksudnya : engkau jangan sampai menghardik dan mengusir peminta-minta, justru seharusnya memberinya, bahkan sebagaimana firman Allah sebelumnya memberitahukan, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ. Maksudnya, beritahukanlah pada orang-orang bahwa Allah swt telah memberikan nikmat kepadaku dengan perantaraan nikmat-nikmat ini dan kemarilah kalian untuk mengambil bagian dari nikmat-nikmat itu termasuk kalian juga. Inilah fadhilah-fadhilah Hadhrat Rasulullah (saw) atas seluruh para Nabi.

Maka ketika siapa pun peminta-minta datang kepada nabi-nabi terdahulu yang bukan dari antara kaum mereka, mereka mengatakan kepadanya, ‘Apa yang ada pada kami adalah untuk kaum kami semata dan kami tidak bisa memberimu sedikit pun…’ adapun khazanah yang diberikan untuk Nabi (saw), Allah swt tidak hanya mengatakan لَا تَنْهَرْ, bahkan memerintahkannya menaruh perhatian terhadap rumah-rumah orang-orang miskin untuk mendistribusikan khazanah-khazanah ruhani atas setiap rumah dan demikian pula khazanah-khazanah duniawinya juga. Bahkan khazanah-khazanah ruhani itu akan tetap didistribusikan hingga hari Kiamat.

Tegasnya bahwa diutusnya beliau (saw) adalah merupakan Id terbesar, maka dengan perantaraan beliau (saw) menjadi sempurnalah petunjuk dan Syariat disempurnakan, beliau diutus ke dunia dengan jabatan agung yaitu Khātaman Nabiyyīn.

Adapun hari Id ketika Allah swt mengutus Hadhrat Masih Mau’ud (as) sebagai pengikut Sayyidina Nabi (saw) dan dengan demikian Allah Ta’ala mengambil atas diri beliau (saw) misi penyempurnaan tablig dan penyebaran agama. Suatu hari yang di dalamnya ditakdirkan genapnya, لِيُظْهِرَ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖ — untuk memperlihatkan kemenangan atas semua agama –.

Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam telah sempurna pada otoritas Nabi Muhammad (saw) dan ketika pengutusannya dikatakan untuk seluruh dunia bahwa seorang Nabi telah diutus dengan membawa khazanah-khazanah yang melimpah, maka arahkanlah perhatian kalian padanya dan dapatkanlah apa yang kalian kehendaki. Hadhrat Masih Mau’ud (as) sembari menerangkan perkara ini mengatakan, ‘Allah Ta’ala telah mengutus Junjungan dan Nabi kita Muhammad al-Mushthafa (saw) ke dunia untuk menjadikan umat-umat yang berpecah-belah di seluruh dunia – dengan perantaraan ajaran Al-Qur’an yang mengandung tabiat-tabiat seluruh dunia – menjadi satu umat dan menciptakan pada mereka kesatuan sebagaimana Allah swt juga Satu tidak ada sekutu bagi-Nya, supaya secara bersama-sama mereka mengingat Tuhan mereka layaknya satu tubuh dan memberikan kesaksian atas keesaan-Nya.

[Beliau (saw) diutus] untuk memberikan corak dua macam kesatuan; yaitu wahdah qaumiyyah ’ūla (kesatuan kebangsaan yang pertama) yang muncul pada awal mula penciptaan dan wahdah qaumiyyah akhīrah (kesatuan kebangsaan yang terakhir) yang dasarnya diletakkan pada zaman yang akhir dan Allah Ta‘ala menghendaki penggenapannya ketika diutusnya Nabi (saw) menjadi kesaksian yang berlipat-lipat atas keberadaan Allah Yang Maha Esa Yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan bagi keesaan-Nya. Karena Allah itu Esa sehingga harus ada kesatuan antara tatanan jasmani dan ruhani.

