Apakah Al-Qur’an Terpelihara Dengan Sempurna?

apakah Alquran terpelihara sempurna?

Oleh Farhan Iqbal, Mubaligh Jamaah Muslim Ahmadiyah Kanada

Bagian II: Memahami Sejarah dan Perbedaan Dialek-Dialek Al-Quran

Di antara kitab-kitab kuno yang tersedia saat ini, para sarjana sepakat bahwa Perjanjian Baru adalah kitab yang paling banyak dibuktikan kebenarannya. Artinya, ada lebih banyak manuskrip Perjanjian Baru daripada kitab-kitab kuno lainnya. Ada ribuan manuskrip – sebagian atau seluruhnya – baik dalam bahasa Yunani asli yang digunakan untuk menulisnya, maupun dalam bentuk terjemahan ke dalam bahasa Latin, Etiopia, Slavia, dan Armenia. Seperti yang dikatakan dengan bangga oleh seorang sarjana Perjanjian Baru terkemuka, Dr. Bruce Metzger, kitab yang berada di urutan kedua setelah Perjanjian Baru dalam hal kesaksian manuskrip adalah Iliad karya Homer dengan kurang dari 650 manuskrip Yunani.[1] Akan tetapi, dalam hal pelestarian teks-teks kuno, para sarjana telah menunjukkan perbedaan di antara banyaknya manuskrip yang tersedia ini, yang membuatnya sulit untuk mengetahui dengan pasti kata-kata aslinya.

Sebagai perbandingan, Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab kuno yang paling terpelihara sepanjang 1400 tahun terakhir dan ini dapat dipastikan dari bukti dan dengan melihat lebih dekat bagaimana Al-Qur’an awalnya diwahyukan dan terjaga sejak zaman Nabi Muhammad (saw) .

Kritikus Islam telah membuat banyak keberatan terhadap klaim umat Islam bahwa Al-Qur’an terjaga dengan sempurna. Perdebatan ini menjadi semakin sengit akhir-akhir ini karena terjaganya teks-teks suci lainnya seperti Alkitab juga telah diteliti dengan cermat selama dua hingga tiga ratus tahun terakhir. Misalnya, bahwa ada dugaan “versi” Al-Qur’an yang berbeda dan timbul keraguan mengenai motif Utsmān (ra) ketika beliau membakar mushaf tertentu demi adanya satu mushaf yang resmi. Atas dasar ini, penting untuk terlebih dahulu memahami metode apa yang digunakan untuk melestarikan Al-Qur’an.

Metode Pelestarian Al Quran

Sejak awal diturunkannya Al-Qur’an, telah banyak usaha yang dilakukan untuk memastikan bahwa Al-Qur’an tercatat dengan akurasi 100%. Allah sendiri telah memberikan janji dalam bentuk nubuat bahwa Dia akan menjaga wahyu Al-Qur’an dari segala jenis kotoran. Dia berfirman:

اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ وَ اِنَّا لَہٗ لَحٰفِظُوۡنَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan peringatan (Alquran) ini dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr (15) : 10)

Hazrat Muslih Mau’ud [Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad] mencatat mengenai tafsir ayat di atas dalam Tafsir Kabir, bahwa bukan suatu kebetulan Al-Qur’an telah terpelihara sejak diturunkan. Bahkan, pelestariannya disinggung dalamkata-kata Al-Kitab dan Quran . Artinya Al-Qur’an terpelihara dengan dua cara. Pertama, Al-Qur’an ditulis sejak awal, dan kedua, Al-Qur’an telah dihafal oleh manusia secara lengkap sejak pertama kali diturunkan.[2] Selain itu, beliau mencatat beberapa faktor lain yang berperan dalam pelestarian Al-Qur’an:

  1. Allah telah memastikan bahwa ada orang-orang yang mampu menghafal Al-Qur’an dari awal hingga akhir.
  2. Irama Al-Qur’an sangat merdu dan mudah, sehingga siapa pun dapat menghafalnya – baik sebagian maupun seluruhnya – tanpa kesulitan.
  3. Pembacaan Al-Qur’an diwajibkan dalam Salat – salat fardhu lima waktu –membantu dalam memelihara Al-Qur’an
  4. Allah menciptakan cinta dalam hati manusia untuk senantiasa membacanya.
  5. Allah memastikan bahwa Al-Qur’an tersebar ke seluruh dunia segera setelah diwahyukan, sehingga mustahil bagi suatu kelompok atau suatu pemerintahan mana pun untuk membuat perubahan atau amandemen.
  6. Berbagai macam ilmu pengetahuan dalam Islam berlandaskan pada Al-Qur’an, yang menyebabkan Al-Qur’an dikutip dalam berbagai jenis buku yang berkaitan dengan berbagai bidang studi. Hazrat Muṣlih Mau’ūd (ra) berkata bahwa menurut pendapatnya, jika ayat-ayat Al-Qur’an yang dikutip dari semua buku tersebut dikumpulkan dan disusun, maka seluruh Al-Qur’an dapat disusun hanya dari referensi-referensi tersebut.
  7. Bentuk akademis bahasa Arab tidak pernah berubah dan dapat dipahami dengan mudah hingga saat ini. Hal ini membantu melestarikan bahasa asli Al-Qur’an yang pada gilirannya mendukung pelestarian Al-Qur’an itu sendiri.
  8. Allah melindungi Al-Qur’an dengan menurunkan wahyu baru sebagai dukungannya melalui Para Mujaddid dan orang-orang pilihan lainnya. [3]

