Riwayat Umar bin Khattab (Seri 11)

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 121, Khulafa’ur Rasyidin Seri 03, Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu 11)

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 23 Juli 2021 (Wafa 1400 Hijriyah Syamsiyah/13 Dzulhijjah 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Saat ini masih membahas berkenaan peperangan yang terjadi pada zaman Hadhrat ‘Umar (ra). Pada hari ini pun saya akan melanjutkannya. Perang Buwaib yang terjadi pada 13 Hijriah, sedangkan sebagian sejarawan berpendapat bahwa perang tersebut terjadi pada 16 Hijriah.

Setelah mengalami kekalahan pada perang Jisr, Hadhrat al-Mutsanna melaporkan perihal perang kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda kepada kurir (pembawa dan penyampai pesan), “Kembalilah dan katakan kepada laskar Muslim untuk tetap di tempat dimana berada saat ini, bantuan akan segera datang.”[1]

Kekalahan pada perang Jisr telah membuat Hadhrat ‘Umar (ra) sangat menderita. Kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) mengutus para Khatib (orator, juru pidato) ke seluruh Arab untuk mengobarkan kembali semangat umat di seluruh Arab dengan pidatonya. Kemudian, kabilah-kabilah Arab mulai berdatangan dengan penuh antusias untuk bergabung dalam peperangan, bahkan kabilah-kabilah Kristen juga. (Tidak hanya kabilah Muslim yang ikut berperang di pihak Muslim, bahkan ada kabilah Kristen juga). Hadhrat ‘Umar (ra) selanjutnya memberangkatkan satu laskar pasukan Muslim ke Iraq. Begitu pun Hadhrat al-Mutsanna mengumpulkan pasukan dari daerah-daerah perbatasan Iraq.

Ketika Rustum (Jenderal Persia) mendapatkan kabar tersebut, ia memberangkatkan satu laskar pasukan bersama dengan Mihran untuk menghadapi pasukan Muslim.

Kedua pihak pasukan saling berhadap hadapan di Hirah, sebuah kota yang berjarak 3 mil dari Kufah, dimana tidak jauh dari kota tersebut terdapat sungai yang bernama Buwaib, yang terletak dekat dengan Kufah dan mengalir dari sungai Furat (Eufrat). Perang tersebut terjadi di bulan Ramadhan. Di dekat tempat tersebutlah di kemudian hari penduduk menempati kota Kufah.

Jenderal Iran, Mihraan berkata: Apakah kami yang harus menyeberangi sungai atau kalian?

Hadhrat al-Mutsanna berkata: kalianlah yang menyeberang, karena pada peperangan sebelumnya kamilah yang menyeberanginya.[2] (Kali ini Hadhrat al-Mutsanna menempuh cara yang bijak dengan meminta agar mereka yang menyeberangi sungai)

Hadhrat al-Mutsanna mengatur barisan pasukan lalu membagi dalam beberapa bagian dan menetapkan komandan yang berpengalaman untuk setiap grup. Kemudian beliau mengendarai kudanya yang terkenal bernama Syamusy (الشموس) untuk mengitari pasukan dan melakukan pengecekan. Beliau berhenti di setiap bendera untuk memberikan arahan. Sambil menyemangati pasukan, beliau bersabda, إني لأرجو ألا تؤتى العرب اليوم من قبلكم، والله ما يسرني اليوم لنفسي شيء إلا وهو يسرني لعامتكم “Aku harap pada hari ini bangsa Arab tidak tercoreng karena kalian. Demi Tuhan! Pada hari ini tidak ada yang aku sukai bagi diriku sendiri selain dari apa yang membuat kalian suka bagi diri kalian sendiri umumnya.” (yakni saya dan kalian sama)

Para pejuang Islam yang gagah berani menyambut seruan komandannya yang tercinta dengan ucapan labbaik yang penuh semangat. Bagaimana tidak, sebab dalam setiap ucapan dan perbuatannya, sang komandan selalu memperlakukan mereka dengan sangat adil, menemani pasukan dalam suka maupun duka sehingga tidak ada yang berani untuk mengangkat telunjuk atau suatu perkataannya.[3]

Hadhrat al-Mutsanna memberikan arahan kepada laskar, إِنِّي مُكَبِّرٌ ثَلَاثَ تَكْبِيرَاتٍ فَتَهَيَّئُوا، فَإِذَا كَبَّرْتُ الرَّابِعَةَ فَاحْمِلُوا “Aku akan mengucapkan tiga takbir, sementara kalian bersiagalah, seketika mendengar takbir yang keempat, gempurlah musuh.”[4]

Hadhrat al-Mutsanna lalu meneriakkan takbir yang pertama, kemudian pasukan Iran (Persia) segera maju menyerang pasukan Muslim. Atas hal itu, ada dari kalangan pasukan Muslim yang merespon terlalu cepat yakni setelah takbir pertama, beberapa orang dari kabilah Banu ‘Ijl keluar dari barisan lalu maju untuk menghadapi serangan. Dengan begitu timbul kekosongan dalam barisan.

Kemudian Hadhrat al-Mutsanna memberikan pesan kepada seseorang dan mengirimnya kepada mereka. Pesannya sebagai berikut, الْأَمِيرُ يَقْرَأُ عَلَيْكُمُ السَّلَامَ وَيَقُولُ لَكُمْ: لَا تَفْضَحُوا الْمُسْلِمِينَ الْيَوْمَ “Komandan laskar menyampaikan salam kepada kalian dan berkata, ‘Pada hari ini janganlah mencoreng nama baik umat Islam.’”[5] Setelah itu kabilah tersebut terkendali. Kemudian, setelah terjadi perang yang dahsyat, pasukan Iran pun diserbu.

Diriwayatkan bahwa korban yang tewas dari pihak pasukan Iran berjumlah 100 ribu. Jenderal laskar Iran pun terbunuh pada perang tersebut. Perang tersebut juga disebut dengan Yaumul aasyaar, karena pada perang tersebut 100 serdadu diantaranya adalah orang yang tangguh yang mana setiap orang dari mereka telah membunuh 100 orang.

Setelah terdesak, pasukan Iran bergerak menuju jembatan untuk menyebrangi sungai lalu menuju tempat yang aman, namun Hadhrat al-Mutsanna membawa pasukannya untuk mengejar lawan sehingga dapat mengepung mereka sebelum dapat menyebrangi jembatan. Jembatan dirobohkan sehingga menewaskan banyak sekali pasukan musuh. Setelahnya Hadhrat al-Mutsanna menyesali hal itu, mengatakan, “Kenapa saya mengejar pasukan lawan yang sudah terdesak, seharusnya saya tidak melakukannya, karena itu adalah kesalahan besar. Tidaklah pantas bagi saya untuk menggempur lawan yang sudah tidak berdaya untuk melawan, saya tidak akan pernah mengulanginya lagi.”

Selanjutnya beliau menasihati umat Muslim, “Kalian pun jangan pernah melakukan seperti apa yang telah saya lakukan ini.” Seperti itulah akhlak yang dimiliki oleh pasukan Muslim.

Dalam peperangan tersebut telah syahid juga beberapa orang ternama dari pihak Muslim, misalnya Khalid ibn Hilal dan Mas’ud ibn Haritsah.

Hadhrat al-Mutsanna telah mensyalatkan jenazah para syuhada dan bersabda, “Demi Tuhan! Yang telah meringankan kedukaan saya adalah fakta bahwa mereka ikut serta dalam peperangan ini dan telah memperlihatkan keberanian dan tetap teguh langkah. Mereka tidak diliputi kekhawatiran dan kegelisahan. Hal lain yang meringankan kesedihanku adalah mati syahid menjadi kaffaarat bagi dosa-dosa.”[6]

Dalam menjelaskan perihal perang ini, para sejarawan menceritakan satu peristiwa yang menggambarkan keberanian para wanita Muslim. Terdapat perkemahan para wanita dan anak-anak laskar pasukan Islam yang berada di daerah Kawadus yang terletak jauh dari medan perang. Setelah selesai perang, ketika satu pasukan Muslim mengendarai kuda lalu berhenti di depan perkemahan wanita, para wanita Muslim itu telah salah faham beranggapan bahwa mereka adalah pasukan musuh yang datang untuk menyerang mereka. Melihat itu para wanita itu dengan gesitnya segera mengelilingi anak-anak lalu mengambil batu dan bambu dan siap untuk bertempur. Setelah berada dekat dari pasukan itu, para wanita itu baru menyadari ternyata yang datang itu adalah pasukan Muslim.

Melihat hal itu, pemimpin kelompok pasukan, Amru ibn Abdul Masih spontan berkata, “Inilah keindahan para istri laskar pejuang Tuhan.”[7]

Perang Buwaib telah berakhir, namun di belakangnya meninggalkan tanda dan jejak yang dalam. Dalam misi Islam sebelumnya di Iran, umat Islam tidak pernah mengalami korban jiwa sebanyak itu. Dampak positif perang tersebut adalah pijakan kaki umat Islam semakin kokoh di daerah-daerah sekeliling Iraq. Setelah menguasai Sawad Iraq hingga ke Dajlah dan dengan peperangan yang ringan saja, pasukan Muslim dapat menaklukan daerah-daerah di sekelilingnya, yang mana sebelumnya ditinggalkan. Pasukan Iran menyelamatkan diri setelah terpukul mundur dengan tinggal sementara di ujung lain Dajlah. Setelah kemenangan tersebut umat Muslim menyebar di berbagai daerah di Iraq.[8]

Perang Qadisiyah yang terjadi pada 14 Hijriah. Qadisiyah adalah tempat di Iraq yang ada saat ini dan berjarak 45 mil dari Kufah. Pada zaman kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra), di tahun ke-14 Hijriah telah terjadi peperangan di daerah Qadisiyah antara pasukan Muslim dan pasukan Iran. Sebagai hasilnya, Iraq berada dibawah kekuasaan pasukan Muslim.

Ketika bangsa Persia mengetahui sepak terjang pasukan Muslim, mereka berkata kepada kedua pemimpin yakni Rustum dan Fairuzan, “Kalian, antara satu dengan yang lain, saling berselisih yang berakibat kalian telah melemahkan bangsa Persia dan memberikan semangat kepada musuh. Sekarang jika kita tetap demikian adanya, kekuasaan bangsa Persia akan hancur. Setelah kota Baghdad (بغداد), kota Sabath (ساباط) dan kota Tikrit (تكريت) jatuh ke tangan kaum Muslim, saat ini hanya tersisa kota Madain (ibukota). Jika kalian berdua tidak bersatu, kalian yang akan kami binasakan lebih dulu, kemudian kami sendiri akan binasa dan mendapatkan ketentraman.”[9] (Yakni kami sendiri yang akan berperang) Sabath terletak dekat Madain sekitar 30 mil, sedangkan Tikrit adalah kota terkenal yang terletak di antara Baghdad dan Mosul. Tikrit terletak 30 farsakh atau 90 mil dari Baghdad.

Kemudian, Rustum dan Fairuzan memecat [Ratu] Boran lalu mendudukkan Yazdegerd yang saat itu masih berusia 21 tahun diatas tahta [Raja]. Seluruh benteng pertahanan pasukan diperkuat.

Ketika Hadhrat al-Mutsanna melaporkan rencana-rencana bangsa Persia tersebut kepada Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Demi Tuhan! Aku akan menghadapi para pembesar bangsa asing ini dengan para pembesar Arab juga.”

Atas hal itu, beliau (ra) memerintahkan agar para pembesar, tokoh, penasihat terhormat dan penyair diberangkatkan untuk menghadapi mereka, begitu juga memerintahkan kepada Hadhrat al-Mutsanna, “Keluarlah dari daerah asing tersebut menuju daerah pantai yang berada di perbatasan kalian dan mereka.” Beliau juga memerintahkan kabilah Rabiah dan orang-orang Mudhar untuk ikut serta.[10]

Hadhrat ‘Umar (ra) mengutus para naqib ke berbagai empat penjuru Arab dan memerintahkan para pemimpin dan tokoh untuk berkumpul di Makkah.