Dikarenakan masa kenabian Nabi (saw) merentang hingga di Hari Kiamat dan beliau (saw) adalah Khātaman Nabiyyīn sehingga Allah Ta’ala tidak menghendaki sempurnanya kesatuan bangsa-bangsa itu hanya sampai pada masa hidup beliau (saw) karena hal itu akan menunjukkan pada akhir masa beliau (saw). Maksudnya itu akan melahirkan keraguan bahwa masa Nabi (saw) telah berakhir karena misi terakhirnya telah tergenapi pada masa hidup beliau (saw). Karena itulah Allah Ta’ala menangguhkan (أجّل) penyempurnaan misi beliau (saw) menjadikan umat-umat sebagai umat yang satu dan berada pada satu agama hingga di masa akhir dari masa Nabi (saw) yang merupakan masa mendekatnya Kiamat. Untuk menyempurnakan misi ini beliau (saw) menetapkan wakilnya yang berasal dari umatnya sendiri dan dinamai dengan nama Al-Masīh Al-Mau‘ūd (Isa yang dijanjikan) dan beliaulah yang namanya Khātamul Khulafā’ (yang paling utama diantara semua Khalifah [Naib atau wakil]).’

Dengan demikian, sesungguhnya Nabi Muhammad (saw) berada pada permulaan masa Muhammadi dan pada akhir masa Muhammad adalah Masih Mau’ud, ini sangat penting agar silsilah dunia tidak terhenti dan terputus selama beliau (Masih Mau’ud) belum diutus karena pengkhidmatan tergenapinya kesatuan di antara umat-umat telah ditakdirkan pada masa wakil Nabi Muhammad (saw) ini. Pada hal itulah diisyaratkannya ayat (dalam Surah Ash-Shaf), هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ‘Huwal-Ladzî arsala rosûlaHû bil-hudâ wa dînil-haqqi liyuzh-hirohû ‘alâd-dîni kullihi’, maksudnya, ‘Allah-lah yang mengutus rasul-Nya dengan perantaraan hidayah yang sempurna dan agama yang haq untuk menjadikannya unggul di atas semua agama.’ Itu artinya, mangaruniakannya keunggulan di dunia. Ketika keunggulan secara mendunia tidak sempurna atau tergenapi pada masa Nabi Muhammad (saw) dan dari sisi lainnya mustahil membatalkan nubuatan-nubuatan Ilahiah, karena itulah semua orang-orang terdahulu yang mendahului kita menyepakati bahwa kemenangan ini akan terwujud pada masa Masih Mau’ud (Al-Masih yang dijanjikan atau Imam Mahdi).

Dengan demikian, risalah dan misi ini adalah untuk Nabi Muhammad (saw) sendiri yang untuk penyempurnaan dan pemenuhannya Allah Ta’ala karuniakan bagi beliau (saw) seorang khadim sejati dalam corak Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan keberkatan dakwah-dakwah Nabi Muhammad (saw) yang tentu sampai pada Arasy. Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan pada khadim yang berbakti ini juga bahwa ia menyatakan akan mengikuti dan menaati majikannya, yaitu Nabi Muhammad (saw), يَا أَيُّهَا النّاسُ إِنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيْعًا (Wahai manusia sesungguhnya aku adalah rasul Allah pada kalian semua) Maksudnya, Almasīh Mūsawiyy (Nabi Isa pengikut Musa) telah menolak orang yang meminta kepadanya, tapi Almasīh Muhammadiyy dengan keberkatan mengikut ini diberikan hidangan yang luas dan tidak akan mengusir seorang pun dari hidangan itu, justru beliau (as) akan menyeru setiap insan untuk mendatanginya dan memakannya. Karena itu, setiap jiwa yang baru akan bergabung pada kita dengan duduk-duduk di sekitar hidangan ini dan setiap jiwa yang baru itu akan menghimpunkan kegembiraan dan Id bagi kita.

Id ijtimā’ (Hari Raya Pertemuan) ini berdasarkan perintah-perintah Syariat. Ketika secara bersama-sama orang-orang berhimpun pada satu agama di dalam kehidupan amal perbuatan mereka, maka Id yang dirayakan ketika itu akan menjadi Id akbar dan Id hakiki. Dan sesungguhnya kita (para Ahmadi) adalah orang-orang yang Allah Ta’ala berikan kepercayaan mewujudkan Id ini.”