Terkait poin ke-8 , Hazrat Muslih Mau’ūd (ra) menyatakan bahwa di zaman ini, ketika perpecahan telah mencapai puncaknya, Allah Taala mengutus Hadhrat Masih Mau’ud [Hazrat Mirza Ghulam Ahmad] yang akan memurnikan Al-Qur’an dari semua penafsiran dan komentar yang salah dan menyajikannya kepada dunia dalam bentuknya yang paling murni. Oleh karena itu, dengan cara ini, Allah telah memastikan bahwa Al-Qur’an terpelihara baik dalam naskahnya maupun dalam makna dan pesannya yang sebenarnya.

Terlebih lagi, Al-Qur’an sendiri menunjukkan betapa besar perhatian yang diberikan dalam cara pewahyuannya untuk memastikan kemurniannya. Misalnya, Allah Taala berfirman bahwa Al-Qur’an diwahyukan dengan berangsur-angsur sehingga Rasulullah (saw) dan para sahabat dapat mempelajarinya secara sistematis dan menyeluruh tanpa tergesa-gesa:

وَ قُرۡاٰنًا فَرَقۡنٰہُ لِتَقۡرَاَہٗ عَلَی النَّاسِ عَلٰی مُکۡثٍ وَّ نَزَّلۡنٰہُ تَنۡزِیۡلًا

“Dan Kami telah membagi Al-Qur’an dalam bagian-bagian supaya dapatlah engkau membacakannya kepada manusia dengan perlahan-lahan dan berangsur-angsur, dan Kami telah menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Bani Israil, 17 : 107).

Fakta ini dikuatkan oleh Sejarah. Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an diwahyukan selama kurun waktu 22 setengah tahun yang menjamin penyampaian amanat Allah yang tepat kepada Rasulullah (saw) dan dari beliau kepada para sahabatnya. Hal ini mencegahnya dari terlupakan karena ada banyak waktu untuk menghafal dan merevisi Al-Qur’an dalam porsi-porsi kecil yang dapat diatur.

Hazrat Mirza Bashīr Aḥmad ṣāḥib (ra) telah mencatat bahwa Rasulullah(saw) menghabiskan 7.970 hari sebagai seorang Nabi, sedangkan jumlah ayat dalam Al-Qur’an adalah 6.236 dan jumlah kata dalam Al-Qur’an adalah 77.934. Ini berarti rata-rata setiap ayat Al-Qur’an memiliki 12 kata, sedangkan rata-rata wahyu harian Al-Qur’an hanya 9 kata.[4] Dengan kata lain, Al-Qur’an diwahyukan sangat lambat sehingga rata-rata satu ayat penuh pun tidak diwahyukan setiap hari.

Beberapa kritikus Islam mungkin menuduh bahwa Al-Qur’an seharusnya diwahyukan sekaligus dan meragukan alasan di balik pewahyuannya yang lambat. Tuduhan ini juga dilontarkan pada masa Rasulullah(saw) dan Al-Qur’an Suci membahasnya sebagai berikut:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةً ۛ كَذٰلِكَ ۛ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا

“Dan orang-orang yang ingkar berkata, ‘Mengapaah Al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya seluruhnya sekaligus? Kami telah menurunkannya dengan cara demikian, supaya Kami dapat senantiasa meneguhkan hatimu dengannya, dan Kami telah menyusunnya dalam susunan yang sebaik-baiknya. (QS Al-Furqan, 25: 33)

Tentang tafsir ayat ini, Hadhrat Masih Mauud as menulis, “Orang-orang kafir berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan satu kali saja?’ [Allah berfirman] Demikianlah seharusnya agar Kami dapat menguatkan hatimu dari waktu ke waktu. Demikian pula agar ilmu pengetahuan Ilahi dan ilmu pengetahuan lainnya diajarkan pada waktunya, sebagaimana mestinya. Hal ini karena lebih sulit untuk memahami sesuatu sebelum waktunya. Dengan hikmah ini, Allah Taala menurunkan Al-Qur’an selama 23 tahun sehingga nubuat-nubuat pun terpenuhi selama masa ini”.[5]

