Riwayat Umar bin Khattab (Seri 09)

khotbah idul adha mirza masroor ahmad

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 119, Khulafa’ur Rasyidin Seri 03, Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu 09)

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 09 Juli 2021 (Wafa 1400 Hijriyah Syamsiyah/28 Dzulqa’idah 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya). Pembahasan mengenai salah seorang Khalifah dari Khulafa’ur Rasyidin (Para Khalifah yang Dibimbing dengan Benar) yaitu Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab (عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Masih berlangsung pembahasan mengenai Hadhrat ‘Umar (ra). Berkenaan dengan pendirian departemen kehakiman terdapat Riwayat bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) telah mendirikan secara resmi departemen kehakiman. Beliau mendirikan pengadilan di seluruh daerah dan menetapkan hakimnya. Hadhrat ‘Umar (ra) pun menerapkan sejumlah undang-undang berkenaan dengan peradilan[1]. Para hakim dipilih dari antara pakar ilmu fiqah. Namun Hadhrat ‘Umar (ra) tidak hanya mencukupkan pada itu saja bahkan beliau pun menguji mereka. Beliau juga menetapkan tunjangan yang besar bagi para hakim agar terhindar dari praktik suap untuk memberikan keputusan yang salah. Para hakim dipilih dari kalangan terhormat dan hartawan supaya ketika memutuskan perkara diharapkan untuk tidak silau dengan ru’b (kehormatan) orang lain.

Hadhrat ‘Umar (ra) menekankan untuk selalu menegakkan keadilan dan tidak pandang bulu ketika memutuskan perkara. Suatu ketika terjadi suatu perselisihan antara Hadhrat ‘Umar (ra) dengan Hadhrat Ubay ibn Ka’b. Hadhrat Ubay menggugat Hadhrat ‘Umar (ra) ke pengadilan Hadhrat Zaid ibn Tsabit. Sebagai hakim, Hadhrat Zaid melakukan pemanggilan kepada kedua pihak yakni Hadhrat ‘Umar (ra) dan Hadhrat Ubay ibn Ka’b. Ketika Hadhrat Zaid memberikan perlakuan yang istimewa kepada Hadhrat ‘Umar (ra) dengan mempersilahkan beliau duduk di tempat khusus, Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda: Ini adalah ketidak adilan Anda yang pertama. Setelah mengatakan demikian, Hadhrat ‘Umar (ra) beranjak untuk duduk Bersama dengan Hadhrat Ubay.”[2] (Seolah olah beliau ra mengatakan bahwa kami adalah para pihak yang berkasus, untuk itu berikanlah perlakuan yang sama pada kedua pihak)

Dalam menjelaskan peristiwan ini Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Suatu ketika Khalifah kedua Hadhrat ‘Umar (ra) berselisih dengan Hadhrat Ubay ibn Ka’b. Kasus tersebut diajukan kepengadilan. Hakim menyampaikan surat panggilan kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Setelah Hadhrat ‘Umar (ra) tiba di pengadilan, dengan penuh hormat Hakim meninggalkan tempat duduknya dan mempersilahkan duduk kepada Hadhrat ‘Umar (ra) (sebagai Khalifah). Namun, Hadhrat ‘Umar (ra) memilih untuk duduk Bersama dengan pihak kedua dan bersabda kepada hakim: Ini adalah ketidakadilan pertama yang Anda lakukan. Saat ini jangan ada perlakuan berbeda antara saya dengan pihak kedua.”[3]

Hadhrat ‘Umar (ra) juga membentuk dewan fatwa untuk dapat memahami hukum syariat dan beliau pun menetapkan beberapa sahabat untuk tugas tersebut yakni tidak ada orang lain yang diberikan otoritas untuk memberikan fatwa selain beberapa sahabat tersebut. Diantaranya adalah Hadhrat Ali, Hadhrat ‘Utsman, Hadhrat Muadz ibn Jabal, Hadhrat Abdurrahman ibn Auf, Hadhrat Ubay ibn Ka’b, Hadhrat Zaid ibn Tsabit, Hadhrat Abu Hurairah, Hadhrat Abu Darda. Hadhrat ‘Umar (ra) melarang jika ada orang lain yang memberikan fatwa selain mereka. Waktu demi waktu Hadhrat ‘Umar (ra) juga melakukan evaluasi (penilaian) terhadap para mufti tersebut.

Berkenaan dengan ini, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ada satu lembaga yang berfungsi untuk dimintai fatwa. Terdapat satu kaidah pada masa Rasulullah (saw) dan pada zaman para Khalifah paska Rasulullah (saw) yakni setiap orang tidak diizinkan untuk memberikan fatwa dalam urusan syariat. Sedemikian hati hatinya Hadhrat ‘Umar (ra) sehingga pernah suatu Ketika ada seorang sahabat yang Namanya kalau tidak keliru, Abdullah ibn Mas’ud, yang notabene seorang yang mendalam pengetahuan agamanya dan figur mulia. Beliau memberikan suatu fatwa berkenaan dengan suatu masalah. Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) mengetahui kabar tersebut, beliau segera meminta klarifikasi dari Hadhrat Abdullah ibn Mas’ud dengan bertanya, ‘Apakah Anda seorang Amir atau Amir telah memberikan wewenang kepada Anda untuk memberikan fatwa sesuai yang Anda sukai?’

Permasalahan sebenarnya ialah, jika setiap orang diberikan wewenang untuk mengeluarkan fatwa, maka hal itu dapat menimbulkan banyak masalah dan dengan banyaknya fatwa dapat menimbulkan ujian besar bagi umat. Sebab, terkadang ada fatwa lebih dari satu untuk suatu masalah yang sama dan keduanya memang benar. Dalam kata lain, jika fatwa diberikan sesuai dengan keadaan dan jika seseorang melihat lebih dalam rincian suatu masalah maka itu mempunyai beberapa sifat fleksibel sehingga dalam keadaan yang berlainan dapat diterapkan dua fatwa. Namun tidak mudah bagi masyarakat untuk mencerna hal kedua jenis fatwa itu sehingga dapat menimbulkan masalah bagi umat.”[4]

Hadhrat ‘Umar (ra) juga mendirikan departemen kepolisian dengan tujuan untuk menegakkan keamanan dalam negeri. Departemen tersebut diberikan otoritas untuk menegakkan keamanan dan mengawasi pasar dll yakni untuk mengawasi masyarakat, apakah mereka mengamalkan hukum dengan baik ataukah tidak. Jika hak seseorang dirampas, maka mereka akan mengatasinya. Yakni mengatasi sesuatu urusan sebelum sampai pada tahap pengadilan. Hadhrat ‘Umar (ra) juga membangun sel tahanan, yang mana sebelum itu belum ada budaya (hukuman) sel tahanan, Hukuman keras juga diberikan kepada para pelanggar.

Demikian pula Hadhrat ‘Umar (ra) mendirikan Baitul Maal. Adapun Kekhalifahan sebelum masa Hadhrat ‘Umar (ra), apapun harta yang masuk, segera dibagikan. Pada masa Hadhrat Abu Bakr (ra) pun pernah dibeli sebuah bangunan dan diwakafkan untuk Baitul Maal, namun tidak difungsikan dan selalu tertutup, karena apapun harta yang masuk, langsung dibagikan. Pada tahun 15 Hijri pernah masuk uang sebesar 500 ribu dari Bahrain. Kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) meminta musyawarah dari para sahabat yakni sebaiknya digunakan untuk apa uang tersebut.

Ada satu pendapat yang menyatakan bahwa Raja-Raja di negeri Syam membentuk suatu departemen khusus yang mengurusi khazanah kekayaan. Hadhrat ‘Umar (ra) menyukai hal tersebut dan meletakkan pondasi berdirinya Baitul Maal di Madinah.[5] Hadhrat Abdullah ibn Arqam ditetapkan sebagai pejabat yang mengepalainya. Setelah itu, selain di Madinah, di seluruh provinsi dan di ibukotanya didirikan Baitul Maal.

Hadhrat ‘Umar (ra) biasa membangun suatu bangunan dengan anggaran terbatas, namun lain halnya untuk bangunan Baitul Maal (Gedung Penyimpanan harta negara), beliau selalu membangun bangunan yang sangat kokoh dan megah. Beliau juga menugaskan beberapa penjaga untuk menjaganya.[6] Dengan kata lain, setelah pembangunan itu sebuah pengaturan penugasan para security (petugas keamanan) untuk menjaganya didirikan untuk itu.

Secara pribadi, Hadhrat ‘Umar (ra) sendiri melakukan perlindungan berkaitan dengan harta Baitul Maal. Sebuah kejadian diriwayatkan dalam sejarah oleh Maula (budak yang dimerdekakan) Hadhrat ‘Utsman ibn Affan, بَيْنَا أَنَا مَعَ عُثْمَانَ فِي مَالِهِ بِالْعَالِيَةِ فِي يَوْمٍ صَائِفٍ إذْ رَأَى رَجُلًا يَسُوقُ بِكْرَيْنِ وَعَلَى الْأَرْضِ مِثْلُ الْفِرَاشِ مِنْ الْحَرِّ فَقَالَ: مَا عَلَى هَذَا لَوْ أَقَامَ بِالْمَدِينَةِ حَتَّى يَبْرُدَ ثُمَّ يَرُوحَ . ثُمَّ دَنَا الرَّجُلُ فَقَال : : اُنْظُرْ مَنْ هَذَا فنظرت فَقُلْتُ : أرى رَجُلًا معتما بِرِدَائِهِ يَسُوقُ بِكْرَيْنِ . ثُمَّ دَنَا الرَّجُلُ فَقَالَ : اُنْظُرْ . فَنَظَرْت، فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقُلْت هَذَا أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ . فَقَامَ عُثْمَانُ فَأَخْرَجَ رَأْسَهُ مِنْ الْبَابِ فَأَدَّاهُ لَفْحُ السَّمُومِ فَأَعَادَ رَأْسَهُ حَتَّى حَاذَاهُ فَقَالَ: مَا أَخْرَجَك هَذِهِ السَّاعَةَ؟ فَقَالَ: بِكْرَانِ مِنْ إبِلِ الصَّدَقَةِ تَخَلَّفَا، وَقَدْ مَضَى بِإِبِلِ الصَّدَقَةِ فَأَرَدْت أَنْ أَلْحَقَهُمَا بِالْحِمَى وَخَشِيت أَنْ يَضِيعَا فَيَسْأَلَنِي اللَّهُ عَنْهُمَا . فَقَالَ عُثْمَانُ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ هَلُمَّ إلَى الماء وَالظِّلِّ ونكفيك . فَقَالَ : عُدْ إلَى ظِلِّك . فَقُلْت : عِنْدَنَا مَنْ يَكْفِيك ! فَقَالَ : عُدْ إلَى ظِلِّك . فَمَضَى فَقَالَ عُثْمَانُ :  “Suatu siang yang sangat menyengat panas, saya bersama dengan Hadhrat ‘Utsman tengah berada di daerah Aliyah, nama sebuah lembah yang terletak diantara Madinah dan Najd yang berjarak 4 hingga 8 mil dari Madinah. Di sana terdapat peternakan milik Hadhrat ‘Utsman. Saat itu Hadhrat ‘Utsman melihat seorang pria yang menutupi tubuhnya dengan kain cadar, tengah menggiring dua unta muda yang berada di depannya. Melihat pemandangan itu Hadhrat ‘Utsman bersabda, ‘Ada apa dengan pria ini? Jika ia tinggal di Madinah maka akan lebih baik baginya jika keluar setelah cuaca dingin.’

