Tabligh Ahmadiyah Masuk ke Sumatera Barat
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa pada bulan Ramadhan tahun 1926, Maulana Rahmat Ali pergi meninggalkan Aceh dengan menyusuri pantai barat Sumatera menuju selatan dan sampailah beliau di Padang, Sumatera Barat. Di tempat yang baru ini beliau tinggal dirumah keluarga Daud gelar Bangso Diradjo [1] di Pasarmiskin, atas petunjuk Abdul Aziz Shareef yang ketika itu sedang belajar di Qadian.
Setibanya Maulana Rahmat Ali di Padang, sebagaimana layaknya seorang Ahmadi, beliau tidak tinggal diam. Beliau mulai berdakwah kemana-mana menyampaikan tabligh Ahmadiyah sampai ke daerah-daerah Bukitinggi, Padangpanjang, Batusangkar dan Payakumbuh sehingga muncul reaksi penentangan [2]. Dalam kegiatan pertablighan, Maulana Rahmat Ali dibantu oleh Haji Mahmud, yang ketika itu baru saja menyelesaikan studinya dan kembali dari Qadian. Pada bulan Juni 1926, seorang pemuda bernama Marzuki Abdur Rauf bai’at setelah berdiskusi beberapa hari dengan Maulana Rahmat Ali. Beliau ini di kemudian hari begitu gigihnya menyebarkan dakwah Ahmadiyah di ranah minang, layaknya pedang terhunus bagi para penentang Ahmadiyah di sana.
Dengan bantuan Daud Bangso Diradjo, Maulana Rahmat Ali dapat melakukan dakwah di kalangan teman-teman beliau para pedangang dan murid dari Dr. Hadji Abdullah Ahmad. Pertemuan dalam suatu kelompok kecil biasa dilakukan di komplek pertokoan Goan Hoat atau rumah Siti Baiman di Pasarmiskin Padang. Meskipun Maulana Rahmat Ali belum lancar berbahasa Melayu, namun karena pembawaan beliau yang menarik dan sabar serta kemampuan beliau berbahasa Arab, beliau mampu mengundang perhatian yang cukup besar dari kalangan masyarakat kota Padang terhadap dakwah yang beliau sampaikan. Dalam tempo yang relatif singkat, beliau telah banyak menarik simpati masyarakat kepada ajaran Ahmadiyah.
Pada suatu waktu H. Mahmud datang ke rumah seorang kenalan beliau di Bukit Surungan Padang Panjang untuk berdakwah, tapi masyarakat setempat sudah mengenal beliau karena beliau berasal dari daerah itu, sehingga mereka mencoba menahan beliau dan memaksa beliau keluar dari Ahmadiyah. Atas pertolongan Ilahi, usaha para penentang ini tidak berhasil, H. Mahmud mampu meloloskan diri dan kembali ke Padang. Tindakan masyarakat kampung itu tidak membuat beliau gentar, sebab tidak berapa lama setelah itu beliau bersama Maulana Rahmat Ali kembali ke Bukit Surungan Padangpanjang untuk berdakwah dengan mengunjungi salah seorang kerabat beliau.
Tanda Ilahi Menyertai Tabligh Ahmadiyah
Reaksi masyarakat Bukit Surungan Padangpanjang atas kedatangan Muballigh Ahmadiyah itu ternyata lebih keras lagi. Rombongan itu ditunggu banyak orang dengan berbagai umpatan dan intimidasi, bahkan para penentang pun telah menyiapkan anjing pemburu untuk menyakiti dan mengusir Maulana Rahmat Ali dan H. Mahmud, sehingga beliau terpaksa menyelamatkan diri di sebuah rumah di luar kampung itu. Masyarakat penentang mengepung rumah itu, dan mulai menganiaya kedua Muballigh Ahmadiyah itu. Atas rencana Allah Ta’ala, tindakan aniaya itu berakhir tatkala ada orang asing[3] yang menghardik dan menghunuskan pedang kepada para pengepung itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Maulana Rahmat Ali menasihatkan Salih untuk segera meninggalkan Padangpanjang, karena tak lama lagi akan datang gempa disana. Salih sendiri tidak menyangka pertemuannya dengan Rahmat Ali waktu itu terulang kembali dalam waktu dan kondisi yang berbeda, tatkala ia menjadi salah seorang murid Rahmat Ali di Betawi[4]. Hal ini terbukti, tak lama setelah Rahmat Ali berlalu dari sana, daerah itu dilanda gempa bumi[5], yang menghancurkan sebagian besar bangunan dan membinasakan banyak jiwa, namun rumah dimana Maulana Rahmat Ali dan H. Mahmud berlindung tidak mengalami kerusakan apapun. Masyarakat Padangpanjang selalu menyebutkan gempa pada tahun itu dengan ’Gempa Rahmat Ali’.