Terkait:   14 Nubuatan Al-Quran yang Terbukti

Para penulis Al-Qur’an

Di antara berbagai tindakan pencegahan yang diambil untuk melestarikan Al-Qur’an, mari kita lihat lebih dekat satu saja: penulisan Al-Qur’an . Ada banyak sahabat Rasulullah (saw) yang memiliki tanggung jawab untuk menuliskan wahyu Al-Qur’an. Diriwayatkan bahwa:

اذا نزل عليه شيء دعا بعض من كان يكتب

“Setiap kali sebuah ayat diturunkan, Rasulullah(saw) akan memanggil salah satu juru tulis.”[6]

Artinya, Rasulullah(saw) memiliki beberapa orang juru tulis yang tersedia bagi beliau. Mengutip dari Fathul Bari , Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) memberikan daftar 15 orang juru tulis, [7] yang paling utama di antaranya adalah Zaid bin Tsabit (ra) .

Maulana Ahsanullah Danish sahib, seorang ulama dari Jamaah Muslim Ahmadiyah, yang merujuk pada berbagai buku sejarah yang memuat nama-nama para penulis, menyimpulkan bahwa ada 28 sahabat yang menulis Al-Qur’an khususnya pada masa Rasulullah(saw) , dan ia juga mencatat bahwa beberapa peneliti telah menempatkan jumlahnya sebanyak 40 orang sahabat.[8] Semua penelitian ini menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah(saw) yang pandai menulis gemar menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an dan ini terjadi sejak masa awal, dan itu adalah hal yang umum bagi para sahabat memiliki beberapa bagian tertulis Al-Qur’an.

Bahkan jika berbagai manuskrip yang memuat bagian-bagian Al-Qur’an itu disatukan, salinan Al-Qur’an yang lengkap dapat dibuat dari manuskrip-manuskrip itu. Selain itu, sebagian sahabat telah menuliskan Al-Qur’an secara keseluruhan sebagaimana yang ditunjukkan oleh riwayat-riwayat berikut:

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ ـ رضى الله عنه ـ مَنْ جَمَعَ الْقُرْآنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَرْبَعَةٌ كُلُّهُمْ مِنَ الأَنْصَارِ أبىُّ بْنُ كَعْبٍ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأَبُو زَيْدٍ‏.‏ تَابَعَهُ الْفَضْلُ عَنْ حُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ‏.‏

Diriwayatkan oleh Qatadah: Aku bertanya kepada Anas bin Malik (ra) : “Siapakah yang mengumpulkan Al-Qur’an pada masa Nabi (saw) ?” Beliau menjawab: “Empat orang, semuanya dari Anshar: Ubay bin Ka’b, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid”.[9]

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ مَاتَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ يَجْمَعِ الْقُرْآنَ غَيْرُ أَرْبَعَةٍ أَبُو الدَّرْدَاءِ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَبُو زَيْدٍ

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik (ra) : Ketika Nabi (saw) wafat, tidak ada seorang pun yang mengumpulkan Al-Qur’an kecuali empat orang: Abu Ad-Dardā’, Mu’ādh bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.[10]

Berdasarkan kedua riwayat ini, dapat dipastikan bahwa dari suku Anas ra saja, ada 5 orang dari kalangan Anshar yang telah menuliskan Al-Qur’an secara keseluruhan pada masa hidup Nabi Muhammad saw .

Mushaf Lengkap Al-Qur’an yang Pertama

Berdasarkan penelitiannya tentang kompilasi Al-Qur’an, Maulana Ahsanullah Danish sahib menulis bahwa meskipun benar bahwa Al-Qur’an telah ditulis secara keseluruhan oleh para sahabat, Al-Qur’an tidak ada dalam bentuk buku bersampul tebal atau berjilid (seperti saat ini) selama masa hidup Rasulullah(saw) . [11]

Sebabnya adalah, selama Khilafat Abu Bakr (ra) , ketika pertempuran Yamāma terjadi di mana 500 pembaca Al-Qur’an menjadi syahid, ‘Umar (ra) menyarankan kepada Abu Bakr (ra) bahwa Al-Qur’an harus disusun menjadi bentuk kitab.[12] 