Ketika pria itu mendekat, Hadhrat ‘Utsman berkata kepada saya, ‘Coba lihat, siapa orang ini? Orang itu semakin mendekat.’

Saya melihat ternyata pria itu adalah Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab (ra). Saya berkata, ‘Ternyata beliau adalah Amirul Mu’minin.’

Hadhrat ‘Utsman (ra) pun berdiri dan mengeluarkan kepala dari balik pintu, namun udara panas berhembus kemudian beliau masukkan lagi kepala beliau ke dalam. Segera beliau mengarah kepada Hadhrat ‘Umar (ra) dan berkata, ‘Urusan darurat apa yang telah membuat Hudhur keluar saat ini?’

Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Dua unta ini tertinggal dari unta-unta lainnya dari hasil sedekah, yang selebihnya sudah digiring pergi. Saya akan membawa dua unta ini ke tempat beternak, tadi saya khawatir jangan sampai dua unta ini hilang dan Allah akan memintai pertanggung jawabannya nanti.’

Hadhrat ‘Utsman berkata, ‘Wahai Amirul Mu’minin! Silahkan Hudhur ke bawah naungan dan minum dulu, cukup kami yang akan mengantarkan unta ini.’

Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Silahkan kalian kembali ke naungan.’

Bekas budak Hadhrat ‘Utsman berkata, ‘Apa yang kami miliki cukup juga untuk Hudhur.’

Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Kembalilah kalian ke bawah naungan.’ Hadhrat ‘Umar (ra) pun pergi. Hadhrat ‘Utsman bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إلَى الْقَوِيِّ الْأَمِينِ فَلْيَنْظُرْ إلَى هَذَا !  ‘Siapa yang ingin melihat figur tangguh dan dipercaya, lihatlah beliau.’”[7]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Umar ibn Nafi (عمر بن نافع الثقفي) meriwayatkan dari Abu Bakr al-‘Absi (أبي بكر العبسي), دخلت حين الصدقة مع عمر بن الخطاب وعثمان بن عفان وعلي بن أبي طالب فجلس عثمان في الظل وقام علي على رأسه يملي عليه ما يقول عمر وعمر قائم في الشمس في يوم شديد الحر عليه بردتان سوداوان متزر بواحدة وقد وضع الأخرى على رأسه وهو يتفقد إبل الصدقة فيكتب ألوانها وأسنانها . فقال علي لعثمان : “Suatu ketika saya datang dengan Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat ‘Utsman dan Hadhrat Ali untuk mengurusi sedekah. Hadhrat ‘Utsman duduk di bawah sebuah naungan. Hadhrat Ali duduk di dekat Hadhrat ‘Utsman, terus mengulang apa yang diucapkan oleh Hadhrat ‘Umar (ra). Meskipun saat itu panas terik menyengat, Hadhrat ‘Umar (ra) berdiri dengan mengenakan dua kain cadar hitam yang dikenakan pada bagian bawah dan satunya lagi untuk menutupi kepala beliau. Saat itu beliau tengah memeriksa unta-unta sedekah dengan mencatatkan warna dan umur unta.

Hadhrat Ali berkata kepada Hadhrat ‘Utsman, أما سمعت قول ابنة شعيب في كتاب الله عز و جل: ‘Anda tentu telah mendengar ucapan putri Hadhrat Syuaib dalam Al Quran sebagai berikut, إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ ‘Sesungguhnya orang terbaik yang dapat Ayah ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’ (Al-Qashash, 28:27). وأشار علي بيده إلى عمر فقال : Kemudian Hadhrat Ali mengisyaratkan kepada Hadhrat ‘Umar (ra) dan berkata, هذا هو القوي الأمين  ‘Inilah figur yang Qawiyyul Amiin.’”[8]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menceritakan satu peristiwa Hadhrat ‘Umar (ra), “Hadhrat ‘Utsman meriwayatkan, ‘Suatu hari saya tengah duduk di dalam satu ruangan pondok saya. Begitu menyengatnya panas cuaca pada saat itu sehingga tidak berani untuk membuka pintu. Ketika itu, khadim saya berkata, “Coba tuan lihat, di saat panas terik seperti ini, ada seseorang yang tengah berjalan jalan di luar sana.”

Lalu saya menyingkapkan kain penutup dan tampak kepada saya seorang pria yang disebabkan oleh panasnya cuaca sehingga wajahnya terbakar sinar matahari. Saya berkata kepada khadim saya, “Mungkin ia adalah seorang musafir.”

Namun tidak lama kemudian orang itu mendekati tempat kami, ternyata pria yang dimaksud adalah Hadhrat ‘Umar (ra). Seketika mengetahui bahwa itu beliau, saya tersontak kaget dan langsung keluar. Saya bertanya kepada Hadhrat ‘Umar (ra), “Saat terik panas menyengat seperti ini, Hudhur hendak kemana?”

Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Saya sedang mencari seekor unta Baitul Maal hilang.”’”[9]

(Ini adalah kisah hilangnya unta yang sebelum ini pun telah disampaikan)

Suatu hari Hadhrat ‘Umar (ra) tengah membagi harta Baitul Maal. Seketika itu putri beliau yang masih kecil datang menghampiri. Anak itu mengambil satu dirham dari tumpukan harta. Melihat itu, Hadhrat ‘Umar (ra) bangkit untuk mengambilnya dari anak itu. Kain cadar terjatuh dari pundak beliau dan anak itu berlari sambil menangis menuju keluarganya dan memasukkan uang dirham tadi ke dalam mulutnya. Hadhrat ‘Umar (ra) memasukkan jari beliau ke dalam mulut anak itu lalu mengeluarkannya dan mengembalikannya ke tempatnya. Kemudian bersabda, “Wahai manusia! Bagi ‘Umar dan keluarganya, baik keluarga dekat maupun jauh, diberikan hak yang sama seperti yang didapatkan oleh umat Muslim pada umumnya, tidak lebih dari itu.”

Dalam satu riwayat lain, “Suatu ketika Hadhrat Abu Musa tengah menyapu di Baitul Maal dan menemukan satu dirham. Saat itu juga tengah lewat putra Hadhrat ‘Umar (ra) yang masih kecil, lalu Hadhrat Abu Musa memberikannya kepada anak itu. Seketika melihat uang dirham pada tangan anak itu, Hadhrat ‘Umar (ra) menanyakannya.

Anak itu menjawab, ‘Abu Musa telah memberikannya kepada saya.’

Setelah mengetahui bahwa uang itu ditemukan di Baitul Maal, Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Wahai Abu Musa! Apakah menurutmu, diantara penduduk Madinah tidak ada yang lebih miskin dari keluarga ‘Umar? Apakah kamu menginginkan agar semua umat Rasulullah (saw) meminta pertanggungjawaban atas ketidakadilan kami?’ Kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) mengembalikan dirham itu ke Baitul Maal.[10]

Berkenaan dengan jasajasa Hadhrat ‘Umar (ra) untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat diriwayatkan bahwa, Hadhrat ‘Umar (ra) telah melakukan banyak hal untuk kemaslahatan Rakyat. Perbaikan dalam bidang pertanian, membuat sungai untuk irigasi, sbb: “Kanal (saluran air tapi lebar bisa dilewati kapal) Abu Musa adalah kanal sepanjang sembilan mil yang membawa air dari sungai Dajlah (Tigris) ke Bashrah. Kanal Maqal juga digali mulai dari sungai Tigris. Terusan Amirul Mukminin, ini digali atas perintah Hadhrat ‘Umar (ra) untuk menghubungkan Sungai Nil ke Laut Merah.

Pada waktu bencana kelaparan pada tahun 18 H, Hadhrat ‘Umar (ra) menulis kepada Hadhrat Amr ibn Al-’Ash untuk mengirim bantuan. Ada keterlambatan bantuan untuk mencapai [Madinah] karena jarak yang sangat jauh [dari Mesir]. Hadhrat ‘Umar (ra) memanggil Amr dan berkata kepadanya bahwa jika Sungai Nil digali sampai ke laut, bangsa Arab tidak akan pernah menderita kelaparan lagi. Ketika Amr kembali – sebagai gubernur – dia menggali kanal dari Fustat hingga Laut Merah, di mana kapal dapat mencapai pelabuhan Jeddah dekat Madinah. Kanal ini memiliki panjang 29 mil dan disiapkan dalam waktu 6 bulan.

Hadhrat Amr ibn al-’Ash juga bermaksud menghubungkan Laut Merah dengan Laut Mediterania (Laut tengah yang sisi lain daratannya berada di Eropa). Beliau bermaksud menggali kanal dari Farma, di mana jarak antara Laut Tengah dan Laut Merah hanya 70 mil dan menghubungkan dua sungai. Farma adalah kota pesisir Mesir. Namun, Hadhrat ‘Umar (ra) khawatir bahwa para peziarah akan dijarah oleh kapal-kapal orang-orang Yunani dan karena itu Khalifah ‘Umar (ra) tidak menyetujuinya. Jika Amr ibn al-’Ash diberi izin, Terusan Suez, yang dibangun di waktu kemudian (abad ke-19), akan dibuat oleh orang Arab.”[11]

Berbagai bangunan [dibangun]. Hadhrat ‘Umar (ra) membangun berbagai bangunan untuk kemudahan masyarakat; ini termasuk: Masjid, pengadilan, markas-markas militer sementara, barak-barak, kantor-kantor tempat pegawai pembangun infrastruktur negara, jalan-jalan, jembatan-jembatan, wisma tamu (guest house), pos jaga, penginapan-penginapan dan lain-lain. Beliau membangun penampungan-penampungan air dan penginapan di setiap Manzil [jarak satu hari perjalanan] antara Makkah dan Madinah, beliau membuat pos jaga, yaitu beliau memastikan pengaturan keamanan dan juga tempat istirahat seperti rumah tamu dan penginapan dan lain sebagainya.[12]

Mengenai perkembangan kota, disebutkan bahwa pada masa Khilafat ‘Umar (ra), banyak kota-kota baru yang didirikan dan dihuni. Sementara mendiami kota-kota ini, Hadhrat ‘Umar (ra) tetap memperhatikan keamanan dan keuntungan ekonomi. Lokasi kota-kota ini menunjukkan perintah Hadhrat ‘Umar (ra) dan perencanaan yang cermat dalam seni perang, prinsip-prinsip politik dan pembangunan. Kota-kota ini bermanfaat baik di masa perang maupun damai.