Namun bukannya mereka bertaubat mereka malahan melancarkan fitnah dan melaporkan hal-hal yang tidak benar tentang Maulana Rahmat Ali. Satu jam setelah kejadian gempa, seorang polisi datang dan menyerahkan sebuah amplop tertutup kepada Maulana Rahmat Ali. Ketika beliau membukanya ada tulisan ’kamu komunis !’, Kamu datang untuk menyebarkan komunis. Atas izin siapa kamu datang, dan kapan akan melaksanakan pembantaian?!’. Dalam suatu kesempatan, Maulana Rahmat Ali pergi ke rumah Syekh Ibrahim Parabek. Beliau berbicara dengan sang tuan rumah tentang aqidah Ahmadiyah. Begitulah seterusnya, selama beberapa hari, terjadi pembicaraan dengan beragam dalil dan argumen. Di hari pertemuan yang ke-empat, sang tuan rumah sepertinya telah kehabisan dalil, sehingga setelah pertemuan itu sang Syeh mengirim surat undangan kepada ulama lainnya untuk mengadakan perdebatan. Para ulama itu bukannya menjawab undangan tersebut, malah mengusulkan agar menyerahkan Maulana Rahmat Ali ke polisi dengan tuduhan bahwa beliau anti pemerintah.
Para penentang juga tidak bersikap jantan, pernah dalam suatu kesempatan Maulana Rahmat Ali singgah disebuah toko buku milik seorang ulama setempat. Sembari melihat-lihat koleksi buku, mata beliau tertuju pada sebuah kitab tafsir karangan Muhammad Abduh. Segera saja beliau membuka kitab itu dan memperlihatkan ayat tentang kewafatan Nabi Isa as. serta membacakan terjemahannya. Sejak itu sang ulama tidak lagi memajang kitab itu di tokonya.
Dalam bulan yang sama dengan terjadinya gempa bumi, juga terjadi kebakaran hebat di daerah Pasarmiskin, yang sangat dekat dengan kediaman Maulana Rahmat Ali. Ketika terjadi kebakaran tersebut, di saat orang-orang lain panik menyelamatkan harta-benda, dengan yakin Maulana Rahmat Ali keluar dari rumah dan berdo’a[6] agar kediaman beliau diluputkan dari api, dan memang demikianlah kesudahannnya, rumah tetangga sekitar kediaman beliau sudah terbakar namun ketika api hendak mencapai rumah Maulana Rahmat Ali, angin berhembus berbelok arah sehingga kediaman beliau selamat dari jilatan api.
Berdirinya Jemaat Ahmadiyah Padang
Mereka yang tertarik kepada ajaran Ahmadiyah pada pertengahan tahun 1926 menghimpun diri untuk membuat suatu komite penyelidik guna menyelidiki lebih jauh ajaran ini. Komite ini dinamakan ’Komite Pentjari Haq Penolak Soebhat’, dengan susunan kepengurusan sebagai berikut: Aboebakar Bagindo Maradjo sebagai Ketua; Daoed Bangso Diradjo sebagai Wakil Ketua; Moehammad Tahar Soetan Maradjo sebagai Sekretaris; Oedin Radjo Nan Kayo, Bagindo Moehammad Syarif dan Boeyoeng Hitam Marah Sampono sebagai Komisaris; Marah Baya, Pakih Isa dan Hamid sebagai Anggota.
