Posisi Yang Mulia Rasulullah saw Sebagai Pemberi Syafaat
Masalah keselamatan dan perantaraan (pemberi syafaat) selalu merupakan pokok bahasan utama dalam agama karena tujuan manusia menganut suatu agama adalah pada masalah tersebut. Untuk menguji kebenaran suatu agama, masalah tersebut merupakan kriteria yang jelas dan terbuka sehingga manusia bisa dipuaskan bahwa agama tersebut adalah benar dan berasal dari Tuhan. Agama yang tidak mengemukakan masalah ini secara sepatutnya atau tidak sanggup membuktikan kepada para penganutnya dengan contoh-contoh segar dari mereka yang beroleh keselamatan, dengan sendirinya tidak dapat dikatakan sebagai agama yang benar. Adapun agama yang bisa memperlihatkan dengan benar wujud realitas daripada keselamatan dan membuktikannya dengan orang-orang yang telah memperolehnya pada saat ini, dengan sendirinya membuktikan dirinya sebagai agama yang benar dan berasal dari Tuhan. Jelas bahwa setiap manusia secara alamiah akan merasa membutuhkan tangan yang kuat yang akan menjaganya dari segala kemudharatan yang ditimbulkan oleh kelalaian, dorongan nafsu egonya, kelemahan-kelemahan, kebodohan, kegelapan, rasa takut dan ragu-ragu akibat dari berbagai bencana dan cobaan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Pada umumnya manusia menyadari bahwa fitrat dirinya itu lemah dan ia tidak yakin akan bisa keluar dari kegelapan egonya dengan kekuatan dirinya sendiri. Hal ini menjadi bukti dari kesadaran kalbu manusia. Disamping itu perenungan menunjukkan bahwa penalaran yang sehat juga merasa perlunya ada sosok perantara (pemberi syafaat) yang membawa keselamatan karena Allah swt berada di maqom Kesucian dan Kemurnian yang paling tinggi sedangkan manusia berada di lubang dosa dan kegelapan yang paling dalam yang karena tidak mempunyai kedekatan dan kesamaan dengan Tuhan-nya lalu tidak bisa menerima keselamatan Ilahi secara langsung. Karena itulah kebijakan dan rahmat Ilahi menetapkan adanya beberapa pribadi-pribadi sempurna yang batinnya bersih, agar berlaku sebagai sarana pendekatan di antara para mahluk dengan Tuhannya. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki fitrat samawi disamping sifat-sifat duniawi. Berkat fitrat samawinya mereka ini akan menerima berkat Ilahi, sedangkan karena fitrat duniawinya mereka akan bisa menyampaikan rahmat yang diterima dari langit itu kepada umat manusia.”
“Manusia-manusia seperti ini berkat kesempurnaan fitrat-fitrat samawi dan duniawinya jelas akan tampil beda di antara umat manusia. Sepintas lalu dapat dikatakan bahwa mereka itu adalah mahluk-mahluk yang diciptakan secara khusus. Hasrat mereka untuk memperlihatkan keagungan dan kebesaran Tuhan serta keimanan yang memenuhi batin mereka disamping kasih mereka terhadap umat manusia, semuanya merupakan hal-hal khusus yang sulit untuk bisa dimengerti manusia biasa. Patut diingat bahwa semua manusia khusus ini tidak sama derajatnya karena dari antara mereka ada yang derajatnya tinggi karena kelebihan alamiah mereka, sedangkan yang lainnya derajatnya lebih di bawah dan bahkan ada yang lebih rendah lagi.”
“Kesadaran yang dimiliki manusia yang berakal meyakini bahwa masalah perantara (pemberi syafaat) ini bukanlah masalah mengada-ada karena merupakan ilustrasi dari pengaturan Ilahi. Akar kata dari syafaat dalam bahasa Arab mengandung arti pasangan. Sifat dari perantaraan dengan demikian mengindikasikan bahwa Sang perantara mempunyai hubungan dengan kedua belah pihak. Di satu sisi, batinnya mempunyai hubungan yang erat dengan Allah swt sehingga dari segi kerohanian yang bersangkutan menjadi pasangan dari Ketauhidan Ilahi, sedangkan di sisi lain ia memiliki hubungan yang amat dekat dengan umat manusia seolah-olah ia menjadi bagian tubuh dari umat manusia tersebut. Fitrat perantaraan (pemberian syafaat) untuk berwujud harus mengandung kedua unsur tersebut.”
