Tabligh Ahmadiyah Masuk ke Tangerang
Pada suatu hari Maulana Rahmat Ali mencari sebuah buku ’Futuhatul Makkiyah’ di Toko Buku Al-Ma’arif di daerah Krukut. Kebetulan buku itu sedang habis, dan pemilik toko buku itu menganjurkan Rahmat Ali untuk menghubungi seorang Ustadz yang bernama Abdul Razak, yang konon memiliki buku yang dimaksud. Maka berkunjunglah Muballigh Ahmadiyah itu ke rumah Ustadz Abdul Razak guna menanyakan dan meminjam buku tersebut. Setelah sang tuan rumah mendengar maksud kedatangan tamunya guna mencari buku Futuhatul Makkiyyah, maka timbullah pembicaraan diantara keduanya mengenai berbagai macam masalah keagamaan. Akhirnya Ustadz itu tertarik dengan berbagai penjelasan yang dikemukakan Maulana Rahmat Ali, sehingga kemudian beliau dan beberapa orang muridnya[1] bai’at di tangan Maulana Rahmat Ali. Murid-murid beliau lainnya[2] dari daerah Pejambon juga menyusul bai’at ditangan beliau.
Salah seorang murid Ustadz Abdul Razak yang bai’at bernama Jian Sulaiman. Beliau adalah seorang tukang cukur keliling asal Warung Mangga, Tangerang. Setelah beliau menyatakan dirinya sebagai pengikut Ahmadiyah, beliau menghadapi berbagai pemboikotan dan penganiayaan dari lingkungan sekitarnya. Pernah suatu ketika warga penentang memagari sekeliling rumah beliau dengan bambu, serta mengancam nyawa beliau sekeluarga. Beliau beserta Hapsah (istrinya) waktu itu selamat dari pengepungan tersebut dan terpaksa mengungsi. Tak lama setelah itu, keluarga istri beliau memutuskan hubungan keluarga secara resmi dengan mereka berdua.
Sebuah peristiwa lagi yang patut dicatat dalam pertablighan Ahmadiyah ini ialah ketika pada tahun 1932 seorang jagoan dari Tangerang bernama Gomar[3] sedang berjudi dalam sebuah pesta perkawinan. Ketika itu seorang kyai bernama H. Dero menyampaikan nasehat diatas panggung bahwasanya nanti akan datang Imam Mahdi dan barang siapa yang tidak percaya dengan Imam itu akan menjadi kafir. Beliau waktu itu mendengar pembicaraan Imam itu namun ia tidak memberi tanggapan dan terus bermain judi. Kemudian setelahnya penghasilan sebagai bandar judi menjadi sulit dan beliau beralih profesi menjadi pedagang bumbu dapur di Gang Hober, Batavia. Di pasar tersebut beliau kerap bertemu dengan seorang turunan Arab bernama Tuan Awwab. Topik pertemuan mereka terkadang berisikan pembicaraan mengenai agama. Selanjutnya Gomar berguru dengan Tuan Awwab. Suatu kali Awwab mengatakan, bahwa manusia itu diberi akal, jadi jika seseorang berkata tentang suatu hal maka jangan langsung percaya sebelum kita memeriksanya. Dalam waktu yang berlainan Tuan Awwab mengatakan kepada Gomar, bahwasannya dajjal telah datang dan ada pula orang mengatakan bahwa ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad saw. Gomar menjawab, ‘apakah tuan sudah memeriksa hal itu?’ jawab tuan Awwab, ’belum’. Jawaban itu membuat Gomar tidak bersimpati dengan gurunya, karena perkataannya tidak bisa dipegang.
Pada suatu waktu Gomar bertemu orang tuanya seraya mengatakan bahwa ia semalam bermimpi telah bertemu dengan orang berjubah dan bersorban putih seraya mendengar ada orang berkata kalau yang lewat itu Nabi. Begitu orang tuanya mendengar cerita anaknya itu, tidak ayal lagi ia berkata, ‘Bagus tidak seribu satu orang yang mimpi ketemu Nabi’. Malam berikutnya beliau mimpi hal yang serupa. Dalam mimpinya, Gomar sedang duduk di atas kursi di depan rumah, kemudian ada seorang lewat memakai jubah dan bersorban putih dan orang-orang berkata bahwa yang lewat itu adalah Nabi Muhammad saw. Pagi harinya mimpi itu diceritakan ke ayah beliau, dan ayahnya berkata, ‘Tidak seribu orang bermimpi ketemu Nabi, apalagi Nabi Muhammad, itu paling bagus’. Kemudian dalam hati beliau ingat tentang cerita tuan Awwab tentang Rahmat Ali, seraya tertegun, ‘jangan-jangan yang dikatakan tuan Rahmat Ali itu benar’.
