Tiga Tingkatan Kebaikan: Adil, Ihsan Dan Itaidzil Qurba

-+=

ِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Ringkasan Khutbah Jum’at

Ringkasan Khotbah Jum'at yang disampaikan oleh Hadhrat Khalīfatul-Masīh V aba pada tanggal 05 Mei 2023 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK.

TIGA TINGKATAN KEBAIKAN:
ADIL, IHSAN DAN ITAIDZIL QURBA

Setelah membaca tasyahud, ta’awwudz dan surah al-Fatihah, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba. membacakan ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

“Sesungguhnya, Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan kepada orang lain, dan memberi seperti kepada kerabat sendiri, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan pemberontakan. Dia memberimu nasihat supaya kamu mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl 16: 91)

Selanjutnya, Hudhur aba. menyatakan bahwa ayat ini biasa dibaca pada saat khutbah kedua di setiap shalat Jumat dan di kedua hari raya Id. Di dalamnya, Allah Ta’ala memberikan petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan dan juga apa yang harus dihindari. Bagi seorang mukmin sejati, mereka harus taat kepada perintah-perintah Allah Ta’ala untuk memperkuat keimanannya. Jika tidak, maka seorang Muslim tidak akan dapat menjadi seorang mukmin yang sejati.

Hudhur aba. bersabda bahwa beliau aba. akan menyampaikan kutipan-kutipan dan sabda Hadhrat Masih Mau’ud as. berkenaan dengan kebaikan-kebaikan yang disebutkan di dalam ayat tersebut. Hadhrat Masih Mau’ud as. telah menyebutkan kebaikan-kebaikan tersebut dari berbagai sudut pandang, mulai dari hubungan timbal balik antar sesama umat manusia hingga hubungan dengan Allah Ta’ala dengan memperlihatkan sikap adil, ihsan dan mencintai seperti kepada kerabat/saudara.

Hadhrat Masih Mau’ud as. menjelaskan ayat tersebut dengan sangat rinci dan mendalam sehingga dapat membantu orang-orang yang beriman dalam memahami apa artinya memiliki hubungan yang sesungguhnya dengan Allah Ta’ala serta membawa orang-orang yang beriman kepada standar keimanan yang baru. Ayat ini dan juga tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as. mengandung pedoman bagi kita semua untuk menciptakan suatu masyarakat yang memenuhi hak-hak sesama umat manusia dan juga hak-hak Allah Ta’ala. Sangat disayangkan bahwa di masa sekarang ini, mayoritas dunia – termasuk dunia Muslim – cenderung untuk merampas hak-hak orang lain. Meskipun umat Muslim memiliki ajaran Islam, akan tetapi banyak dari antara mereka di seluruh dunia ini yang telah menjadi korban dari penyakit tersebut (merampas hak-hak orang lain).

Keadilan dalam Memenuhi Hak-Hak Yang Dimiliki Allah dan Ciptaan-Nya

Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa kita harus berlaku adil kepada-Nya dan juga kepada makhluk ciptaan-Nya. Atau dengan kata lain, kita harus memenuhi hak-hak mereka semua. Jika kita mampu melampauinya, maka seyogyanya tidak cukup hanya dengan menunjukkan keadilan saja, tetapi juga kita harus menunjukkan ihsan/kebaikan seolah-olah kita benar-benar melihat-Nya. Setelah itu, jika kita dapat melampaui standar tersebut, maka kita harus memperlakukan Allah Ta’ala dan ciptaan-Nya tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan imbalan apa pun, seperti halnya cinta seseorang karena adanya suatu ikatan hubungan.

Hadhrat Masih Mau’ud as. kemudian bersabda bahwa kita harus selalu memperhatikan hubungan dan ketaatan kita kepada Allah Ta’ala. Kita harus mengakui bahwasanya Allah Ta’ala itu Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Kita harus meyakini Allah Ta’ala sebagai satu-satunya Zat yang layak disembah. Inilah bentuk hubungan dengan Allah Ta’ala yang menunjukkan rasa keadilan. Dia adalah Tuhan, Pemelihara dan Penyedia segala sarana. Inilah hak-hak Allah Ta’ala yang harus kita penuhi. Merupakan hak-Nya agar kita mencintai-Nya dan menaati-Nya. Melakukan semua itu adalah bentuk keadilan bagi Allah Ta’ala.

