Ajaran Islam untuk Membangun Perdamaian Sejati

ajaran islam perdamaian

Ajaran Islam untuk Membangun Perdamaian Sejati

Pidato yang Disampaikan oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad, pada kesempatan Jalsah Salanah Qadian 2021

Di tengah meningkatnya ketegangan global, yang dipicu oleh pandemi Covid-19, dunia tengah melalui masa-masa genting. Sayangnya, agama Islam acapkali dituduh sebagai dalang kerusuhan dunia dan banyak ajaran-ajarannya yang patut dipertanyakan. Dalam pidato penutupan Jalsah Salanah Qadian tanggal 26 Desember 2021, Hazrat Mirza Masroor Ahmad (aba) menghapus semua tuduhan itu dengan menjabarkan ajaran-ajaran Islam untuk membangun perdamaian sejati dan berkelanjutan di semua tingkatan.

Setelah membaca Tasyahhud, Ta’awwudz, dan Surah al-Fatihah, Hadhrat Khalifatul Masih V(aba) menyampaikan:

“Hari ini adalah hari terakhir dan sesi penutup dari Jalsah Salanah Qadian. Termasuk juga Guinea-Bissau, negara di Afrika, juga menggelar Jalsah Salanah. Mereka meminta untuk diikutsertakan dalam acara ini, sehingga tayangan Jalsah mereka juga kadang-kadang ditampilkan di layar. Dengan karunia Allah di hari-hari ini juga tengah dan akan dilakukan pula Jalsah Salanah. Karena mereka mengadakan Jalsah di hari yang sama dengan Jalsah di Qadian, saya menyebutkan mereka. Sekarang saya akan beralih ke topik utama pidato.

Ajaran Islam – Penjamin Sejati Perdamaian Abadi

Kita mengklaim bahwa hanya ajaran Islam memiliki ajaran-ajaran terbaik untuk menciptakan masyarakat yang indah, karena ajaran Islam memiliki ajaran dalam bentuk aslinya. Jika dipedomani dengan sungguh-sungguh maka ajaran-ajaran ini akan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, dan dari kedekatan itu – yang disertai semata-mata kerena mengharapkan ridha Allah – ia akan memberikan petunjuk sempurna bagi Muslim sejati dalam hal pemenuhan hak-hak orang lain. Memenuhi hak-hak orang lain (huququl ibad) inilah yang menjadi prasyarat terciptanya perdamaian dan kerukunan dalam masyarakat.

Saat ini banyak perdebatan tentang bagaimana menciptakan perdamaian dan keamanan jangka panjang. Potensi kekacauan, kerusuhan dan peperangan baik di tingkat lokal maupun internasional semakin meningkat, bahkan pandemi Covid-19, yang telah mengguncang dunia nyatanya tidak berhasil menghilangkan permusuhan laten dalam hati semua orang atau menghilangkan kesombongan dan arogansi setiap negara. Orang-orang tidak mengindahkan peringatan Allah Ta’ala ini dan jika sikap yang sama terus ada dalam diri setiap orang atau negara-negara, maka akibatnya akan sangat berbahaya.

Tetapi dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan berbagai aspek ajaran Islam dalam kaitannya dengan perdamaian, yang jika orang-orang menerapkannya, maka dunia akan menjadi tempat tinggal yang damai dan harmonis. Ajaran yang disampaikan oleh Islam merupakan penjamin terciptanya perdamaian dunia. Saya menyajikan berbagai aspek ini berdasarkan ajaran Al-Qur’an.

Ajaran Islam tentang Toleransi Umat Beragama

Pertama dan yang utama, kita akan melihat ajaran Islam yang terkait dengan toleransi beragama. Kendati mayoritas dunia saat ini menjauhi agama, tetapi tetap saja ada sebagian orang yang suka mengkritik orang lain atas dasar agama dan mereka memandang perlu melontarkan tuduhan dan mencemooh agama lain untuk menunjukkan superioritas agamanya sendiri. Terhadap Islampun banyak sekali tuduhan-tuduhan yang dilakukan tanpa pertimbangan sama sekali.

Islam sendiri menolak tindakan mengolok-olok agama lain. Islam mengajarkan supaya jangan melemparkan tuduhan kepada pendiri agama lain dan menganggap mereka pendusta. Islam memang menyampaikan sebagai agama terakhir dan ajarannya mencakup segala hal, tetapi Islam tidak mengajarkan bahwa pendiri agama lain adalah pendusta. Islam mengajarkan bahwa Allah Ta’ala telah mengirim para Utusan-Nya di setiap bangsa dunia untuk membimbing mereka. Allah Ta’ala berfirman:

اِنَّآ اَرْسَلْنٰكَ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا ۗوَاِنْ مِّنْ اُمَّةٍ اِلَّا خَلَا فِيْهَا نَذِيْرٌ

“Sesungguhnya Kami mengutus engkau dengan kebenaran sebagai pembawa kabar suka dan pemberi peringatan. Dan tiada suatu kaumpun melainkan telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan.” (QS Fatir [35]: 25)

Jadi ini adalah perbedaan yang nyata antara ajaran Islam dengan ajaran agama lain. Agama lain menganggap hanya ajaran mereka yang benar. Tetapi apa yang disampaikan oleh Al-Qur’an kepada kita adalah setiap Muslim wajib meyakini bahwa Allah telah mengutus para nabi untuk setiap kaum. Jika umat Islam menerima bahwa para nabi itu telah muncul untuk setiap kaum, bagaimana mungkin mereka akan mengatakan bahwa nabi-nabi lain adalah pendusta?

Terkadang, penganut agama lain melontarkan tuduhan yang kotor terhadap wujud mulia Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam), di sisi lain umat Islam menyebut Nabi Musa (as), Isa (as) atau Nabi umat Hindu dengan penuh penghormatan.

Di zaman ini, Hazrat Masih Mau’ud (as) telah membahas aspek ini dengan cara yang sangat indah. Beliau bersabda:

“Bukanlah akidah saya, bahwa selain Islam, agama lain berpondasi pada kedustaan. Aku berkeyakinan bahwa sebagaimana Allah – Yang merupakan Tuhan seluruh makhluk dan mengetahui segala sesuatu – memenuhi segala kebutuhan jasmani, demikian pula Allah memenuhi segala kebutuhan rohani. Tidak benar bahwa Dia hanya memilih satu kaum saja sejak awal penciptaan dunia ini, dan tidak mempedulikan kaum lainnya. Ya memang benar bahwa satu waktu satu kaum lain unggul, dan kemudian kaum lain.

Aku tidak mengatakan ini hanya untuk menyenangkan siapapun, Allah Ta’ala telah mengatakan kepadaku bahwa Raja Ramchandra dan Krishna juga adalah merupakan hamba tuhan yang saleh dan memiliki hubungan yang kuat dengan-Nya. Aku menjauhkan diri dari orang-orang yang meremehkan atau mencemooh mereka. Perumpamaan orang-orang itu adalah seperti katak dalam sumur yang tidak mengetahui luasnya lautan. Berdasarkan kisah kehidupan mereka yang otentik, kami menemukan bahwa mereka telah betul-betul bermujahadah untuk menemukan jalan yang benar yang mengarah pada Allah Ta’ala. Orang-orang yang mengatakan bahwa mereka bukan orang-orang saleh, hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an, sebagaimana difirmankan:

وَاِنْ مِّنْ اُمَّةٍ اِلَّا خَلَا فِيْهَا نَذِيْرٌ

“Dan tiada suatu kaumpun melainkan telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan.”

