Peristiwa Kunjungan Duta Ottoman kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad

Peristiwa Kunjungan Hüseyin Kâmi kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad

Riwayat Tiga Kekaisaran: Kekaisaran Britania, Kekaisaran Ottoman dan Kekaisaran Samawi. Peristiwa Kunjungan Konsul [Duta] Ottoman (kesultanan Utsmaniyah yang berpusat di Turki sekarang) Hüseyin Kâmi kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as)

Penulis: Asif M Basit, Ahmadiyya Archive and Research Centre (ARC, Pusat Penelitian dan Arsip Ahmadiyah); Penerjemahan oleh Dildaar Ahmad Dartono

Pertanyaan tentang bagaimana Britania Raya (Inggris Raya) masuk dan memperoleh pijakan di anak benua India itu untuk mengubahnya menjadi koloni (jajahan) adalah cerita panjang, yang tidak perlu diceritakan di sini. Namun, perlu diingat bahwa Inggris tidak dapat memerintah India dengan damai sejak dimulainya pemberontakan pada tahun 1857 hingga pemisahan dan kemerdekaan India.

Situasi geopolitik pada masa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad

Abad ke-18 dan ke-19 merupakan masa konflik besar. Semua kekuatan besar sibuk membangun koloni dan memperluas wilayah mereka. Inggris telah menguasai anak benua itu dengan mengalahkan Prancis. Meskipun kekaisaran Muslim telah berhenti ada di anak benua India, warisan masa lalunya telah meninggalkan sisa-sisanya di kantong-kantong tertentu; gerakan perlawanan Tipu Sultan merupakan yang paling signifikan.

Kekaisaran Rusia telah lama ingin masuk ke negara-negara Asia Tengah – yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman (kesultanan Utsmaniyah yang berpusat di Turki sekarang) – karena itu dapat menjadi langkah kunci untuk ekspansi mereka ke semua arah utama.

Kekaisaran Ottoman, secara geopolitik, seperti penyangga antara timur dan barat yang dapat memainkan peran kunci dalam potensi perluasan kekaisaran lain; sama halnya dalam menahan dan melawan kemajuan mereka. India dan Kekaisaran Ottoman adalah tetangga dan yang terakhir selalu mengincar yang pertama. Namun, penaklukan Inggris atas India telah meredam ambisi Ottoman tersebut.

Sebelum mempelajari lebih dalam topik kita, harus dicatat bahwa Kekaisaran Ottoman dikuasai oleh kekuatan-kekuatan besar: British-India di timur, Rusia di utara, Jerman di barat, dan Afrika Utara, yang dijajah oleh Prancis, di selatan.

Begitulah pemandangan di panggung politik global di mana kekuatan-kekuatan yang disebutkan di atas menjadi aktor-aktor utama.

Aliansi (Persekutuan) Inggris-Ottoman demi mengalahkan Tippu Sultan

Perusahaan Hindia Timur – cikal bakal British Raj – mengambil peran untuk mengimperialisasi India melalui perdagangan. Hal ini mengakibatkan reaksi keras oleh para penguasa lokal, seperti Tipu Sultan, yang perlawanannya didukung oleh pasukan militer Prancis Napoleon Bonaparte. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perang Anglo-Mysore pada abad ke-18.

Arthur Wellesley – yang lebih dikenal sebagai Lord (Adipati) Wellington – menduduki posisi kunci di ketentaraan Inggris yang berperang melawan pemberontakan Mysore.

Ia tidak hanya menguasai taktik militer, tetapi juga memiliki wawasan mendalam dalam politik. Ia meminta bantuan Sultan Ottoman Selim III untuk meningkatkan pengaruhnya sebagai Sultan-Khalifah dari kekaisaran Muslim terbesar dan meyakinkan Tipu Sultan untuk menahan diri dari konflik militernya dengan Inggris. Karena yakin dengan permohonan Wellesley, Sultan Selim III menulis surat untuk mengingatkan Tipu Sultan tentang kekejaman yang dilakukan Prancis terhadap kaum Muslim, menasihatinya untuk meninggalkan aliansi mereka, dan berhenti melawan Inggris. Sultan Selim III kemudian menyatakan bahwa tidak menunjukkan perlawanan terhadap Inggris merupakan kewajiban agama. (Britain, India and the Turkish Empire, oleh Ram Lakhan Shukla, People’s Publishing House, New Delhi, 1973)

Mengapa Ottoman menganggap penting untuk menjaga hubungan baik dengan Inggris menuntut kita untuk melihat secara rinci skenario politik saat itu. Singkatnya, Asia Tengah merupakan tempat yang menarik bagi kekaisaran Rusia yang kebetulan berada di bawah kendali Ottoman. Melangkah maju ke wilayah Asia Tengah berpeluang membuka jalan bagi kemajuan Rusia tidak hanya menuju daratan utama Ottoman tetapi juga menuju India. Membendung kemajuan Rusia menuju wilayah tersebut merupakan kepentingan bersama bagi Ottoman dan Inggris, yang menghasilkan hubungan yang baik.

Kebaikan Sultan Selim III dari Utsmaniyah (Ottoman) Turki kepada Inggris dalam menekan perlawanan Tipu terhadap Inggris harus dibalas oleh Inggris.

Kekaisaran Inggris dan Muslim India

Sebuah fakta umum bahwa apa yang tampak dalam politik sebagai sikap yang baik, biasanya ada kepentingan pribadi. Inggris berkepentingan untuk mengekang Rusia agar tidak mengambil alih kendali atas Asia Tengah yang dapat memungkinkan Rusia untuk maju ke Afghanistan dan, selanjutnya, negara tetangganya, India. Dorongan sebenarnya di balik aliansi atau pertemanan Inggris-Utsmaniyah (Ottoman) adalah Utsmani tidak membiarkan sebagian besar Kekaisaran mereka jatuh ke Rusia sementara Inggris tidak ingin menyerahkan India. Kepentingan ini berfungsi sebagai bahan utama aliansi antara Inggris dan Utsmani.