Terkait:   Nubuatan Pembaharu yang Dijanjikan (Muslih Mau'ud)

Hadhrat ‘Umar (ra) akan memastikan bahwa kota-kota dibangun di tanah Arab yang berbatasan dengan tanah non-Arab untuk mencegah serangan mendadak. Lokasi kota-kota ini sedemikian rupa, sehingga cocok untuk orang Arab. Salah satu bagian dari kota-kota ini berfungsi sebagai padang rumput dan bersebelahan dengan tanah non-Arab yang terdiri dari vegetasi hijau subur, di mana buah-buahan, biji-bijian dan hal-hal lain ditanam, yaitu tanah yang digunakan untuk pertanian. Ketika membangun kota, Hadhrat ‘Umar (ra) akan memastikan bahwa sungai atau laut tidak mengalir di tengahnya.

Hadhrat ‘Umar (ra) mendirikan kota Bashrah, Kufah dan Fustat. Hadhrat ‘Umar (ra) mendirikan kota-kota ini di atas fondasi yang kuat dan benar. Beliau memastikan jalan dan jalur luas dan lebar dan sangat terorganisir. Pandangan ini menunjukkan bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) adalah seorang ahli di bidang ini dan inovatif dalam hal ini.[13]

Demikian pula, beliau membuat sistem pengaturan bagi tentara. Hadhrat ‘Umar (ra) mengatur struktur untuk militer, Beliau mendata para tentara sesuai kepangkatannya dan menetapkan tunjangan untuk mereka. Hadhrat ‘Umar (ra) membagi tentara menjadi dua bagian. Pertama yang ikut dalam peperangan dan kedua para relawan yang akan dipanggil saat dibutuhkan. Hadhrat ‘Umar (ra) sangat memperhatikan penataan ketentaraan. Beliau mengadakan aturan yang ketat agar tidak ada tentara yang justru bertani atau berdagang di daerah yang telah dikuasai.

Artinya, di daerah yang telah dikuasai, tidak ada tentara yang akan berdagang dan bertani, karena mereka adalah tentara, dan ini akan mempengaruhi kecakapan bertempur mereka. Sekarang kita melihat bagaimana di negeri Islam, para tentara mereka pun sibuk dalam perdagangan. Bahkan tentang satu negara dapat dikatakan bahwa sebelum menerima komisi, para tentara atau para petinggi tentara melihat, “Apakah ada pengaruhnya pada kelanjutan karir saya atau tidak, pembangunan koloni baru mana, pembangunan defence colony (koloni pertahanan) mana yang tengah dibangun, dan bagian manakah yang akan menjadi milik saya.” Alhasil, dengan corak inilah kecakapan militer mereka menjadi berkurang.

Selanjutnya disampaikan bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) pun memperhatikan musim ketika akan menyerang negeri yang [bercuaca] panas atau dingin supaya tidak membawa kerugian pada kesehatan para tentara. Dengan tegas Hadhrat ‘Umar (ra) memerintahkan para tentara untuk mahir dalam berenang, memanah, dan berjalan tanpa alas kaki. Setiap 4 bulan, Hadhrat ‘Umar (ra) memberikan cuti kepada mereka untuk mengunjungi kampung halaman dan keluarganya. Dalam memperhatikan kegigihannya, beliau menganjurkan para tentara untuk tidak menunggang tunggangannya dengan menopang pelana. Dalam menunggang kuda, hendaknya tidak menaikinya lewat tempat pijakan kaki tetapi harus melompatinya. Janganlah menggunakan pakaian halus, hindarilah panas terik dan janganlah mandi di pemandian umum karena dengan begitu akan cenderung untuk menuntut kesenangan. Hadhrat ‘Umar (ra) mengirim para tentara ke negeri yang subur di musim semi. Beliau memperhatikan aliran air dan udara dalam membangun koloni dan asrama tentara. (hal ini pun perlu untuk mengirim para tentara ke daerah yang subur supaya mereka dapat menghirup udara segar dan baik untuk kesehatan mereka).

Perihal udara dan air [untuk mereka] sangat beliau perhatikan dan beliau membangun asrama-asrama tentara di setiap wilayah. Diantara daerah pusat militer yaitu Madinah, Kufah, Bashrah, Mosul, Fustat, Damaskus, Homs, Yordan, dan Palestina, dimana di sana anggota militer selalu ditempatkan. Setiap 4 bulan sekali, para tentara diberi libur. Di semua basis militer tersebut, terdapat 4.000 kuda yang dikelola di waktu yang sama. Di bagian kuda tertera tulisan جَیْش فی سبیل اللہ yang artinya, “Pasukan di jalan Allah”.

Di masa kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra), tentara Islam dalam rangka menunjang kemajuan, mereka mengembangkan peralatan perangnya yang diantaranya termasuk alat penghancur benteng seperti catapult (ketapel raksasa berpeluru batu agak besar atau bahan berapi)dan dabbabah (kendaraan tempur) dan lain sebagainya. Kendaraan tempur maksudnya senjata yang dengannya dapat menghancurkan benteng musuh. Di dalamnya duduk seseorang yang akan mengarahkan senjata ke benteng musuh dan merubuhkannya.[14]

Di dalam pemerintahan Islam, orang-orang dari kalangan selain Islam pun duduk sebagai petinggi pemerintah (senior positions). Jadi, bukan hanya orang-orang Islam yang menduduki jabatan penting, tetapi orang-orang kalangan selainnya pun diberikan jabatan penting (key posts).

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Pada masa kekhalifahan Rasulullah (saw) pun meskipun di seluruh negeri keamanan belum sepenuhnya terwujud, mereka (yang bukan Islam) tetap diberikan hak-haknya. Allamah Syibli menjelaskan dalam karya tulisnya bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) dalam memperluas struktur kemiliteran, tidak membeda-bedakan kebangsaan tertentu saja [hanya orang Arab], atau juga agama tertentu [hanya orang Islam]. Di dalam relawan tentara, terdapat ribuan penganut Majusi (yakni mereka yang tidak beribadah kepada Allah, bahkan menyembah api dan matahari). Mereka pun termasuk, dan mereka pun setara dalam hal tunjangan dengan orang Muslim lainnya. Keberadaan orang-orang Majusi dalam ketentaraan ini pun dapat ditemukan. Tertulis juga bahwa orang-orang Yunani dan Romawi pun ikut dalam ketentaraan, dimana ada sekitar 500 orang dari mereka yang ikut dalam penaklukan Mesir.”

 (Sementara itu, sekarang di Pakistan ada yang mengatakan supaya mengeluarkan orang-orang Ahmadi dari ketentaraan karena ini adalah posisi yang sangat peka. Padahal jika kita membaca sejarah, justru para perwira tentara Ahmadi-lah yang paling banyak memberikan pengorbanan demi Pakistan. Alhasil, ini adalah sikap mereka).

“Mengenai Hadhrat ‘Umar (ra) dijelaskan bahwa ketika Hadhrat Amru ibn al-‘Ash melakukan perluasan permukiman di kota Fustat, beliau membaginya menjadi empat sektor. Perlakuan [adil] ini pun ditunjukkan pula pada bangsa Yahudi, dimana ada sekitar 1.000 orang Yahudi ikut serta bersama tentara Muslim dalam menaklukkan Mesir.

Demikian pula dari sejarah terbukti bahwa ada pula beberapa tokoh bangsa lain yang diangkat sebagai panglima perang. Di masa Hadhrat ‘Umar (ra), ada tokoh bangsa Iran [non Arab] yang diangkat sebagai panglima dan ada diantara mereka yang nama mereka terukir di sejarah. Allamah Syibli menuliskan enam nama panglima: Siyah, Khusraw, Syehreyar, Syerwiyah, Syahrwiyah dan Afrudin (أفرودين). Mereka pun menerima tunjangan dari perbendaharaan pemerintah dan nama mereka tertera di pencatatan resmi. Setelah keempat Khalifah, tertera dalam sejarah bahwa di masa Hadhrat Muawiyah ada seorang Kristen bernama Ibnu Atsal (ابن أثال) pun menjadi menteri keuangan.”[15]

Referensi mengenai Afrudin yang baru saja saya baca dinyatakan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) di dalam Tafsir Kabir hal mana itu beliau (ra) kutip dari buku karya Allamah Syibli berjudul Al-Farooq. Namun di buku-buku berbahasa Arab nama yang tertera adalah Afrudzin (افروذين) dengan dzal (الذال) bukan dal (الدال).Alhasil, ini hanya perbedaan kecil penulisan nama antara dengan huruf dzal dan dal.[16] Terkadang orang mempermasalahkannya. Oleh karena itu saya jelaskan di sini.

Demikian pula, dalam hal market control atau pengendalian harga pasar pun diberlakukan. Islam melarang tindakan menjatuhkan harga-harga dengan sarana-sarana (cara-cara) terlarang dan Hadhrat ‘Umar (ra) pun telah menegaskan akan hal ini serta melakukan tindakan ke arah sana. Terkait larangan untuk menjatuhkan harga barang, Hadhrat Mushlih Mau’ud bersabda, “Islam pun melarang untuk menjatuhkan harga dengan tanpa sebab dengan cara-cara terlarang. Merusak harga [menjual barang dengan harga turun dibanding penjual lain di pasar] pun adalah salah satu cara terlarang untuk mendapatkan harta, karena dengan cara ini para pedagang yang kuat membuat pedagang yang lebih kecil modalnya terpaksa menjual barang dengan harga rendah sehingga mereka pun sukses untuk membuat pedagang kecil itu bangkrut.

Ada satu peristiwa di masa Hadhrat ‘Umar (ra), yaitu beliau tengah meninjau pasar, lantas beliau melihat seorang yang datang dari luar daerah yang menjual anggur kering dengan harga rendah dan tidak sebagaimana para pedagang di Madinah dapat menjualnya. Beliau lalu memerintahkannya untuk mengangkat barang dagangannya dari pasar atau menjualnya dengan harga yang layak sebagaimana para penjual di Madinah yang lain. Saat itu para pedagang di Madinah tidak mengambil keuntungan yang besar dan hanya jumlah yang sesuai untuk menutupi pengeluaran mereka. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Juallah ini dengan harga ini.’ Ketika beliau ditanya mengapa memerintahkan demikian, beliau menjawab, ‘Jika diizinkan untuk menjual seperti itu, para pedagang Madinah yang menjualnya dengan harga yang wajar justru akan mengalami kerugian.’

Memang tidak diragukan lagi, sebagian sahabat menyampaikan salah satu sabda Rasulullah (saw) dalam menolak sikap Hadhrat ‘Umar (ra) ini, yaitu tidak ikut campur dalam urusan pasar.

