Tabligh Ahmadiyah Masuk ke Bogor
Kendatipun Ahmadiyah Betawi sudah cukup berkembang, tetapi untuk melebarkan sayapnya Maulana Rahmat Ali mengalami berbagai kesulitan antara lain disebabkan dia belum begitu menguasai Bahasa Melayu. Untuk itu sesuai dengan permintaannya kepada Ahmadiyah Padang maka dikirimlah untuknya seorang anggota Jemaat dari Padang Haji Marah Wahab yang kebetulan juga mempunyai adik Taher Sutan Tumenggung yang menjabat President Landraad Bogor. Disamping sebagai President Landraad Bogor, Taher Sutan Tumenggung juga Ketua dari sebuah perkumpulan di kalangan intelek muda Jong Islamieten Bond[1] Cabang Bogor.
Sekali seminggu Jong Islamieten Bogor mengadakan pertemuannya di gedung Rumah Bola “Harsono” di Jalan Kebon Jae untuk membicarakan berbagai masalah agama Islam. Oleh SAS Pontoh seorang anggota perkumpulan itu pernah dikemukakan pertanyaan “apa sebabnya babi diharamkan” yang memberikan kesempatan kepada para kyai dan ulama untuk membahasnya. Akan tetapi penjelasan mereka itu tidak memuaskan para cendekiawan yang tergabung dalam perkumpulan itu. Taher Sutan Tumenggung, ketua perkumpulan itu pernah mendengar berita bahwa Ahmadiyah pernah menghebohkan kota Padang, maka ia meminta kepada H. Marah Wahab untuk membawa Maulana Rahmat Ali ke Bogor. Dengan adanya permintaan itu kini terbukalah daerah pertablighan baru di kalangan kaum intelektual muda.
Setiap masalah yang dikemukan kepadanya termasuk soal “apa sebabnya babi haram” mendapat penjelasan yang memuaskan bagi mereka. Berkat keuletan dan kesabaran perjuangan Muballigh Ahmadiyah itu akhirnya berhasil juga memasukkan beberapa orang kaum intelek dari Jong Islamieten Bond itu ke dalam Ahmadiyah. Beberapa bulan kemudian, yakni pada bulan Nopember 1932 terbentuklah Cabang kedua di Pulau Jawa yaitu Andjuman Ahmadiyah Departement Indonesia Gemeente Buitenzorg dengan jumlah anggota Jemaat saat itu ada 10 orang. Adapun susunan kepengurusannya adalah sebagai berikut:
- Ketua : Raden Hidayath
- Sekretaris : Jakaria
- Penningmeester : N. Madjid
Tabligh Ahmadiyah Masuk ke Bunijaya
Satu dari sembilan desa di kecamatan Gununghalu bernama Bunijaya. Warga desa disini telah mengenal Ahmadiyah sejak tahun 1930-an, tatkala seorang penduduknya mengenal Ahmadiyah lewat seorang teman seperjalanan beliau sewaktu dalam perjalanan menuju tanah suci Mekah.
Haji Muljo asal Bunijaya dalam tahun 1927 pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan beliau bertemu dengan seorang asal Bandung bernama Haji Mansur yang tak lain adalah seorang Ahmadi. Tiga tahun berselang sang sahabat ini datang ke Bunijaya yang disambut dengan sukacita oleh beliau. Kedatangan beliau ini untuk menyampaikan dakwah Ahmadiyah. Haji Muljo waktu itu menolak ajaran ini namun beliau berkenan menganugerahkan sahabatnya ini sebidang tanah dan Haji Mansur pun menetap disana.
Haji Mansur merasa sedih, sahabat baiknya menampik dakwah Ahmadiyah itu namun demikian beliau tidak berputus asa dan menyampaikan dakwah yang sama kepada orang-orang kampung di situ.
Ketulusan dan kesantunan beliau dalam menyampaikan dakwah itu membuahkan hasil dengan baiatnya beberapa warga[2] Bunijaya disana. Dakwah beliau juga disampaikan kepada beberapa kaum ibu disana dan ada tujuh wanita[3] disana yang baiat ke dalam jemaat ini.