Peristiwa ini dijelaskan secara panjang lebar dalam kitab Shahih Bukhari ( Kit Abul Fadh A’il ) dan menyebutkan bagaimana Abu Bakar (ra) awalnya merasa keberatan karena tugas seperti ini, yaitu menyusun Al-Qur’an dalam satu kitab, belum pernah dilakukan pada masa hidup Rasulullah(saw). Namun, akhirnya beliau menyadari perlunya tugas ini, dan menugaskan Zaid bin Tsabit (ra) untuk melakukan tugas ini. Hal ini karena beliau adalah juru tulis Al-Qur’an yang paling terpercaya dan terkemuka pada masa hidup Rasulullah(saw).[13]

Pada titik ini, beberapa kritikus menuduh bahwa ini adalah upaya pertama untuk menulis Al-Qur’an karena Abu Bakar (ra) dengan jelas mengatakan bahwa hal ini belum pernah dilakukan selama masa hidup Rasulullah(saw) . Namun, tuduhan ini lahir dari pemahaman yang keliru tentang narasi yang sebenarnya dalam bahasa Arab. Hazrat Muṣlih Mau’ūd (ra) menunjukkan bahwa kata-kata yang diucapkan Umar (ra) kepada Abu Bakar (ra) adalah:

إِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ‏

Artinya, “Saya sarankan Anda memerintahkan pengumpulan Al-Qur’an”. Dengan kata lain, dia tidak menyarankan penulisan Al-Qur’an. Itu sudah pernah dilakukan. Dia menyarankan pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu volume yang lengkap. Demikian pula, ketika Abū Bakr (ra) memanggil Zaid (ra) , beliau berkata kepadanya ijma’ hu , yang berarti bahwa dia harus mengumpulkannya di satu tempat. Dia tidak menyuruhnya untuk menuliskannya, seolah-olah untuk pertama kalinya. Hazrat Muṣlih Mau’ūd (ra) menyimpulkan dengan mengatakan, “Kata-kata ini sendiri menunjukkan bahwa pada saat itu, pertanyaan yang ada di hadapan mereka adalah untuk mengumpulkan halaman-halaman Al-Qur’an menjadi satu volume. Mereka tidaklah menekankan pada penulisannya”.[14]

Berbeda dengan cara penggambaran para kritikus, kisah ini justru menunjukkan sejauh mana para sahabat berusaha keras untuk menjaga kemurnian teks Al-Qur’an. Sebelum masa periwayatan, Al-Qur’an telah ditulis secara keseluruhan oleh beberapa sahabat, telah dihafal secara keseluruhan oleh beberapa sahabat, dan telah dibacakan, dihafalkan, dipelajari, dibahas, dan dikutip secara berkala. Di atas semua ini, para sahabat masih ingin melangkah lebih jauh dan menyatukan Al-Qur’an menjadi satu kitab utuh. Sungguh pengabdian yang luar biasa dan tulus kepada Al-Qur’an! Apakah masih mungkin untuk berasumsi bahwa Al-Qur’an telah dipalsukan berdasarkan bukti-bukti yang bertentangan tersebut?

Lebih jauh, alasan mengapa mushaf satu jilid ini tidak dapat disiapkan pada masa Rasulullah(saw) adalah karena Al-Qur’an terus-menerus diwahyukan kepada beliau dan tidak mungkin untuk mengetahui apakah wahyu Al-Qur’an telah berakhir. Akan tetapi, ketika beliau wafat, baru dipahami bahwa wahyu Al-Qur’an telah berakhir dan Al-Qur’an dapat dikumpulkan menjadi satu bentuk kitab.

Dalam sebuah buku luar biasa tentang penyusunan, pengaturan, dan pewahyuan Al-Qur’an – Al-Itqān fī ‘ulūmil Quran – Imam Jalāluddīn Sayyūtī (rh) menulis tentang tindakan pelestarian yang diambil untuk menyusun jilid pertama Al-Qur’an ini. Ia menulis bahwa berdasarkan hadits, harus dipahami bahwa Zaid (ra) sendiri adalah seorang hafiz tetapi ia masih mencari saksi-saksi lain untuk setiap ayat baik dalam bentuk tertulis maupun melalui hafalan sebelum menambahkannya ke satu jilid atau musḥaf Al-Qur’an yang diminta untuk ia persiapkan. Kemudian, Imam Jalāluddīn (rh) berkata:

و اخرج ابن أبي داود أیضاً من طریق ھشام بن عروۃ، عن أبيه: أن أبا بکر قال لعمر و لزیدٍ: اقعدا علی باب المسجد، فمن جاء کما بشاھدین علی شيء من کتاب اللہ فاکتباہ۔۔۔ قال ابن حجر و کا ن المراد بالشاھدین: الحفظ و الکتاب۔ و قال السخاويُّ فی ((جمال القراء)): المراد أنھما یشھدان علی أن ذلک المکتوب کتب بین یدی رسول اللہ ﷺ … قال أبو شامۃ : و کان عرضھم الا یکتب الا من عین ما کتب بین یدی النبی ﷺ، لا من مجرد الحفظ۔ [15]