Karena waktu ibadah haji sudah dekat, Hadhrat ‘Umar (ra) berangkat ke haji. Ketika haji, kabilah kabilah Arab berkumpul dari berbagai tempat. Sekembalinya beliau dari ibadah haji, saat itu tengah berkumpul satu laskar besar. Hadhrat ‘Umar (ra) sendiri memimpin laskar tersebut dan menetapkan Hadhrat Ali sebagai Amir di Madinah lalu berangkat, kemudian memasang kemah di Shirar. Shirar adalah sumber mata air yang berjarak 3 mil dari Madinah. Dikatakan, belum saja Hadhrat ‘Umar (ra) memutuskan untuk ikut berperang. Memang beliau telah berangkat dengan membawa laskar, namun belum memutuskan apakah beliau pun akan berangkat atau akan menetapkan seseorang sebagai komandan lalu mengirimkannya.[11]

Alhasil, tertulis dalam Kitab Tarikh ath-Thabari: وَاسْتَشَارَ النَّاسَ، فَكُلُّهُمْ أَشَارَ عَلَيْهِ بِالسَّيْرِ إِلَى فَارِسَ، وَلَمْ يَكُنِ اسْتَشَارَ فِي الَّذِي كَانَ حَتَّى نَزَلَ بِصِرَارٍ وَرَجَعَ طَلْحَةُ، فَاسْتَشَارَ ذَوِي الرَّأْيِ، فَكَانَ طَلْحَةُ مِمَّنْ تَابَعَ النَّاسَ، “Hadhrat ‘Umar (ra) meminta musyawarah dari orang-orang dan semuanya menyarankan kepada beliau untuk berangkat ke Persia. Hadhrat ‘Umar (ra) tidak meminta musyawarah dari siapapun hingga kafilah sampai di Shirar. Sesampainya di sana beliau meminta musyawarah…

وَكَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ مِمَّنْ نَهَاهُ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: فَمَا فَدَيْتُ أَحَدًا بِأَبِي وَأُمِّي بَعْدَ النبي صلى الله عليه وسلم قَبْلَ يَوْمَئِذٍ وَلا بَعْدَهُ، فَقُلْتُ: يَا بِأَبِي وَأُمِّي، اجْعَلْ عَجُزَهَا بِي Akan tetapi, Hadhrat Abdurrahman ibn Auf termasuk diantara orang yang meminta beliau tidak pergi. Hadhrat Abdurrahman menjelaskan alasan kenapa menghentikan beliau pergi dengan berkata, ‘Sebelum ini saya tidak pernah merasa rela mengorbankan ayah dan ibu saya kepada siapapun selain kepada Rasulullah (saw), dimana yang akan datang pun saya tidak akan melakukannya, namun pada hari ini saya katakan, “Wahai orang yang ayah dan ibu saya rela saya korbankan atasnya! Anda serahkan saja kepada saya untuk keputusan terakhir dari masalah ini.”’

Beliau (Hadhrat Abdurrahman ibn Auf) melanjutkan, وَأَقِمْ وَابْعَثْ جُنْدًا، فَقَدْ رَأَيْتُ قَضَاءَ اللَّهِ لَكَ فِي جُنُودِكَ قَبْلُ وَبَعْدُ، فَإِنَّهُ إِنْ يُهْزَمْ جَيْشُكَ لَيْسَ كَهَزِيمَتِكَ، وَإِنَّكَ إِنْ تُقْتَلْ أَوْ تُهْزَمْ فِي أَنْفِ الأَمْرِ خَشِيتُ أَلا يُكَبِّرَ الْمُسْلِمُونَ وَأَلا يَشْهَدُوا أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ أَبَدًا وَهُوَ فِي ارْتِيَادٍ مِنْ رَجُلٍ، ‘Mohon Hudhur berhenti di sini (Shirar) dan kirimkanlah pasukan yang banyak. Dari sejak awal sampai sekarang Anda telah melihat bagaimana keputusan Allah Ta’ala selama ini mengenai laskar Anda. Jika pasukan Anda kalah maka kekalahannya tidak seperti kekalahan Anda. Jika Anda terbunuh di awal atau kalah, saya khawatir umat Muslim tidak akan dapat mengucapkan takbir lagi dan tidak juga memberikan kesaksian Laa ilaaha illallaah.’”

Setelah mengadakan majlis syura yang dihadiri oleh para sahabat yang memiliki gagasan banyak dan terpilih, Hadhrat ‘Umar (ra) mengadakan acara biasa. Di dalam acara tersebut Hadhrat ‘Umar (ra) berpidato, bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ جَمَعَ عَلَى الإِسْلامِ أَهْلَهُ ، فَأَلَّفَ بَيْنَ الْقُلُوبِ ، وَجَعَلَهُمْ فِيهِ إِخْوَانًا ، وَالْمُسْلِمُونَ فِيمَا بَيْنَهُمْ كَالْجَسَدِ لا يَخْلُو مِنْهُ شَيْءٌ مِنْ شَيْءٍ أَصَابَ غَيْرَهُ ، وَكَذَلِكَ يَحِقُّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَكُونَ أَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ذَوِي الرَّأْيِ مِنْهُمْ ، فَالنَّاسُ تُبَّعٌ لِمَنْ قَامَ بِهَذَا الأَمْرِ ، مَا اجْتَمَعُوا عَلَيْهِ وَرَضُوا بِهِ ، لَزِمَ النَّاسُ ، وَكَانُوا فِيهِ تُبَّعًا لَهُمْ ، وَمَنْ أَقَامَ بِهَذَا الأَمْرِ تَبِعٌ لأُولِي رَأْيِهِمْ مَا رَأَوْا لَهُمْ وَرَضُوا بِهِ لَهُمْ مِنْ مَكِيدَةٍ فِي حَرْبٍ كَانُوا فِيهِ تَبَعًا لَهُمْ “Allah Ta’ala mengumpulkan manusia dalam Islam dan menyemaikan rasa cinta di dalam hati antara satu dengan yang lain. Islam telah menjadikan semuanya bersaudara dan keadaan-keadaan umat Islam antara satu dengan yang lain layaknya satu tubuh yakni jika satu bagian tubuh merasakan sakit, maka bagian yang lainnya akan ikut merasakannya. Untuk itu, perlu bagi umat Islam supaya urusan diantara mereka diputuskan secara musyawarah, khususnya mintalah musyawarah dari orang-orang yang bijak diantara mereka. Perlu juga bagi orang-orang untuk mengikuti dan taat pada hal-hal yang disepakati dan disetujui. Perlu bagi seorang Amir untuk menyetujui musyawarah yang baik dalam memberikan gagasan diantara orang-orang, apapun gagasan mereka yang berkaitan dengan banyak orang, apapun upaya mereka berkenaan dengan peperangan. يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي إِنَّمَا كُنْتُ كَرَجُلٍ مُنْكُمْ Wahai manusia, saya ingin bersama kalian sebagai seorang individu biasa.”

Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي إِنَّمَا كُنْتُ كَرَجُلٍ مُنْكُمْ ، حَتَّى صَرَفَنِي ذَوُو الرَّأْيِ مِنْكُمْ عَنِ الْخُرُوجِ ، فَقَدْ رَأَيْتُ أَنْ أُقِيمَ وَأَبْعَثَ رَجُلا “Saya ingin bersama kalian sebagai seorang individu biasa, tadinya saya ingin ikut serta dalam perang, namun para pemilik gagasan yang baik dari antara kalian menghentikan saya dari itu. Maka dari itu, saat ini saya memutuskan untuk tidak pergi dan mengutus orang lain untuk ini.”[12]

Ketika perbincangan itu terjadi, Hadhrat ‘Umar (ra) tengah mencari seseorang untuk dijadikan komandan pasukan dan diutus. وَأَتَى كتاب سعد على حفف مَشُورَتِهِمْ، وَهُوَ عَلَى بَعْضِ صَدَقَاتِ نَجْدٍ، فَقَالَ عُمَرُ: Saat itu datanglah surat dari Hadhrat Sa’d ibn Abi Waqqash untuk Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat Sa’d saat itu tengah ditugaskan di Najd untuk mengurusi sedekah. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda: فَأَشِيرُوا عَلَيَّ بِرَجُلٍ ‘Sekarang beritahukan kepada saya seseorang yang bisa diserahkan tugas [memimpin pasukan melawan Persia] ini.’

Hadhrat Abdurrahman berkata: وَجَدْتُهُ ‘Anda telah mendapatkan orangnya.’

Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya: مَنْ هُوَ؟ ‘Siapa orangnya?’

Hadhrat Abdurrahman berkata: الأَسَدُ فِي بَرَاثِنِهِ، سَعْدُ بْنُ مَالِكٍ ‘Singa yang menyembunyikan kukunya, Sa’d ibn Malik. Artinya, beliau seorang pemberani dan komandan yang sangat baik.’ وَمَالأَهُ أُولُو الرَّأْيِ Orang-orang pun mendukung usulan ini.” (Tarikh ath-Thabari)[13]

Tertulis dalam Tarikh ath-Thabari, “Hadhrat ‘Umar (ra) menunjuk Hadhrat Sa’d sebagai Amir lalu menasihatkan, يَا سَعْدُ سَعْدَ بَنِي وُهَيْبٍ لا يَغُرَّنَّكَ مِنَ اللَّهِ ، أَنْ قِيلَ: خَالُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لا يَمْحُو السَّيِّئَ بِالسَّيِّئِ ، وَلَكِنَّهُ يَمْحُو السَّيِّئَ بِالْحَسَنِ ، فَإِنَّ اللَّهَ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحَدٍ نَسَبٌ إِلا طَاعَتَهُ ‘Wahai Sa’d! Anda jangan beranggapan bahwa Anda disebut sebagai paman Rasulullah shallaLllahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat Rasulullah shallaLllahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Ta’ala tidaklah menghapuskan keburukan dengan keburukan, melainkan dengan kebaikan. Diantara Allah Ta’ala dan seorang hamba tidak ada hubungan selain ketaatan.’[14]

Ketika pulang, Hadhrat ‘Umar (ra) menasihati Hadhrat Sa’d, إِنِّي قَدْ وَلَّيْتُكَ حَرْبَ الْعِرَاقِ فَاحْفَظْ وَصِيَّتِي ، فَإِنَّكَ تُقْدِمُ عَلَى أَمْرٍ شَدِيدٍ كَرِيهٍ لا يَخْلُصُ مِنْهُ إِلا الْحَقُّ ، فَعَوِّدْ نَفْسَكَ وَمَنْ مَعَكَ الْخَيْرَ وَاسْتَفْتِحْ بِهِ ، وَاعْلَمْ أَنَّ لَكَ عَادَةً عَتَادًا ، فَعَتَادُ الْخَيْرِ الصَّبْرُ فَالصَّبْرَ الصَّبْرَ عَلَى مَا أَصَابَكَ أَوْ نَابَكَ ، يَجْتَمِعُ لَكَ خَشْيَةُ اللَّهِ ، وَاعْلَمْ أَنَّ خَشْيَةَ اللَّهِ ‘Ingatlah nasihat saya!’, beliau pun memberikan satu nasihat lagi, ‘Anda harus mengatasi keadaan yang sulit dan pelik. Terapkanlah kebiasaan pada diri dan kawan-kawan untuk melakukan kebaikan dan mohonlah kemenangan dengan perantaraan itu. Ingatlah! Terdapat sarana untuk menerapkan setiap kebiasaan. Adapun sarana untuk membiasakan dalam kebaikan adalah kesabaran. Jika Anda bersabar, Anda akan terbiasa dengan kebaikan. Jadi, dalam setiap kesulitan yang Anda hadapi, penderitaan yang kamu alami, bersabarlah dalam menghadapinya, karena dengan begitu Anda akan meraih rasa takut kepada Allah Ta’ala.’”[15]

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (shallaLlahu ‘alaihi wa sallam) (Manusia-Manusia Istimewa seri 39)