Terkait:   Id Hakiki bagi umat Nabi Muhammad (saw)

Maka dari itu, apabila Allah Ta’ala mempercayakan penyempurnaan Id ini pada kita di zaman ini, kita mestinya memeriksa diri kita supaya kita melihat bagaimana supaya kita dapat mewujudkannya. Sesungguhnya Dustuurul ‘Amal (panduan amal perbuatan) yang diletakkan pada kita oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as) sekiranya kita mengamalkannya, tentu kita dapat mewujudkan Id yang Allah Ta’ala amanahkan pemenuhannya pada kita di zaman ini dengan segera.

Sekarang saya akan menyebutkan dengan ringkas beberapa nasihat yang disampaikan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as) pada kita ketika beliau (as) bersabda, “Hendaknya kalian berhiaskan fitrah, bahwa kecintaan kalian pada Allah itu tidak untuk suatu kepentingan atau maksud tertentu…” maksudnya, kecintaan kalian terhadap Allah Ta’ala tanpa kepentingan pribadi itu menjadi bagian dari tabiat kalian, kecintaan kalian terhadap Allah Ta’ala itu seharusnya dengan kesadaran kalbu.

Kemudian beliau (as) bersabda, “Perbanyaklah menilawahkan Al-Qur’an dan jadikanlah amal perbuatan kalian sesuai dengan apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan perlihatkanlah untuk orang-orang keutamaan-keutamaan Islam dengan perantaraan amal-amal kalian.”

Beliau juga bersabda: “Ketakwaan itu penting untuk menyampaikan dakwah, namun itu tidak akan tercipta melainkan dengan mengamalkan ajaran Al-Qur’an. Demikianlah, kebenaran secara amaliah itu tidak mungkin akan tercipta melainkan dengan mengamalkan ajaran Al-Qur’an.”

Kemudian beliau (as) bersabda, “Berusahalah dengan segenap kemampuan kalian untuk menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak para hamba-Nya. Kedua hal ini merupakan kewajiban kalian. Sudah seharusnya bagi para anggota Jemaat untuk menciptakan di dalam diri mereka pengakuan akan keesaan Allah, menciptakan hubungan dengan-Nya dan dzikr kepada Allah serta menunaikan hak-hak terhadap saudara-saudara mereka. Bertaubatlah dengan taubat yang setulus-tulusnya dan buatlah Allah Ta’ala ridha dengan ketulusan dan keikhlasan. Tetaplah bertahajjud dan berilah perhatian terhadap pelaksanaan ibadah-ibadah nafal juga. Tambahkanlah dalam pertimbangan ilmu agama kalian dan majulah kalian dalam ketakwaan. Tetaplah kalian selalu beserta kebenaran dan menetapi itu dan jangan pernah berkata dusta. Berdoalah juga bagi mereka yang masih menentang.” (yaitu mereka yang tidak mengimani Hadhrat Masih Mau’ud (as) bahkan menentang beliau).

“Perlakukanlah dengan baik mereka yang baru bergabung. Mereka ialah yang baru bergabung dengan kalian lalu menghadiri atau menjadi tamu dalam pertemuan ini (menambahi perkumpulan ini), perlakukanlah mereka dengan baik dan berusahalah mendidik mereka dengan amal perbuatan kalian sendiri.” (maksudnya, sebagaimana hendaknya berlaku baik dalam pergaulan dengan mereka, begitu juga kalian wajib memperlihatkan keteladanan kalian yang terbaik sehingga pendidikan bagi mereka sempurna dengan menyaksikan contoh kalian.)