“Karena itulah maka Kebijakan Ilahi menciptakan Adam dari awalnya sedemikian rupa telah membawa kedua bentuk hubungan tersebut dalam fitrat dirinya. Suatu hubungan diciptakan berkaitan dengan Allah swt sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran:
فَإِذا سَوَّيتُهُ وَنَفَختُ فيهِ مِن روحي فَقَعوا لَهُ ساجِدينَ
‘Ketika Aku telah memberinya bentuk yang sempurna dan telah Aku tiupkan ruh-Ku ke dalamnya
maka jatuhkanlah dirimu tunduk kepadanya’ (QS.15 Al-Hijr:30).
“Ayat ini menggambarkan bahwa dalam penciptaan Adam, Tuhan telah membentuk perhubungan dengan Adam dengan cara meniupkan ruh-Nya ke dalam dirinya. Hal ini dilakukan agar manusia memiliki hubungan yang bersifat alamiah dengan Tuhan. Pada saat yang bersamaan, alamiahnya Adam juga mempunyai hubungan dengan umat manusia lain karena mereka itu semua adalah tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya [1] agar mereka ikut menerima berkat dari ruh yang ditiupkan kepada Adam dan dengan demikian Adam secara alamiah menjadi pembawa syafaat (perantara) bagi mereka. Karena fitratnya tersebut maka turunan selanjutnya dari dirinya juga akan membawa sifat muttaqi dari Adam sebagai ruh yang telah ditiupkan ke dalam dirinya, sama seperti anak hewan membawa juga fitrat sifat dan perilaku bapaknya. Hal ini menggambarkan bahwa esensi dari perantaraan itu adalah bahwa keturunan selanjutnya akan membawa fitrat yang sama dari leluhurnya. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa akar kata dari syafaat dalam bahasa Arab berasal dari kata sepasang, yang juga mengandung arti pasangan. Karena itu seseorang yang secara alamiah menjadi pasangan dari yang lainnya maka ia pun akan membawa fitrat dari pasangannya tersebut.”
“Inilah yang menjadi basis dari pewarisan sifat-sifat. Seorang anak manusia akan membawa fitrat kemanusiaan sedangkan anak kuda akan menunjukkan fitrat mahluk dari jenis kuda. Dengan kata lain, pewarisan ini berasal dari kemaslahatan perantaraan (syafaat). Karena esensi daripada syafaat adalah hubungan di antara pasangan, maka seseorang yang menginginkan kebaikan dari syafaat yang lainnya harus mempunyai hubungan yang alamiah dengan sosok tersebut agar yang bersangkutan bisa dikaruniakan segala hal yang juga telah diberikan kepada sosok pembawa syafaat tersebut. Hubungan tersebut ada dalam fitrat manusia sebagai karunia bahwa seseorang merupakan bagian dari orang lainnya dan hal ini juga bisa diperoleh secara sengaja.”
“Ketika seseorang bermaksud meningkatkan kecintaan alamiah dan simpatinya kepada umat manusia, maka hal itu bisa dicapainya sepadan dengan proporsi dari fitratnya. Dengan cara yang sama maka kecintaan akan meluap dari hati seseorang kepada orang lainnya sedemikian rupa sehingga Sang pencinta ini tidak akan menemukan kenyamanan tanpa kedekatan dengan sosok yang dicintainya, dan pada akhirnya intensitas daripada kecintaannya itu akan mempengaruhi kalbu dari sosok yang dicintainya. Seseorang yang mencintai dengan sangat adalah orang yang selalu secara tulus mengharapkan kebaikan bagi Sang kekasih dengan cara yang sempurna.”
“Dengan demikian kecintaan merupakan pokok dasar dari fungsi perantaraan (pemberian syafaat) ini jika disertai dengan hubungan alamiah, karena tanpa hubungan yang bersifat alamiah maka kesempurnaan kasih, yang menjadi syarat dari pemberian syafaat, tidak mungkin ada. Agar manusia dibekali dengan sifat hubungan seperti ini maka Siti Hawa tidak diciptakan dari ras yang berbeda dari Adam, bahkan dikatakan diciptakan dari tulang iga Adam sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran:
الَّذي خَلَقَكُم مِن نَفسٍ واحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنها زَوجَها
‘Tuhan-mu yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan daripadanya Dia menciptakan jodohnya’ (QS.4 An-Nisa:2).