Faktor lainnya adalah pengetahuan Inggris tentang bagaimana Sultan Utsmani mampu memengaruhi Tipu Sultan untuk menjadi rekannya seagama dan mengakuinya sebagai kaisar dari satu-satunya kekaisaran Islam yang tersisa. Posisi Sultan Utsmani inilah yang juga membuat Muslim India sangat menghormatinya; ia bukan hanya simbol kejayaan keagungan Muslim yang telah hilang, tetapi juga penjaga dua tempat suci di Arabia. Kombinasi antara kejayaan politik dan keterikatan emosional ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari jiwa kolektif umat Islam India dan Inggris tidak pernah gagal mengingat hubungan ini. Pemahaman inilah yang membuat Inggris harus mendapatkan simpati dari Muslim India. (Empire and Hajj: Pilgrims, Plagues, and Pan-Islamism, oleh Michael Christopher Low, in International Journal for Middle Eastern Studies, No 40, 2008)

Perang Krimea (1853-1856) merupakan kekalahan bagi Rusia dan kemenangan bagi aliansi Inggris-Ottoman. Dukungan penuh yang ditunjukkan oleh Inggris dalam perang ini telah menyentuh hati umat Islam India yang kini melihat Inggris sebagai sahabat Sultan dan, karenanya, sebagai simpatisan Islam. (RL Shukla)

Saat perang berlangsung, Lord Dalhousie merasakan tumbuhnya cinta dan kasih sayang yang tertanam dalam diri umat Islam India terhadap Inggris, meskipun ia tidak pernah melupakan tujuan sebenarnya di balik tindakan Inggris; motif-motif tertentu yang dibahas di atas. (Private Letters of the Marquis of Dalhousie, oleh JGA Baird, William Blackwood & Sons, London, 1910)

“Bantulah saudara-saudaramu” adalah slogan yang memungkinkan Inggris mendaftarkan umat Islam dalam Perang Krimea. Tanggapan luar biasa yang ditunjukkan oleh umat Islam India merupakan bukti bahwa mereka telah menerima Inggris sebagai simpatisan kepentingan umat Islam. (Relations of the Ottoman Empire with the Indian Rulers, oleh Shamshad Ali, PhD Thesis Aligarh Muslim University, 1988)

Saat Perang Krimea berakhir pada tahun 1856, awan pemberontakan membayangi cakrawala India. Inggris berharap Sultan Ottoman akan kembali datang membantu. Karena merasa wajib atas dukungan Inggris terhadap Rusia dalam episode Krimea, Sultan Ottoman mengeluarkan dekrit kekaisaran kepada Muslim India untuk tidak melakukan perlawanan terhadap Inggris; jika tidak mematuhinya maka akan dianggap sebagai penghinaan terhadap Sultan, “Khalifah” mereka. Sultan Ottoman saat itu, Abdulmejid I, dalam upayanya untuk membangkitkan simpati bagi Inggris, mengingatkan Muslim India tentang bagaimana Inggris telah menjadi teman baik dalam Perang Krimea. (National Archives of India, Federal Department, Secret Consultation, no 298)

Dengan upaya lebih, Sultan Abdelmejid I menyumbangkan sejumlah 1.000 pound untuk Dana Pemulihan paska Pemberontakan yang dibentuk oleh pemerintah Inggris di India. (National Archives London, PRO, FO, 78/1271)

Inggris, dengan Sultan Ottoman di pihak mereka, berhasil membatalkan fatwa Jihad melawan Inggris, yang telah dipublikasikan di Urdu akhbar (surat kabar), Delhi, pada tanggal 26 Juli 1857. Keputusan ini melibatkan 34 ulama Muslim India, termasuk orang-orang seperti Fazl-i-Haq, sebagai penandatangan. Demikian pula, salinan fatwa tersebut juga dipublikasikan oleh beberapa surat kabar terkenal lainnya seperti Sadiq-ul-Akhbar, Delhi, dll.

Sebelum melanjutkan, kami ingin para pembaca kami mencatat bahwa larangan Jihad terhadap Inggris pertama kali datang tidak lain dari Sultan Ottoman – yang dikenal oleh dunia Muslim sebagai Khalifah mereka – yang wajib dipatuhi.

Sultan Abdulaziz adalah Sultan Ottoman pertama yang melakukan perjalanan ke Inggris pada tahun 1867 dan itu pun atas undangan khusus dari Ratu Victoria. Pemerintah Inggris di London mengakui perjalanannya sebagai kunjungan kenegaraan. Semua biaya untuk menyelenggarakan kunjungan kenegaraan ini diambil dari anggaran Kantor India. Alasan yang diberikan untuk melakukan hal itu, seperti yang ditunjukkan oleh korespondensi resmi London dan India, adalah untuk menunjukkan kepada orang-orang Islam India betapa berharganya Ottoman bagi Kekaisaran Inggris. (The Times and Life of Queen Victoria, Cassell and Co, London, 1901; The Times, London, 13-24 July, 1867; Friend of India, 1 August, 1867)

Setelah Sultan Ottoman kembali dari London, kemajuan (invansi atau penyerangan) Rusia di wilayah tersebut [wilayah Ottoman] telah menjadi ancaman yang lebih besar dan tampaknya tak terelakkan. Mengingat situasinya, aliansi yang kuat antara kedua kekaisaran, Inggris dan Ottoman, adalah satu-satunya jalan ke depan. Dengan demikian, adalah kepentingan Inggris untuk mendaftarkan tentara Muslim ke dalam tentara Inggris-India. Motif-motif seperti itu tidak akan terwujud kecuali Pemerintah Inggris mengambil pendekatan yang lembut terhadap Muslim India. Oleh karena itu, pemerintah Inggris menetapkan kebijakan untuk menunjukkan solidaritas mereka dengan Sultan sebagai pelindung kepentingan Muslim.

Ali Pasha, Perdana Menteri Kekaisaran Ottoman, menulis surat yang ditujukan kepada Muslim India untuk menyampaikan ucapan selamat yang tulus kepada mereka karena hidup di bawah kekuasaan Inggris yang menjunjung tinggi kebebasan beragama. Ia juga menyatakan bahwa Sultan-Khalifah Ottoman tidak akan pernah menerima tindakan apa pun terhadap pemerintah Inggris. (NAI, FD, Secret H, Vol 1869, no 111, British ambassador at Constantinople to Foreign Secretary, 9 October 1869)

Di sisi lain, Muslim yang berpengaruh, seperti Sir Syed Ahmad Khan akan memuji Ottoman untuk menarik perhatian Muslim India kepada Sultan. Sejarawan Muslim modern menyebut Sir Syed sebagai rekan dekat Sultan Ottoman, bahkan menyebutkan rasa sayang-sayang yang dimilikinya untuk membuat fez (topi) Turki menjadi mode di Aligarh [sebuah wilayah Muslim India saat itu]. Namun faktanya Sir Syed Ahmad Khan sangat patuh pada kebijakan Inggris sehingga ia membiarkan pendapatnya sendiri cukup fleksibel. Lebih jauh, setiap kali kebijakan Inggris berbenturan dengan kepentingan Ottoman, Sir Syed akan tetap diam atau mengutuk kebijakan Ottoman. (Ittehad Bain al-Muslimin, by Khalid Amin, Research Journal Tahsil, July 2018)