Tujuan pembentukan komite ini adalah untuk mempertemukan Muballigh Ahmadiyah Maulana Rahmat Ali dengan para ulama Minangkabau. Pada awal tahun 1926, Komite tersebut telah berusaha mengundang para alim ulama Minangkabau dan Muballigh Ahmadiyah, bertempat di Pasar Gadang, pada sebuah gedung pertemuan milik Bagindo Zakaria. Pada waktu yang sudah ditentukan untuk mengadakan perdebatan antara Muballigh Ahmadiyah dan para alim ulama Minangkabau itu, ternyata yang disebut belakangan tidak muncul dan hanya diwakilli oleh murid-murid mereka saja. Ketidakhadiran alim ulama itu membuat kecewa para pengurus Komite itu. Selanjutnya setelah peristiwa di Pasar Gadang tersebut, komite itu mengadakan rapat pada tanggal 27 Juli 1927 bertempat di rumah Siti Baiman. Dalam rapat itu para pengurus Komite memutuskan untuk membubarkan diri, dan sekaligus mendirikan cabang Jemaat Ahmadiyah di kota Padang, dengan beranggotakan seluruh anggota Komite maupun simpatisan lainnya sebanyak 15 orang, diantaranya: Muhammad Tahar Sutan Marajo, Daud gelar Bangso Dirajo, Bagindo Zakaria seorang pengusaha terkemuka di Padang asal Pariaman, Pakih Isa, Bagindo Syarif, Abubakar Bagindo Maradjo, Abdul Jalil Mara Bungsu, Marah Simon, Husin Hasan Sutan, H. Marah Wahab, dan lain-lain. Rapat ini kemudian dilanjutkan dengan rapat pada tanggal 31 Agustus 1927, dengan mengundang tidak hanya seluruh anggota komite, namun juga seluruh orang yang telah menerima dakwah Hdh. Masih Mau’ud as. Peserta rapat tersebut secara aklamasi menerima keputusan komite tanggal 27 Juli 1927, dan menetapkan pula tanggal yang sama sebagai hari berdirinya Cabang Jemaat Ahmadiyah di kota Padang lengkap dengan kepengurusannya.
Adapun susunan kepengurusan Jemaat Ahmadiyah Padang yang pertama, sebagai hasil rapat 31 Agustus 1927, adalah sebagai berikut:
- Ketua : Aboebakar Bagindo Maharadjo
- Wakil Ketua : Daoed Bangso Diradjo
- Sekretaris I : Moehammad Tahar Soetan Maradjo
- Sekretaris II : Moehammad Saleh Soetan Radjo Endah
- Komisaris : Noerdin Soetan Maharadjo, Bagindo Moehammad Syarif, Marah Baya, Moehammad Yoesoef, Datoek Saidi Bagindo
- Penasehat : Moehammad Saad Lelo Maharadjo
- Anggota : Oedin Radjo Nan Kayo, Pakih Isa, Abdoel Gofoer, Bakri, Moehammad Syarif Sampono Soetan, Ganin Bandaro Soetan, Osman, Mandaro, Mani, Noerdin Soetan Maradjo, Boeyoeng Hitam Marah Sampono, Hamid, Lani Malin Malelo, Moehammad Yoenoes Syah Radjo, Safioeddin, Hoesni Pakih Bagindo, Goel bin Adam, Hitam Pandoeko Soetan, Ali bin Basalamah.
Berdirinya kepengurusan Jemaat Ahmadiyah Padang membuat sorakan para penentang menjadi lebih nyaring. Segala macam ejekan, umpatan dan cacian yang ditujukan kepada pengurus maupun anggota diterima dengan lapang dada dan penuh kesabaran, kerena mereka yakin bahwa langkah keimanan mereka itu adalah benar. Dengan adanya berbagai penentangan, mereka tidak berhenti berdakwah, bahkan terus berdakwah ke segala penjuru ranah Minang.
Kaum ibu juga tidak tinggal diam dalam mengabdi kepada Islam dan Ahmadiyah. Dengan izin pengurus, mereka mengadakan rapat anggota pada tanggal 9 Desember 1928 dengan mendirikan Lajnah Imaillah Cabang Padang, dengan ketua ibu Siti Alam Sundari. Kegiatan mereka utamanya diarahkan pada pembinaan anggota, seperti pendidikan dan peningkatan hubungan kekeluargaan.
