Keagungan dan Kerendahan Hati Rasulullah
KEDUA NAMA NABI SUCI MUHAMMAD SAW yang penuh berkat yaitu Muhammad saw dan Ahmad memiliki dua keunggulan yang berbeda. Muhammad saw mengandung arti yang amat dipuji dan menggambarkan keagungan dan kebesaran serta menyiratkan seseorang yang dicintai karena hanya yang dicintailah yang selalu dipuji-puji. Adapun kata Ahmad menyiratkan seseorang yang mencintai karena merupakan bagian dari seorang pencinta untuk memuji dan ia selalu memuji sosok yang dikasihinya. Jika Muhammad saw menggambarkan keagungan dan kebesaran, maka Ahmad menggambarkan kerendahan hati. Kehidupan beliau sebagai seorang Nabi terbagi dalam dua bagian, sebagian dihabiskan di Mekah untuk jangka waktu tiga belas tahun dan sebagian lainnya di Madinah yang memakan waktu sepuluh tahun.
Kehidupan beliau di Mekah menggambarkan segi nama Ahmad dari sosok beliau. Jangka waktu tersebut banyak dihabiskan dalam meratap dan memohon pertolongan di dalam doa. Barangsiapa yang memahami periode kehidupan Mekah dari beliau tentunya mengetahui betapa ratapan dan permohonan doa yang dilakukan beliau saat itu yang tidak ada padanannya pada pencinta lain yang sedang mencari kekasihnya. Ratapan beliau bukanlah untuk dirinya pribadi tetapi karena kesadaran beliau akan kondisi dunia pada saat itu. Zaman itu penyembahan Allah swt telah sirna sedangkan Dia telah menanamkan keimanan dalam jiwa beliau yang memberikan kegembiraan dan kesukaan. Dengan sendirinya beliau ingin menyampaikan kegembiraan dan kasih ini kepada dunia, namun ketika beliau menyadari kondisi daripada dunia serta kemampuan dan fitrat manusia saat itu maka beliau menghadapi rintangan yang amat besar. Beliau menangisi kondisi dunia ini sedemikian rupa sehingga nyawa beliau pun terancam. Hal ini diindikasikan dalam ayat:
لَعَلَّكَ باخِعٌ نَفسَكَ أَلّا يَكونوا مُؤمِنينَ
‘Boleh jadi engkau akan membinasakan dirimu sendiri dari dukacita karena mereka tidak mau beriman’ (QS.26 Asy-Syuara:4).
“Periode ini merupakan kehidupan berdoa beliau dan menjadi manifestasi dari nama beliau sebagai Ahmad. Setelah itu beliau mengkonsentrasikan diri secara agung dan konsentrasi ini menunjukkan efeknya pada kehidupan beliau di Madinah ketika signifikasi nama Muhammad saw diungkapkan sebagaimana dinyatakan dalam ayat:
وَاستَفتَحوا وَخابَ كُلُّ جَبّارٍ عَنيدٍ
‘Mereka itu berdoa untuk kemenangan dan binasalah setiap musuh kebenaran yang merajalela lagi keras kepala itu’ (QS.14 Ibrahim:16).
(Malfuzat, vol. II, hal. 178-179).
***
“MEREKA YANG TERBIASA dengan cara pengungkapan dalam Al-Quran umumnya mengetahui bahwa kadang-kadang yang Maha Agung dan Maha Pengasih menggunakan ekspresi yang kelihatannya seperti merendahkan hamba-Nya yang khusus padahal konteksnya menggambarkan pujian yang tinggi. Sebagaimana difirmankan Allah swt mengenai Yang Mulia Rasulullah saw bahwa:
وَوَجَدَكَ ضالًّا فَهَدىٰ
‘Dia dapati engkau dalam keadaan hilang dan Dia memberi engkau petunjuk’ (QS.93 Adh-Dhuha: 8).
“Arti kata ‘Dhall’ pada dasarnya berarti seseorang yang salah jalan atau tersesat sehingga arti harfiah dari ayat tersebut adalah ‘Tuhan mendapati engkau dalam keadaan tidak tahu jalan lalu Dia menunjuki’ padahal nyatanya Yang Mulia Rasulullah saw tidak pernah salah jalan atau tersesat. Seorang Muslim yang mempercayai bahwa kapan pun dalam hidup Yang Mulia Rasulullah saw beliau itu pernah tersesat adalah seorang yang ingkar yang tidak beriman dan patut dihukum. Konteks daripada ayat itu bermaksud:
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًۭا فَـَٔاوَىٰ ﴿ ﴾ وَوَجَدَكَ ضَآلًّۭا فَهَدَىٰ ﴿ ﴾ وَوَجَدَكَ عَآئِلًۭا فَأَغْنَىٰ
‘Tidakkah Dia mendapati engkau yatim lalu Dia memelihara engkau, dan Dia mendapati engkau sirna dalam kecintaan kepada Wujud-Nya dan Dia menarik engkau kepada-Nya, dan Dia mendapati diri engkau berkekurangan lalu Dia memperkaya engkau’ (QS.93 Adh-Dhuha:7-9).
(Ayena Kamalati Islam, Qadian, Riyadh Hind Press, 1893; Rohani Khazain, vol. 5, hal. 170-171, London, 984).
Tulisan ini dikutip dari buku “Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, ekstraksi dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as”. Neratja Press, hal 265-267, ISBN 185372-765-2