Terkait:   Al-Qur'an, Adam, dan Dosa Warisan

Abu Da’ud meriwayatkan bahwa Abu Bakar (ra) berkata kepada Umar (ra) dan Zaid (ra) : “Duduklah di pintu masuk Masjid dan siapa pun yang datang kepadamu dengan bagian kitab Allah manapun [yaitu Al-Qur’an] dengan dukungan dua orang saksi, tulislah”. Ibnu Hajr mengatakan bahwa dua orang saksi merujuk pada dua format, yaitu melalui hafalan dan secara tertulis. Sakhāwi menulis dalam bukunya Jamālul-Qurrā’ , “Ini berarti bahwa dua orang saksi harus memberikan kesaksian bahwa itu ditulis di hadapan Rasulullah(saw) ”… Abu Shāma mengatakan, “Itu adalah niat mereka agar Al-Qur’an ditulis dengan kata-kata yang sama yang ditulis di hadapan Rasulullah(saw) , dan bukan hanya berdasarkan hafalan.”[16]

Berdasarkan banyaknya riwayat ini Hazrat Muṣlih Mau’ūd (ra) menulis bahwa untuk setiap ayat Al-Qur’an, baik bentuk hafalan maupun format tertulis ditanya terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam muṣḥaf  Abū Bakr (ra) . Terlebih lagi, untuk sebagian besar ayat Al-Qur’an, ada puluhan atau bahkan ratusan saksi yang mengatakan bahwa mereka mempelajari ayat tersebut langsung dari Rasulullah(saw) . Banyak ayat bahkan memiliki ribuan saksi.[17] Hasil akhir yang dihasilkan dari pengamalan monumental ini disebut maṣḥaf-e-umm dan tidak ada sahabat yang mengajukan keberatan terhadap keakuratan mushaf Al-Qur’an ini.

Salinan Al Quran yang distandarkan

Pada masa Utsmān (ra) , salinan maṣḥaf-e-umm ini dibuat dan disebarkan ke berbagai negeri Muslim sebagai salinan Al-Qur’an resmi dan baku. Hal ini beliau lakukan karena beliau mulai menerima keluhan bahwa berbagai suku mengucapkan atau melafalkan kata-kata Al-Qur’an dengan cara yang berbeda-beda sehingga Utsmān (ra) melarang semua variasi pengucapan bahkan titik vokal dan mengirim salinan baku untuk dibacakan dengan cara standar.

Bentuk baku pembacaan atau pengucapan kata-kata ini didasarkan pada dialek Rasulullah(saw) atau dialek Quraisy Mekkah. Dalam bahasa Arab, ini disebut Qirā’ah dan analogi terdekat bagi penutur bahasa Inggris untuk memahami perbedaan antara Qir ā’ āt (jamak dari Qirā’ah ) adalah dengan memikirkan perbedaan antara bahasa Inggris Amerika dan bahasa Inggris British dalam hal pengucapan. Karena bahasa Arab merupakan bahasa yang jauh lebih beragam dibandingkan dengan bahasa Inggris, perbedaan dialek ini menjadi jauh lebih mendalam dan khas di antara penutur bahasa Arab.

Oleh karena itu, Utsmān (ra) menanggapi tantangan perbedaan pengucapan ini dengan membakukan salinan tertulis Al-Qur’an beserta cara pembacaannya. Sebagai tindakan pencegahan tambahan, beliau memerintahkan pembakaran semua mushaf tertulis Al-Qur’an lainnya – baik yang lengkap maupun yang hanya berupa bagian-bagian Al-Qur’an yang tertulis di atasnya. Karena upaya yang sangat besar telah dilakukan untuk menyiapkan maṣḥaf -e-umm, tidak perlu menyimpan mushaf lain dalam bentuk atau rupa apa pun. Salah satu kekhawatiran mengizinkan mushaf semacam itu adalah beberapa sahabat membuat catatan pribadi pada mushaf mereka dan itu dapat menyebabkan kebingungan bagi orang-orang di kemudian hari karena mereka mungkin bertanya-tanya bagian mana yang merupakan Al-Qur’an dan bagian mana yang merupakan catatan kaki atau catatan samping.