Pada tahun yang sama pula dibangun sebuah Masjid kecil disana, yang letaknya di pinggir sebuah kali bernama Cidadap. Setelah itu segala kegiatan ibadah dan kegiatan organisasi dipusatkan disana.
Pendirian Masjid kecil dan sederhana itu menjadi cemoohan dari para penentang jemaat. Terlebih lagi cemoohan makin menjadi-jadi tatkala sungai Cidadap meluap dan menghanyutkan Masjid kecil berkonstruksi bambu itu[4]. Ahmadi disana juga dianggap sebagai golongan Wahabi yang amat dibenci disana waktu itu.
Masjid kecil dibangun kembali tidak lama kemudian dengan konstruksi kayu berbentuk rumah panggung diatas tanah milik seorang Ahmadi bernama Wari. Masjid kedua[5] ini pun tak luput dari cemoohan warga yang antipati.
Tabligh Ahmadiyah Masuk ke Singaparna
Dalam tahun 1938 dakwah Ahmadiyah disebarkan di daerah ini. Waktu itu seorang pembantu muballligh bernama Mohammad Toyyib ditugaskan disana. Dalam waktu singkat ada empat[6] warga disana yang baiat ke dalam Ahmadiyah. Keempatnya mengajak seorang tokoh kelompok ‘Mazhab Ahlus Sunnah’ yang bernam Argadiraksa untuk menyelidiki Ahmadiyah. Kelompok ini didirikan oleh Moh. Sanusi yang mengajarkan ‘selidiki dahulu informasi yang ada jangan serta merta menolaknya’. Ketika Argadiraksa mengutarakan niatnya untuk menyelidiki Ahmadiyah, maka dengan serta merta sang guru melarangnya. Larangan ini membuat beliau berpikir betapa tidak arifnya sang guru yang mengajarkan namun tidak mengamalkannya. Dengan kebijaksanaan beliau sendiri dibuatlah tim kajian yang terdiri dari beberapa sahabat beliau dan berkunjung tiap hari Selasa ke seorang Ahmadi bernama Uwen yang tinggal di kampung Kongsi, desa Sepakat. Ahmadi ini menggunakan bahan-bahan yang ada dalam buku ‘Filosofi Islam’ terbitan jemaat Ahmadiyah Padang. Apabila ada hal-hal yang belum jelas akan ditanyakan ketika Moh. Toyyib dan Rahmat Ali, HAOT datang di Singaparna.
Akidah Ahmadiyah sendiri dianggap sesat oleh kebanyakan penduduk Singaparna dan dalam satu kesempatan dalam tahun 1940 disepakati adanya satu perdebatan[7] antara Mazhab Ahlus Sunnah yang diwakili oleh pendirinya Kyai Hadji Moh. Sanusi dengan Ahmadiyah yang diwakili Abdul Wahid, HA. Perdebatan itu sendiri direncanakan diadakan di Sukapura, namun atas usul seorang Ahmadi bernama Sadeli sebaiknya perdebatan dilakukan di Singaparna. Kedua-belah pihak menyepakati usulan ini terlebih lagi Moh. Sanusi sendiri berasal dari Singaparna. Ketika waktu perdebatan tiba sang Kyai tidak muncul, dan anggota Mazhab Ahlus Sunnah sendiri melihat bahwa pemimpin mereka tidak berani datang berdebat dengan Ahmadiyah. Hari itu juga mereka yang berjumlah 60 orang menyatakan baiat. Baiat itu sendiri dipelopori istri Argadiraksa yang bernama Djumisah. Disaat yang sama Masjid yang didirikan atas nama Mazhab Ahlus Sunnah dijadikan milik Ahmadiyah Qadian Departement Indonesia.
Sesudah baiat itu kian gencarlah penentangan yang dipelopori oleh Kyai Hadji Moh. Sanusi terhadap bekas murid-muridnya itu. Beberapa diskusi kecil dilakukan berkenaan topik debat yang urung itu dan selalu saja berakhir tanpa kejelasan apapun dari Kyai besar dan juga bekas guru mereka itu. Dalam tahun 1940 Ahmadiyyah Qadian Departement Indonesia Gemeente Singaparna[8] didirikan.
