Memahami Sejarah dan Perbedaan Dialek-Dialek Al-Quran

perbedaan dialek qiraat Alquran

Oleh Farhan Iqbal

Bagian I Apakah Al-Qur’an Terpelihara Dengan Sempurna?

Mungkin kedengarannya mengejutkan bagi banyak orang, tetapi tuduhan yang semakin populer dalam beberapa tahun terakhir adalah bahwa Al-Quran memiliki berbagai “versi” yang berbeda satu sama lain. Hal ini khususnya terdengar dari kritikus Kristen terhadap Islam yang membuatnya terdengar seperti Al-Quran itu mirip dengan Alkitab karena memiliki bacaan yang saling bertentangan yang pada gilirannya menunjukkan bahwa Al-Quran tidak terpelihara dengan sempurna dan tidak dapat disebut sebagai Firman Tuhan yang unik dan tak tertandingi (Na’udzubillah min dzalik).

Pada awalnya, sungguh aneh melihat kritik semacam itu datang dari para pendeta Kristen. Hal ini karena meskipun mereka mengakui bahwa Alkitab telah mengalami perubahan dan telah disunting serta memiliki versi yang berbeda-beda, tetapi banyak dari mereka masih menganggap Alkitab sebagai Firman Tuhan yang “bersih dari kesalahan”. Namun, jika menyangkut Al-Quran, mereka ingin kita percaya bahwa banyaknya ayat yang bertentangan membatalkan klaim Al-Quran sebagai Firman Tuhan.

Bagaimanapun, ini adalah pendapat yang sangat keliru. Al-Quran tidak memiliki ayat-ayat yang saling bertentangan atau yang mereka sebut versi yang berbeda. Yang ada di dalamnya hanyalah qira’at atau bacaan yang berbeda dan hal ini merupakan fakta yang telah diketahui di kalangan ulama Al-Quran dan hal ini sebenarnya salah satu keindahan Al-Quran.

Dalam artikel Apakah Al-Quran Suci Terpelihara dengan Sempurna?, saya telah membahas betapa besar upaya yang dilakukan untuk menjaga Al-Quran Suci dengan sempurna dan memastikannya tidak akan rusak. Perlindungan ini diberikan oleh Allah SWT melalui berbagai cara. Yang luar biasa adalah bahwa Al-Quran ditulis secara keseluruhan dan dihafal secara lengkap oleh beberapa sahabat Nabi (saw) selama masa hidupnya. Tidak ada kitab suci lain dalam sejarah yang telah mengalami perlindungan dan pelestarian yang begitu ketat.

Setelah wafatnya Nabi Muhammad (saw) , Hazrat Umar (ra) mengusulkan kepada Hazrat Abu Bakar (ra) agar satu manuskrip Al-Quran disiapkan.[1] Semasa hidup Rasulullah (saw), beberapa sahabat telah menulis Al-Quran dan Al-Quran memang telah ditulis secara keseluruhan, tetapi tidak disusun atau disatukan menjadi satu kitab. Tulisan-tulisan tersebut tersebar dan perlu disatukan. Manuskrip yang disiapkan dari upaya ini disebut mashaf-e-umm, dan semua sahabat sepakat atas keabsahan manuskrip ini. Yang benar-benar mencengangkan adalah betapa cepat upaya ini terwujud setelah wafatnya Nabi Suci (saw) .

Sejarah Dialek

Kemudian, pada masa Hazrat Utsman (ra) , muncul masalah mengenai cara-cara pembacaan Al-Quran yang bermacam-macam. Banyak orang yang baru masuk Islam tidak memahami perbedaan antara berbagai dialek Al-Quran dan terjadilah kebingungan. Para sahabat Rasulullah (saw) mengetahui tentang perbedaan-perbedaan dialek tersebut, tetapi karena para mualaf baru tersebut mengalami beberapa kesulitan, Hazrat Utsman (ra) memutuskan untuk membakukan pembacaan Al-Quran ke dialek utamanya, yaitu dialek Quraisy.

Dialek Quraisy ini adalah dialek Nabi Muhammad (saw) dan penduduk Mekkah. Dialek inilah yang digunakan Al-Quran untuk sebagian besar sejarahnya. Akan tetapi, Al-Quran juga diturunkan dalam dialek lain sebagaimana digambarkan dalam hadis berikut:

أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ ـ رضى الله عنهما ـ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ، فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ وَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ ‏”‏‏.‏

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jibril membacakan Al Quran kepadaku dengan satu cara. Kemudian aku memintanya (untuk membacanya dengan cara lain), dan terus memintanya untuk membacanya dengan cara lain, dan ia membacanya dengan beberapa cara hingga akhirnya ia membacanya dengan tujuh cara yang berbeda.”[2]

Hadits ini menggunakan frasa sab’atu ahruf (yakni tujuh huruf) yang merupakan cara Rasulullah (saw) merujuk pada perbedaan dialek.