Konsul (Pejabat) Kekaisaran Ottoman di India

Hubungan persahabatan antara Inggris dan Ottoman berubah arah ketika pejabat Turki diizinkan untuk ditunjuk di India. Pada tahun 1849, Ottoman mengirim pejabat pertama mereka ke Kalkuta dan Mumbai. Tujuan mereka, menurut Catatan Kantor India dan Arsip Ottoman di Istanbul, adalah untuk melaksanakan urusan para pedagang dan Muslim yang bepergian ke tanah Ottoman. (Pan-Islamism: Indian Muslims, the Ottomans and Britain, oleh Azmi Ozcan, Brill, 1997)

Terkait:   Sejarah Ahmadiyah di Jawa Timur

Peziarah yang bepergian dari India mulai mendapat manfaat dari konsulat, akibatnya terjadi lonjakan Muslim India yang bepergian ke wilayah Ottoman melalui darat dan laut. Muslim India mulai mengembangkan kecenderungan alamiah terhadap Ottoman karena menjadi penjaga Mekkah dan Madinah. Mereka juga merasa bahwa ini adalah sisa terakhir dari kejayaan Islam sebelumnya. Selanjutnya, generasi demi generasi jiwa kolektiflah yang memainkan peran penting dalam mengembangkan hubungan dekat dengan Ottoman.

Namun, pendirian konsulat dan peningkatan perjalanan ke Kekaisaran Ottoman menimbulkan ketakutan baru di dalam kubu Inggris. (Azmi Ozcan)

Minat Muslim India terhadap Pan-Islamisme [Persatuan sesama Islam]

Muslim India dan Ottoman telah mengembangkan hubungan yang mendalam pada tahun 1870; awalnya ditanamkan oleh Inggris sendiri, dan dibahas di atas. Penyebab lainnya adalah status Ottoman sebagai Kekaisaran Muslim, kepemimpinan seorang “Khalifah”, potensi kebangkitan Kekaisaran Muslim yang bersatu, dan pembebasan dari penguasa “kafir”. (Pan-Islamism in British-Indian Politics, oleh Naeem Qureshi, Brill, 1999) 

Sultan Ottoman sangat menyadari bahwa warga Muslim di luar wilayah Ottoman menganggapnya sebagai “Khalifah” mereka dan menganggapnya wajib – setidaknya secara teori – untuk mengindahkan perintahnya. Bagi Sultan, populasi Muslim merupakan sumber daya politik yang dapat dimanfaatkannya untuk keuntungan pribadi.

Inggris mulai mengamati dengan cermat romansa yang sedang terjalin ini dan mengawasi ketat para konsul Ottoman. Muslim India yang bepergian ke wilayah Ottoman juga diawasi, termasuk laporan terperinci yang diberikan oleh konsul Inggris yang bermarkas di wilayah Ottoman. (“Azmi Ozcan; Contested Subjects”, oleh Faiz Ahmed, in Journal of the Ottoman and Turkish Studies Association, no 3, 2016)

Pada tahun 1880, satu dekade kemudian, Ottoman, melalui propaganda pan-Islam mereka, telah berhasil memenangkan simpati politik Muslim India. Mereka menyadari bahwa aliansi Inggris murni bersifat politis dan tidak mungkin bertahan lebih lama dari kepentingan pribadinya. Di sisi lain, sentimen religio-politik Muslim India semakin menguat dengan adanya kesultanan Ottoman. Muslim yang berpengaruh mulai mengunjungi Kesultanan Ottoman secara rutin selama dekade ini. Umat ​​Muslim ini mulai mengerahkan kekuatan mereka untuk Pan-Islamisme sejalan dengan agenda Ottoman.

Pada bulan Mei 1880, Ottoman meluncurkan surat kabar Urdu, Paik-i-Islam dan dengan susah payah menyebarkannya di kalangan Muslim India, khususnya di negara-negara kerajaan; umat Islam sebagai pemimpin negara-negara tersebut dipandang lebih menjanjikan dan berpotensi mudah memikat “para mualaf”. (A Study of the Attempts for Indo-Turkish Collaboration against the British, Journal of International History)

Hasib Efendi, seorang duta besar Ottoman, ditempatkan di Mumbai selama dekade 1870-an. Ia diawasi dengan ketat karena ia terus-menerus muncul di radar Inggris karena melangkah keluar dari kewenangannya untuk berbaur dengan Muslim setempat. Laporan rahasia memuat laporan pengawasan terperinci tentang dirinya yang telah memindahkan tempat tinggalnya lebih dekat ke lingkungan Muslim, melaksanakan salat Jumat di masjid-masjid setempat, dan membacakan khotbah atas nama Sultan-Khalifah Ottoman. (Azmi Ozcan; Faiz Ahmed)

Sultan melihat upaya Hasib Efendi membuahkan hasil dalam memperkuat kesetiaan Muslim-India kepada Ottoman. Kekaisaran Ottoman, senang dengan hasil ini, terus meminta pemerintah Inggris-India untuk mengizinkan lebih banyak konsul di India. (Azmi Ozcan)

Permintaan mereka yang berulang kali ditolak dengan alasan bahwa konsul seharusnya hanya membatasi diri mereka pada pelabuhan-pelabuhan tempat tujuan mereka terpenuhi secara memadai. Setelah merasakan keinginan sebenarnya di balik perambahan lebih lanjut ke pedalaman, Inggris terus menolak permintaan tersebut. (Contested Subjects, oleh Faiz Ahmed)

Kesultanan Ottoman bersikeras untuk mendapatkan izin untuk mendirikan kedutaan besar di Hyderabad (Deccan), Delhi, Lahore, Peshawar, dan Karachi. Jelas, kota-kota ini adalah yang mayoritas Muslim. Atas dasar bukan kota pelabuhan, Inggris menolak pembangunan kedutaan besar di semua kota kecuali Karachi. (NAI, FD/Secret/Maret 1878/6-63)

Konsulat Ottoman di Karachi

Konsulat Ottoman di Karachi diresmikan pada awal tahun 1890-an. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, Ottoman mulai memanfaatkan sarana komunikasi Barat; tujuan mereka adalah untuk memperkuat kekaisaran yang sedang goyah melalui skema politik pan-Islam. Dengan demikian, banyak surat kabar yang mempromosikan sentimen semacam itu menjamur selama masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II dengan target pembaca Muslim India. Namun, pemerintah Inggris-India tidak butuh waktu lama untuk melarang peredarannya di India dan juga melarang semua salinan yang mungkin telah sampai. (RL Sukhla)

Sultan Abdul Hamid II tidak menyerah dan terus meanjajaki berbagai cara. Pada tahun 1896, ia menugaskan Hüseyin Kâmi ke konsulat Karachi sebagai wakil konsul. Setibanya di sana, Hüseyin Kâmi segera mulai berkeliling di anak benua. Ia mengunjungi masyarakat Muslim umum, masyarakat Muslim – atau anjuman sebagaimana mereka biasa disebut – dan para pemimpin Muslim yang berpengaruh.