Setelah kepengurusan berjalan lebih dari dua tahun, nampaknya perlu disusun kepengurusan yang baru. Sehingga pada tanggal 9 Desember 1929, melalui rapat anggota, dibentuk susunan kepengurusan yang baru sebagai berikut:
- Pelindung : Demang Datoek Poetih bergelar Datoek Maradjo
- Ketua : Aboebakar Bagindo Maharadjo
- Wakil Ketua : H. Marah Wahab
- Sekretaris I : Noerdin Marah Maradjo
- Sekretaris II : Haroen Pakih
- Bendahara : Aboebakar Marah Maradjo
- Komisaris : Ramman Marah Soelaeman, Bagindo Moehammad Syarif, A. Soetan Palindih, Marah Baya
Maulana Rahmat Ali berkenan memberi nama kepengurusan tersebut dengan nama ‘Andjuman Ahmadiyya Department Indonesia’.
Sementara itu pada akhir tahun 1929, tiba kembali kedua pemuda Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan dari Qadian, sehingga dengan demikian menambah tenaga bidang pertablighan di Nusantara. Sebelum kepulangannya ke Minangkabau, Maulana Ahmad Nuruddin sempat menulis surat kepada paman beliau Syeh Ibrahim Musa Parabek, menerangkan bahwa beliau telah selesai menuntut ilmu di India. Paman beliau amat bersukacita serta mengundang beliau untuk datang ke kampungnya, sekaligus mendengarkan apa-apa yang telah beliau terima semasa belajar di Qadian. Dengan tenang Ahmad Nuruddin menerangkan apa-apa yang telah diperolehnya di Qadian, diantaranya mengenai khabar suka kedatangan Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu umat Islam itu. Penjelasan beliau ini menimbulkan keguncangan diantara para guru dan murid paman beliau, sehingga paman beliau ini merasa menyesal mengundang keponakannya tersebut.
Menghadapi Serangan Fitnah
Setelah hampir empat tahun berdakwah di Sumatera, Maulana Rahmat Ali mengambil cuti dan pulang ke Qadian. Di akhir tahun ini juga Maulana Rahmat Ali beserta Abubakar Bagindo Maradjo dan Demang Datuk Maradjo berangkat ke Qadian untuk menghadiri acara Jalsah Salanah[7]. Kedua Ahmadi ini kembali ke tanah air setelah selesai acara Jalsah Salanah, sedangkan Maulana Rahmat Ali tetap tinggal di Qadian untuk menjalani masa cutinya. Selama Maulana Rahmat Ali tidak berada di Padang, H. Mahmud ditugaskan sebagai Muballigh Ahmadiyah oleh Maulana Rahmat Ali. Tidak lama setelah Abubakar Bagindo Maradjo dan Demang Datuk Maradjo kembali ke Padang, beredar fitnah baru yang dilancarkan oleh para ulama Minangkabau, yakni orang Ahmadiyah ber-haji ke Qadian.
Setelah diadakan rapat anggota pada tanggal 9 Mei 1930, disusun kepengurusan Andjuman Ahmadiyah Indonesia Cabang Padang yang baru. Susunan kepengurusannya adalah sebagai berikut:
- Ketua : Aboebakar Bagindo Maharadjo
- Wakil Ketua : M. Tahar Soetan Maradjo
- Sekretaris I : Moehammad Syarif Soetan Sampono
- Sekretaris II : Marah Simon
- Bendahara I : Aboebakar Marah Maharadjo
- Bendahara II : M. Saleh Soetan Radjo Endah
- Komisaris : Oeyoen, M. Noer. Bongsoe, M. Yoesoef Sampono Radjo2
Pengurus baru yang telah terbentuk ini kemudian menggunakan suatu strategi baru dalam menghadapi serangan fitnah para ulama penentang. Mereka menggunakan media cetak dalam menyebarkan dakwah Ahmadiyah, sehingga cakupan dakwah menjadi semakin luas. Mereka menerbitkan sebuah buku tentang pedoman ibadah haji. Buku tersebut diberi judul ‘Iqbaloel Haq Kitaboerrahmat’, dicetak pada 10 Mei 1930, yang penerbitannya dibawah tanggung jawab Daoed Bangso Diradjo dan Oeyoen. Buku ini sekaligus menepis fitnah yang dihembuskan para ulama Minangkabau, bahwa orang Ahmadi ber-haji ke Qadian. Mereka juga menerbitkan majalah bulanan ’Izharoel Haq’ secara berkala, guna menangkis dan mengklarifikasi segara berita keliru tentang Ahmadiyah yang dimuat media cetak. Strategi baru ini terbukti efektif, sehingga dalam catatan pengurus waktu itu jumlah Ahmadi di Padang mencapai enam ratus orang. Setelah semakin lama semakin banyak jumlah orang-orang yang menjadi pengikut Ahmadiyah, maka secara bergotong-royong mereka menyewa sebuah rumah yang cukup besar milik seorang Hoofd Jaksa.