Mushaf Abdullah bin Mas’ud (ra)

Beberapa kritikus Islam mengajukan keberatan terhadap hal ini bahwa ‘Abdullāh bin Mas’ūd (ra) tidak menganggap Surah Al-Fatiḥah dan Mu’awwidzatain (2 Surah terakhir dari Al-Qur’an) sebagai bagian dari teks asli Al-Qur’an, sehingga mushaf hipotetisnya terdiri dari 111 Surah, bukan 114 Surah. Kami menyebutnya hipotetis karena dia tidak pernah menyusun mushaf resmi yang bertentangan dengan maṣḥaf-e-umm dan tidak pernah menyatakan atau mengumumkan secara resmi bahwa mushafnya harus dianggap sebagai standar, bukan mushaf lainnya . Terlepas dari itu, memang benar beberapa riwayat menyebutkan pendapat ‘Abdullāh bin Mas’ūd (ra) ini bahwa beliau tidak ingin memasukkan ketiga surah ini ke dalam mushaf Al-Qur’an miliknya. Misalnya, diriwayatkan dalam Masnad Aḥmad bin Ḥanbal sebagai berikut:

حدثنا محمد بن الحسين بن أشكاب ثنا محمد بن ابي عبيدة بن معن ثنا أبي عن الأعمش عن أبي إسحق عن عبد الرحمن بن يزيد قال: كان عبد اللّه يحك المعوذتين من مصاحفه / ويقول: ان هما ليستا من كتاب الله تبارك و تعالي، قال الأعمش و حدثنا عاصم عن زر عن أبي بن كعب قال: سألنا عن هما رسول الله صلي الله عليه و سلم قال ((فقيل لي)) فقلت۔ [18]

Diriwayatkan oleh ‘Abdur Raḥmān bin Yazīd bahwa ‘Abdullāh bin Mas’ūd (ra) biasa menghapus Mu’awwidzatain dari mushafnya dan biasa berkata, “Sesungguhnya (ayat-ayat itu) tidak berasal dari Kitabullah [yaitu Al-Qur’an]”. Seorang perawi, A’misy, meriwayatkan bahwa ‘Āshim meriwayatkan dari Zirr, yang pada gilirannya meriwayatkan dari Ubayy bin Ka’b (ra) [yang berkata] “Kami bertanya kepada Rasulullah(sa) tentang mereka [yaitu Mu’awwidzatain ], dan beliau berkata, ‘Beginilah aku diperintahkan’, jadi aku sampaikan [ini kepada orang lain]”.[19]

Riwayat serupa juga terdapat dalam Shahih Bukhari sebagai berikut:

عَنْ زِرٍّ، قَالَ سَأَلْتُ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ قُلْتُ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ كَذَا وَكَذَا‏.‏ فَقَالَ أُبَىٌّ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ لِي قِيلَ لِي‏.‏ فَقُلْتُ، قَالَ فَنَحْنُ نَقُولُ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم‏.‏

Zirr bin Hubaisy meriwayatkan, “Saya bertanya kepada Ubayy bin Ka’b (ra) , ‘Wahai Abul Mundzir! Saudaramu, Ibnu Mas’ud (ra) mengatakan begini dan begitu [yakni, Mu’awwidzatain tidak termasuk dalam Al-Qur’an]’. Ubayy (ra) berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah(saw) tentang mereka, dan dia berkata, ‘Mereka telah diwahyukan kepadaku, dan aku telah membacanya (sebagai bagian dari Al-Qur’an)’”. Ubayy (ra) menambahkan, ‘Jadi, kami mengatakan sesuai dengan apa yang dikatakan Rasulullah(saw) ’”.[20]

Pertama, harus jelas dari riwayat-riwayat ini bahwa Abdullah bin Mas’ud (ra) hanya mengemukakan pendapat tentang 2 surah terakhir Al-Qur’an. Riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa ia mengira ini hanyalah doa-doa yang diwahyukan kepada Rasulullah(saw) untuk memohon perlindungan dari Allah atas nama cucu-cucunya, Imam Hassan (ra) dan Imam Hussain (ra) .

Mengomentari keberatan serupa tentang Abdullah bin Mas’ud (ra) , Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) menulis:

یہ نادان کہتے ہیں کہ ابن مسعود نے جو مباہلہ کی درخواست کی تھی اس سے نکلتا ہے کہ مسلمانوں کا باہم مباہلہ جائز ہے مگر یہ ثابت نہیں کر سکتے کہ ابن مسعود نے اپنے اس قول سے رجوع نہیں کیا تھا اورنہ یہ ثابت کر سکتے ہیں کہ مباہلہ ہو کر مخطیوں پر یہ عذاب نازل ہوا تھا۔ حق بات یہ ہے کہ ابن مسعود ایک معمولی انسان تھا نبی اور رسول تو نہیں تھا۔ اُس نے جوش میں اگر غلطی کھائی تو کیا اس کی بات کو    اِنْ ھُوَ اِلَّا وَحْیٌ یُّوْحٰی  میں داخل کیاجائے۔