Kebutuhan akan bacaan-bacaan ini muncul pada masa pertumbuhan umat Islam di Madinah. Hal ini dijelaskan dalam riwayat berikut:

Hazrat ‘Umar bin Al-Khattab (ra) berkata, “Saya mendengar Hisham bin Hakim (ra) membaca Surah Al-Furqan semasa hidup Rasulullah (saw) dan saya mendengarkan bacaannya dan memperhatikan bahwa ia membacanya dengan dialek yang berbeda yang tidak diajarkan oleh Rasulullah (saw) kepada saya. Saya hendak menegurnya selama shalatnya, tetapi saya mengendalikan amarah saya, dan ketika ia telah menyelesaikan shalatnya, saya mengikatnya dengan pakaiannya lalu bertanya, “Siapa yang mengajarimu Surah yang kau baca ini?” Ia menjawab, “Rasulullah (saw) mengajarkannya kepadaku”. Saya berkata, “Kamu telah berbohong, karena Rasulullah (saw) telah mengajarkannya kepadaku dengan cara yang berbeda dari caramu”. Maka saya membawa Hisyam bin Hakim kepada Rasulullah (saw) dan berkata, “Saya mendengar orang ini membaca Surah Al-Furqan dengan cara yang tidak kau ajarkan kepadaku!” Atas hal itu, Rasulullah (saw) bersabda, “lepaskan dia (Umar!). Bacalah, wahai Hisyam!” Kemudian ia membacakannya dengan cara yang sama seperti yang kudengar saat tadi ia baca. Kemudian Rasulullah (saw) berkata, “Al-Quran diturunkan dengan cara ini,” dan beliau menambahkan, “Bacalah, wahai Umar!” Aku membacanya sebagaimana yang telah diajarkannya kepadaku. Rasulullah (saw) kemudian berkata, “Al-Quran diturunkan dengan cara ini. Sesungguhnya Al-Quran ini telah diturunkan dengan tujuh dialek, maka bacalah dengan cara mana pun yang lebih mudah bagimu”.[3]

Hazrat Mirza Bashir-ud-Din Mahmud Ahmad (ra) telah membahas riwayat ini secara panjang lebar dalam Tafsir-e-Kabir. Beliau menulis bahwa qira’at yang menjadi dasar para pengkritik melemparkan tuduhannya pada dasarnya merujuk pada perbedaan dialek di antara orang-orang Arab. Sebagian orang Arab mampu mengucapkan huruf ر  (raa) sementara yang lain mengucapkan ل ( laam) sebagai gantinya. Pada kesempatan lain, mereka menggunakan kata yang berbeda karena kata yang lain sulit diucapkan. Huzur menulis, “Maknanya tidak berubah; sebaliknya, dalam beberapa kasus, maknanya diperluas, dan hal itu memungkinkan setiap suku (di Arabia) untuk membaca (Al-Quran) dengan mudah”.[4]

Selama masa Rasulullah (saw) tinggal di Mekkah, qira’at atau bacaan Al-Qur’an tidak ada karena sejarah tidak mencatat keberadaannya pada waktu itu.

Maulana Ahsanalluh Danish menulis bahwa kebutuhan muncul pada saat Islam mulai menyebar dengan cepat di antara berbagai suku Arab. Ini terjadi pada tahun-tahun terakhir masa Rasulullah (saw) tinggal di Madinah. Hadits di atas mengacu pada Hakim bin Hisyam (ra) yang membaca Al-Qur’an dalam bacaan yang tidak diketahui oleh Umar (ra) . Hakim menerima Islam pada tahun 9 Hijriah yang merupakan indikasi kuat bahwa bacaan alternatif diturunkan belakangan, dan dalam sebagian besar kehidupan Rasulullah (saw) , umat Islam mempelajari bacaan utama, yaitu qira’ah Hijazi atau Qurasyi.  Maulana Ahsanullah Danish memperkirakan bahwa dari 22 setengah tahun pewahyuan Al-Qur’an, lebih dari 21 tahun dikhususkan untuk pembacaan Al-Qur’an dalam dialek utamanya.[5] Oleh karena itu, dialek utamanya tetaplah dialek Qurasyi, sedangkan dialek-dialek lainnya berada di bawahnya, dan izin untuk membacanya hanya berlaku untuk sementara waktu karena kebutuhan.[6]