Jadi tidak diragukan lagi bahwa fondasi semua agama pada awalnya adalah kebenaran, tetapi seiring berjalannya waktu, semua jenis keburukan mulai masuk ke dalamnya, sampai akhirnya kebenaran tertutupi oleh keburukan-keburukan.”

Hadhrat Masih Mau’ud (as) lebih lanjut bersabda:

“Sebagaimana Allah Ta’ala memberikan pemeliharaan jasmani kepada setiap kaum sesuai dengan kapasitas mereka, Dia juga menganugerahkan pemeliharaan rohani kepada setiap kaum dan setiap orang. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an tertulis:

وَاِنْ مِّنْ اُمَّةٍ اِلَّا خَلَا فِيْهَا نَذِيْرٌ

“Dan tiada suatu kaumpun melainkan telah datang kepada mereka seorang Nabi atau Rasul”.

Rahmat Allah Ta’ala bersifat umum dan meliputi semua bangsa, negara dan bahasa. Hal ini supaya tidak ada kaum yang mengeluh atau menyatakan kaum lain diberikan berkat sedangkan mereka tidak; atau mengapa suatu kaum diberikan kitab untuk mendapatkan petunjuk, sedangkan mereka tidak; atau Allah Ta’ala menampakkan wujud-Nya melalui wahyu dan mukjizat di zaman tertentu, tetapi wujudnya tersembunyi di zaman mereka. Jadi setelah menganugerahkan rahmat-Nya secara merata, Dia menghapus semua keberatan ini dan menampakkan kebaikan-Nya yang luas sehingga tidak ada suatu kaum atau suatu zaman yang luput dari keberkatan jasmani dan rohani dari Allah Ta’ala.

Jadi inilah ajaran-ajaran yang indah yang dapat menegakkan perdamaian dan kerukunan dalam masyarakat.

Saat ini seringkali terdapat tuduhan pada Islam dan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam). Mereka dapat memberikan dukungan yang kuat dalam hal-hal yang merusak perdamaian, tetapi mereka tidak berperan dalam membangun perdamaian. Jadi ajaran kami adalah, kita harus menghormati pemeluk semua agama dan pendiri setiap agama.

Bantahan bahwa Islam Terkait dengan Ekstremisme

Kesalahpahaman lain terhadap Islam yang disebabkan kurangnya pengetahuan tentang ajaran dan sejarah Islam adalah Islam disebut agama ekstremis, dan karena ada ajaran boleh melakukan paksaan, maka Islam disebarkan dengan paksaan sejak awal dan masih terus dilakukan sampai hari ini.

Tuduhan ini sangat tidak berdasar. Ketika orang membaca Al-Qur’an, mereka akan menemukan bahwa Al-Qur’an menolak konsep paksaan, sebaliknya mengajarkan supaya tidak melakukan paksaan, sebagaimana difirmankan:

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ

“Dan sekiranya tuhan engkau memaksakan kehendak-Nya, niscaya semua orang yang ada di bumi akan beriman semuanya. Apakah engkau akan memaksa manusia hingga menjadi orang-orang beriman?” (QS Yunus [10]: 100)

Jadi, seandainya kita boleh meyakinkan dunia melalui kekerasan, maka Allah Ta’ala tentu tidak akan mengatakan bahwa kita dapat memaksa orang untuk menerima Islam. Oleh karena itu, jika Allah Ta’ala tidak melakukan ini, begitupun Rasulullah tidak memiliki hak untuk memaksa, maka para pengikutnya pun tidak berhak memaksa orang lain untuk menjadi Muslim. Sebaliknya, umat Islam diperintahkan untuk berdakwah, menyampaikan pesan Islam dan menunjukkan jalan kebenaran pada orang lain. Setelah menunjukkan jalan ini kepada orang-orang, Allah Ta’ala kemudian berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ

“Dan katakanlah, ‘Inilah kebenaran dari Tuhanmu, maka barangsiapa menghendaki maka berimanlah, dan barangsiapa menghendaki maka ingkarlah.” (QS Al-Kahfi [18]: 30)

Allah Ta’ala telah mengungkapkan bahwa ini adalah jalan kebenaran dan untuk kebaikan kalian. Lebih baik kalian menerimanya, tetapi jika kalian tidak mau maka itu adalah pilihan kalian. Dan nanti di hari Kiamat Allah Ta’ala yang akan menghakimi kita dan urusan dunia ini akan berakhir.

Tidak ada seorangpun yang berhak memaksa orang lain jika mereka tidak ingin beriman pada suatu agama. Jadi Islam tidak menghukum siapapun atas dasar agama. Penjelasan-penjelasan dan tafsir yang salah dari para ulama-lah yang telah mencemarkan nama baik Islam.

Jika seseorang melihat pada sejarah Islam dan Al-Qur’an, mereka akan mengetahui bahwa jika ada orang yang tidak mau menerima ajaran Islam maka hal itu disebabkan karena mereka takut terusir dari rumah mereka atau kampung halaman mereka, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an:

وَقَالُوْٓا اِنْ نَّتَّبِعِ الْهُدٰى مَعَكَ نُتَخَطَّفْ مِنْ اَرْضِنَاۗ اَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَّهُمْ حَرَمًا اٰمِنًا يُّجْبٰٓى اِلَيْهِ ثَمَرٰتُ كُلِّ شَيْءٍ رِّزْقًا مِّنْ لَّدُنَّا وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Dan mereka berkata, “Jika sekiranya kami mengikuti petunjuk bersama engkau, tentulah kami akan diusir dari negeri kami.” Katakanlah, “Bukankah telah Kami tempatkan mereka pada tempat terlindung yang aman, yang didatangkan ke tempat itu segala macam buah-buahan, sebagai rezeki dari sisi Kami?” Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS Al-Qasas [28]: 58)

Jadi, hal ini menunjukkan bahwa alasan mereka tidak mau masuk Islam adalah karena mereka takut terhadap non-Muslim; mereka tidak menerima Islam karena mereka takut pada orang-orang yang menentang Islam. Mereka mengatakan bahwa jika mereka beriman pada Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) maka orang-orang akan menyengsarakan, membinasakan dan menjadikan mereka budak.

Tetapi Allah Ta’ala menyatakan bahwa jika orang-orang itu berpikir dengan cermat, mereka akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala selalu menjaga Mekkah dan menjadikannya sebagai tempat berkumpulnya segala berkah dari Allah. Tetapi orang-orang itu tidak memahami hal ini dan membiarkan rasa takut menguasai mereka, dan menjauhkan mereka dari kesempatan masuk Islam. Jadi ketakutan yang muncul dalam diri mereka adalah karena takut hilangnya rasa damai yang mereka miliki, bukan karena Islam, tetapi karena para penguasa duniawi.

Sangat disesalkan, pemerintah-pemerintah Muslim saat ini gagal memahami hal ini, dan kesalahapahaman tentang Islampun meningkat, yaitu Islam sebagai agama ekstremisme (naudzubillah min dzalik). Andai umat Islam beramal sesuai ajaran Islam, maka perhatian dunia akan tertuju pada Islam, dan umat Islam akan menyadari bahwa setelah mereka kembali kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan semua berhala duniawi, maka bukan saja perdamaian global yang akan tegak tetapi ketinggian dan kehormatan umat Islam juga akan meningkat berlipat ganda. Tetapi hal ini hanya akan terjadi jika mereka menerima hamba sejati Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam), Imam Zaman (Masih Mau’ud as) yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk menegakkan perdamaian dan kerukunan di dunia ini.