Tabligh Ahmadiyah Masuk ke Bandung
Di awal tahun 1933 diadakan satu perdebatan terbuka antara Ahmadiyah dan Persatuan Islam di Bandung. Diwaktu perdebatan itu belum ada satu orang Ahmadi-pun dari kota Bandung. Pada akhir tahun 1933 barulah ada seorang Ahmadi asal Padang yang bernama Abdus Samik tinggal di kota ini. Beliau tinggal di sebuah rumah di jalan Pejagalan No. 35 bersama beberapa rekan beliau asal Sumatera Barat. Beliau dikenal sebagai tabib tradisional yang mampu mengobati hal ihwal tentang telinga. Saat itu beliau menyampaikan Ahmadiyah kepada rekan-rekan serumah beliau dan dua[9] orang diantaranya baiat menjadi pengikut Ahmadiyah.
Usaha tabib beliau kian maju dan diundanglah tiga saudara kandung[10] beliau dari Padang yang juga sebagai Ahmadi ke Bandung.
Dalam tahun yang sama pula seorang Ahmadi asal Jakarta bernama Aceng Basumi pindah ke Bandung. Dalam tahun itu pula Rais-ut-Tabligh menugaskan Abdul Wahid, HA di Bandung. Beliau menempati sebuah rumah sewa berbentuk panggung yang berada di bawah rimbunan bambu di daerah Nyengseret. Kegiatan pertama Ahmadi disana adalah melakukan shalat jumat dengan dawam disana. Tercatat pertama kalinya shalat Jumat berjamaat dihadiri oleh empat lelaki[11] dan tiga orang wanita[12]. Muballigh Abdul Wahid, HA tinggal di Nyengseret selama empat puluh hari lalu pindah ke rumah sewa di Jalan Pejagalan No. 35 C didekat kediaman Abdus Samik. Di rumah ini ditegakkan satu papan nama Ahmadiyah Qadian Departement Indonesia Gemeente Bandoeng yang dibawa oleh Sukri Barmawi dari Garut.
Kepengurusan[13] Ahmadiyah Bandung-pun dibentuk sesudahnya. Organisasi ini berjalan lancar hingga datang pendudukan tentara Jepang disana. Dalam tahun 1944 beberapa pengurus disini ditahan tentara pendudukan Jepang selama 82 hari karena dikaitkan dengan tuduhan terlibat peristiwa Sukamanah.
Dalam masa pendudukan ini hanya kegiatan shalat Jumat saja yang dilakukan oleh Jemaat Bandung sedangkan kegiatan lain ditiadakan.
Proklamasi kemerdekaan di tahun 1945 membuat pengurus disana membantu pemerintah yang ada sesuai himbauan Khalifah saat itu. Tercatat Muballigh Abdul Wahid, HA menjadi penyiar radio dalam bahasa Urdu begitu pula dengan Malik Aziz Ahmad Khan. Ketika ada aksi polisionil Belanda dan insiden ‘Bandung lautan api’ banyak Ahmadi mengungsi ke berbagai kota[14] kecil di Jawa Barat. Muballigh sendiri mengungsi ke Garut waktu itu.
Di awal tahun 1948 sebagian Ahmadi kembali dari pengungsian, termasuk Abdul Wahid, HA yang tinggal di sebuah rumah sewa di gang Maksudi, Bojongloa. Dalam tahun itu seorang pemilik tanah di jalan Haji Safari berkehendak menjual tanah dimaksud. Dahulunya ada bangunan yang digunakan sebagai pabrik pembuatan makanan dodol disana. Dikarenakan bangunan itu terkena sebuah bom dalam aksi polisionil waktu itu maka sang pemilik hendak menjualnya. Muballigh waktu itu berniat menjadikan tempat itu sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah di Bandung. Niat ini diutarakan pada anggota yang ada waktu itu yang baru saja kembali dari pengungsian. Niat yang diutarakan itu disambut hangat, walau mereka hanya memiliki harta sedikit dan dengan serta merta digalang pengumpulan dana dari Ahmadi yang ada. Taslimah Wahid sendiri menyumbangkan perhiasannya dan akhirnya diperolehlah sebidang tanah seluas 30 tumbak yang dibeli dengan harga seribu dua ratus rupiah waktu itu[15]. Segera sesudahnya seorang arsitek Ahmadi bernama R. Gumiwa Partakusumah merancang satu konstruksi bangunan Masjid dan satu paviliun kecil diatasnya. Dalam pembangunannya sekitar dua pertiga biaya pembangunan ditanggung ibu-ibu Ahmadi asal Garut dan sepertiganya oleh kaum ibu Ahmadi asal Garut. Dalam bulan Juli 1948 Rahmat Ali, HAOT berkenan meletakkan batu pertama dan menunggu siapnya konstruksi bangunan, Muballigh Abdul Wahid, HA dan keluarga tinggal di keluarga Ahmadi bernama Momon dan Jamhuri di gang Maksudi. Dalam tahun 1950 bangunan Masjid diresmikan pemakaiannya.