Terkait:   Hadhrat Masih Mau'ud a.s.: Keistimewaan Yang Khas dan Unggul dari Al-Qur'an

Jenis-jenis Perbedaan

Dengan mempertimbangkan semua catatan sejarah, Maulana Ahsanullah Danish mencatat tiga jenis perbedaan yang disebabkan oleh bermacam-macam dialek.[7] Salah satu bentuk perbedaannya adalah karena bunyi huruf yang akhirnya diwakili oleh tanda diakritik untuk membantu orang non-Arab melafalkannya dengan bunyi yang benar. Misalnya, satu suku mungkin melafalkan sebuah huruf dengan zabar (a pendek) sementara suku lain melafalkannya dengan zair (I pendek) . Misalnya, یَفْعَل  (yaf’al) diucapkan sebagai   یِفْعَل (yif’al).[8]

Bentuk perbedaan kedua adalah karena penggantian huruf secara keseluruhan. س  sin dapat digantikan oleh ت  taa , atau ك kaaf dapat digantikan oleh ش  syiin , dan seterusnya.[9]

Dalam komentar hadits yang dikutip di atas, Hazrat Sayyid Zainul Aabideen Waliullah Shah sahib (ra) memberikan contoh bentuk perbedaan ini ketika ia menulis, “ حتی  hattaa (sampai di sini) disebutkan dalam dialek Quraisyi. (namun) Suku Huzail mengucapkan kata yang sama dengan عطی ‘attaa ( ain bukannya haa ). Orang Quraisy sebenarnya dapat mengucapkannya dengan kedua cara”.[10]

Bentuk perbedaan ketiga adalah ketika kata-kata tersebut tidak berubah tetapi memiliki makna yang berbeda berdasarkan suku tempat kata-kata tersebut digunakan.[11] Sebagai contoh, Hazrat Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) menulis tentang seorang wanita kaya yang tinggal di Mekkah dan memiliki seorang pembantu dari Yaman. Pembantu tersebut memberinya instruksi dengan kata-kata غَیِّرِ الشِّیْشَةَ  ( ghayyir-isy-syiisyah) yang artinya ia diminta untuk mengganti air di shisha miliknya, tetapi karena dialek Yamannya, ia mengira bahwa ia diperintahkan untuk memecahkan wadah tempat air tersebut disimpan. Kata-katanya sama tetapi dialek yang berbeda maka makna kata-kata tersebut dipahami dengan cara yang berbeda.[12]

Dengan demikian, perbedaan dialek memang ada dan Al-Quran diturunkan dalam dialek-dialek tersebut sehingga pembelajaran Al-Quran tetap mudah bagi sebagian besar orang Arab. Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad mencatat, “Jika izin ini tidak diberikan, menghafal dan membaca Al-Quran akan menjadi sulit bagi orang-orang yang tinggal di luar Mekkah dan Al-Quran tidak akan menyebar secepat ini”.[13]

Standarisasi Dialek Utama Al-Quran

Seperti yang telah dibahas di atas bahwa dialek-dialek Al-Quran Suci yang berbeda telah ada pada masa Rasulullah (saw) sementara yang utama tetap dialek Hijazi atau Quraisyi yang juga merupakan dialek Nabi Muhammad (saw) . Pada tahun-tahun awal, kebutuhan akan dialek-dialek—selain yang utama—tetap ada untuk sementara waktu karena berbagai suku yang berbicara dengan dialek-dialek bahasa Arab yang berbeda masuk Islam dan perlu diajari Al-Quran. Namun, seiring berjalannya waktu dan Islam menyebar ke seluruh Timur Tengah, tidak perlu lagi mempelajari setiap dialek Al-Quran. Dialek utama adalah dialek Hijazi dan dialek ini menjadi umum di antara semua orang Arab. Ini terutama berlaku pada masa Usman (ra).

Menjelaskan kondisi saat itu, Hazrat Muslih Mau’ud (ra) menulis bahwa Madinah telah menjadi ibu kota dan semua suku yang berbeda telah bercampur satu sama lain dan telah menjadi satu bangsa. Para pemimpin kaum Muslim adalah para sahabat dari Mekkah dan para sahabat Madinah juga telah mempelajari dialek Hijazi yang berarti bahwa waktunya telah tepat untuk penyeragaman dialek utama Al-Qur’an.[14] Inilah yang dilakukan Hazrat Usman (ra) dengan memastikan bahwa semua manuskrip yang ditulis untuk dialek-dialek lain dibawa ke Madinah dan dibakar sementara dialek utama distandarisasi.