Terkait:   Konflik Global dan Perlunya Keadilan

Menghukum atau Memaafkan Sesuai Kondisi

Allah Ta’ala menyebutkan prinsip lain untuk membangun perdamaian, dan prinsip tidak hanya terbatas untuk hubungan pribadi tetapi juga untuk hubungan eksternal yang lebih luas; mulai dari perselisihan terkecil dalam masyarakat sampai rencana dan makar para musuh. Prinsip itu adalah menghukum atau memaafkan pelaku keburukan atau musuh. Dan perintah ini harus dilandasi pada dua kondisi yang berbeda. Allah Ta’ala berfirman:

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ

“Dan ingatlah bahwa pembalasan terhadap keburukan adalah keburukan semisalnya, tetapi barangsiapa memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya adalah pada Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang aniaya.” (QS Asy-Syura [42]:41)

Jadi telah dijelaskan bahwa pertama jangan memelihara permusuhan yang dapat mengarahkan pada lingkaran konflik tak berujung. Jika orang lain melakukan kesalahan, maka pembasan atas kesalahan itu harus sebanding dengan kesalahan yang diperbuat. Tetapi yang harus dicamkan adalah bentuk pembalasan bukanlah untuk memupuk sakit hati, permusuhan dan balas dendam. Sebaliknya, tujuannya harus selalu untuk perbaikan.

Selalulah berfokus pada bagaimana perbaikan dapat dicapai, sesuai kondisinya apakah dapat diterapkan hukuman, pembalasan atau pengampunan? Allah Ta’ala berfirman bahwa jika dengan memaafkan dapat menimbulkan perbaikan maka ampunilah mereka dan ganjaran memaafkan itu ada pada sisi Allah.

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala telah mengajari kita dua cara berbeda dalam memperlakukan musuh, apakah menghukum atau memaafkan. Namun Allah Ta’ala dengan tegas menyatakan bahwa tujuan utama yang harus dicapai adalah untuk melakukan perbaikan.

Jika kita melihat pada bangsa Arab, mereka pernah melalui masa ketika mereka saling memendam permusuhan yang bukan hanya bertahun-tahun malah sampai beberapa generasi. Tetapi berkat menerima Islam, perintah seperti ini membawa perubahan besar pada mereka.

Tetapi kebiasaan kuno memelihara permusuhan ini terus nampak di beberapa negara sampai hari ini, sehingga menimbulkan siklus permusuhan tanpa akhir. Kebencian dan dendam terhadap umat Islam semakin meningkat, tetapi di tubuh umat Islam sendiri permusuhan yang sama pun terjadi. Kebencian dan permusuhan ini bukan saja terhadap di negara-negara maju, tetapi juga di negara berkembang di kalangan para politisi.

Meski demikian, Allah Ta’ala telah menyatakan bahwa jika kita ingin membangun perdamaian, maka kalian harus mengikuti ajaran ini. Jika kita mengikuti ajaran ini, maka hal ini akan menjadi sarana mencapai kedamaian hakiki. Jika dunia menerapkan prinsip ini, maka perdamaian sejati akan terwujud di dunia dan permusuhan dan kebencian akan hilang. Jadi ini adalah ajaran yang tiada orang dapat memungkirinya.

Membantu Pihak yang Zalim dan yang Dizalimi

Lebih lanjut, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) mengajarkan prinsip yang sangat bagus kepada kita dalam membangun perdamaian, yaitu belas kasih pada orang yang zalim dan orang yang dizalimi. Membantu orang yang terzalimi adalah hal yang jelas, tetapi bagaimana menolong orang yang zalim?

Dalam hal ini Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda bahwa kita dapat menolong dengan cara mencegah pihak yang zalim dari berbuat penindasan atau kezaliman. Tetapi fakta yang kita lihat saat ini, dalam hubungan antara negara maju dan berkembang, atau dalam hubungan dalam masyarakat, etnis dan ras yang berbeda, atau hubungan skala internasional, ajaran ini kurang diperhatikan.

Orang-orang yang dipercaya untuk memutuskan antara dua pihak dan berusaha membangun perdamaian seringnya lebih condong ke salah satu pihak saja. Jika kita lihat PBB, jelas terlihat terdapat bias dalam hal kebijakannya. Baik itu memberikan perhatian yang terlalu besar pada korban sehingga ada saatnya yang tertindas menjadi penindas, maupun terlalu memihak kepada penindas sehingga korban semakin tertindas.

Oleh karena itu, perdamaian hakiki hanya dapat ditegakkan ketika dilakukan pendekatan yang seimbang oleh pihak-pihak yang berwenang di setiap tingkatan. Mereka mendengarkan inti permasalahan dan perspektif dari kedua belah pihak, kemudian mereka menengahi dan menghilangkan permusuhan yang ada.

Mengindari Prasangka Buruk

Di antara kebiasaan buruk yang dilarang dalam Islam adalah berprasangka buruk kepada orang lain. Prasangka buruk menimbulkan kebencian dan kemarahan, dan akhirnya dapat merusak perdamaian dan kerukunan dalam masyarakat. Allah Ta’ala telah menyatakan bahwa prasangka buruk merupakan dosa.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, hindarilah banyak prasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah kamu memata-matai satu sama lain, dan jangan ada di antara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antaramu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang. (QS Al-Hujurat [49: 13)

Di satu sisi telah dijelaskan bahwa kecurigaan dapat mengarahkan seseorang pada dosa, dan di sisi lain, Allah berfirman:

وَّلَا تَجَسَّسُوْا

yaitu jangan memata-matai dan mencari keburukan orang lain. Ketika seseorang berprasangka buruk kepada orang lain, maka ia juga mencari kelemahan mereka. Saat prasangka buruk semakin menjadi, maka seseorang mulai mencari-cari kelemahan mereka.

Orang-orang yang mematuhi ajaran Allah Ta’ala akan berpikir positif tentang orang lain, bukannya berprasangka buruk terhadap mereka, dan orang yang berpikir positif tidak akan pernah mencari-cari kelemahan orang lain.

Para Sahabat Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) sangat tinggi dalam menerapkan prasangka baik. Pada suatu kesempatan, Hazrat Muslih Mau’ud (ra) menceritakan sebuah peristiwa tentang prasangka baik para sahabat. Peristiwa ini tidak hanya menyoroti prasangka baik, tetapi juga standar kejujuran dan kepercayaan yang tinggi; dan menunjukkan bagaimana permusuhan berubah menjadi persahabatan dan bagaimana rasa damai dan persaudaraan dapat terbangun.

Kisah Menginspirasi dari Para Sahabat Rasulullah (saw)

Peristiwa itu adalah sebagai berikut:

Di Masa Khilafah Umar (ra), ada seseorang yang diadili karena pembunuhan, dan pengadilan memutuskan bahwa dia harus dihukum mati. Orang tersebut berkata bahwa dia memiliki banyak titipan untuk anak yatim, dan meminta waktu untuk mengembalikan titipan tersebut. Dia meminta beberapa hari untuk melakukan ini, dan mengatakan bahwa dia akan kembali setelah beberapa hari. Ketika ia dimintai jaminan, dia melihat sekeliling dan melihat seorang sahabat, yaitu Hazrat Abu Dzar (ra) dan ia menunjuk kepada beliau dan mengatakan bahwa Hazrat Abu Dzar (ra) akan menjadi penjaminnya. Ketika Hazrat Abu Dzar (ra) ditanya apakah dia setuju untuk menjadi penjamin pria ini, dia berkata, ‘ya’, dan pria itu diberikan izin untuk kembali ke rumah.