Setahun setelah menyewa rumah tersebut, seorang tokoh masyarakat terkemuka di Padang yakni Demang Sutan Rajad, yang juga telah bergabung dengan Ahmadiyah, menyerahkan sebuah suraunya untuk digunakan sebagai tempat sembahyang berjamaah. Ketika Demang Sutan Radjad meningggal, beberapa bulan kemudian terjadilah peristiwa yang menyedihkan dimana surau yang biasanya digunakan oleh Jemaat ditutup dan dikunci oleh para kemenakan Demang Sutan Radjad yang merupakan orang-orang yang anti Jemaat. Ketua Jemaat kemudian menganjurkan agar sembahyang Jum’at diadakan lagi di rumah Hoofd Jaksa yang telah disewa itu.
Meningkatnya frekuensi dakwah atau pertablighan, dibarengi dengan semakin meningkatnya gelombang permusuhan kepada Ahmadiyah. Pada tahun-tahun ini para ulama bahkan memberi berbagai predikat kepada para Ahmadi, diantaranya (naudzubillah): Ahmadi adalah kafir, pernikahannya tidak sah sehingga sama dengan zina, serta anak atau keturunan yang dilahirkan adalah anak jadah. Akibatnya dua orang pengikut Ahmadiyah yang lemah imannya, yakni Osman dan Noerdin Marah Maharadjo, menyatakan keluar dari Ahmadiyah. Berita keluarnya kedua orang ini ditulis secara mencolok dalam berbagai surat kabar yang terbit di Padang.
Pada tanggal 1 Januari 1931, Andjuman Ahmadiyah Departement Indonesia Gemeente Padang menerbitkan sebuah berkala bulanan ‘Islam’, yang berisikan artikel-artikel yang lebih umum, sehingga banyak pelanggannya justru dari kalangan masyarakat umum. Diantara artikel itu adalah pemuatan suatu polemik antara Ahmadiyah[8] dan Kristen. Artikel lainnya adalah kutipan tulisan Hazrat Masih Mau’ud as. Bertindak sebagai Redaktur ‘Islam’ adalah Ahmad Nuruddin dan Abdul Aziz Shareef, dengan Marah Baya sebagai pemimpin usahanya.
Pada bulan Januari 1931 setelah menyelesaikan masa cutinya di Qadian, Maulana Rahmat Ali kembali ke Sumatera dengan membawa seorang Muballigh muda berperawakan kecil bernama Mln. Muhammad Sadiq, HA. Dikarenakan Maulana Muhammad Sadiq mirip dengan Maulana Rahmat Ali, maka para Ahmadi Padang menjuluki Maulana Rahmat Ali sebagai ‘Muballigh yang membawa serta anaknya’. Setelah tiga bulan kedua Muballigh itu tinggal bersama-sama di Padang, Maulana Rahmat Ali meninggalkan Sumatera untuk berpindah ke Jawa melebarkan sayap Ahmadiyah selanjutnya, sementara Maulana Muhammad Sadiq ditugaskan untuk bertugas di Medan.