Hazrat Usman (ra) mengirim permintaan kepada Hazrat Hafsah (ra) untuk mengirimkan kepadanya naskah yang telah disiapkan pada masa Hazrat Abu Bakar (ra) dengan persetujuan bulat dari semua sahabat. Ini adalah mashaf-e-umm dan digunakan oleh Hazrat Usman (ra) untuk membuat salinan standar Al-Qur’an. Hazrat Usman (ra) memerintahkan Hazrat Zaid bin Thabit (ra) , Hazrat Abdullah bin Zubair (ra) , Hazrat Sa’id bin ‘Aas (ra) , dan Hazrat Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam (ra) untuk menyiapkan naskah standar. Beliau selanjutnya memberikan instruksi:

فَاكْتُبُوهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ فَإِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ

Yakni, “Tulislah dalam bahasa Quraisy, karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa mereka”.[15] Karena itu, dengan menggunakan mashaf-e-umm , Hazrat Usman (ra) telah menyiapkan tujuh manuskrip. Satu disimpan di Madinah sementara enam lainnya dikirim ke berbagai provinsi di wilayah kekuasaan Islam. Kemudian, seorang qari resmi Al-Quran dikirim bersama dengan setiap manuskrip sehingga pembacaan masing-masing manuskrip ini juga standar berdasarkan bahasa atau dialek Quraisy.[16]

Seluruh kegiatan ini menjadi dasar naskah resmi Al-Quran yang kini tersebar luas. Hazrat Ali (ra) diriwayatkan pernah berkata:

لولم یصنعہ عثمان لصنعتہ

Yakni, “Jika saja Hazrat Usman (ra) tidak melakukannya, tentu aku yang akan melakukannya”.[17] Dengan kata lain, tugas Hazrat Usman (ra) ini begitu penting, sehingga jika saja beliau tidak melakukannya, maka Hazrat Ali (ra) pasti akan mengambilnya dan melakukannya selama masa kekhalifahan beliau.

Mengapa Mashaf-e-umm tidak distandarisasi?

Sebuah pertanyaan mungkin muncul di sini mengapa Hazrat Usman (ra) membentuk sebuah komite sahabat untuk menyiapkan manuskrip standar dan mengapa dia tidak hanya menggunakan mashaf-e-umm ? Menjawab pertanyaan ini, Maulana Ahsanullah Danish menulis bahwa niat Hazrat Usman (ra) adalah untuk menstandardisasi teks Al-Quran ke dalam dialek atau bentuk bacaan Quraisyi. Hanya ada satu perbedaan yang muncul antara mashaf-e-umm dan manuskrip yang disiapkan oleh Hazrat Usman (ra) dan itu terkait dengan cara kata تابوت  taabut ditulis. Suku Hazrat Zaid (ra) menulis kata itu sebagai تابوة  taabut dengan taa bulat . Di sisi lain, suku Quraisy menulisnya dengan ت  taa biasa. Ketika kasus ini disampaikan kepada Hazrat Usman (ra) , beliau mengatakan bahwa hal itu harus ditulis dalam cara Quraisy sebagai  تابوت  taabut dengan ت  taa biasa . Naskah standar yang disiapkan pada masa Hazrat Usman (ra ) disebut mashaful Imam .

Terkait dengan perbedaan antara mashaf-e-umm dan mashaful Imam , Maulana Ahsanullah Danish sahib menulis bahwa kendati semua hadis yang tidak shahih dianggap benar, namun jumlah total perbedaannya berjumlah 12 yang semuanya terkait dengan gaya penulisan yang mirip dengan satu contoh yang dibahas di atas dan tidak mempengaruhi maknanya.[18]

Perbedaan Dialek Bukan Akibat Tanda Diakritik

Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah kadang-kadang diasumsikan bahwa qira’aat atau bacaan disebabkan oleh variasi dalam tanda diakritik dan titik. Ini sama sekali tidak benar. Perbedaan bacaan telah ada sejak zaman Rasulullah (saw) sebagaimana telah dibahas dalam artikel ini. Namun, tanda diakritik ditambahkan kemudian, pada tahun 40-an Hijriah.[19] Mashaful Imam yang disiapkan oleh Hazrat Usman (ra) muncul sebelum tahun 40-an Hijriah yang berarti bahwa dunia Muslim memiliki bacaan dan qira’ah standar sebelum penambahan tanda diakritik. Para sahabat awal tidak membutuhkan tanda-tanda ini atau titik-titik untuk membaca Al-Qur’an dengan benar. Gaya penulisan naskah setiap huruf menentukan pengucapannya dan mereka tidak merasa perlu untuk titik-titik atau tanda. Namun, generasi-generasi berikutnya dan para mualaf yang bukan orang Arab membutuhkannya untuk kemudahan belajar dan membaca Al-Qur’an.