Ketika hari yang ditentukan bagi orang itu untuk kembali tiba, para sahabat khawatir dan mulai melihat ke sekeliling, karena hari semakin larut dan dia belum kembali. Beberapa orang bertanya kepada Hazrat Abu Dzar (ra) apakah beliau mengenal orang yang dia jamin keselamatannya. Beliau menjawab bahwa beliau tidak mengenalnya. Para sahabat menganggap hal itu sebagai hal yang aneh, bahwa beliau setuju menjadi penjamin kepada seorang yang dijatuhi hukuman mati, namun beliau sendiri tidak mengenalnya. Mereka bertanya mengapa beliau melakukan itu, karena jika orang itu tidak kembali, maka Hazrat Abu Dzar (ra) yang akan kehilangan nyawanya. Beliau berkata, ‘Meskipun saya tidak mengenalnya, tetapi ketika seorang Muslim meminta saya untuk menjadi penjaminnya, bagaimana saya bisa menolak dan berprasangka buruk kepadanya?’

Inilah standar tinggi yang ditunjukkan oleh para sahabat dalam hal berprasangka baik kepada orang lain. Beliau berani menjadi penjamin kepada seseorang yang bahkan ia tidak kenal, hanya karena dia tidak ingin berprasangka buruk kepadanya.

Ketika waktunya hampir habis, orang-orang melihat kepulan debu di kejauhan dan semua orang melihat seorang pria menunggang kuda dengan cepat. Ketika dia mendekat, orang-orang menyadari bahwa itu adalah orang yang sama yang telah diberikan jaminan. Dia turun dari kudanya dan berkata, ‘Maafkan saya, saya butuh waktu yang agak lama dari waktu yang dipercayakan kepada saya, sehingga saya terlambat. Tetapi saya bersyukur kepada Allah saya dapat kembali tepat waktu. Sekarang saya siap menghadapi hukuman saya.’

Mendengar hal ini memiliki keluarga korban memiliki perasaan yang mendalam, dan mereka mengatakan kepada hakim bahwa mereka telah memaafkan pria itu atas kejahatannya.

Ini adalah orang-orang saleh yang berpikiran positif yang bahkan mereka tidak tahu bagaimana berpikiran buruk kepada orang lain. Hasilnya, Allah Ta’ala juga menanamkan pikiran positif juga kepada orang lain. Orang-orang ini teguh pada kebenaran, dan rela mengorbankan hidup mereka demi kebenaran dan memenuhi sumpah mereka. Ini adalah sikap-sikap yang dapat membantu mewujudkan perdamaian di masyarakat, di mana proses penghukuman seorang penjahat berubah menjadi pengampunan dan belas kasihan.

Tidak Membicarakan Keburukan orang Lain

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala juga melarang keburukan bergunjing.

وَ لَا یَغۡتَبۡ بَّعۡضُکُمۡ بَعۡضًا

“Dan jangan ada di antara kamu menggunjing sebagian yang lain.”

Ghibah atau pergunjingan juga merupakan bentuk keburukan yang menyerang kehormatan orang lain. Kemudian, orang yang menjadi sasaran pergunjingan akan membicarakan juga kelemahan orang yang memburuk-burukkannya, atau mereka saling berhadapan dan bertikai. Dalam kasus lain, perdamaian masyarakat dapat rusak. Oleh karena itu, ghibah diharamkan, dan untuk menghindari ghibah, disebutkan bahwa ghibah sama dengan memakan daging saudaranya yang telah meninggal. Ini adalah standar perdamaian dan kerukunan yang ditetapkan oleh Islam.

Dalam hal ini Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda:

“Sebagian dosa begitu halusnya sehingga seseorang tidak menyadari ketika mereka terjerumus ke dalammya. Seorang pemuda berubah menjadi tua, tetapi ia tetap tidak menyadari bahwa ia melakukan dosa. Misalnya, ada kebiasaan berghibah. Orang-orang menganggap ini tidak penting, padahal Al-Qur’an menganggapnya sangat serius. Difirmankan:

“Apakah salah seorang di antaramu suka memakan daging saudaranya yang telah mati?”

Merupakan perbuatan yang tidak diridhai Allah jika seseorang mengatakan sesuatu yang merendahkan saudaranya, atau berbuat hal-hal yang dapat mencelakakannya, mengatakan apa saja yang dapat membuat saudaranya tampak bodoh dan rendah, yang secara diam-diam menimbulkan perasaan malu dan permusuhan kepadanya. semua ini adalah perbuatan jahat”.

Menerapkan Kejujuran dalam Setiap Urusan

Kemudian Allah berfirman:

وَ لَا تَاۡکُلُوۡۤا اَمۡوَالَکُمۡ بَیۡنَکُمۡ بِالۡبَاطِلِ

Dan janganlah makan hartamu di antara kamu dengan jalan batil.” (QS Al-Baqarah [2]: 189)

Melakukan hal tersebut merupakan kezaliman, dan akan mengarahkan pada permusuhan dan perselisihan.

Saat ini, kita menyaksikan keduniawian merajalela, banyak orang yang menguasai kekayaan orang lain dengan cara-cara menipu. Cara-cara inipun dilakukan juga di tingkat internasional. Negara-negara kaya menggunakan berbagai rencana dan taktik menguasai kekayaan negara-negara miskin secara tidak adil. Saat ini beberapa negara Afrika mengeluh bahwa setelah diberi kemerdekaan, negara-negara kaya mengklaim kekayaan mereka dengan kedok bahwa mereka menggunakannya untuk kemajuan dan keselamatan mereka. Dengan cara ini, jutaan dolar diambil setiap tahun. Hal itu menimbulkan kebencian di antara mereka terhadap negara-negara maju. Perbuatan seperti ini dapat menjadi malapetaka, karena setelah menguasai kekayaan, mereka tidak menggunakannya untuk kepentingan negara itu, tetapi negara-negara maju menyimpan kekayaan itu untuk kepentingan mereka sendiri.

Begitu juga kita menyaksikan berbagai ketidakadilan dalam bisnis, baik bisnis kecil maupun besar.

Allah Ta’ala melarang keburukan seperti itu, karena semua itu dapat merusak perdamaian dan kerukunan masyarakat dan dunia. Allah Ta’ala berfirman:

وَیۡلٌ لِّلۡمُطَفِّفِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الَّذِیۡنَ اِذَا اکۡتَالُوۡا عَلَی النَّاسِ یَسۡتَوۡفُوۡنَ ۫ وَ اِذَا کَالُوۡھُمۡ اَوۡ وَّزَنُوۡھُمۡ یُخۡسِرُوۡنَ

“Celakalah bagi orang-orang yang mengurangi timbangan. Orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta penuh, tapi apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. (QS Al-Mutaffifin[83]: 2-4)

Islam mengecam orang-orang yang merampas hak orang lain; mengunakan takaran yang pas untuk diri mereka sendiri, tetapi menggunakan ukuran yang berbeda untuk orang lain.

Terkait:   Hubungan Ahmadiyah dan Inggris

Melalui ayat-ayat ini, Islam melarang semua jenis keburukan, yang dapat menjaga kehidupan, kekayaan dan kehormatan.