Namun keberatan ini pun tidak benar, karena maksud Rasulullah (saw) tentang ambil bagian dalam perkara pasar adalah agar tidak masuk dalam urusan produksinya yakni dalam perkara supply and demand (permintaan, penyediaan dan penawaran) karena hal ini akan justru merugikan, dan hendaknya pemerintah menghindarinya. Karena biarlah pasar yang mengatur [keseimbangan] permintaan dan penawarannya. Jika tidak, ini tidak akan berfaidah untuk masyarakat, dan para pedagang pun akan jatuh. Namun, terkait pengawasan harga, hal ini ini diperbolehkan.”[17]

Hadhrat Mushlih Mau’ud terkait hal ini beliau menjelaskan di satu tempat, bahwa salah satu hak penduduk adalah tidak adanya kesulitan dalam urusan simpan pinjam. Kita menyaksikan betapa orang-orang islam kini tidak menghiraukan hak ini. Oleh karena itu Islam pun melarang memberikan harga yang tinggi. Demikian pula Hadhrat ‘Umar (ra) pun melarang memberikan harga yang rendah karena hal ini merugikan orang lain dan mematikan usaha mereka. (ini sebagai kebalikannya)

Suatu saat di Madinah ada seseorang yang menjual anggur dengan harga yang pedagang lain tak sanggup menduganya. Hadhrat ‘Umar (ra) menghampirinya dan memarahinya karena dengan cara ini usaha orang lain pun akan mengalami kerugian. Alhasil Islam melarang memberi harga yang terlampau tinggi dan juga melarang menjatuhkan harga supaya jangan sampai para penjual dan masyarakat mengalami kerugian.”[18]

Terkait pengaturan pendidikan, Hadhrat ‘Umar (ra) sangat memajukan sektor pendidikan. Beliau mendirikan berbagai madrasah di seluruh negeri dan didalamnya diajarkan tentang Al-Quran, Hadits, dan Fiqih. Hadhrat ‘Umar (ra) menunjuk para sahabat yang senior untuk ikut dalam hal pengajaran dan beliau pun menetapkan tunjangan untuk para pengajar.[19]

Demikian pula terkait awal mula penanggalan Hijriah, tertera di dalam riwayat (salah satunya di Bukhari) bahwa Hadhrat Sahl ibn Sa’d menyampaikan bahwa para sahabat tidak memulai penanggalan dari peristiwa awal kenabian Rasulullah (saw) dan tidak pula dari peristiwa kewafatan beliau (saw). Namun, para sahabat memulai penanggalan dari peristiwa beliau (saw) tiba di Madinah (yakni di waktu Hijrah).[20]

Penulis syarah Bukhari, Allamah Ibnu Hajar Asqalani menulis, وَأَفَادَ السُّهَيْلِيُّ أَنَّ الصَّحَابَةَ أَخَذُوا التَّارِيخَ بِالْهِجْرَةِ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى من أول يَوْم  “Menurut Imam Suhaili, para sahabat memulai penanggalan semenjak turunnya wahyu Allah Ta’ala لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْو. Dimana [menurutnya] maksud min awwali yaumin di sini adalah hari ketika Nabi (saw) tiba di Madinah bersama para sahabat. Wallahu a’lam.

Mengenai perlunya mengadakan kalender Hijriah, terdapat beberapa riwayat tentang ini. Diriwayatkan, أَنَّ أَبَا مُوسَى كَتَبَ إِلَى عُمَرَ إِنَّهُ يَأْتِينَا مِنْكَ كُتُبٌ لَيْسَ لَهَا تَارِيخٌ فَجَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ “Hadhrat Abu Musa menulis surat kepada Hadhrat ‘Umar (ra), ‘Kami menerima surat dari Anda dan tidak tertera tanggal padanya.’ Atas hal ini Hadhrat ‘Umar (ra) meminta pendapat dari orang-orang.’”

Allamah Ibnu Hajar berkata, وَرَوَى أَحْمَدُ وَأَبُو عَرُوبَةَ فِي الْأَوَائِلِ وَالْبُخَارِيُّ فِي الْأَدَبِ وَالْحَاكِمُ مِنْ طَرِيقِ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ “Bukhari mengeluarkan riwayat dalam al-Adab, diriwayatkan olehh al-Hakim juga dari Maimun ibn Mihran, رُفِعَ لِعُمَرَ صَكٌّ مَحَلُّهُ شَعْبَانُ فَقَالَ أَيُّ شَعْبَانَ الْمَاضِي أَوِ الَّذِي نَحْنُ فِيهِ أَوِ الْآتِي  “Pada suatu waktu datang cek kepada Hadhrat ‘Umar (ra) yang waktu jatuh temponya adalah bulan Sya’ban. Beliau bersabda, ‘Bulan Sya’ban yang mana? Apakah di tahun yang telah lalu atau yang sekarang sedang berjalan, atau Sya’ban di tahun yang akan datang?’

Beliau bersabda kepada semua orang, ضَعُوا لِلنَّاسِ شَيْئًا يَعْرِفُونَهُ فَذَكَرَ نَحْوَ الْأَوَّلِ ‘Tentukanlah suatu tanggal yang dapat dipahami oleh semua.’

Ibnu Sirin berkata, قَدِمَ رَجُلٌ مِنَ الْيَمَنِ فَقَالَ رَأَيْتُ بِالْيَمَنِ شَيْئًا يُسَمُّونَهُ التَّارِيخَ يَكْتُبُونَهُ مِنْ عَامِ كَذَا وَشَهْرِ كَذَا فَقَالَ عُمَرُ هَذَا حَسَنٌ فَأَرِّخُوا “Ada seorang yang datang dari Yaman. Ia berkata, ‘Saya telah melihat sesuatu di Yaman yang dinamakan penanggalan. Caranya adalah dengan menulis tahun tertentu lalu bulan tertentu.’ Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Ini adalah cara yang baik. Cobalah Anda tulis suatu tanggal.’”[21]

Mengenai siapa yang memulai penanggalan Hijriah, terdapat berbagai pandangan yang berbeda tentang hal ini. Menurut pendapat pertama, Hadhrat Rasulullah (saw)-lah yang telah memerintahkan untuk menuliskan penanggalan dan memulainya dengan bulan Rabiul Awwal. Diriwayatkan sebagai berikut: وَقَدْ رَوَى الْحَاكِمُ فِي الْإِكْلِيلِ مِنْ طَرِيقِ بن جريج عَن أبي سَلمَة عَن بن شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ أَمَرَ بِالتَّارِيخِ فَكُتِبَ فِي رَبِيعٍ الْأَوَّلِ “Al-Hakim dalam kitabnya berjudul Al-Iklil menuliskan, ‘Ibnu Syihab az-Zuhri meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah (saw) tiba di Madinah, beliau (saw) memerintahkan untuk menulis penanggalan dan saat itu dimulai dari Rabiul Awwal.’”

‘Allamah Ibnu Hajar berkata, وَهَذَا مُعْضَلٌ وَالْمَشْهُورُ خِلَافُهُ كَمَا سَيَأْتِي وَأَنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي خِلَافَةِ عُمَرَ “Riwayat ini mu’dhal.[22] Mu’dhal artinya riwayat yang memiliki sanad berupa perawi yang saakit [cacat] secara berturut-turut. Di dalam riwayat lain tertera bahwa penanggalan bermula di hari ketika Rasulullah (saw) hijrah dan tiba di Madinah. Sementara itu ungkapan yang lebih masyhur adalah bahwa awal mula penentuan penanggalan Hijriah adalah di masa kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra).

Penulis buku Subulul Huda war rasyaad fi siirati khairil ‘ibad, Muhammad ibn Yusuf Shalih mengatakan, قال ابن الصلاح: وقفت على كتاب في (الشروط) لأبي طاهر محمش الزيادي ذكر فيه أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ارخ بالهجرة حين كتب لنصارى نجران، وأمر عليا – رضي الله تعالى عنه – أن يكتب فيه لخمس من الهجرة، فالمؤرخ إذن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وعمر تبعه في ذلك “Ibnu Salah berkata bahwa dirinya melihat di dalam kitab Asy-Syurut karya Abu Tahir Mahmasy bahwa Rasulullah (saw) memerintahkan untuk menetapkan penulisan penanggalan, karena tatkala beliau menuliskan surat untuk orang-orang Kristen Najran dan memerintahkannya untuk mengirimkannya, saat itu beliau  (saw) memerintahkan Hadhrat Ali untuk menuliskan di dalam surat itu, ‘Tulislah لخمس من الهجرة artinya, tahun kelima setelah Hijrah. Dari hal ini dpat diketahui bahwa penanggalan pertama kali dimulai oleh Rasulullah (saw) dan Hadhrat ‘Umar (ra) mengikuti apa yang telah dilakukan beliau (saw).”[23]

Menurut pendapat kedua, yaitu dari Hadhrat Ya’la ibn Umayyah yang kala itu seorang penduduk Yaman, dan dialah yang memulai penanggalan. Imam Ahmad telah menjelaskan hal ini. Namun ada hal yang terputus di dalamnya, yakni antara Amru dan Ya’la.

Pendapat masyhur yang ketiga adalah, penanggalan hijriah dimulai di masa kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra). Terkait mengapa kalender hijriah ini dimulai dari peristiwa hijrah, tentang hal ini ada suatu penjelasan bahwa ketika Hadhrat ‘Umar (ra) meminta pendapat terkait penanggalan tahun, ada satu pendapat yang menyebutkan agar penanggalan ini dimulai sejak awal kelahiran Nabi Muhammad (saw). Ada pendapat kedua yang menyatakan agar dimulai sejak awal pengutusan beliau sebagai nabi. Ada pendapat ketiga yang menyatakan agar dimulai dari waktu kewafatan beliau (saw). Ada pendapat keempat agar dimulai dari tahun hijrahnya beliau (saw). Pendapat agar dimulai dari peristiwa hijrah ini dianggap lebih tepat, karena dalam penentuan tahun kelahiran dan pengutusan ada perselisihan. Adapun peristiwa kewafatan ini tidak dipilih karena dalam kewafatan ini terkandung hal yang menimbulkan kepedihan bagi umat Islam. Alhasil para sahabat setuju pada peristiwa hijrah.

Terkait mengapa para sahabat memulai bulan dari Muharram dan bukan Rabiul Awal, alasannya adalah Rasulullah (saw) membulatkan tekad untuk berhijrah di bulan Muharram. Di bulan Dzul Hijjah telah terjadi baiat Aqabah yang kedua dan ini menjadi latar belakang terjadinya Hijrah. Dengan demikian bulan yang tampak setelah terjadinya peristiwa baiat Aqabah yang kedua dan kebulatan tekad beliau (saw) untuk hijrah adalah bulan Muharram. Oleh karena itu, disetujuilah agar bulan tersebut dijadikan sebagai awal [penanggalan].