Kegiatan dakwah disampaikan juga oleh Abdul Wahid, HA ke daerah-daerah[16] sekitar kota Bandung dan di daerah Sukatali, Sumedang baiat seorang bernama Mama Angga dan berkembang menjadi sepuluh keluarga Ahmadi disana.
Tabligh Ahmadiyah Masuk ke Cikalongkulon
Dalam tahun 1932 seorang Ahmadi bernama S. Sumapradja mengirimkan beberapa eksemplar majalah terbitan Ahmadiyah bernama Sinar Islam ke beberapa tokoh di Cianjur. Sebagai anak desa Cibalagung, Cianjur beliau juga mengirimkan majalah itu ke redaksi majalah Al-Mukmin disana.
Majalah Ahmadiyah itu dikirimkan juga oleh Ahmadi Raden Hidayat ke mertuanya yang bernama Raden Ukosukraatmadja di Cikalongkulon. Mertua beliau ini menyampaikan majalah itu juga ke kerabatnya bernama Raden Haji Lomri. Mereka yang dikirimi majalah ini tidak henti-hentinya membahas beragam topik ditinjau dari akidah Ahmadiyah yang ada didalamnya. Adik dari Raden Muhyidin yang bernama Abdussalam yang juga seorang Ahmadi kerap mengunjungi Cikalongkulon dan saling berdiskusi dengan mereka.
Seorang terpelajar bernama Suherman berniat mencari tahu tentang Ahmadiyah di Jakarta. Beliau yang berasal dari Cianjur menginap dirumah iparnya yang bernama Raden Tami di Jakarta. Keduanya berniat sama hendak mempelajari akidah Ahmadiyah ini langsung dari tangan pertama. Dalam satu kesempatan mereka bertemu dengan Rahmat Ali, HAOT di Kleykamp dan baiat hari itu juga tepatnya pada tanggal 17 Juli 1936. Dikarenakan ketinggian ilmu dan fasihnya beliau berbahasa Arab maka diangkatlah beliau oleh Rahmat Ali, HAOT sebagai pembantu Muballigh dan ditugaskan berdakwah di sekitar Jakarta. Suatu waktu ia ditugaskan di Cikalongkulon dan mengetahui adanya Muballigh Ahmadiyah di daerahnya Raden Haji Lomri mengunjugi beliau bertanya beberapa hal mengenai akidah Ahmadiyah. Dalam waktu singkat beliau menyatakan baiat dan segera sesudahnya diwakafkan sebidang tanah untuk Masjid jemaat disana. Tanah itu sendiri ada di desa Sukagalih, Cikalongkulon dan dengan luas 472 m2 didirikan sebuah Masjid besar diatasnya.
Tepat pada tanggal 1 Agustus 1941 dibentuklah cabang Cikalongkulon dan juga dibentuk susunan pengurus[17] organisasi jemaat Ahmadiyah disana.
Baiatnya sejumlah warga disana membuat para penentang Ahmadiyah melakukan cara-cara fitnah dan berbagai penistaan karakter Masih Mau’ud disana. Dalam tahun-tahun pendudukan tentara Jepang misalnya mereka menyiapkan tuduhan bahwa Ahmadi disana melakukan perbuatan makar dan bahkan mereka menyiapkan beberapa saksi palsu. Oleh hakim bernama Mr. Isa diputuskan Ahmadi bernama Martawi dan Julemi dihukum masing-masing empat dan tiga tahun.