Tetapi apakah ini hanya sekedar ajaran yang diberikan Allah Ta’ala, atau apakah umat Islam benar-benar telah menerapkannya juga? Kita mengklaim bahwa ajaran Islam adalah yang paling indah, tetapi apakah ajaran itu telah dijalankan sepenuhnya? Kita akan sulit menemukan contoh seperti itu dalam masyarakat Islam pada umumnya. Namun, sebagai Ahmadi yang telah menerima Hadhrat Masih Mau’ud as, kita harus menerapkan contoh-contoh ini seperti yang dilakukan para sahabat.

Jangan sampai ada yang menyalahkan kita, bahwa kita yang menerima Hadhrat Masih Mau’ud as, namun tidak ada perubahan yang terjadi dalam diri kita. Oleh karena itu, kita harus berbeda, karena hanya dengan begitu kita dapat mengklaim bahwa setelah menerima Hadhrat Masih Mau’ud as, kita termasuk di antara kaum Akhoriin.

Bagaimana contoh para sahabat? Bagaimana mereka menjaga kehidupan, kekayaan dan kepercayaan orang lain?

Saya telah menyebutkan satu contoh bagaimana seorang mukmin sejati yang peduli tentang mengembalikan amanah anak yatim dan orang lemah sebelum kematiannya, setelah itu dia tidak mempedulikan apakah dia akan dihukum mati. Tingkat amanah seperti bahkan tidak dapat diberikan oleh bank sekalipun pada saat ini.

Standar Kejujuran Para Sahabat

Terdapat peristiwa lain dari seorang sahabat. Suatu hari ia pergi ke pasar untuk menjual kudanya dan mematok harga sebesar 200 Dinar. Seorang sahabat lain di pasar berkata kepadanya, ‘Saya ingin membeli kuda ini, namun engkau telah menetapkan harga terlalu rendah. Harga kuda ini bukan 200 Dinar, tapi seharusnya 500 Dinar.’ Mendengar hal itu, sahabat pertama berkata: ‘Apakah engkau pikir aku akan memakan sedekah dengan mematok harga lebih tinggi? Harga sebenarnya dari kuda ini adalah 200 Dinar.’ Hal ini menyebabkan perselisihan di antara keduanya; penjual bersikeras menjualnya hanya 200 Dinar, sedangkan pembeli bersikeras bahwa dia akan membelinya 500 Dinar. Jadi, betapa damainya masyarakat ketika ada orang-orang yang keimanannya begitu tinggi. Melalui contoh-contoh seperti inilah orang-orang dapat merasakan dampak nyata dari ajaran Islam.

Orang-orang modern mungkin menertawakan sahabat yang menolak mengambil keuntungan yang ia terima secara cuma-cuma; [mereka mungkin berpikir] ia tidak akan dikatakan berbohong jika ia menerangkan harga sebenarnya, jadi jika pembeli menawar lebih banyak, maka ia mendapatkan keuntungan dan hal itu tidak salah baginya. Namun, menurut sahabat itu menetapkan harga yang lebih tinggi bertentangan dengan ajaran Islam, dan memang demikian faktanya. Tak pernah terpikir olehnya melakukan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Namun hari ini kita menyaksikan bahwa semakin kaya seseorang, mereka menjadi akan semakin serakah, dan berusaha sebanyak mungkin memeras dari orang lain. Mereka akan berselisih hanya untuk uang sampai membuat orang tercengang.

Demikian pula, negara-negara kaya berusaha mengeksploitasi negara-negara miskin. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, negara-negara miskin di Afrika mulai menyadari bahwa negara-negara kaya telah menjarah mereka, semua atas nama kesejahteraan dan perlindungan kepada mereka.

Kemudian dalam bisnis, negara-negara kaya membeli barang-barang dari negara-negara miskin, negara terbelakang atau berkembang dengan harga rendah. Mereka kemudian menjual barang-barang itu – yang telah dibuat menggunakan bahan mentah [negara miskin] – dengan keuntungan yang sangat tinggi. Dengan cara ini, mereka memanfaatkan tenaga kerja murah di negara-negara ini untuk memproduksi barang dan kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi.

Baik orang biasa maupun orang kaya di negara-negara miskin ini terlibat dalam mengeksploitasi tenaga kerja orang miskin dengan biaya yang begitu rendah, sehingga mereka hampir tidak mampu menyediakan dua jenis makanan di atas meja untuk keluarga mereka. Sementara orang-orang kaya menghasilkan miliaran dari barang-barang yang diproduksi oleh orang-orang miskin ini.

Hal-hal seperti itu menimbulkan keresahan yang sewaktu-waktu dapat meledak, karena dengan sarana informasi saat ini telah meningkatkan kesadaran orang-orang yang dapat dengan mudah mengakses informasi tentang orang lain. Hal ini akan meningkatkan keinginan orang-orang miskin dan ketika mengetahui bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil, maka mereka akan gelisah dan merusak perdamaian.

Oleh karena itu, untuk menghilangkan keresahan ini, Islam menyatakan bahwa setiap orang harus memberikan hak yang semestinya kepada orang lain dalam segala urusan dan transaksi bisnis. Ini adalah satu-satunya cara untuk membangun perdamaian dan ketentraman yang langgeng.

Kesombongan Merusak Kedamaian dan Kerukunan Masyarakat

Selanjutnya, faktor besar yang dapat merusak perdamaian dan kerukunan [dalam masyarakat] adalah kesombongan. Kesombongan menyebabkan ketidakadilan terhadap orang lain dan terampasnya hak-hak mereka. Islam dengan tegas melarang kesombongan; Allah Ta’ala berfirman:

وَ لَا تَمۡشِ فِی الۡاَرۡضِ مَرَحًا ۚ اِنَّکَ لَنۡ تَخۡرِقَ الۡاَرۡضَ وَ لَنۡ تَبۡلُغَ الۡجِبَالَ طُوۡلًا

“Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan sombong, sesungguhnya engkau sama sekali tidak dapat membelah bumi dan tidak pula engkau dapat mencapai ketinggian gunung-gunung.” (QS Bani Israil [17]: 38)

Jadi Allah Ta’ala mempertanyakan mengapa orang-orang berlaku sombong [karena] mereka tidak dapat membelah bumi dan juga tidak dapat melarikan diri dari dunia ini. Seseorang hanya dapat bertahan hidup dengan menggunakan sumber daya dan persediaan yang ada di bumi. [Kalau begitu, bagaimana orang-orang menjadi sombong] ketika mereka memanfaatkan orang-orang miskin di sekitar mereka? Tidak peduli seberapa sukses seorang pengusaha, atau seberapa kaya seseorang, orang-orang [miskin] inilah yang membantunya. Kalau bukan karena orang-orang ini, maka orang kaya tidak dapat berbuat apa-apa.

Jadi setiap orang yang sombong harus menyadari bahwa orang yang mereka pandang rendah dengan penuh angkuh sebenarnya adalah orang yang membantu mereka. Tanpa orang miskin, mereka tidak akan bisa menjalani kehidupan yang nyaman. Jika memahami hal ini, orang kaya tidak akan pernah berpikir untuk merebut hak orang miskin.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menasihati umat manusia dengan mengatakan bahwa orang-orang tidak boleh sombong, dan tidak boleh menganggap bahwa orang-orang di sekitar mereka lebih rendah atau tidak berharga. Jika seseorang tidak menjunjung tinggi harga diri orang-orang yang lebih rendah dari mereka [dalam kedudukan duniawi], maka orang-orang akan menjauhi mereka. Akibatnya, orang-orang itu tidak akan pernah hidup tentram.