Selanjutnya beliau bersabda, أَمَّا بَعْدُ ، فَسِرْ مِنْ شَرَافَ نَحْوَ فَارِسَ بِمَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَاسْتَعِنْ بِهِ عَلَى أَمْرِكَ كُلِّهِ ، وَاعْلَمْ فِيمَا لَدَيْكَ أَنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى أُمَّةٍ عَدَدُهُمْ كَثِيرٌ ، وَعُدَّتُهُمْ فَاضِلَةٌ ، وَبَأْسُهُمْ شَدِيدٌ ، وَعَلَى بَلَدٍ مَنِيعٍ ، وَإِنْ كَانَ سَهْلا كَئُودًا لِبُحُورِهِ وَفُيُوضِهِ وَدَآدِئِهِ ، إِلا أَنْ تُوَافِقُوا غَيْضًا مِنْ فَيْضٍ ، وَإِذَا لَقِيتُمُ الْقَوْمَ أَوْ أَحَدًا مِنْهُمْ فَابْدَءُوهُمُ الشَّدَّ وَالضَّرْبَ ، وَإِيَّاكُمْ وَالْمُنَاظَرَةَ لِجُمُوعِهِمْ ، وَلا يَخْدَعَنَّكُمْ فَإِنَّهُمْ خُدْعَةٌ مَكْرَةٌ ، أَمْرُهُمْ غَيْرُ أَمْرِكُمْ إِلا أَنْ تُجَادُّوهُمْ ، وَإِذَا انْتَهَيْتَ إِلَى الْقَادِسِيَّةِ وَالْقَادِسِيَّةُ بَابُ فَارِسَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، وَهِيَ أَجْمَعُ تِلْكَ الأَبْوَابِ لِمَادَّتِهِمْ ، وَلِمَا يُرِيدُونَهُ مِنَ تِلْكَ الآصل ، وَهُوَ مَنْزِلٌ رَغِيبٌ خَصِيبٌ حَصِينٌ ، دُونَهُ قَنَاطِرٌ وَأَنْهَارٌ مُمْتَنِعَةٌ ، فَتَكُونُ مَسَالِحُكَ عَلَى أَنْقَابِهَا ، وَيَكُونُ النَّاسُ بَيْنَ الْحَجَرِ وَالْمَدَرِ عَلَى حَافَّاتِ الْحَجَرِ ، وَحَافَّاتِ الْمَدَرِ وَالْجِرَاعُ بَيْنَهُمَا ، ثُمَّ الْزَمْ مَكَانَكَ فَلا تَبْرَحْهُ ، فَإِنَّهُمْ إِذَا أَحَسُّوكَ أَنْغَصْتَهُمْ ، وَرَمَوْكَ بِجَمْعِهِمُ الَّذِي يَأْتِي عَلَى خَيْلِهِمْ وَرِجْلِهِمْ وَحَدِّهِمْ وَجَدِّهِمْ ، فَإِنْ أَنْتُمْ صَبَرْتُمْ لِعَدُوِّكُمْ وَاحْتَسَبْتُمْ لِقِتَالِهِ وَنَوَيْتُمُ الأَمَانَةَ ، رَجَوْتُ أَنْ تُنْصَرُوا عَلَيْهِمْ ثُمَّ لا يَجْتَمِعُ لَكُمْ مِثْلَهُمْ أَبَدًا ، إِلا أَنْ يَجْتَمِعُوا وَلَيْسَتْ مَعَهُمْ قُلُوبُهُمْ ، وَإِنْ تَكُنِ الأُخْرَى كَانَ الْحَجَرُ فِي أَدْبَارِكُمْ ، فَانْصَرَفْتُمْ مِنْ أَدْنَى مَدَرَةٍ مِنْ أَرْضِهِمْ إِلَى أَدْنَى حَجَرٍ مِنْ أَرْضِكُمْ ، ثُمَّ كُنْتُمْ عَلَيْهَا أَجْرَأَ وَبِهَا أَعْلَمَ ، وَكَانُوا عَنْهَا أَجْبَنَ وَبِهَا أَجْهَلَ ، حَتَّى يَأْتِي اللَّهُ بِالْفَتْحِ عَلَيْهِمْ وَيَرُدُّ لَكُمُ الْكَرَّةَ “Berangkatlah bersama pasukan Muslim dan bergeraklah dari Syaraf menuju Persia (Iran).” Syaraf adalah sumber mata air. Beliau berkata, “Kumpulkanlah pasukan di sini dan berangkatlah dari sini. Bertawakkallah kepada Allah Ta’ala, mohonlah bantuan dari-Nya dalam segala hal. Ingatlah bahwa kalian akan pergi untuk menghadapi suatu bangsa yang jumlahnya sangat banyak, persenjataan lengkap dan kekuatan perang mereka sangat baik. Kalian pun akan pergi untuk menghadapi daerah-daerah yang keras dan terlindungi dari sisi peperangan. Meskipun disebabkan oleh kesuburan dan irigasinya, itu adalah daerah yang baik. Perhatikan, jangan sampai terkecoh oleh mereka, karena mereka adalah orang yang licik dan penipu.

Ketika tiba di Qadisiyah nanti, kalian akan berada di penghujung daerah pegunungan dan awal penghujung daerah lapang. Untuk itu, tetaplah di tempat itu, jangan meninggalkannya (beliau memberitahukan tempatnya) Ketika musuh mengetahui kedatangan kalian, mereka akan geram dan mengerahkan semua pasukan dengan segenap kekuatan untuk menyerang kalian. Dalam keadaan demikian, jika kalian tetap bertahan dengan segenap keteguhan dan berperang dengan berharap untuk mendapatkan pahala dan jika niat kalian baik, saya berharap kalian akan meraih kemenangan dalam menghadapi mereka.

Jikalau mereka [bersatu], hati mereka tidak menyertai mereka. Mereka akan berperang dengan hati yang takut. Jika hal lain terjadi (yakni engkau terpaksa untuk mundur dan menghadapi kekalahan), menyingkirlah kalian dari wilayah Iran yang terdekat dan berkumpullah di daerah kalian di kawasan pegunungan terdekat. Dengan ini, kalian semua akan lebih berani di daerahmu, [karena] kalian lebih mengetahui daerahmu sementara bangsa Persia akan merasa takut karena mereka tidak mengetahui daerah itu, hingga Allah Ta’ala kelak memberi kesempatan kepada kalian untuk menang atas mereka. Kalian memang meyakini bahwa kemenangan akan diraih. Jika untuk sementara muncul keadaan seperti demikian, namun kemenangan terakhir adalah milik kalian.”[16]

Alhasil, semua pergerakan pasukan ini adalah sesuai dengan petunjuk-petunjuk rinci dari Hadhrat ‘Umar (ra) yang dikirim dari Madinah.

 Disebutkan juga dalam Kitab Tarikh ath-Thabari bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) jugalah yang menetapkan tanggal pemberangkatan prajurit dari Syaraf. Beliau pun memberi petunjuk agar para prajurit saat tiba di Qadisiyah, mereka bermalam di tempat antara ‘Adzibul Hajanat (عذيب الهجانات) dan ‘Adzibul Qawadis (عذيب القوادس), dan hendaknya [barisan] para prajurit disebar ke arah timur dan barat. ‘Adzib adalah satu dermaga sungai yang terletak di antara Qadisiyah dan Mugisah, yang berjarak 4 Mil dari Qadisiyah dan 20 Mil dari Mugisah. Dari isi surat Hadhrat ‘Umar (ra) ke Hadhrat Sa’d ibn Abi Waqqas diketahui bahwa di sana terdapat dua ‘Adzib, dan ini dikuatkan juga oleh Kitab Tarikh (Sejarah).[17]

Hadhrat ‘Umar (ra) mengirim Hadhrat Sa’d ibn Abi Waqqash bersama 4.000 Mujahidin ke Iran. Lalu bertambah dengan 2.000 prajurit Yaman dan 2.000 prajurit Najd. Di perjalanan ada 3.000 prajurit Banu Asad dan ada 1.700 prajurit Yaman dari [kabilah] Asy’ats ibn Qais al-Kindi yang bergabung. Jumlah prajurit Muslim pun berangsur-angsur bertambah. Bersama pasukan yang telah ada, jumlah seluruhnya menjadi lebih dari 30.000 prajurit.

Keunggulan pasukan ini dapat dilihat dari jumlah para sahabat di dalamnya yaitu 99 sahabat yang telah ikut di Perang Badr bersama Rasulullah (saw). ath-Thabari menyebutkan jumlahnya adalah lebih dari 70 sahabat. Ada [sejumlah] 310 lebih sahabat, yang mendapat karunia dekat dengan Rasulullah (saw) sejak permulaan Islam hingga [peristiwa] bai’at ridwan. Terdapat 300 sahabat yang ikut di peristiwa Fath Makkah. Ada 700 orang yang meskipun bukan sahabat, mereka mendapat kedudukan mulia sebagai anak Sahabat.

Setiba di Syaraf, Hadhrat Sa’d ibn Waqqas bermukim di sana bersama 8.000 prajurit. Al-Mutsanna wafat kala sedang berada di Dzu Ka’rah (Dermaga sungai yang ada di dekat Kufah) dan tengah menunggu bantuan dari [pasukan] Muslim. Al-Mutsanna menunjuk Basyir ibn Khasasiah (بَشِيرَ بْنَ الْخَصَّاصِيَّةِ) sebagai penggantinya. Al-Mutsanna wafat di sana.[18]

Setiba di Syaraf, Hadhrat Sa’d melaporkan rincian keadaan pasukan yang tengah bermukim ke Hadhrat ‘Umar (ra). Dengan ini, Hadhrat ‘Umar (ra) menetapkan sendiri pengaturan pasukan dan menulis surat kepada Sa’d, إِذَا جَاءَكَ كِتَابِي هَذَا فَعَشِّرِ النَّاسَ وَعَرِّفْ عَلَيْهِمْ ، وَأَمِّرْ عَلَى أَجْنَادِهِمْ وَعَبِّهِمْ ، وَمُرْ رُؤَسَاءَ الْمُسْلِمِينَ فَلْيَشْهَدُوا ، وَقَدِّرْهُمْ وَهُمْ شُهُودٌ ، ثُمَّ وَجِّهْهُمْ إِلَى أَصْحَابِهِمْ ، وَوَاعِدْهُمُ الْقَادِسِيَّةَ ، وَاضْمُمُ إِلَيْكَ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ فِي خَيْلِهِ ، وَاكْتُبْ إِلَيَّ بِالَّذِي يَسْتَقِرُّ عَلَيْهِ أَمْرُهُمْ “Bagilah seluruh pasukan ke dalam regu-regu berisi 10 prajurit dan mengangkat setiap kepala regu lalu angkatlah satu komandan untuk semua kepala regu. Lalu hitunglah jumlah prajurit yang dibutuhkan dan berangkatkanlah mereka ke Qadisiyah. Lalu tunjuklah regu Mughirah ibn Syu’bah [untuk berperang] langsung di bawah engkau.” (Hadhrat ‘Umar (ra) memberi petunjuk kepada Hadhrat Sa’d supaya regu Mughirah ibn Syu’bah berada langsung di bawah komandonya). “Lalu kirimlah rincian keadaan setelahnya. Yaitu teruslah sampaikan kepada saya apapun perkembangan yang terjadi setiap harinya.”[19]

Hadhrat Sa’d lalu mengatur pasukan sesuai petunjuk-petunjuk tersebut kemudian mengirimkan situasi secara rinci kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Pengaturan agar menunjuk ketua regu setiap 10 prajurit adalah kebiasaan yang telah ada sejak Rasulullah (saw).[20]