Jika seseorang ingin melampaui standar tersebut, maka ia harus menunjukkan ihsan atau ‘kebaikan’, yang berarti bahwa ia harus benar-benar menyadari keagungan Allah Ta’ala dan larut dalam keindahan-Nya seolah-olah ia melihat Allah Ta’ala secara langsung. Seseorang tidak akan dapat berbuat ihsan kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, berbuat ihsan kepada Allah Ta’ala berarti larut sepenuhnya di dalam cinta dan ibadah kepada-Nya seolah-olah kita telah benar-benar menyaksikan kekuasaan dan sifat-sifat-Nya.

Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda bahwa tingkatan di atasnya adalah itaidzil qurba (kekerabatan). Sebelum sampai ke tingkatan ini, seseorang harus berusaha dan berjuang dengan sangat gigih. Namun, di tahap ini, segala bentuk formalitas dan usaha-usaha tersebut telah hilang sirna, dan cinta kepada Allah Ta’ala menjadi sedemikian rupa alaminya sehingga serupa dengan cinta kepada kaum kerabat/saudara. Cinta seperti ini bersifat tanpa pamrih.

Berkaitan dengan manusia, keadilan berarti berlaku adil kepada sesama umat manusia, memberikan hak-hak mereka dan meminta hak-hak kalian dari mereka dengan cara yang adil. Tahap selanjutnya adalah derajat ihsan. Jika seseorang menyakiti kalian, maka kalian harus menunjukkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka. Pada tahap ini, kalian harus menunjukkan kebaikan kepada orang lain terlepas dari perilaku mereka terhadap kalian. Tahap selanjutnya adalah berbuat baik seperti halnya berbuat baik kepada saudara/kerabat sendiri (itaidzil qurba). Pada tahap ini, semua kebaikan dan kasih sayang yang ditunjukkan kepada orang lain dilakukan dengan tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan apa pun serta tidak pernah terlintas keinginan-keinginan egois di dalam pikirannya. Kebaikan seperti itu harus bersifat alami dan muncul dari hati yang tulus seperti layaknya cinta yang ada di antara keluarga dan kerabat. Ini adalah standar cinta yang tertinggi bagi umat manusia yang murni dan terbebas dari segala bentuk keegoisan dan motif-motif tersembunyi. Hudhur aba. bersabda bahwa inilah standar yang harus kita tunjukkan di antara satu sama lain dan memperluasnya kepada orang lain.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 7)

Sehubungan dengan hak-hak Allah Ta’ala, Hadhrat Masih Mau’ud as. menyatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kita untuk memberikan hak-hak Allah Ta’ala kepada- Nya karena Dia telah menciptakan kita dan juga menyiapkan segala sesuatunya untuk kita. Karena itu, Dia berhak menerima ibadah kita. Selain itu, seseorang harus melewati tahap ini dan kemudian bersikap patuh kepada-Nya, yang merupakan tahap kedua.

Hadhrat Masih Mau’ud as. menjelaskan bahwa pada tahap ‘kebaikan’, seseorang akan selalu mengingat-ingat kebaikan-kebaikan orang lain yang telah berbuat baik kepadanya. Dalam hal ini, ketika kita menunjukkan ihsan atau ‘kebaikan’ kepada Allah Ta’ala, sifat-sifat-Nya ada di hadapan kita.

Hadhrat Masih Mau’ud as. kemudian menjelaskan bahwa orang-orang yang taat kepada Allah Ta’ala terdiri dari tiga macam, yaitu pertama, ada orang-orang yang karena pandangannya terhalang sehingga tidak dapat menyaksikan nikmat-nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan kepada mereka. Entah penglihatan mereka terhalang, atau karena mereka lebih mengandalkan sarana-sarana keduniawian belaka. Pemahaman yang tidak dimiliki oleh mereka dapat dicapai jika mereka, seperti yang dibutuhkan di dalam tahap ihsan, senantiasa merenungkan nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang telah dianugerahkan kepada mereka. Ketika seseorang merenungkan nikmat-nikmat Allah Ta’ala, maka hati mereka pun akan larut di dalam kecintaan kepada-Nya.