“Dengan kata lain, Tuhan menciptakan Siti Hawa dari wujud yang sama dengan Adam dengan tujuan agar hubungan Adam kepadanya dan kepada keturunannya akan bersifat alamiah dan bukan artifisial. Hal itu diciptakan demikian agar hubungan dan kasih sayang di antara keturunan Adam menjadi kekal karena hubungan yang tidak alamiah atau artifisial pasti tidak akan kekal mengingat tidak memiliki daya tarik yang menjadi ciri dari hubungan alamiah. Demikian itulah Tuhan telah menciptakan secara alamiah kedua bentuk hubungan yang ada dalam diri Adam yaitu hubungan dengan Tuhannya dan dengan umat manusia. Dengan demikian jelas bahwa sosok manusia sempurna yang mampu menjadi perantara (pemberi syafaat) haruslah seseorang yang memiliki kedua bentuk hubungan tersebut secara sempurna. Tuhan mengatur bahwa setelah Adam pun, kedua bentuk hubungan itu harus ada bagi seseorang yang akan menjadi perantara, dengan pengertian bahwa hubungan yang satu adalah hasil dari ruh samawi yang ditiupkan ke dalam dirinya dimana Tuhan menciptakan hubungan itu seolah-olah Dia itu turun kepadanya, sedangkan hubungan yang kedua adalah kedekatan pasangan antar manusia yang diperkuat di antara Adam dan Siti Hawa sehingga cinta dan kasih sayang bersinar kuat di antara mereka berdua lebih terang daripada dengan yang lainnya. Adalah karena hal seperti inilah maka mereka ini tertarik kepada isteri-isteri mereka. Ini merupakan tanda bahwa mereka ini memiliki ruh kasih sayang dengan umat manusia sebagaimana juga ditegaskan dalam salah satu Hadits: ‘Yang terbaik dari antara kalian adalah mereka yang berperilaku terbaik terhadap para isterinya.’ Hal ini sama dengan menyatakan bahwa salah satu dari kalian yang paling kasih dan sayang terhadap umat manusia adalah ia yang berperilaku baik terhadap isterinya.
Seseorang yang memperlakukan isterinya dengan kasar tidak akan mungkin bersikap sayang terhadap orang lain, karena Tuhan setelah menciptakan Adam telah menjadikan isterinya sebagai sasaran kasihnya yang pertama. Karena itu barangsiapa yang tidak mencintai isterinya atau tidak memiliki isteri untuk disayang, tidak akan mungkin mencapai status sebagai manusia sempurna dan tidak memiliki salah satu persyaratan sebagai pemberi syafaat. Bahkan misalnya pun ia itu tidak mempunyai dosa, tetap saja ia tidak bisa berlaku sebagai perantara. Seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita telah meletakkan fondasi kasih sayang terhadap umat manusia dalam dirinya sendiri karena seorang isteri menjadi sarana pengembangan lingkaran hubungan yang melebar dan ketika anak-anak kemudian dilahirkan di antara mereka maka lingkaran ini menjadi bertambah lebar lagi. Dengan cara demikian maka seseorang menjadi terbiasa pada kasih dan sayang dimana ketika lingkaran kebiasaannya itu melebar maka simpatinya terhadap orang lain juga akan menjadi lebih luas. Adapun mereka yang menganut hidup selibat (tidak kawin) tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kebiasaan tersebut dan karenanya hatinya lalu menjadi kering dan keras.”
“Ketiadaan dosa tidak ada kaitannya dengan perantaraan (pemberian syafaat). Definisi daripada dosa ialah adanya orang yang patut mendapat hukuman karena telah dengan sengaja mengingkari atau melanggar perintah Tuhan. Dengan demikian jelas bahwa ketiadaan dosa dan pemberian syafaat tidak saling berkait mengingat anak-anak kecil dan mereka yang idiot sejak lahir berada dalam keadaan tidak berdosa karena mereka ini tidak bisa melanggar perintah Tuhan secara sengaja. Mereka pun tidak akan dihukum dalam pandangan Allah swt atas segala tindakan mereka. Mereka memang bisa dianggap tidak berdosa, tetapi apakah mungkin mereka menjadi perantara (pemberi syafaat) bagi umat manusia dan disebut sebagai juru selamat? Sebagaimana telah aku jelaskan di muka, seorang perantara haruslah memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan-nya seolah-olah Tuhan telah turun ke dalam batinnya dimana sifat kemanusiaannya lalu pupus karena ia telah menjadi manifestasi Ilahi, dan kalbunya telah mencair dan mengalir seperti air ke arah Tuhan-nya sehingga ia mencapai titik terdekat dengan Wujud-Nya.”