Dalam upaya banding yang dilakukan oleh Sulaeman didatangkan seorang pokrol Ahmadi bernama Taher Sutan Tumenggung yang berdomisili di Jatinegara, Jakarta. Dalam perkembangan selanjutnya Martawi dan Julemi dipindahkan ke penjara Cipinang di Jakarta, dan pada tanggal 4 Mei 1945 Martawi meninggal disana, sedangkan Julemi dibebaskan oleh pejuang republik waktu itu.
Dalam upaya memenuhi himbauan Khalifah waktu itu, Sulaeman dan beberapa Ahmadi di Cikalongkulon membantu Republik Indonesia dan beliau menjadi penasihat dibidang politik dan sosial pemerintah disana.
Situasi negara yang baru saja didirikan waktu itu membuat sebagian kalangan mengangkat senjata melakukan makar terhadap negara Republik Indonesia. Tercatat di daerah Cikalongkulon sekelompok milisi bersenjata mengaku sebagai kelompok Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia melakukan berbagai penculikan dan pembunuhan kepada mereka yang di anggap pro-republik Indonesia. Para Ahmadi dikenal sebagai pro-republik dan oleh karena itu harus dihilangkan. Tercatat ada beberapa Ahmadi diculik dan dibunuh[18] disana, dan sebagian lainnya terpaksa mengungsi[19] ketempat yang lebih aman.
Tabligh Ahmadiyah Masuk ke Tasikmalaya
Ahmadiyah diperkenalkan di kota ini oleh beberapa pedagang asal Tasikmalaya yang kerap menginap di hotel Mataram yang terletak di jalan Molenvliet Oost, Jakarta. Seorang Ahmadi bernama Mohammad Toyyib satu kali mengunjungi mereka dan segera sesudahnya mereka membincangkan beberapa topik keagamaan. Moh. Toyyib sendiri berasal dari Singaparna satu kota dekat dengan Tasikmalaya. Dalam perbincangan itu mereka umumnya sudah mengetahui beberapa hal mengenai Ahmadiyah dikarenakan sebagai pedagang mereka kerap membaca surat-surat kabar[20] dan beberapa artikel didalamnya pernah memuat hal-ihwal Ahmadiyah, khususnya memuat liputan perdebatan antara Ahmadiyah dengan Persis ditahun 1933.
Mereka juga menyatakan anak-anak muda dikampung mereka banyak bertanya mengenai Ahmadiyah yang katanya memiliki nabi yang baru. Salah seorang dari pemuda itu bernama Enggit Syarif yang segera mencari khabar mengenai Ahmadiyah di Jakarta. Beliau mengetahui dalam verslaggever debat, sebuah nama yang dikenal beliau ada di dalamnya. Nama itu adalah Raden Mohammad Muhyiddin yang dikenal beliau sebagai Sekertaris Paguyuban Pasundan dan juga pengarang satu artikel[21] di majalah Orgaan Pasundan. Ketika mengunjungi Jakarta beliau secara kebetulan memperoleh satu majalah terbitan Ahmadiyah Padang yang berjudul ‘Islam’. Beliau juga mendapatkan satu salinan lengkap ‘verslagg Debat’ antara Ahmadiyah dan Persatuan Islam.
Dalam perjalanan dan setibanya beliau di Tasikmalaya segera saja dikaji dengan mendalam isi kedua terbitan tersebut. Beberapa pertanyaan pribadi beliau disampaikan kepada seorang tokoh Nahdhatul Ulama di Tasikmalaya yang juga teman beliau bernama Sutisna Senjaya. Mendapat jawaban yang kurang memuaskan maka ia membahas masalah ini ke seorang teman beliau bernama Surdjah yang tinggal di Indihiang. Mereka memutuskan untuk menanyakan hal ini langsung ke pusat Ahmadiyah yang ada di Jakarta dan segera keesokan harinya diutuslah oleh beliau dua[22] orang temannya untuk meneliti Ahmadiyah kesana. Dalam perjalanan mereka singgah di jemaat Garut dan kebetulan mereka bertemu dengan propagandis atau juru dakwah Ahmadiyah bernama Mohammad Toyyib yang sedang berkunjung kesana. Mereka berdua segera menggunakan kesempatan berdiskusi dengan beliau dan memperoleh jawaban yang memuaskan. Sekembalinya mereka berdua ke Tasikmalaya segera saja mereka menyampaikan hasil penelitiannya dan mengajak Enggit Syarif untuk mendirikan Jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya.