Ini adalah beberapa hal yang saya sampaikan untuk Anda sekalian yang merupakan ikhtisar nasihat-nasihat Hadhrat Masih Mau’ud (as) kepada kita dalam berbagai kesempatan. Penting sekali melaksanakan haq berbaiat kepada beliau (as) serta menyempurnakan misi yang diamanahkan pada kita. Sesungguhnya diutusnya Hadhrat Masih Mau’ud (as) adalah untuk menyempurnakan misi menyampaikan dakwah dan untuk menyempurnakan penyiarannya yang sebenarnya adalah pekerjaan Allah Ta’ala. Namun, mewujudkan Id adalah misi yang dipercayakan pada kita melalui kita sendiri. Karena itulah para anggota Jemaat harus memerhatikan dan memikirkan dengan baik bagaimana supaya kita dapat mewujudkan ijtimā (perkumpulan) yang akan memperlihatkan pada kita suatu Id yang hakiki karena Id hakiki dan Id yang benar itu akan ada ketika orang-orang semuanya berhimpun pada kalam Allah Ta’ala.

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) besabda, “Al-Masih (Yesus atau Nabi Isa ‘alaihis salaam) berdoa dengan mengucapkan, ‘Bapa kami yang di Sorga, dikuduskanlah nama-Mu. Datanglah Kerajaan-Mu,jadilah kehendak-Mudi bumi seperti di sorga.’[4]

Dari perkataan ini dapat dipahami bahwa seolah-oleh kerajaan Allah tidak ada di bumi. Padahal, tertulis dalam Kitab Suci (Perjanjian Baru, Matius, 16:19) bahwa kerajaan Allah ada di bumi dan juga ada di langit.[5] Renungkanlah kedua hal ini yang mana tercantum di Injil Matius. Tidak mungkin perkataan diartikan bahwa menurut Al-Masih kerajaan Allah belum ada di bumi sehingga beliau bersabda demikian. Akan tetapi, hal yang benar ialah itu merupakan doa yang beliau (Nabi Isa) panjatkan dan hal itu berkaitan dengan diutusnya Nabi Muhammad (saw), dengan pengertian, sebagaimana Allah Ta’ala itu Satu, demikian pula hendaknya akan datang seorang Nabi untuk menghimpun dunia seluruhnya dalam satu wewenang.

Dalam doa itu juga terdapat isyarat para malaikat memuji Allah Ta’ala dan mengkuduskan-Nya di Arsy bahkan di setap tempat dari bagian Arsy. Seperti itulah, maka hendaknya orang-orang di setiap jengkal tanah di bumi akan menyanjung dan menguduskan Allah ‘Ajja wa Jalla. Dengan demikian, sesungguhnya diciptakannya orang-orang seperti mereka di setiap jengkal tanah di bumi ini merupakan kewajiban atas Jemaat Masih Mau’ud (as). Namun, kita harus memeriksa diri kita, apakah kita melaksanakan dzikr kepada Allah dan menguduskan-Nya dan menjadikan amal perbuatan kita sesuai dengan ajaran Allah swt?

Id yang kita rayakan dan kita melakukan persiapan-persiapan yang besar untuk itu, kita mengupayakan membuat segala hal dari mulai pakaian, makanan, minuman dan apa pun untuk itu menjadi sempurna. Kita tidak melakukan pengeluaran ini supaya dari pembelanjaan itu kita memetik manfaat lahiriah, malah kita melaksanakan suatu perayaan dengan berijtimā’ (berhimpun).

