Disebut sebagai shalat hakiki ketika bisa tercipta hubungan yang tulus dan suci dengan Allah Yang Maha Agung dimana si penyembah menjadi demikian mengabdi kepada kehendak Allah dan kepatuhan kepada-Nya. Ia menjunjung keimanannya di atas segala nilai-nilai keduniawian dan ia akan selalu siap mengurbankan jiwanya di jalan Tuhan.
Pada keadaan demikian itulah dikatakan bahwa shalat seseorang patut disebut sebagai shalat hakiki. Sepanjang kondisi ini tidak tercapai dan si pelaku tidak menjadi teladan ketulusan dan keimanan bagi yang lainnya maka segala doa dan tindakan lain yang dilakukannya menjadi tiada arti.
(Malfuzat, vol. VI, hal. 240).
Shalat, Doa Dan Kepastian Keimanan
Jangan melakukan shalat hanya sebagai bentuk pelaksanaan suatu upacara belaka. Lakukanlah shalat dengan hati seperti terbakar dan mencair serta berdoalah terus menerus di dalam shalat. Shalat menjadi kunci bagi penyelesaian segala kesulitan. Disamping doa-doa dan pengagungan yang diwajibkan dalam shalat, ajukan juga doa-doa dalam bahasa kalian sendiri agar dengan demikian maka hati kalian bisa luluh. Teruslah dalam upaya ini sampai kalian tiba pada suatu kondisi dimana kondisi itu menjadi sarana guna mencapai tujuan-tujuan hakiki.
Semua sikap jasmani yang diperagakan dalam shalat harus mencerminkan keadaan hati juga. Ketika si pelaku shalat berdiri tegak, hatinya juga harus berdiri tegak di hadirat Ilahi sebagai tanda kepatuhan. Ketika ia melakukan ruku maka hatinya juga membungkuk dan saat bersujud maka hatinya juga bersujud dengan pengertian bahwa hatinya tidak pernah melepaskan Tuhan-nya walau sekejap pun. Dengan tercapainya kondisi seperti itu maka ia akan mulai terbebas dari dosa.
(Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Malfuzat, vol. VI, hal. 367-368).
Khalid, A.Q (Penerjemah). 2017. Inti Ajaran Islam Bagian Kedua, Ekstrak dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Jakarta: Neratja Press, hal. 290-291