Di satu surat lain, Hadhrat ‘Umar (ra) menulis kepada Hadhrat Sa’d, أَمَّا بَعْدُ ، فَتُعَاهِدْ قَلْبَكَ وَحَادِثْ جُنْدَكَ بِالْمَوْعِظَةِ وَالنِّيَّةِ وَالْحِسْبَةِ ، وَمَنْ غَفَلَ فَلْيُحَدِّثْهُمَا ، وَالصَّبْرَ الصَّبْرَ ، فَإِنَّ الْمَعُونَةَ تَأْتِي مِنَ اللَّهِ عَلَى قَدْرِ النِّيَّةِ ، وَالأَجْرُ عَلَى قَدْرِ الْحِسْبَةِ ، وَالْحَذَرَ الْحَذَرَ عَلَى مَنْ أَنْتَ عَلَيْهِ ، وَمَا أَنْتَ بِسَبِيلِهِ ، وَاسْأَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ ، وَأَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ : لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ ، وَاكْتُبْ إِلَيَّ أَيْنَ بَلَغَكَ جَمْعُهُمْ ؟ وَمَنْ رَأْسُهُمُ الَّذِي يَلِي مُصَادَمَتَكُمْ ؟ فَإِنَّهُ قَدْ مَنَعَنِي مِنْ بَعْضِ مَا أَرَدْتَ الْكِتَابَ بِهِ قِلَّةُ عِلْمِي بِمَا هَجَمْتُمْ عَلَيْهِ ، وَالَّذِي اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ أَمْرُ عَدُوِّكُمْ ، فَصِفْ لَنَا مَنَازِلَ الْمُسْلِمِينَ وَالْبَلَدِ الَّذِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْمَدَائِنِ صِفَةً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهَا ، وَاجْعَلْنِي مِنْ أَمْرِكُمْ عَلَى الْجَلِيَّةِ “Nasihatilah hatimu sendiri secara terus-menerus dan nasihatilah prajurit engkau secara terus-menerus. Tempuhlah kesabaran! Tempuhlah kesabaran! Sebab, ma’unah (ganjaran dan pertolongan) dari Allah Ta’ala adalah sesuai dengan niat seseorang. Tanggung jawab yang ada di pundak engkau, dan upaya yang akan engkau hadapi, jalanilah itu dengan penuh kehati-hatian. Jalanilah dengan penuh kehati-hatian.

Mohonlah perlindungan kepada Tuhan, dan ucapkanlah لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ sebanyak-banyaknya. Sampaikanlah kepada saya keberadaan terkini pasukan engkau, dan siapakah yang diangkat sebagai panglima pasukan musuh engkau, karena ada beberapa petunjuk yang tidak dapat saya sampaikan disebabkan saya tidak mengetahui sepenuhnya keadaan-keadaan musuh engkau. Kirimkanlah ulasannya secara rinci maka saya akan memberikan petunjuk selanjutnya. Alhasil, kirimkanlah kepada saya rincian keadaan pasukan Muslim dan rincian keadaan yang berkembang antara engkau dan daerah-daerah hingga ibukota kerajaan Iran yaitu Madain, hingga seolah-olah saya melihatnya dengan mata kepala sendiri. (yakni tulislah semua hal secara terperinci). Sampaikanlah semua keadaanmu sejelas-jelasnya kepada saya.”

وَخَفِ اللَّهَ وَارْجُهُ وَلا تُدْلِ بِشَيْءٍ ، وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ وَعَدَكُمْ ، وَتَوَكَّلَ لِهَذَا الأَمْرِ بِمَا لا خُلْفَ لَهُ ، فَاحْذَرْ أَنْ تَصْرِفَهُ عَنْكَ ، وَيُسْتَبْدَلَ بِكُمْ غَيْرُكُمْ “…dan takutlah kepada Allah Ta’ala, dan berharaplah hanya kepada-Nya, dan jalanilah tugas ini dengan penuh ketawakkalan kepada-Nya. Tanamlah sikap takut bahwa Tuhan akan menggantimu dengan kaum lain dalam menyelesaikan tugas ini.”[21] Artinya, “Senantiasalah bersikap takut kepada Tuhan. Jangan menganggap yang mengangkatmu adalah seorang makelar. Jika engkau tidak memikul tanggung jawab ini dengan baik maka Allah Ta’ala-lah yang akan menyingkirkanmu dari pekerjaan ini dan akan datang sosok lain yang akan menyelesaikannya, karena misi ini pasti akan terjadi.”

Setiba di Qadisiyah, Hadhrat Sa’d mengirimkan laporan perihal lokasi dan rincian keempat sisi pasukan beliau kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat ‘Umar (ra) memberi jawaban, قَدْ جَاءَنِي كِتَابُكَ وَفَهِمْتُهُ ، فَأَقِمْ بِمَكَانِكَ حَتَّى يُنْغِضَ اللَّهُ لَكَ عَدُوَّكَ ، وَاعْلَمْ أَنَّ لَهَا مَا بَعْدَهَا ، فَإِنْ مَنَحَكَ اللَّهُ أَدْبَارَهُمْ فَلا تَنْزَعْ عَنْهُمْ حَتَّى تَقْتَحِمَ عَلَيْهِمُ الْمَدَائِنَ ، فَإِنَّهُ خَرَابُهَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ “Tetaplah bertahan di perkemahan Anda hingga musuh sendiri datang untuk menyerang. Jika musuh menerima kekalahan, majulah hingga ke Madain (ibukota Persia).”[22]

Meskipun telah disampaikan di ulasan tentang Hadhrat Sa’d, tetapi perlu juga dijelaskan di sini karena berkaitan dengan Hadhrat ‘Umar (ra) yaitu Hadhrat Sa’d, seraya mengikuti petunjuk singgasana Khilafat, bertahan di Qadisiyah hingga satu bulan, dimana [hingga saat itu] tidak ada satu pun pasukan Iran yang datang menyerang.

Atas hal ini, para penduduk sekitar mengirim surat kepada raja Iran, Yazdegerd, “Bangsa Arab telah cukup lama bermukim di Qadisiyah, sementara itu Anda sama sekali tidak melawan mereka. Mereka telah menghancurkan daerah hingga [batas] Eufrat dan merebut semua hewan ternak. Jika bantuan tidak kunjung datang, kami akan ditawan oleh mereka.”

Setelah surat ini, Yazdegerd memanggil Rustum, namun ia menolak ikut berperang dengan berbagai dalih dan alasan. Rustum pun menghindar dan ia mengusulkan agar Jalinus diangkat sebagai panglima perang. Namun tiada satu pun ucapannya yang didengar Raja dan ia terpaksa berangkat bersama laskarnya.

Hadhrat ‘Umar (ra) menulis kepada Hadhrat Sa’d agar mengutus ke pihak Persia beberapa orang Muslim yang berwibawa, cerdas, dan pemberani untuk menyampaikan seruan menerima Islam. (Tidak seharusnya lantas berperang. Musuh pun harus diberi seruan memeluk Islam). Beliau (ra) bersabda, “Allah Ta’ala akan menjadikan seruan itu sebagai sarana kehinaan bagi mereka dan keberhasilan bagi kita. Kirimlah setiap hari surat kepada saya.”

Dengan demikian, Hadhrat Sa’d memilih 14 (empat belas) orang berpengaruh dan cerdas dari kalangan Muslim dan mengutus mereka sebagai duta yang menyampaikan seruan Islam ke Raja Iran, Yazdegerd.[23] Para Muslim itu pergi dengan berkuda dan kain yang menutupi. Tangan mereka menggenggam cambuk. Pertama, Hadhrat Nu’man ibn Muqarrin yang menyampaikan kepada Raja, lalu Mughirah ibn Zurarah. Mughirah berkata kepada Raja, “Pilihan bagi Anda adalah berperang atau memberi jizyah. Kini pilihan ada di tangan Anda, yaitu menerima kekuasaan kami lalu Anda memberi jizyah, atau bersiap untuk bertempur melawan kami. Namun ada juga pilihan ketiga, yaitu jika Anda memeluk Islam, Anda akan terhindari dari segalanya.”

Atas hal ini Yazdegerd menjawah, “Seandainya tidak dilarang untuk membunuh setiap utusan, maka aku akan membunuh semuanya. Tidak ada sesuatu pun untuk kalian di sini. Menjauhlah dari sini!” Ia lalu memintakan sebongkah tanah dan berkata, “Ambillah ini dariku!” Ia lalu memerintahkan agar mengeluarkan para utusan itu dari gerbang kota Madain.

Ashim ibn Amru mengambil bongkah tanah itu dan menyampaikannya ke Hadhrat Sa’d seraya berkata, أَبْشِرْ، فَوَاللَّهِ لَقَدْ أَعْطَانَا اللَّهُ أَقَالِيدَ مُلْكِهِمْ “Kabar suka bagi kita. Allah Ta’ala telah memberikan kunci-kunci negeri ini kepada kita”.

Setelah peristiwa itu, kedua belah pihak saling diam hingga beberapa bulan lamanya. Rustum menggerakkan pasukannya hingga Sabath. Ia terus menghindar untuk berperang meski Yazdegerd terus menekannya. Ia berulang kali menyampaikan ke Yazdegerd, “Lindungilah kami. Jika tidak, kami akan ada dibawah kendali orang-orang Arab.”

Penduduk [Qadisiyah] berkata, “Karena keterpaksaan ini, Rustum pun maju untuk menyerang, dan bala tentara Iran bergerak dari Sabath dan bermukim di lapangan Qadisiyah. Ketika Rustum bergerak dari Sabath, pasukannya terdiri dari 130.000 prajurit dan ada 33 gajah perang bersamanya. Waktu sejak Rustum berangkat dari kota Madain hingga tiba di Qadisiyah adalah 4 bulan lamanya. Setelah mendirikan permukiman di Qadisiyah, keesokan paginya Rustum meninjau laskar Islam dan menyampaikan ajakan agar mundur atau berdamai. Rustum berkata kepada prajurit Muslim, “berdamailah dan pulanglah”. Namun jawaban yang diterima dari prajurit Muslim adalah, “kami tidaklah datang dengan tujuan duniawi. Tujuan kami hanyalah akhirat”.

Rustum meminta agar dikirim utusan-utusan Muslim untuk melakukan perdebatan di singgasananya. Di singgasana Rustum, karpet bernilai mahal digelar lalu ruangan dihiasi dengan segenap ornamen. Tahta berlapis emas disiapkan untuk Rustum. Singgasana diletakkan diatasnya dan dihiasi dengan sandaran-sandaran berajut benang emas.

Tokoh Muslim yang pertama datang adalah Hadhrat Rib’i ibn ‘Amir (ربعي بن عامر). Beliau datang ke hadapan Rustum seraya melangkahkan kaki perlahan dan membiarkan ujung tombaknya merobek karpetnya. Beliau tiba di hadapannya dan menancapkan tombak diatas karpetnya. Hadhrat Rib’i menyampaikan tiga hal ke hadapan Rustum, “Silahkan Anda menerima Islam maka kami akan berhenti mengejar Anda dan kami pun tidak akan bermasalah dengan negeri Anda. [atau] Silahkan Anda mengurus negeri Anda dan bayarlah jizyah kepada kami, kami akan menerimanya dan akan melindungi Anda. (bayarlah jizyah, maka kami akan melindungi Anda). Jika tidak ada syarat yang Anda terima, maka di hari keempat akan ada pertempuran. Kami tidak akan memulai pertempuran di tiga hari itu. Adalah mungkin di hari keempat akan ada pertempuran, tetapi kami tidak akan memulai pertempuran pada tiga hari itu. Namun jika Anda memulai pertempuran, kami terpaksa membalasnya.”

Di hari selanjutnya, Hadhrat Sa’d mengirim Huzaifah ibn Mahsan (حذيفة بن محصن). Beliau pun mengulang ketiga hal yang disampaikan Hadhrat Rib’i.

Di hari ketiga, Hadhrat Mughirah ibn Syu’bah pergi. Ketika beliau telah selesai menuturkan seperti apa yang kedua sahabat beliau telah sampaikan yaitu Islam, jizyah, dan perang, maka Rustum berkata, “Kalian semua pasti akan binasa.”