Allamah Ibnu Hajar berkata, وَهَذَا أَقْوَى مَا وَقَفْتُ عَلَيْهِ مِنْ مُنَاسَبَةِ الِابْتِدَاءِ بِالْمُحَرَّمِ “Menurut saya ini adalah dalil paling tepat yang menjelaskan mengapa kalender Islam dimulai dari bulan Muharram.”[24]

Terkait:   Kehidupan Nabi Muhammad SAW : Suri Teladan Agung

Mengenai kapan waktu Nabi (saw) tiba di Madinah, terdapat pendapat yang berbeda terkait hal ini. Beliau (saw) seraya singgah di beberapa tempat, tiba di dekat Madinah pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 14 Nabawi bersesuaian dengan 20 September 622 Masehi. Menurut beberapa sejarawan lain adalah tanggal 8 Rabiul Awwal. Ada pula mereka yang berpendapat bahwa beliau berangkat di bulan Safar dan tiba di bulan Rabiul Awwal. [dengan demikian] Rasulullah (saw) berangkat hijrah dari Makkah pada tanggal 1 Rabiul Awwal dan tiba di Madinah pada tanggal 12 Rabiul Awwal.[25]

Mengenai pada tahun berapa awal [ditetapkannya] penanggalan Hijirah, tentang hal ini pun ada berbagai pendapat. Ada pendapat bahwa kalender ini ditetapkan pada tahun 16 Hijriah. Ada yang berpendapat di tahun 17 Hijriah, ada yang berpendapat 18 Hijriah, dan ada juga yang berpendapat 21 Hijriah.[26] Meski demikian, sebagian besar sepakat bahwa kalender ini dimulai di masa [kekhalifahan] Hadhrat ‘Umar (ra).

Mata uang logam Islami. Menurut sebagian besar sejarawan, uang logam Islami pertama kali diperkenalkan oleh Abdul Malik ibn Marwan [Raja Banu Umayyah setelah Marwan].[27]

Beberapa sejarawan Madinah mengatakan bahwa uang logam Islam pertama kali diperkenalkan pada masa Hadhrat ‘Umar (ra), di atas mata uang itu terukir alhamdulillaah dan pada sebagian lainnya terukir Muhammad Rasulullah (saw) dan laa ilaaha illallaahu, wahdahu, tetapi mereka sama sekali tidak menghilangkan penggunaan koin mata uang raja-raja Kekaisaran Sasaniyah Iran.

Menurut suatu penelitian, uang logam pertama Islami diperkenalkan di Damaskus pada 17 Hijriah di masa Kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra), tetapi pada koin itu masih ada gambar kaisar Romawi Bizantium dan tulisan dalam bahasa Latin (bahasa Italia kuno).

Berdasarkan satu riwayat lain, pada tahun ke-28 Hijiriah di masa kekhalifahan Hadhrat ‘Utsman (ra) pertama kalinya digunakan uang logam sendiri yang Islami sepenuhnya. Sementara itu, di negeri-negeri Persia dipergunakan mata uang logam yang sebelum itu telah dipergunakan di wilayah Kekaisaran Sasaniyah yang di atas mata uang itu terdapat gambar raja-raja Kekaisaran Sasaniyah, tetapi bismillah dituliskan di atasnya dalam aksara Kufi.[28]

Kemudian mengenai hal-hal apa saja yang telah diprakarsai oleh Hadhrat ‘Umar (ra) yang disebut sebagai Awwaliyat-e-Farooqi, ‘Allamah Syibli Nu’mani dalam bukunya “Al-Faaruuq menulis, “Para sejarawan secara sepakat menuliskan hal-hal baru yang telah ditemukan oleh Hadhrat ‘Umar (ra) di setiap bidang dan hal-hal tersebut dinamakan Awwaliyyat, yang antara lain sebagai berikut:

[1] Baitul Maal, yakni mendirikan rumah perbendaharaan.

[2] Mendirikan pengadilan-pengadilan dan menetapkan Qaadhi (hakim).

[3] Menetapkan tanggal dan tahun yang berlanjut hingga hari ini.

[4] Hadhrat ‘Umar (ra) menggunakan gelar Amiirul Mu’miniin bagi Khalifah yang sedang menjabat.

[5] Menyusun register (daftar nama) para tentara.

[6] Menetapkan gaji para sukarelawan.

[7] Mendirikan kantor Departemen Maal (Keuangan).

[8] Memberlakukan sistem pengukuran dan pemetaan lahan.

[9] Melakukan sensus penduduk.

[10] Menggali kanal-kanal (saluran-saluran air).

[11] Membangun kota-kota, yaitu Kufah, Bashrah, Jizah, Fushtath, Moshul dan sebagainya.

[12] Membagi negara-negara yang ditaklukkan ke dalam provinsi-provinsi.

[13] Menetapkan Usyuur (العشور), yakni sepersepuluh sebagai pajak atau retribusi. Usyuur adalah penemuan Hadhrat ‘Umar (ra) yang permulaannya sebagai berikut, orang-orang Islam yang pergi ke luar negeri untuk berdagang, berdasarkan peraturan di sana mereka dikenakan pajak 10 persen. Abu Musa al-Asy‘ari (ra) menyampaikan hal ini kepada Hadhrat ‘Umar (ra), kemudian beliau (ra) memerintahkan, “Hendaknya dikenakan pajak sejumlah itu juga kepada para pedagang yang datang ke negeri kita dari negeri-negeri tersebut.” Yakni kemudian dari mereka juga dipungut 10%.[29]

[14] Mengenakan pajak atas hasil yang diambil dari sungai-sungai [produksi yang diambil dari perairan alami] dan menetapkan petugas pemungut pajak untuk itu.

[15] Memberikan izin untuk berdagang kepada para pedagang dari sebuah negara yang belum ada perjanjian damai dengan umat Muslim untuk datang ke dalam negeri.

[16] Mendirikan sistem penjara-penjara.

[17] Penggunaan cambuk.

[18] Melakukan patroli pada malam hari untuk mengetahui keadaan rakyat.

[19] Mendirikan departemen kepolisian.

[20] Mendirikan banyak pangkalan militer.

[21] Menetapkan pengkategorian antara ras kuda asli dan persilangan yang belum ada di Arab hingga saat itu.

[22] Memulai sistem pelaporan dari para informan [penugasan informan atau mata-mata untuk menyerap berbagai informasi terbaru dan akurat di berbagai bidang dan daerah].

[23] Membangun tempat-tempat peristirahatan bagi para Musafir dari Makkah Mukaromah hingga Madinah Munawaroh.

[24] Menetapkan tunjangan harian untuk pemeliharaan anak-anak yatim dan terlantar.

[25] Membangun tempat penginapan bagi para tamu di berbagai kota.

[26] Menetapkan peraturan bahwa orang Arab tidak bisa dijadikan budak sekalipun ia kafir.

[27] Menetapkan tunjangan harian bagi orang-orang Kristen dan Yahudi yang mengalami kesulitan ekonomi.[30]

[28] Mendirikan Makaatib (kantor-kantor).

[29] Menetapkan guru dan pengajar serta menetapkan gaji mereka.

[30] Meyakinkan Hadhrat Abu Bakr (ra) untuk menghimpun Al-Qur’an dan menyelesaikan pekerjaan itu di bawah pengawasannya.

[31] Merumuskan prinsip qiyas (ketentuan-ketentuan hukum yang diambil secara deduksi dari Al-Qur’an dan/atau Sunnah dengan penalaran analogi).

[32] Mendirikan sistem ‘aul dalam pembagian warisan, yakni [dengan sistem tertentu] tetap menyertakan beberapa orang tertentu sebagai ahli waris untuk mendapatkan bagian warisan.[31]

[33] Melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah.

[34] Menetapkan pemberian tiga Thalaq yang diberikan dalam satu waktu sebagai thalaq ba’in [berpisah sepenuhnya dan tidak bisa rujuk lagi]. Beliau melakukan ini sebagai bentuk hukuman [kepada laki-laki yang menjatuhkan Thalaq tiga kali sekaligus padahal Islam mengajarkan Thalaq tidak sekaligus tiga].

[35] Menetapkan hukuman bagi pemabuk dengan delapan puluh cambukan.

[36] Menetapkan zakat atas kuda-kuda yang diperdagangkan.[32]

[37] Menetapkan zakat atas orang-orang Kristen Bani Taghlib sebagai ganti jizyah.[33]

[38] Menemukan sistem waqf (untuk harta).

[39] Membawa pencapai kebulatan pendapat (ijma’) dari semua orang tentang jumlah takbir dalam shalat jenazah. Pada umumnya cara yang disunnahkan adalah terdiri dari 3 takbir [setelah takbiratul ihram], atau bersama takbir pertama hingga takbir terakhir ada empat. Artinya, ada empat takbir sebelum salam. Satu, dua, tiga, empat, jadi empat, kan? Sekarang pun inilah yang dilakukan.

[40] Menetapkan petunjuk terkait metode penyampaian ceramah dan diskusi di Masjid-Masjid. Tamim Ad-Dari (ra) menyampaikan ceramah dengan seizin beliau. Inilah ceramah pertama dalam jenis itu dalam Islam.[34]

[41] Menetapkan gaji bagi para Imam dan Muadzin.

[42] Menyediakan sarana penerangan di masjid-masjid pada malam hari.

[43] Menetapkan hukuman untuk tulisan satir atau sindiran bersifat ejekan.

[ke-44] Melarang penyebutan nama-nama wanita dalam lirik-lirik syair ghazal (puisi romantis rayuan), meskipun adat kebiasaan ini sudah sangat tua di Arab.”

‘Alamah Syibli menulis, “Selain itu, masih banyak lagi prakarsa-prakarsa lainnya yang dikarenakan khawatir terlalu panjang kami tidak menuliskannya.”[35]

Bagaimanapun, riwayat ini masih terus berlanjut. Insya Allah akan disampaikan pada kesempatan mendatang. Sekarang saya juga ingin menyampaikan riwayat beberapa Almarhum dan setelah shalat Jumat insya Allah saya akan memimpin shalat jenazah.

Jenazah yang pertama, yang terhormat Bapak Suripto Hadi Siswoyo dari Indonesia, yang wafat pada bulan lalu di usia 79 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Almarhum baiat pada usia 21 tahun dan teguh dalam keimanan beliau. Almarhum meninggalkan istri dan 8 anak. Seorang putra beliau berkhidmat sebagai Mubaligh. Almarhum beberapa kali berkhidmat sebagai Ketua Jemaat. Beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Qaadhi di Daarul Qadhaa Indonesia. Beliau sangat hobi bertabligh. Beliau seorang Da’i Ilallah yang aktif. Dalam keadaan bagaimanapun semangat tabligh beliau tidak pernah padam.

Putra beliau, Irwan Habibullah yang adalah seorang Mubaligh menuturkan, “Terkadang beliau meninggalkan sepeda motor di rumah seseorang lalu berjalan kaki puluhan kilometer untuk bertabligh. Beliau harus menyeberangi sungai-sungai dan bebatuan untuk pergi ke kampung lain. Beliau menempuh perjalanan yang sangat sulit. Ayahanda adalah sosok yang rajin dan pekerja keras. Ketika ayahanda bekerja sebagai guru, beliau memohon kepada Kepala Sekolah supaya beliau diberikan jadwal mengajar empat hari, yakni jam-jam mengajar beliau di sekolah diselesaikan dalam empat hari dan libur pada hari lainnya sehingga mendapatkan waktu untuk bertabligh. Pada hari kamis, setelah selesai dari sekolah beliau langsung pergi bertabligh dan baru pulang pada minggu sore, bahkan terkadang pulang pada senin pagi.