Tidak diragukan lagi kita merayakan Id dikarenakan Allah Ta’ala memerintahkan kita merayakannya, maka merayakan Id adalah satu perintah di antara perintah-perintah Allah Ta’ala. Sedikit pun kita tidak mencari keuntungannya berdasarkan tolok ukur lahiriah, bahkan kita mencari faedah berdasarkan standar ruhaniah tanpa sedikit pun keraguan. Bahkan kita merayakan Id ini dengan niat yang baik dengan meletakkan pada acuan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kita merayakannya setelah bulan Ramadhan dan kita bergembira di hari ini, makan-makan dan minum-minum. Akan tetapi, dalam hal ini ada kegembiraan yang berada di atas kegembiraan ini dan itu adalah Allah Ta’ala telah mengutus seorang Rasul untuk menghimpun seluruh dunia berada pada satu tangan. Namun, tidak setiap kita menaruh perhatian pada pelaksanaan misi ini sebagaimana seharusnya dan kita tidak mengupayakan untuk menyampaikan dakwah Rasul ini sebagaimana mestinya. Maka dari itu, sebanding apa yang kita turut ambil bagian dalam mewujudkan ini dan sebanding apa yang kita upayakan untuk itu dan kita berupaya melakukan hal-hal tambahan pada ijtimā’ ini yang Rasul itu diutus untuk misi tersebut, maka Allah Ta’ala akan memberikan ganjaran pada kita berdasar atas itu dan akan membalas kita atas Id hakiki itu lebih banyak lagi dari apa yang telah diberikan pada kita atas perayaan Id yang sifatnya umum.

Ini maksudnya seseorang itu dalam hal ini tidak hanya berinfak (mengorbankan harta) saja bahkan segala macam manfaat pun akan dia raih yang mana ia akan meraih keridhaan Allah Ta’ala lebih banyak lagi dibandingkan sebelumnya. Kita adalah-orang-orang yang meraih keuntungan besar ketika kita merupakan orang-orang yang menjadi bagian dari era Id yang paling besar ini sehubungan bergabungnya kita dengan Hadhrat Masih Mau’ud (as). Masa Hadhrat Masih Mau’ud (as) yaitu zaman yang di dalamnya Islam unggul atas seluruh agama, seluruh kemanusiaan dihimpun pada satu tangan dan itu dengan memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad (saw) melalui usaha Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan Jamaahnya. Dan ketika demikian, Insyaallah Id Hakiki itu akan menjadi milik kita. Dan selama Id itu belum tergenapi untuk kita, seharusnya kita tidak merasa puas dengan kegembiraan semata-mata dengan Id-id ini. Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah mengambil dari kita suatu janji dengan menyiarkan tablignya pada seluruh dunia, karenanya, maka dalam hal ini penting mengupayakan itu.

Hari ini dunia merasa ketakutan dengan teriakan “Takbīr” karena sebagian orang-orang Muslim melakukan tindakan-tindakan yang membuat dunia merasa ketakutan dengan teriakan “Allāhu Akbar” dan dari ucapan: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَ رَسُوْلُهٗ (Saya bersaksi tidak ada yang patut disembah selain Allah dan saya bersaksi Muhammad ialah hamba dan Rasul-Nya).

Terkait:   Khotbah Idul Fitri: Id Hakiki, Esensi Ketakwaan Sejati

Maka dari itu, merupakan kewajiban kita untuk menyatakan pada dunia, hakikat dari kata-kata yang kita cintai ini yang mana setiap umat mendapati di dunia kebahagiaannya dan kesenangannya dalam mengucapkan dan mengulang-ulangi kata-kata: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَ رَسُوْلُهٗ dan dunia merasa senang dengan shalawat kepada Rasul (Saw), bukan menakar cacian-cacian untuk beliau (saw), dan orang-orang meneriakkan “Takbīr” bukan mencaci Allah Ta’ala.

Beberapa hari sebelumnya saya menyampaikan penangkapan atas seorang Muslim di Jerman yang bertakbir dengan suara tinggi di pasar karena ekspresi kegembiraannya menjumpai lagi temannya setelah masa yang lama. Polisi menahannya karena menyangka bahwa ia mungkin saja seorang teroris. Kita harus menghilangkan kekuatiran dan ketakutan semacam ini. Bukan ini saja bahkan merupakan kewajiban kita juga berupaya dengan segala upaya supaya seorang Jerman dan Inggris serta orang-orang Eropa lainnya, Amerika dan orang-orang dari Negara mana pun merasa senang dengan terikan “Allāhu Akbar” dan ketika demikian adanya, maka itu akan menjadi Id hakiki (Hari Raya Sejati) bagi kita.

