Benarkah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) memerintahkan pembunuhan delapan pria karena murtad? (Seperti yang dituduhkan oleh Geert Wilders) [1]
Islam tidak mengizinkan hukuman duniawi, apalagi hukuman mati bagi kemurtadan.
Faktanya, delapan pria dari suku ‘Ukl tidak dihukum mati karena murtad, tetapi karena bertanggung jawab atas pembunuhan yang kejam dan pengkhianatan.
Kami mengutip riwayatnya secara lengkap di bawah ini, tetapi pertama-tama, kita tegaskan kembali bagaimana pandangan Islam terhadap pembunuhan. Seperti yang telah disebutkan, Al-Qur’an hanya mengizinkan dua kejahatan yang dapat dihukum mati, yaitu pembunuhan dan pengkhianatan.
Oleh sebab itu, Kami tetapkan bagi Bani Israil bahwa siapapun yang membunuh seseorang, padahal orang itu tidak pernah membunuh orang lain atau telah melakukan kerusuhan di bumi, maka seolah-olah ia membunuh seluruh manusia; dan barangsiapa menyelamatkan nyawa seseorang, maka ia seolah-olah menghidupkan seluruh manusia. Dan sungguh telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan tanda-tanda yang nyata, kemudian sesudah itu sungguh kebanyakan dari mereka melampaui batas di bumi.
(QS Al-Ma’idah [5]: 33)
Di sini, Al-Qur’an menyamakan pembunuhan satu orang dengan pembunuhan semua umat manusia, hal ini menunjukkan bahwa nilai kehidupan sangat berharga pada setiap individu terlepas dari faktor pembeda apa pun. Demikian juga, ganjaran karena menyelamatkan seseorang adalah seperti menyelamatkan seluruh umat manusia, hal ini menunjukkan penekanan besar Islam dalam melindungi nyawa manusia.
Setelah menetapkan ini, Al-Qur’an mengeluarkan peringatan bagi mereka yang berani “membunuh seluruh umat manusia” dalam ayat selanjutnya:
“Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berusaha melakukan kerusuhan di negeri ini, hendaklah mereka dibunuh atau disalib atau pun dipotong tangan dan kaki mereka disebabkan oleh permusuhan mereka, atau mereka diusir dari negeri ini. Hal demikian adalah kehinaan bagi mereka di dunia ini, dan di akhirat pun mereka akan mendapat azab yang besar.
(QS Al-Ma’idah [5]: 34)
Islam tidak meyakini hukuman absolut atau pengampunan absolut, tetapi berorientasi pada perbaikan. Hukuman Islam memiliki dua tujuan – untuk membawa perbaikan atau untuk menjadi pencegah. Ketika seseorang melakukan tindakan kejahatan yang bila diampuni akan memungkinkan dirinya memperbaiki diri maka pengampunan bisa diterapkan. Tetapi ketika seseorang melakukan tindakan kejahatan yang perbaikan tidak mungkin lagi dilakukan – seperti pembunuhan – atau jika pengampunan tidak mencegahnya dari melakukan kejahatan yang sama, maka Islam menetapkan yang akan menjadi peringatan untuk mencegah pelanggar-pelanggar lain di masa depan. Itulah yang terjadi di sini.
Dalam ayat 5:33, Al-Quran menetapkan pembunuhan sebagai hal yang mengerikan, menyamakannya dengan membunuh semua umat manusia. Tentu saja, rasa sakit yang dialami seluruh masyarakat sebagai reaksi atas pembunuhan seseorang bahkan jauh melampaui korban pembunuhannya. Oleh karena itu, untuk memastikan pembunuhan tetap merupakan kejadian yang terisolasi, Islam menetapkan pencegahan tegas bagi calon-calon pembunuh.
Logikanya sederhana. Beban seorang A untuk tidak membunuh seorang B sangat rendah. Kerusakan yang ditimbulkan pada B dan semua orang yang mengenal B, jika B dibunuh sangat tinggi. Beban yang sangat rendah untuk tidak membunuh dikombinasikan dengan tingkat rasa sakit dan penderitaan yang sangat tinggi seandainya pembunuhan terjadi mensyaratkan konsekuensi yang lebih tinggi untuk para calon pembunuh. Strategi ini pada akhirnya berfungsi untuk mengurangi jumlah pembunuhan.
Atas dasar ini, Al-Qur’an tetap kembali ke posisi dominannya terhadap kejahatan dan hukuman di ayat berikutnya — yaitu pengampunan. Al-Qur’an menyatakan:
“Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu berkuasa atas mereka, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS Al-Mai’idah [5]: 35)
Dengan demikian, bahkan mereka yang melakukan tindakan pembunuhan yang keji dapat diampuni jika mereka bertobat dan tunduk pada otoritas pemerintah — seperti misalnya, dengan menghentikan kekerasan dan menyerahkan diri. Dengan kata lain, meski telah membunuh “seluruh umat manusia,” Islam tidak melarang pengampunan sama sekali, tetapi menerapkan fleksibilitas seandainya ada kemungkinan perbaikan.