Ia lebih merupakan seorang propagandis dan aktivis politik yang menyamar sebagai konsul. Kunjungannya tidak lebih dari sekadar upaya untuk mengubah pola pikir Muslim menuju kesetiaan Ottoman dengan cara mengobarkan sentimen pan-Islam. (Azmi Ozcan dan Survey of International Affairs 1925, oleh AJ Toynbee, Oxford University Press, 1927)

Banyak Anjuman (organisasi) Muslim telah didirikan setelah tahun 1857 agar umat Islam dapat menyuarakan pendapat mereka sendiri. Yang paling terkenal adalah Anjuman-e-Islamia Lahore, yang didirikan melalui upaya Khan Bahadur Barkat Ali pada tahun 1866 dan dari anjuman ini telah menetas banyak lagi anjuman lainnya; yang kemudian memainkan peran penting dalam membentuk ideologi politik Muslim India. Markas besarnya, tempat tinggal Khan Bahadur Barkat Ali, berada di Mochi Darwaza – jantung kota Lahore – yang kemudian memindahkan markas mereka ke Mohammedan Hall pada tahun 1988. Anjuman-e-Islamia Khan Bahadur Barkat Ali mempertahankan posisi patriarki di antara semua masyarakat Muslim lainnya. (Role of the Anjumans for the Promotion of Education in Colonial Punjab, oleh Maqbul Awan, Bulletin of Education and Research, Vol 41, 2019)

Akhirnya, ketika tur Hüseyin Kami ke daerah-daerah mayoritas Muslim membawanya ke Lahore, tempat ia menjadi tamu Khan Bahadur Barkat Ali, ia bertemu dengan para pemimpin Muslim terkemuka di Punjab serta anggota Jamaat-e-Ahmadiyya, yang memperkenalkannya kepada komunitas mereka. (Tarikh-e-Ahmadiyyat, Vol I, Dost Muhammad Shahid, Rabwah)

Pertemuan Hüseyin Kami dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as)

Hüseyin Kami tiba di Qadian pada akhir April atau awal Mei 1897 (perdebatan seputar tanggal tersebut tercantum dalam “post scriptum” di akhir artikel ini) untuk bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud (as)). Meskipun literatur Jamaat tidak menyebutkan tujuan pertemuan ini, motif pan-Islamisnya jelas terlihat dari rincian yang diberikan di atas.

Dia melakukan perjalanan ke wilayah Muslim di subbenua, semuanya dalam upaya untuk menanamkan simpati dan niat baik terhadap sultan Ottoman dan kekaisarannya dan, sementara itu, berkampanye untuk dana perang Yunani-Turki. Dia telah bertemu dengan banyak anjuman dan delegasi Muslim selama tinggal di Lahore dan telah diperkenalkan ke Jamaat Ahmadiyah juga. Tuan rumahnya di Lahore pasti telah memberitahunya bahwa kelompok Ahmadiyah dari Muslim India tidak akan menjadi bagian dari gerakan keagamaan atau politik apa pun tanpa pemberitahuan tegas dari pemimpin mereka, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani. Pasti agenda yang sama yang membuatnya melakukan perjalanan ke Qadian dan mengadakan pertemuan ini, yang kita tahu diadakan secara tertutup.

The Civil and Military Gazette menerbitkan serangkaian laporan terperinci tentang perjalanan ini. Edisi terbitan 23 April menyatakan, “[…] kedatangannya di stasiun kereta api Lahore pada 22 April pukul 9.35 pagi disambut oleh kerumunan umat Islam.”

Tanggal 27 April berbunyi: “[…] setelah membaca salat Jumat di masjid Badshah pada tanggal 23, Hüseyin Kâmi menyampaikan pidato di mana ia meminta sesama Muslim untuk berdoa agar persahabatan Inggris-Ottoman menjadi makmur.” Pada tanggal 24 April, tertulis, “[…] ia adalah tamu Sheikh Miran Baksh di Lahore.”

Ia menulis surat dalam bahasa Persia dari Lahore kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as), yang terjemahannya adalah sebagai berikut:

“Wahai orang yang memiliki kebajikan suci! Aku mengenal karakter dan kebajikanmu yang agung melalui para pengikut setiamu di Lahore yang juga memperkenalkanku pada tulisan-tulisanmu yang luar biasa. Oleh karena itu, aku sangat ingin mengunjungi pribadimu yang mencerahkan. Insya Allah, aku akan berangkat dari Lahore dan, melalui Amritsar, aku akan bertemu dengan rombonganmu yang agung. Aku akan mengirimkan rincian lebih lanjut melalui telegram. Salam hormat, Husyein Kami, Konsul Sultan Ottoman.” (Majmua-e-Ishtiharat, Risalah dan Surat Berharga Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani, Vol II, Risalah tertanggal 24 Mei 1897)

 Surat yang disalin di atas tidak diberi tanggal, tetapi tidak salah jika diasumsikan bahwa surat itu ditulis pada akhir April saat ia berada di Lahore karena Civil and Military Gazette melaporkan kedatangannya di Amritsar pada 27 April; oleh karena itu, surat itu pasti bertanggal antara 22 dan 27 April.

Pertemuan dan kekecewaan Hüseyin Kami

Sebelum membahas rincian yang tersedia tentang pertemuan ini, tampaknya pantas untuk menyebutkan bahwa Hüseyin Kami meninggalkan Qadian dengan sangat kecewa sehingga ia menulis surat yang memfitnah kepada Syed Nazir Hussein, editor Nazim-ul-Hind. Surat tersebut muncul di surat kabar tersebut pada tanggal 15 Mei 1897:

“Syed Nazir Hussein yang terkasih dan terhormat, saya telah menerima surat Anda dan saya sangat berterima kasih. Saya bersyukur bahwa Anda telah menanyakan tentang karakter aneh Qadian dan kaum Qadiani. Di bawah ini, dengan keyakinan penuh, saya sampaikan kesan-kesan saya.

“Orang aneh ini telah menyimpang dari Islam dan memiliki sifat sesat. Klaimnya bahwa ia mencintai Nabi Muhammad tidaklah benar karena ia menganggap pintu kenabian masih terbuka. Kebingungannya dalam memahami nabuwwat dan risalat sungguh menggelikan ketika ia mengklaim bahwa Al-Quran tidak menyatakan Nabi (saw) sebagai Khatam-ul-Mursalin tetapi hanya sebagai Khatam-ul-Nabiyyin.