Pada awalnya ada keraguan Enggit Syarif atas ajakan itu dan bagaimana hanya mereka bertiga saja disana yang mempercayai akidah Ahmadiyah. Sang teman mengatakan bahwa Mohammad Toyyib sendiri menyanggupi menjadi penasehat mereka. Keraguan itu segera lenyap dan dengan serta merta diusulkan oleh Sardjah mencetak satu selebaran yang berjudul ‘Imam Mahdi sudah datang’ dan dibagikan dipasar-pasar dan lorong-lorong di seantero kota Tasikmalaya. Segeralah kegemparan melanda kota itu, banyak orang membicarakan Ahmadiyah dan beberapa dari mereka menyambangi kediaman Surdjah dan teman-temannya menanyakan lebih jauh tentang Ahmadiyah. Beberapa pertemuan diadakan dengan mendatangkan Mohammad Toyyib dan dalam tahun 1935 didirikanlah satu Komite Ahmadiyah di Indihiang yang diketuai oleh Surdjah dan Enggit Syarif sebagai sekertarisnya. Dikarenakan belum adanya anggota maka tugas Komite ini hanya memberikan penerangan-penerangan tentang Ahmadiyah kepada warga Tasikmalaya dalam bentuk perdebatan umum dengan Ulama disana. Upaya Surdjah berbuah dengan baiatnya seorang Kepala Sekolah bernama Suryasumirat disana.
Pada awal tahun 1941 Enggit Syarif pindah ke kota Tasikmalaya dan dikota ini telah ada lima keluarga Ahmadi, sehingga mereka mendirikan satu Gementee Ahmadijah Qadian Tasikmalaya. Tepat pada tanggal 1 Mei 1941 Ahmadijah Qadian Tasikmalaya didirikan dan diketuai oleh seorang Ahmadi bernama Rusli. Dalam tahun 1942 Rusli mewakafkan sebidang tanah dan didirikanlah sebuah Masjid mungil milik Ahmadiyah di atasnya. Masjid itu sendiri diresmikan penggunaanya oleh Malik Aziz Ahmad Khan ketika beliau ditugaskan sebagai Muballigh disana.
Di masa pendudukan tentara Jepang, dakwah Ahmadiyah terus disebarkan dan seorang Ahmadi bernama Haji Djaenal berhasil membaiatkan dua pengurus Nahdhatul Ulama di daerah Karsaenak yang bernama Abdul Manaf dan Maman.
Dalam tahun 1944 terjadi insiden ‘Sukamanah’ disana. Dalam upaya memadamkan apa yang diistilahkan tentara pendudukan Jepang sebagai Pemberontakan para Kyai maka secara serempak mereka melakukan penangkapan terhadap semua yang digolongkan mereka sebagai Kyai, tidak terkecuali terhadap pengurus dan Muballigh[23] Ahmadiyah disana. Mereka ditahan tentara pendudukan Jepang selama 82 hari dan setelahnya dibebaskan karena tidak terbukti melakukan pemberontakan.