Banyak orang yang meyakini Allah Ta’ala sebagai Pencipta mereka hanyalah sebagai formalitas belaka dan tidak benar-benar memahami makna yang sesungguhnya dari apa yang mereka yakini itu. Alasannya adalah karena ketergantungan mereka yang sangat tinggi kepada sarana-sarana keduniawian, yang menyebabkan wajah Allah Ta’ala yang sesungguhnya menjadi kabur. Pemahaman mereka yang dangkal seperti itu diracuni oleh keduniawian sehingga menyebabkan ia tidak dapat menyaksikan wajah sejati Allah Ta’ala. Orang yang seperti itu hanya mengamalkan kewajiban agama sebagai formalitas belaka dan bukan berasal dari hatinya yang tulus. Bahkan untuk orang-orang seperti itu sekali pun, Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa pun tetap menunjukkan belas kasihan dan menerima kondisi mereka yang seperti itu.

Kedua, setelah kecenderungan seseorang beralih dari sarana-sarana materi duniawi kepada mencari keridhaan Allah Ta’ala, maka ia akan menjadi bergantung sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Pada tahap ini, sarana materi tidaklah menjadi sesuatu yang penting dan ia beriman sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Banyak orang yang lebih mementingkan kekuatan dan kemampuan mereka sendiri atau mengandalkan bantuan orang lain. Akan tetapi, orang yang telah mencapai tahap ini, maka ia akan menyadari bahwasanya segala sesuatu itu terwujud karena Allah Ta’ala dan semata-mata hanya karena Allah Ta’ala.

Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda bahwa pada tahap ini, seseorang tidak menganggap Allah Ta’ala sebagai sesuatu yang tidak terlihat atau tidak nampak. Akan tetapi ia benar-benar merasakan kehadiran-Nya dan Allah Ta’ala ada di hadapannya. Ibadahnya benar-benar berubah dan ketika shalat, ia dapat melihat Allah Ta’ala di hadapan dirinya sendiri. Tahap ibadah ini dikenal sebagai ihsan di dalam Al-Qur’an.

Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda bahwa ada tahap di atas ihsan yang dikenal sebagai itaidzil qurba yaitu ‘cinta seperti halnya kepada kerabat sendiri’. Ketika seseorang terus merenungkan dan menyaksikan kekuasaan serta sifat-sifat Ilahi dan gigih dalam beribadah kepada-Nya serta upaya-upayanya untuk meraih keridhaan-Nya, maka pada akhirnya, ia akan larut sepenuhnya dalam cinta kepada Allah Ta’ala yang menyerupai hubungan pribadi. Pada tahap ini, ibadahnya tidaklah semata-mata didasarkan pada cinta yang lahir karena menyaksikan nikmat-nikmat Allah Ta’ala, melainkan cinta ini berasal dari hatinya yang penuh dengan ketulusan sebagai sesuatu yang bersifat personal.

Ibadah pada tahap ini bukanlah untuk meminta atau memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, tetapi menyerupai hubungan seorang anak dengan orang tuanya. Karena alasan inilah, di tempat lain dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman:

“Maka apabila kamu telah menunaikan cara-cara ibadahmu, maka ingatlah Allah sebagaimana kamu mengingat bapak-bapakmu atau mengingat-Nya lebih banyak lagi….” (QS. Al-Baqarah 2: 201)

Hudhur aba. menyatakan bahwa pada tahap ini, cinta seseorang kepada Allah menjadi murni dan juga tulus. Hadhrat Masih Mau’ud as. menjelaskan bahwa pada tahap ketiga ini, seseorang tidak berusaha untuk memenuhi kesenangan dan keinginannya sendiri, melainkan ia akan berjuang semaksimal mungkin untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala.

Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud as. menyampaikan bahwa orang-orang yang seperti itu, karena kecintaannya kepada Allah Ta’ala, mereka akan mengkhidmati umat manusia dengan cara yang penuh dengan kasih sayang dan mereka pun tidak akan mengharapkan imbalan apa pun kecuali keridhaan dan perhatian dari Allah Ta’ala semata. Oleh karena itu, hubungan dengan Allah Ta’ala yang seperti itu seharusnya tidak hanya menghasilkan kecintaan hanya kepada Allah Ta’ala semata, tetapi juga kecintaan kepada makhluk ciptaan-Nya.