Peristiwa Dibunuhnya Delapan Orang Kabilah ‘Ukl
Dengan latar belakang yang penting ini, sekarang kita beralih ke peristiwa yang dimaksud.
Hadist Bukhari menunjukkan bahwa delapan pria dari suku ‘Ukl tidak dihukum mati karena mereka murtad. Tetapi karena mereka telah melakukan pembunuhan, pencurian, pengkhianatan, tidak menyatakan tobat, sehingga mereka dimintai pertanggungjawaban atas tindakan kriminal mereka. Mereka telah bergabung dengan “negeri Islam”. Kemurtadan mereka tidak ada hubungannya dengan hukuman yang mereka terima.
Anas bin Malik meriwayatkan:
“Ada sekelompok orang dari kabilah ‘Ukl – atau dia mengatakan kabilah ‘Urainah, namun setahuku dia mengatakan ‘Ukl – datang ke Madinah, Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) memerintahkan mereka untuk mendatangi sekelompok unta dan menyuruh mereka keluar dan meminum air kencing dan susunya. Mereka meminumnya hingga mereka sembuh, tetapi mereka membunuh penggembala dan merampok unta-unta itu. Berita ini sampai kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) di pagi hari. Serta mereta beliau mengutus pasukan untuk memburu jejak mereka. Siang belum meninggi mereka pun berhasil ditangkap, dan Nabi memerintahkan mereka untuk dipotong tangan dan kakinya dan mata mereka dicongkel, kemudian mereka dihempaskan begitu saja di harrah, mereka minta minum namun tak dipenuhi. Abu Qilabah mengatakan, mereka adalah kaum yang mencuri, membunuh, kafir setelah iman dan memerangi Allah dan rasul-Nya.”
(HR Bukhari)
Mari kita bandingkan, orang-orang yang meninggalkan Islam (murtad) dengan mereka yang mencari perlindungan dan pertolongan kepada pemerintah Madinah, kemudian mereka diberi apapun yang mereka minta, tetapi mereka malah membunuh penjaga mereka, mencuri hartanya, mulai menyebarkan kekerasan di negeri itu, dan tidak bertobat atas tindakan mereka. Pada saat pemerintah Madinah sendiri menjadi sasaran serangan dari semua pihak, hukuman semacam itu diperlukan untuk memastikan perlindungan pemerintah Islam secara keseluruhan — baik terhadap suku Yahudi maupun Muslim.
Sesungguhnya, Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) sangat tidak suka menyakiti siapa pun dan lebih cenderung memaafkan. Beliau bahkan memaafkan seorang pria yang menyebabkan putrinya jatuh dari unta, yang kemudian mengalami keguguran, dan kemudian meninggal karena cedera yang dideritanya. Namun kejadian kabilah ‘Ukl ini mengancam seluruh negeri. Bukanlah tindakan yang tepat untuk mengambil risiko keselamatan seluruh penduduk Madinah dengan tidak memberikan hukuman yang telah ditentukan sebelumnya bagi mereka yang melakukan pembunuhan dan pengkhianatan.
Mari kita renungkan peristiwa yang sangat terkenal berikut dari Bukhari:
Diriwayatkan dari Salim dari Ayahnya katanya, Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) suatu kali mengirim Khalid bin Al-Walid ke bani Jidzamah dengan misi mengajak mereka masuk Islam, namun rupanya mereka belum fasih mengucapkan ‘Aslamnaa‘ (kami masuk Islam) sehingga mereka keceplosan mengucapkan ‘shobba’na (yang makna secara harfiah kami sembah matahari), mereka terus saja mengucapkan shobba’na, shobba’na – sekalipun maksudnya aslamnaa – maka Khalid membantai di antara mereka dan sebagian lain ia tawan, dan ia serahi masing-masing kami seorang tawanan yang ia perintahkan untuk dibunuh di hari selanjutnya. Saya protes “Demi Allah, saya tak akan membunuh tawananku, dan setiap kawanku juga tak akan membunuh tawanannya,” Hingga akhirnya kami menemui Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan kami utarakan kasusnya kepada beliau. Serta merta Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) mengangat tangannya sembari bersabda: ‘Allahumma inni abro’u ilaika mimma shona’a Khaalid‘ (Ya Allah, saya berlepas diri kepada-Mu dari perbuatan-perbuatan Khalid bin Al-Walid. Beliau ulang dua kali.”
Di sini, tersaji dua ideologi yang berlawanan – satu kekerasan dan satu lagi belas kasihan. Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) jelas memilih belas kasih dan mengecam kekerasan. Belas kasih adalah sifat alami Beliau.
Memperhatikan kisah-kisah ini, dari sudut pandang sejarah jelas nasib orang-orang dari kabilah ‘Ukl bukan dikarenakan mereka murtad, tetapi untuk perlindungan daerah Madinah. Orang-orang ini telah melakukan kekerasan, pencurian, pembunuhan, dan pengkhianatan, sehingga mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka tersebut.
Sumber : MuhammadFactCheck.org – Did Muhammad order the murder of eight men for apostasy?
Penerjemah: Mutia Mubasyira
Editor : Yadli Rozali
[1] Geert Wilders, Marked for Death: Islam’s War Against the West and Me 39 (2012).