Peristiwa Sukamanah sendiri dilakukan oleh seorang Kyai setempat bernama Haji Zainal Mustafa yang dulunya bernama Hudaemi. Pada tahun 1927 ia berserta 3.474 orang pribumi Islam pergi ke Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji disana. Beliau bersentuhan dengan paham Wahabi yang ada dan sepulangnya ke Tasikmalaya ia membuka pesantren yang diberi nama ‘Sukamanah’ di kampung Bageur Cikembang Girang disatu desa bernama Cimerah yang ada di Singaparna. Beliau mendidik santri-nya untuk berontak melawan penjajah Dalam tahun 1933 ia bergabung dengan organisasi Nahdhatul Ulama dan dalam berbagi ceramahnya beliau kerap mendengungkan anti kolonial dan mengobarkan semangat non-kooperatif dengan Hindia Belanda. Ketika balatentara Jepang menggantikan Hindia Belanda, beliau juga mempelopori sikap anti Seikerei yaitu satu aturan menghormati matahari dengan membungkukkan badan dalam acara-acara resmi waktu itu. Beliau juga tidak berkolaborasi dengan Jepang dalam menggalang dukungan ‘Konsep Asia Raya’ yang disampaikan pihak Jepang. Sikap beliau ini menimbulkan gesekan di pemerintahan yang ada waktu itu dan beliau sendiri menyiapkan santri inti[24] sebanyak 509 orang bersiaga sewaktu-waktu menghadapi serangan dari balatentara Jepang. Seperti diduga sebelumnya pada tanggal 25 Februari 1944 pesantren Sukamanah dikepung oleh enam kompi balatentara Jepang bersenjata lengkap. Situasi dapat dikendalikan dalam satu setengah jam dan Haji Zainal Mustafa, Najmuddin dan 30 pengikutnya ditangkap di kampung Cihaur.
Dalam tahun 1945 selepas proklamasi kemerdekaan, beberapa organisasi politik didirikan dan salah satu diantaranya bernama Masyumi. Ketika ajakan berpolitik disampaikan kepada Ahmadiyah maka diterangkan bahwa organisasi ini tidak ikut berpolitik. Sikap non partisan yang ditunjukkan Ahmadi membuat mereka marah dan beberapa sikap permusuhan[25] ditunjukkan secara terang-terangan oleh mereka yang menamakan organisasi Masyumi.
Tekanan dan intimidasi fisik yang dilakukan para pengikut Masyumi membuat beberapa Ahmadi mengungsi dari desa ke perkotaan, diantaranya Enggit Syarif yang setelah mendengar himbauan Khalifah untuk membantu pemerintah Republik Indonesia waktu itu. Beliau akhirnya menjadi tentara dan diperbantukan sebagai staf khusus di Divisi yang dipimpin Letnan Kolonel Sudjono.
Dalam situasi yang demikian genting bagi Republik Indonesia waktu itu maka hal yang sama pula dirasakan Ahmadi yang ada, khususnya bagi mereka yang tinggal di pedesaan. Kala itu banyak milisi sipil bersenjata yang membentuk berbagai kelompok dan atau front. Di Jawa Barat misalnya ada Front Hizbullah yang berafiliasi dengan salah satu partai politik yang ada waktu itu. Front ini melakukan beberapa kegiatan pembunuhan di desa-desa tertentu disana.
Salah satunya insiden yang terjadi di desa Cukangkawung yang ada di Sukapura. Seorang Ahmadi bernama Djaed mendapat khabar akan ada pembunuhan terhadap warga Ahmadi disana. Khabar itu segera disampaikan kepada seorang Ahmadi bernama Sura, yang terakhir ini mengatakan ia tidak akan pergi mengungsi kalau alasan pembunuhan itu karena ia sebagai Ahmadi. Penduduk kampung menceritakan mereka melihat ada enam[26] Ahmadi diikat dan digiring untuk dieksekusi. Mereka dieksekusi mati oleh Front Hizbullah disatu tempat disana.
Peristiwa yang sama juga terjadi di desa Sangianglobang, Indihiang, ada empat [27]Ahmadi dieksekusi oleh milisi bersenjata disana.
Dalam tahun 1949 Muballigh Malik Aziz Ahmad Khan mengusulkan agar jemaat Tasikmalaya membeli tanah dan bangunan bekas klenteng disana. Ahmadi yang masa itu demikian sulitnya keadaan ekonomi dan peri kehidupannya tercengang dengan usulan itu. Jangankan membeli untuk makan sehari-hari saja mereka susah. Muballigh mengatakan bahwa niat kita adalah mendirikan rumah Allah, maka dahulukanlah rumah Allah nanti Allah akan mendirikan rumah kita.
Dengan seketika berlomba-lombalah pengorbanan yang dilakukan para Ahmadi[28] disana dan dibelilah tanah dan bangunan bekas klenteng yang dimaksud. Dan setelah itu bangunan rumah tinggal dan usaha milik Ahmadipun mulai dapat didirikan.