Kemudian, orang-orang miskin akan berbalik melawan pihak yang memperlakukan mereka dengan zalim, yang menganggap orang lain tidak berharga dan tidak memenuhi hak-hak mereka. Dan di saat orang-orang berbalik melawan pemimpin atau pemerintah, maka hal itu akan mengarahkan pada pemberontakan. Tentu ini akan merusak perdamaian dan ketertiban dalam masyarakat dan negara.

Allah Ta’ala berfirman:

وَ لَنۡ تَبۡلُغَ الۡجِبَالَ طُوۡلًا

“Dan tidak pula engkau dapat mencapai ketinggian gunung-gunung.” (QS Bani Israil [17]: 38)

Ketahuilah, seseorang tidak dapat menjadi pemimpin rakyat dengan merampas hak-hak mereka dan menjaga jarak. Kata ‘Jibal‘ juga dapat diartikan sebagai pemimpin atau tokoh terkemuka. Jadi, kesombongan tidak pernah memberi seseorang ketinggian atau kedudukan yang sebenarnya. Hanya kerendahan hati yang dapat memberi perintah kepada orang lain dan menjadikan seseorang sebagai pemimpin sejati. Kepemimpinan seperti inilah yang dapat membangun perdamaian abadi.

Saat menyebutkan ketidakadilan terhadap suatu bangsa, Hazrat Muslih Mau’ud (ra) menjelaskan:

“Kezaliman moral yang parah yang dilakukan pada suatu bangsa akan merusak moral rakyatnya. Allah Ta’ala menghentikan umat manusia dari melakukan ini dengan berfirman:

لَا یُحِبُّ اللّٰہُ الۡجَھۡرَ بِالسُّوۡٓءِ مِنَ الۡقَوۡلِ اِلَّا مَنۡ ظُلِمَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ سَمِیۡعًا عَلِیۡمًا

“Allah tidak menyukai pengungkapan ucapan buruk di muka umum kecuali yang diucapkan orang yang teraniaya. Dan Allah itu Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS An-Nisa [4]: 149)

Menjelaskan ayat ini, Hazrat Muslih Mau’ud (ra) mengatakan:

“Orang-orang biasanya mengartikan ayat ini bahwa jika seseorang dianiaya maka mereka diperbolehkan mengatakan apapun yang mereka suka secara terbuka, tetapi orang lain tidak diizinkan melakukan hal yang sama. Namun menurut saya makna hakiki ayat ini adalah meskipun seseorang telah dianiaya, ia tidak pantas membicarakan keburukan atau kejahatan di depan orang lain. Allah Ta’ala melarang setiap orang melakukan ini dan jika ada yang berteriak-teriak tentang ketidakadilan yang dilakukan terhadap mereka, maka memang mereka telah bersuara melawan ketidakadilan, tetapi mereka juga menghancurkan moral masyarakat mereka sendiri.

Misalnya, jika ada orang yang menggunakan bahasa kotor kemudian ada wanita dan orang beradab yang lewat lalu menghentikannya dengan mengatakan: “Apakah kamu tidak tahu malu? Kamu merusak akhlak orang lain padahal di sini ada wanita dan anak-anak yang lalu lalang dan juga orang yang tidak setuju dengan tindakan memalukan seperti itu. Dengan cara ini [seolah-olah] Allah Ta’ala mempertanyakan mengapa seseorang berteriak-teriak seperti itu, apakah karena mereka telah dianiaya? Padahal orang itu tidak menyadari bahwa meskipun mereka mungkin bersuara menentang ketidakadilan yang dilakukan terhadap mereka, tetapi mereka juga merusak akhlak orang lain.

Dalam ajaran ini, Allah Ta’ala menasihati orang yang teraniaya bahwa jika mereka ingin mendapatkan hak-hak mereka dan mencari pembalasan atas ketidakadilan yang dilakukan terhadap mereka, maka mereka harus pergi ke otoritas yang terkait dan menunggu keputusan, jangan sampai situasi mereka menjadikan mereka sebagai penindas terhadap orang lain, karena ini juga bisa terjadi. Di sini orang yang dizalimi diingatkan bahwa meskipun mereka mungkin dianiaya, mereka sendiri tidak boleh menjadi penindas. Jadi, di satu sisi Islam memberikan hak kepada satu pihak, Islam juga menjamin hak pihak yang lain untuk menciptakan suasana damai dan tentram.

Allah Ta’ala berfirman:

وَ اعۡبُدُوا اللّٰہَ وَ لَا تُشۡرِکُوۡا بِہٖ شَیۡئًا وَّ بِالۡوَالِدَیۡنِ اِحۡسَانًا وَّ بِذِی الۡقُرۡبٰی وَ الۡیَتٰمٰی وَ الۡمَسٰکِیۡنِ وَ الۡجَارِ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ الۡجَارِ الۡجُنُبِ وَ الصَّاحِبِ بِالۡجَنۡۢبِ وَ ابۡنِ السَّبِیۡلِ ۙ وَ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَا یُحِبُّ مَنۡ کَانَ مُخۡتَالًا فَخُوۡرَا

“Dan sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya; dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan kaum kerabat, dan anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kekerabatan serta tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan, handai taulan, musafir, dan mereka yang dimiliki oleh tangan kananmu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong serta membanggakan diri.” (QS An-Nisa [4]: 37)

Percaya Pada Tauhid Ilahi adalah Kunci Membangun Perdamaian

Seperti disebutkan dalam ayat ini bahwa sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya, artinya tegakkanlah Tauhid Ilahi. Jika kalian benar-benar percaya pada tauhid, maka mereka tidak akan pernah melakukan kezaliman terhadap yang lain. Kemudian Allah juga membuat daftar orang-orang yang harus diperlakukan dengan baik oleh seorang mukmin.

Jika seseorang menjalani hidup mereka sesuai dengan ini, maka hal itu dapat mengakhiri semua hal yang dapat merusak perdamaian. Daftar tadi meliputi orang-orang yang berhubungan dengan masyarakat; seperti hubungan dengan orang tua mereka dan hubungan yang lainnya. Terakhir Allah Ta’ala memperingatkan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.

Sebelumnya disebutkan tentang kesombongan, bahwa Allah ta’ala memperingatkan orang-orang yang sombong bahwa satu-satunya penjamin perdamaian dan ketentraman adalah dengan memenuhi hak-hak orang lain.

Kita menyaksikan di dalam masyarakat bahwa munculnya berbagai masalah, percekcokan dan ketegangan seringkali terjadi karena satu sama lain dalam kondisi marah.

Pertengkaran dan perselisihan seringkali muncul ketika seseorang dikuasai oleh kemarahan. Allah Ta’ala telah membimbing umat Islam menuju satu prinsip dasar dan setelah menyebutkan sifat-sifat tertentu, [Allah berfirman] bahwa mereka telah diciptakan sebagai ‘ummatan wasato“, yaitu bangsa yang seimbang dalam segala urusan mereka.