“Singkatnya, ia pertama kali mengklaim sebagai penerima wahyu, kemudian menjadi Almasih yang Dijanjikan dan sekarang telah menempatkan dirinya pada status Mahdi. Saya berlindung kepada Tuhan tentang bagaimana ia telah menyebut dirinya sebagai seorang nabi. Langkah selanjutnya, meskipun dia tertipu, mungkin saja dia mengaku sebagai tuhan […]

Terkait:   Sejarah Ahmadiyah di Sumatera Barat

“Saya meminta Anda untuk mengabaikan klaimnya sepenuhnya dan membiarkannya menghadapi nasibnya sendiri. Saya mohon maaf atas kata-kata mengganggu yang telah saya tulis.

“Sampaikan salam saya kepada Abu Said Muhammad Hussain dan Darogha Abdul Ghafur Khan. Jika Anda berkenan, mohon beri tahu saya ukuran sepatu Anda sehingga saya dapat memesankan sepatu lembut dari Istanbul untuk Anda dan memberikannya kepada Anda. Wassalam, Hüseyin Kami”. (Ibid)

Dia telah bertemu dengan delegasi Ahmadiyah yang pasti telah memberitahunya tentang klaim Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as).; Anjuman-e-Islamia pasti telah memberinya pengarahan juga. Lalu apa yang membuatnya begitu marah hingga akhirnya dia menulis kata-kata yang begitu pedas dalam suratnya?

Mari kita simak, melalui kata-kata Hadhrat Masih Mau’ud (as)., kisah pertemuan mereka. Hadhrat Ahmad (as) dengan tegas membantah klaim yang dibuat dalam surat dan catatan editorial yang diterbitkan oleh Nazim-ul-Hind bahwa Huseyn Kami diundang ke Qadian agar Hadhrat Ahmad (as) dapat bersumpah setia kepada Sultan Ottoman di tangannya.

Hadhrat Ahmad (as) menyatakan, “Saya tidak membutuhkan Kesultanan Ottoman, saya juga tidak ingin bertemu dengan konsul mereka. Hanya ada satu Sultan bagi saya dan Dialah yang memimpin Langit dan Bumi.

“Apa gunanya kerajaan duniawi dibandingkan kerajaan samawi? Jauh lebih rendah daripada serangga mati dibandingkan matahari. Jika Kesultanan begitu remeh di hadapan Raja kita, lalu apa gunanya duta besarnya?

“Di mata saya, pemerintah Inggrislah yang pantas dihormati, dipatuhi, dan disyukuri, yang di bawah pemerintahannya, saya dapat menjalankan tugasku dengan damai.” (Ibid)

Hadhrat Ahmad (as) juga menulis bahwa Huseyn Kami-lah yang meminta audiensi pribadi dan bahwa dia hanya menyetujuinya sebagai tanda keramahtamahan; mengetahui dengan baik niat duniawi dan munafik di balik audiensi ini.

Hadhrat Masih Mau‘ud (as) menyatakan: “Saya diminta untuk melakukan doa bagi Sultan Ottoman untuk masalah tertentu, dan juga untuk memberi tahu Hüseyin Kami, melalui pengetahuan ilahi, tentang masa depan kekaisarannya.”

Sebagai balasan, Hadhrat Ahmad (as) mengatakan kepadanya dengan jelas bahwa keadaan Sultan dan kekaisarannya sama sekali tidak dalam keadaan baik. “Kesultanan Ottoman dalam banyak hal salah di mata Tuhan”, Ahmad as memberitahunya. “Tuhan menghargai kesalehan, kemurnian, dan simpati bagi umat manusia sementara Kesultanan saat ini menginginkan kehancuran. Bertaubatlah, agar Anda memperoleh kebaikan.”

Ahmad (as) juga membuat klaimnya sendiri sebagai Mahdi dan Al-Masih, dengan sangat rinci. Selain itu, meluruskan konsep umum tetapi salah tentang “Al-Masih penumpah darah [pelopor peperangan]”.

Percakapan itu pasti berubah menjadi tidak menyenangkan baginya ketika Hadhrat Masih Mau‘ud as. menyatakan: “Adalah maksud Tuhan bahwa setiap Muslim yang tidak bersamaku akan binasa; baik itu raja atau bukan.” (Ibid)

Setelah percakapan ini, ia menanyakan gagasan beliau tentang Kekaisaran Inggris. Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjawab:

“Saya sungguh-sungguh setia dan berterima kasih kepada pemerintah karena mereka memungkinkan kita hidup dalam keadaan damai. Saya tidak percaya tingkat perdamaian ini dapat dicapai di bawah kekaisaran lain. Bisakah saya berada di Istanbul dan dengan bebas menyebarkan klaim saya sebagai Mahdi dan Al-Masih? Atau bahwa jihad dengan pedang adalah gagasan yang salah. Apakah para maulvi dan mullah yang ganas tidak akan menyerang saya setelah mendengar ini? Apakah saya tidak akan diminta untuk mengikuti keyakinan Sultan? Lalu, apa gunanya bagi saya kesultanan Ottoman?”

Ada tiga aspek dari percakapan ini yang melemahkan niat Hüseyin Kami:

1. Seorang yang mengaku sebagai utusan Kekaisaran Samwi (duta Kerajaan Ilahi) yang menganggap Ottoman tidak berharga

2. Mengaku sebagai Mahdi

3. Seorang yang setia kepada Kekaisaran Inggris yang menerimanya sebagai utusan kerajaan samawi.

Mari kita cermati lebih dekat masing-masing poin ini; yang pertama dan ketiga bersama-sama dan kemudian yang kedua secara terperinci.

Sejauh menyangkut anggapan bahwa Kekaisaran Ottoman tidk ada apa-apanya dibandingkan dengan Kekaisaran samawi, itu sudah cukup untuk menghancurkan motif Pan-Islam Hüseyin Kami. Pada poin ketiga, Hadhrat Masih Mau’ud memuji dan, karena kebebasan beragama, menunjukkan kesetiaan kepada Kekaisaran Inggris. Karena Kekaisaran Ottoman jauh lebih buruk dan sangat kontras, menjadi jelas bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya tidak akan pernah bergabung dengan gerakan apa pun yang mendukung Kesultanan Ottoman.

Tahun 1897 adalah masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. Ia tidak hanya menyaksikan kejatuhan Kekaisarannya yang terus-menerus, tetapi kekuasaannya juga menurun. Ia sudah takut terhadap kekuatan Barat yang terus berkembang dan juga ideologi-ideologi baru seperti “Turki Muda” di dalam negeri. Untuk setidaknya mendapatkan dukungan agama dari umat Islam, kebutuhan untuk menghidupkan kembali posisinya sebagai Khalifatul Muslimin dirasakan lebih dari sebelumnya. (Survei oleh AJ Toynbee)

Oleh karena itu, seluruh permainan pan-Islamisme adalah taktik untuk melukiskan posisi politiknya dalam nuansa agama. Ia juga menyadari bahwa satu jabatan yang dapat menyerukan persatuan umat Islam adalah jabatan Al-Masih dan Mahdi yang ditunggu-tunggu – daya tarik umat selama berabad-abad untuk seorang juru selamat.