[1] Jong Islamieten Bond didirikan di Jakarta pada tanggal 23 September 1925; beberapa dari anggotanya adalah Haji Agus Salim dan Mohammed Natsir. (Indonesia History, 1910-1940)
[2] Haji Hasbullah, Wiarta, Ujang, Tarmudi dan Wari.
[3] Haji Rokayah, Iyoh, Uhirah, Iyah, Enjum, Irah, Euteun, Iping.
[4] ‘Begitulan kalau golongan sesat itu, masjidnya pun dihanyutkan oleh air’.
[5] ‘Orang Ahmadiyah mesjidnya menghadap utara’, padahal itu hanya anggapan semata, dikarenakan jalan di dekat mesjid itu agak berbelok, sehingga sepintas ditinjau dari titik tertentu seolah-olah menghadap ke Utara.
[6] 1). Siti Mashitoh, 2) Ny. Antra (ibunda Moh. Toyyib), 3). Moh. Junaedi, 4) Liem Hing An.
[7] Topik perdebatan itu sendiri antara lain berkenaan dengan 1). Khataman Nabiyyin, 2) La Nabiyya Ba’di.
[8] Argadiraksa (Ketua), Moh. Jumria (Wakil), D. Moh Djunaedi (Penulis Umum), Uwen (Keuangan), Moh. Dimyati Nayadiraksa (Pembantu).
[9] Basyir, Nazir.
[10] Seorang diantaranya bernama Moh. Yatim.
[11] 1). Abdul Wahid, HA, 2). Malik Aziz Ahmad Khan, 3). Abdul Samik, 4). Hadji Marah Wahab.
[12] 1). Taslimah Wahid, 2). Ny. Marah Wahab, 3). Ny. Rokayah.
[13] Ajuzar Gelar Sutan Palindih (Ketua), A. Juberi (Khas), Mami Danumiharja (Keuangan), R. Usman Subendi (Tabligh), Abdus Samik (Maal).
[14] Majalaya, Garut.
[15] Harga emas waktu itu dua belas rupiah per gram.
[16] 1). Gunung Halu, 2) Sukatali.
[17] Raden Haji Lomri (Ketua dan Tarbiyat), Suradihardja (Khas), Raden Uko Sukraatmadja (Maal/Muhasib), Raden Abdussalam (Tabligh/Tasnif),
[18] 1). Soma, 2). Jumli, 3). Sarman, 4). Oson 5). Nyi Idot, 6). Nyi Uniah.
[19] 1).Nyi Sarti, 2). Marta, 3). Madropi, 4). Nata, 5). Toha, 6). Sahali, 7). Naspin.
[20] Surat Kabar ‘Dewan Islam’, ‘Pemandangan’
[21] Beliau menuis artikel berjudul ‘Asal Usul Kebudayaan’, dengan nama samaran Kyai Hadimullah.
[22] 1). Sardjah, 2). Endi.
[23] 1). Enggit Syarif (Sukapura), Surdjah (Indihiang), Rasli (Tasikmalaya), Jumria (Singaparna), Sadkar (Tasikmalaya), Malik Aziz Ahmad Khan (Kebumen), Sayyid Shah Muhammad (Kebumen), Mohammad Toyyib (Singaparna), Yahya (Garut), Abdul Wahid, HA (Garut), Abdus Samik (Bandung), Argadiraksa (Singaparna), Uwen Juansyah (Singaparna), Ahmad Sadeli (Singaparna), Theo Kim Tjoan (simpatisan), Uwam Apandi (simpatisan).
[24] Dipimpin oleh Najmuddin dan Haji Hidayat.
[25] Mendirikan pos bersenjata berat dan moncong senjatanya diarahkan ke Masjid Jemaat, mengusir paksa seorang Ahmadi bernama Eras Ruhimat dari kampung Tanjung.
[26] 1). Jaed, 2). Sura, 3). Saeri, 4). Haji Hasan, 5). Raden Saleh, 6). Dahlan.
[27] 1). Haji Sanusi, 2). Omo, 3). Tahyan, 4). Sahromi.
[28] 1). Nyonya Darma, 2) Ibrahim, 3). Enggit Syarif, 4). Didi.