Jadi prinsip ini harus terapkan baik dalam kasus mencintai maupun marah. Dalam keadaan marah jangan sampai melampaui batas sehingga tidak mau memaafkan, begitu juga jangan terlalu mencintai sehingga mereka menjadi sangat menderita. Dalam kondisi cinta seperti itu, seseorang tidak dapat menunaikan kewajibannya dengan cara yang adil. Oleh karena itu, telah diajarkan bahwa kemarahan harus ada batasnya begitu juga dengan cinta. Sangat disayangkan bahwa prinsip ini jarang diterapkan di kalangan umat Islam. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

وَ الۡکٰظِمِیۡنَ الۡغَیۡظَ وَ الۡعَافِیۡنَ عَنِ النَّاسِ ؕ وَ اللّٰہُ یُحِبُّ الۡمُحۡسِنِیۡنَ

Terkait:   Pesan Perdamaian Universal & Keamanan – Pembukaan Masjid Baitul Ikram di Dallas

“Dan orang-orang yang menahan amarah dan yang memaafkan manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ali Imran [3]: 135)

Akal dan Kemarahan Tidak Dapat Berdampingan

Dengan kata lain, ciri khas seorang Muslim adalah menahan amarah dan memaafkan. Ini adalah prinsip yang benar-benar mencerminkan seorang Muslim; ini adalah prinsip yang mengakhiri semua permusuhan; ini adalah prinsip yang membangun semangat perdamaian dan kerukunan dalam masyarakat; dan ini adalah prinsip yang melaluinya pesan perdamaian dan keamanan dapat menyebar ke segala arah.

Berkaitan dengan hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda:

“Kita harus ingat bahwa ada permusuhan yang sangat sengit dan berbahaya antara aql (intelektualitas, kecerdasan) dan kemarahan. Ketika nafsu dan amarah menguasai seseorang maka mereka tidak dapat mengendalikan akal mereka. Namun, orang yang bersabar dan menunjukan kesabaran akan dianugerahi cahaya cemerlang pada kemampuan akal dan pertimbangan mereka. Cahaya rohani itu kemudian menciptakan cahaya baru lainnya. Sedangkan, dalam kondisi amarah dan nafsu akan membuat gelap hati dan pikiran, selanjutnya, kegelapan ini akan mengarah pada kegelapan yang lain lagi.”

Hazrat Masih Mau’ud as lebih lanjut bersabda:

“Ingatlah! Orang yang dikuasai oleh sifat agresif dan kemarahan, dari pembicaraannya tidak akan keluar ma’rifat dan kebijaksanaan. Orang yang hatinya cepat marah akan kehilangan kebijaksanaan dibandingkan dengan lawannya. Lidah orang yang biasa berkata-kata kotor dan liar tanpa kendali akan tercabut dari sumber mata air lathaa-if. Kemarahan dan kebijaksanaan tidak bisa berjalan bersama. Orang yang dikuasai oleh amarah akan menjadikan akal tumpul dan pemahamannya rendah. Orang yang cepat marah tidak akan meraih kemenangan dan pertolongan dalam kondisi apapun. Kemarahan adalah setengah kegilaan, ketika kemarahan itu memuncak maka sempurnalah kegilaannya.”

Hazrat Masih Mau’ud as kemudian bersabda:

“Perintah Syariat kami [hukum Islam] adalah mempertimbangkan kondisi. Jika keadaan mengharuskan adanya keringanan hukuman maka turunkanlah dirimu menjadi debu [karena kerendahan hati]; dan kondisi menuntut seseorang untuk menunjukkan ketegasan, maka berlaku tegaslah. Jika pengampunan mengarah pada perbaikan, maka seseorang harus memaafkan.

Jika ada seorang pembantu yang baik melakukan kesalahan maka mereka harus dimaafkan, tetapi ada juga malah bersikap berani ketika diampuni dan bahkan melakukan kejahatan yang lebih banyak pada hari berikutnya. Dalam kondisi seperti itu, menghukum mereka adalah keharusan.”

Jadi, ajaran Islam mencakup setiap aspek dan dengan dengan semangat ajaran inilah perdamaian dan keamanan dapat terwujud. Secara umum seorang mukmin harus menunjukkan pengampunan, tetapi dalam kasus orang yang terus melanggar maka ia perlu dihukum untuk menciptakan perbaikan pada dirinya.

Tujuan yang mendasari ajaran Islam sebenarnya adalah perbaikan dalam masyarakat, bukan hanya sekedar menghukum. Oleh karena itu, seorang mukmin harus berusaha memenuhi tujuan ini. Selain itu, Allah ta’ala menjelaskan bahwa setelah menahan amarah dan memaafkan orang lain, seseorang kemudian harus berbuat baik kepada orang lain karena Allah Ta’ala berfirman:

وَ اللّٰہُ یُحِبُّ الۡمُحۡسِنِیۡنَ

“Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ali Imran [3]: 135)

Tiga Tingkatan Akhlak

Dan dalam menyebutkan keutamaan berbuat baik pada orang lain, disebutkan di tempat lain:

اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat kebajikan kepada orang lain, dan memberi seperti kepada kerabat sendiri.” (QS An-Nahl [16]: 91)

Jika benar-benar diterapkan, perintah Al-Qur’an ini dapat menciptakan semangat perdamaian dan keamanan yang luar biasa di setiap lapisan masyarakat. Perintah pertama yang diberikan Allah Ta’ala adalah berlaku adil [Adl] pada orang lain, dengan kata lain, bertindak dengan penuh keadilan. Misalnya, jika seseorang ingin meminta pembalasan atas sebuah kezaliman, maka itu pembalasan hanya sebatas kesalahan yang dilakukan, dan itupun harus diajukan kepada pihak yang berwenang. Terkadang orang-orang memendam permusuhan yang begitu kuat kepada yang lain sehingga mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan meninggalkan masalah itu sampai orang yang menganiaya mereka benar-benar dipermalukan dan ditundukkan. Hal ini adalah sikap yang keliru dan Islam menolaknya.

Demikian pula, ketika kita menganalisa hal ini di tingkat internasional, kita menjumpai bahwa karena rusaknya sebuah hubungan, satu negara menimbulkan banyak kerugian pada negara lain sehingga negara itu dibiarkan kacau selama beberapa dekade. Saat ini, kita menemukan banyak negara kuat melakukan ini. Allah Ta’ala melarang ini dan sebaliknya memerintahkan bertindak dengan adil.

Tahap kedua adalah berbuat baik kepada orang lain [Ihsan]. Berbuat baik kepada orang lain tidak mesti kita harus melihat terlebih dahulu apakah orang lain baik kepada Anda, bahkan jika seseorang berbuat buruk kepada Anda maka kita tetap memperlakukan mereka dengan baik dan memaafkan mereka. Perintah ini mencakup pengampunan, pemaafan dan membantu orang miskin, beramal dan perbuatan baik lainnya, baik yang dilakukan secara individu atau bersama-sama.

Setelah itu tahap selanjutnya adalah berbuat baik kepada orang lain layaknya berbuat baik kepada saudara [Ita’i dzil-Qurba]; yaitu memperlakukan satu sama lain seperti memperlakukan kerabat dekat.

Ini adalah tahap puncak ‘berbuat baik kepada orang lain’, hal ini tidak perlu dijelaskan lagi. Maksudnya adalah berbuat baik karena dasar kecintaan kepada mereka dan tidak mengharapkan imbalan apapun. Dalam berbuat ihsan mungkin masih ada dorongan pribadi, walapun hanya dalam pikiran saja, bahwa dengan berbuat baik kepada orang lain hal itu dapat memperbaiki hubungan mereka. Tetapi ‘memberi seperti saudara’ adalah cara seorang ibu memperlakukan anaknya.

Kecintaan alami adalah dasar seorang ibu dalam mencintai dan merawat anaknya dan menunjukkan kebaikan, bukan karena mengharapkan imbalan. Jadi Allah Ta’ala menyatakan bahwa setiap orang harus meraih level kecintaan seperti ini kepada orang lain. Setiap orang harus meningkatkan standar di mana mereka selalu berpikir untuk memberi kepada orang lain bukannya mengambil sesuatu dari mereka; mereka harus mengembangkan semangat seperti itu.