Terkait:   KETINGGIAN AJARAN AL-QUR’AN

Apa yang terjadi dengan Qira’aat Lainnya?

Hal penting lainnya yang perlu dicatat adalah bahwa qira’aat lainnya tidak sepenuhnya menghilang setelah masa Hazrat Usman (ra) . Sementara proses standarisasi berlangsung, qira’aat lainnya tetap hidup melalui tradisi lisan. Akhirnya, 80-100 tahun setelah masa Hazrat Usman (ra) , umat Islam mulai menuliskan qira’aat lainnya.[20] Oleh karena itu, dialek Al-Qur’an yang utama, asli, dan terpelihara dengan sempurna yang datang langsung dari zaman Rasulullah (sa) adalah dialek Quraisy. Dialek dan qira’aat lainnya didasarkan pada tradisi—mirip dengan cara Hadits disebarkan—dan tidak menikmati jenis penjagaan yang sama sepanjang sejarah seperti yang dialami dialek Quraisy.

Bacaan (Mushaf) Hafs dan Warsh

Pokok bahasan tentang qira’at Al-Qur’an terus berkembang sebagai salah satu bentuk ilmu dan menjadi tambahan ilmu bagi umat Islam dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memahami maknanya. Maulana Ahsanullah Danish mencatat bahwa seiring berjalannya waktu, qira’at yang populer semakin berkembang dan qira’at yang tidak populer hanya terbatas pada kitab-kitab saja. Pada abad ke 9 H, Ibnu Mujahid menulis kitab Al-Qira’aatus-Sab’  yang memuat 7 qira’at yang dinamai berdasarkan nama-nama qari terkenal, yaitu Warsh, Qanbal, Susi, Ibnu Zakwan, Hafs, Khallaad, dan Doori.

Yang paling terkenal di antara mereka adalah Warsh dan Hafs. Di antara keduanya, Hafs sesuai dengan bahasa Quraisy sementara Warsh sedikit berbeda.[21] Satu situs web[22] telah mencantumkan 51 perbedaan kecil dan jika kita membaca daftar tersebut, kita akan menyadari bahwa makna Al-Quran tidak terpengaruh sama sekali dan perbedaannya berada dalam parameter yang telah ditetapkan dalam artikel ini. Artinya, perbedaan tersebut tidak lebih dari perbedaan yang diharapkan antar dialek. Meskipun demikian, bacaan Hafs—yang didasarkan pada dialek Quraisy—adalah yang paling umum di dunia Muslim.

Perbedaan dialek inilah yang digunakan para kritikus Al-Quran untuk membuktikan bahwa Al-Quran memiliki “versi” yang berbeda dan versi-versi tersebut entah bagaimana “bertentangan” satu sama lain. Sebagai contoh, saya akan mengutip seorang kritikus daring terkenal, Jay Smith, yang menyampaikan perbedaan-perbedaan ini kepada audiens yang akan ia ajarkan kepada umat Islam. Menggunakan kritiknya sebagai studi kasus akan adil karena kritiknya tersebut sedang menjadi perbincangan populer dan karena ia memiliki agenda untuk mengubah keyakinan umat Islam, ia pasti telah berupaya maksimal untuk menemukan perbedaan-perbedaan yang menurutnya paling bermasalah bagi Islam.

Contoh #1: Qaatala dan Qutila

Salah satu contoh yang dikutip oleh Smith adalah Surah Ali Imran, 3:147. Dalam bacaan Hafs, Quraisyi, bunyinya sebagai berikut (perhatikan kata qaatala ):

وَ کَاَیِّنۡ مِّنۡ نَّبِیٍّ قٰتَلَ ۙ مَعَہٗ رِبِّیُّوۡنَ کَثِیۡرٌ ۚ فَمَا وَہَنُوۡا لِمَاۤ اَصَابَہُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ مَا ضَعُفُوۡا وَ مَا اسۡتَکَانُوۡا ؕ وَ اللّٰہُ یُحِبُّ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿۱۴۷﴾

Terjemahannya: “Dan betapa banyak nabi telah berperang besertanya sejumlah besar  pengikutnya . Mereka tidak menjadi lesu karena apa yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak menjadi lemah dan tidak pula merendahkan diri mereka  terhadap musuh . Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” [3:147].