Perbedaan di antara tahap Ihsan dan Itaidzil Qurba

Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda bahwa yang membedakan tahap ihsan dan ‘Itaidzil Qurba’ atau tahap kedua dan ketiga adalah bahwa pada tahap kedua, seseorang boleh jadi akan menunjukkan kebaikan-kebaikannya kepada orang lain dan mengharapkan sesuatu sebagai balasannya. Kebaikan ini bersumber dari kebaikan orang lain dan kebaikannya harus melebihi dari kebaikan yang diterimanya. Seseorang juga dapat secara terbuka menyatakan bahwa mereka telah memperlakukan orang lain dengan sangat baik. Namun, pada tahap ketiga, ia menjauh dan terhindar dari semua itu dan menjadi tanpa pamrih dalam menunjukkan kebaikannya.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 35)

Hadhrat Masih Mau’ud as. menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain seolah-olah mereka benar-benar memiliki hubungan persaudaraan dengannya. Jika seseorang menunjukkan kebaikan kepada orang lain, terkadang mereka juga suka menyebut-nyebut bahwa mereka telah berlaku baik dan mengungkit-ungkit amal kebaikan mereka. Sebaliknya, seorang ibu tidak pernah mengungkit-ungkit kebaikan dan kasih sayang yang ditunjukkannya kepada anaknya. Perlakuan kita terhadap orang lain harus seperti perlakuan seorang ibu kepada anaknya.

Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda bahwa secara sederhana, ‘adil’ berarti membalas kembali apa yang kalian terima. ihsan berarti membalas lebih dari apa yang Anda terima. Dan akhirnya, ‘itaidzil qurba’ mengacu pada perlakuan yang tidak bersyarat.

Menerapkan Keadilan Dalam Perkara Hutang Piutang

Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud as. menjelaskan bahwa pada tahap ‘adil’, seseorang harus berjuang melawan dirinya sendiri dan melakukan perubahan di dalam dirinya. Tahap ‘adil’ ini harus dapat dicapai untuk merubah dirinya sendiri yang senantiasa cenderung kepada keburukan. Misalnya, jika seseorang berutang kepada orang lain, maka merupakan keinginannya agar si pemberi hutang lupa akan hutangnya itu. Dengan begitu, dia berupaya untuk merebut hak orang lain. Namun, dia harus menyadari bahwasanya Allah Yang Maha Kuasa selalu mengawasi setiap amal perbuatannya.

Hudhur aba. menyampaikan bahwa dalam hal meminjamkan uang, kadang-kadang orang-orang begitu menaruh kepercayaan yang tidak semestinya kepada orang lain. Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk membuat catatan tertulis berkenaan dengan setiap hal yang berkaitan dengan pinjam meminjam uang dan membuat kontrak peminjaman secara formal. Hal ini akan dapat mencegah perkara pinjam meminjam ini menjadi suatu masalah di kemudian hari. Seorang mukmin harus memperhatikan hal ini. Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda bahwa Islam sangat menekankan kepada pembayaran hutang-hutang yang kalian miliki. Bahkan, Nabi Muhammad saw. tidak akan menshalati jenazah orang yang melarikan diri dan berpaling dari pembayaran hutangnya. Jadi, dengan menerapkan ajaran tentang ‘adil’ ini, seseorang akan dapat mengatasi penyakit dan keburukan semacam itu. Kemudian, seseorang mendapatkan kemampuan untuk maju ke tingkat kebaikan yang lebih tinggi yang dikenal sebagai ihsan. Namun, bahkan pada tahap ini, seseorang bisa saja menyombongkan kebaikan yang mereka tunjukkan kepada orang lain. Begitu ia mampu mengatasi hal tersebut dan melupakan kesombongannya, maka ia akan dapat melangkah maju ke tahap yang terakhir. Pada tahap ini, ia memperlakukan orang lain dengan penuh dengan kebajikan dan kasih sayang seperti halnya seorang ibu yang membesarkan anaknya. Seorang ibu tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan balasan ketika ia mengasuh anaknya. Dia akan menanggung rasa sakit agar anaknya itu selalu merasa nyaman. Cintanya kepada anaknya sedemikian rupa murninya, tanpa pamrih dan penuh dengan ketulusan.