Pada tanggal 15 dan 16 Mei 1935 diadakan Tabligh Akbar di kota Padang. Maulana Rahmat Ali berkenan hadir di Padang dalam rangka mengisi acara Tabligh Akbar yang bertempat di gedung pertemuan umum Bagindo Aziz Khan tersebut. Acara ini mendapat perhatian khusus dari khalayak ramai. Sebagai pembicara tampil Maulana Abubakar Ayyub yang sebagai orang asli Minangkabau mampu menjelaskan materinya dengan lugas dan mudah dimengerti oleh berbagai kalangan yang hadir. Dikarenakan kegiatan itu begitu banyak dibicarakan berbagai kalangan di seantero Padang dan Sumatera Barat pada umumnya, maka atas inisiatif Ahmadi Bukittinggi makalah yang Maulana Abu Bakar Ayub sampaikan dalam Tabligh Akbar itu kemudian dibukukan dengan judul ‘Syafaat Allah Yang Esa bagi segala orang yang berdosa’.
Tak lama setelah itu Maulana Muhammad Sadiq ditarik kembali ke kota Padang. Di kota ini beliau membina sekitar 600 anggota Jemaat yang ada. Dengan kembalinya Maulana Muhammad Sadiq ke kota Padang, maka beliau juga menyampaikan dakwah di sekitar kota Padang, diantaranya adalah di Pampangan, Lubuk Begalung, yang berjarak tidak begitu jauh dari pusat kota Padang, yakni sekitar 8 km saja. Dalam tahun 1935, di tempat ini ada enam[9] orang bai’at bergabung ke dalam Jemaat Ahmadiyah, diikuti dalam tahun 1936 oleh tujuh[10] orang wanita.
Selanjutnya pada awal tahun 1937 diterjemahkanlah untuk pertama kalinya karangan dari Hadhrat Masih Mau’ud as. yakni buku ‘Islami Usulu Ki Filasafi’ yang aslinya ditulis dalam bahasa Urdu, diterjemahkan menjadi ‘Philosopio Pelajaran Islam’. Penerbitan ini ditanggung pendanaannya oleh Rosmali bin Abubakar Ahmadi atas dukungan ayahanda beliau Abubakar Bagindo Maradjo.
Ahmadiyah yang kian hari semakin menunjukkan perkembangannya itu membuat gerah para ulama penentang Ahmadiyah. Hamka misalnya, beliau menyerang akidah Ahmadiyah dalam berbagai orasi dan tulisannya, dan tak lama setelah itu pada 2 Mei 1937, Maulana Abubakar Ayyub menemui Hamka secara langsung di Smidstraat untuk berdiskusi mengenai tulisan Hamka yang menyatakan bahwa Ahmadiyah kafir.
Di sela-sela kesibukannya menyampaikan tabligh Ahmadiyah di tanah Jawa, Maulana Rahmat Ali juga berkenan memenuhi undangan Tabligh Akbar yang kedua kalinya diadakan di Padang pada tahun 1941. Bertempat di gedung bioskop Scala Bio, Maulana Rahmat Ali menyampaikan orasinya. Seperti biasa, Tabligh Akbar ini mendapat perhatian besar dari masyarakat setempat.
Ahmadiyah di Tengah Pancaroba Politik 1945
Pihak penentang Ahmadiyah menggunakan segala cara dalam upaya menghambat dan menyerang pengikut Ahmadiyah[11], termasuk diantaranya menghasut penguasa Jepang yang menduduki Nusantara waktu itu supaya menangkap Maulana Muhammad Sadiq dengan tuduhan bahwa beliau adalah seorang mata-mata Inggris. Maulana Muhammad Sadiq ditahan pada tanggal 1 Juni 1945, dan setelah hampir dua bulan ditahan oleh Polisi Militer Jepang, beliau dijatuhi hukuman mati. Dua hari menjelang dilaksanakannya hukuman mati, beliau memberitahu penjaga penjara bahwa beliau menerima suatu kasyaf yang mengabarkan bahwa keesokan harinya, yakni tanggal 14 Agustus 1945, negeri Jepang akan menyerah kepada tentara sekutu. Memang demikianlah yang terjadi, segera sesudah itu beliau diserahkan kepada tentara sekutu keturunan India yang memasuki Padang, yang ternyata juga adalah seorang Ahmadi. Selanjutnya Ahmadi tersebut membebaskan Maulana Muhammad Sadiq dan membawanya pulang ke India. Demikianlah cara Allah Ta’ala menolong orang yang dikasihi-Nya.