Dalam bacaan Warsh, tertulis sebagai berikut (perhatikan kata qutila ):

Smith menerjemahkannya sebagai berikut: “Dan berapa banyak nabi yang terbunuh , yang bersamanya terdapat banyak penyembah Tuhan”.[23]

Di awal, kita dapat melihat bahwa terjemahan qira’at Warsh merupakan salah tafsir yang sangat keliru dari teks aslinya. Terjemahan yang benar adalah: “Dan betapa banyak Nabi yang menyertai mereka begitu banyak pengikut mereka telah terbunuh.  Mereka tidak menjadi lesu karena apa yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak menjadi lemah dan tidak pula merendahkan diri mereka  terhadap musuh . Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.”

Qira’at Hafs menyebutkan bahwa para pengikut nabi berperang, sedangkan bacaan Warsh menyebutkan bahwa para pengikut para nabi terbunuh . Makna dan maksud pernyataan tersebut sama: Para pengikut para nabi mempertaruhkan nyawa mereka, berperang, dan terbunuh . Lebih dari itu, maknanya saling melengkapi dan hanya menambah pemahaman kita terhadap Al-Qur’an, serta memperluas makna pernyataan tersebut.

Contoh #2: Bariyyah dan Barii’ah

Bacaan Hafs Surah Al-Bayyinah, 98:6, adalah sebagai berikut:

Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik, mereka kekal di dalam api neraka Jahannam. Mereka itu seburuk-buruk makhluk .”

Sebaliknya, qira’ah Warsh adalah sebagai berikut :

Smith menerjemahkannya sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik akan masuk ke dalam api neraka, mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk orang yang tidak berdosa”.[24]

Masalahnya di sini adalah Smith telah menunjukkan kurangnya pengetahuannya tentang bahasa Arab. Kata barii’ah dan bariyyah berasal dari akar kata yang sama dan memiliki arti yang sama. Satu-satunya perbedaan adalah satu dialek Arab mengucapkan kata tersebut dengan hamzah dan yang lainnya tidak. Masalah ini dibahas dalam kamus bahasa Arab dan tafsir Al-Qur’an. Misalnya, Lisanul Arab, membuat catatan berikut:

والنَبِيءُ: الـمُخْبِر عن اللّه، …..قال: ويجوز فيه تحقيق الهمز وتخفيفه. يقال نَبَأَ ونَبَّأَ وأَنـْبَأَ. قال سيبويه: ليس أَحد من العرب إِلاّ ويقول تَنَبَّأَ مُسَيْلِمة،بالهمز، غير أَنهم تركوا الهمز في النبيِّ كما تركوه في الذُرِّيَّةِ والبَرِيَّةِ والخابِيةِ، إِلاّ أَهلَ مكة، فإِنهم يهمزون هذه الأَحرف ولا يهمزون غيرها، ويُخالِفون العرب في ذلك. قال: والهمز في النَّبِيءِ لغة رديئة، يعني لقلة استعمالها، لا لأَنَّ القياس يمنع من ذلك. أَلا ترى إِلى قول سيِّدِنا رسولِ اللّه، صلى اللّه عليه وسلم: وقد قيل يا نَبِيءَ اللّه، فقال له: لا تَنْبِر باسْمي، فإِنما أَنا نَبِيُّ اللّه.

وفي رواية: فقال لستُ بِنَبِيءِ اللّهِ ولكنِّي نبيُّ اللّه. (لسان العرب)

Terjemahan: An-Nabii’u:  Orang yang menginformasikan dari Allah… Dikatakan: boleh memasukkan hamzah atau menghilangkannya. Dikatakan: naba’a, nabba’a, anba’a. Sibawaih mengatakan: Semua orang Arab mengatakan Musailamah bernubuat ( tanabba’a dengan hamzah ). Namun, mereka menghilangkan hamzah pada kata an-nabiyyi ( النبیّ ) sebagaimana mereka menghilangkannya pada kata az-zurriyyati  ( الذُرِّيَّةِ ) dan al-bariyyati ( البَرِيَّةِ ) dan al-khaabiyati ( الخابِيةِ ) .  Pengecualiannya adalah di kalangan orang-orang Mekkah, karena mereka menggunakan hamzah pada kata-kata ini, dan tidak menggunakan hamzah pada kata-kata lainnya. Orang-orang Arab lainnya berbeda dengan mereka. Dikatakan: Hamzah pada kata an-nabi’i sudah ketinggalan zaman. Telah diamati bahwa penggunaan tersebut tidak tepat. Anda dianjurkan untuk melihat penggunaan sayyidna Rasulullah (saw) : dikatakan (kepadanya), Wahai Nabii’a Allah (Nabi Allah), dan beliau bersabda kepadanya: Janganlah kamu menyapaku dengan kata itu, karena aku adalah seorang Nabiyyullah (Nabi Allah). Dalam sebuah riwayat, beliau bersabda: Aku bukanlah Nabii’-Allah , tetapi aku adalah Nabiyyullah (Nabi Allah).