Hadhrat Masih Mau’ud as. menyatakan bahwa Allah Ta’ala menghendaki agar kita mencapai tingkatan kebaikan yang tertinggi, yaitu ‘itaidzil qurba’ atau memberi seperti layaknya kepada kerabat /keluarganya sendiri. Allah Ta’ala menghendaki agar kita berlaku ikhlas dan tanpa pamrih dalam segala kebaikan yang kita lakukan. Setiap amal perbuatan kita seyogyanya dilakukan semata-mata hanya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala. Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda bahwa ajaran yang sedemikian luhur dan sempurna seperti itu tidak akan dapat ditemukan di kitab-kitab lainnya. Taurat maupun Injil tidak mengandung ajaran seperti itu dan hanya Al-Qur’an sajalah yang mengajarkan ajaran tersebut.

Hadhrat Masih Mau’ud as. menjelaskan bahwa seseorang juga harus pandai dan bijaksana dalam menunjukkan sikap ihsan. Demikian pula, seseorang harus menunjukkan ihsan/kebaikan di waktu yang tepat. Selain itu, harus ada standar ukuran kebaikan yang tepat. Situasi dan kondisi pun berbeda-beda. Oleh karena itu, ia harus menggunakan kebijaksanaan dalam melakukan ihsan tersebut.

Berkenaan dengan orang-orang yang menyombongkan kebaikan mereka, Hadhrat Masih Mau’ud as. mengutip sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan sedekah- sedekahmu sia-sia dengan menyebut-nyebut jasa baik dan menyakiti seperti orang yang membelanjakan hartanya untuk dilihat manusia, sedangkan ia tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian….” (QS. Al- Baqarah 2: 265)

Hadhrat Masih Mau’ud as. menjelaskan bahwa begitu kita mulai memamerkan kebaikan kita, maka di saat itulah, apa yang kita sebut sebagai kebaikan itu tidak akan menjadi suatu kebaikan yang sesungguhnya. Banyak orang yang menunjukkan kebaikan dan kemurahan hati kepada orang lain dan seringkali memamerkan kebaikan mereka dan mengharapkan balasan sebagai ungkapan terima kasih. Seperti yang telah Allah Ta’ala firmankan, kebaikan seperti itu akan menjadi sia-sia. Selain itu, ada juga orang yang, setelah menunjukkan kebaikan, lalu mendesak orang lain untuk membalas budi. Terkadang, desakan untuk membalas budi seperti itu justru melebihi kebaikan yang ia lakukan terhadapnya. Kita semua harus menghindari perilaku seperti itu untuk meraih keberkatan dari kebaikan mereka.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 30)

Menunjukkan Sikap Adil di Waktu Yang Tepat

Hadhrat Masih Mau’ud as. menjelaskan bahwa ketiga tahap kebaikan tersebut hendaknya harus ditunjukkan pada waktu yang sesuai dan di tempat yang tepat. Kebaikan- kebaikan tersebut tidak berlaku di semua situasi dan kondisi. Terkadang, kebaikan dilakukan lebih dari yang dibutuhkan. Ibarat hujan yang terlalu deras, alih-alih memberikan manfaat tapi justru hujan itu akan merusak tanaman. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk memperhatikan situasi dan kondisi serta merenungkan kapan saatnya keadilan, ihsan, dan itaidzil qurba/memberi seperti halnya kepada kerabat/keluarga dilakukan di saat yang paling tepat.

Berkenaan dengan hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud as. menceritakan sebuah kejadian yang dialami oleh beliau sendiri. Di Sialkot, ada seorang pria yang berselisih dengan semua orang sampai-sampai keluarganya sendiri muak dengannya. Hadhrat Masih Mau’ud as. memperlakukan orang itu dengan sangat baik, dan sebagai balasannya, dia juga memperlakukan Hadhrat Masih Mau’ud as. dengan baik. Ada seorang Arab yang mengunjungi Hadhrat Masih Mau’ud as. dan ia adalah orang yang sangat menentang Wahabi. Bahkan ketika Wahabi disebutkan dihadapannya, orang Arab itu akan memfitnah dan mencaci maki mereka. Namun, Hadhrat Masih Mau’ud as. memperlakukannya dengan baik dan tidak mengindahkan segala fitnahannya. Suatu hari, orang Arab itu marah dan terang-terangan memfitnah Wahabi. Seseorang mengatakan kepada orang Arab itu bahwa orang yang menjamunya (yakni Hadhrat Masih Mau’ud as.) juga adalah seorang wahabi. Setelah ini, orang Arab itu pun terdiam.