Terkait:   Memahami Sejarah dan Perbedaan Dialek-Dialek Al-Quran

“Orang-orang jahil ini mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud (ra) meminta mubahalah, yang artinya boleh bagi umat Islam melakukan mubahalah. Akan tetapi, mereka tidak dapat membuktikan bahwa Ibnu Mas’ud (ra) tidak membatalkan pendapatnya, dan mereka juga tidak dapat membuktikan bahwa mubahalah itu terjadi dan mengakibatkan azab Allah bagi mereka yang berbuat salah. Sebenarnya Ibnu Mas’ud (ra) adalah orang biasa, bukan seorang Nabi atau Rasul. Jika ia berbuat salah karena hawa nafsu, apakah itu berarti bahwa pernyataannya itu termasuk bagian dari:اِنْ ھُوَ اِلَّا وَحْیٌ یُّوْحٰی  [Itu tidak lain hanyalah wahyu murni yang diturunkan oleh Allah][21]?”[22]

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) di sini berpendapat bahwa apa pun kasusnya, kedudukan Abdullah bin Mas’ud (ra) tidak begitu tinggi sampai kita harus menganggapnya kebal terhadap kesalahan dalam penilaian. Kata-kata dan pernyataannya tidak memiliki derajat yang sama dengan sabda-sabda Rasulullah(saw) yang tentangnya dinyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an bahwa apa yang beliau sabdakan sebagai tuntunan agama merupakan wahyu murni dari Allah. Pada saat yang sama, tidak dapat diragukan bahwa beliau adalah seorang guru besar Al-Qur’an dan salah satu sahabat yang sangat dihormati, dan di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam, dan setiap Muslim harus menghormatinya. Kesalahan sederhana dalam penilaian tentang tiga surah Al-Qur’an tidak mengurangi kedudukannya yang tinggi di mata setiap Muslim. Doa kita panjatkan selalu dan terus untuknya: Radhi-Allahu ‘anhu (Semoga Allah meridhoinya!).

Kedua, riwayat-riwayat itu sendiri dengan jelas membantah kesalahan ‘Abdullāh bin Mas’ūd (ra) sebagaimana ‘Abdullāh bin Ubayy (ra) – guru Al-Qur’an yang dihormati lainnya – diriwayatkan telah memeriksa kepada Rasulullah(saw) tentang Mu’awwidzatain dan beliau mengatakan kepadanya bahwa mereka adalah bagian dari Al-Qur’an. Mirip dengan riwayat ini, ada banyak Hadits lain yang sahih yang mengutip pernyataan Rasulullah(saw) yang dengan jelas menyatakan bahwa Surah Al-Fātiḥah dan Mu’awwidzatain adalah bagian dari Al-Qur’an dan tidak terpisah darinya.

Hal yang menarik adalah bahwa riwayat-riwayat lain menyatakan bahwa Ibn Mas’ūd (ra) tidak memasukkan Mu’awwizhatain dalam mushafnya, atau mereka hilang dari mushaf Ibn Mas’ūd (ra) , tetapi riwayat-riwayat ini tidak mencatat pernyataannya bahwa mereka bukan bagian dari Kitabullah. Ini adalah perbedaan yang sangat tipis, yang berarti bahwa ada sedikit kebingungan mengenai alasan sebenarnya mengapa Abdullah bin Mas’ud (ra) tidak memasukkan kedua surah ini dalam naskahnya. Bisa jadi itu adalah pendapat Abdullah bin Mas’ud (ra) atau bisa jadi itu adalah pendapat orang yang meriwayatkan hal ini tentangnya.

Dalam kedua tersebut, hal itu hanya merupakan pendapat mereka yang dengan jelas dibantah dalam riwayat-riwayat ini serta banyak riwayat lain dari sumber-sumber yang sahih.  Sebagaimana yang dikatakan Maulana Ahsanullah Danish sahib, di satu sisi, kita memiliki pendapat para sahabat Rasulullah(saw) yang didukung oleh bukti-bukti sejarah, pendapat yang seragam dari seluruh umat , pendapat yang seragam dari para penghafal atau ḥuffāz Al-Qur’an, dan di sisi lain, ada pendapat orang yang meriwayatkan hal ini dari ‘Abdullāh bin Mas’ūd (ra) atau mungkin pendapat ‘Abdullah bin Mas’ūd (ra) sendiri. Apa yang dikatakan oleh pikiran rasional kita?[23] Menerima keraguan satu atau dua orang atau menerima pernyataan tegas Rasulullah(saw) yang dengan jelas menyatakan bahwa baik Surah Al-Fātiḥh dan Mu’awwidzatain adalah bagian dari Al-Qur’an yang diwahyukan.