“Kiranya juga perlu bagi seorang perantara (pemberi syafaat) bahwa hatinya dipenuhi dengan kecintaan terhadap orang yang akan diberinya syafaat, dimana intensitas perasaannya seolah-olah menjadikan ia merasa anggotaanggota tubuhnya terlepas dari dirinya dan perasaannya menjadi bertemperasan. Perasaan kasihnya akan membawanya kepada suatu tingkatan yang lebih tinggi daripada kasih seorang bapak atau ibu. Jika kedua keadaan ini terwujud dalam diri seseorang maka ia pada satu sisi akan bersatu dengan maqom samawi dan pada sisi lain dengan maqom duniawi. Pada saat itulah kedua sisi dari neraca akan menjadi seimbang, dengan pengertian bahwa akan ada manifestasi sempurna dari samawi dan juga manifestasi sempurna dari duniawi dimana ia akan melayang di tengah di antara keduanya.”
“Menunjuk kepada maqom perantaraan ini Al-Quran meneguhkan kesempurnaan manusiawi daripada Yang Mulia Rasulullah saw :
﴾ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ ﴿٩﴾ فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ ﴿١٠
‘Kemudian ia mendekati Allah swt , lalu turun mendekati umat manusia. Maka jadilah ia seakan-akan seutas tali dua busur atau lebih dekat lagi’ (QS.53 An-Najm:9-10).
“Ayat ini mengandung arti bahwa Yang Mulia Rasulullah saw telah naik ke atas mendekati Allah swt sedemikian dekatnya sehingga memperoleh kesempurnaan karena kedekatan tersebut dan mencapai maqom samawi sepenuhnya, sedangkan di sisi lain beliau telah mencapai titik terjauh dari pengkhidmatan dan ibadah yang menyerap sepenuhnya esensi murni kemanusiaan yaitu kasih dan sayang kepada umat manusia yang menjadi kesempurnaan maqom duniawinya. Ketika beliau mendekat sepenuhnya kepada Allah swt dan kemudian mendekat secara sempurna kepada umat manusia maka jadilah beliau itu sebagai seutas tali busur yang menghubungkan kedua ujung busur panah dan dengan cara demikian beliau telah memenuhi persyaratan sebagai perantara atau pemberi syafaat. Dalam firman-Nya Tuhan telah bersaksi bahwa beliau itu mempunyai maqom di antara Tuhan dan manusia laiknya seutas tali yang menghubungkan kedua ujung busur.”
“Di tempat lain untuk menggambarkan kedekatan beliau kepada Allah swt dikatakan:
قُل إِنَّ صَلاتي وَنُسُكي وَمَحيايَ وَمَماتي لِلَّهِ رَبِّ العالَمينَ
‘Katakanlah: “Sesungguhnya sembahyangku dan pengorbananku dan kehidupanku serta kematianku adalah semata-mata untuk Allah swt , Tuhan semesta alam” (QS.6 Al-Anaam:163).
“Dengan kata lain, diperintahkan kepada Yang Mulia Rasulullah saw untuk memberitahukan kepada umat manusia bahwa beliau telah fana dari dunia dan semua ibadah beliau saw semata-mata hanya bagi Allah swt Ayat ini mengindikasikan bahwa Yang Mulia Rasulullah saw menjadi demikian khidmat dan fana di dalam Tuhan sehingga tiap nafas kehidupan beliau dan bahkan kematiannya adalah semata-mata bagi Allah swt dimana egonya sendiri, mahluk dan sarana apa pun tidak mempunyai peran dalam wujud beliau, dan bahwa jiwa beliau sepenuhnya sujud di hadirat Ilahi dimana tidak ada apa pun yang menyertainya.”
“Mengingat bahwa kasih Allah swt dan pencapaian maqom yang tinggi berupa kedekatan kepada-Nya merupakan hal yang tidak mudah dicerna manusia biasa, maka Allah swt Yang Maha Agung telah memperlihatkan melalui perilaku dari Yang Mulia Rasulullah saw bagaimana beliau itu telah memilih Allah swt semata dibanding segala hal dimana setiap partikel dari diri beliau jenuh dengan kecintaan dan keagungan Allah swt sehingga wujud beliau menjadi cerminan daripada manifestasi Ilahi. Pengaruh dari kecintaan yang sempurna kepada Allah swt semuanya dicitrakan dalam wujud Yang Mulia Rasulullah saw ” (Review of Religions-Urdu, vol. I, hal. 175-184).
[1] Maksudnya adalah sesama mahluk dari jenis yang sama. (Penterjemah)
Tulisan ini dikutip dari buku “Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, ekstraksi dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as”. Neratja Press, hal 233-241, ISBN 185372-765-2