Terkait:   Mengapa Al-Qur'an Mengatakan bahwa Orang-orang Kafir Harus Dibunuh?

Kamus lain, Al-Qamoosul Muhiit , menulis, وتَرْكُ الهمزِ المختارُ, (meninggalkan hamzah adalah pilihan). Demikian pula tafsir Imam Razi menambahkan catatan berikut di bawah Surat 98 ayat 6:

كيف القراءة في لفظ البرية؟ الجواب: قرأ نافع البريئة بالهمز، وقرأ الباقون بغير همز وهو من برأ الله الخلق، والقياس فيها الهمز إلا أنه ترك همزه، كالنبي والذرية والخابية، والهمزة فيه كالرد إلى الأصل المتروك في الاستعمال، كما أن من همز النبي كان كذلك وترك الهمز فيه أجود، وإن كان الهمز هو الأصل، لأن ذلك صار كالشيء المرفوض المتروك. وهمز من همز البرية يدل على فساد قول من قال: إنه من البرا الذي هو التراب.

Terjemahan: Bagaimana dengan bacaan variasi dari kata al-bariyyah (البرية)? Jawaban: Nafi’ membacanya sebagai al-barii’ah dengan hamzah . Yang lain membacanya tanpa hamzah . Dan asal katanya adalah:  برأ الله Allah  (menciptakan/memunculkan) penciptaan. Mengenai hamzah , dipahami bahwa ia dihilangkan, sebagaimana yang dilakukan untuk (kata-kata) an-nabiyyu , az-zurriyyatu , dan al-khaabiyatu. Pada kata-kata ini, hamzah dihilangkan dalam penggunaannya. Hal ini terlihat pada hamzah an-nabi yang ada dalam bentuk asli, tetapi dihilangkan dalam bentuk akhir. Bagaimanapun, hamzah tetap dalam bentuk asli kata tersebut karena itu seperti benda yang dibuang. Hamzah dalam kata al-bariyyatu menyoroti masalah tersebut sebagaimana dalam perkataan: Sesungguhnya, ia dari al-bara’a , yaitu, ia dari pasir.[25]

Berdasarkan referensi ini, jelaslah bahwa kata bari’ah dan bariyyah adalah sama. Yang membedakan hanyalah lafal dan dialek. Maka, terjemahan QS 98:6 sama untuk kedua qira’at tersebut: “Sesungguhnya orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik akan masuk ke dalam api neraka, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk .”

Contoh #3: mautihi dan mautihim

Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga telah menggunakan bacaan yang berbeda-beda sebagai praktik yang sah dalam menafsirkan Al-Qur’an untuk menjelaskan makna kata-kata dan frasa. Hal ini khususnya berlaku untuk Surah An-Nisaa’, 4:160:

وَ اِنۡ مِّنۡ اَہۡلِ الۡکِتٰبِ اِلَّا لَیُؤۡمِنَنَّ بِہٖ قَبۡلَ مَوۡتِہٖ ۚ وَ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ یَکُوۡنُ عَلَیۡہِمۡ شَہِیۡدًا ﴿۱۶۰﴾ۚ

Terjemahannya: “Tidak ada seorang pun di antara Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepada itu sebelum kematiannya. Dan pada hari kiamat, dia (Isa) akan menjadi saksi terhadap mereka.”

Umat ​​Muslim non-Ahmadi berpendapat bahwa kata-kata “sebelum wafatnya” (mautihi) merujuk kepada Isa bin Maryam (as) dan ayat tersebut mengatakan bahwa Ahlul Kitab akan beriman kepada Isa bin Maryam (as) sebelum wafatnya , dan ini berarti bahwa Isa bin Maryam (as) masih hidup. Menyanggah argumen ini berdasarkan qira’at  ayat ini, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menulis dalam Barahin-e-Ahmadiyya Bagian V :