Kekhawatiran Sultan Abdul Hamid II terhadap para pengaku ke-Mesias-an atau ke-Mahdi-an dapat dibaca dalam buku karya Lothrop Stoddard, The New World of Islam. Ia juga menyadari bahwa, menjadi “penjaga dua tempat suci” adalah satu-satunya alasan umat Islam menghormatinya. Jabatan itu harus diserahkan kepada seorang Mahdi atau Almasih, jika para pengaku muncul di tempat kejadian. Pertumpahan darah oleh Mahdi Sudan adalah contoh dari apa yang dikhawatirkan Sultan. (RL Shukla; Toynbee)

Dengan mengingat hal ini, orang dapat dengan mudah membayangkan betapa kecewa dan frustrasinya Hüseyin Kami setelah pertemuannya dengan Hadhrat Ahmad (as). Ia telah bertemu dengan seseorang yang tidak sendirian tetapi memiliki banyak pengikut Muslim, dan tidak hanya mengaku sebagai “Mahdi” tetapi juga “Almasih”.

Singkatnya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as), bagi Hüseyin Kami, tidak kurang dari ancaman terhadap kanvas lukisan pan-Islam yang ingin dilukis oleh Sultannya. Azmi Ozcan, dalam bukunya, Pan-Islamism: Indian Muslims, the Ottomans and Britain, telah dengan tegas menyatakan bahwa misi Hüseyin Kami telah berhasil di semua kalangan Muslim kecuali Jamaah Ahmadiyah Qadian. (Azmi Ozcan, hal. 106)

Hasil akhir dari fitnah duta besar Ottoman terhadap Kekaisaran Samawi

Segera setelah mendarat di India dan segera berangkat untuk tur keliling negara, memberi tahu kita bahwa dia (Hüseyin Kami) lebih merupakan seorang propagandis daripada seorang diplomat.

Terlepas dari pertemuannya dengan Hadhrat Ahmad (as), dia berpikir bahwa turnya telah menjadi kesuksesan besar. Kita mengetahui hal ini dari sepucuk surat yang ditulisnya di kampung halaman kepada Sultan:

“Saya merasa terhormat menjadi bagian dari Konsulat selama setahun ini dan kemajuan yang saya buat mendorong saya untuk terus menekuni layanan konsulat sebagai karier saya dan untuk mendapatkan manfaat dari pencerahan yang saat ini menyebar ke seluruh kekaisaran melalui perhatian Augustus dan penguasa kita yang murah hati.” (Ottoman Archives, Istanbul, BOA/I/HR/00352.00047.001)

Tanggal surat ini tidak diketahui, tetapi diperkirakan ditulis pada akhir tahun 1897 (seperti yang juga ditunjukkan oleh catatan pensil pada dokumen tersebut) setelah lawatannya ke seluruh India. Asumsi ini dibuat atas dasar bahwa surat dari pemerintah Inggris yang menerima pengangkatannya di Karachi sebagai wakil konsul tertanggal 6 Oktober 1896. Suratnya menyebutkan satu tahun keberhasilan sejak penugasannya, oleh karena itu diperkirakan bertanggal sekitar akhir tahun 1897.

Dia mungkin mengira dia baik-baik saja, tetapi takdir telah memutuskan sebaliknya.

Tahun yang ia pikir merupakan tahun yang sangat sukses ternyata justru membawa kehancurannya. Pemerintah Inggris telah mengawasinya dengan ketat selama perjalanannya. Seperti yang disebutkan di atas, Inggris hanya setuju untuk menempatkan konsul Utsmani di India dengan syarat mereka tetap menjalankan aktivitas mereka di pelabuhan, yaitu memfasilitasi perjalanan ke wilayah Utsmani. Namun, seperti yang telah kita lihat, konsul seperti Hüseyin Kami berada di sana dengan misi yang sama sekali berbeda.

Propaganda pan-Islamnya merupakan ketidakjujuran total terhadap pemerintah di negara tempat ia bermarkas. Pemerintah Inggris, berdasarkan laporan pengawasan mereka, menyatakan Hüseyin Kâmi sebagai persona non grata dan meminta pemerintah Ottoman untuk memanggilnya kembali dari India. (Secret report, India Office Records, L/P&S/7/103, no 469)

Ketidakjujuran Hüseyin Kâmi, saat mulai terlihat, ternyata tidak ditujukan kepada pemerintah Inggris tetapi juga kepada dermawannya sendiri, Sultan Ottoman.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, salah satu motif di balik lawatannya ke wilayah-wilayah mayoritas Muslim di India adalah untuk mengamankan sumbangan bagi anak-anak yatim piatu dari mereka yang telah mengorbankan nyawa mereka selama perang Yunani-Turki di Kreta pada tahun 1897. Ia ditemukan telah menggelapkan dana yang dimilikinya, diskors dari tugas dan sebagai akibatnya, telah menghadapi banyak aib.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) meriwayatkan hal ini dalam buku beliau, Tiryaq-ul-Qulub (1902):

“Dana yang terkumpul untuk para korban Kreta, yang dititipkan kepada Hussain Kami sebagai wakil konsul yang berkantor di Karachi, tidak pernah diterima oleh perbendaharaan Ottoman. Jadi, setelah menyelidiki masalah tersebut, penipuannya menjadi jelas, ia diberhentikan dari jabatannya dan dana yang digelapkan itu dikembalikan dengan melelang harta bendanya.”

Hadhrat Masih Mau’ud (as) memberikan bukti dari sebuah surat kabar, Nayyar-e-Asafi tertanggal 1 Oktober 1899 yang diberitakan dengan judul, “Surat dari Konstantinopel”. Berita tersebut secara khusus menyebutkan bahwa uang yang disumbangkan oleh surat kabar Vakil dari Amritsar, telah menjadi bagian dari dana yang digelapkan oleh Hüseyin Kami.

Alhamdulillah, Pusat Penelitian dan Arsip Ahmadiyah, London, kini mampu menyajikan bukti dari catatan Kekaisaran Ottoman. Dokumen yang ditemukan di Arsip Ottoman, menyebutkan penggelapan 1.655 robles, menyoroti dana yang dikumpulkan oleh “Muhammad Isa dari surat kabar Vakil, Amritsar”. (Ottoman Archive, Istanbul: BEO/001242/093148/001)

Manifestasi yang lebih besar dari nubuatan Masih Mau’ud (as)

Ketika Hüseyin Kami meminta Hadhrat Ahmad (as) untuk meramalkan nasib Kekaisaran Ottoman, Ahmad (as) memberitahunya tentang hal berikut: “Kondisi Sultan Ottoman tidak baik dan apa yang telah saya lihat dalam penglihatan ilahi adalah saya tidak menemukan rekan-rekannya dalam keadaan yang baik. Menurut saya, apa yang akan terjadi selanjutnya tidaklah menyenangkan.”