Basyarat Ahmad Sahib, Mubaligh Jemaat menulis, “Sepuluh Jemaat di wilayah Wonosobo, Jawa Tengah berdiri dengan perantaraan beliau. Dalam setiap keadaan beliau memberikan perhatian yang khas terhadap shalat Tahajjud. Beliau bersikap penuh hormat dan lemah lembut kepada orang-orang dari setiap kalangan. Suatu kali beliau mengatakan, “Saya berkeinginan untuk terus sibuk dalam petablighan hingga akhir hayat saya. Di dalamnya lah terletak kunci kebahagiaan dan kesehatan saya.

Ahmad Hidayat Sahib, Mubaligh Jemaat menulis, “Almarhum adalah seorang Da’i Ilallah yang pemberani. Ketika mendapatkan makian dari pihak para penentang, beliau tidak pernah merasa takut dan menghadapinya dengan berani. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan kasih sayang-Nya dan meninggikan derajat Almarhum.

Jenazah selanjutnya, Choudry Bashir Ahmad Bhatti Sahib putra Allah Dad Sahib Guru dari daerah Nankana Sahib, yang wafat pada bulan lalu di usia 95 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Putra beliau, Muhammad Afzal Bhatti Sahib adalah Mubaligh Jemaat Tanzania. Beliau menuturkan, “Almarhum adalah Ahmadi keturunan, disiplin dalam shalat dan puasa, mencintai keadilan dan berbicara lugas, sangat mencintai Khilafat, sejak masih kecil telah biasa pergi ke Jalsah Qadian. Orang-orang di kampung sangat takut kepada para dukun, ini adalah hal yang umum di negeri kita. beliau mengatakan kepada orang-orang itu, ‘Janganlah takut kepada mereka, orang-orang ini tidak bisa mendatangkan kerugian kepada Anda tanpa kehendak Allah Ta’ala.’ Tetapi orang-orang kampung mengatakan kepada beliau bahwa, ‘Anda adalah Ahmadi, Anda tidak percaya dengan hal-hal semacam ini, oleh karena itu hal ini tidak mencelakakan Anda, tapi kami sangat takut.’”

Pada 1953 ketika mulai terjadi kerusuhan, para penentang Ahmadiyah melakukan pawai di daerah itu. Mereka membuat rencana untuk membakar rumah para Ahmadi. Ada beberapa tokoh masyarakat dari kampung sebelah yang sangat berpengaruh di kampungnya dan masih kerabat beliau, namun bukan Ahmadi. Beberapa orang datang kepada mereka dan mengatakan, “Sampaikan kepada kerabat Anda yang tinggal di pemukiman Ahmadi supaya pergi dari sana, karena kami berencana untuk melakukan pembakaran di sana, atau keluarlah dari Ahmadiyah, jika tidak akibatnya akan buruk.”

Ketika kerabat-kerabat beliau menasihati beliau, “Keluarlah dari Ahmadiyah untuk sementara, dan ketika demo telah selesai, kembalilah kepada agamamu.” Maka beliau mengatakan, “Anda jangan khawatir, kami menerima Ahmadiyah setelah sebelumnya merenungkan dan memahami sepenuhnya, kami tidak akan mengalami kerugian. Kami bisa saja menjadi korban demi Ahmadiyah, namun semenit pun kami tidak sanggup untuk meninggalkan keimanan kami.” Singkatnya, beliau mengatakan, “Jika kalian tidak bisa melakukan apa pun, maka janganlah lakukan apa-apa. Kami bertawakkal kepada Allah Ta’ala.” Namun kemudian bagaimana Allah Ta’ala telah mengatur ketika pawai tersebut sampai pada jarak tertentu, bubar begitu saja dengan sendirinya dan mereka tidak berani datang ke pemukiman beliau.

Beliau meninggalkan dua putri dan lima putra. Seorang putra beliau, yang terhormat Afzal Bhatti Sahib, Mubaligh Jemaat Tanzania, beliau mendapatkan taufik berkhidmat di sana. Dikarenakan sedang berada di lapangan pengkhidmatan beliau tidak bisa ikut serta dalam pengurusan jenazah dan pemakaman. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat Almarhum dan juga memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau dan putra beliau yang tidak bisa ikut serta, semoga diberikan ketabahan dan kesabaran.

Jenazah selanjutnya, Hamidullah Khadim Malhi Sahib ibn Choudry Allah Rakha Malhi Sahib dari Darun Nashr Garbii, Rabwah. Beliau wafat pada usia 82 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah cucu dari Choudry Allah Bakhs Sahib, sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan putra dari Nasrullah Malhi Sahib Syahiid, Mubaligh Jemaat. Almarhum disiplin dalam shalat dan puasa, sosok yang sederhana, baik hati, bersimpati kepada orang-orang miskin, seorang Ahmadi yang tulus ikhlas dan berjiwa pengorbanan. Semasa bekerja beliau menghadapi penentangan dengan berani. Salah satu putra beliau adalah Waaqif Zindegi yang berkhidmat di Tahir Heart, Rabwah. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan kasih sayang-Nya.

Jenazah selanjutnya, Muhammad Ali Khan Sahib dari Peshawar yang merupakan putra Sharifullah Khan Sahib, wafat pada usia 89 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Mushi dengan besaran 1/8. Beliau meninggalkan tiga orang putri dan tujuh orang putra.

Seorang putri beliau, Salimah Sahibah yang merupakan istri Burhan Sahib yang tinggal di sini, di Islamabad menulis, “Sebelumnya keluarga beliau dari kalangan ghair Mubayyi’ (yang tidak baiat, sebutan untuk kalangan Lahore). Kemudian pada 1954 beliau baiat di tangan Khalifah Tsani (ra) dan hingga akhir hayatnya tetap menjalin ikatan dengan Jemaat dan Khilafat, serta memperlihatkan ghairat keagamaan dan jalinan yang kuat dengan Jemaat.

Setelah itu beliau mendapatkan taufik untuk mengkhidmati Jemaat sebagai Qaid Daerah Khuddamul Ahmadiyah, Sekretaris Wasiyat, Sekretaris Ta’limul Qur’an, dan lain-lain. Beliau biasa menelaah buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan sangat mendalam. Beliau sangat mencintai Al-Qur’an. Saya selalu melihat beliau menilawatkan Al-Qur’an. Beliau banyak hafal ayat Al-Qur’an, rajin berdoa, ramah terhadap tamu, seorang yang jujur dan apa adanya. Beliau banyak membaca shalawat dan membantu orang lain secara finansial.

Seorang kerabat beliau yang ghair Ahmadi mengatakan kepada beliau, ‘Jika Anda meninggalkan Ahmadiyah, maka kami siap berkorban untuk Anda.’

Ayah saya menjawab kepada mereka, ‘Saya tidak membutuhkan pengorbanan kalian, saya sendiri telah berkorban. Sekarang dengarkanlah perkataan saya, berimanlah kepada Masih Mau’ud (as). Dia yang akan datang itu kini telah datang dan perbaikilah kehidupan kalian.’ Namun mereka tidak mengindahkan. Perlahan-lahan semua kerabat itu pergi meninggalkan beliau, namun beliau dari hari ke hari terus meningkat dalam jalinan dengan Ahmadiyat.”

Semoga Allah Ta’ala memperlakukan beliau dengan maghfiroh dan kasih sayang dan meninggikan derajat beliau.

Jenazah selanjutnya, Sahibzada Latif Mahdi Sahib, dari Maryland, Amerika yang wafat pada suai 87 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Dengan karunia Allah Ta’ala AlmarhumSahibzada Mahdi Latif Sahib adalah seorang Mushi. Beliau menelaah buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan sangat luas dan melaksanakan shalat lima waktu serta tahajjud dengan dawam. Seorang yang sangat mencintai Khilafat Ahmadiyah. Beliau sosok rendah hati dan bersahaja. Beliau sangat hobi bertabligh dan senantiasa menasihatkan kepada orang lain untuk bertabligh. Semoga Allah Ta’ala memperlakukan beliau dengan maghfiroh dan kasih sayang serta meninggikan derajat beliau.

Jenazah selanjutnya, Faizan Ahmad Samir putra dari Shahzad Akbar Sahib, seorang karyawan di kantor Private Secretary Rabwah. Beliau wafat pada usia 19 tahun karena covid. Beliau seorang anak yang sangat cerdas, tidak banyak bicara, baik hati dan saleh. Beliau tergabung dalam Waqaf-e-Nou. Beliau sangat menaruh perhatian pada belajar dan sangat jarang ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang tidak penting bahkan untuk bermain sekalipun. Beliau seorang anak yang serius. Selain sekolah, sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kesabaran kepada kedua orang tua Almarhum. Kakek beliau pun telah sangat lama berkhidmat untuk Jemaat. Yakni Khawajah Abdush Shakur Sahib. Semoga Allah Ta’ala memperlakukan beliau dengan maghfiroh dan kasih sayang dan meninggikan derajat beliau.[36]

 Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)


[1] Al-Faruq, Shibli Naumani, pp. 195 to 198, Idaara Islamiyyat, Karachi, 2004

[2] Al-Farooq, Shibli Naumani, pp. 199 to 200, Idaara Islamiyyat, Karachi, 2004.

[3] Ahmadiyyat Yani Haqiqi Islam, Anwar-ul-Ulum, Vol. 8, p. 300.

[4] Khitab Jalsa Salana 17 March 1919, Anwar-ul-Ulum, Vol. 4, p. 404.

[5] Hal ini diceritakan oleh Imam al Mawardi dalam kitab al Ahkam al Sultaniyah juga oleh Imam as-Suyuthi dalam kitab Tarikh al–Khulafa. Juga dalam Mukaddimah Ibnu Khaldun, oleh Muhammad bin Khaldun, Al-Allamah Abdurrahman. Menurut Kitab ini pengusul pembentukan Diwan ialah Khalid bin Walid. Petugas diwan yang kali pertama diangkat Umar adalah Uqail bin Abu Thalib, Makhramah bin Naufal dan Jubair bin Muth’im. Diwan sendiri berasal dari bahasa Persia (Farsi) yang lebih kurang artinya Departemen (Lembaga) atau Sekretariat. Para Pencatat menulis jumlah pemasukan uang, daftar nama-nama tertentu, apakah sudah menerima bagian tunjangan atau belum. Dua versi asal-usul kata Diwan: Pertama,  suatu ketika Kisra (gelar bagi penguasa Persia) menjumpai para sekretarisnya sedang menghitung gaji mereka sendiri. Maka Kisra lantas berseru, “Diwanah (orang-orang gila).” Setelah sering digunakan maka huruf ha’ dihapus dan dilafalkan dengan diwan. Versi kedua, dalam bahas Persia diwan adalah nama dari setan. Ini disematkan kepada para juru tulis dan juru hitung dari lembaga tersebut, karena mereka sangat teliti dalam membaca sesuatu laporan yang tersirat maupun tersurat. Dan mereka mampu mengumpulkan laporan rumit yang tercerai berai.