Hal ini insya Allah akan terjadi pada suatu hari dan akan terjadi pasti dimana seluruh penduduk dunia menyampaikan shalawat atas Nabi (saw). Ini bukan mimpi seorang gila dan bukan pemikiran anak kecil, justru ini merupakan takwil janji Allah Ta’ala yang pada suatu hari insya Allah Ta’ala akan tergenapi.

Ini adalah janji Allah yang berfirman. كَتَبَ اللهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَ رُسُلِيْ (Allah menetapkan : Aku dan para rasul-Ku akan menang). Maksudnya Allah Ta’ala telah menakdirkan sejak azali bahwa Dia dan rasul-Nya pasti akan menang. Sebenarnya ini adalah takdir Allah Ta’ala yang tidak boleh tidak mesti terjadi dan tidak diragukan lagi bahwa teriakan Allah dan Rasul-Nya akan tersebar dan akan menggema di dunia. Umat Islam akan meraih kebahagian Id hakiki atas tangan Masih Mau’ud. Karenanya setiap orang dari kita harus mengerahkan segala daya, kerja keras dan kemampuannya pada jalan tablig dan dakwah supaya kita melihat ijtimā’ (pertemuan) yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala. Sebenarnya Allah Ta’ala akan memberikan pada kita buah-buah yang lebih banyak dari segala daya upaya kita sesuai dengan janji-Nya ini, sehingga sesungguhnya orang-orang musyrik juga mereka akan masuk dalam pemeliharaan Tauhid, namun dalam hal ini diperlukan sekali percepatan pekerjaan ini.

Dari Afrika saya menerima banyak sekali surat yang para penulisnya mengatakan di dalam surat tersebut, “Sebenarnya sebelum ini kami adalah orang-orang musyrik (penyembah patung berhala), namun setelah berbaiat kami mulai mengucapkan Syahadat Lā Ilāha Illā Allāh Muhammadur Rasūlullāh.” Dari antara para penulis surat-surat ini merupakan orang-orang dewasa dan berasal dari orang-orang Kristen akan tetapi mereka tidak mendapatkan ketentraman di dalam agama Kristen, maka jadilah mereka itu orang-orang musyrik yang menyembah berhala-berhala. Tapi ketika dakwah Ahmadiyah sampai pada mereka, mereka mendengarkannya dan mengatakan sesungguhnya kami tengah berada di hari-hari terakhir hidup dan hal sulit atas kami adalah kami harus mengubah agama kami sekarang, namun risalah yang mereka sampaikan adalah suatu hakikat dan itu adalah Pesan Tauhid dan kami melihat kebenaran dalam risalah mereka. Sesungguhnya anak-anak kami telah membenarkan dakwah ini dan kami mengajak agar para generasi kami tetap berpegang teguh pada Tauhid ini. Maka Allah Ta’ala menciptakan revolusi-revolusi ini juga, tapi ini menuntut dari kita kesungguhan yang lebih lagi dari pada sebelum-sebelumnya.

Saya berdoa pada Allah Ta’ala mudah-mudahan menyucikan kalbu kita dari noda-noda duniawi dan memakmurkannya dengan kecintaan-Nya, semoga Dia memberikan taufik pada kita untuk menyiarkan agama-Nya, kekuasaan dan keagungan-Nya di dunia. Semoga kita menjadi orang-orang yang menjelaskan kepada dunia tentang kebenaran dan kedudukan Baginda Nabi Muhammad (Saw) nya, semoga kita bisa menyempurnakan misi Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan memenuhi kalbu kita dengan kecintaan Allah Ta’ala supaya kita menjadi orang-orang yang menjalankan wasiat Nabi (saw) yang telah mewasiatkannya pada kita dalam buku Alwasiat ketika Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Sesungguhnya Allah menghendaki untuk menarik semua jiwa yang berfitrah baik dari berbagai tempat di seluruh belahan dunia kepada Tauhid, baik mereka yang berada di Eropa atau pun di Asia dan supaya Dia menghimpun hamba-hamba-Nya pada satu agama. Inilah yang menjadi tujuan Allah ‘Azza wa Jalla mengutus saya ke dunia.” Karena itu, jadikanlah misi Hadhrat Masih Mau’ud (as) sebagai panduan di hadapan matanya (maksudnya upayakanlah untuk mewujudkannya), namun dengan kecintaan, kasih sayang, akhlak hasanah dan banyak berdoa. Juga dengan mengedepankan suri teladan.