Atas hal ini, Hadhrat Mughirah berkata, إِذًا يَدْخُلَ مَنْ قُتِلَ مِنَّا الْجَنَّةَ ، وَيَدْخُلَ مَنْ قَتَلَنَا مِنْكُمُ النَّارَ ، وَيَظْفَرُ مَنْ بَقِيَ مِنَّا بِمَنْ بَقِيَ مِنْكُمْ “Siapa saja yang akan terbunuh dari kami, mereka akan pergi ke surga. Dan siapa saja yang akan terbunuh dari Anda sekalian, mereka akan pergi ke neraka. Siapa saja yang kelak hidup dari kami, mereka akan senantiasa berjaya atasmu”.

Mendengar ucapan Hadhrat Mughirah, Rustum sedemikian marah dan bersumpah, “Demi matahari! Hari esok tidak akan terbenam sebelum kami menebas kalian semua.”

Setelah Hadhrat Mughirah, Hadhrat Sa’d pun mengirim beberapa tokoh Muslim bijaksana ke singgasana Rustum dan mereka kembali di malam hari. Hadhrat Sa’d memerintahkan pasukan Muslim untuk bersiap di parit dan mengirim pesan ke pasukan Iran bahwa merekalah yang harus menyeberang sungai. Jembatan yang ada telah dikuasai pasukan Muslim sehingga pasukan Iran harus membuat jembatan di tempat lain untuk menyeberangi sungai ‘Atiq.

Ketika menyeberangi jembatan, Rustum berkata, “Besok kita akan melumat pasukan Muslim.” Seorang di depannya yang mungkin temannya menyahut, “Seandainya Allah menghendaki.” Atas hal ini Rustum berkata, “Jika Allah pun tidak menghendaki (na’uzubillah) kami tetap akan melumatnya.”

Pasukan Muslim telah merapatkan barisannya. Hadhrat Sa’d yang tengah menderita sakit bengkak (saat itu beliau jatuh sakit, yaitu penyakit skiatika atau nyeri saraf panggul sehingga beliau tidak sanggup duduk. Beliau terus berbaring miring). Beliau meletakkan bantal di bawah pundak beliau sebagai sandaran. Beliau mengawasi pasukan Muslim dari atas istana [qadisiyah] atau dari tempat memantau yang berada di atas pohon besar. Hadhrat Sa’d menunjuk Khalid ibn Arfatah sebagai wakil panglima. Hadhrat Sa’d bersabda kepada segenap pasukan Muslim akan pentingnya berjihad dan mengingatkan akan janji kemenangan dari Allah.

Terkait:   Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib (Seri 2) - Manusia-Manusia Istimewa Seri 96

Pasukan Persia telah berada di sisi sungai ‘Atiq, (sungai Atiq adalah cabang dari sungai Eufrat) sementara itu pasukan Muslim telah berada di dekat dinding Kodalis dan parit. Kodalis adalah sebuah area di dekat Qadisiyah yang berada 1 mil dari sungai ‘Atiq. Di dalam pasukan Iran, terdapat 30.000 prajurit yang saling terhubung dengan rantai (yakni satu sama lain terikat dengan rantai supaya tidak ada yang sanggup lari). Hadhrat Sa’d memerintahkan pasukan Muslim untuk membaca surah Anfal. Ketika ini ditilawatkan, muncul ketenangan dalam diri segenap Muslim.[24]

Setelah menunaikan shalat Zhuhur, mulailah pertempuran antara pasukan Muslim melawan bangsa Persia. Mereka mendatangkan banyak kerugian pada pasukan Muslim.

Hadhrat ‘Ashim ibn ‘Amru at-Tamimi (عاصم بن عمرو التميمي), seraya memanggil pasukan pemanah ulung dari kabilah Banu Tamim, beliau bersabda, “seranglah para penunggang gajah dengan panah-panah engkau”, dan menyeru kepada segenap prajurit pemberani agar menyerang belakang gajah dan memotong pelananya. Alhasil, tidak ada gajah tersisa yang masih ditunggangi. Pertempuran berlanjut meski telah terbenam matahari. Di hari pertama, 500 prajurit Muslim dari kabilah Banu Asad mati syahid. Hari itu dinamakan yaumu armats (يوم أرماث) [hari kesusahan].

Di hari kedua, Hadhrat Sa’d memimpin penguburan para syuhada dan mengirim para prajurit terluka ke kaum wanita agar mereka dapat merawatnya. Di saat itu datang bantuan balatentara Muslim dari Syam. Hadhrat Hasyim ibn ‘Utbah ibn Abi Waqqash adalah Amir bagi pasukan tersebut. Bagian pertama pasukan ini dipimpin oleh Hadhrat Qa’qa’ ibn Amru. Qa’qa’ dengan cepat menggerakkan pasukannya dan bertemu dengan laskar di Iraq pada pagi harinya. Qa’qa’ dengan piawai membagi pasukannya ke dalam regu berisi 10 prajurit yang diberangkatkan secara berangsur-angsur setelah jarak tertentu sehingga laskar Islam seperti beriringan dalam [formasi] beregu. Setiap regu secara bergiliran mengumandangkan takbir sehingga seolah pasukan Islam [yang bertempur] terus-menerus menerima bala bantuan. Hadhrat Qa’qa’ sendiri tiba sebagai regu pertama. Setibanya di [medan pertempuran], beliau mengumandangkan salam ke pasukan Muslim dan memberi kabar suka kedatangan bantuan bala tentara seraya menyeru, “Wahai saudara, lakukan apa yang kami lakukan!” Seraya mengatakannya, ia maju dan mencari lawan tandang.

Mendengar ini, Bahman Jazwiyah muncul untuk melawan dan keduanya bertempur hingga Hadhrat Qa’qa’ pun membunuhnya. Pasukan Muslim sangat gembira atas kematian Bahman Jazwiyah dan kedatangan bala bantuan prajurit Muslim. Terkait Hadhrat Qa’qa’, ada satu sabda Hadhrat Abu Bakr (ra), لا يهزم جيش فيهم مثل هذا “yang melawan pasukan yang di dalamnya ada sosok seperti beliau adalah layak kalah”.[25]

Pada hari itu orang-orang Iran tidak dapat berperang menggunakan gajah-gajah mereka, karena tandu pada gajah mereka rusak, oleh karena itu sejak pagi mereka sibuk memperbaikinya. Orang-orang Islam lalu menempuh taktik dengan memakaikan kain tebal pada unta-unta mereka, yang karenanya unta menjadi tidak tampak. Di atas unta-unta itu ditutupi kain, sehingga tubuh dan lehernya semuanya tersembunyi dan tampak seolah-olah seperti gajah. Ke mana pun unta-unta ini pergi kuda-kuda Iran menjadi kalang-kabut, sebagaimana pada hari sebelumnya kuda-kuda kaum Muslimin menjadi kalang-kabut. Dari pagi hingga siang para penunggang kuda dari kedua belah pihak terus bertempur. Ketika lebih dari setengah hari telah berlalu, maka dimulailah perang secara keseluruhan yang berlangsung hingga malam. Hari kedua ini disebut Yaumu Aghwaats (يوم أغواث). Pada hari itu nama kaum Muslimin berkibar, yakni kaum Muslimin meraih kemenangan.

Pada pagi hari di hari ketiga, kedua laskar berada di garis depan masing-masing. Pada hari itu terjadi perang yang sarat pertumpahan darah. Syuhada dari kaum Muslimin berjumlah 2.000 orang dan sejumlah 10.000 pasukan Iran terwas. Kaum Muslimin menguburkan para korban tewas mereka dan menyerahkan para korban luka-luka kepada para wanita untuk diobati.

Pada sisi lain, mayat orang-orang Iran yang tewas bergelimpangan begitu saja di medan pertempuran. Pada malam harinya orang-orang Iran terus memperbaiki tandu gajah-gajah mereka dan sebagainya. Pasukan infanteri turut melindungi gajah-gajah itu, meskipun demikian pada hari itu gajah-gajah tersebut tidak dapat menimbulkan banyak kekacauan sebanyak pada hari sebelumnya.

Hadhrat Sa’d mengirimkan pesan kepada Hadhrat Qa’qa’ (ra) dan Hadhrat ‘Aashim (ra) untuk menyingkirkan gajah putih Iran dari belakang beliau. Kemudian Hadhrat Qa’qa’ (ra) dan Hadhrat ‘Aashim (ra) menyerang dengan menusukkan tombak pada kedua mata gajah putih itu yang karenanya gajah itu menjadi limbung dan menjatuhkan penungganggnya. Belalainya dipotong, kemudian mereka menyerangnya dengan anak panah sehingga ia roboh. Setelah itu orang-orang Islam lainnya menghujamkan tombak ke mata satu gajah lainnya. Terkadang ia lari ke arah laskar orang-orang Islam, maka mereka menombaknya dan terkadang ia lari ke laskar orang-orang Iran, maka mereka juga menombaknya. Akhirnya, gajah yang dinamai Ajrab tersebut lari ke arah sungai ‘Atiq, dan melihatnya, gajah-gajah lain ikut melompat ke sungai dan mereka tewas bersama para penunggangnya. Peperangan ini berlangsung hingga matahari terbenam. Ini dinamakan Yaumu ‘Amaas (يوم عماس).

Setelah shalat Isya, pertempuran sengit kembali terjadi. Diriwayatkan bahwa pada waktu itu suara pedang-pedang terdengar seperti besi sedang dipotong di toko pandai besi. Sepanjang malam Hadhrat Sa’d terjaga dan larut dalam doa ke hadapan Allah Ta’ala. Orang-orang Arab dan orang bukan Arab belum pernah menyaksikan peristiwa seperti yang terjadi pada malam itu sebelumnya. Memasuki pagi hari, semangat orang-orang Islam tetap kukuh dan mereka meraih kemenangan. Setelah malam itu, pagi harinya semua orang dalam keadaan kelelahan karena sepanjang malam mereka terjaga.

Malam itu disebut sebagai Lailatul Hariir (ليلة الهرير). Tasmiyyah (penyebutan) tersebut, sebabnya adalah, malam itu orang-orang Islam tidak berbicara satu sama lain, melainkan hanya berbisik-bisik. Tertulis bahwa, arti dari harir juga adalah, suara seperti anak panah yang dilepaskan dari busur atau seperti suara penggilingan yang berputar ringan. Di dalam Kitab ath-Thabari disebutkan alasan disebut Lailatul Harir ialah karena orang-orang Islam berperang dengan gagah berani mulai dari awal malam hingga pagi hari. Mereka tidak berbicara dengan keras melainkan dengan berbisik-bisik. Karena alasan ini malam tersebut dikenal dengan istilah Lailatul Harir.

Bagaimanapun, pada pagi hari di hari keempat pertempuran berlangsung hingga siang hari dan orang-orang Iran memilih untuk mundur. Setelah itu dilakukan serangan kepada Rustum, lalu ia melarikan diri ke arah sungai ‘Atiq. Ketika ia melompat ke sungai, seorang Muslim bernama Hilal menangkapnya dan menyeretnya ke tepi lalu membunuhnya. Setelah itu, laskar Muslim yang membunuh Rustum tersebut mengumumkan, “Aku telah membunuh Rustum. Datanglah kepadaku.” Orang-orang Islam mengelilinginya dari berbagai arah dan meneriakkan na’ra-e-takbir dengan keras.

Mendengar kabar kematian Rustum, pasukan Persia mundur dan melarikan diri. Orang-orang Islam mengejar mereka dan membunuhnya juga dan sejumlah besar dari mereka dijadikan tawanan. Hari itu disebut sebagai Yaumu Qadisiyyah.

Hadhrat ‘Umar (ra) setiap pagi selalu menanyakan mengenai perang Qadisiyyah kepada para penunggang kuda yang baru datang dari medan pertempuran. Ketika seorang Basyir (utusan pembawa kabar suka) dari perang tersebut menyampaikan bahwa Allah Ta’ala telah mengalahkan orang-orang Musyrik, waktu itu Hadhrat ‘Umar (ra) berlari dan membawa informasi tersebut, sedangkan utusan itu masih menunggangi untanya dan bahkan tidak mengenali Hadhrat ‘Umar (ra). Ketika utusan itu masuk ke Madinah dan orang-orang memanggil Hadhrat ‘Umar (ra) dengan sebutan Amiirul Mu’miniin dan menyampaikan salam kepada beliau, maka utusan itu bertanya kepada Hadhrat ‘Umar (ra), “Mengapa Anda tidak memberitahu saya bahwa Anda adalah Amiirul Mu’miniin?”

Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Tidak apa-apa, wahai saudaraku.”[26]

Singkatnya, setelah mendapatkan kabar kemenangan, Hadhrat ‘Umar (ra) menyampaikan berita kemenangan ini di depan orang banyak dan setelah itu beliau menyampaikan satu pidato yang sangat menggugah. Beliau memerintahkan supaya hendaknya laskar tetap di posisi mereka dan pasukan diorganisasi kembali, dan memberikan perhatian pada perkara-perkara lainnya yang bisa diperbaiki.

Hadhrat Sa’d (ra) meminta petunjuk dari Khalifah bahwa pada pertempuran Qadisiyyah banyak sekali orang dari pihak Iran yang sebelumnya telah melakukan perjanjian damai dengan orang-orang Islam dan beberapa dari mereka menyatakan bahwa pemerintah Iran telah mengikutsertakan mereka secara paksa berlawanan dengan keinginan mereka. Mereka tidak ikut serta berdasarkan keinginan mereka sendiri, melainkan karena terpaksa. Dan banyak dari orang-orang ini yang pernyataannya benar. Banyak orang yang dikarenakan perang meninggalkan wilayah itu, lalu pergi ke wilayah musuh dan kembali lagi.

Hadhrat ‘Umar (ra) mengadakan Majlis Syuro di Madinah untuk memutuskan perkara-perkara itu, dan setelah diputuskan beliau mengirimkan petunjuk berikut, “Siapa pun yang telah melakukan perjanjian dengan kaum Muslimin dan mereka memenuhi janji mereka serta tetap tinggal di wilayah mereka dan tidak pergi (bergabung) ke wilayah musuh maka perjanjian mereka harus dihormati dengan kesetiaan penuh. Siapa yang tidak melakukan perjanjian dengan kaum Muslimin, tapi mereka tetap tinggal di wilayah mereka dan tidak bergabung dengan musuh melawan kalian, maka perlakukanlah mereka dengan sama seperti perlakuan terhadap orang-orang yang melakukan perjanjian. Siapa yang mengklaim bahwa pemerintahan Iran telah mengikutsertakan mereka secara paksa dalam laskar dan klaim mereka ini tampak benar, maka perlakuan orang-orang Islam terhadap mereka pun hendaknya tetap sama. Jangan katakan apa pun kepada mereka. Dan siapa yang membuat pernyataan dusta bahwa mereka telah dipaksa, padahal mereka dengan keinginan sendiri bergabung dengan musuh dan terlibat aktif melawan kalian, maka perjanjian pertama mereka telah gugur, karena mereka telah berpihak pada musuh. Atau lakukanlah lagi perjanjian damai dengan mereka, atau antarkanlah mereka pada tempat yang aman mereka, yakni lakukanlah perjanjian dengan mereka lalu perintahkan mereka untuk pergi dari sana, dan kemana pun mereka ingin pergi, biarkanlah mereka pergi untuk tinggal di sana. Dan orang-orang yang tidak melakukan perjanjian dan mereka meninggalkan wilayah itu, lalu pergi kepada pihak musuh dan berperang melawan kalian, mengenai mereka, jika kalian anggap patut, maka panggillah mereka dan hendaknya mereka membayar jizyah. Sejauh itu memungkinkan, perlakukanlah mereka dengan lemah lembut dan tetaplah di wilayah kalian. Dan jika kalian anggap patut, maka janganlah memanggil mereka dan jika mereka masih berusaha melawanmu maka lanjutkanlah memerangi mereka. Jika mereka terus berperang, maka kalian juga mempunyai hak untuk memerangi, namun jika mereka berhenti, maka lepaskanlah mereka meskipun mereka bergabung dengan musuh.”

Perintah-perintah ini terbukti bermanfaat dan para penduduk daerah perbatasan pulang kembali dan tinggal di lahan-lahan mereka, dan ini suatu contoh indah dari keberanian yang besar. Begitu besar keberanian itu sehingga orang-orang Islam bahkan memanggil orang-orang yang sebelumnya mengesampingkan perjanjian mereka dalam keadaan yang sangat genting pergi bergabung dengan musuh, untuk kembali meninggali lahan-lahan mereka. Meskipun demikian, Majlis Musyawarah di Madinah memberikan izin kepada mereka, “Jika kalian menghendaki, kalian boleh memanggil mereka untuk pulang kembali, atau jika kalian menghendaki, tidak perlu memanggil mereka dan bagikanlah lahan mereka di antara orang-orang Islam.”

Para ahli sejarah menyebutkan pada masa yang genting itu orang-orang yang melanggar perjanjian dipanggil pulang, lalu atas lahan mereka dikenakan pajak yang lebih besar dibandingkan dengan lahan pada umumnya. Hanya ada satu persyaratan yaitu, “Baiklah, kalian telah melanggar perjanjian. Pulanglah dan tinggalilah lahan-lahan kalian, tapi pajak tanah kalian akan dikenakan lebih besar dibandingkan orang lain. Namun, bagaimanapun juga, kalian tetap pemilik lahan-lahan tersebut.”

Perang ini meraih kedudukan penting dalam rangkaian penaklukkan Irak. Para pejuang Muslim dengan langkah yang teguh dan gagah berani melawan musuh yang kuat dan para sejarawan menyebutkan bahwa tatkala mahkamah Khalifah memutuskan untuk menetapkan biaya penghidupan bagi orang-orang, maka dalam keadaan demikian ini menjadi satu faktor pembeda. Hadhrat ‘Umar (ra) menetapkan gaji yang lebih besar bagi orang-orang yang ikut serta dalam Pertempuran Qadisiyah.[27]

Saya akan sampaikan sebagian dari penjelasan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) mengenai perang Qadisiyyah, “Di zaman Khilafat Hadhrat ‘Umar (ra), setelah cucu Khusro Parwez yang bernama Yazdegerd bertahta maka di Irak dimulailah persiapan-persiapan perang dalam skala luas menentang Islam.[28] Dengan begitu Hadhrat ‘Umar (ra) mengirim sebuah pasukan yang dipimpin oleh Hadhrat Sa’d ibn Abi Waqqash (ra) untuk menghadapinya. Hadhrat Sa’d memilih Qadisiyah sebagai medan perang dan beliau mengirim petanya ke Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat ‘Umar (ra) menyukai tempat itu.

Namun bersamaan dengan itu Hadhrat ‘Umar (ra) juga menulis, ‘Sebelum berperang dengan Raja Iran kamu wajib mengutus satu rombongan perwakilan ke Raja Iran dan ajaklah dia menerima Islam.’

Begitu menerima perintah itu Hadhrat Sa’d mengutus perwakilan untuk menemui Yazdegerd [nama raja Persia waktu itu]. Ketika perwakilan ini sampai di istana Raja Iran maka Raja Iran berkata pada penerjemahnya, ‘Tanyakan pada orang-orang ini, mengapa mereka datang ke sini?’

Ketika penerjemah ini menanyakannya maka pemimpin perwakilan Hadhrat Nu’man ibn Muqarrin (النُّعْمَانِ بْنِ مُقَرِّنٍ) berdiri dan menjawab dengan mengabarkan tentang kedatangan Rasulullah (saw) beliau berkata, ‘Rasulullah (saw) memerintahkan kami untuk menyebarkan Islam dan mengajak seluruh orang di dunia masuk dalam agama yang benar. Atas dasar perintah itulah kami hadir di hadapan Anda dan mengajak Anda untuk bergabung ke dalam Islam.’

Dengan jawaban itu Yazdegerd sangat murka dan berkata, إني لا أعلم أمة في الأرض أشقى ولا أقل عدداً، ولا اسوأ ذات بين منكم، قد كنا نوكل بكم قرى الضواحي فيكفوننا أمركم، ولا تطمعوا أن تقوموا لفارس، فإن كان غدر لحقكم فلا يغرنكم منا، وإن كان الجهد فرضنا لكم قوتاً إلى خصبكم، وأكرمنا وجوهكم وكسوناكم، وملكنا عليكم ملكاً يرفق بكم. فاسكت القوم. ‘Kalian adalah kaum liar dan pemakan bangkai. Jika kelaparan dan kemiskinan yang memaksa kalian untuk berperang maka saya siap memberi kalian bahan makanan sedemikian rupa sehingga kalian bisa menjalani hidup dengan tenang. Saya juga akan memberi kalian pakaian. Ambillah semua ini dan kembalilah ke negeri kalian. Untuk apa kalian bercokol di perbatasan ini, yakni untuk apa kalian menjaga perbatasan. Tinggalkanlah perbatasan dan biarkanlah saya melakukan apa yang saya mau. Kalian hanya akan menyia-nyiakan nyawa kalian berperang dengan kami.’

Ketika dia menyelesaikan kata-katanya maka dari antara perwakilan Islam Hadhrat Mughirah ibn Zurarah (المغيرة بن زرارة) bangkit dan berkata, ‘Apapun yang Anda katakan tentang kami semuanya benar sekali. Kami memang dulunya orang-orang yang liar. Kami memakan bangkai. Hingga ular, kalajengking, belalang dan cicak pun dulu kami makan. Tapi, Allah Taala menurunkan karunia-Nya pada kami dan Dia mengirim Rasul-Nya untuk memberi kami petunjuk. Kami beriman padanya dan mengamalkan perintahnya. Sehingga sekarang terjadilah sebuah revolusi dalam diri kami dan semua keburukan yang Anda sebutkan itu sekarang sudah tidak ada lagi pada kami. Sekarang kami tidak datang demi suatu keserakahan. Perang kami dengan Anda sudah dimulai, keputusannya nanti di medan perang. Keserakahan harta duniawi tidak akan mengurungkan niat kami.’

Mendengar ini Yazdegerd sangat marah dan dia memerintahkan seorang pekerjanya, ‘Pergilah! Bawa sekarung tanah ke sini.’ Ketika karung berisi tanah itu didatangkan, dia memanggil pemimpin perwakilan Islam ke depan dan berkata, لولا أن الرسل لا تقتل لقتلتكم، ثم قال: لاشيء لكم عندي؛ واستدعى بوقر من تراب ‘Karena kalian menolak tawaranku, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa selain sekarung tanah ini…’[29]

Sahabat itu maju dengan sangat serius. Beliau menundukkan kepalanya dan memikul karung tanah itu di pundaknya. Kemudian beliau melompat dan segera dengan cepat keluar dari istana itu. Beliau berkata pada teman-temannya dengan suara lantang, ‘Hari ini Raja Iran menyerahkan dengan tangannya sendiri tanah negerinya pada kita.’ Kemudian mereka menunggangi kuda dan beranjak dari sana dengan kecepatan penuh.

Ketika Sang Raja mendengar ucapan beliau maka dia mulai gemetar dan beliau memerintahkan penjaganya untuk membawa kembali karung tanah itu dari mereka. Dia berkata, ‘Ini suatu kesialan bahwa aku menyerahkan tanah negeriku pada mereka dengan tanganku sendiri.’ Namun, saat itu mereka sudah pergi jauh dengan kuda mereka. Pada akhirnya apa yang beliau katakan itulah yang terjadi dan hanya dalam waktu beberapa tahun seluruh Iran dikuasai umat Islam.”[30]

Terkait:   Kehidupan Hadhrat Rasulullah SAW (III) : Ekspedisi di Masa-Masa Awal

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Bagaimana perubahan agung ini bisa terjadi dalam umat Islam? Ini terjadi karena ajaran Quran telah menciptakan suatu revolusi dalam akhlak dan kebiasaan mereka. Ajaran Quran telah menciptakan maut dalam kehidupan rendah mereka sebelumnya sehingga mereka dihantarkan pada perilaku dan akhlaq tingkat tinggi.”[31] Itulah yang menyebabkan revolusi ini terjadi. Alhasil, hanya dengan mengamalkan ajaran Al-Qur’an-lah revolusi yang hakiki akan terjadi.