Terkait:   Meraih Tujuan Hakiki Pembangunan sebuah Masjid

[6] Al-Farooq, Shibli Naumani, pp. 203- 205, Idaara Islamiyyat, Karachi, 2004. Kisah Hidup Umar ibn Khattab oleh Mustafa Murrad. Sebelumnya Umar memerintahkan Ruzbih seorang arsitek Majusi kenamaan bangsa Persia/Iran untuk mendesain dan membangun bangunan pusat perbendaharaan di Madinah dan beberapa pusat kota taklukan yang kelak dikenal dengan bait al mal. Namun setelah terjadi pencurian di kantor tersebut, Ruzbih diperintahkan Umar untuk mengggandengkan bangunan tersebut dengan masjid dengan alasan keamanan. Gedung itu pun akhirnya dijaga oleh sepasukan tentara. Ketika Sa’d bin Abi Waqash mengajak Ruzbih menghadap Umar dan melihat kinerjanya yang baik, khalifah menghadiahinya gaji seumur hidup.

[7] Kitab Ma’rifatus Sunan wal Aatsar karya al-Baihaqi (معرفة السنن والآثار – البيهقي – ج ٤ – الصفحة ٥٢٧), bab demam (باب الحمى). Abu Bakar Ahmad bin Al Husain bin Ali bin Musa Al Khurasani yang sangat terkenal dengan sebutan Al Baihaqi rahimahullah. Baihaq adalah sejumlah perkampungan yang secara geografis masuk wilayah Naisabur di Iran. Beliau terlahir pada bulan Sya’ban tahun 384 H yang bertepatan dengan tahun 994 Masehi. Kitab ini memaparkan berbagai hukum Islam dengan berasaskan Al Kitab dan As Sunnah. Di dalamnya terdapat deskripsi pendapat para ulama beserta dengan tarjih beliau terhadap berbagai bab.

Kitab al-Umm karya Imam asy-Syafi’i (كتاب الأم للشافعي), bahasan ihyail mawaat (إحياء الموات), bahasan demam (من قال لا حمى إلا حمى من الأرض الموات وما يملك به الأرض وما لا يملك وكيف يكون الحمى)

[8] Usdul Ghaba Fi Marifat Al-Sahaba, Vol. 3, p. 667, Dar-ul-Fikr Beirut Lebanon, 2003; Umdahtul Qari Sharah Sahih Bukhari, Vol. 16, p. 279, Dar-e-Ihya Al-Turath Alarabi, Beirut.

[9] Tafsir-e-Kabir Vol. 8, pp. 314-315.

[10] Izaalatul-Khulafa An Khilafat Al-Khualafa, by Shah Walliullah Muhaddis Dehlvi, translated by Istiaq Ahmad Sahib, Vol. 3, p. 286, Qadeemi Kutub Khana Araam Baagh Karachi.

[11] Maulana Shibli Nomani dalam buku Al-Farooq. Jika kanal Farma dibangun, orang-orang Yunani yang lebih berpengalaman dan tangguh dalam pelayaran akan berdatangan dan melewati terusan tersebut.

[12] Al-Farooq, Shibli Naumani, pp. 206- 211, Idaara Islamiyyat, Karachi, 2004.

[13] Sirat Amir-ul-Momineen, Salabi, pp. 214-217, 221, Dar-ul-Marifah, Beirut, 2007.

[14] Al-Farooq, Shibli Naumani, pp. 216- 218, Idaara Islamiyyat, Karachi, 2004; Sirat Al-Sahaba, Vol. 1, pp. 126-127, Muin-ul-Din Nadvi, Dar-ul-Isha‘at Karachi, Pakistan, 2004; Lisan-ul-Arab, under “D-b-b”.

[15] Pembahasan tentang Ibnu Atsal tercantum dalam Tarikh Ya’qubi (تاريخ اليعقوبي: 2/223). Tercantum juga dalam Tarikh al-Kamil karya Ibnu al-Atsir. Di Indonesia disebut dalam buku WAJAH POLITIK MUAWIYAH BIN ABU SUFYAN: MENGURAI SEJARAH KONFLIK SUNNI-SYIAH oleh HEPI ANDI BASTONI, cetakan 1, Pustaka al-Bustan, Bogor, 2012. Ibnu Atsal adalah seorang Tabib (dokter), ahli kimia dan ahli masalah racun. Ia mendapat jabatan sebagai petugas keuangan pengumpulan pajak kota Homs. Ia loyalis (pendukung fanatik) Mu’awiyah yang meracuni ‘Abdurrahman bin Khalid bin Walid hingga wafat yang saat itu disenangi warga Damaskus dan namanya bisa mengalahkan nama Mu’awiyah dan Yazid, putranya. Nama Ibnu Atsal disebut juga dalam Uyūn ul-Anbāʾ fī Thabaqāt al-Aṭibbā (عيون الأنباء طبقات الأطباء ) atau The Best Accounts of the Classes of Physicians karya Ibn Abī Uṣaybiʿah. Ibn Abi Uṣaybiʿa Muʾaffaq al-Dīn Abū al-ʿAbbās Aḥmad Ibn Al-Qāsim Ibn Khalīfa al-Khazrajī ( Arab : ابن أصيبعة ; 1203-1270), adalah seorang dokter Arab dari Suriah pada tahun abad ke-13 M. Ia menyusun ensiklopedia biografi para dokter terkemuka, dari Yunani, Romawi, dan India hingga tahun 650 AH/1252 M di era Islam. Judul Uyūn ul-Anbāʾ fī Thabaqāt al-Aṭibbā, dapat diterjemahkan secara longgar dan luas sebagai “Sumber Berita tentang kalangan-kalangan Dokter”, biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai History of Physicians, Lives of the Physicians, Classes of Physicians, atau Biographical Encyclopedia of Physicians). Buku ini dibuka dengan ringkasan dokter dari Yunani kuno, Suriah, India dan Roma, tetapi fokus utama 700 halaman buku ini adalah dokter Islam abad pertengahan. Mu’awiyah juga punya orang dekat lain yang bernama Sarjun (Sergius) yang Kristen Romawi. Ia dipilih mengurusi perpajakan karena data-data keuangan negeri Syam masih banyak yang berbahasa Romawi (Latin) mengingat daerah itu lebih dari 500 tahun di bawah budaya dan bangsa Romawi. Ensiklopedi Sejarah Islam, oleh Tim Riset dan Studi Islam Mesir, terjemahan dan terbitan Indonesia oleh Pustaka Al-Kautsar, cetakan ke-4, 2020.

[16] Tafsir-e-Kabir, Vol. 6, p. 534; Tarikh Al-Tabari, Vol. 2, p. 504, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah Beirut, 1987: فكتب ابو موسى الى عمر في ذلك، فكتب اليه عمر: ان الحقهم على قدر البلاء في افضل العطاء و اكثر شيء اخذه احد من العرب ففرض لمائه منهم في الفين الفين، و لستة منهم في الفين، و خمسمائة لسياه و خسرو- و لقبه مقلاص- و شهريار، و شهرويه، و افروذين فقال الشاعر: و لما راى الفاروق حسن بلائهم* * * و كان بما ياتى من الأمر أبصرا فسن لهم الفين فرضا و قد راى* * * ثلاثمئين فرض عك و حميرا. Tarikh Al-Tabari terjemahan bahasa Persia (تاريخ طبري/ ترجمه، ج‌5، ص: 1907) juga menyebutkan hal yang sama: دو هزار و پانصد داد كه سياه بود و خسرو كه مقلاص لقب داشت و شهريار و شهرويه و شيرويه و افروذين .

[17] Islam Ka Iqtasadi Nizam, Anwar-ul-Ulum, Vol. 18, p. 53.

[18] Tafsir-e-Kabir, Vol. 10, p. 307.

[19] Al-Farooq, Shibli Naumani, p. 233, Idaara Islamiyyat, Karachi, 2004.

[20] Al-Farooq, Shibli Naumani, p. 233, Idaara Islamiyyat, Karachi, 2004.

[21] Fathul Bari syarh Shahih al-Bukhari (كتاب فتح الباري) karya Ibnu Hajar (ابن حجر العسقلاني), juz 7 (جزء 7), bab tanggal (قوله باب التاريخ).

[22] Fathul Bari syarh Shahih al-Bukhari (كتاب فتح الباري) karya Ibnu Hajar (ابن حجر العسقلاني), juz 7 (جزء 7), bab tanggal (قوله باب التاريخ).

[23] Muhammad ibn Yusuf Shalih asy-Syami (محمد بن يوسف الصالحي الشامي) dalam karyanya Subulul Huda war rasyaad fi siirati khairil ‘ibad (سبل الهدى والرشاد في سيرة خير العباد), kumpulan bab peristiwa-peristiwa yang terjadi di Madinah setelah Hijrah (جماع أبواب بعض الحوادث الكائنة بالمدينة الشريفة في سني الهجرة غير ما تقدم), bab permulaann penanggalan Islami (باب مبدأ التاريخ الإسلامي وأسقطت ذكر بقية الأبواب لكثرتها)

[24] Fathul Bari, Ibn Hajar, pp. 314-315, Hadith 3934, Dar-ul-Riyan Al-Turath, Cairo, 1986; Subul Al-Huda Wa Al-Rasyad, Vol. 12, pp. 36-37, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah Beirut, 1993): كَانَتِ الْقَضَايَا الَّتِي اتُّفِقَتْ لَهُ وَيُمْكِنُ أَنْ يُؤَرَّخَ بِهَا أَرْبَعَةً مَوْلِدُهُ وَمَبْعَثُهُ وَهِجْرَتُهُ وَوَفَاتُهُ فَرَجَحَ عِنْدَهُمْ جَعْلُهَا مِنَ الْهِجْرَةِ لِأَنَّ الْمَوْلِدَ وَالْمَبْعَثَ لَا يَخْلُو وَاحِدٌ مِنْهُمَا مِنَ النِّزَاعِ فِي تَعْيِينِ السَّنَةِ وَأَمَّا وَقْتُ الْوَفَاةِ فَأَعْرَضُوا عَنْهُ لِمَا تُوُقِّعَ بِذِكْرِهِ مِنَ الْأَسَفِ عَلَيْهِ فَانْحَصَرَ فِي الْهِجْرَةِ وَإِنَّمَا أَخَّرُوهُ مِنْ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ إِلَى الْمُحَرَّمِ لِأَنَّ ابْتِدَاءَ الْعَزْمِ عَلَى الْهِجْرَةِ كَانَ فِي الْمُحَرَّمِ إِذِ الْبَيْعَةُ وَقَعَتْ فِي أَثْنَاءِ ذِي الْحِجَّةِ وَهِيَ مُقَدِّمَةُ الْهِجْرَةِ فَكَانَ أَوَّلُ هِلَالٍ اسْتَهَلَّ بَعْدَ الْبَيْعَةِ وَالْعَزْمِ عَلَى الْهِجْرَةِ هِلَالُ الْمُحَرَّمِ فَنَاسَبَ أَنْ يُجْعَلَ مُبْتَدَأً .

[25] Sirat Khatam Al-Nabiyeen, p. 23; Sharah Al-Zarqani, Vol. 2, p. 102, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut 2012; Al-Farooq, Shibli Naumani, p. 248, Idaara Islamiyyat, Karachi, 2004.