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai khadim-khadim Hadhrat Masih Mau’ud (as) dalam menyempurnakan tujuan ini supaya kemenangan Islam itu tergenapi dan dunia berkumpul pada Tauhid, maka kita akan merayakan kebahagiaan Id hakiki dan kita akan melihat Id itu yang ditetapkan bagi Jemaat Masih Mau’ud (as).

Sekarang kita akan berdoa. Sebelum berdoa, saya ucapkan selamat Idul Fithri kepada anda sekalian dan para Ahmadi di seluruh dunia. Ingatlah dalam doa-doa Anda atas mereka yang ditahan di jalan Allah. Mereka terkurung dalam gelapnya penjara di beberapa negara dalam keadaan sulit dan di cuaca panas juga. Ingatlah dalam doa-doa Anda juga terhadap anak-anak dan para janda Syuhada Ahmadiyah. Ingatlah juga terhadap mereka yang mengkhidmati Jemaat, mereka yang mewakafkan diri dan para Da’i (Muballigh) yang tetap menegakkan kewajiban Tabligh di berbagai penjuru dunia. Semoga Allah Ta’ala menginspirasikan dalam diri mereka kekuatan tekad dan menciptakan kesetiaan dalam diri mereka serta menambahkan semangat supaya mereka dapat menyampaikan pesan Tabligh Tauhid ke setiap orang dan memperluas penyediaan Al-Maaidah (hidangan) ini ke setiap orang di wilayah-wilayah yang mengamalkannya.

Doakanlah juga semua Muslim Ahmadi secara umum semoga Allah Ta’ala melindungi dan menjaga mereka dari kedengkian dan kejahatan para pendengki. Berdoalah bagi umat Muslim secara keseluruhan supaya Allah Ta’ala mengilhamkan kebijaksanaan dan kebenaran bagi mereka dan menganugerahi taufik beriman kepada Al-Masih yang dijanjikan dan keluar dari mulut dajjal yang mana mereka berada di dalamnya dan mengembalikan keagungan mereka yang telah hilang. [Aamiin].

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ

وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –

وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ

يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Mari kita berdoa sekarang. [Doa bersama] Aamiin.

Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullah. Sekali lagi Id Mubarak (selamat hari raya). Assalaamu ‘alaikum.

Penerjemah: Mln. Abdul Karim Munwanna & Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan komparasi pemeriksaan naskah: www.IslamAhmadiyya.net (bahasa Arab)


[1] AlFazl no. 12, 1 Agustus 1916

[2] al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an (المفردات في غريب القرآن, Kosakata Asing dalam Al-Qur’an), Kitab huruf ‘Ain (كتاب العين), bab ‘aud (عود) karya Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin al-Mufadhal (أبو القاسم الحسين بن محمد بن المفضل). Ia dikenal dengan julukan ar-Raghib Al-Asfahani (Sang Rahib dari Ashfahan). Asfahan adalah nisbah dari tempat asalnya yaitu kota Asfahan (termasuk wilayah Iran sekarang). Akan tetapi beliau hidup di kota Bagdad dan wafat pada 502 Hiriyyah atau 1108 Masehi. Karya-karyanya yang lain diantaranya ialah: Mu’jam Mufradaat Alfaazhil Quranil karim (معجم مفردات ألفاظ القرآن الكريم), Muqaddimah Li Tafsiir al-Qur’an, dan Adab al-Syathranj.

[3] Matius, 15:26 Tetapi Yesus menjawab: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”

[4] Perjanjian Baru, Matius, 6:9-10.

[5] “Kepadamu akan Kuberikan kunciKerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.