“Maka, terjemahan yang benar dari ayat yang saya kutip di atas adalah, ‘Setiap orang dari kalangan Ahli Kitab akan, sebelum kematiannya, beriman kepada Nabi Muhammad, shallallahu ‘alaihi wasallam, atau kepada Hadrat ‘Isa.’ Kata مَوْتِہٖ  [‘kematiannya’] mengacu pada Ahlul Kitab, dan bukan Hadrat ‘Isa. Oleh karena itu, dalam pembacaan lain ayat ini, kata-katanya adalah مَوْتِھِمْ [‘kematian mereka’]. Mengapa مَوْتِھِم [‘kematian mereka’] hadir dalam bacaan (qiraah) lain jika itu merujuk pada Hadrat ‘Isa? Lihat Tafsir Than‘i, karena ini sangat menguatkan pernyataan saya.[26]

Beliau lebih lanjut menuliskan, “bacaan alternatif ayat tersebut, menurut kaidah yang dipegang oleh para ulama hadits, memiliki kedudukan hadits yang shahih. Dan di sini alternatif bacaan ayatقبْلَ   مَوْتِہٖ memang ada, seperti قَبْلَ مَوْتِھِمْ, yang harus dianggap sebagai hadits shahih…”[27]

Kesimpulan

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran Suci adalah kitab suci yang terpelihara dengan sempurna dan tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran diturunkan dalam berbagai dialek untuk membantu penyebarannya yang cepat di antara berbagai suku di Arabia pada masa-masa awal. Pada masa Hazrat Usman (ra) , dirasakan adanya kebutuhan untuk membakukan Al-Quran kembali ke dialek utama Quraisy, yang juga merupakan dialek Nabi Muhammad (saw) . Sejak saat itu, Hafs Quran yang didasarkan pada dialek utama telah diterbitkan selama berabad-abad di seluruh belahan dunia Muslim. Dialek dan bacaan Al-Quran lainnya juga bertahan dan diperlakukan seperti Hadits yang otentik, dan membantu menguraikan makna Al-Quran melalui tafsirnya.


[1] [i] Introduction to the Study of the Quran, hal. 362

[2] Sahih Bukhari, Kitab Fadhailul-Quran, Bab: Unzilal-Qur’an ‘ala sab’ati ahrufin https://sunnah.com/bukhari/66/13

[3] Sahih Bukhari, Kitab fadhailul-Qur’an, bab unzilal-Qur’an ‘ala sab’ati ahrufin https://sunnah.com/bukhari/66/14

[4] Tafsir-e-Kabir, vol. 6, hal. 414.

[5] Ahsanullah Danish, Az-Zikrul Mahfuz (Qadian: Fazle Umar Printing Press, 2007), 293.

[6] Tafsir-e-Kabir, vol. 9, hal. 49.

[7]Ahsanullah Danish, Az-Zikrul Mahfuz (Qadian: Fazle Umar Printing Press, 2007), 289-291.

[8] Ibid., 289.

[9] Ibid

[10] Sahih Bukhari dengan terjemahan dan tafsir Urdu, volume 6, Komentar hadits no. 3219, hal. 54.

[11] Ahsanullah Danish, Az-Zikrul Mahfuz (Qadian: Fazle Umar Printing Press, 2007), 291.

[12] Tafsir-e-Kabir, vol. 9, hal. 49.

[13] Tafsir-e-Kabir, vol. 9, hal. 48.

[14] Ibid.

[15] Sahih Bukhari, Kitab fadhailul-Qur’an, Bab: Jam’il Qur’an http://sunnah.com/bukhari/66/9

[16] Ahsanullah Danish, Az-Zikrul Mahfuz (Qadian: Fazle Umar Printing Press, 2007), 295.

[17] Abu Bakr Abdullah bin Sulaiman, Kitabul Masahif (Beirut: Darul Basha’ir-il-Islamiyyah, 2002), 177.

[18] Ahsanullah Danish, Az-Zikrul Mahfuz (Qadian: Fazle Umar Printing Press, 2007), 297.

[19] Ibid., 306.

[20] Ibid., 302.

[21] Ibid., 309.

[22] http://muslimprophets.com/article.php?aid=64 [Diakses 26 April 2020]

[23] https://www.youtube.com/watch?v=6nBO6ja0_RU [Terakhir diakses, 26 April 2020]

[24] Ibid.

[25] Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin, Tafsir Al-Fakhrir Razi, part 32 (Darul Fikr, 1981)50.

[26] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad(as)Barahin-e-Ahmadiyya—Part V (UK: Islam International Publications Ltd., 2018),  540.

[27] Ibid., 541.


Sumber: Alislam.org – Understanding the History and Differences of the Dialects of the Holy Quran
Penerjemah: Mln. Husnur Rasyidi

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.