Sejak proklamasi kemerdekaan 1945, kota Padang mulai tegang, hal itu disebabkan masuknya tentara NICA bersama-sama pasukan sekutu yang mulai membersihkan kota ini dari segala hal yang berunsur Republik Indonesia. Hal ini membuat penduduk kota mengungsi ke daerah-daerah sekitar Padang, seperti Kayu Tanam, Padang Panjang, Solok dan Bukit Tinggi, begitu pula halnya dengan sebagian Ahmadi disana juga ikut mengungsi. Di masa ini Ketua Jemaat Padang, Muhammad Syarif Sutan Pangeran, dan Muballigh Jemaat bertahan tinggal di kota Padang. Tidak lama sesudah itu, dalam tahun 1947 Muballigh H. Mahmud wafat disana.
Setelah pemulihan kedaulatan Republik Indonesia, sejak tahun 1949 para pengungsi mulai berangsur kembali ke kota Padang. Pada masa-masa itu yakni dalam tahun 1950, Maulana Abubakar Ayyub ditugaskan oleh Hadhrat Khalifatul Masih II ra. ke Denhagg Belanda. Pada tahun yang sama, kepengurusan Jemaat dipimpin oleh Aboebakar Bagindo Maharadjo sebagai Ketua Jemaat, didampingi seorang Muballigh asal Pakistan bernama Maulana Imamuddin, HA.
[1] Beliau seorang pedagang besar dan merupakan murid dari Dr. Hadji Abdullah Ahmad, seorang pemuka masyarakat terkenal di Sumatera Barat. Istri beliau Siti Baiman merupakan ibunda dari Abdul Aziz Shareef.
[2] Tabligh Ahmadiyah mendapatkan reaksi keras dari para ulama Minangkabau, diantaranya Dr. H Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka. Beliau menganggap Ahmadiyah berada di luar Islam dan kafir. Hal tersebut beliau tuangkan dalam tulisannya yang berjudul “Al-Qoul Al-Shahih“. (Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, oleh Iskandar Zulkarnain Cet, 1, September 2005)
[3] Orang asing ini adalah seorang pemuda Betawi bernama Salih. Pertemuan ini bermula ketika Salih, waktu itu, sedang berjalan-jalan dengan sahabatnya di kampung itu dan bertemu dengan kerumunan massa yang sedang menganiaya dua orang, yang tidak lain adalah Maulana Rahmat Ali HAOT dan H. Mahmud di sebuah rumah.
[4] Salih dan istrinya ba’iat ditangan Rahmat Ali HAOT di Gang Grobak (sekarang Jl. Balikpapan), sebagaimana diceritakan kembali oleh Edi Supriatna, cucu Salih alm. (Sejarah Lima Jemaat Tangerang).
[5] Terjadi gempa di tahun 1926 di Padangpanjang.
[6] Dengan disaksikan orang banyak beliau menengadahkan tangan seraya berdoa, “Ya Allah, rumah ini tempat aku tinggal, tempat hamba-Mu yang menyampaikan da’wah Masih Mau’ud, ya Allah, dinginkanlah api itu ya Allah agar menjadi tanda bagi mereka yang beriman”.
[7] Pertemuan Tahunan, berisi ceramah-ceramah keagamaan untuk tarbiyat anggota.
[8] Pihak Ahmadiyah diwakili oleh Maulana Muhammad Sadiq dan M. Abdul Shareef.
[9] 1). Rauh, 2). Umar, 3). Mak Itam Jaelani, 4). Ci Mai, 5). Manan, 6). Malan.
[10] 1). Mrs. Paitu, 2). Mrs. Zaleka, 3). Mrs. Ramanih, 4). Mrs. Tiarah Patiah, 5). Mrs. Patani, 6). Mrs. Nurani Jamaluddin, 7). Mrs. Ciani Saura.
[11] Ketua Jemaat waktu itu adalah Koima Hasibuan, seorang kepala sekolah Tyu-Gakko di Padang.
Comments (2)