Saat itu timbul niat untuk mendatangi rumah tuan Rahmat Ali di Batavia. Saat itu Gomar tidak tahu persis kediaman Rahmat Ali, namun beliau bertekad untuk segera menemuinya. Upaya memperoleh ongkos ke Batavia hari itu gagal namun beliau bersikeras pergi kesana. Beliau memutuskan pergi dengan menyusuri rel kereta api dari Tangerang ke Batavia. Sesampainya di daerah Pesing, beliau istirahat di dekat pohon ambon yang rindang. Terasa perut beliau lapar dan setelah melihat ke sekitarnya nampak sebuah sawo bekas dimakan orang, yang mungkin karena mentah dibuang oleh orang itu. Dan tatkala beliau menemukannya nampak telah matang, dan dikarenakan lapar beliau memakan sawo itu.
Setelah melepas lelah beliau melanjutkan perjalanannya hingga sampai ke daerah Sawah Besar, saat itu kereta melintas dan beliau menepi seraya menopangkan tangan di pintu perlintasan kereta. Saat itu bahu beliau ditepuk oleh seseorang yang tatkala beliau menoleh ternyata tuan Awwab-lah yang menegurnya. Tuan Awwab menanyakan kemana saja Gomar, sudah sekian lama tidak terlihat. Padahal Gomar enggan bertemu tuan Awwab karena telah hilang simpati beliau terhadapnya, Ketika kereta selesai lewat dan pintu perlintasan dibuka kembali, Gomar melanjutkan perjalanan, namun tuan Awwab mengikutinya seraya menuntun sepedanya, sekaligus menanyakan tujuan Gomar ke Batavia. Gomar tidak menjawab, namun Awwab tetap mengikutinya. Setiap belokan di pertigaan beliau menanyakan kembali tujuan Gomar ke Batavia. Akhirnya beliau menjawab, ‘Saya mau bertemu dengan tuan Rahmat Ali. Orang Hindustan itu ada dimana?’. Lalu tuan Awwab berkenan menunjukkan kediaman Tuan Rahmat Ali. Tuan Rahmat Ali waktu itu tinggal di Klekamp No. 10, Pasar Baru. Dalam pembicaran selanjutnya tuan Awwab mengaku bahwa ia sendiri ternyata telah bai’at menjadi pengikut Ahmadiyah. Sesampainya mereka tiba dirumah tuan Rahmat Ali, terlihat bahwa tuan Rahmat Ali sedang memberi pelajaran kepada murid-muridnya, dan Gomar ikut bergabung di dalamnya. Mata Gomar menyapu sekitar rumah Tuan Rahmat Ali dan tertegun pada foto yang ada di dinding kamar. Foto itu persis sama dengan orang yang berjubah dan bersorban yang dilihatnya dalam salah satu mimpinya namun dalam hati ia berkata dalam mimpi itu saya mendengar orang lain yang berbicara. Baru saja ia berkata dalam hati, tiba-tiba ada salah satu peserta pengajian (Bapak Sajim) itu berkata kepada Gomar, ‘Itu nabi, dik, kalau kita tidak percaya kafir kita’. Begitu kata orang itu. Selesai pengajian, Gomar diperkenalkan oleh tuan Awwab kepada tuan Rahmat Ali dan Gomar langsung bai’at menjadi pengikut Ahmadiyah hari itu juga. Tuan Rahmat Ali berpesan kepada tuan Awwab agar orang ini dijaga benar-benar. Setelah bermalam di kediaman Sajim, pagi harinya ia pulang ke Panunggangan dan menceritakan hal itu kepada ayahnya. Orang tua Gomar (Bapak Linjang) seketika itu menangis dan keesokan harinya bersama Gomar menemui tuan Rahmat Ali dan bai’at disana.
Gomar adalah seorang jawara pada masanya, namanya cukup terkenal diantara para jawara-jawara betawi waktu itu. Namun demikian ia masih kalah pamor dibanding dengan jawara bernama Gedad yang berasal dari Paninggilan. Gomar dikenal dari kebengisan dan keberingasannya sedang Gedad dikenal dari sifat menolong sesama jawara, khususnya jawara yang tertangkap oleh Belanda waktu itu. Gedad kerap kali menyantuni istri dan anak sang jawara yang tertangkap itu[4]. Setelah mendapat pelajaran seperlunya dari Maulana Rahmat Ali, Gomar ditugaskan berdakwah kepada teman-temannya yang lain dan mengajak mereka masuk ke dalam Ahmadiyah. Ada lima orang teman Gomar[5] yang akhirnya merupakan tenaga-tenaga inti yang mengembangkan Ahmadiyah di daerah Pinang, Paninggilan, Perigi, Krendeng dan Cikarang.
[1] Syatiri; Jian; Muhayar; Abdurrahman; Sya’ban; H. Abdullah dan Ahmad Jufri. (Rev. Edition, p. 19)
[2] Mardji dan istrinya; Ibunda Mardji; Murdan; Iking; dan Nelan. (ibid).
[3] Diceritakan kembali oleh Jalaluddin (putera tertua Gomar), Sejarah Perkembangan Lima Jemaat Di Wilayah Tangerang, hl. 33)
[4] Diceritakan oleh Dullah (putra Alm. Gedad), Sejarah Jemaat Ahmadiyah di lima Cabang (2004) , hl. 35.
[5] Jona (Kampung Pinang), Gedad (Paninggilan), Sali (Perigi), Hasan (Krendeng) dan Neri (Cikarang – Bekasi).