Setiap orang harus menganggap semua umat manusia seperti anak-anak mereka sendiri dan mereka harus memiliki hasrat untuk melayani orang lain. Jika orang-orang memperlakukan satu sama lain dengan cara ini, betapa indah, damai, dan rukunnya masyarakat itu? Andai saja umat Islam bisa memahami prinsip ini.

Hadhrat Masih Mau’ud as telah menyebutkan prinsip ini dalam hubungannya dengan Allah Ta’ala dan dalam hubungannya dengan manusia. Dalam satu contoh, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda:

“Kesalehan sejati adalah seseorang harus mengembangkan hubungan yang suci kepada Tuhan. Kecintaan kepada-Nya harus tertanam dalam diri mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat kebajikan kepada orang lain, dan memberi seperti kepada kerabat sendiri.” (QS An-Nahl [16]: 91)

Adil yang terkait dengan Allah adalah mengingat nikmat-Nya dan menunjukkan ketaatan kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan menerima-Nya. Ketika seseorang ingin lebih maju lagi dari tahap ini, maka tahap selanjutnya adalah tahap Ihsan [berbuat baik], yaitu memiliki tingkat keyakinan akan wujud-Nya seolah-olah ia melihat-Nya, dan memberikan perlakukan yang baik kepada orang-orang yang tidak memperlakukan mereka dengan baik. Dan jika seseorang berkeinginan untuk maju lagi dari tahap ini, maka tahap selanjutnya adalah menumbuhkan kecintaan alami kepada Allah tanpa keinginan masuk surga atau takut pada api neraka. Jika ia mengetahui bahwa surga dan neraka itu tidak ada, maka kecintaan dan ketaatannya kepada Allah tidak berubah. Ketika tingkat kecintaan seperti ini tumbuh dalam diri seseorang, maka hal itu akan menciptakan daya tarik di dalamnya mereka terbebas dari segala bentuk kecacatan.”

Hazrat Masih Mau’ud as kemudian melanjutkan:

‘Seseorang harus memperlakukan makhluk Allah sedemikian rupa seolah-olah mereka memiliki hubungan dekat dengan mereka. Ini adalah tahap yang paling tinggi karena dalam tahap Ihsan [berbuat baik kepada orang lain] ada unsur kepura-puraan. Misalnya, jika seseorang menunjukkan rasa tidak berterima kasih, orang yang memberikan bantuan segera menceritakan kebaikannya. Namun, cinta alami seorang ibu kepada anaknya tidak memiliki unsur kepura-puraan.”

“Jika seorang raja mengeluarkan perintah bahwa seandainya seorang ibu membunuh anaknya maka dia tidak akan ditanyai tentangnya, maka seorang ibu tidak akan tahan mendengar hal seperti itu dan sebaliknya ia akan mengutuk sang raja. Walaupun ia mengetahui dia akan meninggal sebelum anak tumbuh dewasa, tetapi karena cintanya kepada anak itu, dia akan terus merawat anak itu. Kebanyakan orang tua sudah renta dan mereka punya anak. Mereka tidak memiliki harapan untuk memperoleh manfaat dari anak-anak mereka, namun mereka menunjukkan cinta dan perhatian kepada mereka. Ketika cinta seseorang mencapai keadaan seperti itu, maka ini menjadi fenomena alami dan ini telah disebutkan dalam kata-kata, ‘memberi seperti saudara’. Ini adalah jenis cinta yang harus dimiliki seseorang dengan Tuhan di mana seseorang tidak menunjukkan cinta ini demi mencari derajat yang lebih tinggi dan juga bukan karena takut dipermalukan.’

Hazrat Masih Mau’ud as bersabda:

‘Akhlak itu ada dua jenis. Salah satu jenis akhlak adalah akhlak yang diperlihatkan oleh para intelektual modern di mana mereka mengharapkan sanjungan dan kepalsuan ketika mereka bertemu seseorang, sementara hati mereka penuh dengan kemunafikan dan permusuhan. Akhlak ini bertentangan dengan Al-Qur’an. Jenis akhlak kedua adalah bahwa seseorang harus menunjukkan kasih sayang sejati dan tidak boleh ada kemunafikan, mengharapkan sanjungan, juga tidak boleh bermuka dua, dll. Seperti difirmankan oleh Allah Ta’ala:

اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat kebajikan kepada orang lain, dan memberi seperti kepada kerabat sendiri.” (QS An-Nahl [16]: 91)

Ini adalah amalan yang sempurna dan setiap jalan sempurna dan bentuk bimbingan yang komplit ditemukan dalam Firman Tuhan. Mereka yang berpaling dari ini tidak dapat menemukan petunjuk di tempat lain. Sebuah ajaran yang sangat baik membutuhkan hati yang suci untuk supaya menunjukkan dampaknya. Jika seseorang dengan cermat mengamati orang-orang yang jauh dari [ajaran] ini, mereka pasti akan menemukan ketidakmurnian di dalamnya.’

Hazrat Masih Mau’ud as bersabda:

‘Tidak ada jaminan berapa lama seseorang akan hidup. Oleh karena itu, teruslah maju dalam doa-doa kalian dan dalam hal ketulusan dan ketakwaan kalian. Tingkatkanlah ibadah kalian, tingkatkanlah standar ketakwaan kalian dan juga tingkatkan hubungan kalian satu sama lain.’

Tanggung Jawab Besar para Ahmadi

Setelah menerima Hadhrat Masih Mau’ud as, semoga Allah SWT memberi taufik kepada kita untuk memberikan contoh yang baik bagi seluruh dunia dalam segala tindakan kita, dengan mengikuti ajaran Islam yang benar. Semoga kita benar-benar menerapkan berbagai petunjuk yang telah saya sebutkan yang terkait dengan membangun perdamaian dan poin lain yang telah saya sebutkan.

Kemudian kita harus mengabarkan juga hal ini ke seluruh dunia, karena mereka sedang menuju jurang kehancuran, sebab mereka hanya ingin memenuhi kepentingan pribadi mereka.

Semoga dunia menyadari bahwa perdamaian hakiki hanya dapat dibangun melalui pemenuhan perintah Allah Ta’ala, karena tidak ada sistem duniawi yang dapat benar-benar mampu untuk membangun perdamaian. Oleh karena itu, ini merupakan tanggung jawab yang besar bagi setiap Ahmadi.

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita menerapkan hal ini. Semoga para peserta Jalsah mendapaktan berkah-berkah Jalsah. Semoga semua orang di seluruh dunia yang mendengarkan Jalsah muncul semangat dalam diri mereka dan membawa perubahan revolusioner di daerah mereka melalui cahaya rohani dari ajaran suci Islam. Semoga Allah Ta’ala memberikan karunia kepada semua peserta supaya sampai di rumah mereka dengan selamat; begitu juga orang-orang di Qadian dan juga di Guinea-Bissau, Afrika dan juga di tempat-tempat yang diadakan Jalsah. Semoga Allah Ta’ala menjaga semua orang dalam perlindungan-Nya.

Sekarang kita akan berdoa. Doakanlah secara khusus semoga Allah Ta’ala melindungi Jemaat dari segala jenis kejahatan dan semoga Allah memberi taufik kepada kita memenuhi janji baiat kita, seperti yang diharapkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as kepada kita. Mari kita berdoa.

Sumber: Alislam.org – Islam’s Principles for Establishing True Peace

Penerjemah: Khaeruddin Ahmad Jusmansyah

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.