In syaa Allah ini berlanjut pada kesempatan yang akan datang. [32]

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq.

Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)


[1] Al-Akhbar ath-Thiwal, (الاخبار الطوال از ابو حنیفہ دینوری صفحہ 166-167 مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ بیروت 2001ء);  Tarikh ath-Thabari: عَنْ خُلَيْدِ بْنِ ذَفْرَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : كَتَبَ الْمُثَنَّى إِلَى عُمَرَ بِاجْتِمَاعِ فَارِسَ عَلَى يَزْدَجَرْدَ وَيَبْعَثُوهُمْ وَبِحَالِ أَهْلِ الذِّمَّةِ ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ : أَنْ تَنَحَّ إِلَى الْبَرِّ وَادْعُ مَنْ يَلِيكَ وَأَقِمْ مِنْهُمْ قَرِيبًا عَلَى حُدُودِ أَرْضِكَ وَأَرْضِهِمْ ، حَتَّى يَأْتِيَكَ أَمْرِي .

[2] Menurut kitab Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) bab (ذكر اسماء قضاته وكتابه وعماله على الصدقات) hadits nomor 1124, Khalifah ‘Umar (ra) melarang para Amir (komandan) umat Muslim termasuk al-Mutsanna di front Iraq dalam perang menghadapi Persia untuk lebih dahulu menyeberangi jembatan atau sungai bila dinilai keadaan pasukan Muslim akan terugikan dan belum pasti kemenangan: وَخَرَجَ جَرِيرٌ فِي قَوْمِهِ مُمِدًّا لِلْمُثَنَّى بْنِ حَارِثَةَ حَتَّى نَزَلَ ذَا قَارَ ، ثُمَّ ارْتَفَعَ حَتَّى إِذَا كَانَ بِالْجُلِّ وَالْمُثَنَّى بِمَرْجِ السّبَاخِ ، أَتَى الْمُثَنَّى الْخَبَرُ عَنْ حَدِيثِ بَشِيرٍ وَهُوَ بِالْحِيرَةِ : أَنَّ الأَعَاجِمَ قَدْ بَعَثُوا مِهْرَانَ وَنَهَضَ مِنَ الْمَدَائِنِ شَاخِصًا نَحْوَ الْحِيرَةِ ، فَأَرْسَلَ الْمُثَنَّى إِلَى جَرِيرٍ وَإِلَى عِصْمَةَ بِالْحَثِّ ، وَقَدْ كَانَ عَهِدَ إِلَيْهِمْ عُمَرُ أَلا يَعْبُرُوا بَحْرًا وَلا جِسْرًا إِلا بَعْدَ ظَفْرٍ ، فَاجْتَمَعُوا بِالْبُوَيْبِ فَاجْتَمَعَ الْعَسْكَرَانِ عَلَى شَاطِئِ الْبُوَيْبِ الشَّرْقِيِّ ، وَكَانَ الْبُوَيْبُ مُغِيضًا لِلْفُرَاتِ أَيَّامَ الْمُدُودِ أَزْمَانَ فَارِسَ يَصُبُّ فِي الْجَوْفِ ، وَالْمُشْرِكُونَ بِمَوْضِعِ دَارِ الرِّزْقِ وَالْمُسْلِمُونَ بِمَوْضِعِ السَّكُونِ . Di Kitab ini juga disebutkan perselisihan pendapat lewat surat antara dua Amir yang sama-sama utusan Khalifah bernama ‘Arfajah (Amir daerah yang ditempati kaum Bajiliyah) dan Jarir ibn ‘Abdullah (Amir banu Amir). Jarir ibn ‘Abdullah dari kaum Bajiliyah menyampaikan aspirasi kaumnya menolak ‘Arfajah untuk menjadi Amir. Kaum Bajiliyah pernah mempermasalahkan ‘Arfajah suatu masalah di masa sebelumnya. Akhirnya, Khalifah ‘Umar mengangkat Jarir sebagai Amir juga untuk kaum Bajiliyah. ‘Arfajah pun menjadi Amir Banu Azdi. Jarir juga berselisih dengan al-Mutsanna lewat surat karena al-Mutsanna – berdasarkan statusnya sebagai pengganti Abu Ubaid ats-Tsaqafi, panglima front Iraq – menganggap dirinya sebagai atasan para Amir front Iraq dan Jarir ialah Amir pasukan bantuan. Al-Mutsanna juga menyebut perannya di perbatasan. Dengan fakta banyak komandan utusan Khalifah yang datang bersama pasukan dan membantunya, Al-Mutsanna mengirim surat kepada Khalifah agar resmi dijadikan atasan bagi para Amir di front Iraq. Jarir menganggap setiap Amir adalah Amir bagi pasukannya masing-masing di tempat masing-masing. Kitab al-Bidayah wan Nihayah malah menyebut Jarir menganggap diri sebagai Amir (Komandan) atas al-Mutsanna. Semua perselisihan ini diberitahukan kepada Khalifah ‘Umar (ra) yang solusi dari beliau ialah nantinya mengutus Hadhrat Sa’d ibn Abi Waqqash untuk membawahi semuanya dan meminta para Amir di Iraq agar bersatu dan mematuhi Hadhrat Sa’d (ra). Meskipun demikian, laporan rinci al-Mutsanna yang telah dibuat sebelum ia wafat, dipakai sebagai salah satu rujukan oleh Hadhrat Sa’d dan Hadhrat Khalifah ‘Umar (ra) dalam melanjutkan peperangan melawan Persia.

[3] Tarikh ath-Thabari (تاریخ الطبری جلد2صفحہ372دارالکتب العلمیۃ بیروت2012ء); Karya tulis berjudul Tarikh (Sejarah) Islam di masa Hadhrat ‘Umar (ra) oleh yang terhormat Sayyid Mir Mahmud Ahmad Shb Nasir halaman 23-24 (مقالہ ’تاریخ اسلام بعہد حضرت عمر رضی اللہ عنہ‘ از مکرم سید میر محمود احمدناصر صاحب صفحہ23-24); (معجم البلدان جلد 2 صفحہ376); (معجم البلدان جلد1 صفحہ607)

[4] Kitab al-Bidayah wan Nihayah (البداية والنهاية) karya Ibnu Katsir, bahasan Buwaib (وَقْعَةُ الْبُوَيْبِ الَّتِي اقْتَصَّ فِيهَا الْمُسْلِمُونَ مِنَ الْفُرْسِ).

[5] Tarikh ath-Thabari.

[6] Tarikh ath-Thabari: ومات أناس من الجرحى من أعلام المسلمين، منهم خالد ابن هلال ومسعود بْن حارثة، فصلى عليهم المثنى، وقدمهم على الأسنان والقرآن، وقال: والله إنه ليهون علي وجدي أن شهدوا البويب، أقدموا وصبروا، ولم يجزعوا ولم ينكلوا، وإن كان في الشهادة كفارة لتجوز الذنوب .

[7] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) bab (ذكر اسماء قضاته وكتابه وعماله على الصدقات). Di dalam Kitab Al-Wafa: Kesempurnaan Pribadi Nabi Muhammad karya Ibnul Jauzi dan Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 4: Keadaan Sosial – Budaya oleh Dr. Jawwad Ali, disebutkan mengenai Abdul Masih ibn Amr ibn Qais ibn Hayyan ibn Buqailah (عبد المسيح بن عمرو بن قيس بن حيان بن بقيلة – الغساني). Abdul Masih, ayah Amru ibn Abdul Masih, adalah seorang penyair Kristen terkenal di zaman Nabi Muhammad (saw) belum lahir. Ia berusia lanjut dan meninggal sebagai Kristen. Di samping mengalami zaman sebelum dan kelahiran Nabi Muhammad (saw), ia juga mengalami zaman Khilafat Rasyidah. Ia pernah berjumpa dengan Khalid ibn Walid di Hirah saat diutus oleh Khalifah. Ia tinggal di Hirah (Irak sekarang), kerajaan Arab bawahan Persia. Abdul Masih ialah utusan raja Hirah (Nu’man ibn Mundzir) kepada al-Mubidzan, Kisra Iran ketika sang Kisra bermimpi di malam kelahiran Nabi, ia melihat unta raksasa menarik kuda sebuah kereta kuda dan melihat sungai Tigris terputus dan airnya meluap ke negerinya. Di malam itu, api pemujaan bangsa Persia padam, istana putih bergetar, 14 balkon istana runtuh dan danaunya meluap. Abdul Masih di hadapan Raja Persia mengaku tidak mengetahui arti mimpi tersebut dan meminta izin pergi ke Sathih, salah seorang keluarganya, yang lebih paham. Namun, Abdul Masih menyampaikan kepada Raja hal yang berlainan dengan penjelasan Sathih.

[8] Tarikh ath-Thabari (تاریخ الطبری جلد2صفحہ373-374دارالکتب العلمیۃ بیروت2012ء); Sirat Amiril Mukminin Umar ibn Khaththab oleh ash-Shalabi (ماخوذ از سیرت امیر المومنین عمر بن خطاب از الصلابی صفحہ 361تا 363دارالمعرفہ بیروت 2007ء); al-Faruq oleh Syibli Nu’mani (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی صفحہ82 تا84 ادارہ اسلامیات 2004ء); al-Kaamil fit Taarikh (ماخوذ از الکامل فی التاریخ جلد 2صفحہ 288تا 291سنۃ 13ھ، ذکر وقعۃ البویب، دارالکتب العلمیۃ بیروت 2006ء); Tarikh ath-Thabari terjemahan bahasa Urdu (ماخوذ از تاریخ طبری مترجم جلد دوم حصہ دوم صفحہ 237-238، 240-241 نفیس اکیڈیمی کراچی 2004ء); Karya tulis berjudul Tarikh (Sejarah) Islam di masa Hadhrat ‘Umar (ra) oleh yang terhormat Sayyid Mir Mahmud Ahmad Shb Nasir halaman 28-29 (مقالہ ’تاریخ اسلام بعہد حضرت عمررضی اللہ عنہ‘ از مکرم سید میر محمود احمدناصر صاحب صفحہ28-29)

[9] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري المؤلف: الطبري، ابن جرير الجزء : 3 صفحة : 477) bab berita Qadisiyah (ذكر الخبر عما هيج أمر القادسية): أين يذهب بكما! لم يبرح بكما الاختلاف حتى وهنتما أهل فارس، وأطمعتما فيهم عدوهم! وإنه لم يبلغ من خطركما أن يقركما فارس على هذا الرأي، وأن تعرضاها للهلكة، ما بعد بغداد وساباط وتكريت إلا المدائن، والله لتجتمعان أو لنبدأن بكما قبل أن يشمت بنا شامت .

[10] al-Kaamil at-Taarikh (ماخوذ از الکامل فی التاریخ جلد 2صفحہ 294تا 295دارالکتب العلمیۃ بیروت 2006ء); Farhank Sirat (فرہنگ سیرت صفحہ 229); Mu’jamul Buldaan Jilid 3 halaman 187 (معجم البلدان جلد3 صفحہ187); Mu’jamul Buldaan Jilid 2 halaman 45 (معجم البلدان جلد 2 صفحہ45).

[11] al-Faruq karya Syibli Nu’mani (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی صفحہ85 تا86 ادارہ اسلامیات 2004ء); Farhank Sirat (فرہنگ سیرت صفحہ 172).

[12] Tarikh ath-Thabari (تاریخ الطبری جلد2صفحہ381دارالکتب العلمیۃ بیروت2012ء). Karya tulis berjudul Tarikh (Sejarah) Islam di masa Hadhrat ‘Umar (ra) oleh yang terhormat Sayyid Mir Mahmud Ahmad Shb Nasir halaman 50-51 (مقالہ ’تاریخ اسلام بعہد حضرت عمررضی اللہ عنہ‘ از مکرم سید میر محمود احمدناصر صاحب صفحہ35تا37).

[13] Tarikh ath-Thabari  jilid 2, h. 385 bab dzikr amru Qadisiyah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1987 (تاریخ الطبری جلد 2 صفحہ 382 باب ذکر امر القادسیۃ دارالکتب العلمیۃ بیروت 1987ء).