Bukti tentang pemeliharaan naskah Al-Qur’an yang sangat baik sudah sangat banyak. Penemuan naskah Al-Qur’an baru-baru ini memberikan bukti lebih lanjut untuk hal ini. Naskah itu ditemukan di Universitas Birmingham dan para sarjana mengatakan bahwa itu mungkin naskah Al-Qur’an tertua di dunia. Naskah itu berasal dari periode 568 M hingga 645 M yang menjadikannya kemungkinan naskah dari masa Rasulullah(saw) sendiri.[24] Naskah itu berisi bagian-bagian dari surah 18 hingga 20 Al-Qur’an dan perbandingan dengan terbitan Al-Qur’an masa kini menunjukkan bahwa keduanya identik, tanpa perbedaan apa pun. Terlepas dari semua bukti ini, jika beberapa kritikus keberatan dengan pemeliharaan Al-Qur’an, hal itu hanya bisa terjadi karena bias (faktor ketidaksukaan terhadap Islam). Seorang peneliti yang jujur ​​di bidang ini tidak punya pilihan selain menegaskan bahwa nubuat (janji) Al-Qur’an tentang pemeliharaannya yang sempurna memang telah terpenuhi.


[1] Lee Strobel, The Case for Christ (Michigan: Zondervan, 1998), 78

[2] Hazrat Mirzā Bashīruddīn Meḥmūd Aḥmad (ra)Tafsīr Kabīr, Volume 4, hal. 17

[3] Pembahasan terperinci tentang semua poin dalam pelestarian Al-Quran, lihat halaman 17-20 Tafsir Kabir (Jilid 4)

[4] Ahsanullah Danish, Az-Zikrul Mahfūz (Qadian: Fazle Umar Printing Press, 2007), 12

[5] Haqīqatul Waḥī, Rūḥānī Khazā’in, Volume 22, Hal. 357

[6] Masnad Ahmad bin Hanbal, Masnad ‘Asyratul Mubasyariin bil-jannati, Masnad Utsman bin ‘Affan

[7] Hazrat Mirzā Bashīruddīn Meḥmūd Aḥmad(ra), Introduction to the Study of the Holy Qur’ān (Surrey: Islam International Publications Ltd., 1996), 356

[8] Ahsanullah Danish, Az-Zikrul Mahfūz (Qadian: Fazle Umar Printing Press, 2007), 23

[9] Ṣaḥīḥ Bukhārī, Kitāb Fadhā’il-ul-Quran, Bābul Qurrā min Aṣḥābin-Nabi (sa)

[10] Ṣaḥīḥ Bukhārī, Kitāb Fadhā’il-ul-Quran, Bābul Qurrā min Aṣḥābin-Nabi (sa)

[11] Ahsanullah Danish, Az-Zikrul Mahfūz (Qadian: Fazle Umar Printing Press, 2007), 77

[12] Introduction to the Study of the Quran, hal. 362

[13] Ṣaḥiḥ Bukhārī, Kitāb Fadhā’il-ul-Quran, Bāb Jam‘ul Quran

[14] Fadhā’ilul Quran, Hazrat Mirzā Bashīruddīn Meḥmūd Aḥmad(ra), hal. 25-26

[15] Al-Itqān fī ulūmil Quran [An-Nau‘ Ath-thāmin ‘Ashar, fī jam‘ihī wa tartībihi] (Lebanon: Resalah Publishers, 2008), 131

[16] Terjemahan asli dari penulis

[17] Tafsīr Kabīr, Volume 10, hal. 84-85

[18] Al-Masnad lil-Imam Aḥmad bin Hanbal, Masnadul Ansar, Hadits Zir bin Hubaisy ‘an Ubayy bin Ka’b, Hadits no. 21087, Volume 15 (Cairo: Darul Hadits, 1995), 441

[19] Terjemahan asli dari penulis

[20] [20] Sahih Bukhari, Kitabut Tafsir, Bab  65, Hadits 4977 [http://sunnah.com/urn/46560 – terakhir diakses 12 Februari 2016]

[21] Al-Quran, 53:5

[22] Rūḥānī Khazā’in, Volume 3, Hal. 421-422

[23] Ahsanullah Danish, Az-Zikrul Mahfūz (Qadian: Fazle Umar Printing Press, 2007), 276

[24]  http://www.birmingham.ac.uk/news/latest/2015/07/quran-manuscript-22-07-15.aspx [Akses terakhir 5 April, 2017; Lihat juga: http://www.bbc.com/news/business-35151643 (Akses terakhir 5 April 2017)]

Sumber: Alislam.org – Was the Holy Quran perfectly preserved?
Penerjemah: Mln. Husnur Rasyidi

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.