Terkait:   Sejarah Ahmadiyah di Banten

Sultan Ottoman sebenarnya dalam kondisi yang mengerikan. Masa-masa indah hubungan cinta dengan Inggris kini telah berlalu. Bagi Sultan Abdul Hamid, simpati terhadap Muslim India merupakan salah satu hal terakhir yang ia pegang teguh dalam keputusasaan.

AJ Toynbee menggambarkan keadaan Ottoman dengan kata-kata berikut:

“Abdul Hamid memang membalas orientasi baru kebijakan Inggris, yang semakin tidak menguntungkan Turki sejak tahun 1880 dan seterusnya, dengan melakukan propaganda anti-Inggris di India.”

Jabatan penguasa absolut yang pernah dinikmati Sultan Abdul Hamid lenyap begitu saja ketika gerakan Turki Muda memaksanya untuk menghidupkan kembali konstitusi yang telah lama ditangguhkan. Dengan sedikit atau tanpa pilihan, Sultan harus menyerah pada tuntutan tersebut dan, sebagai hasilnya, mendapati dirinya sebagai raja konstitusional belaka. Akhirnya, gerakan Turki Muda berkembang dan pada tahun 1908, Sultan-Khalifah Umat Islam yang menamakan dirinya sendiri dan kaisar dari sebuah kekaisaran besar, hanya memiliki tanah seluas yang dimiliki istana kerajaannya. Sultan, khalifah, dan kaisar kini hanya memiliki gelar tetapi tidak memiliki kekuasaan.

Perlu dicatat di sini bahwa tahun ketika kejayaan khalifah Ottoman mengalami kehancurannya, adalah tahun yang sama ketika kekhalifahan samawi – yang telah dimulai melalui Hadhrat Masih Mau’ud (as) – berdiri.

Setelah kunjungan Hüseyin Kami ke Qadian dan suratnya yang memfitnah, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menerbitkan pengumuman lain pada tanggal 7 Juni 1897, di mana ia menyatakan:

“Ingatlah bahwa menolak wujud pilihan Tuhan, adalah penolakan terhadap Tuhan. Anda boleh mencaci saya jika Anda memilih untuk melakukannya, karena menurut Anda Kekaisaran Samwi tidak memiliki kedudukan. Klaim Sultan sebagai khalifah Umat Islam, hanyalah dugaan belaka. Sebenarnya, Khilafah sejati adalah yang disebutkan dalam Barahin-e-Ahmadiyya dan Izala-e-Auham 70 tahun yang lalu. Apakah Anda tidak ingat wahyu:

 اردت ان استخلف فخلقت آدم

[Aku ingin menciptakan seorang khalifah, maka Aku ciptakan Adam]

 خليفة الله السلطان

[Khalifah Allah, Sultan]. Ya, Khilafah kami bersifat ruhani dan samawi, bukan duniawi.”

Betapa kata-kata ini terpenuhi dengan sangat baik, merupakan fenomena yang menakjubkan!

Tahun ketika Kekaisaran Ottoman ingin mendirikan apa yang disebut Khilafah dan menunjuk Husain Kami ke India adalah tahun 1896. Pada tahun yang sama, wahyu sekali lagi diturunkan kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as):

“Raja-raja akan mencari keberkahan dari pakaianmu.”

Sejarah kini menjadi saksi bahwa sabda Hadhrat Masih Mau’ud (as) adalah benar dan berasal dari Penguasa Samawi.

مجھ کو کیا ملکوں سے میرا ملک ہے سب سے جدا

مجھ کو کیا تاجوں سے میرا تاج ہے رِضوان یار

 ‘mujhko kiya mulkong se mera mulk he sab se juda

mujhko kiya taajong se mera taaj he ridhwaan Yaar.’

“Apa hubunganku dengan negara-negara (pencapaian kekuasaan-kekuasaan)? Sungguh! Negaraku berbeda dari semua negara itu!

Apa hubunganku dengan mahkota-mahkota [yaitu menjadi penguasa] itu, Sungguh! mahkotaku keridhaan Sang Sahabat (Tuhan).”

Post scriptum

Satu-satunya informasi yang kami miliki dalam literatur kami adalah Hüseyin Kâmi, seorang konsul Sultan Ottoman, mengunjungi Hadhrat Masih Mau’ud di Qadian, merasa frustrasi dan menulis kata-kata yang memfitnah tentang Hudhur (as). Motif di balik kunjungan konsul Ottoman kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga tidak jelas karena rincian audiensi pribadi tersebut tetap bersifat pribadi dan Hudhur (as) juga tidak memberikan rincian apa pun tentang isu “khusus” yang dibahas.

Tanggal kedatangannya di Qadian

Kapan ia tiba di Qadian juga tidak jelas selama ini. Dalam Tarikh-e-Ahmadiyyat, jilid I, disebutkan bahwa ia tiba di Qadian pada “10 atau 11 Mei”. Sirat-ul-Mahdi tidak menyebutkan tanggal apa pun sementara Hayat-e-Ahmad karya Hadhrat Sheikh Yaqub Ali Irfanira juga menyebutkan “10 atau 11 Mei”.

Dalam Maktubat-e-Ahmad, jilid II, sebuah surat dari Hadhrat Masih Mau’ud kepada Hadhrat Nawab Muhammad Ali Khan Sahib diterbitkan, yang menyatakan: “Pelayanmu tiba kemarin. Konsul sendiri ingin mengunjungi Maler Kotla […]”

Bersama surat ini ada catatan kaki dari Sheikh Yaqub Ali Irfani (ra):

“Catatan dari editor: Tanggal pada surat ini adalah 1 atau 11 Mei. Huzoor terkadang menambahkan baris (؍) setelah angka-angka pada tanggal tersebut, tetapi terkadang tidak. Jika baris tersebut dianggap ditambahkan di sini, tanggalnya adalah 1 Mei, sedangkan jika tidak, maka tanggalnya adalah 11 […]

“Jelas bahwa surat itu ditulis setelah kunjungan Hüseyin Kami ke Qadian. Hanya dengan mengetahui tanggal kunjungannya ke Qadian, tanggal pada surat ini dapat dipastikan […]

“Karena saya telah mengetahui bahwa Hüseyin Kami mengunjungi Lahore pada bulan Mei sebelum mengunjungi Qadian, kemudian, saya berasumsi tanggalnya adalah 11 Mei.”

Selama penelitian saya, saya dapat memastikan bahwa kunjungan Hüseyin Kami ke Lahore, sebelum mengunjungi Qadian (melalui Amritsar) adalah dari tanggal 22 April 1897 hingga 27 April 1897.