[14] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) bab bahasan mengenai nama-namanya, keputusan-keputusannya, suratnya, para pejabat pemungut sedekah (ذكر اسماء قضاته وكتابه وعماله على الصدقات) hadits nomor 1137. Lanjutan sabda Khalifah ‘Umar : فَالنَّاسُ شَرِيفُهُمْ وَوَضِيعُهُمْ فِي ذَاتِ اللَّهِ سَوَاءٌ ، اللَّهُ رَبُّهُمْ وَهُمْ عِبَادُهُ يَتَفَاضَلُونَ بِالْعَافِيَةِ وَيُدْرِكُونَ مَا عِنْدَهُ بِالطَّاعَةِ ، فَانْظُرِ الأَمْرَ الَّذِي رَأَيْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ مُنْذُ بُعِثَ إِلَى أَنْ فَارَقَنَا فَالْزَمْهُ ، فَإِنَّهُ الأَمْرُ هَذِهِ عِظَتِي إِيَّاكَ ، إِنْ تَرَكْتَهَا وَرَغِبْتَ عَنْهَا حَبِطَ عَمَلُكَ وَكُنْتَ مِنَ الْخَاسِرِينَ – “Manusia, kehormatan dan peri keadaannya sama saja di hadapan Allah. Allah-lah Pencipta mereka dan mereka hanyalah hamba-hamba-Nya. Umat manusia saling mengunggulkan berdasarkan harta dan kesejahteraan dan ketaatannya terhadap yang lain tergantung atas hal itu. Namun, Anda hendaknya memperhatikan apa yang telah Anda saksikan dari Nabi (saw) sejak beliau diutus hingga wafat. Teguhlah atas hal itu. Inilah hal yang saya wanti-wanti atas diri Anda. Bila Anda meninggalkan hal ini dan membencinya maka amal Anda akan terhapus pahalanya dan Anda menjadi orang yeng merugi (pecundang).”

[15] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) bab bahasan mengenai nama-namanya, keputusan-keputusannya, suratnya, para pejabat pemungut sedekah hadits nomor 1137. Tarikh ath-Thabari terjemahan bahasa Urdu, jilid 2, bagian dua, h. 252-253, Nafis Academy, Karachi, 2005 (تاریخ طبری مترجم جلد دوم حصہ دوم صفحہ 253-254 نفیس اکیڈیمی کراچی 2004ء).

[16] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) bab bahasan mengenai nama-namanya, keputusan-keputusannya, suratnya, para pejabat pemungut sedekah hadits nomor 1145.

[17] Karya tulis berjudul Tarikh (Sejarah) Islam di masa Hadhrat ‘Umar (ra) oleh yang terhormat Sayyid Mir Mahmud Ahmad Shb Nasir halaman 48-50 (مقالہ ’تاریخ اسلام بعہد حضرت عمررضی اللہ عنہ‘ از مکرم سید میر محمود احمدناصر صاحب صفحہ48تا50); Mu’jamul Buldaan jilid 3, halaman 304 (معجم البلدان جلد 3صفحہ 304); Mu’jamul Buldaan jilid 3, halaman 131 (معجم البلدان جلد 3 صفحہ 131); Tarikh ath-Thabari (تاریخ الطبری جلد2صفحہ386-387دارالکتب العلمیۃ بیروت2012ء).

[18] Al-Kaamil fit Taarikh jilid 2, halaman 299-302, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2006 (ماخوذ از الکامل فی التاریخ جلد 2صفحہ 299-302 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2006ء); Mu’jamul Buldaan (معجم البلدان جلد 4 صفحہ333).

[19] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) bab bahasan mengenai nama-namanya, keputusan-keputusannya, suratnya, para pejabat pemungut sedekah hadits nomor 1143.

[20] Tarikh ath-Thabari, jilid 4, halaman 115-116, Darul Fikr, 2002, Beirut-Lebanon (تاریخ الطبری جلد 4 صفحہ 115-116دارالفکر 2002ء)

[21] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) bab bahasan mengenai nama-namanya, keputusan-keputusannya, suratnya, para pejabat pemungut sedekah hadits nomor 1145, jilid 2, halaman 387, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2012, Beirut-Lebanon (تاریخ الطبری جلد2صفحہ387دارالکتب العلمیۃ بیروت2012ء). Karya tulis berjudul Tarikh (Sejarah) Islam di masa Hadhrat ‘Umar (ra) oleh yang terhormat Sayyid Mir Mahmud Ahmad Shb Nasir halaman 50-51 (مقالہ ’تاریخ اسلام بعہد حضرت عمررضی اللہ عنہ‘ از مکرم سید میر محمود احمدناصر صاحب صفحہ50-51).

[22] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) bab bahasan mengenai nama-namanya, keputusan-keputusannya, suratnya, para pejabat pemungut sedekah hadits nomor 1145, jilid 4, halaman 117-118, Darul Fikr, 2002, Beirut-Lebanon (جلد 4 صفحہ 117-118 دارالفکر 2002ء)

[23] Fashlul Khithab fi Sirah Amiril Mu-minin ‘Umar ibnil Khaththab, syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu karya Ali Muhammad Muhammad Ash Shalabi (فصل الخطاب في سيرة امير المؤمنين عمر بن الخطاب شخصيته وعصره بقلم علي محمد محمد الصلابي) menyebutkan ke-14 orang itu: an-Nu’man bin Muqarrin al-Muzani (النُّعمان بن مُقرِّن المزني), Busr bin Abi Ruhm al-Juhani (بُسر بن أبي رُهم الجهني), Hamalah bin Juwiyah al-Kinani (حملة بن جُويّة الكناني), Hanzhalah bin ar-Rabi’ at-Tamimi (حنظلة بن الرَّبيع التَّميمي), Furat bin Hayyan al-‘Ijli (فرات بن حيَّان العجلي), ‘Adi bin Suhail (عدي بن سهيل), Mughirah bin Zurarah (المغيرة بن زرارة بن النبَّاش بن حبيب), Atharid bin Hajib at-Tamimi (عطارد بن حاجب التَّميمي), al-Asy’ats bin Qais al-Kindi (الأشعث بن قيس الكندي), al-Harits bin Hassan adz-Dzhuhali (الحارث بن حسَّان الذهلي), ‘Ashim bin Amru at-Tamimi (عاصم بن عمرو التَّميمي), ‘Amru bin Ma’dikarb az-Zubaidi (عمرو بن معدي كرب الزَّبيدي), al-Mughirah bin Syu’bah ats-Tsaqafi (المغيرة بن شعبة الثَّقفي), al-Mu’anna bin Haritsah asy-Syaibani (المعنَّى بن حارثة الشَّيباني)

[24] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) bab bahasan mengenai nama-namanya, keputusan-keputusannya, suratnya, para pejabat pemungut sedekah hadits nomor 1167.

[25] Al-Kaamil fit Taarikh, bahasan tahun ke-12 di zaman Khalifah Abu Bakr (ra) (سنة اثنتي عشرة), perjalanan Khalid bin Walid ke Hirah (ذكر مسير خالد بن الوليد إلى العراق وصلح الحيرة), tema tidak akan ada tentara yang akan dikalahkan bila ada Qa’qa bersamanya (لا يهزم جيش فيه مثل القعقاع وسيحشر من بينه وبين أهل العراق)

[26] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) bab bahasan mengenai nama-namanya, keputusan-keputusannya, suratnya, para pejabat pemungut sedekah: كَتَبَ إلي السري، عن شعيب، عن سيف، عن مُجَالِدِ بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: لَمَّا أَتَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ نُزُولُ رُسْتُمَ الْقَادِسِيَّةَ، كَانَ يَسْتَخْبِرُ الرُّكْبَانَ عَنْ أَهْلِ الْقَادِسِيَّةِ مِنْ حِينَ يُصْبِحُ إِلَى انْتِصَافِ النَّهَارِ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى أَهْلِهِ وَمَنْزِلِهِ قَالَ: فَلَمَّا لَقِيَ الْبَشِيرَ سَأَلَهُ مِنْ أَيْنَ؟ فَأَخْبَرَهُ، قَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ حَدِّثْنِي، قَالَ: هَزَمَ اللَّهُ الْعَدُوَّ، وَعُمَرُ يَخُبُّ مَعَهُ وَيَسْتَخْبِرُهُ وَالآخَرُ يَسِيرُ عَلَى نَاقَتِهِ وَلا يَعْرِفُهُ، حَتَّى دَخَلَ الْمَدِينَةَ، فَإِذَا النَّاسُ يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ بامره المؤمنين، فقال: فَهَلا أَخْبَرْتَنِي رَحِمَكَ اللَّهُ، أَنَّكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ! وَجَعَلَ عُمَرُ يَقُولُ: لا عَلَيْكَ يَا أَخِي! .

[27] Karya tulis berjudul Tarikh (Sejarah) Islam di masa Hadhrat ‘Umar (ra) oleh yang terhormat Sayyid Mir Mahmud Ahmad Shb Nasir halaman 90-91 (مقالہ ’تاریخ اسلام بعہد حضرت عمررضی اللہ عنہ‘ از مکرم سید میر محمود احمدناصر صاحب صفحہ91تا95); al-Kaamil fit Taarikh (ماخوذ از الکامل فی التاریخ جلد 2صفحہ 301تا 333دارالکتب العلمیۃ بیروت 2006ء); al-Faruq karya Syibli Nu’mani (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی صفحہ84تا89 ادارہ اسلامیات 2004ء); Tarikh ath-Thabari bahasa Arab  (تاریخ الطبری جلد2صفحہ435-436دارالکتب العلمیۃ بیروت2012ء); Tarikh ath-Thabari terjemahan bahasa Urdu  (ماخوذ از تاریخ طبری مترجم جلد دوم حصہ دوم صفحہ 263، 310، 325 نفیس اکیڈیمی کراچی 2004ء); Mu’jamul Buldaan jilid 4 halaman 94 dan 354 (معجم البلدان جلد 4صفحہ 94، 356) dan Mu’jamul Buldaan jilid awal halaman 267 (معجم البلدان جلد اول صفحہ 267).

[28] Khosrow II (Chosroes II; Middle Persian: Husrō (y)), dikenal juga dengan Khosrow Parviz (Bahasa Persia Baru (خسرو پرویز) – “Khusrow sang Pemenang”, Shah (Raja) hebat terakhir Dinasti Sasania di Iran, berkuasa dari tahun 590 hingga 628, dengan masa interupsi satu tahun. Setelah Khosrow II ada tiga Raja Iran yang bergelar Khosrow yaitu Khosrow III, Khosrow IV dan Khosrow V.

[29] Nihaayatul Arab fi Funuunil Adab (نهاية الأرب في فنون الأدب) karya An-Nuwairi (النويري). Di Kitab ini disebutkann bahwa Mughirah ibn Syu’bah dan Mughirah ibn Zurarah adalah dua orang berbeda dan mereka berdua termasuk anggota delegasi utusan Hadhrat Sa’d ibn Abi Waqqash kepada pimpinan pihak Persia.

[30] Pidato mengenai Sejarah Bangsa-Bangsa Islam, bagian awal, h. 203-209 dan tercantum juga dalam Mukaddimah Ibnu Khaldun juz kedua, akhbarul Qadisiyyah, h. 91-94.

[31] Tafsir-e-Kabir jilid 6 halaman 204-205 (تفسیر کبیر جلد6 صفحہ 204-205).

[32] Al-Fadhl International 13 Agustus 2021 tanggal 5-10 (الفضل انٹرنیشنل 13 ؍ اگست 2021 صفحہ 5تا10) Dalam metode penomoran ayat-ayat Al-Qur’an Karim, sesuai dengan standar penomoran ayat-ayat Al-Qur’an Karim yang digunakan oleh Jemaat Ahmadiyah, bismillahirrahmaanirrahiim sebagai ayat pertama terletak pada permulaan setiap Surah kecuali Surah at-Taubah. Sumber referensi : https://www.alislam.org/ (bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (Arab).

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.