[26] Fathul Bari, Ibn Hajar, Vol. 7, p. 315, Hadith 3934, Dar-ul-Riyan Al-Turath, Cairo, 1986; Al-Kaafi Fi Al-Tarikh, Ibn Athir, Vol. 1, p. 13, Dar-ul-Kitab al-Arabi, Beirut, 2012; Al-Farooq, Shibli Naumani, p. 248, Idaara Islamiyyat, Karachi, 2004.

[27] Umat Islam setelah Nabi Muhammad (saw) mengalami 30 tahun zaman Khilafat Rasyidah dan setelahnya ialah Raja-Raja Banu Umayyah (Amir Muawiyah – sekitar 20 tahun, Yazid – sekitar 3 tahun, Muawiyah ibn Yazid – beberapa bulan, Marwan ibn Hakam – setahun, Abdul Malik ibn Marwan (berkuasa pada 685-705)) dan raja-raja seterusnya Banu Abbasiyah, Fathimiyyah dan seterusnya.

[28] Al-Farooq, Shibli Naumani, p. 250, Idaara Islamiyaat, Karachi, 2004; Justujoo-e-Madinah, p. 310, Abdul Hamid Qadri, Oriental Publications Pakistan.

[29] Kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf (murid Abu Hanifah): وحَدَّثَنَا عاصم بن سليمان عن الحسن قَالَ: كتب أبو موسى الأشعري إلى عمر بن الخطاب “إن تجارا من قبلنا من المسلمين يأتون أرض الحرب فيأخذون منهم العشر” قَالَ:فكتب إليه عمر: “خذ أنت منهم كما يأخذون من تجار المسلمين ، وخذ من أهل الذمة نصف العشر ، ومن المسلمين من كل أربعين درهما درهما ، وليس فيما دون المائتين شيء ، فإذا كان مائتين ففيها خمسة دراهم ، وما زاد فبحسابه . Dalam bahasa Arab 1/10 = ‘usyr. ‘Usyr kalau di zaman sekarang semacam pajak perdagangan atau bea impor.

[30] Keuangan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah oleh Nurul Huda, dkk

[31] Al-‘Aul berarti bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris. Apabila harta pewaris tidak habis dibagi (kelebihan) atau terdapat kekurangan dalam pembagian, maka masalah tersebut dipecahkan dengan cara aul dan rad. Aul untuk penyelesaian kekurangan dalam pembagian harta warisan pewaris, sedangkan rad merupakan metode untuk menyelesaikan kelebihan dalam pembagian harta pewaris. Satu contoh, seorang wanita wafat meninggalkan suami, dua orang saudara perempuan seibu seayah dan dua orang saudara laki-laki seibu. Dalam kasus itu, bagian suami menurut ketentuan ayat al-Qur’an (Suran an-Nisa, 4: 12, 13 dan 177) ialah 1/2, dua orang saudara perempuan seibu seayah 2/3 dan dua orang saudara laki-laki seibu 1/3. Bila menetapkan bilangan pembagi ialah enam maka menjadi 3/6, 4/6 dan 2/6 yang mana mustahil terbagi. Solusinya ialah menetapkan bilangan pembagi 9 sehingga menjadi 3/9, 4/9 dan 2/9 yang berakibat semua ahli waris terkurangi bagiannya. Secara eksplisit Al-Qur’an tidak menyebut soal solusi kasus pembagian waris dengan sistem ‘Aul. Di masa Nabi (saw) dan Khalifah Abu Bakr (ra) juga tidak pernah terjadi pengaduan kasus pembagian warisan yang macet hingga memunculkan solusi ijtihad Aul sebagaimana dihadapi oleh Khalifah ‘Umar (ra). Solusi dari beliau dengan sistem Aul bukanlah pemikiran beliau sendiri melainkan hasil permusyawaratan dengan para Sahabat yang secara ijma’ disetujui. Diantara tokoh pengusul ialah Zaid bin Tsabit. Rujukan: media.isnet.org

[32] Kuda-kuda pada zaman Nabi (saw) dan Khalifah pertama – cenderung sedikit dan hanya dipakai sebagai hewan tunggangan dalam peperangan – tidak dipungut zakatnya. Terjadi perubahan situasi di zaman Khalifah ‘Umar (ra) dimana kuda-kuda sudah banyak yang diternakkan sehingga statusnya sebagai hewan-hewan ternak membuatnya harus dipungut zakatnya. Khalifah ‘Umar (ra) membuat kebijakan ini bukan hasil pemikiran sendiri, melainkan atas usul Abu Ubaidah al-Jarrah.

[33] Al-Mughni (المغني), Kitab tentang Jizyah (كتاب الجزية), Perihal Jizyah dari kaum Kristen Bani Taghlib (مسألة الجزية من نصارى بني تغلب): (7669 ) مسألة ; قال : ولا تؤخذ الجزية من نصارى بني تغلب ، وتؤخذ الزكاة من أموالهم ومواشيهم وثمرهم ، مثلي ما يؤخذ من المسلمين بنو تغلب بن وائل ، من العرب ، من ربيعة بن نزار ، انتقلوا في الجاهلية إلى النصرانية ، فدعاهم عمر إلى بذل الجزية ، فأبوا ، وأنفوا ، وقالوا : نحن عرب ، خذ منا كما يأخذ بعضكم من بعض باسم الصدقة . فقال عمر : لا آخذ من [ ص: 275 ] مشرك صدقة . فلحق بعضهم بالروم ، فقال النعمان بن زرعة : يا أمير المؤمنين ، إن القوم لهم بأس وشدة ، وهم عرب يأنفون من الجزية ، فلا تعن عليك عدوك بهم ، وخذ منهم الجزية باسم الصدقة . فبعث عمر في طلبهم ، فردهم ، وضعف عليهم من الإبل من كل خمس شاتين ، ومن كل ثلاثين بقرة تبيعين ، ومن كل عشرين دينارا دينارا ، ومن كل مائتي درهم عشرة دراهم ، وفيما سقت السماء الخمس ، وفيما سقي بنضح أو غرب أو دولاب العشر . فاستقر ذلك من قول عمر ، ولم يخالفه أحد من الصحابة ، فصار إجماعا . Buku berjudul Praktik Ekonomi dan Keuangan Syariah oleh Kerajaan Islam di Indonesia oleh Solikin M. Juhro halaman 124. Pengantar Politik Islam karya Syaikh Dr. Yusuf Qaradhawi halaman 192-193 mengutip dari Imam Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwaal (harta benda) bahwa setelah Banu Taghlib, sebuah kabilah Kristen ditaklukkan terjadi perjanjian antara mereka dengan Khalifah ‘Umar (ra) untuk damai dan tidak bekerjasama dengan musuh. Diantara syarat lainnya ialah (1) perlindungan jiwa sebagai timbal balik atas pemberian sebagian harta mereka; (2) penghapusan hukuman mati di kalangan mereka; (3) tidak menjadikan pemberian harta dari pihak mereka kepada pemerintah Islam dengan sebutan jizyah (pajak tanda tunduk atau takluk tapi dapat jaminan keamanan dan perlindungan hak) tetapi sebagai sedekah (zakat) yang berlipat ganda. Kaum Bani Taghlib adalah kaum yang pengalaman berperang dan dekat dengan bangsa Romawi. Mereka mempunyai gengsi tinggi sehingga daripada membayar pemberian harta kepada kaum Muslimin dengan sebutan jizyah meski jauh lebih sedikit, mereka lebih suka disebut membayar zakat atau sedekah dengan jumlah lebih banyak bahkan berlipatganda.

[34] Tercantum dalam Faidhul Qadir syarh al-Jami’ish Shaghir karya al-Munawi (فيض القدير شرح الجامع الصغير – المناوي – ج ١ – الصفحة ١٠٤): روي أن يزيد ابن هارون مات وكان واعظا زاهدا فقيل له ما فعل الله بك ؟ قال : غفر لي وأول ما قال لي منكر ونكير من ربك قلت لهما أما تستحيان من شيخ دعى إلى الله كذا وكذا سنة ! ! قالوا وأول من قص تميم الداري في زمن عمر بإذنه وهذه الأولية بالنسبة إلى الأمة المحمدية . Tercantum juga dalam Al-Ishabah, al-Isti’ab dan Usdul Ghabah (الإصابة : ج ١ص ١٨٩ الاستيعاب في هامش الإصابة; أُسد الغابة : ج ١ص٢١٥ وغيرها من المصادر); Kanzul ‘Ummal (كنز العمال : ج ١ص٢٨١ الرقم ٢٩٤٤٨), Bu’uts fil Milal wan Nihal (بحوث في الملل والنّحل – ج ١) karya Syaikh Ja’far as-Subhaani (الشيخ جعفر السبحاني). Tamim ad-Dari adalah seorang sahabat yang masuk Islam pasca perang Tabuk, yaitu tahun 9 H. Setelah dia menjadi mu’allaf, dia menggunakan nama Abdullah. Namun, tetap saja nama lawasnya yang lebih dikenal sampai saat ini. Tamim awalnya adalah seorang pendeta Nasrani di Bait Ainun, Jerussalem, Palestina. Dia tinggal di negeri ini sebelum masuk Islam dan bermukim di Madinah beberapa lama. Tamim senantiasa membaca kitab Taurat, oleh karena itu dia memiliki pengetahuan yang luas terkait berbagai hal di dalam kitab Taurat dan Injil. Ada tiga hal baru yang dimulai atas peranan Tamim yaitu sebagai berikut: (1) pembuatan mimbar dengan tiga tangga dan tempat duduk untuk khotbah jumat. Sebelumnya Nabi (saw) berpidato berdiri di dekat tempat batang pohon yang bila lelah beliau bersandar; (2) memulai menyalakan pelita di Masjid Nabawi yang mana dipuji Nabi (saw) atas kepeloporannya ini. Sebelumnya penerangan waktu malam ialah dengan bakaran kayu semacam api unggun; (3) Tamim berceramah di Masjid dalam corak bercerita di zaman Khalifah ‘Umar. Sebelumnya, berpidato atau berkhotbah di Masjid Nabawi biasanya dilakukan oleh Nabi (saw) dan Khalifah, bila di masjid-masjid lokal ialah Imam shalat yang biasanya adalah ketua suku atau Amir suatu kabilah atau Jamaah.

[35] Al-Farooq, Shibli Naumani, pp. 401 403, 212, Idaara Islamiyyat, Karachi, 1991

[36] Original Urdu transcript published in Al Fazl International, 27 July to 12 August 2021 [Jalsa Salana Number] pp. 5-10. Dalam metode penomoran ayat-ayat Al-Qur’an Karim, sesuai dengan standar penomoran ayat-ayat Al-Qur’an Karim yang digunakan oleh Jemaat Ahmadiyah, bismillahirrahmaanirrahiim sebagai ayat pertama terletak pada permulaan setiap Surah kecuali Surah at-Taubah. Sumber referensi : https://www.alislam.org/ (bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (Arab)

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.