Civil and Military Gazette, dalam terbitannya tanggal 23 April, melaporkan kedatangannya terjadi “kemarin”, yaitu tanggal 22 April.

Terbitan tanggal 24 April kembali menegaskan kedatangannya pada tanggal 22 April.

Civil and Military Gazette, Lahore, hari Kamis, 29 April melaporkan bahwa Hüseyin Kami telah tiba di Amritsar pada hari Selasa, 27 April. Dari sinilah dia akan berangkat ke Qadian, seperti yang dia sarankan dalam rencana perjalanannya ketika dia menulis surat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as.

Semua ini cukup untuk menegaskan bahwa kunjungan Hüseyin Kami ke Lahore terjadi pada bulan April, bukan Mei. Karena ia hanya tinggal di Lahore selama lima hari dan lebih sedikit lagi hari di kota-kota kecil, masuk akal jika ia mengunjungi Qadian pada hari-hari terakhir bulan April, dan surat dari Hadhrat Masih Mau’ud kemungkinan besar bertanggal 1 Mei.

Karena satu-satunya kemungkinan surat itu ditulis pada tanggal 11 Mei disebutkan – dalam catatan kaki Maktubat-e-Ahmad – adalah saat Kami mengunjungi Lahore pada bulan Mei, maka sekarang kemungkinan besar kunjungannya ke Qadian terjadi pada hari-hari terakhir bulan April 1897.

Suratnya kepada surat kabar Nazim-ul-Hind, yang dimuat dalam terbitan 15 Mei, tampaknya ditulis kepada surat kabar tersebut atas permintaan editor. Hal ini terbukti dari baris pembuka yang berbunyi, “Betapa bersyukurnya saya karena Anda telah menanyakan kesan saya tentang Qadian dan karakter khusus kaum Qadiani […]”

Jika dimuat dalam terbitan 15 Mei, surat tersebut seharusnya sudah dimuat dalam koran sehari sebelumnya. Jika kedua surat itu dikirim bolak-balik, bahkan dengan layanan pos tercepat saat itu, akan memakan waktu setidaknya tiga hari masing-masing. Hal ini mendorong tanggal surat Hüseyin Kami – yang ditulis setelah ia meninggalkan Qadian – menjadi sebelum 11 Mei.

Jika kita menganggap surat Hadhrat Masih Mau’ud (as) kepada Nawab Sahib tertanggal 11 Mei, itu berarti ia telah meninggalkan Qadian saat itu. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa ia tidak mungkin tiba pada tanggal 10 karena semua catatan kunjungannya menunjukkan bahwa ia tiba sekitar waktu Isya. Hadhrat Masih Mau’ud (as) menderita migrain dan tidak dapat menemuinya. Oleh karena itu, pertemuan itu terjadi pada hari berikutnya.

Ini juga menunjukkan bahwa ia telah mengunjungi Qadian sebelum 10 atau 11 Mei dan surat itu, kemungkinan besar, ditulis pada tanggal 1.

Semua ini tidak dikatakan dengan pasti tetapi menambah materi baru yang ditemukan dalam diskusi. Suatu hari nanti kita mungkin dapat mengatakannya dengan pasti, insya-Allah.

Nama Hüseyin Kâmi

Butuh banyak upaya yang kami butuhkan untuk mencapai Hüseyin Kâmi dalam penelitian ini. Unsur yang menyesatkan adalah banyak peneliti dan sejarawan telah mencatat namanya sebagai “Hussain Kamil” atau “Huseyin Kamil”.

Dengan sikap yang muncul dari para peneliti dan cendekiawan hebat (dan penerbit seperti Cambridge University Press, Brill dan sejenisnya) kami menganggapnya demikian dan penelitian itu tetap berada di jalur yang salah.

Baru setelah saya dapat mengakses Ottoman Archives and in Istanbul, dan sumber-sumber Turki lainnya, saya menemukan ejaan yang benar dari namanya menjadi Hüseyin Kâmi.

Konfirmasi kemalangan Hüseyin Kâmi

Saya mengetahui bahwa Hüseyin Kami adalah seorang penyair dan karyanya diterbitkan dengan nama Dehri Daghistanli. Ia juga menggunakan nama samaran lainnya. Koleksi utama karya puisinya diterbitkan dengan judul Divance-i Dehri.

Sebuah buku berjudul Son Asir Turk Sairleri (penyair Turki abad terakhir) karya Mahmud Kemal Inal memperkenalkannya dengan kata-kata berikut:

“Hüseyin Kâmi menghubungkan dirinya dengan Daghistan karena ayahnya adalah keturunan Daghistan. Ia pertama kali bekerja di percetakan Porte Noble milik Sultan sebelum diangkat sebagai konsul di Karachi. Ia tinggal di sana selama lima atau enam tahun. Ia menggelapkan dana yang dikumpulkan untuk anak yatim piatu dari mereka yang gugur dalam perang Yunani-Turki dan, dengan demikian, diskors dari pekerjaannya.”

Sejarawan Turki Sefer E Berzeg telah mengungkapkan dalam artikelnya, yang diterbitkan di harian Tanin, Istanbul, bahwa Hüseyin Kâmi tidak hanya diskors dari tugasnya, tetapi juga diasingkan ke Mesir di mana ia harus menjalani kerja paksa sebagai bagian dari hukumannya. Ia dipanggil kembali ke Turki setelah revolusi 31 Maret 1909 di mana ia diadili atas berbagai kejahatan dan tetap keluar masuk penjara selama sisa hidupnya.

Mahmud Kemal Inal, dalam buku yang disebutkan di atas, juga menyebutkan karya-karya puitis Hüseyin Kâmi. Karyanya yang paling terkenal adalah Divance-i Dehri yang merupakan kumpulan puisi satirnya.

Inal mencatat tahun kelahirannya sekitar tahun 1878, dan tahun kematiannya adalah tahun 1912. Akan tetapi, Dr Ahmed Tanyildiz, yang telah melakukan penelitian menyeluruh tentang Divance-I Dehri karya Kami, berpendapat bahwa tahun kelahiran dan kematiannya, sebagaimana dinyatakan oleh Inal, tidaklah akurat. Penelitiannya menunjukkan bahwa Kami meninggal sekitar tahun 1916.

Dalam dokumen yang dapat saya peroleh dari Arsip Ottoman di Istanbul, usianya tercatat 24 tahun dalam catatan dinasnya. Dokumen tersebut bertanggal 1897, yang berarti tahun kelahirannya adalah 1873. Karena hal ini tidak menambah atau mengurangi substansi apa pun dari cakupan penelitian saya, saya serahkan kepada para sejarawan Turki untuk memutuskan. (Diterjemahkan [dari bahasa Urdu ke Inggris] oleh Tahmeed Ahmad dan Azhar Ahmad, Inggris)

Sumber: Alhakam.org

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.