Hadhrat Masih Mau’ud as. menjelaskan bahwa tidaklah salah jika beliau disebut sebagai seorang wahabi, karena beliau as. meyakini bahwa setelah Al-Qur’an, yang harus ditaati adalah Hadits. Setelah peristiwa itu, suatu hari, Hadhrat Masih Mau’ud as. bertemu dengan orang Arab itu di Lahore. Meskipun dia memendam rasa permusuhan dan kebencian terhadap wahabi, kemarahannya itu mereda dan dia menyambut Hadhrat Masih Mau’ud as. dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dia mendesak agar Hadhrat Masih Mau’ud as. menemaninya pergi ke masjidnya dan mengkhidmati beliau as. layaknya seperti seorang pelayan. Demikianlah bagaimana Hadhrat Masih Mau’ud as. menunjukkan bahwasanya kebaikan dapat mengubah seseorang.

Dua Jenis Akhlak

Hadhrat Masih Mau’ud as. menyatakan bahwa akhlak itu ada dua macam. Pertama, ada akhlak yang dilakukan oleh orang-orang terpelajar di era modern ini, yang meminta maaf dan sangat menyenangkan di muka, tetapi menyimpan pertentangan di dalam hati mereka. Akhlak seperti itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Kedua, ada akhlak yang mengajarkan kasih sayang sejati dan membersihkan hati dari kemunafikan.

Hadhrat Masih Mau’ud as. menyatakan bahwa kita tidak boleh membatasi ruang lingkup kebaikan kita dan justru kita harus memperluas jangkauannya. Kita harus meningkatkan derajat kebaikan kita sedemikian rupa sampai kita mencapai kebaikan yang dilakukan tanpa pamrih, seperti halnya kebaikan dan cinta seorang ibu kepada anaknya.

Bahkan jika seorang raja memerintahkan seorang ibu untuk tidak memberi makan kepada anaknya, maka sang ibu akan menolaknya sembari mencaci raja itu tanpa rasa takut sama sekali. Demikianlah seharusnya tingkat kebaikan kita.

Hudhur aba. bersabda bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as, di dalam tulisan-tulisan beliau as. dan juga majelis-majelis yang beliau as. hadiri, seringkali menyampaikan topik perihal tiga tahap kebaikan itu dengan sangat rinci. Beliau as. berbicara mengenai keistimewaan-keistimewaan yang menonjol dari agama Islam, dan ketiga tahap kebaikan yang disampaikan pada hari ini termasuk di antara keistimewaan-keistimewaan tersebut. Sebagai penutup, Hudhur aba. berdoa semoga Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa menganugerahkan taufik dan karunia kepada kita untuk mengamalkan ajaran-ajaran ini dan melangkah maju dalam menunjukkan cinta kita kepada orang lain sedemikian rupa sehingga kita dapat menjadi suri teladan di dunia ini. Semoga kita dapat berlaku adil terhadap janji bai’at kita dengan cara mengamalkan segala ajaran-ajarannya. Dengan mendengarkan ayat ini di setiap hari Jumat, semoga kita senantiasa diingatkan akan tanggung jawab kita sebagaimana yang disampaikan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as. dengan penuh kepiluan.

Hudhur aba. juga menginstruksikan kita untuk terus mendoakan para Ahmadi di Pakistan dan kondisi yang sedang mereka hadapi saat ini. Kita, sebagai Ahmadi, akan terus menunjukkan kebaikan dan ihsan dalam menghadapi rencana dan siasat buruk mereka. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan kepada kita untuk terus melakukannya dan memperkuat keimanan kita. Semoga Allah Ta’ala juga menghukum mereka yang tidak mampu melakukan perubahan. Di saat kita meningkatkan hubungan yang semakin dekat dengan Allah Ta’ala, maka di saat itu pulalah, kita akan menyaksikan kehancuran dari para penentang itu terjadi.

Diringkas oleh: The Review of Religions
Diterjemahkan oleh: IHR

DOA KHUTBAH KEDUA

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ

وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ

وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

 عِبَادَ اللهِ رَحِمَكُمُ اللهُ

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى

وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ  

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.